Mengapa pembukaan UUD 1945 tabu untuk dilakukan perubahan jelaskan argumen anda


Penulis: Dero Iqbal Mahendra - 18 August 2019, 14:10 WIB

WAKIL Presiden Jusuf Kalla mengungkapkan dalam sejarah bangsa Indonesia, republik ini sudah empat kali mengalami pergantian konstitusi. Meski begitu, dari sekian kali pergantian tersebut, pembukaan atau mukadimah UUD 1945 tetap sama.

"Kenapa mukadimahnya tidak ada yang berubah? Karena mukadimahnya itu dasar dan tujuan. Itu adalah dasar negara dan tujuan kita bernegara. Dasarnya Pancasila, tujuannya negara adil dan makmur melalui proses mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan ikut serta dalam perdamaian dunia. Itu tidak berubah di bangsa kita ini, tidak ada yang berani dan tidak perlu diubah," tutur Kalla saat membuka perayaan hari konstitusi di MPR Jakarta, Minggu (18/8).

Baca juga: KPK Geledah 15 Lokasi Terkait Kasus Impor Bawang Putih

Kalla menerangkan, satu satunya yang berubah adalah bagian tubuh dari konstitusi itu sendiri, yakni pasal dan ayat-ayatnya. Ia menerangkan pada UUD 45 seluruh pasalnya hanya 37 pasal, namun sekarang di UUD amendemen bila dipasalkan semua bisa mencapai 180 pasal, meski angkanya tetap di 37 pasal.

Pasal-pasal tersebut berubah karena berisikan tentang struktur negara, struktur bangsa, sistem bangsa. Menurut Kalla, dalam konstitusi pasal-pasal tersebut memang dapat berubah karena menyesuaikan dengan kondisi yang ada.

Ia mencontohkan, ketika masa RIS, mekanisme negara menjadi sistem federal dan ketika reformasi UUD 45 di amendemen dan menambah berbagai aturan mulai dari sistem keuangan, sistem presiden hingga otonomi daerah.

"Jadi pasal itu adalah sistem prosedur pemerintahan kita. Itu dinamis, sesuai dengan kondisi yang ada. Oleh sebab itu, living constitution (konstitusi yang hidup), ke depan pun bisa berubah, selama dasar dan tujuannya tidak berubah," tutur Kalla.

Kalla pun menerangkan, mengubah konstitusi bukan suatu hal yang tabu bagi sebuah bangsa, sebab mereka harus menyesuaikan dengan dinamika dan kondisi situasi yang ada. Sejumlah negara pun seperti India, Thailand, bahkan Amerika Serikat pun telah beberapa kali mengubah konstitusinya untuk menyesuaikan dengan situasi yang ada

"Pondasi dasar pancasila, NKRI, dan juga tujuan bangsa itu tidak mungkin kita ubah. Karena di sana lah dasar kita bersatu, tetapi prosedur bisa berubah," pungkasnya. (OL-6)

Jakarta -

Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) pada 18 Agustus 2021, yang merupakan Hari Konstitusi, kembali menyinggung ihwal amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Bamsoet menyebut UUD 1945 bukan kitab suci sehingga tidak boleh dianggap tabu jika ada kehendak untuk dilakukan penyempurnaan melalui proses amandemen. Amandemen yang akan dilakukan untuk menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).

PPHN diperlukan untuk mengarahkan bangsa ke depan agar tidak terus berubah haluan setiap terjadi pergantian kepemimpinan, begitu alasan pokok yang disampaikan oleh Bamsoet. Perihal amandemen, Bamsoet tidak hanya menyampaikan pada saat Hari Konstitusi. Dalam Sidang Tahunan MPR 16 Agutus 2021, yang dihadiri Presiden Joko Widodo, Bamsoet juga membicarakan hal yang sama terkait dengan kehadiran PPHN.


Wacana memasukkan PPHN menjadi menarik bagi banyak pihak. Menariknya karena ada dugaan dan kekhawatiran memasukkan PPHN hanya menjadi pintu masuk untuk mengubah pasal-pasal krusial, seperti pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu, tulisan ini akan mengurai dan menganalis terkait dengan perubahan UUD 1945, alasan perubahan dan kemungkinannya disetujuinya perubahan UUD 1945.


Perubahan UUD 1945

Jika memang terjadi amandemen UUD 1945 dalam waktu dekat oleh MPR hasil Pemilu 2019, maka mungkin inilah proses amandemen yang dimaksud Andi Matalatta, salah satu pelaku amandemen pada 1999 -2002, sebagai perubahan yang direncanakan secara konstitusional. Perubahan yang didesain karena didesain dalam suasana kehidupan demokrasi yang tenang-tenang saja.

Tentu menjadi sangat berbeda jika dibandingkan dengan amandemen sebelumnya karena adanya arus reformasi yang menuntut perubahan UUD 1945 untuk perbaikan sistem ketatanegaraan dan perwujudan kehidupan negara yang lebih demokratis. Karena disadari adanya penyimpangan dalam praktik ketatanegaraan sebelum reformasi.


Sedikit mengingat kembali pada masa itu, MPR hasil Pemilu 1999 sebelum melakukan amandemen menyepakati arah perubahan yang dilakukan, yaitu; pertama, tidak mengubah Pembukaan UUD 1945; kedua, mempertahankan NKRI; ketiga, mempertahankan sistem pemerintahan presidensial; keempat, penjelasan UUD 1945 ditiadakan, sedangkan hal-hal yang bersifat normatif dalam penjelasan dimasukkan dalam pasal; dan kelima, perubahan dilakukan dengan cara addendum.


Sepanjang pengetahuan saya, belum pernah ada kesepakatan atau ketetapan MPR yang serupa mengenai arah amandemen. Hal yang kita sering dengar sebatas perlunya ada semacam haluan negara atau berbagai hasil kajian MPR lainnya mengenai perubahan UUD 1945. Tapi apapun itu, perubahan UUD 1945 memiliki prosedur.


Mengaitkan apa yang disampaikan Bamsoet mengenai upaya menghadirkan PPHN atau dugaan perubahan pasal pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden dengan prosedur perubahan UUD 1945, sebetulnya masih jauh dari realisasi upaya amandemen itu sendiri. Meskipun semuanya bisa saja berubah dengan cepat tergantung dari kesepakatan politik yang dicapai dan terbangun.


Menghadirkan PPHN sebagai sebuah diskursus ketatanegaraan dan menunjukkan eksistensi MPR, Bamsoet bisa dikatakan telah berhasil. Namun menjadikan wacana tersebut sebagai sebuah usul perubahan, hal tersebut sampai saat ini belum berhasil. Karena kita tahu sendiri sidang MPR baru dilakukan untuk pelantikan, mengambil sumpah jabatan Presiden/Wakil Presiden dan pidato kenegaraan Presiden di MPR. Belum pernah ada agenda sidang MPR untuk membahas usul perubahan.


Sesungguhnya perubahan UUD 1945 telah diatur prosedurnya. UUD 1945 memang tidak imun dengan perubahan karena memang pembentuknya mendesain perubahan UUD 1945 sedemikian rupa agar dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Bahkan jika kita melacak dinamika perdebatan saat pasal perubahan UUD 1945 dibahas, mayoritas munginkan perubahan tidak harus terlalu dipersulit agar bisa menyesuaikan perubahan zaman dan tidak terlalu mudah agar tidak muncul anggapan UUD 1945 mudah diubah seperti mengubah undang-undang. Jika perubahan dilakukan dengan mudah, hal tersebut akan dapat berpengaruh pada stabilitas pemerintahan.


Oleh karena itu, sesuai dengan Pasal 37 ayat (1) UUD 1945, usul perubahan dapat diagendakan dalam sidang MPR apabila diajukan oleh 1/3 dari jumlah anggota MPR. Jumlah anggota MPR sendiri terdiri atas 575 anggota DPR)dan 136 anggota DPD. Sehingga total jumlah anggota MPR secara keseluruhan adalah sebanyak 711. Jika ketentuannya adalah 1/3 dari 711 anggota MPR, maka harus terdapat 237 anggota MPR yang mengusulkan.

Sesuai dengan Pasal 37 ayat (2) UUD 1945, usul perubahan diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya. Jadi untuk mengubah UUD 1945 selain ada persyaratan yang bersifat kuantitatif, terdapat juga persyaratan yang sifatnya kualitatif. Andi Mattalatta menyebut kejelasan bagian yang akan diubah sebagai syarat yang bersifat kualitatif tadi.

Jika saat ini banyak praduga dan spekulasi berkembang terkait dengan amandemen UUD 1945, hal tersebut beralasan karena usul perubahan yang sifatnya tertulis belum ada/belum tersosialisasikan, pasal yang diubah/ditambahkan belum ada, dan begitu juga alasan-alasannya yang masih bersifat satu arah dari MPR.


Prosedur selanjutnya setelah melalui tahapan pengusulan, maka pengubahannya harus melalui sidang MPR yang dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 anggota MPR atau sebanyak 474 anggota MPR. Pengambilan putusan untuk mengubahnya sendiri dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR atau sebanyak 357 anggota MPR.

Mengenai terpenuhinya syarat kuantitatif tadi, dengan asumsi DPD solid dan fraksi masing-masing partai solid (termasuk partai koalisi Jokowi), maka ada beberapa simulasi dan skenario besar yang mungkin terjadi dan akan membuat proses amandemen berjalan "mulus", sebagai berikut; pertama, anggota MPR dari DPR dapat melakukan amandemen UUD 1945 tanpa kehadiran DPD. Jumlah anggota MPR dari DPR memenuhi syarat kuorum untuk pengusulan, pengubahan dan persetujuan.

Kedua, anggota MPR dari fraksi pendukung pemerintahan Jokowi yang jumlahnya 427 anggota memenuhi syarat pengusulan dan memberi persetujuan. Namun jumlahnya belum memenuhi syarat untuk kuorum sebanyak 474 anggota MPR. Artinya, kekurangan tersebut harus ditutupi anggota MPR dari DPD atau dari fraksi di luar pendukung pemerintahan, seperti dari fraksi Demokrat, PAN atau PKS.


Ketiga, fraksi partai koalisi pendukung Jokowi sebanyak 427 anggota MPR ditambah dukungan solid anggota MPR dari DPD sebanyak 136 anggota. Gabungan dua kelompok besar koalisi Jokowi ditambah DPD akan memiliki kekuatan 563 anggota MPR yang secara kuantitatif mencukupi dan memenuhi syarat untuk mengusulkan, memutus dilakukannya perubahan dan memberikan persetujuan atas perubahan. Jika skenario besar tersebut tidak mampu dijahit, proses amandemen mustahil untuk dilaksanakan.


Pemain Kunci


Perubahan UUD 1945 memang menjadi kewenangan MPR dan tidak terkait dengan kekuasaan Jokowi selaku Presiden. Meskipun demikian, Jokowi tetaplah menjadi pemain kunci selain pimpinan partai yang memiliki kursi di MPR.

Jokowi menjadi kunci karena inheren di dalam dirinya kekuatan untuk memadukan dan mensolidkan dukungan partai pendukungnya di MPR untuk dilakukan amandemen. Namun tentu kembali pada pertanyaan apa yang menjadi kepentingan politik Jokowi sehingga harus ikut mengegolkan amandemen. Sehingga di situlah mungkin titik persinggungan amandemen dengan praduga perubahan masa jabatan Presidan dan Wakil Presiden.

Jadi kesimpulan saya, jika hanya sebatas memasukkan PPHN dalam UUD 1945, amandemen pasti tidak akan terjadi.


Terakhir untuk kita semua, UUD 1945 memang bukan sebagai kitab suci yang tidak dapat diubah. Tetapi juga harus diingat bahwa konstitusi juga bukan properti pribadi yang bisa diubah sesuai selera sendiri tanpa keikutsertaan rakyat. Karena UUD 1945 sama dengan konstitusi lainnya, seperti disampaikan oleh Cheryl Saunders, ahli tata negara Melbourne University bahwa a constitution is more than a social contract. It is rather an expression of the general will of nation. It is a reflection of its history, fears, concerns, aspiration and indeed, the soul of the nation.


Ahmad Irawan advokat/kurator/praktisi kukum di AI & Associates

(mmu/mmu)