Nabi yang dikenal sebagai bapak para nabi adalah

Nabi yang dikenal sebagai bapak para nabi adalah

Setiap bulan Zulhijjah tiba, bulan ke-12 dalam hitungan kalender Hijriah, umat Islam di penjuru dunia kerap membicarakan salah seorang sosok yang mendapat mandat dari Allah sebagai nabi dan rasul. Beliau adalah Ibrahim ‘alaihi as-salam (as).

Sosok yang kita bicarakan ini, bukan saja dibahas dalam kitab suci Alquran yang diwahyukan kepada nabi dan rasul terakhir, Muhammad saw, namun juga telah banyak dibahas dari segenap kitab samawi. Kitab-kitab suci yang ajarannya bersumber dari langit atau sama’, seperti Zabur yang diturunkan pada Nabi Daud, Taurat kepada Nabi Musa, dan Injil untuk Nabi Isa.

Ibrahim bin Azzar bin Tahur bin Sarush bin Ra’uf bin Falish bin Tabir bin Shaleh bin Arfakhsad bin Syam bin Nuh dilahirkan di sebuah tempat bernama Faddam, A’ram, yang terletak di dalam kawasan kerajaan Babilonia sekitar tahun 2.295 SM. Kerajaan Babilonia waktu itu diperintah oleh seorang raja yang bengis dan mempunyai kekuasaan absolut lagi zalim yang bernama Namrudz bin Kan’aan.

Ibrahim dianggap sebagai salah satu nabi Ulul azmi. Dari keturunannya, beliau memiliki dua orang putra yang juga diangkat sebagai nabi dan rasul, yaitu Ismail dan Ishaq.  Dari kedua putranya inilah kelak muncul nabi-nabi. Dari garis keturunan Ismail melahirkan nabi akhir zaman, Muhamm saw. Sedang melalui mata rantai keturnan Ishaq, terlahir Nabi Yaqub (Israil), Yusuf, dan Isa as.

Oleh karena itulah, tidak salah jika Ibrahim diberi gelar sebagai Bapak Nabi-nabi (Abul Anbiya’), ada pun Nabi Nuh mendapat gelar Bapak para Rasul (Abu ar-Rusul), dan Nabi Adam masyhur dengan seebutan, moyang umat manusia (Abul Basyar). Pada masa Nabi Ibrahim, kebanyakan rakyat di Mesopotamia beragama politeisme yaitu menyembah lebih dari satu Tuhan dan menganut paganisme. Dewa Bulan atau Sin merupakan salah satu berhala yang paling penting. Bintang, bulan, dan matahari menjadi objek utama penyembahan. Karenanya,  astronomi merupakan ilmu yang sangat penting.

Dalam Kitab Kejadian dan Alquran diceritakan tentang proses pencarian kebenaran yang dilakukan oleh Ibrahim. Pada waktu malam yang gelap, beliau melihat sebuah bintang bersinar-sinar, lalu ia berkata. “Inikah Tuhanku?” Kemudian apabila bintang itu terbenam, ia kembali berkata. “Aku tidak suka kepada yang terbenam [hilang]”. Kemudian apabila dilihatnya bulan terbit lalu memancarkan cahayanya, dia pun berkata. “Inikah Tuhanku?” Maka setelah bulan itu terbenam, berkatalah dia. “Demi sesungguhnya, jika aku tidak diberikan petunjuk oleh Tuhanku, nescaya menjadilah aku dari kaum yang sesat”. Kemudian apabila dia melihat matahari sedang terbit lalu memancarkan cahaya, dia berkata. “Inikah Tuhanku? Ini lebih besar”. Namun setelah matahari terbenam, dia berkata. “Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri (bersih) dari apa yang kamu sekutukan (Allah dengannya)”.

Pencarian kebenaran yang dilakukan Ibrahim di atas merupakan daya logika yang dianugerahi kepadanya dalam menolak kepercayaan penyembahan berhala yang diyakini kaumnya serta menerima Tuhan pencipta bumi, langit, dan isinya. Setelah imannya begitu mantap dengan keesaan Allah, maka Ibrahim memulai dakwahnya dengan mengajak manusia yang paling dekat padanya, yaitu orang tuanya sendiri. Aazar. Namun sang ayah yang berprofesi sebagai idol creator itu, tidak mau menerima ajakan anaknya, dan menganggapnya sebagai anak durhaka. Puncak dari amarah Aazar adalah ketika mengusir putranya dari tempat tinggalnya, inilah senjata pamungkas orang tua sebagai pertanda bahwa hubungan anak dan bapak benar-benar kritis.

Gagal mengajak ayahnya untuk bertauhid (monotheis), tidak membuat semangat dakwah Ibrahim surut, kali ini mencoba berdakwah pada sang raja, Namrudz bin Kan’aan. Setali tiga uang, Raja zalim lagi tiran itu menolak dakwah, bahkan mereka berkolaborasi untuk menghabisi Ibrahim, dengan melemparkannya ke dalam api unggun yang menyala-nyala. Namun dengan kehendak Allah, api yang panas itu berubah menjadi dingin. Dan Ibrahim pun selamat dari maut. Ini semua hanya awal dari sebuah dakwah, rasul Allah yang bergelar khalilullah ini tetap menjalankan misi dakwaahnya, tanpa harus peduli jumlah pengikutnya.

Rute Minyak Wangi

Sadar akan ketidak-kuasaannya mengajak orang terdekat dan raja, serta segenap kaumnya untuk berpaham monoteis (la ilaha illallah), Ibrahim mulai gusar akan kelanjutan dakwah  yang harus terus bersambung. Dalam Kitab Kejadian (Genesis) menceritakan bahwa Ibrahim tidak memiliki anak dan sudah pupus harapan untuk memilikinya. Saat Sarah Istrinya, telah berumur 76 tahun, dan Ibrahim telah berusia 85 tahun. Umur yang telah lanjut untuk mengharap kehadiran seorang  anak pelanjut generasi. Sarah juga sadar akan hal itu, untuk itulah ia mengizinkan suaminya menikah dengan wanita yang lebih fresh, yaitu Hajar.  Seorang budak cantik asal Mesir. Sebagai manusia normal, perasaan cemburu dari istri pertama terhadap istri kedua kerap muncul, sehingga Hajar sering merasa sedih.

Suatu ketika –sebagaimana dituturkan Kitab Kejadian- Malaikat datang menghibur Sarah. “Berbahagilah, kamu akan diberi anak, namailah Ismail karena Tuhan telah mendengar penderitaanmu!” Hajar lalu menjumpai Ibrahim untuk menyampaikan pesan Malaikat itu. Ketika Hajar melahirkan seorang putra, Ibrahim lalu menamainya “Ismail” yang bermakna “Tuhan telah mendengar”.

Ketika Ibrahim berusia 100 tahun dan Sarah 91 tahun, Tuhan berfirman pada Ibrahim dengan menjanjikan kehadiran seorang putra dari Sarah yang harus dinamai Ishaq. Khawatir kalau-kalau kehadiran Ishaq akan mengurangi kasih sayangnya terhadap Ismail. Ibrahim lalu berdoa, “Semoga Ismail dalam hidayahMu ya Allah!” lalu Allah menjawab, “Aku mendengar doamu tentang Ismail. Tenanglah aku akan merahmatinya, dan menjadikan dia sebagai pemimpin suatu bangsa yang besar, tapi kehendak-Ku tentang Ishaq telah kutetapkan dan Sarah akan melahirkan tahun depan.” Seluruh peristiwa di atas menurut penuturan kitab-kitab samawi terjadi di Kota Babilonia.

Setelah Ishaq lahir, Sarah meminta kepada suaminya agar madunya itu keluar dari rumahnya dan mencari tempat tinggal lain. Maka Allah menuntun kedua hambanya itu, meninggalkan Kota Babilonia menuju sebuah lembah di bagian Selatan Kan’aan dengan 40 hari perjalanan menggunakan kendaraan unta. Rute ini padat lalu-lintas kafilah dengan sebutan “rute minyak wangi” karena dilewati parfum, kemenyan, kayu gaharu, dan barang-barang lain yang dibawa dari Arabia Selatan menuju Mediterania. 

Kisah ini ada dua versi, Genesis menyebut bahwa hanya Sarah dan si kecil Ismail yang berangkat mengikuti para kabilah itu. Namun dalam Alquran, Ibrahim turut mengantar anak dan Istrinya, lalu meninggalkan mereka di sebuah lembah gersang nan tandus. Dilukiskan bahwa semua sisinya dikelilingi bukit kecuali tiga bagian. Sebelah Selatan, Utara, dan satu sisi terbentang ke laut merah, 40 mil ke arah Barat.  Lembah itu dulunya bernama Bakkah, dan kini dinamai Makkah.

Si kecil Ismail, dan ibunya, Hajar, ditinggal dilembah yang tandus itu oleh Ibrahim. Ketika Ismail kehausan, dan air susu ibunya pun telah mengering, maka Hajar berusaha mencari bantuan. Namun tak seorang pun yang terlihat. Ia berlari-lari kecil sebanyak tujuh kali, di saat putus hendak melanda, sebuah keajaiban terjadi. Air terpancar dari tumit Ismail. Kelak, air ajaib itu dinamai “zam-zam”.

Rute Hajar bolak-balik berlari-lari kecil mencari pertolongan itulah menjadi salah satu rukun dalam ibadah haji, yang dinamakan thawaf atau berkeliling sebanyak tujuh kali sebagaimana yang telah dilakukan Hajar.

Bertahun-tahun kemudian, tempat ini telah ramai disinggahi oleh para kafilah “rute minyak wangi” berkat air ajaib itu. Hajar dan putranya menjadi penjaga sekaligus pemilik sumur itu, mereka mendapatkan upah dari para kafilah, dan masyarakat yang mulai menetap di lembah Bakkah. Zam-zam itu telah menjadi sumber kehidupan banyak orang.

Di saat Ismail telah tumbuh menjadi remaja, sang ayah muncul dengan membawa perintah dari langit lewat mimpi agar segera menyembelihnya. Ismail menyetujuinya. Namun ketika proses penyembelihan itu berlangsung, Allah menggantikannya dengan seekor domba. Peristiwa penyembelihan ini diabadikan oleh umat Islam di seluruh dunia, di mana saja berada dalam ritual qurban.

Dan pada lembah yang tandus inilah, Ibrahim dan putranya Ismail membangun Kakbah sebagai tempat beribadah bagi keturunannya, dan menjadi simbol pemersatu umat Islam yang bersumber dari ajaran Nabi Ibrahim dan dilanjutkan oleh Nabi Besar Muhammad saw. Saat ini, setidaknya 1,5 juta umat Islam datang menyambut seruan Allah, menyaksikan tanda-tanda kebesaran-Nya, dan mengenang perjuangan Ibrahim, Hajar, Ismail, dan Muhammad saw. Wallahu A’lam!   

Ilham Kadir, Mahasiswa Pascasarjana UMI Makassar, Peneliti LPPI Indonesia Timur

Momen peringatan Iduladha tidak dapat kita pisahkan dari ritual dan pengorbanan yang dijalankan oleh Nabi Ibrahim. Karenanya, mari kita gunakan kesempatan baik ini untuk menadaburinya, melakukan refleksi atasnya, dan meneladaninya.

Allah berfirman:

(120) Sungguh, Ibrahim adalah seorang imam (yang dapat dijadikan teladan), patuh kepada Allah dan hanif. Dan dia bukanlah termasuk orang musyrik (yang mempersekutukan Allah), (121) dia mensyukuri nikmat-nikmat-Nya. Allah telah memilihnya dan menunjukinya ke jalan yang lurus. (122) Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia, dan sesungguhnya di akhirat dia termasuk orang yang shalih. (QS An-Nahl 16:120)

Allah menegaskan bahwa dalam diri Nabi Ibrahim terdapat teladan.  Hanya Nabi Ibrahim yang selalu kita sebut dalam shalat, selain Nabi Muhammad. Doa yang kita baca untuk Nabi Muhammad ketika tasyahud selalu disetarakan dengan doa kita ke Nabi Ibrahim.

Ya Allah berilah selawat kepada Muhammad dan kepada keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberi selawat kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim. Ya Allah berilah berkah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah memberi berkah kepada Ibrahim dan kepada keluarga Ibrahim.

Nama Ibrahim disebut sebanyak 69 kali di 24 surat dalam Alquran. Nama Ibrahim juga diabadikan menjadi nama sebuah surat dalam Alquran, yaitu surat ke-14. Ibrahim adalah Bapak Para Nabi, Abulanbiya, karena sebanyak 19 keturunannya menjadi nabi, dari 25 nabi yang disebut dalam Alquran.

Predikat Nabi Ibrahim

Posisi istimewa Nabi Ibrahim juga diindikasikan dengan beragam predikat diberikan oleh Allah.

Pertama, Nabi Ibrahim sangat disayang oleh Allah dan karenanya berjuluk Kekasih Allah, Khalillulah. Pemberian predikat ini terekam pada ayat 125 Surat An-Nisa. Allah berfirman:

Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang dengan ikhlas berserah diri kepada Allah, sedang dia mengerjakan kebaikan, dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah telah memilih Ibrahim menjadi kekasih(-Nya). (QS An-Nisa 4:125).

Kedua, Nabi Ibrahim adalah manusia pilihan terbaik, Al-Musthafa. Allah berfirman:

Dan sungguh, di sisi Kami mereka termasuk orang-orang pilihan yang paling baik. (QS Shad 38:47).

Mengapa menjadi manusia pilihan? Ayat sebelumnya menjelaskan

Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishak dan Yakub yang mempunyai kekuatan-kekuatan yang besar dan ilmu-ilmu (yang tinggi). (QS Shad 38:45).

Ketiga, Nabi Ibrahim juga termasuk salah satu nabi yang dijuluki Ulilazmi, karena keteguhan hati yang dimilikinya. Selain Nabi Ibrahim, nabi yang dimasukkan ke dalam kelompok Ululazmi adalah Nabi Isa, Nabi Nuh, Nabi Musa, dan Nabi Muhammad. Nabi Muhammad pun diminta oleh Allah untuk meneladani ketabahan hati Ululazmi ini.

Maka bersabarlah engkau (Muhammad) sebagaimana kesabaran rasul-rasul yang memiliki keteguhan hati dan janganlah engkau meminta agar azab disegerakan untuk mereka. Pada hari mereka melihat azab yang dijanjikan, mereka merasa seolah-olah mereka tinggal (di dunia) hanya sesaat saja pada siang hari. Tugasmu hanya menyampaikan. Maka tidak ada yang dibinasakan kecuali kaum yang fasik (tidak taat kepada Allah). (QS Al-Ahqaf 46:35).

Pelajaran dari Nabi Ibrahim

Beragam pelajaran bisa kita dapatkan dari perjalanan hidup Nabi Ibrahim untuk kita teladani.

Pelajaran pertama. Nabi Ibrahim mengajarkan kita untuk terus memurnikan keimanan kepada Allah, termasuk dengan mengasah logika untuk meneguhkannya.

Kesadaran tauhid ini bahkan sudah dimiliki oleh Nabi Ibrahim ketika masih muda belia. QS Al-Anbiya ayat 52-54 merekam dialog antara Nabi Ibrahim dan ayahnya, Azar, yang berprofesi sebagai pembuat berhala, serta kaumnya.

(52) (Ingatlah), ketika dia (Ibrahim) berkata kepada ayahnya dan kaumnya, “Patung-patung apakah ini yang kamu tekun menyembahnya?” (53) Mereka menjawab, “Kami mendapati nenek moyang kami menyembahnya.” (54) Dia (Ibrahim) berkata, “Sesungguhnya kamu dan nenek moyang kamu berada dalam kesesatan yang nyata. (QS Alanbiya 21:51-54)

Episode debat antara Nabi Ibrahim dan kaumnya dapat mengingatkan kita untuk selalu meneguhkan keimanan kita, dengan argumen yang logis. Ayat 76-78 Surat Al-An’am merekam episode tersebut dengan sangat indah.

Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Ibrahim) melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Maka ketika bintang itu terbenam dia berkata, “Aku tidak suka kepada yang terbenam.” (QS Al-An’am 6:76)

Lalu ketika dia melihat bulan terbit dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Tetapi ketika bulan itu terbenam dia berkata, “Sungguh, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.” (QS Al-An’am 6:76)

Kemudian ketika dia melihat matahari terbit, dia berkata, “Inilah Tuhanku, ini lebih besar.” Tetapi ketika matahari terbenam, dia berkata, “Wahai kaumku! Sungguh, aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.” (QS Al-An’am 6:78)

Nabi Ibrahim meneguhkan keimanannya dengan menyatakan:

Aku hadapkan wajahku kepada (Allah) yang menciptakan langit dan bumi dengan penuh kepasrahan (mengikuti) agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik. (QS Al-An’am 6:79)

Keteguhan iman Nabi Ibrahim tak luntur sedikitpun bahkah ketika dihukum oleh Raja Namrud dan kaumnya dengan dibakar hidup-hidup. Allah menyelamatkannya dengan memerintahkan api menjadi dingin.

Kami (Allah) berfirman, “Wahai api! Jadilah kamu dingin, dan penyelamat bagi Ibrahim!” (QS Al-Anbiya 21:69)

Hubungan yang tidak baik antara Nabi Ibrahim dan ayahnya, akhirnya membuat Nabi Ibrahim diusir. Namun demikian, Nabi Ibrahim sebagai anak tetap menghormati ayahnya. Inilah pelajaran kedua.

Nabi Ibrahim mendoakan ayahnya,

… dan ampunilah ayahku, sesungguhnya dia termasuk orang yang sesat. (QS Asy-Syu’ara 26:86)

Doa Nabi Ibrahim kepada Ayahnya juga terekam dalam ayat lain.

Dia (Ibrahim) berkata, “Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memohonkan ampunan bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. (QS Maryam 19:48)

Episode ini mengajarkan kepada kita, dalam kondisi apapun, sikap santun kepada orang tua tetap harus dijaga.

Dalam ayat lain, Alquran mengajarkan kepada kita untuk selalu bersikap lemah lembut kepada dan merendahkan hati kita di hadapan orang tua kita. Kita diminta oleh Allah menggunakan kata yang mulia (qaulan kariman). Kita dilarang membentak dan meremehkan mereka.

Ini adalah pelajaran penting ketika semakin banyak anak muda melupakan akhlak bagaimana bersikap dengan orang tua.

Pelajaran ketiga. Di sisi lain, sebagai ayah, Nabi Ibrahim sangat menghargai anaknya, Nabi Ismail.

Dialog Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail ketika diperintah Allah untuk disembelih menggambarkan itu semua. Meski Nabi Ibrahim jelas diperintah oleh Allah, namun tidak serta merta menyembelih Nabi Ismail. Nabi Ibrahim bahkan bertanya kepada Nabi Ismail tentang pendapatnya. Sangat demokratis.

Nabi Ibrahim menganggap Nabi Ismail sebagai orang dewasa yang telah siap memilih, sebagaimana diceritakan pada QS Ash- Shaffat ayat 102:

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. (QS Ash- Shaffat 37: 102)

Episode ini juga memberikan pelajaran keempat, bahwa Nabi Ibrahim mencontohkan keikhlasan untuk mengorbankan anak yang dicintainya di jalan Allah. Kita bisa bayangkan tingginya rasa sayang Nabi Ibrahim kepada Nabi Ismail, yang lahir setelah penantian 86 tahun. Nabi Ishaq lahir 13 tahun setelah Nabi Ismail, ketika Nabi Ibrahim berumur 99 tahun.

Sanggup mengorbankan sesuatu yang kita cintai, seperti harta, di jalan Allah dengan ikhlas adalah salah satu sifat orang bertakwa. Hewan kurban yang kita sembelih mulai hari ini adalah satu cara kita meneladani Nabi Ibrahim.

Pelajaran kelima. Nabi Ibrahim sangat peduli dengan masa depan keturunannya, baik dari aspek keimanan maupun kesejahteraan. Doa Nabi Ibrahim berikut mengindikasikan itu.

Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. (QS Ibrahim 14: 37)

Tentu masih banyak pelajaran yang dapat kita teladani dari Nabi Ibrahim. Di akhir khutbah ini, mari kita rangkum pelajaran tersebut:

  1. Sebagai hamba Allah, kita belajar untuk selalu menemurnikan dan meneguhkan imam; kita juga belajar keikhlasan dalam mengorbankan sesuatu yang kita cintai;
  2. Sebagai anak, kita belajar untuk tetap menghormati dan mendoakan orang tua, dalam kondisi apapun;
  3. Sebagai orang tua, kita belajar untuk menghargai anak dan mendengar pendapatnya;
  4. Sebagai pendahulu, kita belajar untuk peduli dengan masa dengan keturunan, tidak hanya dari sisi iman, tetapi juga kesejahteraan.

Mari, momentum Iduladha ini kita jadikan untuk memperbaiki diri. Semoga dengan pertolongan Allah, kita selalu merasa ringan dan mudah dalam mengikuti teladan yang diberikan oleh Nabi Ibrahim.

Disarikan dari khutbah Iduladha 1440 di Alun-alun Utara, Yogyakarta pada 10 Zulhijah 1440/11 Agustus 2019.