Mengapa komunisme menjadi tantangan terhadap Pancasila sebagai sistem filsafat?

Sekjen DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto. (ANTARA/HO-DPP PDIP)

Dari berbagai hal yang menjadi persoalan pokok terjadi karena Pancasila kehilangan watak progresifnya.

Jakarta (ANTARA) - Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menyatakan tantangan utama Pancasila saat ini adalah memastikan penerapan filsafat ideologi bangsa itu dalam kehidupan bernegara karena kekuatan kapital lebih menguasai dunia politik dan ekonomi. "Dari berbagai hal yang menjadi persoalan pokok terjadi karena Pancasila kehilangan watak progresifnya," kata Hasto Kristiyanto saat menjadi pembicara utama dalam diskusi virtual dalam rangka peringatan Bulan Bung Karno yang digelar Megawati Institute di Jakarta, Kamis. Menurut dia, Pancasila tidak dipahami keseluruhan api penggeraknya di dalam mengubah tata pergaulan hidup yang mengisap menuju kemerdekaan sejati bagi setiap warga bangsanya. Oleh karena itu, kata Hasto Kristiyanto, Indonesia harus kembali pada khitahnya atau landasan perjuangannya dengan berhenti memakai cara pandang yang sempit.

Baca juga: Din sayangkan parpol yang usung RUU HIP

"Orang Indonesia harus memiliki outward looking (pandangan luas)," kata Hasto dalam keterangan tertulisnya. Hasto melihat yang menjadi skala prioritas saat ini adalah menjalankan praktik gotong royong guna memercepat terwujudnya keadilan sosial di seluruh aspek kehidupan, khususnya di ranah perekonomian sebagai skala prioritas. "Maka, konsolidasi demokrasi melalui pembumian sistem politik Pancasila dan merancang kembali sistem perekonomian nasional yang sesuai dengan spirit Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 harus ditempatkan sebagai skala prioritas," katanya dalam diskusi virtual bertema "Pancasila dalam Tindakan Politik". Dalam konteks itu, filsafat Pancasila sebaiknya secara bersama dimurnikan dengan gotong royong politik untuk menghindari demokrasi politik yang diwarnai kapital alias kepentingan pemilik modal. "Jadi, bagaimana kita harus bekerja memastikan demokrasi melalui hikmat permusyawaratan, dijalankan sebaiknya. Kontestasi politik dilakukan dengan adil, menghadirkan pemimpin terbaik dengan memastikan tak dipengaruhi kepentingan pemilik modal," katanya. Hasto menilai tantangan saat ini adalah pemusatan modal ekonomi pada kelompok tertentu saja. Padahal, Indonesia memiliki Pasal 33 UUD NRI Tahun 1945 yang harusnya direalisasikan. "Tantangannya, kita harus melihat ulang demokrasi kita sendiri yang sangat dikuasai oleh kekuatan kapital. Kita harus berani melihat ulang," katanya menandaskan.

Baca juga: Mahfud: Bagi Pemerintah Pancasila dimaknai sebagai satu tarikan napas

Ketika bicara Pancasila dalam tindakan, harusnya ada satu kata dan perbuatan dalam filsafat dan nilai Pancasila, yang terwujud dalam perbuatan politik. "Bagi PDI Perjuangan, dalam konteks itu pula penguatan parpol sangat penting agar terjadinya konsolidasi demokrasi dalam spirit Pancasila supaya wajah ekonomi kita berkeadilan," kata pria asal Yogyakarta ini. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva yang juga menjadi pembicara di dalam diskusi itu menyatakan bahwa para bapak pendiri Indonesia sudah sejak awal mendesain ideologi Pancasila itu adalah antikapitalis. "Ideologi Pancasila itu antikapitalis. Tak ada satu pun bapak bangsa kita yang membela kapitalisme," kata Hamdan. Baginya, Pancasila mengatur bahwa Indonesia adalah negara kesejahteraan. Dalam hal ini, negara mengatur dan memberi kesempatan, terutama bagi yang kecil untuk tumbuh dan menjadi besar. Bukan berarti menolak pemilik kapital besar, melainkan Pancasila mengatur negara harus membela yang kecil. "Lalu mana yang lebih penting, demokrasi politik Pancasila atau demokrasi ekonomi Pancasila untuk saat ini? " kata Hamdan Zoelva. Ia melanjutkan, "Tak mungkin daulat rakyat terjadi dalam daulat demokrasi liberal kapitalis."

Baca juga: Muhammadiyah: Trisila-ekasila reduksi Pancasila

Oleh karena itu, syarat demokrasi Pancasila adalah terlaksananya terlebih dahulu demokrasi ekonomi Pancasila. Pasalnya, tanpa itu demokrasi ekonomi akan mencontoh demokrasi liberal. "Jadi, prasyarat utama adalah ekonomi ini. Kenapa ini penting? Karena demokrasi politik pada hakikatnya adalah demokrasi yang dikuasai kepentingan modal. Hal itulah yang terjadi di demokrasi Indonesia. Kelas menengahnya sedikit, politik dikuasai pemilik modal, bersimbiosis dengan politisi," kata Hamdan menjelaskan. Bila demokrasi ekonomi Pancasila diperkuat,  menurut dia, rakyat menjadi berdaya. Rakyat kecil yang memiliki kemandirian ekonomi akan memiliki kemandirian di dalam politik.

"Oleh karena itu, ketika arus ekonomi tak mengutamakan ekonomi berkeadilan dan kerakyatan, akan selalu terjadi gap di antara filsafat Pancasila dan dalam tindakan," katanya.

Pewarta: Syaiful HakimEditor: D.Dj. Kliwantoro

COPYRIGHT © ANTARA 2020

DINAMIKA, TANTANGAN, ESENSI

DAN URGENSI PANCASILA

SEBAGAI SISTEM FILSAFAT

Kristianus Jimy Pratama

Mahasiswa Bagian Hukum Perdata

Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Jalan Palembang-Prabumulih KM 32

Inderalaya, Ogan Ilir, Sumatera Selatan

Email:

ABSTRAK

Indonesia memiliki Pancasila sebagai

dasar dalam berpikir yang berasal dari

kerangka nilai-nilai filosofis berdasarkan

identitas Bangsa Indonesia. Pancasila

sebagai sistem filsafat bergerak dinamis

mengikuti masyarakat dimana kehidupan

bermasyarakat selalu memiliki tantangan

baik dari dalam atau dari luar suatu negara.

Nilai yang terkandung dalam Pancasila

menjadi hal yang hakiki dalam proses

berpikir bangsa Indonesia dan menjadi

pedoman dalam bertingkah laku maupun

dalam konsepsi pemikiran Bangsa

Indonesia

Kata Kunci : Pancasila, Sistem

Filsafat, Urgensi

A. PENDAHULUAN

Sebagai falsafah negara, Pancasila

merupakan buah pikiran dari

perenungan dan pemikiran nilai nilai

filosofis yang terkandung dalam

identitas bangsa . Pancasila merupakan

pedoman dalam kerangka berpikir baik

dalam memperjuangkan kemerdekaan,

sebagai alat pemersatu dalam

kehidupan berbangsa, serta sebagai

pandangan hidup untuk kehidupan

manusia Indonesia sehari-hari. Istilah

Pancasila lahir pada tanggal 1 Juni

1945, ditetapkan secara resmi sebagai

dasar negara pada 18 Agustus 1945

bersama-sama dengan UUD 1945.

Pelafalan bunyi atau ucapan Pancasila

yang benar berdasarkan Inpres Nomor

12 tahun 1968 adalah Satu, Ketuhanan

Yang Maha Esa. Dua, Kemanusiaan

yang adil dan beradab. Tiga, Persatuan

Indonesia. Empat, Kerakyatan yang

dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan

dalam permusyawaratan/perwakilan.

Lima, Keadilan sosial bagi seluruh

rakyat Indonesia.1

Sejarah Indonesia telah mencatat

bahwa di antara tokoh perumus

Pancasila itu ialah, Mr. Mohammad

Yamin, Prof. Mr. Soepomo, dan Ir.

Soekarno. Dapat dikemukakan

mengapa Pancasila dapat bertahan dari

berbagai guncangan kisruh politik di

negara ini, yaitu pertama ialah karena

secara intrinsik dalam Pancasila itu

mengandung toleransi, dan siapa yang

menantang Pancasila berarti dia

menentang toleransi.

Pancasila sebagai dasar falsafah

negara Indonesia yang harus diketahui

1 Poespowardoyo, Soeryanto, 1989, Filsafat

Pancasila, halaman 24 Gramedia, Jakarta.

1

oleh seluruh warga negara Indonesia

agar menghormati, menghargai,

menjaga dan menjalankan apa-apa yang

telah dilakukan oleh para pahlawan

khususnya pahlawan proklamasi yang

telah berjuang untuk kemerdekaan

negara Indonesia ini. Sehingga baik

golongan muda maupun tua tetap

meyakini Pancasila sebagai dasar

negara Indonesia tanpa adanya

keraguan guna memperkuat persatuan

dan kesatuan bangsa dan negara

Indonesia.

B. PEMBAHASAN

Kata filsafat dalam Bahasa

Indonesia berasal dari bahasa Yunani

Philosophia terdiri dari kata Phile

artinya Cinta dan Sophia artinya

Kebijaksanaan. Filsafat berarti Cinta

Kebijaksanaan, cinta artinya hasrat

yang besar atau yang berkobar-kobar

atau yang sungguh-sungguh.

Kebijaksanaan artinya Kebenaran

sejati atau kebenaran yang

sesungguhnya. Filsafat berarti hasrat

atau keinginan yang sungguh-sungguh

akan kebenaran sejati. Berikut

pengertian filsafat menurut para ahli:

1. Socrates (469-399 s.M.)

Filsafat adalah suatu bentuk

peninjauan diri yang bersifat

reflektif atau berupa

perenungan terhadap azas-azas

dari kehidupan yang adil dan

bahagia. Berdasarkan

pemikiran tersebut dapat

dikembangkan bahwa manusia

akan menemukan kebahagiaan

dan keadilan jika mereka

mampu dan mau melakukan

peninjauan diri atau refleksi

diri sehingga muncul koreksi

terhadap diri secara obyektif.

2. Plato (472-347 s. M.)

Dalam karya tulisnya

Republik Plato menegaskan

bahwa para filsuf adalah

pencinta pandangan tentang

kebenaran (vision of truth).

Dalam pencarian dan

menangkap pengetahuan

mengenai ide yang abadi dan

tak berubah. Dalam konsepsi

Plato, filsafat merupakan

pencarian yang bersifat

spekulatif atau terhadap

pandangan tentang seluruh

kebenaran. Filsafat Plato ini

kemudan digolongkan sebagai

filsafat spekulatif.

Terdapat dua cakupan dari

pengertian filsafat, yaitu:

1. Filsafat sebagai Produk yang

mencakup:

2

- Filsafat sebagai jenis

Pengetahuan, ilmu, konsep-

konsep, pemikiran-

pemikiran (misalkan :

rasionalisme, materialisme,

pragmatisme)

- Filsafat sebagai suatu jenis

problema yang dihadapi

oleh manusia sebagai hasil

dari aktivitas berfilsafat.

Manusia mencari suatu

kebenaran yang timbul dari

suatu persoalan yang

bersumber pada akal

manusia.

2. Filsafat sebagai suatu Proses

mencakup: Filsafat sebagai suatu

proses, dalam hal ini filsafat

diartikan dalam bentuk suatu

aktivitas berfilsafat dalam proses

pemecahan suatu permasalahan

dengan menggunakan suatu cara

dan metode tertentu yang sesuai

dengan objeknya.

Filsafat secara umum dapat

diberi pengertian sebagai ilmu

pengetahuan yang menyelidiki hakikat

segala sesuatu untuk memperoleh

kebenaran hakiki, karena filsafat telah

mengalami perkembangan yang cukup

lama tentu dipengaruhi oleh berbagai

faktor, misalnya ruang, waktu,

keadaan dan orangnya. Itulah

sebabnya maka timbul berbagai

pendapat mengenai pengertian filsafat

yang mempunyai kekhususannya

masing-masing, antara lain:

1. Berfilsafat secara Rationalisme

yang mengagungkan akal

2. Berfilsafat secara Materialisme

yang mengagungkan materi

3. Berfilsafat secara

Individualisme yang

mengagungkan

individualitas

4. Berfilsafat secara Hedonisme

yang mengagungkan

kesenangan

Pancasila Sebagai Sistem Filsafat

Menurut Ruslan Abdulgani,

bahwa Pancasila merupakan filsafat

negara yang lahir sebagai collectieve

Ideologie (cita-cita bersama) dari

seluruh bangsa Indonesia. Dikatakan

sebagai filsafat, karena Pancasila

merupakan hasil perenungan jiwa yang

mendalam yang dilakukan oleh the

founding father kita, kemudian

dituangkan dalam suatu “sistem” yang

tepat. Sedangkan menurut Notonagoro,

Filsafat Pancasila memberi

pengetahuan dan pengertian ilmiah

yaitu tentang hakekat dari Pancasila.2

2 Kaelan, 2005, Filsafat Pancasila sebagai

Filasfat Bangsa Negara Indonesia, Makalah

pada Kursus Calon Dosen Pendidikan

Kewarganegaraan, halaman 7 , Jakarta.

3

a. Karakteristik Sistem Filsafat

Pancasila

Sebagai filsafat, Pancasila

memiliki karakteristik sistem

filsafat tersendiri yang berbeda

dengan filsafat lainnya, yaitu

antara lain :

1 Sila-sila Pancasila merupakan

satu-kesatuan sistem yang bulat

dan utuh (sebagai suatu

totalitas). Dengan pengertian

lain, apabila tidak bulat dan

utuh atau satu sila dengan sila

lainnya terpisah-pisah, maka itu

bukan Pancasila.

2 Susunan Pancasila dengan

suatu sistem yang bulat dan

utuh itu dapat digambarkan

sebagai berikut :

Dalam susunan yang lain dapat

juga digambarkan sebagai berikut :

atau dapat digambarkan sebagai

berikut :

Ketiga gambar di atas

menunjukkan bahwa :

a. Sila 1, meliputi,

mendasari dan menjiwai sila

2, 3, 4, 5

b. Sila 2, diliputi, didasari,

dijiwai sila 1, dan mendasari

dan menjiwai sila 3, 4, 5

c. Sila 3, diliputi, didasari,

dijiwai sila 1, 2, dan

mendasari dan menjiwai sila

4, 5

d. Sila 4, diliputi, didasari,

dijiwai sila 1, 2, 3 dan

mendasari dan menjiwai sila

5

e. Sila 5, diliputi, didasari,

dijiwai sila 1, 2, 3, 4

4

1

2

3

4

5

1

2

3

1

2

3

1

21

2

3

4

5

15

5

5

5

4

4

4

3

3

2

Penjelasannya adalah bahwa

Pancasila sebagai suatu substansi, artinya

unsur asli/permanen/primer .Pancasila

sebagai suatu yang ada mandiri, yang

unsur-unsurnya berasal dari dirinya

sendiri.Pancasila sebagai suatu realita,

artinya ada dalam diri manusia Indonesia

dan masyarakatnya, sebagai suatu

kenyataan hidup bangsa, yang tumbuh,

hidup dan berkembang dalam kehidupan

sehari-hari.

b. Prinsip-prinsip Filsafat Pancasila

Pancasila ditinjau dari kausal

Aristoteles dapat dijelaskan sebagai

berikut :

a. Kausa Materialis, maksudnya sebab

yang berhubungan dengan

materi/bahan, dalam hal ini Pancasila

digali dari nilai-nilai sosial budaya

yang ada dalam bangsa Indonesia

sendiri.

b. Kausa Formalis, maksudnya sebab

yang berhubungan dengan bentuknya,

Pancasila yang ada dalam pembukaan

UUD ’45 memenuhi syarat formal

(kebenaran formal)

c. Kausa Efisiensi, maksudnya kegiatan

BPUPKI dan PPKI dalam menyusun

dan merumuskan Pancasila menjadi

dasar negara Indonesia merdeka.

d. Kausa Finalis, maksudnya

berhubungan dengan tujuannya, tujuan

diusulkannya Pancasila sebagai dasar

negara Indonesia merdeka.

Inti atau esensi sila-sila Pancasila

meliputi :

1. Tuhan, yaitu sebagai kausa

prima

2. Manusia, yaitu makhluk

individu dan makhluk sosial

3. Satu, yaitu kesatuan memiliki

kepribadian sendiri

4. Rakyat, yaitu unsur mutlak

negara, harus bekerja sama

dan gotong royong

5. Adil, yaitu memberikan

keadilan kepada diri sendiri

dan orang lain yang menjadi

haknya.

c. Hakikat Nilai-nilai Pancasila

Nilai adalah suatu ide atau konsep

tentang apa yang seseorang pikirkan

merupakan hal yang penting dalam

hidupnya. Nilai dapat berada di dua

kawasan : kognitif dan afektif. Nilai adalah

ide, bisa dikatakan konsep dan bisa

dikatakan abstraksi (Sidney Simon, 1986).

Nilai merupakan hal yang terkandung

dalam hati nurani manusia yang lebih

memberi dasar dan prinsip akhlak yang

merupakan standar dari keindahan dan

efisiensi atau keutuhan kata hati (potensi).

Langkah-langkah awal dari “nilai” adalah

seperti halnya ide manusia yang

merupakan potensi pokok human being.

Nilai tidaklah tampak dalam dunia

pengalaman. Dia nyata dalam jiwa

manusia. Dalam ungkapan lain ditegaskan

5

oleh Sidney B. Simon (1986) bahwa

sesungguhnya yang dimaksud dengan nilai

adalah jawaban yang jujur tapi benar dari

pertanyaan what you are really, really,

really, want.”

Studi tentang nilai termasuk dalam

ruang lingkup estetika dan etika. Estetika

cenderung kepada studi dan justifikasi

yang menyangkut tentang manusia

memikirkan keindahan, atau apa yang

mereka senangi. Misalnya mempersoalkan

atau menceritakan si rambut panjang, pria

pemakai anting-anting, nyanyian-nyanyian

bising dan bentuk-bentuk seni lain.

Sedangkan etika cenderung kepada studi

dan justifikasi tentang aturan atau

bagaimana manusia berperilaku. Ungkapan

etika sering timbul dari pertanyaan-

pertanyaan yang mempertentangkan antara

benar salah, baik-buruk. Pada dasarnya

studi tentang etika merupakan pelajaran

tentang moral yang secara langsung

merupakan pemahaman tentang apa itu

benar dan salah.3 Bangsa Indonesia sejak

awal mendirikan negara, berkonsensus

untuk memegang dan menganut Pancasila

sebagai sumber inspirasi, nilai dan moral

bangsa. Konsensus bahwa Pancasila

3 Notonagoro, 1971, Pengertian Dasar bagi

Implementasi Pancasila untuk ABRI,

Departemen Pertahanan dan Keamanan,

halaman 9 Jakarta.

sebagai anutan untuk pengembangan nilai

dan moral bangsa ini secara ilmiah

filosofis merupakan pemufakatan yang

normatif. Secara epistemologikal bangsa

Indonesia punya keyakinan bahwa nilai

dan moral yang terpancar dari asas

Pancasila ini sebagai suatu hasil sublimasi

dan kritalisasi dari sistem nilai budaya

bangsa dan agama yang kesemuanya

bergerak vertikal dan horizontal serta

dinamis dalam kehidupan masyarakat.

Selanjutnya untuk mensinkronkan dasar

filosofia-ideologi menjadi wujud jati diri

bangsa yang nyata dan konsekuen secara

aksiologikal bangsa dan negara Indonesia

berkehendak untuk mengerti, menghayati,

membudayakan dan melaksanakan

Pancasila. Upaya ini dikembangkan

melalui jalur keluarga, masyarakat dan

sekolah.

Refleksi filsafat yang

dikembangkan oleh Notonegoro untuk

menggali nilai-nilai abstrak, hakikat nilai-

nilai Pancasila, ternyata kemudian

dijadikan pangkal tolak pelaksanaannya

yang berujud konsep pengamalan yang

bersifat subyektif dan obyektif.

Pengamalan secara obyektif adalah

pengamalan di bidang kehidupan

kenegaraan atau kemasyarakatan, yang

penjelasannya berupa suatu perangkat

ketentuan hukum yang secara hierarkhis

berupa pasal-pasal UUD, Ketetapan MPR,

Undang-undang Organik dan peraturan-

6

peraturan pelaksanaan lainnya.

Pengamalan secara subyektif adalah

pengamalan yang dilakukan oleh manusia

individual, baik sebagai pribadi maupun

sebagai warga masyarakat ataupun sebagai

pemegang kekuasaan, yang penjelmaannya

berupa tingkah laku dan sikap dalam hidup

sehari-hari.

Pancasila Dalam Kajian Ontologis

Secara ontologis kajian Pancasila

sebagai filsafat dimaksudkan sebagai

upaya untuk mengetahui hakekat dasar

dari sila sila Pancasila. Menurut

Notonagoro hakekat dasar ontologis

Pancasila adalah manusia. Karena

manusia merupakan subyek hukum pokok

dari sila sila Pancasila.

Hal ini dapat dijelaskan bahwa

yang berkeuhanan Yang Maha Esa,

berkemanusian yang adil dan beradab,

berkesatuan indonesia, berkerakyatan

yaang dipimpin oleh hikmad

kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan, berkeadilan

sosial bagi seluruh rakyat Indonesia pada

hakekatnya adalah manusia

Jadi secara ontologis hakekat dasar

keberadaan dari sila sila Pancasila adalah

manusia. Untuk hal ini Notonagoro lebih

lanjut mengemukakan bahwa manusia

sebagai pendukung pokok sila sila

Pancasila secara ontologi memiliki hal-hal

yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan

kodrat, raga dan jiwa, jasmani dan rohani.

Juga sebagai makluk individu dan sosial

serta kedudukan kodrat manusia sebagai

makluk pribadi dan sebagai makluk Tuhan

Yang Maha Esa. Oleh karena itu, maka

secara hierarkhis sila pertama Ketuhanan

Yang Maha Esa mendasari dan menjiwai

keempat sila sila Pancasila

Selanjutnya Pancasila secagai dasar

filsafat negara Republik Indonesia

memiliki susunan lima sila yang

merupakan suatu persatuan dan kesatuan

serta mempunyai sifat dasar kesatuan yang

mutlak yaitu berupa sifat kodrat

monodualis, sebagai makluk individu

sekaligus juga sebagai makluk sosial, serta

kedudukannya sebagai makluk pribadi

yang berdiri sendiri juga sekaligus sebagai

maakluk Tuhan. Konsekuensinya segala

aspek dalam penyelenggaraan negara

diliputi oleh nilai nilai Pancasila yang

merupakan suatu kesatuan yang utuh yang

memiliki sifat dasar yang mutlak berupa

sifat kodrat manusia yang monodualis

tersebut.

Kemudian seluruh nilai nilai Pancasila

tersebut menjadi dasar rangka dan jiwa

bagi bangsa Indonesia. Hal ini berarti

bahwa dalam setiap aspek

penyelenggaraan negara harus dijabarkan

dan bersumberkan pada nilai nilai

Pancasila, seperti bentuk negara, sifat

negara, tujuan negara, tugas dan kewajiban

negara dan warga negara, sistem hukum

7

negara, moral negara dan segala sapek

penyelenggaraan negara lainnya.

Pancasila Dalam Kajian Epistimologi

Dalam kajian epistimologi ,

Pancasila sebagai sistem filsafat

dimaksudkan sebagai upaya untuk

mencari hakekat Pancasila sebagai suatu

sistem pengetahuan. Hal ini

dimungkinkan karena epistimologi

merupakan bidang filsafat yang

membahas hakekat ilmu pengetahuan

(ilmu tentang ilmu). Kajian epistimologi

Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan

dasar ontologisnya. Oleh karena itu dasar

epistimologis Pancasila sangat berkaitan

erat dengan konsep dasarnya tentang

hakekat manusia.

Menurut Titus(1984: 20) terdapat

tiga persoalan yang mendasar dalam

epistimologi yaitu :

1. tentang sumber pengetahuan

manusia;

2. tentang teori kebenaran

pengetahuan manusia;

3. tentang watak pengetahuan

manusia.

Epistimologi Pancasila sebagai

suatu obyek kajian pengetahuan pada

hakekatnya meliputi masalah sumber

pengetahuan Pancasila dan susunan

pengetahuan Pancasila. Tentang sumber

pengetahuan Pancasila, sebagaimana

telah dipahami bersama adalah nilai-nilai

yang ada pada bangsa Indonesia sendiri.

Merujuk pada pemikiran filsafat

Aristoteles, bahwa nilai-nilai tersebut

sebagai kausa materialis Pancasila.

Selanjutnya susunan Pancasila

sebagai suatu sistem pengetahuan

maka Pancasila memiliki susunan

yang bersifat formal logis, baik dalam

arti susunan sila-sila Pancasila

maupun isi arti dari dari sila-sila

Pancasila itu. Susunan kesatuan sila-

sila Pancasila adalah bersifat

hierarkhis dan berbentuk piramidal,

dimana :

a. Sila pertama Pancasila

mendasari dan menjiwai

keempat sila lainnya

b. Sila kedua didasari sila

pertama serta mendasari

dan menjiwai sila ketiga,

keempat dan kelima

c. Sila ketiga didasari dan

dijiwai sila pertama, kedua

serta mendasari dan

menjiwai sila keempat dan

kelima

d. Sila keempat didasari dan

dijiwai sila pertama, kedua

dan ketiga, serta mendasari

dan menjiwai sila kelima

e. Sila kelima didasari dan

dijiwai sila pertama, kedua,

ketiga, dan keempat.

8

Demikianlah maka susunan

Pancasila memiliki sistem logis baik

yang menyangkut kualitas maupun

kuantitasnya. Dasar-dasar rasional

logis Pancasila juga mennyangkut

kualitas maupun kuantitasnya. Selain

itu, dasar-dasar rasional logis

Pancasila juga menyangkut isi arti

sila-sila Pancasila tersebut. Sila

Ketuhanan Yang Maha Esa memberi

landasan kebenaran pengetahuan

manusia yang bersumber pada intuisi.

Manusia pada hakekatnya kedudukan

dan kodratnya adalah sebagai mahluk

Tuhan Yang Maha Esa, maka sesuai

dengan sila pertama Pancasila,

epistimologi Pancasila juga mengakui

kebenaran wahyu yang bersifat

mutlak. Hal ini sebagai tingkat

kebenaran yang tertinggi.

Selanjutnya kebenaran dan

pengetahuan manusia merupakan

suatu sintesa yang harmonis antara

potensi-potensi kejiwaan manusia

yaitu akal, rasa, dan kehendak

manusia untuk mendapatkan

kebenaran yang tertinggi.

Selain itu dalam sila ketiga,

keempat dan kelinma, maka

epistimologi Pancasila mengakui

kebenaran konsensus terutama dalam

kaitannya dengan hakekat sifat kodrat

manusia sebagai mahluk individu dan

mahluk sosial.

Sebagai suatu paham

epistimologi, maka Pancasila

mendasarkan pandangannya bahwa

ilmu pengetahuan pada hakekatnya

tidak bebas nilai karena harus

diletakkan pada kerangka moralitas

kodrat manusia serta moralitas religius

dalam upaya untuk mendapatkan suatu

tingkatan pengetahuan dalam hidup

manusia. Itulah sebabnya Pancasila

secara epistimologis harus menjadi

dasar moralitas bangsa dalam

membangun perkembangan sains dan

teknologi dewasa ini.

Pancasila Dalam Kajian Aksiologi

Kajian aksiologi filsafat

Pancasila pada hakekatnya membahas

tentang nilai praksis atau manfaat suatu

pengetahuan tentang Pancasila. Karena

sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem

filsafat memiliki satu kesatuan dasar

aksiologis, sehingga nilai-nilai yang

terkandung dalam Pancasila pada

hakekatnya juga merupakan suatu

kesatuan. Selanjutnya aksiologi

Pancasila mengandung arti bahwa kita

membahas tentang filsafat nilai

Pancasila. Istilah nilai dalam kajian

filsafat dipakai untuk merujuk pada

ungkapan abstrak yang dapat juga

diartikan sebagai “keberhargaan”

(worth) atau “kebaikan” (goodnes),

dan kata kerja yang artinya sesuatu

tindakan kejiwaan tertentu dalam

9

menilai atau melakukan penilaian

( Frankena, 229).

Di dalam Dictionary of

sociology an related sciences

dikemukakan bahwa nilai adalah suatu

kemampuan yang dipercayai yang ada

pada suatu benda untuk memuaskan

manusia. Sifat dari suatu benda yang

menyebabkan menarik minat

seseorang atau kelompok. Jadi nilai itu

pada hakekatnya adalah sifat atau

kualitas yang melekat pada suatu

objek. Sesuatu itu mengandung nilai,

artinya ada sifat atau kualitas yang

melekat pada sesuatu itu, misalnya;

bunga itu indah, perbuatan itu baik.

Indah dan baik adalah sifat atau

kualitas yang melekat pada bunga dan

perbuatan. Dengan demikian maka

nilai itu sebenarnya adalah suatu

kenyataan yang tersembunyi di balik

kenyataan-kenyataan lainnya. Adanya

nilai itu karena adanya kenyataan-

kenyataan lain sebagai pembawa nilai.

Terdapat berbagai macam teori

tentang nilai dan hal ini sangat

tergantung pada titik tolak dan sudut

pandangnya masing-masing dalam

menentukan pengertian nilai.

Kalangan materialis memandang

bahwa hakekat nilai yang tertinggi

adalah nilai material, sementara

kalangan hedonis berpandangan

bahwa nilai yang tertinggi adalah nilai

kenikmatan. Namun dari berbagai

macam pandangan tentang nilai dapat

dikelompokan pada dua macam sudut

pandang, yaitu bahwa sesuatu itu

bernilai karena berkaitan dengan

subjek pemberi nilai yaitu manusia.

Hal ini bersifat subjektif, namun juga

terdapat pandangan bahwa pada

hakekatnya sesuatu itu melekat pada

dirinya sendiri memang bernilai. Hal

ini merupakan pandangan dari paham

objektivisme.

Notonagoro merinci tentang

nilai ada yang bersifat material dan

nonmaterial. Dalam hubungan ini

manusia memiliki orientasi nilai yang

berbeda tergantung pada pandangan

hidup dan filsafat hidup masing-

masing. Ada yang mendasarkan pada

orientasi nilai material, namun ada

pula yang sebaliknya yaitu

berorientasi pada nilai yang

nonmaterial. Nilai material relatif

lebih mudah diukur menggunakan

panca indra maupun alat pengukur.

Tetapi nilai yang bersifat rohaniah

sulit diukur, tetapi dapat juga

dilakukan dengan hati nurani manusia

sebagai alat ukur yang dibantu oleh

cipta, rasa, dan karsa serta keyakinan

manusia .

Menurut Notonagoro bahwa

nilai-nilai Pancasila itu termasuk nilai

kerohanian, tetapi nilai-nilai

10

kerohanian yang mengakui nilai

material dan nilai vital. Dengan

demikian nilai-nilai Pancasila yang

tergolong nilai kerokhanian itu juga

mengandung nilai-nilai lain secara

lengkap dan harmonis seperti nilai

material, nilai vital, nilai kebenaran,

nilai keindahan atau estetis, nilai

kebaikan atau nilai moral, maupun

nilai kesucian yang secara keseluruhan

bersifat sistematik-hierarkhis, dimana

sila pertama yaitu ketuhanan Yang

Maha Esa menjadi basis dari semua

sila-sila Pancasila .

Secara aksiologis, bangsa

Indonesia merupakan pendukung

nilai-nilai Pancasila (subcriber of

values Pancasila). Bangsa Indonesia

yang berketuhanan, yang

berkemanusiaan, yang berpersatuan,

yang berkerakyatan dan yang

berkeadilan sosial.Sebagai pendukung

nilai, bangsa Indonesia itulah yang

menghargai, mengakui, menerima

Pancasila sebagai sesuatu yang

bernilai. Pengakuan, penghargaan,

dan penerimaan Pancasila sebagai

sesuatu yang bernilai itu akan tampak

menggejala dalam sikap, tingkah laku,

dan perbuatan bangsa Indonesia.

Kalau pengakuan, penerimaan atau

penghargaan itu telah menggejala

dalam sikap, tingkah laku dan

perbuatan menusia dan bangsa

Indonesia, maka bangsa Indonesia

dalam hal ini sekaligus adalah

pengembannya dalam sikap, tingkah

laku dan perbuatan manusia

Indonesia.

Dinamika dan Tantangan Pancasila

Sebagai Sistem Filsafat

Pancasila sebagai sistem filsafat

mengalami dinamika sebagai berikut.

Pada era pemerintahan Soekarno,

Pancasila sebagai sistem filsafat

dikenal dengan istilah Philosofische

Grondslag”. Gagasan tersebut

merupakan perenungan filosofis

Soekarno atas rencananya berdirinya

negara Indonesia merdeka. Ide

tersebut dimaksudkan sebagai dasar

kerohanian bagi penyelenggaraan

kehidupan bernegara. Ide tersebut

ternyata mendapat sambutan yang

positif dari berbagai kalangan,

terutama dalam sidang BPUPKI

pertama, persisnya pada 1 Juni 1945.

Namun, ide tentang Philosofische

Grondslag belum diuraikan secara

rinci, lebih merupakan adagium

politik untuk menarik perhatian

anggota sidang, dan bersifat teoritis.

Pada masa itu, Soekarno lebih

menekankan bahwa Pancasila

merupakan filsafat asli Indonesia yang

diangkat dari akulturasi budaya

bangsa Indonesia.

11

Pada era Soeharto, kedudukan

Pancasila sebagai sistem filsafat

berkembang ke arah yang lebih

praktis (dalam hal ini istilah yang

lebih tepat adalah weltanschauung).

Artinya, filsafat Pancasila tidak hanya

bertujuan mencari kebenaran dan

kebijaksanaan, tetapi juga digunakan

sebagai pedoman hidup sehari-hari.

Atas dasar inilah, Soeharto

mengembangkan sistem filsafat

Pancasila menjadi penataran P-

4. Pada era reformasi, Pancasila

sebagai sistem filsafat kurang

terdengar resonansinya. Namun,

Pancasila sebagai sistem filsafat

bergema dalam wacana akademik,

termasuk kritik dan renungan yang

dilontarkan oleh Habibie dalam pidato

1 Juni 2011. Habibie menyatakan

bahwa:

Pancasila seolah-olah

tenggelam dalam pusaran sejarah

masa lalu yang tidak lagi relevan

untuk disertakan dalam dialektika

reformasi. Pancasila seolah hilang

dari memori kolektif bangsa

Indonesia. Pancasila semakin jarang

diucapkan, dikutip, dan dibahas baik

dalam konteks kehidupan

ketatanegaraan, kebangsaan maupun

kemasyarakatan. Pancasila seperti

tersandar di sebuah lorong sunyi

justru di tengah denyut kehidupan

bangsa Indonesia yang semakin

hiruk-pikuk dengan demokrasi dan

kebebasan berpolitik” (Habibie,

2011: 1--2).

Tantangan Pancasila sebagai Sistem

Filsafat

Beberapa bentuk tantangan terhadap

Pancasila sebagai sistem filsafat muncul

dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:

Pertama, kapitalisme, yaitu aliran

yang meyakini bahwa kebebasan

individual pemilik modal untuk

mengembangkan usahanya dalam rangka

meraih keuntungan sebesar-besarnya

merupakan upaya untuk menyejahterakan

masyarakat. Salah satu bentuk tantangan

kapitalisme terhadap Pancasila sebagai

sistem filsafat ialah meletakkan kebebasan

individual secara berlebihan sehingga

dapat menimbulkan berbagai dampak

negatif, seperti monopoli, gaya hidup

konsumerisme, dan lain-lain.

Kedua, komunisme adalah sebuah

paham yang muncul sebagai reaksi atas

perkembangan kapitalisme sebagai produk

masyarakat liberal. Komunisme

merupakan aliran yang meyakini bahwa

kepemilikan modal dikuasai oleh negara

untuk kemakmuran rakyat secara merata.

Salah satu bentuk tantangan komunisme

terhadap Pancasila sebagai sistem filsafat

12

ialah dominasi negara yang berlebihan

sehingga dapat menghilangkan peran

rakyat dalam kehidupan bernegara.

Esensi dan Urgensi Pancasila Sebagai

Sistem Filsafat

a. Esensi (hakikat) Pancasila sebagai

Sistem Filsafat

Hakikat (esensi) pancasila

sebagai sistem filsafat terletak pada

hal-hal sebagai berikut.

Pertama; hakikat sila

ketuhanan terletak pada keyakinan

bangsa Indonesia bahwa Tuhan

sebagai prinsip utama dalam

kehidupan semua makhluk.

Artinya,setiap mahluk hidup,

termasuk warga negara harus memiliki

kesadaran yang otonom (kebebasan,

kemandirian) di satu pihak, dan

berkesadaran sebagai mahluk Tuhan

Yang Maha Esa yang akan dimintai

pertanggungjawaban atas semua

tindakan yang dilakukan.

Artinya,kebebasan selalu dihadapkan

pada tanggung jawab, dan tanggung

jawab tertinggi adalah kepada Sang

Pencipta.

Kedua; hakikat sila

kemanusiaan adalah manusia

monopluralis, yang terdiri atas3

monodualis, yaitu susunan kodrat

(jiwa, raga), sifat kodrat (makhluk

individu, sosial), kedudukan kodrat

(makhluk pribadi yang otonom dan

makhluk Tuhan).

Ketiga,hakikat sila persatuan

terkait dengan semangat kebangsaan.

Rasa kebangsaan terwujud dalam

bentuk cinta tanah air, yang dibedakan

ke dalam 3 jenis, yaitu tanah air real,

tanah air formal, dan tanah air mental.

Tanah air realadalah bumi tempat

orang dilahirkan dan dibesarkan,

bersukaadalah bumi tempat orang

dilahirkan dan dibesarkan,

bersuka,dan berduka, yang dialami

secara fisik sehari-hari.

Keempat,hakikat sila

kerakyatan terletak pada prinsip

musyawarah.Artinya,keputusan yang

diambil lebih didasarkan atas

semangat musyawarah untuk mufakat,

bukan membenarkan begitu saja

pendapat mayoritas tanpa peduli

pendapat minoritas.

Kelima, hakikat sila keadilan

terwujud dalam tiga aspek, yaitu

keadilan distributif, legal, dan

komutatif. Keadilan distributif adalah

keadilan bersifat membagi dari negara

kepada warga negara. Keadilan legal

adalah kewajiban warga negara

terhadap negara atau dinamakan

keadilan bertaat. Keadilan komutatif

adalah keadilan antara sesama warga

negara .

13

b. Urgensi Pancasila sebagai

Sistem Filsafat

Hal-hal penting yang sangat

urgen bagi pengembangan pancasila

sebagai sistem filsafat meliputi hal-

hal sebagai berikut :

Pertama,meletakkan

pancasila sebagai sistem filsafat

dapat memulihkan harga diri bangsa

Indonesia sebagai bangsa yang

merdeka dalam politik, yuridis, dan

juga merdeka dalam mengemukakan

ide-ide pemikirannya untuk

kemajuan bangsa, baik secara

materiil maupun spiritual.

Kedua,pancasila sebagai

sistem filsafat membangun alam

pemikiran yang berakar dari nilai-

nilai budaya bangsa Indonesia

sendirisehingga mampu dalam

menghadapi berbagai ideologi dunia.

Ketiga,pancasila sebagai

sistem filsafat dapat menjadi dasar

pijakan untuk menghadapi tantangan

globalisasi yang dapat melunturkan

semangat kebangsaan dan

melemahkan sendi-sendi

perekonomian yang berorientasi

pada kesejahteraan rakyat banyak.

Keempat,pancasila sebagai

sistem filsafat dapat menjadi way of

life sekaligus way of thinkingbangsa

Indonesia untuk menjaga

keseimbangan dan konsistensi antara

tindakan dan pemikiran. Bahaya

yang ditimbulkan kehidupan modern

dewasa ini adalah

ketidakseimbangan antara cara

bertindak dan cara berpikirsehingga

menimbulkan kerusakan lingkungan

dan mental dari suatu bangsa.

C. PENUTUP

1. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan diatas

dapat disimpulkan bahwa berfilsafat

adalah berpikir secara mendalam dan

sungguh-sungguh. Sedangkan

Pancasila sebagai sistem filsafat adalah

suatu kesatuan bagian-bagian yang

saling berhubungan, saling

bekerjasama antara sila yang satu

dengan sila yang lain untuk tujuan

tertentu dan secara keseluruhan

merupakan suatu kesatuan yang utuh

yang mempunyai beberapa inti sila,

nilai dan landasan yang mendasar.

2. SARAN

Dalam makalah ini penulis

berkeinginan memberikan saran

kepada pembaca agar ikut peduli

dalam mengetahui sejauh mana kita

mempelajari tentang filsafat, filsafat

pancasila, dan pancasila sebagai

sistem filsafat. Semoga dengan

makalah ini para pembaca dapat

menambah cakrawala ilmu

pengetahuan.

14

DAFTAR PUSTAKA

Darmodiharjo, Darji, 1996, Pokok-pokok

Filsafat Hukum, Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta.

Fukuyama, F. 1989, The End of History, dalam

National Interest, No. 16 (1989), dikutip dari

Modernity and Its Future, H. 48, Polity Press,

Cambridge.

Kaelan, 2005, Filsafat Pancasila sebagai

Filasfat Bangsa Negara Indonesia, Makalah

pada Kursus Calon Dosen Pendidikan

Kewarganegaraan, Jakarta.

Notonagoro, 1971, Pengertian Dasar bagi

Implementasi Pancasila untuk ABRI,

Departemen Pertahanan dan Keamanan,

Jakarta.

Poespowardoyo, Soeryanto, 1989, Filsafat

Pancasila, Gramedia, Jakarta.

Pranarka, A.W.M., 1985, Sejarah Pemikiran

tantang Pancasila, CSIS, Jakarta.

Suseno, Franz, Magnis, 1987, Etika Politik

: Prinsip-prinsip Moral Dasar Modern, PT

Gramedia, Jakarta.

Titus Harold, and Marilyn S., Smith, Richard

T. Nolan, 1984, Living Issues Philosophy,

Penerbit Bulan Bintang, Jakarta.

15

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA