Lihat Foto Show
KOMPAS.com - Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, masalah Irian Barat masih menjadi perebutan antara Indonesia dan Belanda. Pemerintah Indonesia menumpuh jalur diplomasi bilateral dan multilateral untuk menyelesaikan masalah sengketa wilayah Irian Barat dengan Belanda. Berikut penjelasannya Diplomasi BilateralDalam buku The Penguin Dictionary of International Relations (1998) karya Graham Evans dkk, Diplomasi Bilateral adalah pola diplomasi yang dilakukan oleh dua negara dalam hubungan internasional untuk menjembatani kepentingan nasional kedua negara. Berikut upaya diplomasi bilateral antara Indonesia dan Belanda untuk menyelesaikan sengketa Irian Barat :
Permasalahan sengketa Irian Barat menjadi agenda penting dalam KMB di Den Haag pada tahun 1949. Mohammad Hatta sebagai perwakilan Indonesia dalam KMB mengalami kesulitan dalam negosiasi sengketa Irian Barat dengan Belanda. Baca juga: Konferensi Meja Bundar: Latar Belakang, Tujuan, Hasil, dan Dampaknya Hal tersebut membuat Indonesia harus menerima keputusan untuk menunda penyelesaian sengketa Irian Barat. Permasalahan Irian Barat akan diselesaikan satu tahun setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda.
Perundingan sengketa Irian Barat antara Indonesia dan Belanda kembali dilakukan pada bulan Maret 1950 di Jakarta. Dalam perundingan kedua ini Belanda bersikukuh untuk menolak menyerahkan Irian Barat ke Indonesia sehingga perundingan menemui jalan buntu.
Dalam rangka melanjutkan perundingan di Jakarta, Indonesia dan Belanda menyelenggarakan konferensi khusus di Den Haag pada Desember 1950. Dalam jurnal Diplomasi Belanda dan Indonesia dalam Sengketa Irian Barat (1949-1950) : Sebuah Kajian Historis (2016) karya Siswanto, perundingan ini mengalami kegagalan karena Belanda menawarkan proposal yang menunjukan sikap yang tidak serius dalam masalah sengketa Irian Barat. Baca juga: Trikora: Pembebasan Irian Barat Lihat Foto WIKIMEDIA COMMONS/Information Ministry/Davidelit Suasana Konferensi Meja Bundar yang digelar di Den Haag, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia sebagai negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Tanggal 17 Agustus 1950, lima tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan, Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Diplomasi MultilateralSetalah diplomasi bilateral mengalami kegagalan, Indonesia berupaya untuk menyelesaikan masalah Irian Barat melalui diplomasi multilateral. Diplomasi multilateral adalah kegiatan diplomasi yang melibakan tiga negara atau lebih yang memiliki kepentingan sama. Berikut merupakan upaya diplomasi multilateral untuk menyelesaikan sengketa Irian Barat : Indonesia mengajukan permasalahan sengketa Irian Barat dalam sidang umum PBB tahun 1954. Dalam sidang tersebut Indonesia mengharapkan bantuan dari negara anggota PBB untuk membantu penyelesaian masalah Irian Barat, namun usulan tersebut tidak mendapatkan tanggapan yang berarti dalam forum tersebut. Baca juga: Dampak Konferensi Asia Afrika
Dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955, Soekarno meminta dukungan dari 29 negara peserta KAA dalam penyelesaian sengketa Irian Barat. Soekarno menyebutkan bahwa perebutan kembali Irian Barat adalah sebuah upaya untuk meruntuhkan penjajahan di Indonesia secara menyeluruh. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Baca berikutnya
Tulisan ini merupakan tulisan kedua dari Seri Model United Nations, yaitu serangkaian artikel mengenal kegiatan simulasi sidang Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang kini sedang populer di kalangan akademik muda, khususnya para pelajar dan mahasiswa. Tulisan ini disediakan secara cuma-cuma demi diseminasi ilmu pengetahuan. Jika Anda hendak mengutip sebagian dari tulisan ini, mohon melakukannya dengan kaidah akademik yang berlaku. “Diplomacy is to do and say the nastiest things in the nicest way.” – Isaac Goldberg Diplomasi mungkin merupakan salah satu kegiatan paling menarik di dunia, yang sudah berlangsung selama ribuan tahun, khususnya sejak konsep ‘negara’ muncul di peradaban manusia. Kini, peran diplomat sudah tidak terbantahkan lagi pentingnya. Begitu vitalnya peran para diplomat, reputasi sebuah negara bisa sangat dipertaruhkan di muka para diplomat ini. Kamus New Oxford American Dictionary memberikan definisi kata diplomacy sebagai berikut: (n) the profession, activity, or skill of managing international relations, typically by a country’s representatives abroad: an extensive round of diplomacy in the Middle East di mana kedua definisi di atas memuat hal yang sangat menarik: (a) bahwa definisi utamanya terlihat relatif simplistik untuk menjelaskan apa itu diplomacy, (b) bahwa definisi sekundernya memuat hal yang sangat realistis, yaitu bagaimana menghadapi seseorang dengan taktis dan efektif. Maka tulisan ini secara khusus disusun untuk secara singkat menjelaskan mengenai diplomasi, dan diplomasi multilateral, yaitu bentuk diplomasi yang terjadi antara banyak negara, semisal di Perserikatan Bangsa-bangsa. Diplomasi di masa laluSejarah diplomasi dapat dicari dari ribuan tahun yang lalu, di antaranya 5.000 tahun yang lalu, dari periode peradaban Mesopotamia yang menghiasi Sabit Subur (Fertile Crescent) di wilayah Timur Tengah. Sejak masa ini, peradaban besar dunia tersebut telah mengenal para pembawa pesan (messenger) yang mengirimkan pesan antar negara-kota (city states), khususnya pesan-pesan perang dan damai. Konsep messenger ini kemudian diadopsi oleh peradaban Yunani Kuno, yang menganggap bahwa para pembawa pesan ini dilindungi oleh para dewa, sehingga memberikan perlindungan khusus berupa larangan menyakiti — apalagi membunuh — para pembawa pesan ini. Inilah asal muasal pertama dari konsep yang kemudian kita kenal sebagai kekebalan diplomatik (diplomatic immunity). Peran diplomat kemudian disempurnakan di masa Romawi Kuno, ketika imperium Roma yang sangat luas menyusun kode-kode hukum tertulis yang menjadi dasar-dasar hukum modern kita di masa kini. Pengantar pesan ini berperan penting karena melalui merekalah diantarkan pesan perang dan damai, ajakan kerja sama dan tagihan upeti. Tidak jarang, utusan ini justru disakiti atau bahkan dibunuh, untuk menunjukkan arogansi salah satu negara tersebut. Menurut cerita, Mattathias, tokoh Yahudi yang melahirkan Dinasti Hasmonean (+ 167SM) membunuh utusan Raja Antiochus IV Epiphanes yang memintanya menyerahkan persembahan kepada para dewa (yang dianggap tindakan menista). Pembunuhan utusan Raja Antiochus IV Epiphanes ini kemudian mendirikan sebuah kerajaan baru di tanah Kanaan. Juga menurut cerita, Raja Kertanegara dari Singasari, sebuah kerajaan lokal di bagian timur Pulau Jawa, Indonesia, melukai utusan dari Khan yang Agung dari Mongolia ketika utusan tersebut membawa perintah bagi Singasari untuk menyerahkan diri kepada kekuasaan Mongol. Hal ini kemudian memicu penyerangan Mongolia terhadap wilayah Jawa (yang terlambat, karena ketika para pasukan tiba, Singasari sudah hancur). Maka peran pengantar pesan ini menjadi sangat penting, dan turut berfungsi untuk menjaga kehormatan si pengirimnya, sehingga melukai atau membunuh mereka tentu dianggap sebagai sebuah tindakan penghinaan. Dalam beberapa kesempatan, khususnya setelah dikenalnya konsep negara modern (yang antara lain ditandai dengan Traktat Wesphalia, 1648), diplomat bisa menjadi sangat penting dalam proses perjuangan revolusi sebuah negara. Seperti misalnya Amerika Serikat, yang saat kemerdekaannya di abad ke-18 memiliki seorang diplomat ulung bernama Benjamin Franklin (1706-1790), yang berhasil meyakinkan sejumlah negara Eropa untuk memberikan pengakuan diplomatiknya kepada Amerika Serikat yang baru merdeka. Benjamin Franklin (1706-1790) merupakan salah satu diplomat paling ulung yang pernah dimiliki Amerika Serikat. Dalam gambar ini ia diabadikan dalam uang kertas Dolar Amerika pecahan $100. (Wikipedia)Merapikan sistemPerlakukan khusus yang secara kebiasaan (customary) diberikan kepada para utusan negara ini tidak memiliki standar pada awalnya, karena setiap negara memiliki standar hukum yang berbeda, dan antar negara tidak ada suatu upaya persamaan sistem yang ada. Lama setelah itu, khususnya setelah Perang Dunia II berakhir dan Perserikatan Bangsa-bangsa muncul sebagai upaya untuk mempersatukan persepsi negara-negara di dunia, muncul upaya untuk persamaan suatu standar perlakuan terhadap para pejabat diplomatik di dunia, yang dilakukan melalui Konvensi Vienna tentang Hubungan Diplomatik (Vienna Convention on Diplomatic Relations, 1961). Inilah untuk pertama kalinya dalam sejarah negara-negara di dunia menyepakati aturan-aturan dan standar-standar bagaimana melakukan hubungan diplomatik dan bagaimana memperlakukan para pejabat yang terdapat di dalamnya.
Sejumlah poin menarik dalam Konvensi Vienna tentang Hubungan Diplomatik (1961) Melalui Konvensi ini, sejumlah prinsip-prinsip dalam hubungan diplomatik yang sebetulnya banyak yang berlaku dari masa lalu diformalisasikan dan diaplikasikan bagi seluruh negara, semisal hak imunitas. Namun, munculnya Konvensi ini tidak semerta-merta menghilangkan masalah dalam hubungan diplomatik antar negara. Salah satu kasus terpenting di abad ke-20 dalam hal hubungan diplomatik adalah kasus yang dikenal sebagai Krisis Sandera Iran (Iran Hostage Crisis) yang terjadi selama 444 hari, antara November 1979 hingga Januari 1981. Krisis ini merupakan ketegangan hubungan diplomatik antara Iran dan Amerika Serikat, ketika sekelompok pemuda Iran menyerbu Kedutaan Besar Amerika Serikat di Tehran. Dalam krisis ini, sekitar 52 pejabat diplomatik Amerika Serikat ditahan selama 444 hari tersebut. Kini, para diplomat tidak hanya berfungsi untuk menjembatani hubungan antar kedua negara, tapi juga hubungan antara negara dengan organisasi-organisasi internasional, atau bahkan antar organisasi internasional. Maka peran diplomasi tidak lagi hanya terpusat pada diplomasi bilateral (dua negara/dua pihak), melainkan telah beranjak pada tahap multilateral (banyak negara/banyak pihak). Demonstrasi yang dilakukan di Amerika Serikat sebagai respons terhadap krisis sandera Iran. Tulisan yang diangkat mengatakan, “Usir semua orang Iran!” (Wikipedia)Munculnya diplomasi multilateral Diplomasi multilateral muncul sebagai sarana bagi negara-negara di dunia untuk bertindak bersama-sama menyelesaikan sebuah masalah bersama. Diplomasi multilateral memang bukanlah sesuatu yang baru, melainkan sudah muncul sekitar kira-kira abad ke-19. Munculnya Liga Bangsa-bangsa di awal abad ke-20 juga menandai upaya membangkitkan diplomasi multilateral sebagai wujud pencegahan terjadinya konflik bereskalasi yang sama, meskipun pada akhirnya bukan hanya negara-negara ini gagal mencapai kesepakatan tersebut satu persatu anggotanya justru mengundurkan diri karena alasan yang sangat pragmatis. Perserikatan Bangsa-bangsa yang lahir pada tahun 1945 menjadi contoh terbaik diplomasi multilateral ini, yaitu ketika negara-negara di dunia akhirnya berhasil mencapai titik temu mengenai formasi organisasi internasional yang bertujuan menjaga perdamaian dunia ini. Munculnya Majelis Umum PBB sebagai the true global parliament juga menjadi semangat bagi dunia untuk mencari kesepakatan bersama. Formalisasi diplomasi (dan diplomasi multilateral) di abad ke-20 ini turut didorong oleh kompleksitas hubungan internasional, yang kini tidak hanya merupakan hubungan politik dan keamanan saja, melainkan sudah bergerak kepada bidang-bidang lain seperti ekonomi, sosial kebudayaan, dan lingkungan. Maka apa yang bermula dari politik sebagai sarana mewujudkan eksistensi di forum internasional, kini menjadi wadah besar bersama untuk menyelesaikan masalah-masalah non-politis. Delegasi Republik Rakyat Cina menggunakan hak vetonya dalam persidangan Dewan Keamanan PBBMenjalankan diplomasi multilateralTugas diplomasi multilateral di abad ke-21 menjadi semakin kompleks, dengan beragamnya isu dan tantangan yang dihadapi dunia, dan bagaimana seluruh tantangan tersebut sebetulnya saling terkait. Mengibaratkannya seperti sarang laba-laba pun rasanya tidak cukup menggambarkan kompleksitasnya. Maka, peran diplomat untuk memahami situasi dunia secara luas dan mendalam merupakan hal yang sangat wajib dilakukan. Diplomat-diplomat ini memiliki tanggung jawab yang sangat luar biasa di masa sekarang. Dari fenomena-fenomena dunia yang dapat kita amati saat ini, kita dapat menyimpulkan sejumlah tugas esensial yang harus dilakukan oleh para diplomat ini:
Tindak diplomasi multilateral sebetulnya menjadi semakin luar biasa jika kita turut melihat dua mazhab penting dalam kajian Hubungan Internasional: bahwa para diplomat ini perlu mempertahankan kepentingan negaranya sendiri (mazhab realis) sementara di sisi lain harus menciptakan hubungan baik dan konstruktif antar negara (mazhab liberal). Meskipun hal ini tidak terlalu teoritis, harus melakukan dua hal kontradiktif tersebut dalam satu saat yang sama merupakan salah satu tantangan tersendiri bagi para diplomat. Diplomat bagi PBBSetiap negara anggota PBB memiliki misi diplomatik untuk PBB yang dikenal sebagai Perwakilan Tetap (Permanent Mission to the United Nations). Para perwakilan ini bertindak sebagai duta terhadap sebuah organisasi internasional, yang sekaligus bertindak sebagai diplomat-diplomat untuk forum multilateral. Selama bertugas, tidak hanya menjalin hubungan dengan PBB sebagai organisasi internasional, para diplomat ini diwajibkan memegang teguh tugas dan mandatnya untuk melakukan komunikasi dengan negara lain dan menjalankan tugas mereka sebagai perwakilan dari negara mereka. Para diplomat di PBB ini memiliki tugas yang sangat penting, untuk menyeimbangkan kepentingan negara mereka dan menyeleaskan pandangan negara mereka dengan dunia internasional (dengan negara-negara lain). Seringkali, untuk menciptakan solusi demi dunia yang lebih baik, negara-negara ini harus menyerahkan kepentingan negara mereka, meski sering kali sejumlah negara yang terbilang kuat tidak mau menyerahkan kepentingan mereka — atau justru memaksa negara lain mengikuti kepentingan mereka. Diplomat-diplomat di PBB wajib melalui sejumlah tahap untuk mencapai suatu keputusan yang baik dari setiap konferensi yang mereka ikuti. Gambaran sejumlah tahap ini adalah:
Memosisikan diri sebagai diplomat di Model United NationsKetika Anda berpartisipasi di Model United Nations, Anda berperan sebagai diplomat suatu negara. Maka, jangan heran jika rekan-rekan peserta tidak memanggil Anda dengan nama, melainkan dengan nama “United States” atau “France” atau “Tuvalu.” Hukum pertama dan yang utama ketika Anda berperan menjadi diplomat adalah bahwa Anda wajib mematuhi kebijakan luar negeri yang diambil oleh negara yang Anda wakili, meskipun hal tersebut berlawanan dengan hati nurani Anda. Anda diharamkan untuk mengutarakan pendapat pribadi Anda, karena kebijakan luar negeri dari negara yang Anda wakili ditentukan oleh pemerintah Anda (semisal melalui Kementerian Luar Negeri). Anda dapat melihat contoh berikut:
Dari contoh di atas, meskipun Anda secara pribadi menolak hukuman mati karena alasan melanggar hak asasi manusia, ketika Anda mewakili Amerika Serikat, Anda harus bisa menjelaskan bahwa kebijakan Amerika Serikat menghalalkan hukuman mati di tingkat negara bagian. Kedewasaan Anda dalam berdiplomasi di forum Model United Nations turut dituntut untuk menghindarkan emosi Anda mempengaruhi diri Anda selama melalukan negosiasi dan diskusi. Hal ini turut penting bagi Anda untuk menjelaskan sebaik-baiknya seluruh poin Anda dan menghindari terjadinya kesalahpahaman. Komunikasi lisan juga menjadi sangat penting. Para diplomat wajib membangun rasa percaya (trust) dengan rekan diplomat mereka, yang bisa dicapai baik melalui komunikasi formal dan komunikasi informal. Sementara komunikasi formal merupakan suatu formalitas yang harus dilakukan melalui forum konferensi (di dalam ruang konferensi), komunikasi informal dapat dilakukan di luar ruang sidang dengan suasana yang relatif lebih bebas. Kemampuan anda dalam berkomunikasi ini menjadi sangat esensial, karena diplomat tentu merupakan komunikator yang baik, yang wajib memiliki keahlian untuk menyampaikan ide dan gagasannya dengan baik. Komunikasi lisan juga harus ditemani oleh komunikasi tertulis yang baik. Dengan demikian, diplomat harus menguasai kemampuan untuk menulis dokumen-dokumen resmi. Jika Anda berpartisipasi dalam salah satu Model United Nations, penulisan resmi (academic writing, formal written language) adalah wajib untuk penulisan sejumlah dokumen, terutama Draft Resolution. |