Nilai-nilai yang dapat diperoleh setelah membaca karya sastra adalah sebagai berikut kecuali

Dalam mempelajari karya sastra, kita akan dihadapkan dengan sejumlah nilai yang keberadaannya dipengaruhi oleh latar cerita tersebut. Dimana, nilai dalam sebuah karya sastra dimaksudkan untuk menyampaikan pesan atau pelajaran-pelajaran mengenai kehidupan. Hal yang sama berlaku pada Hikayat, dimana ini juga memiliki nilai-nilai didalamnya.

Untuk diketahui, hikayat merupakan salah satu jenis karya sastra yang termasuk dalam kategori prosa lama. Karya ini memiliki cerita yang khas dan konsep yang dijadikan dasar bertindak maupun berperilaku. Meskipun hikayat merupakan karya sastra klasik, tetapi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya masih relevan dengan kehidupan masa kini.

Nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra disampaikan secara halus, sehingga pembaca sering kali secara tidak sadar telah mendapat nasihat atau wejangan.

Dalam hikayat, setidaknya ada 5 nilai-nilai yang bisa kita dapatkan saat membacanya, itu meliputi nilai moral, nilai sosial, nilai agama, nilai budaya, dan nilai pendidikan. Berikut penjelasannya!

Nilai moral merupakan nilai yang menjadi standar baik dan buruk. Secara umum, nilai moral adalah nasihat-nasihat yang berkaitan dengan budi pekerti, perilaku, atau tata susila yang dapat diperoleh pembaca dari cerita yang dibaca atau dinikmatinya. Perbuatan moral yang baik antara lain adalah menghargai orang lain, berderma, setia, dan jujur.

(Baca juga: Pengertian Hikayat dan Jenisnya)

Nilai sosial adalah nilai yang berasal dari hubungan masyarakat. Indikasi nilai sosial dikaitkan dengan kepatuhan dan kepantasan bila diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Adapun contoh nilai sosial adalah kerjasama, kepedulian, toleransi, dan kebersamaan.

Nilai agama adalah nilai yang berasal dari ajaran agama. Nilai agama memiliki kebenaran yang mutlak. Nilai agama biasanya ditandai dengan penggunaan kata dan konsep Tuhan, makhluk ghaib, dosa-pahala, serta surge-neraka.

Nilai budaya adalah nilai yang berasal dari suatu masyarakat dan mempengaruhi perilakunya terhadap alam dan sesama manusia. Ciri khas nilai-nilai budaya dibandingkan nilai lainnya adalah masyarakat takut meninggalkan atau menentang nilai tersebut karena “takut” sesuatu yang buruk akan menimpanya.

Nilai pendidikan adalah nilai yang muncul dari upaya untuk mengantar manusia menuju kedewasaan, kematangan pikiran, dan kekuatan karakter.

Nilai-nilai yang dapat diperoleh setelah membaca karya sastra adalah sebagai berikut kecuali

T.S. Eliot menyatakan bahwa keagungan cipta sastra hanya dapat ditangkap secara utuh jika diikutsertakan pula unsur-unsur metasastra seperti filsafat, agama, politik, sosiologi, dan sebagainya (dalam Ahar, 1975). Karya sastra ciptaan sastrawan besar sering melukiskan kecemasan, harapan dan aspirasi manusia. Sastra bahkan mugkin merupakan salah satu barometer sosiologi yang efektif dalam mengukur tanggapan manusia terhadap kekuatan-kekuatan sosial (Damono, 1979).

Sastra, yang tergabung dalam Ilmu-Ilmu Humaniora (IIH), bersama-sama dengan filsafat, etika, estetika, sejarah, bahasa, agama, ilmu hukum, ilmu purbakala, serta kritik seni, secara kolektif merupakan suatu kerangka sekaligus kosakata bagi telaah-telaah mengenai nilai-nilai kemanusiaan, kebutuhan, aspirasi, juga kemampuan dan kelemahan manusia seperti terungkap dalam kebudayaannya.

Mempelajari, tepatnya menelaah karya sastra akan membantu kita menangkap makna yang terkandung dalam pengalaman- pengalaman kita, dan memberikan cara-cara memahami segenap jenis kegiatan kemasyarakatan, serta maksud yang terkandung dalam kegiatan-kegiatan tersebut, baik kegiatan masyarakat kita sendiri maupun masyarakat lain. Sayangnya, tidak banyak para teknokrat dan penentu kebijakan negeri ini yang menyadari akan hal ini.

Fungsi lain yang dapat dikembangkan melalui membaca dan menelaah karya sastra adalah kemampuan untuk mengembangkan kebiasaan dan perangkat intelektual yang dapat menopang pelaksanaan analisis, penilaian, dan kritik secara mandiri. Kemampuan jenis terakhir ini akan terasa sangat penting ketika kita berhadapan dengan persoalan moralitas, baik moralitas sosial (public morality) maupun moralitas pribadi (private morality).

Sebagai ilustrasi, ketika kita membaca karya sastra (hikayat, puisi, cerpen, novel, dan drama), secara otomatis kita akan menerobos lingkungan ruang dan waktu yang ada di sekitar kita. Karya-karya fiksi dan puisi besar yang diberi predikat “karya sastra” (literer) adalah karya-karya yang berhasil membangunkan manusia atas rasa empati dengan tokoh-tokoh dalam karya-karya termaksud.

Karya sastra membuat kita mampu memahami segenap perjuangan tokoh-tokoh yang dilukiskannya, turut gembira dengan kebahagiaan yang dicapainya, dan turut bersedih dengan kemalangan yang dialaminya. Kita mengenali diri kita sendiri pada tokoh-tokoh dalam karya sastra yang kita baca. Dengan membaca karya sastra dalam bentuk novel, cerpen, drama, dan puisi, kita turut menghayati segenap kebahagiaan dan kesedihan yang dialami tokoh-tokoh kita. Dalam proses penghayatan ini dunia kita diperluas, menembus batas- batas duniawi yang ada di sekitar kita (Al-Ma’ruf, 2003).

Kemampuan untuk memproyeksikan daya imajinasi kita ke dalam pengalaman orang lain memupuk kesadaran kita akan adanya persamaan dalam pengalaman dan aspirasi manusia. Hal ini merupakan permulaan dari kemampuan untuk mengembangkan empati dan toleransi. Secara luas makna empati adalah kemampuan untuk mengidentifikasikan diri secara penuh dengan orang lain, dan melalui proses ini memahami pula orang lain. Kemampuan inilah yang mengikat orang tua dengan anaknya, dengan sesama tetangga, dengan sesama warga negara, dan seterusnya. Empati merupakan landasan paling esensial bagi proses pembinaan bangsa.

Adapun toleransi adalah kemampuan untuk menerima dan mengakui keabsahan suatu perbedaan, dan dengan demikian toleransi menjadi landasan mendasar bagi terciptanya hubungan damai, baik internal bangsa maupun antara bangsa-bangsa. Kesemuanya itu dapat diperoleh melalui membaca karya sastra dan menelaahnya secara holistik atau komprehensif.

Berbagai nilai kehidupan dan pesan-pesan moral yang bermanfaat bagi manusia untuk memperkaya khasanah batinnya terkandung di dalam karya sastra bagaikan mosaik yang indah, yang tidak ditemukan dalam karya lainnya. Nilai-nilai kehidupan itu beraneka ragam baik yang berkaitan dengan kemanusiaan, sosial, kultural, moral, politik, ekonomi, dan gender. Tak ketinggalan nilai-nilai kehidupan yang berhubungan dengan ambisi, simpati, empati dan toleransi, cinta dan kasih sayang, dendam, iri hati, rasa berdosa, kegundahan dan kegamangan hidup, serta kematian. Kesemuanya dapat kita temukan dalam karya sastra.

Telaah atau studi karya sastra dengan demikian mencakup suatu kawasan yang paling manusiawi dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini, suatu kawasan pemikiran yang secara esensial menyentuh masalah-masalah kehormatan, prestis atau harga diri, keberanian, kebebasan, keadilan, dan kelurusan. Semua itu merupakan persoalan-persoalan inti bagi penggalangan motivasi dan keberhasilan usaha, dan karena itu merupakan persoalan-persoalan pokok bagi pembangunan karakter bangsa. Apresiasi dan telaah sastra dapat digunakan sebagai jendela untuk mengintip manusia dengan segenap kompetensi, ambisi, sifat, dan karakternya yang kompleks, unik, dan variatif.

JAKARTA - Minat membaca di Indonesia sering dikatakan rendah. Hal tersebut terbukti dari paparan Lembaga UNESCO yang merilis survei terhadap minat baca di 61 negara. Hasilnya, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen atau menempati peringkat kedua terbawah dari seluruh negara yang disurvei.

Padahal, membaca merupakan kegiatan dalam bagian pendidikan yang mesti ditanam dan diasah. Apalagi membaca karya sastra. Sebab, karya sastra dinilai mampu memberikan dampak positif, salah satunya pertumbuhan daya kreativitas.

Dr. Steven Lynn, seorang akademisi di University of South Carolina membahas alasan-alasan mengapa mempelajari karya sastra itu penting. Apa saja? Berikut paparannya seperti dinukil dari Caffeinated Thoughts.

Meningkatkan imajinasi

Membaca karya sastra dapat mengolah imajinasi pembaca. Hal ini disebabkan karena karya sastra memberikan gambaran secara utuh dalam bentuk teks, sehingga mengasah pembaca untuk berimajinasi. Ide-ide dalam karya sastra yang kadang liar dan out of the box juga menjadi salah satu faktor penyebabnya.

Meningkatkan kemampuan komunikasi

Menulis dan bertutur tentang sastra membantu mempersiapkan siswa untuk menulis dan berbicara tentang apapun. Mereka tidak hanya mampu bekerja dengan kata-kata dan bahasa yang terukur saja, tetapi juga memahami kata-kata.

Kemampuan analisis

Karya sastra entah itu puisi, fiksi, dan drama, akan memberikan sebuah koneksi untuk mempertanyakan dan memperhatikan detail. Membaca karya-karya ini juga dinilai dapat meningkatkan kemampuan menganalisis.

Empati

Karya sastra memungkinkan kita untuk menerima perspektif yang berbeda. Lewat membaca sastra, kamu bisa merasakan menjadi putri raja, polisi, buruan, atau pengungsi sekalipun. Kamu diajak untuk menjadi siapa saja lewat bacaan yang ada di karya sastra. Oleh sebab itu, lewat membaca sastra, siswa akan diajarkan nilai-nilai empati.

Problem solving

Melalui sastra, siswa diajarkan bagaimana sebuah plot cerita bekerja. Mulai dari prolog, konflik, hingga penyelesaiannya yang lazim, umum, dan masuk akal. Dengan demikian, siswa yang belajar karya sastra ini akan memiliki kemampuan problem solving yang baik.

Kekayaan pengalaman

Sastra sejarah memungkinkan pembacanya untuk melakukan perjalanan ke masa lampau. Selain itu, sastra juga membuat para pembacanya bisa mengunjungi tempat, waktu, dan budaya yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Itulah mengapa karya sastra akan memberikan pembacanya kekayaan pengalaman.

(sus)

  • #Sastra
  • #Pendidikan Indonesia
  • #Minat Baca
  • #Karya sastra