Mengapa dalam memberikan abolisi dan amnesti presiden harus memperhatikan pertimbangan dpr?

Jakarta (23/02) - Sebelum amandemen UUD 1945, grasi, rehabilitasi, abolisi dan amnesti menjadi hak absolut Presiden. Setelah amandemen UUD 1945 pemberian Grasi, Rehabilitasi, Abolisi dan Amnesti (GAAR) oleh presiden harus dengan pertimbangan MA atau DPR. Ketentuan tersebut diubah dengan tujuan untuk peningkatan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan oleh Presiden. “Dengan adanya ketentuan pertimbangan ini, maka pemberian GAAR tidak lagi menjadi hak absolut Presiden, melainkan harus memperhatikan pertimbangan dari MA atau DPR,” Jelas Analis Kebijakan Madya Balitbangkumham, Sujatmiko dalam Opini dengan tema Urgensi Pembentukan RUU Grasi, Amnesti, Abolisi dan Rehabilitasi di Kanwil Kemenkumham Aceh.

Sujatmiko juga menyampaikan adanya pembatasan kekuasaan Presiden dalam memberikan grasi, rehabilitasi, amnesti, abolisi tersebut sejalan dengan konsep pemisahan kekuasaan menurut Montesquieu.’’ Menurut Montesquieu pemisahan kekuasaan negara dibagi menjadi 3 yaitu Kekuasaan Legislatif, Kekuasaan Eksekutif dan Kekuasaan Yudikatif,’’ Tegas Sujatmiko Kegiatan Opini hari ini juga menhadirkan narasumber lain yaitu Bapak Surya Denta dari Kejaksaan Tinggi Aceh dan Bapak H. Syahrizal Abbas yang merupakan guru besar Universitas Islam Negeri Ar-Raniry.

Kegiatan Opini ini dibuka secara secara langsung oleh Kepala Kanwil Kemenkumham Aceh yaitu Bapak Meurah Budiman dan Kepala Balitbang Hukum dan HAM , Ibu Sri Puguh Budi Utami. (*Humas)

Mengapa dalam memberikan abolisi dan amnesti presiden harus memperhatikan pertimbangan dpr?

Mengapa dalam memberikan abolisi dan amnesti presiden harus memperhatikan pertimbangan dpr?


Indonesiabaik.id - Sering kita menemui istilah hukum seperti amnesti, abolisi, grasi hingga rehabilitasi di dalam keseharian. Indonesiabaik mencoba menyederhanakan istilah-istilah hukum tersebut agar mudah dimengerti oleh publik sesuai dengan aturan yang ada. Dimulai dengan grasi yaitu pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.

Grasi diatur di dalam Pasal 14 Ayat (1) UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 (UU Grasi). Grasi diberikan Presiden dengan memperhatikan pertimbangan dari MA. Jika seseorang memohon grasi kepada Presiden dan dikabulkan, maka Presiden mengampuni perbuatan yang bersangkutan. Kesalahan orang yang bersangkutan tetap ada, namun hukuman pidananya saja yang dihilangkan.

Berikutnya amnesti yang dapat diartikan sebagai pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan kepala negara kepada seseorang atau sekelompok orang yang telah melakukan tindak pidana tertentu. Amnesti yang diberikan untuk banyak orang dapat disebut sebagai amnesti umum. Amnesti diatur di dalam Pasal 14 Ayat (1) UUD 1945. Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 menyatakan bahwa akibat dari pemberian amnesti adalah semua akibat hukum pidana terhadap orang yang diberikan amnesti dihapuskan. Dengan kata lain, sifat kesalahan dari orang yang diberikan amnesti juga hilang. Amnesti diberikan Presiden dengan memperhatikan pertimbangan dari MA serta DPR dan dapat diberikan tanpa pengajuan permohonan terlebih dahulu.

Kemudian abolisi dapat diartikan sebagai penghapusan proses hukum seseorang yang sedang berjalan. Abolisi diberikan kepada terpidana perorangan dan diberikan ketika proses pengadilan sedang atau baru akan berlangsung. Presiden harus memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam pemberian abolisi. Abolisi diatur di dalam Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945. Lalu yang terakhir adalah rehabilitasi yang dapat diartikan sebagai tindakan pemenuhan hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.

Rehabilitasi diberikan kepada terpidana yang telah mendapatkan kepastian hukuman dan menjalani masa pidana, tetapi ternyata kemudian dinyatakan tidak bersalah. Rehabilitasi diatur di dalam Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945. Presiden harus memperhatikan pertimbangan DPR dalam pemberian rehabilitasi.

Pemberian grasi, rehabilitasi, abolisi dan amnesti merupakan amanat dari Pasal 14 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”), yang selengkapnya menyebutkan sebagai berikut:

  1. Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.

  2. Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.

Grasi dan Rehabilitasi

Adanya syarat Presiden harus memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (“MA”) adalah agar terdapat check and balances antara eksekutif dan yudikatif. Jadi setiap pemberian grasi harus memperhatikan pertimbangan MA karena grasi mengenai atau menyangkut putusan hakim. Presiden juga berhak untuk mengabulkan atau menolak grasi yang telah mendapatkan pertimbangan dari MA.[2] Grasi pada praktiknya diberikan atas dasar alasan kemanusiaan termasuk kesehatan, pembatasan setahun sejak inkracht dan hanya sekali, selain alasan kemanusiaan grasi juga dapat diberikan juga atas dasar pemohon sudah berkelakuan baik dan menjadi teladan bagi narapidana yang lain.

Sementara itu, pengertian rehabilitasi menurut Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah sebagai berikut:

Hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Rehabilitasi dapat diberikan kapan saja yang semata-mata bertujuan untuk keadilan. Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan.[3]

Sementara itu, permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) KUHAP yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh hakim praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 77 KUHAP.[4]

Sama seperti grasi, rehabilitasi pada intinya untuk kepentingan masyarakat dan untuk misi kemanusiaan, rehabilitasi juga diajukan kepada Presiden dengan memperhatikan pertimbangan MA agar terdapat check and balances antara eksekutif dan yudikatif.

Amnesti dan Abolisi

Pengertian amnesti menurut M. Marwan dan Jimmy P. dalam Kamus Hukum: Dictionary of Law Complete Edition (hal. 41) adalah:

Pernyataan umum yang diterbitkan melalui atau dengan undang-undang tentang pencabutan semua akibat dari pemidanaan suatu perbuatan pidana tertentu atau satu kelompok perbuatan pidana.

Abolisi menurut Marwan dan Jimmy dalam buku yang sama (hal. 10) adalah suatu hak untuk menghapuskan seluruh akibat dari penjatuhan putusan pengadilan atau menghapuskan tuntutan pidana kepada seorang terpidana, serta melakukan penghentian apabila putusan tersebut telah dijalankan.

Dalam Pasal 4 Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi (“UU 11/1954”), menyebutkan bahwa akibat dari pemberian amnesti adalah semua akibat hukum pidana terhadap orang-orang yang diberikan amnesti dihapuskan. Sementara dengan pemberian abolisi, maka penuntutan terhadap orang-orang yang diberikan abolisi ditiadakan.

Sebagaimana telah dijelaskan di awal bahwa kewenangan Presiden dalam membuat keputusan terkait dengan abolisi dan amnesti harus memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”), hal ini bertujuan agar tidak ada penyalahgunaan. Di dalam Pasal 71 huruf i Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“UU MD3”) disebutkan bahwa:

DPR berwenang memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian amnesti dan abolisi.

Pada dasarnya fungsi DPR di sini sebagai  pengontrol kebijakan pemerintah dalam rangka mewujudkan check and balances antar lembaga negara. DPR sebagai representatif dari rakyat untuk mengawasi kinerja pemerintah dalam mengambil kebijakan. Dalam pelaksanaannya amnesti diberikan hanya pada orang-orang yang telah melakukan tindak pidana politik. Amnesti dapat diberikan kepada pelaku tindak pidana politik sebelum maupun sesudah dilakukan penyidikan ataupun sebelum maupun yang sudah mendapat putusan dari pengadilan.

Simak juga artikel Amnesti, Rehabilitasi, Abolisi, dan Grasi.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Referensi:

M. Marwan dan Jimmy P. 2009. Kamus Hukum: Dictionary of Law Complete Edition. Surabaya: Reality Publisher.

Dasar Hukum:

[1] Pasal 2 ayat (2) dan (3) UU 5/2010

[2] Pasal 4 ayat (1) UU 5/2010

[3] Pasal 97 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP

[4] Pasal 97 ayat (3) KUHAP