Mengapa toleransi tidak diperbolehkan dalam persoalan ibadah

Pembaca yang dirahmati Allah, manusia menurut hakikat penciptaannya memiliki dua tugas utama, yaitu sebagai Abdullah (Q.S. adz-Dzariyat [51]: 56), yang bertugas sebagai hamba Allah yang mengabdi kepada-Nya, dan sebagai khalifah (Q.S. al-Baqarah [2]: 30), yaitu sebagai pemimpin dimuka bumi.

Terdapat aspek vertical dan horizontal dalam mengemban tugas tersebut. Secara vertikal yaitu hubungan terhadap Allah l, dan horizontal ialah hubungan antar individu dan masyarakat sosial.

Dalam aspek hubungan horizontal itulah manusia sesuai dengan fitrahnya disebut sebagai makhluk sosial. Makhluk yang cenderung hidup berkelompok dan memerlukan bantuan orang lain. Interaksi sosial, saling menghargai, saling menerima perbedaan seharusnya sudah tertanam pada diri manusia sesuai dengan kodrat asal penciptaannya.

Indonesia adalah Negara yang memiliki beragam suku bangsa. Data menurut BPS pada tahun 2010 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki 1340 suku bangsa. Agama di Indonesia  pun beragam, agama yang diakui ada 6, itu belum termasuk agama-agama kecil yang terdapat di pelosok negeri, dan juga masih banyak keyakinan-keyakinan luhur yang masih dianut seluruh penjuru Negara ini.

Tentu fenomena semacam ini memang sudah menjadi keniscayaan dari sang Maha Pencipta, Allah berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. al-Hujurât [49]: 13)

Allah l menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, selaku umat Islam tentu sudah menjadi kewajiban bagi kita untuk mengakui dan memelihara keberagaman tersebut. Maka dari itu sikap toleransi juga sebuah keniscayaan bagi umat Islam, karna dari kemajemukan itu kita bisa saling mengenal dan mengambil pelajaran.

Indonesia, yang dengan Pancasila-nya sudah berhasil menyatukan kemajemukan suku bangsa dan agama untuk hidup rukun dalam suatu Negara. Tentu gagasan pancasila juga bukan berarti menghilangkan sama sekali unsur agama di dalamnya, karna sudah jelas pada sila pertama pada pancasila ialah Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini membuktikan bahwa sikap penerimaan terhadap berbagai suku dan agama harus dilandaskan dengan semangat pengabdian kepada Tuhan yang Maha Esa.

Toleransi secara umum berarti adalah suatu sikap saling menghormati dan menghargai antar kelompok atau antar individu dalam masyarakat. Dari pengertian ini tidak ada masalah, bahkan ini menjadi semangat yang harus kita jaga, dan semangat inilah yang sudah menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak kemerdekaan nya pada tahun 1945.

Namun timbul sebuah permasalahan baru, toleransi bukan lagi dijadikan semangat dalam menjaga kerukunan kehidupan bernegara, tetapi sudah digunakan sebagai alat untuk melemahkan kekuatan aqidah, khususnya menyerang umat Islam Indonesia.

Indonesia adalah Negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, dan sudah terbukti dalam catatan sejarah umat Islam memiliki andil besar dalam merebut kemerdekaan Indonesia dari tangan para penjajah. Namun beberapa tahun ini muncul sebuah gerakan yang berkamuflase di dalam semboyan toleransi yang justru bertujuan untuk menghancurkan umat Islam.

Islam sudah di propagandakan sebagai penghancur toleransi di negeri ini, Islam sudah digambarkan sebagai golongan ekstrimis yang anti toleransi, Islam sudah dianggap sebagai agama yang memiliki fanatisme tinggi terhadap agama,sehingga tidak sesuai dengan paham kebhinekaan di negeri ini.

Tentu propaganda semacam ini selain memancing respon dari umat Islam, secara tidak sadar secara perlahan akan merubah mindset seluruh masyarakat umum terhadap Islam. Bisa kita lihat di berbagai media cetak maupun digital, mayoritas konten beritanya menyoroti tentang penistaan agama Islam. Tentu kita sebagai umat Islam tidak bisa menganggap remeh fenomena ini.

Allah l berfirman, “Katakanlah: “Hai orang-orang yang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku”.(Q.S. al-Kâfirûn [109]: 1-6)

Dalam surat al-Kâfirûn diceritakan bahwa asbabun nuzul surat tersebut ialah ketika kaum kafir Quraisy mencoba mengadakan kompromi kepada Rasulullah `, dimana mereka menawarkan bahwa jika Rasulullah mau memuja tuhan mereka, maka mereka pun akan memuja tuhan sebagaimana konsep Islam.

Kejadian ini sama persis dengan apa yang terjadi pada saat ini, namun perbedaannya adalah dengan cara yang ditutupi dengan istilah toleransi. Misalnya yang baru terjadi ada salah satu perguruan tinggi Islam ikut serta pada kegiatan agama non-Islam, apalagi turut serta dalam acara peribadatan tersebut. Adalagi yang lagi hangat-hangatnya di media seorang budayawati perempuan membacakan puisinya yang  sudah melukai hati umat Islam dengan membandingkan dan merendahkan ajaran Islam dengan budaya di Indonesia.

Dari beberapa kejadian tersebut tentu ada penggiringan opini secara tersirat yang membahayakan aqidah. Sekarang seolah-olah umat Islam lah yang harus mengalah dengan kaum minoritas, umat Islam lah yang seolah-olah menghilangkan warisan budaya di Indonesia. Tentu pemikiran-pemikiran semacam ini sengaja di viral kan ke publik untuk merubah cara pandang terhadap Islam.

Dari kronologis peristiwa tersebut tentu saling berkaitan, dan sudah barang tentu targetnya adalah untuk memecah belah umat Islam, yang nantinya juga akan berdampak pada pelemahan aqidah dan pemurtadan massal.

Ini sesuai menurut salah satu data statistik sekitar tahun 80-an umat Islam di Indonesia masih pada kisaran 90 %, namun  hingga pada tahun 2010 sudah mengalami penurunan sebanyak 85% dan penurunan itu terus berlanjut, tentu kita tidak bisa membiarkan fakta yang terjadi ini.

Apakah Indonesia yang dikenal sebagai sebuah Negara dengan penganut agama Islam terbesar di dunia akan tinggal kenangan? Bukan tidak mungkin kelalaian dan kesalahan kita dalam pemaknaan toleransi akan menjadi awal kehancuran bagi umat Islam Indonesia.

“Lakum dînukum waliyadîn”. Ayat itulah sebenarnya menjadi ajaran serta nilai semangat toleransi dalam Islam. Kita harus menghormati adanya kelompok lain diluar Islam dan kita tidak boleh menggaggu dan menghinaumat lain saat sedang beribadah, ini sesuai dengan firman Allah l,“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan” (Q.S. al An’am [6]: 108).

Sudah cukuplah kita fokus menjalankan syariat Islam, tidak perlu harus mengikuti peribadatan dengan alasan toleransi, kita harus selektif tentang toleransi, umat Islam harus menjunjung tinggi al-Qur’an dan hadits sebagai konstitusi agama, juga Pancasila serta UUD 45 sebagai konstitusi Negara karna Islam adalah rahmat bagi seluruh alam.

Sudah cukup jelas al-Qur’an menjelaskan bagaimana penerapan toleransi dalam kehidupan di berbangsa dan bernegara, toleransi harus tetap terus diterapkan tanpa harus melampaui batas. Kita perkuat ukhuwwah kita sesama muslim dan tetap terus menjaga hubungan baik kepada sesama umat manusia, karena Islam adalah rahmat bagi seluruh alam.

Maka dari itu marilah kita mulai perkuat ukhuwwah kita sesama muslim dan janganlah kita berpecah belah karna hal yang tidak substansial. Allah l berfirman, “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu karena nikmat Allah menjadilah kamu orang yang bersaudara, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”. (Q.S. Ali Imrân [3]: 103)

Semoga dengan kuatnya ukhuwwah kita sebagai muslim, akan mampu mencegah dan melawan berbagai serangan yang diluncurkan oleh para pembenci islam. Dan tentu kita harus tetap menjaga hubungan baik dengan seluruh masyarakat Indonesia untuk mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhai Allah.

Rifat Syauqi Zuhdi

Mahasiswa FTI UII

Mengapa toleransi tidak diperbolehkan dalam persoalan ibadah

Toleransi dalam bahasa Arab disebut “Tasamuh”artinya bermurah hati, yaitu bermurah hati dalam pergaulan. Kata lain dari tasamuh ialah “tasahul” yang artinya bemudah-mudahan. Toleransi mengajarkan hendaknya kita mempunyai sifat sifat lapang dada, berjiwa besar, luas pemahaman dan tidak memaksakan kehendak sendiri, memberikan kesempatan kepada orang lain berpendapat sekalipun berbeda dengan pendapat kita. Semua itu adalah dalam rangka menciptakan kerukunan hidup beragama dalam masyarakat. Dengan demikian adanya perbedaan paham dalam suatu masalah, seperti agama dan keyakinan tidak boleh menjadi sebab untuk mengadakn garis pemisah dalam pergaulan. Jadi toleransi menghendaki adanya kerukunan hidup diantara manusia yang bermacam paham serta harmonisasi pergaulan antara mereka yang jauh dari sikap kaku apalagi yang bersifat konfrontatif.

Islam memperbolehkan umatnya berhubungan dengan umat agama lain. Toleransi antarumat beragama dalam batasan muamalah, yaitu batas batas hubungan kemanusiaan dan tolong menolong sosial kemasyarakatan. Adapun dalam aqidah dan ibadah secara tegas melarang umtuk bertoleransi. Ini berarti keyakinan umat Islam kepada Allah tidak sama dengan keyakinan parapenganut agama lain terhadap tuhan tuhan mereka. Demikian juga dengan tata cara ibadanya, bahkan Islam melarang penganutnya mencela Tuhan Tuhan dalam agama manapun. Maka kata Toleransi dalam Islam bukanlah “barang baru” tetapi sudah diaplikasikan dalam kehidupan sejak agama Islam itu lahir.

Kata toleransi secara eksplisit memang tidak ditemukan dalam al-Qur’an, namun bila yang dimaksud adalah sikap saling menghargai menerima serta menghormati keragaman budaya, perbedaan berekspresi maka al-Qur’an secara terang-terangan banyak menyinggung tema-tema diatas.

Salah satu prasyarat untuk mewujudkan kehidupan masyarakat modern yang demokratis adalah menampilkan sikap yang menghargai kemajemukanperbedaan suku, ras, etnis, budaya maupun agama. Masyarakat majemukmemiliki budaya dan aspirasi yang berbeda-beda satu sama lain tetapi memiliki kedudukan setara, tidak ada superioritas antar suku, ras, etnis, maupun agama. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat menimbulkan konflikantar suku, ras, etnis budaya maupun agama apabila tidak disikapi secarabaik. Hampir semua masyarakat yang berbudaya kini mengakui kemaemukansosial tetapi kenyataanya masih timbul konflik-konflik.

Adanya toleransi antar umat beragama merupakan hal yang sangatpenting, sebab keberadaan toleransi dapat menciptakan kerukunan hidup antarumat beragama. Toleransi merupakan awal adanya kerukunan, tanpa adanyatoleransi tidak mungkin ada sikap saling hormat-menghormati, kasih-mengasihi dan gotong-royong antar umat beragama. Tetapi pada masasekarang ini toleransi sering disalah-artikan dengan mengakui kebenaransemua agama, sehingga tidak jarang ada orang mengikuti perayaankeagamaan lain tanpa diketahui, apakah itu acara biasa atau acara meriahdengan dalih toleransi.

Toleransi berasal dari bahasa latin, “tolerare” yang berarti menahan diri, bersikap sabar, menghargai orang lain berpendapat lain, berhati lapangdan tenggang rasa terhadap orang yang berlainan pandangan atau agama.Dalam kamus besar bahasa Indonesia diterangkan bahwa toleransi adalahbersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan kelakuan) yangberbeda atau bertentangan dengan pendiriannya sendiri.

Secara umum istilah toleransi mengacu pada sikap terbuka, lapang dada suka rela dan kelembutan. Unesco mengartikan tolerasi sebagai sikap salingmenghormati, saling menerima, saling menghargai di tengah keragamanbudaya kebebasan berekspresi dan karakter manusia. Toleransi haarusdidukung oleh cakrawala pengetahuan yang luas, bersiakap terbuka, dialog kebebasan berfikir dan beragama. Pendek kata toleransi setara dengan sikap positif, dan menghargai orang lain dalam rangka menggunakan kebebasan asasi sebagai manusia.

Toleransi merupakan bentuk akomodasi dalam interaksi sosial. Manusia beragama secara sosial tidak bisa menafikan bahwa mereka harus bergaulbukan hanya kelompoknya sendiri. Tapi juga dengan kelompok berbedaagama. Umat beragama mesti berupaya memuncukkan toleransi untuk menjaga kestabilan sosial sehingga tidak terjadi benturan-benturan ideologidan fisik di antara umat beragama.

Dalam bahasa Inggris “tolerance” yang berarti sikap membiarkan, mengakui dan menghormati keyakinan orang lain tanpa memerlukan persetujuan. Sedangkan dalam bahasa Arab istilah ini merujuk kepada kata “tasamuh” yaitu saling mengizinkan atau saling memudahkan.

Sedangkan dalam pandangan para ahli, toleransi mempunyai beragam pengertian. Micheal Wazler (1997) memandang toleransi sebagai keniscayaandalam ruang individu dan ruang publik karena salah satu tujuan toleransiadalah membangun hidup damai (peaceful coexistence) diantara berbagai kelompok masyarakat dari berbagai perbedaan latar belakang sejarah,kebudayaan dan identitas. Sementara itu, Heiler menyatakan toleransi yang diwujudkan dalam kata dan perbuatan harus dijadikan sikap menghadapipluralitas agama yang dilandasi dengan kesadaran ilmiah dan harus dilakukandalam hubungan kerjasama yang bersahabat dengan antar pemeluk agama.Secara sederhana, toleransi atau sikap toleran diartikan oleh Djohan Efendi sebagai sikap menghargai terhadap kemajemukan. Dengan kata lain sikap ini bukan saja untuk mengakui eksistensi dan hak-hak orang lain, bahkan lebihdari itu, terlibat dalam usaha mengetahui dan memahami adanya kemajemukan.

Maka diri itu dapat diambil kesimpulan bahwa toleransi adalah sikap menghargai perbedaan dan juga pandangan. Dalam kehidupan sehari-hari perlu adanya sikap toleransi agar manusia dapat hidup berdampingan dan tidak terjadi gesekan-gesekan antar sesama manusia yang berbeda pandanganataupun keyakinan. Namun tidak semua memiliki sikap toleransi, sehingga masih sering terjadi pertikaian antar golongan, ras, ataupun agama.

Dan dalam al-Quran ayat yang menampakkan tentang toleransi dalam beragama yakni : Q.S. Al-Baqarah ayat 256

لَآ إِكۡرَاهَ فِي ٱلدِّينِۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشۡدُ مِنَ ٱلۡغَيِّۚ فَمَن يَكۡفُرۡ بِٱلطَّٰغُوتِ وَيُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسۡتَمۡسَكَ بِٱلۡعُرۡوَةِ ٱلۡوُثۡقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَاۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ.

Artinya:

Tidak ada paksaan untuk (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barangsiapa ingkar kepada ṫāgūt dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.

Ayat diatas menjelaskan bahwa tidak ada paksaan untuk menganut agama Islam. Sayyid Qutb dalam kitab Tafsir Fi Zhilalil Qur’an mengatakan,

“Akidah adalah masalah kerelaan hati setelah mendapat keterangan dan penjelasan, bukan pemaksaan dan tekanan. Islam datang kepada manusia melalui kemampuan akalnya yang berbicara, intuisi yang berpikir, dan perasaan yang sensitif, serta berbicara kepada fitrah yang tenang. Dengan kata lain, Islam menekankan kepada bukti dan penjelasan yang terang benderang sehingga jelas sudah mana jalan yang benar dan mana yang salah. Karena bukti sudah sedemikian jelas, manusia tidak perlu lagi dipaksa, ditekan, diteror untuk memeluk agama Islam”.

Implementasi Ayat Toleransi Beragama Perspektif al-Qur’an

Adapun bentuk implementasi ayat toleransi beragama sebagaimana yang diuraikan seperti; prinsip kebebasan beragama, penghormatan Islam kepada pemeluk agama lain, dan membangun persatuan dengan persaudaraan. Hal ini telah dipraktikkan oleh Nabi Muhammad Saw.

Pertama, terkait dengan prinsip kebebasan beragama.

Sikap Toleran Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam terhadap kelompok Yahudi. Agama Yahudi sudah terlebih dahulu ada di beberapa wilayah jazirah Arab khususnya Yasrib/Medinah sebelum Islam datang. Para sejarawan menyimpulkan bahwa komunitas Yahudi yang ada di jazirah Arab atau lebih khusus di Yasrib terdiri dari dua kelompok yaitu; golongan keturunan Yahudi asli, mereka di sana sebagai pendatang; dan Yahudi keturunan Arab yaitu orang Arab yang menganut agama Yahudi.

Setelah orang-orang Yahudi ini datang ke Yasrib hadir pula dua suku Arab yang merupakan migran dari Yaman yaitu Aus dan Khazraj terjadi sekitar tahun 300 M. Setelah Islam datang di Medinah ada di antara orang-orang Yahudi tersebut yang masuk Islam seperti Abdullah bin Salam, namun secara umum mereka tetap beragama Yahudi. Di antara potret hubungan antara Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam dengan orang-orang Yahudi ini yang layak untuk mendapat apresiasi di antaranya: Pada tahun 7 H, Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam menikahi Sāfiyah binti Huyai putri dari salah seorang kepala suku Yahudi Bani Quraidah yang bernama Huyai bin Akhtab.

Sāfiyah masuk Islam dan bahkan kemudian mendapat gelar ummul-Mu'minin, namun orang tuanya masih tetap beragama Yahudi, bahkan sampai meninggal masih belum masuk Islam. Mungkin bagi sementara umat Islam informasi ini cukup mengejutkan bahwa ternyata Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam memiliki seorang mertua Yahudi. Yang perlu mendapat perhatian adalah ternyata Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam tidak memaksa mertuanya untuk masuk Islam. Dapat dibayangkan betapa toleran sikap Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam yang tetap dapat menjalin hubungan kekeluargaan melalui perkawinan meskipun keluarga besar istri masih tetap memeluk agama Yahudi.

Kedua, terkait dengan penghormatan Islam kepada pemeluk agama lain.

Contoh berikut ini interaksi Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam dengan orang-orang Nasrani ketika beliau sudah tinggal di Medinah. Kisah ini bersumber dari sejarawan Muslim terkenal Ibn Ishaq (w. 151 H) yang dikutip oleh beberapa ulama belakangan di antaranya adalah Ibn Sa'ad (w. 230 H) dalam bukunya at-Thabaqāt al-Kubrā dan Ibn Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H) dalam bukunya Zad al-Ma'ād. Cerita ini cukup terkenal, ringkasannya adalah; suatu ketika Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam didatangi oleh serombongan orang-orang Nasrani Najran yang berjumlah enam puluh orang.

Najran adalah satu wilayah yang berdekatan dengan Yaman. Mereka dipimpin oleh Pendeta Abu al-Haris\ah bin 'Alqamah. Mereka masuk masjid untuk menemui Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam, dimana saat itu Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam sedang bersiap untuk salat Asar bersama para sahabat. Melihat hal tersebut rombongan Nasrani itu juga ingin melaksanakn kebaktian di masjid dan menghadap ke arah timur.

Melihat gelagat tersebut para sahabat hendak melarang mereka, namun Nabi shallallāhu ‘alaihi wa salam memberi isyarat untuk membiarkan mereka melakukan kebaktian di masjid. Setelah itu mereka berdiskusi bersama Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam tentang seputar masalah keimanan, dan akhirnya mereka berpamitan, tanpa ada satu pun anggota rombongan tersebut yang masuk Islam. Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam tidak memaksa mereka untuk masuk Islam.

Dari kisah inilah kemudian Ibnu Qayyim al-Jauziyah menarik kesimpulan bahwa orang-orang ahli kitab boleh masuk di masjid-masjid kaum Muslimin. Kaum Ahli Kitab juga diperbolehkan untuk melakukan ibadah menurut ritual mereka di masjid di hadapan kaum Muslim apabila hal itu bersifat spontan dan tidak dilakukan secara rutin.

Ketiga, terkait dengan membangun persatuan dengan persaudaraan.

Masih tentang sikap toleransi dengan kaum Nasrani; Berikut ini adalah kisah yang terjadi pada tahun kelima kenabian, tepatnya di bulan Rajab tahun 615 M. Ketika suasana Mekah sudah tidak kondusif lagi bagi kaum Muslim yang berjumlah masih sangat sedikit saat itu, Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kaum Muslimin yang berjumlah 16 orang untuk hijrah ke Habasyah (Abbsenia).

“Di sana ada seorang penguasa yang tidak pernah berbuat zalim kepada siapa pun” begitu argumen Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam. Rombongan kaum Muslim tersebut tinggal di Habasyah kurang lebih dua bulan. Setelah mendengar informasi bahwa situasi Mekah sudah aman mereka memutuskan kembali ke Mekah. Ternyata informasi tersebut keliru, situasi Mekah belum aman. Akhirnya Nabi shallallāhu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kaum Muslimin untuk hijrah kedua kalinya dengan jumlah rombongan yang lebih besar terdiri dari 83 laki-laki dan 11 perempuan.

Mereka mendapat perlakuan yang sangat baik dari penguasa Habasyah saat itu an-Najasyi. Rombongan kaum Muslimin tinggal di Habasyah cukup lama sampai ada berita bahwa Nabi Muhammad shallallāhu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Medinah, barulah beberapa tahun kemudian mereka memutuskan pulang dan mengikuti Nabi untuk berhijrah ke Madinah.

Dari peristiwa sejarah di atas dapat dipetik hikmah bahwa kaum Muslimin dapat hidup berdampingan dengan mayoritas Nasrani dan bahkan mereka diperlakukan secara baik, meskipun status mereka adalah pendatang. Catatan yang perlu diberikan adalah bahwa masing-masing kelompok tersebut yaitu kaum Muslimin dan kaum Nasrani tetap dalam akidah mereka masing-masing; tidak terdengar dalam sejarah bahwa salah satu pihak telah memaksakan keyakinan agamanya kepada pihak lain.

Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa konsep toleransi beragama yang dijelaskan dalam al-Qur’an yaitu ada 3 hal; prinsip kebebasan beragama, penghormatan kepada agama lain, dan prinsip persaudaraan. Prinsip kebebasan beragama dapat dijabarkan.

Pertama, kebebasan dan kemerdekaan memilih agama sesuai keyakinan adalah hak asasi manusia yang paling asasi, maka manusia –termasuk pemerintah- harus menghormati hak tersebut. Sebab keimanan dan kekafiran itu merupakan hak atau anugerah dari Allah yang tidak bisa dilanggar dengan paksaan oleh manusia terhadap manusia yang lain.

Kedua, manusia atau bahkan nabi sekali pun hanya berhak untuk mengajak dan memberikan peringatan tanpa paksaan, tidak diperkenankan terlalu berlebihan apalagi sampai mencelakakan diri sendiri. Ketiga, dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang dilandasi nilai-nilai Al-Qur’an, maka kemerdekaan dan kebebasan beragama adalah prinsip yang harus dijunjung tinggi atau sebagai pilar utama, sebagaimana yang telah dilakukan nabi ketika di Madinah.

Sedangkan penghormatan terhadap agama lain yang dimaksud adalah pertama, menghormati praktek dan simbol-simbol agama lain sebagai langkah untuk mencari kemaslahatan agama dalam kehidupan bermasyarakat, tetapi tidak dengan tujuan untuk menyamakan atau mengakui kebenaran semua agama. Kedua, bentuk penghormatan tersebut harus diimplementasikan dalam kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat dengan tidak mencampuradukan akidah masing-masing.

Selanjutnya, prinsip persaudaraan diuraikan dalam persaudaraan dengan sesama Muslim dan non-Muslim. Pertama, dengan persaudaraan tersebut sesama anggota masyarakat dapat melakukan kerjasama sekalipun warganya terdapat perbedaan prinsip dalam akidahnya.

Kedua, perbedaan perbedaan yang ada bukan dimaksudkan untuk menunjukkan superioritas masing-masing terhadap yang lain, melainkan untuk saling mengenal dan menegakkan prinsip persatuan, persaudaraan, persamaan dan kebebasan.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini

Mengapa toleransi tidak diperbolehkan dalam persoalan ibadah

faiz istikhori

Sunday, 27 Jun 2021, 13:10 WIB

  Silakan Login untuk Berkomentar

Mengapa toleransi tidak diperbolehkan dalam persoalan ibadah

Mengapa toleransi tidak diperbolehkan dalam persoalan ibadah

Mengapa toleransi tidak diperbolehkan dalam persoalan ibadah

Mengapa toleransi tidak diperbolehkan dalam persoalan ibadah

Mengapa toleransi tidak diperbolehkan dalam persoalan ibadah

Mengapa toleransi tidak diperbolehkan dalam persoalan ibadah