Negara kita dikenal dengan kekayaan hayati tanaman obat, dan warisan budaya dalam pemanfaatan tanaman obat. Herbal sejak zaman nenek moyang, sudah dimanfaatkan secara rutin sebagai ?ramuan jamu? baik untuk manusia maupun ternak. Tanaman obat (herbal) dapat menjadi produk jamu yang bermanfaat untuk tubuh dan lingkungan. Namun perlu diingat jika pemberiannya tidak boleh sembarangan karena dapat menurunkan khasiat dari ramuan herbal ini, seperti proses pembuatan, dosis pemakaian, serta penanganan produk jadinya. Tanaman Obat Herbal Sebagian besar obat herbal berasal dari ekstrak tanaman. Beberapa jenis tanaman obat seperti kunyit, jahe, lengkuas, temulawak, lempuyang, dan kencur, biasa dibuat ramuan yang sering disebut ?jamu hewan? yang berguna untuk menjaga kesegaran tubuh dan memperlancar peredaran darah. Tanaman obat lainnya seperti mengkudu, sambiloto, lidah buaya, temu ireng, bawang putih, meniran, daun sirih, mahkota dewa, gula tetes tebu dan lain sebagainya dimanfaatkan sebagai ?feed supplement? atau ?feed additive?. Bahan-bahan tanaman obat tersebut dapat berupa sediaan dalam bentuk tepung atau sediaan cair. Manfaat dan Keuntungan Obat Herbal Selama ini diketahui tanaman herbal memiliki berbagai nutrisi dan senyawa kimia yang berkhasiat. Beberapa peternak memanfaatkan ramuan herbal untuk mengurangi penggunaan suplemen atau obat-obatan kimia. Oleh karena itu perlu dicari alternatif sumber alami (herbal) sebagai substitusi obat kimia yang baik di dalam pakan maupun air minum. Manfaat dan keuntungan obat herbal untuk unggas, antara lain:
Alasan lain, pemberian suplemen dan obat-obatan pabrik yang berlebihan pada ayam dikhawatirkan akan mengakibatkan resistensi dan menimbulkan residu pada produk daging atau telur yang dihasilkan, sehingga berbahaya bagi manusia jika dikonsumsi terus menerus dalam jangka waktu lama. Beberapa contoh praktek pemberian ramuan herbal yang umum dilakukan peternak antara lain pemberian temulawak dan kunyit untuk meningkatkan nafsu makan ayam, jahe untuk meningkatkan stamina, daun sirih untuk antibakteri dan antiradang, daun pepaya untuk mengobati penyakit leucocytozoonosis, buah pinang untuk mengobati cacingan, dan masih banyak contoh lainnya. Penggunaan Produk Herbal Sampai saat ini sebenarnya penggunaan bahan herbal yang diproduksi oleh perorangan masih diragukan keamanannya, terutama untuk pengobatan unggas. Hal ini dikarenakan proses pembuatan, penyediaan, maupun penggunaan produk herbal belum semuanya sesuai standar. Menurut Kementerian Pertanian (keputusan Menteri Pertanian Nomor 453 Tahun 2000 tentang obat alami untuk hewan), peraturan dan standar pembuatan, penyediaan, dan peredaran produk herbal untuk hewan di Indonesia sama dengan produk sintetik, di antaranya yaitu:
Belum semua produk herbal memenuhi standar karena dalam pengembangan produk herbal kerap menemui beberapa kendala, antara lain:
Produk Obat Herbal dan Obat Sintetik Meski produk herbal telah diketahui memiliki banyak khasiat/manfaat, bukan berarti peternak unggas harus menggantungkan program medikasi (pemberian obat dan suplemen) hanya dari produk herbal. Bagaimanapun, obat sintetik yang saat ini banyak dijual di pasaran masih perlu digunakan. Berikut tabel perbandingan penggunaan produk herbal dan sintetik:
Mengenai bahaya resistensi dan residu dari produk sintetik, terutama produk antibiotik sintetik, masih sangat mungkin kita hindari. Resistensi antibiotik bisa terjadi karena pemberian dosis yang tidak sesuai, pemilihan antibiotik yang tidak tepat, pengobatan yang tidak tuntas maupun pemberian antibiotik dari golongan yang sama digunakan secara terus-menerus. Solusi yang tepat untuk mengatasi resistensi ini ialah dengan melakukan rolling antibiotik (menggunakan atau memberikan antibiotik dari golongan berbeda setiap interval 3-4 kali periode pengobatan). Sedangkan untuk menghindari residu antibiotik, perhatikan keterangan waktu henti obat sebelum ayam dipotong/dikonsumsi pada label kemasan obat. Dengan demikian diharapkan karkas ayam pedaging bebas dari residu antibiotik. Dalam penggunaan produk herbal sebaiknya pilih produk herbal yang sudah terstandarisasi. Beberapa perusahaan obat hewan, termasuk Medion, kini mulai mengembangkan beberapa produk herbal yang aman dan sudah terstandarisasi, baik kualitas bahan baku maupun produk jadinya. Contohnya Ammotrol yang berfungsi mengikat gas amonia dalam kandang, Kumavit yang berperan sebagai suplemen multivitamin herbal yang mampu meningkatkan produktivitas ternak, dan Imustim untuk menstimulasi sistem imun, meningkatkan nafsu makan, dan membantu pemulihan kesehatan. Salam. Info Medion Edisi Maret 2016 Jika Anda akan mengutip artikel ini, harap mencantumkan artikel bersumber dari Info Medion Online (http://info.medion.co.id).
Laporan oleh Artanti Hendriyana Dosen Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Unpad Yusup Hidayat, SP., M.Phil., Ph.D, saat menyampaikan materi pada Webinar Series #5 “Pengendalian Serangga Hama Menggunakan Pestisida Nabati”, Kamis (27/8).*[unpad.ac.id, 27/8/2020] Sebagai salah satu alternatif pengendalian serangga hama tanaman, penggunaan pestisida nabati dinilai aman digunakan. Proses pembuatannya pun tidak sulit. Petisida ini dibuat dengan menggunakan bahan baku yang mudah ditemui. “Pestisida nabati adalah pestisida yang bahan aktifnya berasal dari tanaman,” jelas Dosen Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Unpad Yusup Hidayat, SP., M.Phil., Ph.D saat menjadi pembicara dalam Webinar Series #5 “Pengendalian Serangga Hama Menggunakan Pestisida Nabati”, Kamis (27/8). (baca juga: Teknologi Nano Wujudkan Formulasi Pestisida Ramah Lingkungan) Lebih lanjut Yusup mengatakan, tanaman yang berpotensi sebagai bahan pestisida di antaranya memiliki ciri beraroma kuat, rasa yang pahit, tidak disukai serangga hama, dan dapat digunakan sebagai tanaman obat. Sejumlah tanaman yang dapat digunakan sebagai bahan baku pestisida nabati seperti daun pepaya, brotowali, bawang putih, mimba, kipait, saliara, suren, dan jarak pagar. Pembicara lain, Pranata Laboratorium Pendidikan Laboratorium Pestisida dan Toksikologi Lingkungan Faperta Unpad Ema Budiman, S.E. menjelaskan bahwa pestisida nabati dapat menolak kehadiran serangga karena baunya yang menyengat. (baca juga: Pertanian Indonesia Harus Akrab Teknologi) Selain itu, pestisida nabati juga dapat mencegah serangga memakan tanaman, menghambat reproduksi serangga, mengacaukan sistem hormon di dalam tubuh serangga, dan mengendalikan pertumbuhan jamur dan bakteri. Menurut Ema, proses pembuatan pestisida nabati terbilang murah dan mudah. Pestisida nabati juga aman pada manusia dan lingkungan, termasuk tidak meracuni tanaman. Pestisida berbahan alam ini juga dapat diandalkan untuk mengatasi OPT yang telah mengalami resistensi terhadap pestisida sintetis. Meski demikian, petisida nabati memiliki beberapa kelemahan, seperti cepat terurai dan daya kerjanya relatif lambat sehingga harus sering diaplikasikan. Selain itu, produksi pestisida nabati juga belum dapat dilakukan dalam jumlah besar dan tidak tahan disimpan lama. (baca juga: Pandemi Covid-19, Indonesia Harus Siap Wujudkan Ketahanan dan Kemandirian Pangan) “Penggunaan pestisida bahan alam harus relatif lebih sering dibanding pestisida sintetis,” ujar Ema. Pada kesempatan tersebut, Ema memperkenalkan proses pembuatan pestisida nabati menggunakan daun sirsak. Pestisida berbahan dasar daun sirsak ini dinilai sederhana dan mudah dibuat. Untuk membuat pestisida nabati berbahan dasar daun sirsak, terlebih dahulu daun sirsak dipotong-potong, kemudian ditambah air lalu diblender atau dihancurkan. Selanjutnya, bahan tersebut ditambahkan detergen dan direndam selama 24 jam. Hasil rendaman kemudian disaring, diencerkan, dan siap diaplikasikan pada tanaman. “Ini pestisida yang sederhana. Pestisida yang ramah lingkungan,” ujar Ema.(arm)* |