Organisasi kepolisian pada masa Daulah Bani Umayyah disebut

  • Perkembangan kebudayaan pada masa Bani Umayyah di Damaskus

Dinasti Bani Umayah berdiri selama lebih kurang 90 tahun (40-132H atau 661-750 M), dengan Damaskus sebagai pusat pemerintahannya. Muawiyah bin Abi Sufyan (661-680 M) adalah pendiri Dinasti Bani Umayah dan penguasa imperium yang sangat luas. Selama 20 tahun masa pemerintahannya ia terlibat dalam sejumlah peperangan dengan penguasa Romawi baik dalam pertempuran darat maupun laut. Wilayah kekuasaan dinasti ini meliputi daerah Timur Tengah, Afrika Utara dan Spanyol. Muawiyah meninggal dunia pada Kamis pertengahan Rajab 60 H dalam usia 78 tahun. Secara berturut-turut, para Khalifah Daulah Umayyah di Damaskus adalah sebagai berikut.

  • Muawiyah I (41-60 H/661-680 M)
  • Yazid I (60-64 H/680-683 M)
  • Muawiyah II (64 H/683 M)
  • Marwan I (64-65 H/684-685 M)
  • Abdul Malik bin Marwan (65-86 H/685-705 M)
  • Al-Walid I (86-96 H/705-715 M)
  • Sulaiman bin Abdul Malik (96-99 H/715-717 M)
  • Umar bin Abdul Aziz (99-101 H/717-720 M)
  • Yazid II (101-105 H/720-724 M)
  • Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/724-743 M)
  • Al-Walid II (125-126 H/743-744 M)
  • Yazid III (126 H/744 M)
  • Ibrahim bin Walid (126 H/744 M)
  • Marwan II (127-132 H/744-750 M)

Perkembangan kebudayaan Islam masa Bani Umayyah tidak lepas dari berbagai kebijakan yang telah diambil. Secara umum, Bani Umayyah lebih banyak mengarahkan kebijakannya pada perluasan kekuasan politik atau perluasan wilayah, baik ke Timur maupun ke Barat. Peranan dinasti ini dalam menyebarluaskan Islam cukup besar. Pada masa ini banyak daerah yang dikuasai umat Islam.

Kebijakan pemerintahan yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan Islam Bani Umayyah adalah pada saat Muawiyah bin Abi Sufyan memerintah sebagai khalifah pertama. Kebijakan-kebijakan berikut ini menjadi fondasi Bani Umayyah menjadi kuat dan menjadi sumber inspirasi dan motivasi besar bagi kekuasaan Bani Umayyah di dalam menata kekuasaan selanjutnya.

  • Memperluas wilayah Islam di tiga wilayah yang rata-rata subur: Afrika Utara, India dan Byzantium. Dari ketiga wilayah tersebut, Byzantium lebih dahulu ditaklukan karena selain subur, masyarakatnya menganut Nasrani Ortodoks.
  • Membentuk Departemen dan Duta, tugasnya untuk mengirim beberapa duta Islam membawa misi Islam ke beberapa wilayah; Cina, India, Indonesia, Bukara, Tajikistan, Samarkan, Afrika Utara dan Andalusia.
  • (Mengangkat beberapa profesional dalam bidang Administrasi keuangan dari orang-orang Byzantium untuk dipekerjakan dalam pemerintahan Islam.

Khalifah-khalifah Bani Umayyah lain yang ikut menetapkan beberapa kebijakan monumental pada masa pemerintahannya, diantaranya:

  • Kebijakan Marwan bin Hakam (64-65 H), menetapkan mata uang sebagai alat resmi pemerintah untuk barter atau alat tukar. Sejarah mata uang pertama kali diciptakan di dunia dan dijadikan sebagai alat tukar.
  • Kebijakan Abdul Malik bin Marwan (65-86 H), antara lain: (1) Menumpas pemberontakan yang terjadi, membuat keadaan pemerintahan menjadi kondusif dan perkembangan peradaban menjadi lancar. (2) Merubah bahasa administrasi dari bahasa Yunani dan bahasa Pahlawi ke bahasa Arab. Hal inilah yang mendorong Sibawaihi menyusun Al-Kitab, yang kemudian menjadi pegangan dalam tata bahasa Arab. (3) Pada 659 M. merubah mata uang yang dipakai di daerah-daerah yang dikuasai Islam, yang sebelumnya menggunakan mata uang Bizantium dan Persia berupa dinar dan dirham, dengan mata uang yang dicetak sendiri dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab, berupa dinar yang terbuat dari emas, dan dirham dari perak.
  • Kebijakan Al-Walid bin Abdul Malik (86-96 H) mengirimkan 12.000 pasukan Islam ke Eropa atau Andalusia terjadi pada tahun 711 M.
  • Kebijakan Umar bin Abdul Aziz (99-101 H), memerintahkan gubernur Madinah agar masyarakat Islam yang ada di Madinah, Hijaz dan sekitarnya menghimpun, menyeleksi dan menyempurnakan hadits.

Dalam menjalankan politik pemerintahannya, Muawiyah bin Abu Sufyan mengubah kebijakan sebelumnya. Kalau pada masa Khulafaur Rasyidin pengangkatan khalifah dilakukan dengan cara pemilihan, Muawiyah mengubah kebijakan itu dengan cara turun-temurun. Karenanya, khalifah penggantinya adalah Yazid bin Muawiyah, putranya sendiri. Ada dua hal yang menarik dari sistem pemerintahan yang dibangun oleh Bani Umayyah, yaitu politik ekspansi (perluasan wilayah) dan sistem monarkhi (Monarchiheridetis).

Baca juga: Al-Hambra dan Napak Tilas Jasa Diplomasi Dinasti Bani Umayyah dalam Mengukir Kejayaan Islam di Tanah Eropa

Perluasan wilayah begitu intens dilakukan Bani Umayyah, utamanya pada masa pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan (40-60 H), Abdul Malik Bin Marwan (65--86 H), dan Walid Bin Abdul Malik (86--96H). Perluasan ini dilandasi oleh semangat dan keinginan untuk merajai dan berkuasa yang telah berkobar dalam jiwa para khalifah untuk mendatangkan kehebatan bagi negaranya. 

Penaklukan ini melibatkan sejumlah penyerangan terhadap wilayah-wilayah terpencil yang dilaksanakan oleh sejumlah kekuatan tambahan non-Arab. Oleh karena itu, perang yang terjadi pada masa ini bukanlah perang ekspansi kesukuan, melainkan perang kerajaan yang berjuang untuk meraih dominasi dunia. Hal ini berbeda dengan serangkaian penaklukan pada masa Khulafaur Rasyidin, yang lebih dilatarbelakangi oleh sejumlah migrasi kesukuan dan pengerahan kekuatan Arab yang berpusat di beberapa pangkalan militer.

Adapun sistem pemerintahan yang diterapkan Bani Umayyah adalah sistem monarkhi (Monarchiheridetis), yang mana suksesi kepemimpinan dilakukan secara turun temurun. Semenjak Muawiyah berkuasa, raja-raja Umayyah yang berkuasa kelak menunjuk penggantinya dan para pemuka agama diwajibkan menyatakan sumpah setia di hadapan raja. Sistem pengangkatan penguasa seperti ini, bertentangan dengan prinsip dasar dan ajaran permusyawaratan. Sistem ini merupakan bentuk kedua dari sistem pemerintahan yang pernah dipraktekkan umat Islam sebelumnya, yakni musyawarah, dimana sepeninggal Nabi Muhammad saw, khulafur rasyidin dipilih sebagai pemimpin berdasarkan musyawarah.

Dalam menata administrasi pemerintahan, Bani Umayyah mengembangkan administrasi pemerintahan Khulafaurrasyidin. Pada masa Umar bin Khatab, telah ada lima bentuk departemen, yaitu Nidhamul Maaly, Nidhamul harbi, Nidhamul Idary, Nidhamul Siashi dan Nidhamul Qadhi. Bentuk departemen ini kemudian dikembangkan lagi oleh Muawiyah bin Abi Sufyan dalam bentuk yang lebih luas dan menyeluruh, sebagai berikut.

Organisasi tata usaha negara pada permulaan Islam sangat sederhana, tidak diadakan pembidangan usaha yang khusus. Demikian pula keadaannya pada masa Daulah Bani Umayyah, administrasi negara sangat simpel. Pada umumnya, di daerah-daerah Islam bekas daerah Romawi dan Persia, administrasi pemerintahan dibiarkan terus berlaku seperti yang telah ada, kecuali diadakan perubahan-perubahan kecil. Ada empat organisasi tata usaha pada masa Bani Umayyah, yaitu:

  • Ad-Dawawin. Untuk mengurus tata usaha pemerintahan, Daulah Umayyah mendirikan empat dewan atau kantor pusat, yaitu: diwanul kharraj, diwanur rasail, diwanul mustaghilat al-mutanawi'ah, dan diwanul Khatim. Keempat dewan ini memiliki tugas dan tanggung jawab mengurus surat-surat lamaran raja, menyiarkannya, menstempel, membungkus dengan kain dan dibalut dengan lilin kemudian di atasnya dicap.
  • Al-Imarah Ala Al-Buldan. Daulah Umayyah membagi daerah Mamlakah Islamiyah menjadi lima wilayah besar, yaitu Hijaz, Yaman dan Nejed (pedalaman jazirah Arab), Irak Arab dan Irak Ajam, Aman dan Bahrain, Karman dan Sajistan, Kabul dan Khurasan, negeri-negeri di belakang sungai (Ma Wara'a Nahri) dan Sind serta sebagian negeri Punjab, Mesir dan Sudan, Armenia, Azerbaijan, dan Asia Kecil, Afrika Utara, Libia, Andalusia, Sisilia, Sardinia dan Balyar. Setiap wilayah besar diangkat seorang Amirul Umara (Gubernur Jenderal) yang di bawah kekuasaannya terdapat beberapa orang amir (gubernur) yang mengepalai satu wilayah. Dalam rangka pelaksanaan kesatuan politik bagi negeri-negeri Arab, khalifah Umar mengangkat para gubernur jenderal yang berasal dari orang-orang Arab. Politik ini dijalankan terus oleh khalifah-khalifah sesudahnya, termasuk para khalifah Daulah Umayyah.
  • Barid. Organisasi pos dalam tata usaha pemerintahan semenjak Muawiyah bin Abi Sofyan memegang jabatan khalifah. Setelah Abdul Malik bin Marwan berkuasa organisasi pos dikembangkan sehingga menjadi alat penting dalam administrasi negara.
  • Syurthah. Organisasi syurthah (kepolisian) dilanjutkan dan dikembangkan pada masa Daulah Umayyah. Pada mulanya organisasi ini menjadi bagian dari organisasi kehakiman yang bertugas melaksanakan perintah hakim dan keputusan-keputusan pengadilan, yang kepalanya sekaligus sebagai pelaksana al-Hudud. Kemudian organisasi kepolisian terpisah dari kehakiman dan berdiri sendiri, dengan tugas mengawasi dan mengurus soal-soal kejahatan. Khalifah Hisyam memasukkan dalam organisasi kepolisian satu badan yang bernama Nidhamul Ahdas dengan tugas hampir serupa dengan tugas tentara yaitu semacam brigade mobil.

Organisasi keuangan atau ekonomi. Sumber pemasukan keuangan pada zaman Daulah Umayyah pada umumnya sama seperti pada masa permulaan Islam, sebagai berikut.

  • Al Dharaib, yaitu suatu kewajiban yang harus dibayar oleh warga negara (Al Dharaib) pada zaman Daulah Umayyah. Penduduk dari wilayah-wilayah yang baru ditaklukkan, terutama yang belum masuk Islam, ditetapkan pajak-pajak istimewa.
  • Masharif Baitul Mal, yaitu pengeluaran keuangan pada masa Daulah Umayyah, pada umumnya sama seperti pada masa permulaan Islam yaitu untuk: (a) Gaji para pegawai dan tentara serta biaya tata usaha pemerintahan; (b) Pembangunan pertanian, termasuk irigasi dan penggalian terusan-terusan; (c) Biaya orang-orang hukuman dan tawanan perang; (d) Biaya perlengkapan perang; dan (e) Hadiah-hadiah kepada para pujangga dan para ulama. Selain itu, para khalifah Umayyah menyediakan dana khusus untuk dinas rahasia.

  • An Nidham Al-Harbi

Organisasi pertahanan pada masa Daulah Umayyah sama seperti yang telah dibuat oleh khalifah Umar, hanya lebih disempurnakan. Bedanya, pada masa Khulafaur Rasyidin tentara Islam adalah tentara sukarela, sedangkan pada masa Daulah Umayyah orang masuk tentara kebanyakan dengan paksa atau setengah paksa, yang dinamakan Nidhamut Tajnidil Ijbari, semacam undang-undang wajib militer. Politik ketentaraan pada masa ini adalah Arab oriented, dimana anggota tentara haruslah terdiri dari orang-orang Arab. Organisasi tentara pada masa ini banyak mencontoh organisasi tentara Persia. Pada masa khalifah Utsman telah mulai dibangun angkatan laut, tetapi sangat sederhana. Muawiyah membangun armada musim panas dan armada musim dingin yang kuat dengan tujuan untuk: (1) mempertahankan daerah-daerah Islam dari serangan armada Romawi; dan (2) memperluas dakwah Islamiyah.-

Pada masa Daulah Umayyah kekuasaan pengadilan telah dipisahkan dari kekuasaan politik. Kehakiman pada zaman itu mempunyai dua ciri khas yaitu: 

(1) seorang qadhi memutuskan perkara dengan ijtihadnya, karena pada waktu itu belum ada lagi madzhab empat atau madzhab lainnya. Pada masa itu para qadhi menggali hukum sendiri dari al-Qur'an dan As Sunnah dengan berijtihad. 

(2) Kehakiman belum terpengaruh dengan politik, karena para qadhi bebas merdeka dengan hukumnya, tidak terpengaruh dengan kehendak para pembesar yang berkuasa. 

Para hakim pada zaman Umayyah adalah manusia pilihan yang bertakwa kepada Allah swt dan melaksanakan hukum dengan adil, sementara itu para khalifah mengawasi gerak-gerik dan perilaku mereka, sehingga kalau ada yang menyeleweng langsung dipecat. Kekuasaan kehakiman di zaman ini dibagi ke dalam tiga badan: 

(1) Al-Qadha, seorang qadhi bertugas menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan agama; 

(2) Al-Hisbah, seorang al-Muhtashib bertugas menyelesaikan perkara-perkara umum dan soal-soal pidana yang memerlukan tindakan cepat; 

(3) An-Nadhar fil Madhalim yaitu mahkamah tertinggi atau mahkamah banding.

Baca juga: Umar bin Abdul Aziz sebagai Khalifah terbaik Bani Umayyah dengan Masa yang Singkat

An Nadhar fil Madhalim merupakan pengadilan tertinggi yang bertugas menerima banding dari pengadilan yang berada di bawahnya dan mengadili para hakim dan para pembesar tinggi yang bersalah. Pengadilan ini bersidang di bawah pimpinan khalifah atau orang yang ditunjuk olehnya. 

Para khalifah Bani Umayyah menyediakan satu hari saja dalam seminggu untuk keperluan ini dan yang pertama kali mengadakannya adalah Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Seperti mahkamah-mahkamah yang lain, 

Mahkamah Madhalim ini diadakan dalam masjid. Ketua Mahkamah Madhalim dibantu oleh lima orang pejabat lainnya, dimana sidang mahkamah itu tidak sah tanpa mereka yaitu: (1) Para pengawal yang kuat, yang sanggup bertindak kalau para pesakitan lari; (2) Para hakim dan qadhi; (3) Para sarjana hukum (fuqaha) tempat para hakim meminta pendapat tentang hukum; dan (4) Para penulis yang bertugas mencatat segala jalannya siding.

Selain itu, pada masa Daulah Umayyah diadakan satu jabatan baru yang bernama al-Hijabah, yaitu urusan pengawalan keselamatan khalifah. Kebijakan ini diambil mungkin karena khawatir akan terulang peristiwa pembunuhan terhadap Ali dan percobaan pembunuhan terhadap Muawiyah dan Amru bin Ash. 

Oleh karenanya, diadakan penjagaan yang ketat terhadap diri khalifah, sehingga siapapun tidak dapat menghadap sebelum mendapat izin dari para pengawal (hujjab). Kepala pengawalan keselamatan khalifah adalah jabatan yang sangat tinggi dalam istana kerajaan. Ketika Khalifah Abdul Malik bin Marwan melantik kepala pengawalnya, antara lain dia memberi amanat, "Engkau telah kuangkat menjadi kepala pengawalku. Siapapun tidak boleh masuk menghadap tanpa izinmu, kecuali muazzin, pengantar pos dan pengurus dapur".

Wujud kebudayaan fisik berupa hasil aktivitas, perbuatan, dan karya manusia dalam masyarakat Islam pada masa Bani Umayyah tampak sekali, seperti: bangunan istana, masjid, dan rumah sakit. Istana-istana yang didirikan sebagai tempat beristirahat di padang pasir pada masa ini, antara lain Qusayr Amrah dan Al-Mushatta. Masjid-masjid pertama di luar semenanjung Arab dibangun pada masa ini, antara lain:

  • Katedral St. John di Damaskus dirubah menjadi masjid. Bahkan katedral yang di Hims, di pusat kota Suriah digunakan sekaligus untuk masjid dan gereja.
  • Membangun masjid Sidi 'Uqbah bin Nafi' di makam 'Uqbah bin Nafi', panglima Muawiyah yang berhasil menaklukkan Afrika pada 50 H, di Kairuwan, Tunisia.
  • Abdul Malik membangun masjid Al-Aqsa di Al-Quds, Jerusalem.
  • Membangun monument Qubbah Al-Sakhr (Kubah Batu Karang) di-Quds, Jerusalem, di sebuah tempat yang menurut riwayat adalah tempat Nabi Ibrahim menyembelih Islmail dan Nabi Muhammad saw memulai mi'raj ke langit.
  • Membangun masjid Cordova
  • Al-Walid Memperbaiki, mempercantik, dan memperbesar Masjid Al-Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah.

Al-Walid membangun berbagai institusi untuk melayani para penderita lepra yang lumpuh dan buta di Suriah. Ia merupakan penguasa pertama yang membangun rumah sakit bagi penderita penyakit kronis dan rumah-rumah penderita lepra, yang kemudian menginspirasi dan diikuti oleh Barat.

  • Perkembangan ilmu pengetahuan dan tokoh-tokohnya masa Bani Umayyah di Damaskus

Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa Bani Umayyah di Damaskus meliputi 3 bidang, yaitu bidang diniyah, bidang tarikh dan bidang filsafat. Pada masa itu kaum muslimin memperoleh kemajuan yang sangat pesat, tidak hanya penyebaran agama Islam saja, tetapi juga penemuan-penemuan ilmu lainnya. 

Pembesar Bani Umayyah secara khusus menyediakan dana tertentu untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Para khalifah mengangkat ahli-ahli cerita dan mempekerjakan mereka dalam lembaga-lembaga ilmu, berupa masjid-masjid dan lembaga lainnya yang disediakan oleh pemerintah. Kebijakan ini mungkin karena didorong oleh beberapa hal: 

(1) Pemerintah Bani Umayyah dibina atas dasar kekerasan karena itu mereka membutuhkan ahli syair, tukang kisah dan ahli pidato untuk bercerita menghibur para khalifah dan pembesar istana. 

(2) Jiwa Bani Umayyah adalah jiwa Arab murni yang belum begitu berkenalan dengan Filsafat dan tidak begitu serasi dengan pembahasan agama yang mendalam. Mereka merasa senang dan nikmat dengan syair-syair yang indah dan khutbah-khutbah balighah (berbahasa indah).

Para ahli sejarah menyimpulkan bahwa perkembangan gerakan ilmu pengetahuan dan budaya pada masa Bani Umaiyyah di Damaskus memfokuskan pada tiga gerakan besar yaitu; (1) Gerakan ilmu agama, karena didorong oleh semangat agama yang sangat kuat pada saat itu; (2) Gerakan Filsafat, karena ahli agama diakhir Daulah Umayyah terpaksa menggunakan filsafat untuk menghadapi kaum Nasrani dan Yahudi; dan (3) Gerakan sejarah, karena ilmu-ilmu agama memerlukan riwayat.

Pengembangan ilmu pengetahuan pada masa Bani Umayyah di Damaskus tampak pada beberapa bidang. Kegiatan-kegiatan ilmiah tersebut berpusat di Kuffah dan Basrah, Irak.

Setelah Daulah Umayyah di Damaskus berdiri, kaum muslim berhajat kepada hukum dan undang-undang yang bersumber dari al-Qur'an, sedangkan para qurra dan mufassirin menjadi tempat bertanya masyarakat dalam bidang hukum. Pada zaman ini keberadaan tafsir masih berkembang dalam bentuk lisan dan belum dibukukan. Ilmu tafsir pada saat itu belum berkembang seperti pada zaman Bani Abbasiyah.

Pada saat mengartikan makna ayat-ayat al-Qur'an, kadang-kadang para ahli hadis kesulitan mencari pengertian dalam hadis karena terdapat banyak hadis yang sebenarnya bukan hadis. Dari kondisi semacam ini maka timbullah usaha para muhaddisin untuk mencari riwayat dan sanad hadis. Proses seperti ini pada akhirnya berkembang menjadi ilmu hadis dengan segala cabang-cabangnya. Perkembangan hadist diawali dari masa khalifah Umar bin Abdul Aziz dan ulama hadis yang mula-mula membukukan hadis yaitu Ibnu Az Zuhri atas perintah khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Di masa inilah dimulai ilmu kalam dan muncullah nama-nama, seperti Hasan Al-Basri, Ibn Shihab Al-Zuhri, dan Wasil ibn Ata'. Perang yang diakhiri dengan tahkim (arbitrase) telah menyebabkan munculnya berbagai golongan, yaitu Muawiyah, Syiah (Pengikut) Ali, Khawarij dan sahabat-sahabat yang netral. Dari peristiwa yang diakibatkan oleh perseteruan dalam bidang politik akhirnya bergeser ke permasalahan teks-teks agama tepatnya masalah teologi atau ilmu kalam. 

Kaum Khawarij memandang Ali telah berbuat salah dan telah berdosa dengan menerima arbitrase itu. Menurut mereka penyelesaian dengan cara arbitrase atau tahkim itu bertentangan dengan al-Quran. Firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 44, 

"Dan barang siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang telah diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang kafir." 

Dengan landasan ayat al-Quran tersebut, mereka menghukum semua orang yang terlibat dalam tahkim itu telah menjadi orang-orang kafir. Kafir dalam arti telah keluar dari Islam. Orang yang keluar dari Islam di katakan murtad, dan orang murtad halal darahnya dan wajib dibunuh. Maka dari itu mereka memutuskan untuk membunuh Ali, Muawiyah, Amr bin Ash dan Abu Musa, dan yang berhasil dibunuh hanya Imam Ali (Yusuf, 2014: 9-10)

Persoalan ini akhirnya menimbulkan tiga aliran Ilmu Kalam dalam Islam, yaitu: 

(a) Aliran Khawarij yang mengatakan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, dalam arti keluar dari Islam, atau tegasnya murtad dan wajib dibunuh. 

(b) Aliran Murjiah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya terserah kepada Allah untuk mengampuni atau tidak mengampuninya. 

(c) Aliran Mu'tazilah yang tidak menerima pendapat-pendapat di atas. Bagi mereka, orang yang berdosa besar bukan kafir, tetapi bukan pula mukmin. 

Orang yang serupa ini mengambil posisi di antara ke dua posisi mukmin dan kafir, yang dalam bahasa Arab terkenal dengan istilah al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi) (Rozak, 2012: 35). Setelah ketiga aliran di atas, lalu muncul pula dua aliran Ilmu Kalam yang terkenal dengan nama Qadariyah dan Jabariah. 

Menurut Qadariyah manusia memiliki kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya.Sebaliknya, Jabariyah berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya.

Baca juga: Kondisi Politik dan Diplomasi pada Masa Bani Umayyah

Dari paparan sekilas ini, secara jelas dapat diketahui bahwa peristiwa tahkim berdampak dan berimplikasi kepada tumbuhnya aliran-aliran dalam Ilmu Kalam. Khawarij, Murjiah dan Mu'tazilah merupakan aliran yang pertama sekali muncul dalam sejarah peradaban Islam. Kemudian muncul aliran Qadariyah dan Jabariyah. Kedua aliran ini kendatipun pada awalnya muncul dengan membentuk aliran tersendiri, tetapi dalam perkembangannya tidak lagi dapat disebut sebagai aliran. Paham Qadariyah dan Jabariyah kemudian memasuki aliran-aliran Ilmu Kalam yang ada (Yusuf, 2014: 13).

Dalam sejarah perkembangan ilmu, yang pertama kali berkembang adalah ilmu qiraat. Cabang Ilmu ini mempunyai kedudukan yang sangat penting pada permulaan Islam sehingga orang-orang yang pandai membaca al-Qur'an pada saat itu disebut para Qurra. Setelah pembukuan dan penyempurnaan al-Qur'an pada masa Khulafaur Rasyidin dan al-Qur'an yang sah dikirim ke berbagai kota wilayah bagian, kemudian lahirlah dialek bacaan tertentu bagi masing-masing penduduk kota tersebut dan mereka mengikuti bacaan seorang qari' yang dianggap sah bacaannya. Akhirnya muncul dan masyhurlah tujuh macam bacaan yang sekarang terkenal dengan nama Qiraat sab'ah kemudian selanjutnya ditetapkan sebagai bacaan standar.

Dengan meluasnya wilayah Islam dan didukung dengan adanya upaya Arabisasi maka ilmu tata bahasa Arab sangat dibutuhkan. Sehingga dibukukanlah ilmu nahwu dan menjadi salah satu ilmu yang penting untuk dipelajari. Memulai mempelajari tata Bahasa Arab yang dikenal dengan nama nahwu adalah ketika seorang bayi memulai berbicara dilingkungannya. 

Tanpa tata bahasa maka pembicaraan tidak akan baik dan benar. Setelah banyak bangsa di luar bangsa Arab masuk Islam dan sekaligus wilayahnya masuk dalam daerah kekuasaan Islam maka barulah terasa bagi bangsa Arab dan mulai di perhatikan dengan cara menyusun ilmu nahwu. 

Adapun ilmuwan bidang bahasa pertama yang tercatat dalam sejarah perkembangan ilmu yang menyusun ilmu nahwu adalah Abu al-Aswad al-Du'ali yang berasal dari Baghdad. Salah satu jasa dari Al-Du'ail adalah menyusun gramatika Arab dengan memberikan titik pada huruf-huruf hijaiyah yang semula tidak ada. Abu Aswad Ad Dualy yang wafat tahun 69 H. Tercatat beliau belajar dari shahabat Ali bin Abi Thalib, dengan demikian ada saja ahli sejarah mengatakan bahwa sahabat Ali bin Abi Thalib-lah bapaknya ilmu nahwu.

Geografi dan tarikh pada masa ini telah menjadi cabang ilmu tersendiri. Dalam mengembangkan ilmu tarih ilmuwan pada masa ini mengumpulkan kisah tentang Nabi dan para Sahabatnya yang kemudian dijadikan landasan bagi penulisan buku-buku tentang penaklukan (maghazi) dan biografi (sirah). Munculnya ilmu geografi dipicu oleh berkembangnya dakwah Islam ke daerah-daerah baru yang luas dan jauh. 

Penulisan sejarah Islam dimulai pada saat terjadi peristiwa-peristiwa penting dalam Islam dan dibukukannya dimulai pada saat Bani Umayyah dan perkembangan pesat terjadi pada saat Bani Abbasiyah. 

Demikian begitu pesatnya perkembangan sejarah Islam sehingga para ilmuan berkecimpung dalam bidang itu dapat mengarang kitab-kitab sejarah yang tidak dapat dihitung banyaknya. Sampai sekarang prestasi penulisan sejarah pada saat Bani Umayyah dan Abbasiyah tidak dapat ditandingi oleh bangsa manapun, tercatat kitab sejarah yang ditulis pada zaman itu lebih dari 1.300 judul buku.

Umat Islam masa Bani Umayyah selain telah mencapai kemajuan dalam bidang politik, ekonomi dan ilmu pengetahuan, juga telah tumbuh dan berkembang seni bahasa. Perhatian kepada syair Arab Jahiliyah timbul kembali dan penyair-penyair Arab barupun timbul, seperti Umar Ibn Abi Rabi' (w. 719 M), Jamil Al-Udhri (w. 701 M), Qays Ibn Al-Mulawwah (w. 699 M) yang lebih dikenal dengan nama Majnun Laila, Al-Farazdaq (w. 732 M), Ummu Jarir (w. 792 M), penyair yang mendukung dan memelihara kemulian Badui dan yang syair-syairnya menonjol karena nafas-nafas spiritualnya, dan Al-Akhtal (w. 710 M) yang beragama Kristen aliran Jacobite. 

Pada masa ini seni dan bahasa mengambil tempat yang penting dalam hati pemerintah dan masyarakat Islam pada umumnya. Pada saat kota-kota seperti Bashra dan Kuffah adalah pusat perkembangan ilmu dan sastra. Orang-orang Arab muslim berdiskusi dengn bangsa-bangsa yang telah maju dalam hal bahasa dan sastra. 

Di kota--kota tersebut umat Islam menyusun riwayat Arab, seni bahasa dan hikmah atau sejarah, nahwu, sharaf, balaghah dan juga berdiri klub-klub para pujangga. Pada masa ini juga muncul terjemahan-terjemahan awal naskah-naskah filsafat Yunani dari bahasa Suryani ke bahasa Arab


Lihat Edukasi Selengkapnya

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA