Senin , 25 Feb 2013, 01:29 WIB Republika/Aditya Pradana Putra Jual beli di sebuah pasar (ilustrasi). Red: Damanhuri Zuhri REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nashih Nashrullah Di dunia bisnis, persaingan antarpengusaha atau faktor melemahnya perekonomian terkadang berimbas pada ketidakstabilan harga barang ataupun jasa. Di saat tertentu bahkan, sejumlah oknum memanfaatkan kondisi tersebut untuk meraup keuntungan pribadi dengan menaikkan harga ataupun jasa. Otoritas sejumlah negara, memutuskan turun tangan dan mengintervensi mengatasi persoalan itu. Campur tangan tersebut diwujudkan melalui kebijakan pengendalian harga (price control). Yang dimaksud dengan kebijakan ini ialah ketentuan yang ditetapkan pemerintah mengenai penetapan harga tertinggi suatu barang atau jasa untuk mencegah kenaikan harga barang atau jasa tersebut.Yang jadi persoalan menurut Prof Husein Syahatah dalam makalahnya yang berjudul Musykilat At-Tawazun Baina Al-As’ar wa Al-Ujur Min Mandhur al-Islami, ialah soal legalitas dan keabsahan pengendalian tersebut. Pasalnya, jual beli berdasarkan prinsip Islam, harus dilandasi oleh faktor kerelaan dan suka sama suka taradhi antar pedagang dan pembeli. Ini sesuai dengan ayat ke 29 surah an-Nisa’. “Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. “ Di satu sisi, penetapan harga tersebut pada dasarnya adalah hak penjual. Kesepakatan antarkedua belah pihak akan tercapai lewat proses saling tawar menawar. Berangkat dari fakta ini, kata Guru Besar Syariah Islam Universitas Al-Azhar Mesir itu, para ulama berbeda pendapat. Istilah yang muncul di kajian fikih klasik terkait penetapan harga itu ialah tahjir al as’ar. Jika dalam kondisi perekonomian yang normal, maka para ulama sepakat hukum tahjir tersebut adalah haram, pemerintah tidak berhak memberlakukannya. Perbedaan pandangan muncul, bila terjadi monopoli oleh sejumlah kalangan pedagang atau penyedia jasa dan melonjaknya harga di pasaran. Opsi yang pertama menegaskan bahwa hukum kebijakan seperti ini haram secara mutlak. Pendapat ini banyak terpakai di kalangan Mazhab Syafii dan Zhahiri. Kelompok ini mendasari pendapat mereka dengan sejumlah hadis. Di antaranya hadis riwayat Anas bin Malik yang dinukil oleh Imam Tirmidzi. Hadis itu menegaskan bahwa pemerintah tidak berhak menetapkan harga. Hadis ini diperkuat dengan riwayat Abu Hurairah yang dikutip oleh Imam al-Baihaqi. Rasulullah SAW menolak permintaan sahabat untuk menetapkan harga. Alasannya, agar tak terjadi kerugian di salah satu pihak. Mereka juga beralasan, transaksi jual beli itu pada hakikatnya mewujudkan kepentingan dan maslahat kedua belah pihak, tanpa ada yang dirugikan. Keterlibatan pemerintah dalam penetapan harga, dinilai akan condong dan berat ke pihak tertentu. Ini tidak bisa dibenarkan.Kelompok yang kedua menyatakan hukum price control, legal dan boleh diberlakukan oleh pemerintah, bahkan dalam kondisi tertentu bisa menjadi wajib. Opsi ini merupakan pandangan yang dipilih oleh ulama Mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Menurut mereka, pengendalian harga yang ditempuh pemerintah adalah kebijakan tepat yang mesti diambil. Ini misalnya ketika terjadi inflasi dan ketidakstabilan harga. Bila kondisi ini dibiarkan tanpa tindakan apapun dari otoritas yang berwenang, justru akan menimbulkan goncangan ekonomi dan kerugian publik. Ketentuan ini sesuai dengan kaidah fikih, bahwa bila suatu perkara tidak sempurnah kecuali menempuh sebuah langkah, maka wajib hukumnya. (ma la yatimmu al wajib illa bihi fa huwa al wajib). Kubu ini juga mengemukakan, hadis-hadis yang dipergunakan kalangan yang mengharamkan intervensi pemerintah dalam pengendalian harga secara tekstual tidak melarangnya.Justru malah mengisyaratkan boleh dilakukan untuk menghilangkan mudarat. Ini akibat ulah para oknum yang menopoli harga dan menimbun kebutuhan pokok demi keuntungan pribadi. n
Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ... Apa yang dimaksud dengan perubahan penalaran ? 1.Amatilah kegiatan ekonomi di sekitar tempat tinggal kalian? 2.catatlah kegiatan ekonomi yang kalian temui di lingkungan kalian? dibawah ini yang merupakan bagian dari bank persero adalah ...A. Bank Central AsiaB. Bank DkiC. Bank Rakyat IndonesiaD. Bank CIMBE. Bank Perkreditan r … analisis lah perkembangan covid pada tahun 2021 pada bulan januari hingga maret dan tahun 2022 pada bulan januari hingga maret,tolong dibantu memasuki pekan pertama Ramadan harga beberapa bahan kebutuhan di pasaran mulai merangkak naik seperti harga pertama kenaikan pertama tersebut membuat … 18. Di ketahui data sebagai berikut: Rp. 7.900 dan 0,83 Rp. 7.800 dan 0,83 Hitunglah: BEP unit/produksi dan BEP harga Laba yang diinginkan 20% dari HP … sebutkan prodak pasar modal 7. Justin merupakan staff marketing di suatu perusahaan terkenal dengan lulusan S1 Manajemen. Sejak pertama kali bekerja beliau merupakan pegawai yang … Berikut ini yang bukan termasuk prinsip usaha bank adalah prinsip ..A. Kehati-hatian B. Kepercayaan C. Kerahasiaan D. Tujuan kemakmuran E. Mengenal na … KERJAKAN SOAL BERIKUT DENGAN CARA1. P1= 15.000P2 = 12.000QD1 = 10QD2= 15HITUNGLAH KOEFISIEN ELASTISITAS PERMINTAANNYA?2.P1= 18.000P2= 20.000QD1 = 20QD …
Ilustrasi - MI/Atet Dwi Pramadia medcom.id, Jakarta: Pemerintah bisa campur tangan dalam penyesuaian harga bahan pokok di pasar, terkait dengan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang akan terjadi. Hal ini dikarenakan, pemerintah dapat membuat regulasi untuk mengatur mekanisme pasar tersebut. "Pemerintah kan bisa memuat regulasi, kalo pemerintah tidak bisa, ya pemerintah gagal," kata pengamat ekonomi, Enny Sri Hartati saat diskusi di acara Bincang Pagi Metro TV, Sabtu (8/11/2014). Menurut Enny, kebijakan penaikan harga BBM ini dapat dikatakan sebagai ibarat makan buah simalakama. Jika subsidi untuk harga BBM besar, maka alokasi subsidi anggaran bagi masyarakat miskin akan kecil. "Justru simalakama ini harus dicarikan solusi terbaik," imbuh Enny. Pencabutan subsidi BBM ini juga menuai masalah, karena sampai saat ini anggraannya belum dapat dipastikan untuk memberikan kompensasi dalam program tersebut. Selain itu, di APBN tahun ini juga belum mengatur maslaah pengalihan subsidi ke sektor yang produktif. Jadi, implementasi 'kartu sakti' Presiden Joko Widodo juga akan sulit diimplementasikan. "Pemerintahan kemarin juga ada program seperti ini, tapi tidak tepat sasaran," imbuh Enny. Editor : Githa Farahdina |