Mengapa imam sebaiknya tidak memanjang memanjangkan shalat

Mengapa imam sebaiknya tidak memanjang memanjangkan shalat

TANYA : Ada imam sholat yang suka lama banget ngimamin shalatnya. Baca Qurannya panjang, ruku' dan sujudnya juga lama, lebih lama dari kebiasaan jamaah pada umumnya.

Bukankah Rasulullah Saw memerintahkan para imam sholat untuk meringankan bacaannya?

JAWAB : Rasulullah Saw memerintahkan para imam shalat meringankan bacaan merupakan perkara yang sudah dipahami oleh para ulama, ustadz, yang biasa menjadi imam shalat atau memimpin shalat berjamaah.

Dalam hadits-hadits shahih, termasuk dalam KitabShahih Bukhari danShahih Muslim, jelas sekali Nabi Muhammad Saw memerintahkan para imam untuk meringankan bacaan shalat. Lain halnya jika shalat sendirian.

إِذاَ صَلَّى أَحَدُكُمْ بِالنَّاسِ فَلْيُخَفِّفْ

“Apabila salah seorang di antara kalian mengimami shalat, maka ringankanlah shalatnya”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Artinya, jika shalat sendiri, dipersilakan shalat lama dan bacaannya sepanjang-panjangnya. Bebas. Namun, jika jadi imam, maka ringankanlah bacaannya, pendekkan, karena jamaah itu beragam dan punya kepentingan sendiri-sendiri.

Inilah indahnya Islam. Sangat manusiawi. Rasulullah saja paham dan maklum, masa para imam tidak?

Imam Shalat Berjamaah Ringankan Bacaan

Berikut ini hadits-hadits selengkapnya tentang imam shalat yang harus meringankan bacaan.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا أَمَّ أَحَدُكُمْ النَّاسَ فَلْيُخَفِّفْ فَإِنَّ فِيهِمْ الصَّغِيرَ وَالْكَبِيرَ وَالضَّعِيفَ وَالْمَرِيضَ فَإِذَا صَلَّى وَحْدَهُ فَلْيُصَلِّ كَيْفَ شَاءَ.

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, sesungguhnya Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Apabila salah seorang dalam kalangan kamu mengimamkan shalat, maka ringankanlah shalat (tersebut) karena dalam jama’ah tersebut ada golongan kanak-kanak, orang tua, orang yang lemah dan sakit. Sekiranya shalat bersendirian maka silahkan panjangkan bacaan menurut yang dikehendakinya.” (HR. Bukhari).

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَاللَّهِ إِنِّي لَأَتَأَخَّرُ عَنْ صَلَاةِ الْغَدَاةِ مِمَّا يُطِيلُ بِنَا فِيهَا فُلَانٌ فَمَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ غَضَبًا فِي مَوْعِظَةٍ مِنْهُ يَوْمَئِذٍ فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ مِنْكُمْ مُنَفِّرِينَ فَمَنْ صَلَّى بِالنَّاسِ فَلْيَتَجَوَّزْ فَإِنَّ فِيهِمْ الْكَبِيرَ وَالضَّعِيفَ وَذَا الْحَاجَةِ

Dari Abu Mas’ud Al Anshari ia berkata, “Seorang laki-laki datang kepada Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya tidak jadi ikut melaksanakan shalat subuh karena lamanya shalat yang dilakukan oleh Fulan bersama kami.” Maka saya tidak pernah melihat Nabi shallallohu ‘alaihi wasallam marah melebihi kemarahannya pada saat itu ketika sedang memberikan nasihat. Beliau bersabda: “Wahai manusia, sesungguhnya di antara kalian ada orang-orang yang membuat lari orang lain, maka barangsiapa sholat bersama manusia (sebagai Imam), maka hendaknya ia meringankannya. Sebab di antara mereka ada orang yang telah tua, orang lemah, dan orang yang memiliki keperluan.” (HR. Ad Darimi).

Anas bin Malik berkata:

مَا صَلَّيْتُ وَرَاءَ إِمَامٍ قَطُّ أَخَفَّ صَلَاةً وَلَا أَتَمَّ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِنْ كَانَ لَيَسْمَعُ بُكَاءَ الصَّبِيِّ فَيُخَفِّفُ مَخَافَةَ أَنْ تُفْتَنَ أُمُّهُ

“Aku tidak pernah shalat bersama seorang imam pun yang lebih pendek dan lebih sempurna shalatnya daripada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Jika Baginda mendengar tangisan bayi, maka dia akan meringankan shalat kerana takut akan menimbulkan fitnah terhadap ibunya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Ringkasnya, para imam shalat perlu menyadari, shalat berjamaah jangan sampai memberatkan jama’ah (makmum).

‘Umar bin al-Khattab r.a. juga turut mengingatkan para imam agar tidak menimbulkan kemarahan para jamaah sebagaimana diriwayatkan olehal-Bayhaqi:

لَا تُبَغِّضُوْا إِلَى اللَّهِ عِبَادَهُ يَكُونُ أَحَدُكُمْ إِمَامًا فَيُطَوِّلُ عَلَى الْقَوْمِ الصَّلَاة حَتَّى يُبَغِّضَ إِلَيْهِمْ مَا هُمْ فِيْهِ .

“Jangan kamu membuat seorang hamba itu marah terhadap Allah dengan sebab tindakan kamu memanjangkan bacaan ketika mengimamkan shalat.”

Sekali lagi, masalah memanjangkan bacaan ini adalah berlainan situasinya jika shalat dilakukan sendirian.

Shalat fardhu/shalat sunnah yang dilaksanakan seorang diri, diharuskan untuk memanjang bacaan sesuai dengan kemampuan.Wallahu a'lam bish-shawabi. (www.risalahislam.com).*

Bolehkah Imam Membaca Surat Panjang dalam Shalat Berjamaah?

Mengapa imam sebaiknya tidak memanjang memanjangkan shalat

Sebagaimana diketahui, shalat berjamaah lebih utama dibanding shalat sendirian. Dalam shalat berjamaah mesti ada imam dan makmum. Seyogyanya, seorang imam harus mengetahui situasi makmum yang berada di belakangnya. Terutama dalam konteks masyarakat perkotaan yang disibukan dengan pekerjaan. Karena kalau terlalu lama shalat berjamaah akan menyebabkan makmum tidak fokus dan pikirannya melayang entah ke mana.

Sebab itu, kalau masjidnya terbuka untuk umum, bacalah ayat yang tidak terlalu panjang dan sesuai dengan kondisi makmum. Kecuali kalau masjid khusus, misalnya masjid pesantren yang memang makmumnya dari kalangan pesantren itu sendiri. Tapi kalau masjid umum, lebih baik tidak membaca ayat yang terlalu panjang.

Rasulullah sendiri pernah menegur Muadz bin Jabal karena menjadi imam dalam shalat Isya dan membaca ayat yang panjang, Rasul berkata:

أَتُرِيدُ أَنْ تَكُونَ فَتَّانًا يَا مُعَاذُ إِذَا أَمَمْتَ النَّاسَ فَاقْرَأْ بِالشَّمْسِ وَضُحَاهَا. وَسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى. وَاقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ. وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى

“Apakah engkau ingin membuat orang lari dari agama, wahai Mu’adz? Jika engkau mengimami orang-orang, bacalah surat Asy-Syams, Adh-Dhuha, Al-A’laa, Al-‘Alaq, atau Al-Lail.” (HR. Muslim)

Dalam hadis lain, Rasul mengatakan, “Jika salah seorang di antara kamu shalat bersama orang-orang atau mengimami shalat, hendaklah ia meringankan bacaan, karena di antara mereka itu ada yang lemah, orang yang sakit dan orang yang sudah tua. Tetapi jika ia shalat sendirian, hendaklah ia memanjangkan bacaan menurut kehendaknya” (HR: Muslim).

Ketika seseorang menjadi imam dan para makmum dibalakangnya ada yang lemah, sakit atau orang yang sudah tua. Tentu tidak bijak, jika seorang menjadi imam kemudian memanjangkan bacaannya, ruku’ dan sujudnya, padahal diketahui olehnya di antara makmum ada orang lemah, sakit dan orang tua. Bacaan yang panjang akan membuat mereka tidak mampu mengikuti shalat, merasa semakin lemah dan sakit serta tidak konsentrasi bahkan tidak mampu mengikuti shalat berjamaah sampai akhir.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ﺇِﺫَﺍ ﺻَﻠَّـﻰ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻟِﻠﻨَّـﺎﺱِ ﻓَﻠْﻴُﺨَﻔِّﻒْ، ﻓَﺈِﻥَّ ﻓِﻴْﻬِﻢُ ﺍﻟﻀَّﻌِﻴْﻒَ ﻭَﺍﻟﺴَّﻘِﻴْﻢَ ﻭَﺍﻟْﻜَﺒِﻴْﺮَ، ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺻَﻠَّﻰ ﻟِﻨَﻔْﺴِﻪِ ﻓَﻠْﻴُﻄَﻮِّﻝْ ﻣَﺎ ﺷَﺎﺀَ “Jika salah seorang di antara kalian mengimami orang-orang, maka hendaklah ia meringankannya. Karena di antara mereka ada yang lemah, sakit, dan orang tua. Akan tetapi, jika dia shalat sendirian, maka dia boleh memperpanjang sesuka hatinya. [1] Di riwayat yang lain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ingin memanjangkan shalat, tetapi beliau mengurung niatnya karena mendengar tangisan bayi dan membuatnya jadi singkat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ﺇِﻧِّﻲ ﺃَﺩْﺧُﻞُ ﻓِﻲ ﺻَﻼَﺗِﻲ ﻭَﺃَﻧَﺎ ﺃُﺭِﻳْﺪُ ﺃَﻥْ ﺃُﻃِﻴْﻠَﻬَﺎ ﻓَﺄَﺳْﻤَﻊُ ﺑُﻜَﺎﺀَ ﺍﻟﺼَّﺒِﻲِّ ﻓَﺄَﺗَﺠَﻮَّﺯُ “Aku masuk (memulai) shalat, dan ingin memperpanjangnya. Lalu aku mendengar tangis bayi, maka aku mempersingkat.[2] Catatan penting: 1) Mempersingkat dan meringankan shalat adalah karena adanya mashalat, bukan karena semata-mata mengikuti kemauan makmum saja, yaitu makmum yang sehat dan tidak ada hajat sangat penting Ibnu Rajab menjelaskan, ﻓﻴﻪ ﺩﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺃﻥ ﻣﻦ ﺩﺧﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺑﻨﻴﺔ ﺇﻃﺎﻟﺘﻬﺎ، ﻓﻠﻪ ﺗﺨﻔﻴﻔﻬﺎ ﻟﻤﺼﻠﺤﺔ ‏ “Ini adalah dalil bahwa siapa yang ingin shalat dengan niat memanjangkan, boleh baginya meringankan karena suatu mashlahat.”[3] Ibnu Daqiq Al-‘Ied juga menjelaskan jika ada alasan (illat) yaitu berat (masyaqqah) bagi makmum boleh diringankan. Beliau berkata, ﻓﻴﻬﺎ ﻣﺬﻛﻮﺭ ﻣﻊ ﻋﻠﺘﻪ ، ﻭﻫﻮ ﺍﻟﻤﺸﻘﺔ ﺍﻟﻼﺣﻘﺔ ﻟﻠﻤﺄﻣﻮﻣﻴﻦ ﺇﺫﺍ ﻃﻮﻝ “Pada hadits ini disebutkan alasannya (illat) yaitu rasa berat (masyaqqah) yang akan didapatkan oleh makmum jika dipanjangkan.”[4] 2) Hukum asal panjang shalat dan bacaan adalah mengikuti bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi imam baik panjangan dan pendeknya, kapan panjang dan kapan pendek Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan, ﻭﻳﻨﺒﻐﻲ ﺃﻥ ﻳﻔﻌﻞ ﻏﺎﻟﺒﺎً ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﻔﻌﻠﻪ ﻏﺎﻟﺒﺎً ، ﻭﻳﺰﻳﺪ ﻭﻳﻨﻘﺺ ﻟﻠﻤﺼﻠﺤﺔ ﻛﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳﺰﻳﺪ ﻟﻠﻤﺼﻠﺤﺔ “Selayaknya imam melakukan sebagaimana umumnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya. Mengurangi (meringankan) karena ada mashlahat dan menambah (memanjangkan) karena ada mashalat juga.”[5] 3) Makmum yang sehat dan tidak punya hajat penting tidak boleh menggeluh jika Imam memanjangkan shalat sesuai petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Renungkanlah, waktu untuk menyembah Rabb-nya mengapa ia pelit sekali dan mengeluh? Ibnu Hajar menjelaskan, ﻣﻦ ﺳﻠﻚ ﻃﺮﻳﻖ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻲ ﺍﻹﻳﺠﺎﺯ ﻭﺍﻹﺗﻤﺎﻡ ﻻ ﻳُﺸﺘﻜﻰ ﻣﻨﻪ ﺗﻄﻮﻳﻞ

“Siapapun yang menempuh jalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam meringkas dan menyempurnakan, maka tidak boleh dikeluhkan karena panjang shalatnya.”[6]

4) Imam juga hendaknya memperhatikan para makmum yang punya kebutuhan mendesak. Misalnya menjadi imam di masjid rumah sakit, yang pegawainya harus segera menjaga orang sakit

Perhatikan riwayat mengenai sahabat Jabir berikut,

ﺻَﻠَّﻰ ﻣُﻌَﺎﺫُ ﺑْﻦُ ﺟَﺒَﻞٍ ﺍﻷَﻧْﺼَﺎﺭِﻯُّ ﻷَﺻْﺤَﺎﺑِﻪِ ﺍﻟْﻌِﺸَﺎﺀَ ﻓَﻄَﻮَّﻝَ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﻓَﺎﻧْﺼَﺮَﻑَ ﺭَﺟُﻞٌ ﻣِﻨَّﺎ ﻓَﺼَﻠَّﻰ ﻓَﺄُﺧْﺒِﺮَ ﻣُﻌَﺎﺫٌ ﻋَﻨْﻪُ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺇِﻧَّﻪُ ﻣُﻨَﺎﻓِﻖٌ . ﻓَﻠَﻤَّﺎ ﺑَﻠَﻎَ ﺫَﻟِﻚَ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞَ ﺩَﺧَﻞَ ﻋَﻠَﻰ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠَّﻪِ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﻓَﺄَﺧْﺒَﺮَﻩُ ﻣَﺎ ﻗَﺎﻝَ ﻣُﻌَﺎﺫٌ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻟَﻪُ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰُّ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ‏« ﺃَﺗُﺮِﻳﺪُ ﺃَﻥْ ﺗَﻜُﻮﻥَ ﻓَﺘَّﺎﻧًﺎ ﻳَﺎ ﻣُﻌَﺎﺫُ ﺇِﺫَﺍ ﺃَﻣَﻤْﺖَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱَ ﻓَﺎﻗْﺮَﺃْ ﺑِﺎﻟﺸَّﻤْﺲِ ﻭَﺿُﺤَﺎﻫَﺎ . ﻭَﺳَﺒِّﺢِ ﺍﺳْﻢَ ﺭَﺑِّﻚَ ﺍﻷَﻋْﻠَﻰ . ﻭَﺍﻗْﺮَﺃْ ﺑِﺎﺳْﻢِ ﺭَﺑِّﻚَ . ﻭَﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ ﺇِﺫَﺍ ﻳَﻐْﺸَﻰ ‏

“Mu’adz bin Jabal Al-Anshari pernah memimpin shalat Isya. Ia pun memperpanjang bacaannya. Lantas ada seseorang di antara kami yang sengaja keluar dari jama’ah. Ia pun shalat sendirian. Mu’adz pun dikabarkan tentang keadaan orang tersebut. Mu’adz pun menyebutnya sebagai seorang munafik. Orang itu pun mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengabarkan pada beliau apa yang dikatakan oleh Mu’adz padanya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
lantas menasehati Mu’adz, “Apakah engkau ingin membuat orang lari dari agama, wahai Mu’adz? Jika engkau mengimami orang-orang, bacalah surat Asy-Syams, Adh-Dhuha, Al-A’laa, Al-‘Alaq, atau Al-Lail.”[7]

 
Hendaknya kita sebagai makmu dan hamba SANGAT PELIT WAKTU untuk Rabb yang telah memberikan segalanya. Berusaha khusyu’ shalat dan mempelajari bahasa Arab agar shalat semakin indah dan nikmat.

@Yogyakarta Tercinta Penyusun: Raehanul Bahraen

Artikel www.muslimafiyah.com

Catatan kaki: [1] HR. Bukhari dan Muslim [2] HR. Muslim [3] Fathul Bari libni Rajab 4/222 [4] Lihat Ihkamul Ihkam, Darul Khail [5] Lihat Tauhidil Ahkam hal.253, Syaikh Al-Bassaam [6] Idem

[7] HR. Muslim