Mubaligh yang pertama kali menyebarkan agama Islam di Banten dan Jawa Barat adalah

Mubaligh yang pertama kali menyebarkan agama Islam di Banten dan Jawa Barat adalah
Komplek makam Sunan Gunungjati di Cirebon ditutup sementara dua pekan untuk mencegah penyebaran virus korona. (Foto: iNews/Toiskandar)

Kastolani Kamis, 30 April 2020 - 03:33:00 WIB

JAKARTA, iNews.id - Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah satu-satunya wali yang menyebarkan agama Islam di Jawa barat. Sunan Gunung Jati dilahirkan Tahun 1448 Masehi.

Ayahnya adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar, seorang Mubaligh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar bagi kaum Sufi di Tanah Air.

BACA JUGA:
Kisah Sunan Giri, Sukses Sebarkan Islam dengan Kesenian

Syekh Maulana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucunya Imam Husain.

Sedangkan Ibu Sunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang (Syarifah Muda'im) yaitu putri dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dari Nyai Subang Larang, dan merupakan adik dari Kian Santang atau Pangeran Walangsungsang yang bergelar Cakrabuwana / Cakrabumi atau Mbah Kuwu Cirebon Girang yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad bernama asli Idhafi Mahdi bin Ahmad. 

BACA JUGA:
Kisah Sunan Kalijaga, Berdakwah dengan Metode Wayang

Pada masa remajanya Sunan Gunung jati berguru kepada Syekh Tajudin al-Kubri dan Syekh Ataullahi Sadzili di Mesir, kemudian ia ke Baghdad untuk belajar Tasawuf.

Pada usia 20 tahun, Syarif Hidayatullah pergi ke Mekah untuk menuntut Ilmu. Setelah selesai menuntut ilmu pada tahun 1470 dia berangkat ke Tanah Jawa untuk mengamalkan ilmunya.

Di sana, Syarif Hidayatullah muda bersam  ibunya disambut  gembira oleh pangeran Cakra Buana. Syarif Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda’im datang di Negeri Caruban Larang Jawa Barat pada tahun 1475 sesudah mampir terlebih dulu di Gujarat dan Pasai untuk menambah pengalaman. Kedua orang itu disambut gembira oleh Pangeran Cakra Buana dan keluarganya. 

Syarifah Mada’in minta agar diizinkan tinggal dipasumbangan Gunung Jati dan disana mereka membangun pesantren untuk meneruskan usahanya Syeh Datuk Latif  gurunya pangeran Cakra Buana.

Oleh karena itu Syarif Hidayatullah dipanggil Sunan Gunung Jati. Lalu ia dinikahkan dengan putri Cakra Buana Nyi Pakung Wati kemudian ia diangkat menjadi pangeran Cakra Buana yaitu pada tahun 1479 dengan diangkatnya ia sebagai pangeran dakwah islam dilakukannya melalui diplomasi dengan kerajaan lain.

Selanjutnya yaitu pada tahun 1479, karena usianya sudah lanjut Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan Negeri Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhunan artinya orang yang dijunjung tinggi.

Disebutkan, pada tahun pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu diajak masuk Islam kembali tapi tidak mau.

Meski Prabu Siliwangi tidak mau masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam di wilayah Pajajaran. Syarif Hidayatullah kemudian melanjutkan perjalanan keSerang. Penduduk Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan banyaknya saudagar dari Arab dan Gujarat yang sering singgah ketempat itu. Kedatangan Syarif Hidayatullah disambut baik oleh adipati Banten.

Bahkan Syarif Hidayatullah dijodohkan dengan putrid Adipati Banten yang bernama Nyi Kawungten. Dari perkawinan inilah kemudian Syarif Hidayatullah di karuniai orang putranya itu Nyi RatuWinaondan Pangeran Sebakingking.

Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.

Cara Penyebaran Islam Sunan Gunung Jati

Dalam menyebarkan agama islam di Tanah Jawa, Sunan Gunung Jati tidak bekerja sendirian. Sunan Gunung Jati sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di Masjid Demak. Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdrinya Masjid Demak.

Dari pergaulannya dengan Sultan Demak dan para Wali lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah mendirikan Kesultanan Pakungwati di Cirebon dan ia memproklamirkan diri sebagai Raja yang pertama dengan gelar Sultan.

Pada era Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan gelar Sunan Gunung Jati dapat dikatakan sebagai era keemasan (Golden Age) perkembangan Islam di Cirebon. Sebelum Syarif Hidayatullah, Cirebon dipimpin oleh Pangeran Cakrabuana (1447-1479) merupakan rintisan pemerintahan berdasarkan asas Islam, dan setelah Syarif Hidayatullah, pengaruh para penguasa Cirebon masih berlindung di balik kebesaran nama Syarif Hidayatullah.


Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti kepada Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh. Tindakan ini dianggap sebagai pembangkangan oleh Raja Pajajaran. Raja Pajajaran tak peduli siapa yang berdiri di balik Kesultanan Cirebon itu maka dikirimkannya pasukan prajurit pilihan yang dipimpin oleh Ki Jagabaya.

Tugas mereka adalah menangkap Sunan Gunung Jati yang dianggap lancang mengangkat diri sebagai raja tandingan Pajajaran. Tapi usaha ini tidak berhasil, Ki Jagabaya dan anak buahnya malah tidak kembali ke Pajajaran, mereka masuk Islam dan menjadi pengikut Sunan Gunung Jati.

Dengan bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin bertambah besarlah pengaruh Kesultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain seperti Surantaka, Japura, Wana Giri, Telaga dan lain-lain menyatakan diri menjadi wilayah Kesultanan Cirebon. Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara Jati, makin bertambah besarlah pengaruh Kasultanan Cirebon.

Sebagai anggota Wali Songo dalam berdakwahnya Sunan Gunung Jati menerapkan berbagai metode dalam proses islamisasi di tanah Jawa. Adapun ragam metode dakwahnya yakni menggunakan metode “maw’izhatul hasanah wa mujadalah billati hiya ahsan”.

Selain itu, metode “Al-Hikmah” sebagai sistem dan cara berdakwah para wali yang merupakan jalan kebijaksanaan yang diselanggarakan secara populer, atraktif, dan sensasional.

Cara ini mereka pergunakan dalam menghadapi masyarakat awam. Dengan tata cara yang amat bijaksana, masyarakat awam itu mereka hadapi secara masal, kadang-kadang terlihat sensasional bahkan ganjil dan unik sehingga menarik perhatian umum.

Ketiga, yakni metode “Tadarruj”atau“Tarbiyatul Ummah”, dipergunakan sebagai proses klasifikasi yang disesuaikan dengan tahap pendidikan umat, agar ajaran islam dengan mudah dimengerti oleh umat dan akhirnya dijalankan oleh masyarakat secara merata. Metode ini diperhatikan setiap jenjang, tingkat, bakat. Materi dan kurikulumnya, tradisi ini masih tetap dipraktekan dilingkungan pesantren.


Sunan Gunung Jati di lingkungan masyarakatnya selain sebagai pendakwah, juga berperan sebagai politikus, pemimpin dan juga berperan sebagai budayawan.

Pemilihan Cirebon sebagai pusat aktivitas dakwahnya Sunan Gunung Jati, tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan jalur perdagangan, demikian juga telah dipertimbangkan dari aspek sosial, politik, ekonomi, nilai geostrategis, geopolitik dan geoekonomi yang menentukan keberhasilan penyebaran Islam selanjutnya

(Sumber: Makalah Sunan Gunungpati, IAIN Syekh Nurjati Cirebon.


Editor : Kastolani Marzuki

TAG : cirebon sunan gunung jati makam sunan gunung jati sejarah islam

Mubaligh yang pertama kali menyebarkan agama Islam di Banten dan Jawa Barat adalah

Fatahillah atau Faletehan (ejaan orang Portugis) adalah tokoh penyebar Islam yang dikenal karena memimpin penaklukkan Sunda Kelapa pada tahun 1527 dan mengganti namanya menjadi Jayakarta. Penaklukkan ini adalah salah satu misinya untuk menyebarkan Islam ke Jawa Barat.[2]

Mubaligh yang pertama kali menyebarkan agama Islam di Banten dan Jawa Barat adalah
Fatahillah

Fatahillah (kanan) dalam perangko keluaran tahun 2008

LahirTidak diketahui
Samudera Pasai[a]Meninggal1570
Cirebon, Kesultanan CirebonZamanPenyebaran Islam di Nusantara, Kolonialisme Portugis di IndonesiaDikenal atasPenaklukkan Sunda KelapaAnak2

Nama Faletehan pertama kali disebutkan oleh João de Barros dalam seri bukunya yang berjudul Décadas da Ásia (Dekade-dekade dari Asia). Ia melaporkan bahwa salah satu kapal brigantin armada Duarte Coelho [en] yang terdampar di Sunda Kelapa, telah diserang oleh pasukan Muslim di bawah pimpinan Fatahillah dan membunuh semua laskar Portugis di kapal tersebut.[3]

Barros mencatat bahwa Fatahillah berasal dari Pasai, Aceh Utara, yang kemudian pergi meninggalkan Pasai ketika daerah tersebut dikuasai Portugis. Fatahillah pergi ke Mekkah untuk mempelajari agama Islam, dan setelah dua atau tiga tahun lalu kembali ke Pasai. Karena masih diduduki oleh Portugal, Fatahillah melanjutkan perjalanannya ke Pulau Jawa, ke Jepara, dan mengabdikan diri kepada sultan Demak di sana. Merasa puas atas pengabdiannya, Raja memberikan seorang adiknya kepada Fatahillah untuk diperistri.[4] Graaf dan Pigeaud menganggap bahwa raja Jepara yang dimaksud adalah Raja Demak ketika itu, Sultan Trenggana.[5]:112-3

Setelah itu Fatahillah berangkat untuk mengislamkan Banten, dan diberi dukungan 2.000 orang prajurit dan pembantu oleh Raja. Dengan dukungan pasukan Muslim itulah Fatahillah menaklukkan pelabuhan Sunda (Kalapa dan Banten).[6] Adolf Heuken berpendapat bahwa peristiwa terdamparnya armada Duarte Coelho di pantai Kalapa terjadi pada akhir November 1526,[7]:66, 76 jadi penaklukan Fatahillah atas Kalapa mungkin terjadi pada pertengahan bulan November itu.

Sejarawan seperti Hoesein Djajadiningrat,[8] H.J. de Graaf dan Th.G.Th. Pigeaud,[5]:111-13,[9]:11, Slamet Muljana,[10]:101-2, 223-34 dan Adolf Heuken[11]:96-7 berpendapat bahwa Fatahillah dan Sunan Gunung Jati adalah orang yang sama. Setelah mengabdikan diri ke Demak, pada sekitar 1524-1525 Fatahillah dengan sokongan sekitar 1500 prajurit menyerbu dan mengalahkan Banten, pelabuhan penting Kerajaan Sunda yang beragama Hindu, serta menguasainya sebagai raja bawahan Sultan Demak. Tahun-tahun berikutnya (1526-1527) Fatahillah menyerang dan menundukkan Sunda Kalapa, serta mengusir tentara Portugis yang hendak mendirikan benteng di wilayah Sunda. Setelah berkuasa hampir 30 tahun, pada sekitar 1552 Fatahillah meninggalkan Banten menuju Cirebon; dan menyerahkan kekuasaannya atas Banten kepada puteranya, Maulana Hasanuddin. Fatahillah kemudian tinggal sebagai penguasa dan pemuka agama di Cirebon sampai dengan wafatnya, hingga kelak dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.[5]:111-15

Sedangkan Fatahillah adalah seorang Panglima Pasai, bernama Fadhlulah Khan. Ketika Pasai dan Malaka direbut Portugis, ia hijrah ke tanah Jawa untuk memperkuat armada kesultanan-kesultanan Islam di Jawa (Demak, Cirebon dan Banten) setelah gugurnya Raden Abdul Qadir bin Yunus (Pati Unus, menantu Raden Patah Sultan Demak pertama).

Menurut Saleh Danasasmita, Fatahillah masih berkerabat dengan Walisongo karena kakek buyutnya, Zainul Alam Barakat, adalah adik dari Nurul Alam Amin (kakek Sunan Gunung Jati) dan kakak dari Ibrahim Zainal Akbar (ayah Sunan Ampel) yang semuanya adalah putra-putra Syekh Maulana Akbar dari Gujarat, India.

Maulana Fathlullah bin Mahdar Ibrahim bin Abdul Ghofur bin Zainul Alam Barokat bin Jamaludin Husein Al-Akbar bin Ahmad Syah Jalaluddin bin Amir Abdullah Azmatkhan bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi ‘Ammil Faqih bin Muhammad Shohib Mirbath bin Ali Khali' Qasam bin Alwi Shohib Baiti Jubair/'Alwi Ats Tsani bin Muhammad Shohibus Saumah bin Alawi bin Ubaidillah Ahmad al-Muhajir bin Isa bin Muhammad an-Naqib bin Ali bin Imam Ja’far ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam Ali bin Husain bin Imam Husain bin Ali bin Abu Thalib.

Untuk menghormati jasa-jasa beliau dalam mempertahankan Sunda Kelapa dari Portugis, Pemerintah Republik Indonesia menjadikan beliau sebagai salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia.[butuh rujukan]

  • Masjid Fatahillah
  • KRI Fatahillah (361)
  • Museum Fatahillah
  • Sekolah Tinggi Teknologi Fatahillah
  • Lapangan Fatahillah
  1. ^ Ada perbedaan pendapat mengenai asal usulnya Fatahillah[1]

  1. ^ "Sejarah HUT Jakarta & Benarkah Fatahillah Membantai Rakyat Betawi?". tirto.id. Diakses tanggal 2020-12-12. 
  2. ^ Kotapradja Djakarta Raya 1953, hlm. 491.
  3. ^ Barros 1777, hlm. 85.
  4. ^ Barros 1777, hlm. 86.
  5. ^ a b c De Graaf, H. J.; Pigeaud, Theodoor Gautier Thomas (1974). "De eerste moslimse vorstendommen op Java: Studiën over de staatkundige geschiedenis van de 15de en 16de eeuw on JSTOR". JSTOR (dalam bahasa Inggris). doi:10.1163/j.ctvbqs7vc. 
  6. ^ Barros 1777, hlm. 86,87.
  7. ^ Heuken, A. (1999). Sumber-sumber asli sejarah Jakarta, Jilid I. Jakarta: Cipta Loka Caraka
  8. ^ Djajadiningrat, Hoesein (1983). Tinjauan kritis tentang sejarah Banten. (Terjemahan disertasi dari Critische bischorwing van de sadjarah Banten). Jakarta: Djambatan.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  9. ^ De Graaf, H. J. (1976). Islamic States in Java 1500-1700: Eight Dutch Books and Articles by Dr. H.J. de Graaf (dalam bahasa Inggris). Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (dalam Brill). ISBN 978-90-04-28700-6.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  10. ^ Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. Yogyakarta: LKIS Yogyakarta. ISBN 9798451163.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  11. ^ Heuken, Adolf (2000). Sumber-sumber asli sejarah Jakarta dokumen-dokumen sejarah Jakarta dari kedatangan kapal pertama Belanda sampai dengan tahun 1619. III. Cipta Loka Caraka: Jakarta.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)

  • Barros, J. de. (1777). Da Asia De Joāo De Barros: Dos Feitos, Que Os Portuguezes Fizeram No Descubrimento, E Conquista Dos Mares, E Terras Do Oriente. Decada Quarta. Parte Primeira (Bagian IV). Na Regia Officina Typografica.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  • Kotapradja Djakarta Raya. Jakarta: Departemen Penerangan RI. 1953.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  • Sedjarah Pemerintahan Kota Djakarta. Jakarta: Kotapradja Djakarta Raja. 1958.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
 

Artikel bertopik biografi Indonesia ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

  • l
  • b
  • s

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Fatahillah&oldid=20550250"