Mengapa hutan mangrove perlu dilestarikan jelaskan

Terumbu karang. Foto: iStock

Hutan mangrove dan terumbu karang merupakan dua dari ekosistem alam yang penting untuk dilestarikan. Keduanya dapat ditemukan di sekitar pantai atau laut.

Hutan mangrove juga biasa disebut sebagai hutan bakau karena kawasan ini didominasi oleh pepohonan mangrove atau bakau. Sementara terumbu karang merupakan sekumpulan hewan karang yang bersimbiosis dengan sejenis tumbuhan alga yang disebut zooxanthellae.

Baik hutan mangrove maupun terumbu karang punya fungsi yang sama, salah satunya mengurangi dampak bencana alam. Setidaknya, ada tiga fungsi dari keberadaan hutan mangrove dan terumbu karang, berikut penjelasan selengkapnya untuk Anda.

1. Tempat Hidup Makhluk Laut

Hutan mangrove. Foto; iStock

Hutan mangrove dan terumbu karang menjadi tempat berkembang biak dan hidupnya ikan beserta hewan laut lain, seperti penyu, kerang, cumi-cumi, bintang laut dan teripang. Biasanya, hewan-hewan tersebut memanfaatkan hutan mangrove dan terumbu karang sebagai tempat bertelur dan berkembang biak. Bahkan, mereka juga menggunakan hutan mangrove dan terumbu karang sebagai tempat persembunyian dari mangsa.

2. Mencegah Abrasi Pantai

Selain bagi makhluk laut, hutan mangrove dan terumbu karang juga berfungsi sebagai penahan dan pemecah arus gelombang laut di pantai. Di mana keduanya berperan melindungi pantai dari arus yang kuat seperti saat terjadi hurikan, topan atau tsunami. Dengan pecahnya gelombang besar sebelum mencapai pantai, maka akan mengurangi dampak bencana yang terjadi.

Selain bermanfaat bagi kelangsungan hidup makhluk laut, hutan mangrove dan terumbu karang juga kerap dijadikan destinasi wisata. Pemanfaatan ini bisa memberi pemasukan finansial bagi masyarakat setempat.

Salah satunya seperti wisata Hutan Mangrove Angke di Jakarta. Sementara wisata terumbu karang dapat ditemui seperti di Bunaken, Derawan dan Raja Ampat.

Admin dlh | 15 Juni 2021 | 23041 kali

Mengapa hutan mangrove perlu dilestarikan jelaskan

GIAT DLH

Hutan magrove merupakan sekumpulan pepohonan yang tumbuh di area sekitar garis pantai yang dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut serta berada pada tempat yang mengalami akumulasi bahan organik dan pelumpuran. Hutan mangrove yang juga biasa dikenal dengan sebutan hutan bakau ini merupakan sebuah ekosistem yang bersifat khas karena adanya aktivitas daur penggenangan oleh pasang surut air laut. Pada habitat ini hanya pohon mangrove / bakau yang mampu bertahan hidup dikarenakan proses evolusi serta adaptasi yang telah dilewati oleh tumbuhan mangrove. Hutan mangrove memiliki fungsi yang sangat besar bagi lingkungan hidup kita diantarnya yakni 1) sebagai tumbuhan yang mampu menahan arus air laut yang mengikis daratan pantai, dengan kata lain tumbuhan mangrove mampu untuk menahan air laut agar tidak mengikis tanah di garis pantai. 2) Sebagaimana fungsi tumbuhan yang lain, mangrove juga memiliki fungsi sebagai penyerap gas karbondioksida (CO2) dan penghasil oksigen (O2). 3) Hutan mangrove memiliki peran sebagai tempat hidup berbagai macam biota laut seperti ikan-ikan kecil untuk berlindung dan mencari makan. Selain binatang laut, bagi hutan mangrove yang ruag lingkupnya cukup besar sering terdapat jenis binatang darat di dalamnya seperti kera dan burung.

Dari beberapa fungsi hutan bakau yang telah dipaparkan di atas, tentunya hal yang paling esensial bagi kelangsungan hidup kita adalah fungsi hutan mangrove sebagai penghasil oksigen (O2) dan penyerap gas karbondioksida serta sebagai pencegahan abrasi. Rusaknya hutan mangrove dapat mengakibatkan hilangnya fungsi-fungsi di tersebut. Bayangkan jika hutan rusak, tak ada lagi sesuatu yang mampu menghasilkan oksigen (O2) untuk kita bernapas, tidak adalagi sesuatu yang dapat menyerap gas (CO2) yang merupakan gas racun dab berbahaya bagi tubuh manusia, serta tak ada lagi suatu pertahanan kokoh yang mampu menahan laju abrasi. Saat ini keadaan hutan mangrove di sepanjang pesisir pantai Indonesia begitu memperihatinkan. Sebagian besar rusak dan diantaranya habis akibat aktivitas penebangan dan lain-lain. Hal ini tentu akan berdampak buruk bagi kelestarian lingkungan hidup kita.

Mengingat begitu pentingnya hutan mangrove bagi kelangsungan lingkungan hidup kita, perlu adanya solusi untuk penanggulangan masalah yang selama ini terjadi pada hutan mangrove. Solusi yang dapat kita lakukan diantaranya yakni ; 1) perlu adanya lahan konservasi terhadap hutan mangrove dalam rangka penjagaan dan pelestarian hutan agar fungsi-fungsi mangrove dapat dioptimalkan sebaik mungkin. 2) melakukan reboisasi atau penanaman kembali terhadap hutan mangrove yang telah rusak. Dalam hal ini perlu adanya keterlibatan antara pemerintah dan warga secara teknis dalam pelaksanaan reboisasi. 3) Perlu adanya manajemen tata ruang yang baik terhadap wilayah pesisir pantai berhutan mangrove, sehingga dapat berpotensi ekonomis dalam hal pariwisata. Provit yang diperoleh dari wisata alam ini dapat digunakan untuk keterbutuhan pelestarian mangrove. 4) perlu adanya penyuluhan dalam rangka memahamkan masyarakat terhadap pentingnya kelestarian hutan mangrove bagi lingkungan hidup. 5) Sanksi hukum yang tegas terhadap siapapun yang merusak kelestarian hutan mangrove. Kelestarian lingkungan hidup amatlah penting bagi kita. Menjaga mangrove merupakan bagian dari tindakan nyata atas kepedulian kita terhadap lestarinya alam dan kehidupan. Mulai dari diri sendiri, marilah jaga lingkungan demi hidup dan kehidupan.

SETAHUN PASCA TSUNAMI:

MENGAPA HUTAN MANGROVE DAN HUTAN PANTAI HARUS DILESTARIKAN?

ONRIZAL

Hutan mangrove dan hutan pantai merupakan salah satu topik yang banyak dibicarakan setelah tsunami setahun lalu – 26 Desember 2004 – yang menelan korban ratusan ribu nyawa dan kehancuran sarana dan prasarana kehidupan di sebagian besar pesisir Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan pantai barat Sumatera Utara dan belasan negara lainnya mulai dari Asia Tenggara sampai pantai timur benua Afrika hanya dalam waktu beberapa menit saja. Pembicaraan itu bukan hanya pada tingkatan lokal, namun mencapai tingkat nasional dan internasional mengingat dampak tsunami yang massif dengan jangkauan yang luas.

Sebagai contoh misalnya, masyarakat lokal yang selamat menginginkan pantainya ditanamai kembali dengan hutan bakau (istilah umum untuk hutan mangrove) atau hutan pantai. Pada tingkat nasional, Menteri Kehutanan – MS Kaban langsung memprioritaskan rehabilitasi hutan mangrove yang rusak, tidak hanya di NAD dan Sumatera Utara namun di seluruh Indonesia dalam kerangka Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) mulai tahun 2005. Dana puluhan milyar rupiah-pun telah disiapkan. Sekitar bulan Maret 2005, Menhut langsung secara simbolis melakukan penanaman mangrove di Aceh. Lalu pada tingkat Internasional ada pertemuan para ahli ekologi dunia di India yang berakhir pada 2 Februari 2005 menyimpulkan bahwa hutan mangrove secara nyata mengurangi dampak tsunami di pesisir pantai Asia, sehingga hutan mangrove merupakan pelindung alami pantai dari tsunami dan apabila mangrove hilang, maka kerusakan yang terjadi akan maksimal.

Ya, memang, pembicaraan tentang hutan mangrove dan hutan pantai semakin meningkat sejak peristiwa tersebut. Sebelumnya sangat jarang yang membicarakannya. Jangankan di masyarakat umum, kondisi yang hampir sama pun dijumpai pada mahasiswa kehutanan. Mungkin informasi berikut bisa memberikan gambaran. Saat penulis kuliah di Fakultas Kehutanan IPB di awal tahun 1990, sangat sedikit mahasiswa yang mengambil skripsi dengan topik hutan mangrove dan hutan pantai. Semacam “guyonan” sering ada di antara mahasiswa: “sudah berlumpur dan banyak nyamuk, namun kalau lulus sangat sedikit HPH yang mau nampung” Memang kalau penelitian di hutan mangrove pasti akan setiap hari berkubang lumpur dan digigiti nyamuk, lalu setelah lulus sangat sedikit HPH (hak pengusahaan hutan) yang arealnya berupa hutan mangrove dan hanya bisa dihitung dengan jari, sehingga otomatis lapangan kerjanyapun “sempit”. Selain itu, penggunaan kayu mangrove yang komersial saat itu masih terbatas. Begitu juga dengan hutan pantai, meskipun tidak berlumpur, namun tidak ada HPH yang mengelola hutan pantai karena kayunya tidak komersial. Sampai saat ini, masih sangat sedikit laporan terkait dengan berbagai hal tentang hutan pantai di Indonesia

Beda dengan hutan hujan tropika dataran rendah yang kaya akan jenis-jenis komersial, seperti meranti dan keruing yang jumlahnya banyak dan harganya pun tinggi serta ratusan HPH dengan luas jutaan ha merupakan lapangan kerja yang menggiurkan bagi kebanyakan lulusan sarjana kehutanan. Oleh karenanya sangat sedikit yang mau mengambil keahlian di bidang hutan mangrove dan hutan pantai dibandingan dengan hutan hujan tropika dataran rendah.

Akibat berikutnya adalah banyak hutan mangrove dan hutan pantai yang rusak akibat konversi menjadi peruntukkan lain, misalnya tambah, perkebunan, areal industri dan lain sebagainya. Salah satu alasan yang sering digunakan adalah daripada areal tersebut tidak bernilai ekonomi, semacam areal terlantar, maka lebih baik dijadikan tambak yang hitung-hitungan keuntungannya “sudah jelas” Namun apa lacur, berbagai fakta dilapangan kemudian menunjukkan bahwa tambak yang dibangun dengan menebang habis hutan mangrove yang sebelumnya tumbuh di daerah itu hanya produktif sekitar 3 – 4 tahun saja. Setelah itu, ikan dan udang yang diusahakan habis oleh hama dan penyakit. Selain itu, abrasi atau pengkisan pantai oleh arus laut meningkat tajam, dimana diberbagai pantai laju abrasinya lebih dari 10 m setiap tahunnya. Bisa dibanyangkan berapa luas daratan pantai yang hilang. Kondisi tersebut jelas terlihat di pantai utara (pantura) Jawa, Sulawesi, Bali, dan Sumatera.

Contoh terakhir adalah kehancuran sebagian besar pesisir pantai akibat tsunami di akhir tahun lalu. Pada sisi lain juga dijumpai pesisir pantai yang selamat dari tsunami karena energi gelombang tsunami diredam oleh hutan mangrove dan hutan pantai yang masih baik dan kompak di daerah tersebut, misalnya di pantai utara Nias, seperti yang penulis temukan dan di Lhok Pawoh dan Ladang Tuha di Aceh Selatan, seperti dilaporkan WI-IP. Kondisi inilah yang kemudian menjadi pemicu meningkatnya pembicaraan tentang hutan mangrove dan hutan pantai pasca tsunami. Dan tentu, hal ini pulalah sebagai alasan utama mengapa hutan mangrove dan hutan pantai harus dipertahankan atau harus dilestarikan. Lalu, apa alasan lainnya?

Berbagai fungsi hutan mangrove dan hutan pantai

Hutan mangrove dan hutan pantai merupakan sumberdaya alam daerah tropika yang mempunyai manfaat ganda dengan pengaruh yang sangat luas ditinjau dari aspek sosial, ekonomis, dan ekologi. Besarnya peranan hutan atau ekosistem mangrove dan hutan pantai bagi kehidupan, dapat diketahui dari banyaknya jenis flora dan fauna yang hidup di dalam ekosistem perairan dan daratan yang membentuk ekosistem mangrove.

Fungsi fisik

Secara fisik hutan mangrove dan hutan pantai menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya abrasi pantai, melindungi daerah dibelakangnya dari hempasan gelombang dan angin kencang, dan mencegah intrusi air garam (salt intrution) ke arah darat. Selain itu, secara khusus hutan mangrove juga berguna sebagai perangkap zat-zat pencemar dan limbah, mempercepat perluasan lahan, mengolah limbah organik, dan sebagainya.

Setiap saat pantai terancam abrasi akibat arus dan gelombang laut yang selalu bergerak. Tanpa keberadaan hutan mangrove dan hutan pantai, sangat besar peluang pinggir pantai tergerus oleh arus dan gelombang yang terus menerpanya.

Beberapa contoh hasil penelitian juga menunjukkan fungsi hutan mangrove dan hutan pantai dalam meredam energi arus gelombang laut, seperti tergambar dari hasil penelitian Pratikto et al. (2002) dan Instiyanto dkk (2003). Pratikto melaporkan bahwa hutan mangrove di Teluk Grajagan – Banyuwangi mampu mereduksi atau mengurangi energi gelombang yang menerpa kawasan pantai tersebut. Istiyanto dkk (2003) melalui pengujian laboratorium juga menyimpulkan bahwa rumpun bakau (Rhizophora) memantulkan, meneruskan, dan menyerap energi gelombang tsunami yang diwujudkan dalam perubahan tinggi gelombang tsunami ketika menjalar melalui rumpun tersebut. Seorang ahli ekologi – Venkataramani tahun 2004 menyatakan bahwa hutan mangrove yang lebat berfungsi seperti tembok yang melindungi kehidupan masyarakat pesisir di belakang mangrove dari tsunami. Selanjutnya, lembaga penelitian MSSRF tahun 2005 menjelaskan bahwa hutan mangrove mengurangi dampak tsunami melalui dua cara, yaitu kecepatan air berkurang karena pergesekan dengan hutan mangrove yang lebat, dan volume air dari gelombang tsunami yang sampai ke daratan menjadi sedikit karena air tersebar ke banyak saluran (kanal) yang terdapat di ekosistem mangrove.

Vegetasi mangrove juga dapat menyerap dan mengurangi pencemaran (polutan).  Jaringan anatomi tumbuhan mangrove mampu menyerap bahan polutan, misalnya penelitian Darmiyati dkk tahun 1995 menemukan jenis Rhizophora mucronata dapat menyerap 300 ppm Mn, 20 ppm Zn, 15 ppm Cu dan penelitian Saefullah tahun 1995 menginformasikan pada daun Avicennia marina terdapat akumulasi Pb ³ 15 ppm, Cd ³ 0,5 ppm,   Ni ³ 2,4 ppm. Unsur-unsur tersebut merupakan pulutan berupa logam berat jika berada dilingkungan akan berbahaya bagi flora lain dan fauna, termasuk bagi manusia. Dengan demikian hutan mampu mereduksi polutan dari lingkungan

Selain itu, hutan mangrove dapat mengendalikan intrusi air laut sebagaimana yang dilaporkan Hilmi tahun 1998, yakni percepatan intrusi air laut di pantai Jakarta meningkat dari 1 km pada hutan mangrove selebar 0,75 km menjadi 4,24 km pada areal tidak berhutan.

Hasil analisis sedimentologi oleh Sediadi (1990) menunjukkan bahwa pada habitat Rhizophora spp. dan Avicennia spp. kandungan lumpurnya mencapai 61 %, sedangkan sisanya berupa pasir dan kerikil.  Selanjutnya Suryana dkk (1998) melaporkan bahwa tanah timbul di pantai utara pulau Jawa hanya dijumpai didepan hutan mangrove dengan fenomena semakin lebar mangrove semakin lebar pula tanah timbulnya dengan perimbangan ratio rataan sekitar 5 m tanah timbul per 1 m lebar mangrove.

Fungsi biologis

Secara biologi hutan mangrove mempunyai fungsi sebagai daerah berkembang biak (nursery ground), tempat memijah (spawning ground), dan mencari makanan (feeding ground) untuk berbagai organisme yang bernilai ekonomis khususnya ikan dan udang. Habitat berbagai satwa liar antara lain, reptilia, mamalia, hurting dan lain-lain. Selain itu, hutan mangrove juga merupakan sumber plasma nutfah.

Ekosistem hutan mangrove memiliki produktivitas yang tinggi. Seorang peneliti, White (1987) melaporkan produktivitas primer ekosistem mangrove ini sekitar 400-500 gram karbon/m2/tahun adalah tujuh kali lebih produktif dari ekosistem perairan pantai lainnya. Oleh karenanya, ekosistem mangrove mampu menopang keanekaragaman jenis yang tinggi. Seperti dilaporkan Naamin tahun 1990, daun mangrove yang berguguran diuraikan oleh fungi, bakteri dan protozoa menjadi komponen-komponen bahan organik yang lebih sederhana (detritus) yang menjadi sumber makanan bagi banyak biota perairan (udang, kepiting dan lain-lain). Dengan demikian, kerusakan apalagi kehilangan hutan mangrove akan menyebabkan terputusnya awal rantai makanan di pesisir pantai, sehingga ikan dan udang serta fauna perairan pantai tidak mendapatkan pakan. Akibat berikutnya adalah berkurangnya populasi ikan dan selanjutnya berdampak langsung pada menurunnya tangkapan nelayan.

Fungsi ekonomi atau fungsi produksi

Mangrove sejak lama telah dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Ahli ekologi mangrove dunia, Saenger (1983) mencatat sekitar 67 macam produk yang dapat dihasilkan oleh ekosistem hutan mangrove dan sebagian besar telah dimanfaatkan oleh masyarakat, misalnya untuk bahan bakar (kayu bakar, arang, alkohol); bahan bangunan (tiang-tiang, papan, pagar); alat-alat penangkapan ikan (tiang sero, bubu, pelampung, tanin untuk penyamak); tekstil dan kulit (rayon, bahan untuk pakaian, tanin untuk menyamak kulit); makanan, minuman dan obat-obatan (gula, alkohol, minyak sayur, cuka); peralatan rumah tangga (mebel, lem, minyak untuk menata rambut); pertanian (pupuk hijau); chips untuk pabrik kertas dan lain-lain. Secara tradisional, sudah sejak lama masyarakat yang berada di pesisir pantai mendapatkan bahan-bahan obat-obatan dari hutan mangrove dan hutan pantai.

Penutup

Keberadaan hutan mangrove dan hutan pantai tidak saja mampu secara nnyata melindungi pesisir pantai dari kerusakan akibat angin, abrasi sampai gelombang tsunami, namun juga memberikan sumber penghidupan bagi masyarakat di sekitarnya.  Sehingga kehilangan hutan mangrove dan hutan pantai, secara langsung akan berdampak pada kehidupan masyarakat pesisir, termasuk hilangnya mata pencaharian serta sumber kehidupan mereka lainnya dan ancaman kehancuran pesisir pantai akibat gempuran arus laut dan angin yang pasti selalu hadir di kawasan tersebut. Dengan demikin, keberadaannya di kawasan pesisir pantai adalah sebuah kemestian. Oleh karena itu, hutan mangrove dan hutan pantai yang rusak harus segera direhabilitasi agar kembali berfungsi sebagaimana mestinya.

Sebagai kesimpulan akhir, mengelola hutan mangrove dan hutan pantai berarti menjaga hidup dan kehidupan manusia serta makhluk lainnya. Inilah alasan utama, mengapa hutan mangrove dan hutan pantai harus dikelola secara lestari.