Mengapa umat Islam mengalami kekalahan pada Perang Uhud

Perang Uhud merupakan peperangan yang terjadi antara kaum muslimin dan kaum kafir Quraisy pada tanggal 22 Maret 625 M atau 7 Syawal 3 H. Tepatnya setahun lebih seminggu setelah Perang Badr. Perang Uhud terjadi di dekat bukit Uhud yang berjarak sejauh 4 mil dari Masjid Nabawi. Bukit Uhud memiliki ketinggian hingga 1000 kaki dari permukaan tanah yang panjangnya mencapai 5 mil. Berdasarkan tempat terjadinya, maka perang ini dinamakan Perang Uhud.

Dalam Perang Uhud, jumlah pasukan kaum muslimin sebanyak 700 orang, sedangkan kaum kafir Quraisy berjumlah 3000 orang. Pasukan muslim dipimpin oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam, sedangkan pasukan kaum kafir Quraisy dimpin oleh Abu Sufyan.

Sejarah peradaban Islam mencatat bahwa pasukan muslim mengalami kekalahan dalam Perang Uhud. Mengapa hal itu bisa terjadi? Apakah karena jumlah pasukan muslim yang kalah jauh dari pasukan kafir Quraisy? Atau ada sebab lainnya?

Mari kita simak penjelasan lengkapnya berikut ini.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam hanya memiliki waktu persiapan sekitar dua minggu untuk menghadapi Perang Uhud. Sebelumnya beliau menggelar musyawarah bersama kaum muslimin lainnya untuk membuat strategi perang. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pun memutuskan bahwa pasukan muslim harus keluar dari Kota Madinah dan tidak sekadar menerapkan strategi bertahan.

Pada awalnya terkumpul pasukan muslim sebanyak 1000 orang. Namun, secara mendadak salah seorang sahabat bernama Abdullah ibnu Ubayy tidak menyetujui keputusan Rasul dan memutuskan untuk bergerak mundur beserta 300 orang yang dikomandoninya. Perilaku khianat dari Abdullah ibnu Ubayy tersebut bukan kali pertama, tetapi sudah yang kesekian kalinya sehingga dia dijuluki sebagai orang yang munafik.

Sebelum pertempuran dimulai, Rasul berpesan agar pasukan pemanah dari kaum muslim yang ditugaskan di atas bukit agar tidak berpindah tempat atau meninggalkan posisinya meski apapun kondisinya. Hal ini bertujuan untuk melindungi posisi strategis tersebut dari serangan pasukan kafir Quraisy yang hendak menyerang kaum muslim. Namun, ternyata hal inilah yang menjadi titik awal kekalahan pasukan muslim dalam Perang Uhud.

Awal peperangan berjalan baik dimana pasukan kafir Quraisy dapat dipukul mundur dengan anak panah yang dilayangkan pada mereka. Pasukan kafir Quraisy pun berjatuhan, bergerak mundur dengan meninggalkan tunggangan dan harta bawaan mereka. Melihat harta berserakan tersebut, sebagian pasukan kaum muslim optimis dengan kemenangannya dan mereka pun bergegas mengambilnya. Termasuk 40 orang pasukan pemanah yang ditugaskan oleh Rasul pun tergoda dengan harta yang berserakan tersebut.

Keadaan tersebut dimanfaatkan oleh pasukan kafir Quraisy. Di bawah komando Khalid ibnu Walid, mereka bergegas menyerang pasukan muslim yang tengah lengah. Serangan balik yang tidak terduga tersebut menimbulkan kekacauan formasi pasukan muslim. Meskipun sebagian masih berusaha melawan, namun hal itu tak banyak membantu.

Akibat ketidakpatuhan pasukan pemanah tersebut, pasukan Rasul pun harus melangkah mundur. Kekalahan dalam Perang Uhud ini mengakibatkan 70 orang pasukan muslim gugur, sedangkan pasukan kafir Quraisy hanya 20 orang yang gugur.

Itulah penyebab kekalahan pasukan muslim dalam Perang Uhud. Berbagai peperangan yang dihadapi oleh umat Islam terdahulu merupakan bagian dari sejarah perkembangan Islam yang bisa menjadi pelajaran berharga bagi umat Islam saat ini. Semoga kita bisa mengambil hikmah dari peristiwa-peristiwa yang telah terjadi.

Mengapa umat Islam mengalami kekalahan pada Perang Uhud

Setelah kaum Quraisy mengalami kekalahan dalam perang Badar yang terjadi di lembah Badar, kemudian kaum kafir Quraisy Makkah merencanakan kembali untuk membalas kekalahan tersebut dan akan menyerang Nabi Muhammad saw beserta umat Islam secara besar-besaran. Namun rencana itu diketahui oleh nabi Muhammad saw.

Latar Belakang Terjadinya Perang Uhud

Perang Uhud ini terjadi akibat adanya upaya balas dendam dari orang Quraisy, karena mereka dapat dikalahkan pada peperangan yang terjadi di lembah Badar yang di sebut perang Badar. Kemudian mereka merencanakan untuk mengadakan perlawanan kembali menyerang umat Islam.

Akhirnya rencana itupun terjadi, dan pada bulan Ramadhan tahun 3 Hijriyah / 625 Masehi, mereka berangkat menuju kota Madinah dengan membawa pasukan yang terdiri dari 3.000 pasukan berunta, 200 pasukan berkuda, dan 700 orang berbaju besi di bawah pimpinan Khalid bin Walid.

Saat itu Nabi Muhammad SAW mengetahui rencana itu melalui sepucuk surat dari Abbas bin Abdul Mutholib, pamannya, yang sudah menaruh simpati pada Islam. Pada mulanya Nabi Muhammad SAW dan umat Islam memilih untuk bertahan di dalam kota Madinah. 

Namun setelah mempertimbangkan saran dari para sahabat, Nabi Muhammad saw memutuskan untuk keluar dari kota Madinah. Kemudian Nabi Muhammad saw berangkat dengan 1.000 tentara. Baru melewati batas kota, Abdullah bin Ubay dengan 300 pengikutnya membelot dan kembali pulang. 

Akhirnya pasukan jadi tersisa hanya 700 tentara, Nabi Muhammad saw tetap melanjutkan perjalanan. Nabi Muhammad saw dan Pasukannya tiba di bukit Uhud. Pegunungan Uhud terletak di sebelah utara Madinah, disana Nabi Muhammad saw menyusun strategi perang. 

Pasukan ditempatkan di belakang bukit dengan dilindungi oleh lima puluh pemanah mahir dibawah pimpinan Abdullah bin Zubair yang ditempatkan di lereng bukit yang cukup tinggi. 

Mereka ditugaskan untuk membendung pasukan berkuda kafir Quraisy. Nabi Muhammad SAW berpesan agar para pemanah tidak meninggalkan tempat dengan alasan apapun.

Perang Uhud ini memang tidak seimbang kalau dihitung secara hitung-hitungan angka, kaum Muslimin yang berjumlah 700 orang harus melawan pasukan kaum quraisy yang berjumlah 3.900 orang yakni 1 : 5 (satu banding lima).

Pada awalnya, Pasukan umat Islam berhasil memukul mundur pasukan kafir Quraisy. Pasukan umat Islam tergoda dengan harta benda yang ditinggalkan musuh. Mereka mengumpulkan harta rampasan dan tidak menghiraukan gerakan musuh. 

Beberapa pasukan pemanah tergoda juga dengan harta rampasan. Mereka menganggap perang sudah selesai. Akhirnya mereka turun dari bukit, hanya sedikit pasukan pemanah yang masih tetap bertahan di bukit. 

Melihat kondisi tersebut, Khalid bin Walid pimpinan pasukan berkuda Quraisy berputar haluan untuk kembali menyerang sampai akhirnya berhasil melumpuhkan pasukan pemanah Islam. Satu persatu pasukan muslim berguguran, Nabi SAW sendiri mendapatkan luka yang cukup berat sampai-sampai gigi geraham beliau tanggal.

Namun umat Islam terselamatkan dengan kabar berita terbunuhnya Nabi Muhammad SAW. Berita itu membuat pasukan kafir Quraisy mengurangi serangan karena kematian Nabi SAW sudah cukup sebagai balasan atas kekalahan di perang Badar.

Dalam perang Uhud, jumlah tentara Quraisy yang terbunuh sebanyak 25 orang, sementara pasukan muslim sebanyak 70 orang menjadi Syuhada. Diantaranya paman Nabi SAW, Hamzah bin Abdul Mutholib dan Mus’ab bin Umar, Dai pertama Islam.

Ketika Nabi SAW mendengar kabar meninggalnya Hamzah bin Abdul Mutholib, beliau sangat berduka yang mendalam karena salah satu benteng umat Islam telah tiada, ditambah lagi dengan kematian yang sangat mengenaskan.

Hamzah bin Abdul Mutholib meninggal karena senjata tombak yang dilemparkan oleh seorang budak yang bernama Wahsyi bin Harb sebelum ia masuk Islam karena disuruh oleh Hindun istri Abu Sufyan.

Organ dalam tubuh Hamzah bin Abdul Mutholib dikeluarkan oleh Hindun lalu dikunyahnya, karena saking bencinya kepada Hamzah yang secara umum benci kepada umat Islam. Akibat peristiwa itu Nabi SAW sangat berduka atas meninggalnya pamannya itu.

Ibrah atau pelajaran yang sangat penting dari peristiwa terjadinya perang Uhud ini untuk kita adalah bahwa seorang bawahan haruslah untuk senantiasa mengikuti atau mendengarkan apa-apa yang telah menjadi perintah dari seorang pimpinan, karena bagaimanapun ia termasuk orang yang harus di taati oleh seorang bawahan.

Selama pemimpin itu dapat membawa kepada kebaikan maka ia haruslah senantiasa di ikuti, namun jika seorang pemimpin itu malah membawa kepada kebinasaan dan malah menyengsarakan rakyatnya atau bawahannya, maka kewajban sesama manusia untuk menasihati dan menegurnya dan mengabaikan perintahnya.

Demikianlah pembahasan singkat tentang Kisah perang Uhud dan faktor penyebab umat Islam mengalami kekalahan. Wallaahua'lam

alhikmah.ac.id – Dan Mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu Telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata, “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah, “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Ali Imran:165)

Ayat ini menggambarkan kondisi umat Islam pada saat mengalami kekalahan dalam perang Uhud. Mereka kehilangan tujuh puluh syuhada, ditambah lagi dengan sejumlah korban luka-luka. Padahal mereka berjuang di jalan Allah. Sementara musuh mereka orang-orang kafir berjuang di jalan setan. Sebelumnya, pada saat perang Badar, mereka menang, dan bisa menggugurkan tujuh puluh orang, serta bisa menangkap tujuh puluh tawanan dari pasukan kafir. Mengapa kekalahan itu terjadi di Uhud, padahal jumlah mereka di Uhud lebih banyak dari pada di Badar? Ayat di atas menjawab pertanyaan ini.

Kerapian Sistem “Sunnatullah”

Allah swt. berfirman, “Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada perang Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada perang Badar) kamu berkata: dari mana kekalahan ini?” Maksudnya: Mengapa kamu mempertanyakan kekalahanmu? Apakah kamu mengira bahwa kamu tidak akan pernah kalah sekalipun kamu lalai akan tugas-tugasmu? Apakah kamu tetap yakin bahwa Allah akan menolongmu, sementara kamu tidak komitmen dengan sunnatullah? Tidak, tidak demikian pemahaman yang harus kamu jalani dalam berjuang di jalan Allah.

Allah swt. telah meletakkan sistem-Nya (baca: sunnatullah) di alam ini dengan sangat rapi. Siapa yang mengikuti sistem ini dengan baik, ia akan berhasil, dan siapa yang mengabaikannya ia akan gagal. Tidak ada langkah dan perbuatan kecuali harus seirama dengan sistem yang sudah ada. Termasuk dalam menjalankan tugas dakwah komitmen ini juga harus selalu dipertahankan, jangan sampai ada langkah apapun yang kemudian menyebabkan hancurnya semua usaha yang telah dibangun. Seorang aktivis dakwah harus selalu menyadari makna ini, karena tidak mustahil sebuah kesalahan kecil yang dianggap remeh, lama kelamaan akan menjadi besar.

Ayat di atas setidaknya telah memberikan pelajaran, bahwa para aktivis dakwah harus selalu mempertahankan kualitas amal: amal secara fardiyah maupun amal secara jamaiyah. Menurunnya kualitas amal fardiyah tidak mustahil akan berdampak pada kualitas amal jamaiyah. Dan menurunnya kualitas amal jamaiyah sudah barang tentu akan berdampak kepada masyarakat umum secara lebih luas. Dampak tersebut bila sudah terjadi, ia akan menimpa siapa pun, tidak pandang bulu. Ayat di atas adalah gambaran kekalahan yang menimpa masyarakat Sahabat di dalamnya ada Rasulullah saw. Perhatikan, siapa yang akan mengira bahwa masyarakat sekualitas sahabat dipimpin langsung oleh Rasulullah saw. akan mengalami kekalahan? Tetapi ternyata itu terjadi, hanya karena kelengahan segelintir dari mereka. Lengah karena terpedaya oleh harta rampasan yang berserakan. Suatu tindakan yang kemudian membuat mereka lalai akan tugas yang harus mereka perjuangkan.

Seringkali terjadi memang, ketika kemenangan dicapai, orang tertipu dengan keberhasilan. Seakan perjalanan sudah selesai. Sehingga ia tidak hati-hati lagi seperti kehati-hatiannya dulu sebelum kemenangan dicapai. Lebih-lebih ketika harta melimpah seperti yang ditemukan pasukan kaum muslimin di Uhud, mereka seketika tertipu dengan secuil harta yang sebenarnya tidak ada apa-apanya dibanding dengan kenikmatan di surga. Ketertipuan itu membuat mereka lupa kepada pesan pertama Rasulullah saw, agar tetap bertahan pada posisinya sampai ada perintah lebih lanjut. Itulah yang kemudian terjadi, mereka kemudian kalah, buah dari kelalaian yang mereka perbuat. Karenanya Allah menegaskan: qul huwa min indi anfusikum (Katakanlah, “Itu (kesalahan) dirimu sendiri”).

Kesalahan Diri Sendiri

Firman Allah: qul huwa min indi anfusikum, menegaskan makna yang sangat dalam mengenai beberapa hal: Pertama, bahwa Allah swt. tidak pernah berbuat zhalim. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak berbuat zhalim kepada manusia sedikit pun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zhalim kepada diri mereka sendiri”. (Yunus:44) Di ayat lain Allah menceritakan bahwa umat terdahulu pernah diadzab karena perbuatan mereka sendiri, “Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri”(Al Ankabuut:40). Maka setiap bencana dan malapetaka yang manusia alami asal muasalnya adalah perbuatan manusia itu sendiri, “Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat (yang diderita) oleh orang-orang yang sebelum mereka? Orang-orang itu adalah lebih kuat dari mereka (sendiri) dan telah mengolah bumi (tanah) serta memakmurkannya lebih banyak dari apa yang telah mereka makmurkan. Dan telah datang kepada mereka rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Maka Allah sekali-kali tidak berlaku zhalim kepada mereka, akan tetapi merekalah yang berlaku zhalim kepada diri sendiri (Ar-Rum:9).

Kedua, bahwa setiap musibah yang menimpa manusia, itu tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan ada sebab-sebab yang mendahuluinya. Di sini nampak bahwa kualitas pekerjaan apapun sangat ditentukan oleh manusianya. Lebih-lebih bila pekerjaan tersebut tergolong amal dakwah, maka sungguh sangat menuntut keistiqamahan pelakunya dalam menjalankan kewajibannya kepada Allah. Semakin sungguh-sungguh seorang aktivis dakwah dalam menjalani hakikat kehambaan-Nya kepada Allah, maka juga akan semakin produktif dakwah yang dijalaninya. Sebaliknya bila seorang aktivis mulai tertipu dengan gemerlap dunia seperti tertipunya pasukan Uhud pada saat menemukan tanda-tanda kemenangan, maka di situlah titik runtuhnya amal dakwah itu akan bermula. Inilah pengertian dari firman-Nya: qul huwa min indi anfusikum. Maksudnya: kegagalan itu dari dirimu sendiri, dirimu yang tertipu dengan gemerlap dunia, sehingga kemudian amal dakwah kau kesampingkan. Maka bila dakwah yang kau lakukan tidak memberikan keberkahan, melainkan malah menyeret fitnah dan kemunkaran itu asal-muasalnya adalah perbuatan pelakunya. Boleh jadi seseorang yang tadinya tulus berdakwah, tetapi kemudian setelah dunia mulai melimpah, ia berubah haluan, dunia malah menjadi tujuan. Orang yang seperti ini akan mendapatkan akibat dari perbuatannya sendiri, di mana akibat tersebut bisa jadi akan menimpa semua orang tak terkecuali, seperti kekalahan yang telah menimpa para sahabat dan Rasulullah di medan Uhud.

Ketiga, bahwa perjuangan seorang aktivis dakwah untuk tetap istiqamah dalam menjalani kewajibannya, adalah bagian dari sunnatullah yang harus selalu dipertahankan. Sedikit lengah dan tertipu oleh kepentingan sesaat, ia akan terjerembab ke dalam kegagalan. Dakwah yang diucapkan akan menjadi sekadar jargon tanpa jiwa. Akibatnya Allah swt. tidak akan menurunkan bantuan-Nya. Bila Allah menolak untuk membantunya, maka itu suatu tanda hilangnya keberkahan dalam kerja dakwah tersebut. Bila keberkahannya hilang, jangan di harap amal dakwah yang ditawarkan akan menjadi bermanfaat, melainkan malah akan menjadi ancaman bagi pelakunya. Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan (Ash-Shaf:2)

Perhatikan betapa kerja dakwah sangat menuntut masing-masing aktivisnya untuk senantiasa mempertahankan dan meningkatkan kualitas kepribadiannya: baik sebagai hamba Allah yang tercermin dalam kekhusu’an ibadahnya, maupun sebagai aktivis yang selalu menjadikan dakwah sebagai medan utama perjuangannya. Dari sini jelas, bahwa perjuangan di jalan dakwah menuntut ketabahan pelakunya dalam menjaga secara terus-menerus kualitas dirinya, kualitas ketaatannya kepada Allah dan kualitas amal dakwahnya. Kualitas yang benar-benar mencerminkan makna kesungguhan, keseriusan dan pengorbanan secara jujur (baca: itqaan) dalam menjalankan tugas-tugas dakwah yang dipikulnya. Inilah yang kita kenal dengan istilah: al muhafadzah alaa jaudatil junuud (memelihara kualitas aktivis dakwah).

Keharusan Memelihara Dan Meningkatkan Kualitas Diri

Pengertian lebih lanjut dari makna ayat: qul huwa min indi anfusikum adalah bahwa kualitas diri merupakan faktor penentu dari berhasil tidaknya sebuah usaha apapun, lebih-lebih amal dakwah. Terutama ketika amal dakwah tersebut sudah berjalan, dan mulai merambah tanda-tanda keberhasilan. Di sini upaya pemeliharaan dan peningkatan kualitas diri sangatlah diperlukan. Sebab tanpa pemeliharaan dan peningkatan amal dakwah pasti akan mengalami penurunan. Bahkan tidak mustahil timbulnya gesekan-gesekan internal akan selalu terjadi. Dari gesekan-gesekan ini kemudian muncul gelembung perpecahan yang pada gilirannya menghanyutkan hasil usaha yang sudah dibangun sekian lama. Perhatikan peristiwa perang Uhud yang tadinya umat Islam sudah mendekati kemenangan, namun akhirnya malah berbalik menjadi kekalahan, di mana sebab utamanya adalah: qul huwa min indi anfusikum. Artinya mereka tidak bisa memelihara kualitas diri yang membuat mereka menang, padahal mereka pernah mencapainya di perang Badar dan di permulaan perang Uhud. Anehnya kualitas diri tersebut malah mereka lepaskan, dan dari situlah kemudian mereka tidak memenuhi syarat untuk menang, karenanya mereka kalah.

Oleh sebab itu, pemeliharaan dan peningkatan kualitas diri adalah merupakan keniscayaan untuk terus melanjutkan perjuangan dakwah. Sebab tidak mungkin sebuah perjalanan dakwah akan terus berlangsung dengan baik, apalagi meningkat, bila di tengah jalan para aktivisnya mengalami degradasi. Kerja dakwah adalah kerja yang tidak mungkin dipikul oleh segelintir orang, melainkan harus dipikul bersama-sama. Karenanya tidak mungkin dalam hal ini hanya mengandalkan kerja keras sebagian orang lalu yang lain tidak mengimbanginya. Dakwah menuntut keseimbangan secara utuh dalam segala dimensinya: dimensi spiritual, intelektual, material dan moral. Seorang aktivis dakwah adalah seorang selalu memelihara hakikat ini secara seimbang dalam dirinya dan dalam kebersamaannya dengan yang lain. Bila keseimbangan ini hilang, tentu akan terjadi ketimpangan. Dan dari ketimpangan ini kemudian muncul kegagalan. Kegagalan perang Uhud seperti yang ditegaskan dalam ayat di atas adalah contoh nyata yang sangat jelas. Sampai pun peperangan tersebut dipimpin langsung oleh Rasulullah saw, tetapi karena kesalahan sebagian dari mereka yang tidak sanggup memelihara kualitas diri, akhirnya mengakibatkan semuanya menjadi berantakan.

Penyakit seperti ini seringkali terjadi dalam perjalanan dakwah. Bila di awal langkahnya para aktivis selalu semangat, tetapi di tengah perjalanan semangat membara itu seringkali kehabisan nafas. Akibatnya dakwah menjadi korban. Karenanya Allah tutup ayat di atas dengan penegasan, “innallaaha ‘laa kulli sya’in qadiir” (sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu). Itu untuk menggambarkan ketegasan sunnatullah (baca: sebab akibat). Bahwa Allah Maha Kuasa menjalankan sunnah-Nya tersebut secara sempurna. Tidak bisa ditawar-tawar. Siapa yang sungguh-sungguh mengikuti sunnah tersebut akan berhasil. Dan siapa yang mengabaikannya ia akan gagal sekalipun ia beriman kepada-Nya.

Manusia diciptakan oleh Allah bukan untuk menandingi-Nya. Sehebat-hebat manusia, ia tidak akan pernah mampu menandingi kekuasaan-Nya. Allah tetap Maha Kuasa dan manusia tetap maha lemah di hadap-Nya. Maka ketika Allah membekali akal dan segala keilmuan kepada manusia itu semuanya tidak akan pernah mencapai level kekuasaan-Nya. Karenanya ia tidak bisa independen total dari Allah. Ia dengan segala pencapaiannya tetap harus tunduk kepada-Nya. Lebih dari itu ia juga harus tetap memelihara ketundukan ini secara maksimal sampai ia menghadap-Nya. Bila ini yang ia lakukan ia akan berhasil tidak saja secara personal, melainkan juga secara sosial dalam kebersamaannya dengan yang lain. Sebaliknya bila ia gagal memelihara dan meningkatkan tingkat ketundukan yang pernah ia capai, ia pasti akan gagal, tidak saja di dunia melainkan juga di akhirat. Wallahu a’lam bishshawab. (dkw)

download