Ok google jelaskan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat yang tinggal di daerah gunung api aktif

Meredam Gejolak Sang Ancala

Indonesia yang memiliki ratusan gunung berapi harus selalu siap dengan kemungkinan terjadinya letusan gunung api yang sulit diprediksi.

Menyiapkan atau melatih warga di sekitar wilayah bersangkutan akan menekan korban bila terjadi bencana.

Secara geografis, Indonesia berada d lingkaran api Pasifik dan merupakan pertemuan tiga lempeng tektonik dunia seperti Lempeng Indo-Australia, Lempeng Eurasia dan Lempeng Pasifik.

Oleh sebab itu, Indonesia merupakan negara yang rawan dengan bencana seperti gempa bumi, letusan gunung berapi hingga tsunami. Tak kurang dari 500 gunung berapi yang tersebar di Indonesia, sekitar 127 di antaranya adalah gunung api aktif dan tujuh ancala (gunung dalam bahasa Sansekerta) di antaranya seringkali meletus.

Berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 15/2011 secara mekanismenya, bahaya gunung api dibedakan menjadi bahaya primer (langsung) dan bahaya sekunder (tidak langsung).

Bahaya primer merupakan bahaya yang diakibatkan secara langsung oleh produk erupsi gunung api, yaitu aliran lava, aliran piroklastik, jatuhan piroklastik (lontaran batu pijar dan hujan abu), gas beracun, dan lahar letusan. Adapun bahaya sekunder merupakan bahaya yang diakibatkan secara tidak langsung oleh produk erupsi gunung api, yaitu lahar dan longsoran gunung api.

Saat ini, terdapat tiga gunung api yang status aktivitasnya berada pada level siaga dan mengalami erupsi yaitu Gunung Api Sinabung di Karo, Sumatra Utara, Gunung Merapi di Yogyakarta, dan Gunung Lewotolok di Lembata, Nusa Tenggara Timur.

Menurut data aktivitas gunung api dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) hingga pekan pertama April 2021, Gunung Api Sinabung memiliki potensi untuk terjadi hujan abu dan masyarakat juga direkomendasikan agar tetap waspada terhadap bahaya lahar.

Pada gunung Merapi, potensi bahaya saat ini berupa guguran lava dan awan panas dan lontaran material vulkanik bila terjadi erupsi eksplosif sehingga masyarakat diimbau untuk tidak melakukan apapun di daerah potensi bahaya.

Demikian pula yang terjadi dengan gunung Lewotolok, abu vulkanik hingga saat ini jatuh di beberapa sektor di sekeliling gunung.

Ahli Vulkanologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Agung Harijoko mengatakan bahwa dari ketiga gunung tersebut, Gunung Sinabung yang belum dapat diprediksi perilakunya. Pasalnya, sebelum 2010, gunung tersebut tidak tercatat pada data monitoring aktivitas gunung api, dan secara mengejutkan meletus pada 27 Agustus 2010.

"Sinabung ini lama sekali istirahat tetapi kemudian pada 2010 terjadi erupsi. Kita ingin tahu sebenarnya dia akan setiap berapa tahun mengalami erupsi. Kalau Merapi itu kan kadang 5 atau 8 tahun mengalami erupsi," tuturnya.

Agung mengatakan bahwa PVMBG selalu menjalankan tugasnya sebagai pemegang otoritas yaitu melaporkan, memonitoring, kemudian memberikan rekomendasi apa yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah setempat kepada masyarakat.

Misalnya, terkait gunung Merapi, PVMBG berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten Magelang, Sleman, Klaten, dan Boyolali sesuai dengan aturan yang ada.

"Jika kemudian harus mengevakuasi warga dan mendirikan shelter pengungsian, maka BPBD [Badan Penanggulangan Bencana Daerah] dengan pemerintah daerah setempat yang melaksanakan sesuai dengan rekomendasi dan arahan dari PVMBG."

Bagi masyarakat yang tinggal di lokasi sekitar ketiga gunung api tersebut, Agung mengimbau agar warga selalu memonitor informasi baik dari PVMBG maupun dari pemerintah daerah setempat.

Kasubbid Mitigasi Gunung Api Wilayah Barat Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kristianto mengatakan bahwa lembaga itu selalu melakukan evaluasi tingkat aktivitas gunung api. Berdasarkan Permen ESDM No. 15/2011, tingkat aktivitas gunung api terbagi menjadi 4 yaitu level I (normal), level II (waspada), level III (siaga), dan level IV (awas).

Kristianto menjelaskan bahwa untuk gunung api dengan level normal dilakukan evaluasi tiap sebulan sekali, level waspada dilakukan sebulan dua kali, pada level siaga dilakukan setiap minggu, dan setiap hari untuk level gunung api yang sudah awas.

"Kegiatan gunung api tadi dengan tingkat aktivitas yang berbeda harus selalu diinformasikan kepada stakeholder kita yang ada di wilayah sekitar gunung api tersebut," tuturnya.

Melalui evaluasi tadi, status sebuah gunung api bisa saja dinaikkan atau diturunkan atau juga tetap pada levelnya. Jika status gunung sudah meningkat, misalnya dari status waspada ke siapa atau siaga ke awas, Kristianto mengatakan bahwa lembaga itu sudah perlu menurunkan tim tanggap darurat.

"Jika status meningkat, kita akan makin sering berkoordinasi bersama pengamat, Pemda, dan BPBD yang ada di lokasi gunung api tersebut," katanya.

INFORMASI DIGITAL

PVMBG juga menyediakan aplikasi informasi digital MAGMA Indonesia (Multiplatform Application for Geohazard Mitigation and Assessment in Indonesia) yang dapat dimanfaatkan masyarakat untuk mengetahui laporan rutin aktivitas gunung api per 6 jam maupun 24 jam.

Kegiatan penyebaran informasi yang ditujukan kepada kelompok atau individu tertentu atau diseminasi itu diharapkan mampu menekan efek korban jiwa jika terjadi bencana letusan gunung api mengingat masih banyak masyarakat yang bermukim di kawasan rawan bencana.

Kristianto juga mengungkapkan kendala dan tantangan dalam upaya mitigasi bencana gunung api ada pada tingkat pemahaman masyarakat yang dianggap masih belum sepenuhnya mematuhi arahan yang diberikan terutama ketika harus dilakukannya proses evakuasi.

"Kadang ada masyarakat yang tidak mau dievakuasi dan itu alasannya macam-macam misalnya mereka ingin menjaga kebun mereka," ujarnya.

Biasanya, katanya, untuk masyarakat yang tinggal di kawasan sekitar gunung api yang sering meletus sudah memiliki kesadaran yang cukup tinggi, sehingga mematuhi arahan koordinasi tim mitigasi.

Adapun, untuk masyarakat yang tinggal di kawasan gunung api yang tidak memiliki sejarah letusan yang pernah terjadi, cenderung membuat tim mitigasi berusaha ekstra dalam memberikan arahan tentang ancaman bencana yang bisa saja terjadi. Gunung api ini biasanya adalah tipe C yaitu gunung api yang tidak memiliki catatan sejarah letusan, tetapi masih memperlihatkan jejak aktivitas vulkanik, seperti solfatara atau fumarole.

Lihat Foto

AFP PHOTO/FREDERIC J BROWN

Semburan lahar yang muncul dari retakan terlihat di kawasan Leilani Estates di Hawaii, Jumat (4/5/2018). Letusan Gunung Kilauea diawali guncangan gempa berkekuatan magnitudo 6,9 yang memicu runtuhnya tebing pantai dan memuntahkan lahar di kawasan yang dekat dengan permukiman, memaksa ribuan orang untuk dievakuasi.

KOMPAS.com - Indonesia adalah negara dengan gunung api terbanyak. Sebagian gunung api di Indonesia aktif dan masih meletus.

Untuk itu, perlu ada kesiapsiagaan dalam mengantisipasi erupsi gunung api.

Dikutip dari situs BNPB, berikut hal-hal yang harus selalu disiapkan, terutama yang tinggal di dekat gunung api:

  • Masker
  • Kacamata pelindung
  • Makanan siap saji
  • Lampu senter
  • Baterai cadangan
  • Uang tunai
  • Obat-obatan

Baca juga: Penyebab Gunung Meletus

Erupsi gunung api memiliki dua jenis bahaya berdasarkan waktu kejadian. Ada bahaya primer dan bahaya sekunder. Berikut penjelasannya:

  • Awan panas dengan suhu 300-700 derajat celsius yang mampu bergerak lebih dari 70 kilometer per jam
  • Aliran lava yang suhunya lebih dari 10.000 derajat celsius dan dapat merusak segala bentuk infrastruktur
  • Gas beracun yang tidak berwarna, berbau, dan mematikan jika terhirup. Antara lain karbon dioksida, sulfur, fumarol, dan mofet
  • Lontaran material pijar ketika letusan magmatis berlangsung. Suhunya mencapai 200 derajat celsius, diameter lebih ari 10 sentimeter dengan daya lontar ratusan kilometer
  • Hujan abu yang materialnya tampak halus dan bergerak sesuai arah angin
  • Lahar letusan terjadi pada gunung berapi yang mempunyai danau kawah, terjadi bersamaan saat letusan. Air bercampur material lepas gunung berapi mengalir dan bentuk banjir lahar.

Baca juga: Tanda-tanda Gunung Meletus

Lihat Foto

REUTERS/Jorge Silva

Foto udara memperlihatkan Whaakari, dikenal juga sebagai Pulau Putih, dengan gunungnya yang berasap pada 12 Desember 2019. Gunung meletus yang terjadi pada 9 Desember 2019 itu mengakibatkan 8 orang tewas, dan 9 orang dilaporkan hilang, dengan diprediksi mereka tidak selamat.

Menghadapi gunung berapi

Ketika gunung berapi mulai erupsi, berikut hal-hal yang harus dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan:

  • Tidak berasa di lokasi yang diminta untuk dikosongkan
  • Tidak berada di lembah atau daerah aliran sungai
  • Hindari tempat terbuka, lindungi diri dari abu letusan gunung api
  • Gunakan kacamata pelindung
  • Jangan memakai lensa kontak
  • Gunakan masker atau kain basah untuk menutup mulut dan hidung
  • Kenakan pakaian tertutup yang melindungi tubuh seperti baju, lengan panjang, celana panjang, dan topi
  • Hindari mengendarai mobil di daerah yang terkena hujan abu vulkanik sebab bisa merusak mesin kendaraan
  • Bersihkan atap dari timbunan debu vulkanik karena beratnya bisa merobohkan dan merusak atap rumah atau bangunan
  • Waspadai wilayah aliran sungai yang berpotensi terlanda bahaya lahar pada musim hujan

Baca juga: Letusan Gunung Berapi

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link //t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berikutnya

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA