Pada tingkat inflasi yang tinggi masyarakat

Ilustrasi lonjakan inflasi yang mengakibatkan gejolak pasar saham dan obligasi, sehingga berdampak pada kinerja investasi di reksadana dan SBN. (Shutterstock)

Bareksa.com - Dalam beberapa waktu terakhir ini, mungkin Smart Investor sering mendengar tentang inflasi yang melonjak tinggi di beberapa negara, termasuk Indonesia. Inflasi negara maju yang sebelumnya selalu berada pada satu digit atau bahkan sangat rendah mendekati nol persen, sekarang melonjak mencapai dua digit. 

Inflasi yang sangat tinggi ini mendorong respons kebijakan moneter terutama di Amerika Serikat, Inggris, dan Eropa di mana dengan sangat agresif bank sentral negara-negara tersebut menaikkan suku bunga yang menyebabkan gejolak di sektor keuangan dan terjadinya arus modal keluar atau capital outflow dari negara-negara emerging di seluruh dunia.

Lantas bagaimana inflasi bisa memengaruhi investasi?

Secara sederhana, inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan atas harga barang dan jasa yang ada di suatu negara. Tingkat inflasi yang dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) merupakan kenaikan harga dari harga barang dan jasa yang telah dikumpulkan sesuai dengan metodologi perhitungan statistik.

Tentunya, akan ada barang dan jasa yang Smart Investor konsumsi dan gunakan sehari–hari yang tingkat kenaikannya mungkin lebih tinggi atau lebih rendah daripada tingkat inflasi yang dilaporkan. Akan tetapi secara umum, tingkat inflasi yang dilaporkan oleh BPS dapat dijadikan sebagai patokan kenaikan harga secara umum yang terjadi di Indonesia.

Dampak Inflasi ke Reksadana

Yang perlu diingat oleh investor adalah kenaikan inflasi merupakan suatu hal yang lumrah dan wajar, selama tingkat inflasi tersebut tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah.

Jika tingkat inflasi berada di level yang terlalu tinggi, maka hal ini bisa mengindikasikan bahwa perekonomian suatu negara sudah tumbuh terlalu cepat. Karena itu diperlukan kenaikan suku bunga acuan oleh bank sentral agar pertumbuhan tersebut bisa direm sehingga kenaikan inflasi tidak terlalu mencekik masyarakat.

Dalam kondisi suku bunga yang cenderung meningkat tersebut, secara umum harga obligasi dan harga saham akan mengalami penurunan. Hal ini tentu juga akan berimbas pada penurunan kinerja reksadana yang menjadikan kedua jenis aset tersebut sebagai underlying asset portofolionya.

Sebaliknya, tingkat inflasi yang berada di level yang terlalu rendah (bahkan negatif), hal ini bisa mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara terlalu lambat dan daya beli masyarakat sangat lemah sehingga perusahaan barang dan jasa tidak dapat menaikkan harga, atau bahkan harus menurunkan harga.

Karena itu, dalam kondisi tersebut, diperlukan penurunan suku bunga acuan oleh bank sentral agar terjadi stimulasi pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat menguat. Dalam kondisi suku bunga yang cenderung menurun tersebut, secara umum harga obligasi dan harga saham akan mengalami kenaikan. Hal ini tentu bisa mendorong kinerja reksadana yang terkait dengan kedua aset tersebut.

Bersama dengan pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi merupakan dua dari sekian banyak faktor penting yang menjadi indikator pergerakan harga saham dan obligasi.

Melakukan analisis secara komprehensif terhadap pertumbuhan ekonomi dan indikator ekonomi lainnya bagi investor awam mungkin merupakan hal yang cukup menyulitkan, dalam kaitannya dengan keputusan investasi yang akan diambil selaku investor. Karena itu, reksadana bisa menjadi solusi bagi masyarakat terhadap kebutuhan investasi tersebut.

Perlu diketahui, reksadana adalah wadah untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal (investor). Dana yang telah terkumpul tersebut nantinya akan diinvestasikan oleh manajer investasi ke dalam beberapa instrumen investasi seperti saham, obligasi, atau deposito.

Reksadana juga diartikan sebagai salah satu alternatif investasi bagi masyarakat pemodal, khususnya pemodal kecil dan pemodal yang tidak memiliki banyak waktu dan keahlian untuk menghitung risiko atas investasi mereka.

(KA01/Arief Budiman/AM)

***

Ingin berinvestasi aman di emas dan reksadana secara online yang diawasi OJK?

- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Beli emas, klik tautan ini
- Download aplikasi reksadana Bareksa di App Store​
- Download aplikasi reksadana Bareksa di Google Playstore
- Belajar reksadana, klik untuk gabung Komunitas Bareksa di Facebook. GRATIS

DISCLAIMER

Kinerja masa lalu tidak mencerminkan kinerja di masa mendatang. Investasi reksadana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus dan fund fact sheet dalam berinvestasi reksadana.

Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi belakangan ini menjadi headline pemberitaan media tidak hanya di dalam negeri, melainkan juga di dunia. Sejumlah negara mengalami inflasi yang menjulang tinggi.

Hal tersebut memberikan masalah yang lebih besar lagi, dunia terancam mengalami resesi. Tingginya inflasi membuat banyak bank sentral utama di dunia menaikkan suku bunganya secara agresif.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Inflasi yang tinggi membuat daya beli masyarakat merosot. Sementara belanja rumah tangga merupakan tulang punggung perekonomian. Di sisi lain, suku bunga yang tinggi membuat ekspansi dunia usaha terhambat, alhasil perekonomian semakin tertekan, dan dunia terancam mengalami resesi.

Presiden Jokowi sendiri telah mengingatkan momok terbesar saat ini oleh semua negara di dunia bukan lagi Covid-19 tapi justru ancaman inflasi tinggi. Dunia saat ini penuh ketidakpastian akibat kenaikan harga pangan hingga energi, dan tensi panas perang Rusia-Ukraina yang tak pasti kapan berakhir.

"Pertama yang ingin saya sampaikan momok pertama semua negara saat ini inflasi, inflasi semua negara biasanya hanya 1 sekarang 8, lebih dari 10 dan bahkan ada lebih dari 80 persen, ada 5 negara," kata Jokowi

Lantas, apa itu inflasi yang disebut Jokowi menjadi momok semua negara saat ini?

Mengutip laman resmi Bank Indonesia (BI), inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu.

Laman Kementerian Keuangan menjelaskan, penyebab inflasi dipengaruhi beberapa faktor. Mulai dari permintaan yang tinggi terhadap suatu barang atau jasa sehingga membuat harga barang atau jasa tersebut mengalami kenaikan.

Selain itu, ada pula faktor biaya produksi yang tinggi, bertambahnya uang beredar di masyarakat, dan ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran. Bahkan, ada pul faktor perilaku masyarakat yang seringkali memprediksi atau biasa disebut sebagai ekspektasi inflasi.

Terakhir, penyebab inflasi juga dapat dipengaruhi oleh gejolak ekonomi dan politik yang terjadi di suatu negara. Dalam konteks Indonesia, hal ini pernah terjadi pada kekacauan yang terjadi pada 1998 silam.

Inflasi dilihat berdasarkan Consumer Price Index (CPI). Ketika angkanya positif berarti terjadi inflasi, sementara jika negatif artinya deflasi atau menurunnya harga barang dan jasa.

Inflasi dibagi menjadi dua, yakni inflasi headline yang menggambarkan kenaikan harga barang dan jasa secara menyeluruh. Yang kedua inflasi inti, yakni inflasi yang tidak memasukkan item yang volatile (harganya naik turun dengan cepat). Kategori item volatil biasanya adalah harga energi dan pangan.


Dalam konteks fenomena yang terjadi saat ini, tingginya inflasi disebabkan karena cost push yang terjadi di berbagai negara. Perang Rusia dan Ukraina telah membuat harga komoditas meroket dan akhirnya memicu kenaikan harga.

Kenaikan harga pupuk misalnya, akan biaya yang dikeluarkan petani untuk memproduksi tentunya akan meningkat. Alhasil harga pangan yang dijual juga akan lebih tinggi akibat kenaikan biaya produksi. Inilah yang disebut cost push inflation.

Sementara demand pull terjadi dari sisi konsumen, utamanya akibat kenaikan daya beli. Inflasi yang terjadi karena demand pull berdampak bagus bagi perekonomian, sebab memberikan gambaran meningkatnya pendapatan masyarakat sehingga daya belinya menguat.

Ketika daya beli meningkat, konsumen bisa membeli lebih banyak barang. Semakin tinggi permintaan maka harganya akan naik, dan terjadi inflasi.

Dampak inflasi secara keseluruhan tentu tidak bisa dianggap sepele. Inflasi yang tinggi bisa menyebabkan pendapatan riil masyarakat terus tergerus, karena harga barang yang semakin mahal, sehingga standar hidup mereka juga akan semakin turun. Situasi ini akan membuat masyarakat yang sudah tergolong miskin, menjadi makin miskin.

Selain itu, Inflasi yang tinggi tentu akan membuat masyarakat semakin kesulitan memiliki rumah. Pasalnya, inflasi yang tinggi akan direspons oleh bank sentral dengan menaikkan bunga yang berimplikasi pada kenaikan bunga kredit rumah.

Bahkan, inflasi yang tinggi, terutama jika lebih tinggi dibandingkan negara lain juga akan menjadikan tingkat bunga domestik menjadi tidak kompetitif. Situasi ini tentu akan memberikan beban terhadap nilai tukar rupiah.


[Gambas:Video CNBC]

(cha/cha)