tirto.id - Setelah Khalifah Usman terbunuh oleh golongan Khawarij, kaum Muslimin membaiat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah selanjutnya. Sejak itu Ali dianggap sebagai al-khulafâ’ ar-râsyidîn terakhir yang secara de jure merupakan satu-satunya pemimpin tertinggi seluruh umat Islam. Namun demikian, secara de facto, kekuasaan Ali tak pernah mencakup wilayah Syam, daerah yang sudah lama dipimpin Muawiyah bin Abi Sufyan. Ini disebabkan tindakan Muawiyah yang menuntut Khalifah Ali agar menghukum para Khawarij yang terlibat dalam pembunuhan Usman. Kegagalan kubu Ali dan Muawiyah mencapai kesepakatan akhirnya menimbulkan perang saudara yang dikenal sebagai perang Shiffin. Perang besar antar-sesama kaum Muslimin ini bisa dibilang imbang, sehingga menyebabkan korban besar-besaran di kedua kubu. Kemudian diadakanlah arbitrase (tahkim) lewat proses yang rumit. Arbitrase terakhir menghasilkan keputusan untuk mengangkat Muawiyah sebagai khalifah. Kaum khawarij lalu menolak hasil arbitrase dan memerangi semua pihak yang menerimanya. Baca juga: Krisis Politik yang Menyebabkan Terbunuhnya Ali bin Abu Thalib Puncak aksi kaum Khawarij adalah majunya seseorang bernama Abdullah bin Muljam untuk membunuh Khalifah Ali. Ia menyerang Ali yang hendak salat subuh dan berhasil melukai dahinya hingga parah. Tak berapa lama kemudian, Ali meninggal. Ketika dieksekusi akibat perbuatannya, Ibnu Muljam, yang dahinya terlihat hitam sebab banyak sujud, sama sekali tak mengeluh sakit kala kedua tangan dan kakinya dimutilasi dan matanya ditusuk. Menurut Ibnul Jauzi dalam kitab Talbîs Iblîs, ia malah membaca Surat al-‘Alaq hingga khatam. Kemudian tatkala lidahnya hendak dipotong, barulah ia mengeluh lantaran merasa sedih tak bisa mati dalam keadaan berzikir pada Allah. Untuk mengetahui lebih dalam tentang kisah kaum Khawarij di era kekhalifahan Ali, silakan simak artikel di bawah ini. Baca juga artikel terkait RAMADAN 2019 atau tulisan menarik lainnya Ivan Aulia Ahsan Penulis: Ivan Aulia Ahsan Editor: Zen RS ArrayKelompok Aisyah sempat bentrok dengan pemerintahan Khalifah Ali dalam perang Jamal, yang berakhir dengan kemenangan pihak Ali. Selanjutnya kubu Muawiyah menjadi penantang berikutnya di perang saudara yang dikenal dengan nama Perang Shiffin.
Emblem Angkatan Perang Ratu Adil KOMPAS.com - Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) adalah kelompok milisi pro-Belanda yang muncul di era Revolusi Nasional. APRA dibentuk dan dipimpin oleh mantan kapten KNIL (Koninklijk Nederlands Indisch Leger) atau Tentara Hindia Belanda Raymond Westerling Westerling mempertahankan bentuk negara federal karena menolak Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terlalu Jawa-sentris di bawah Soekarno dan Hatta. Baca juga: Kabinet Kerja I, II, III, dan IV: Susunan dan Program Kerja Latar BelakangTerjadinya perang APRA ini didasari dengan adanya hasil keputusan dari Konferensi Meja Bundar (KMB) pada Agustus 1949. Hasil dari KMB, yaitu:
Keputusan ini lantas membuat para tentara KNIL merasa khawatir akan mendapatkan hukuman serta dikucilkan dalam kesatuan. Dari kejadian tersebut kemudian komandan dari kesatuan khusus Depot Speciale Troopen (DST), Kapten Westerling, ditugaskan untuk mengumpulkan para desertir dan anggota KNIL yang sudah dibubarkan. Sebanyak 8.000 pasukan berhasil terkumpul. Selanjutnya, target utama dari operasinya adalah Jakarta dan Bandung. Jakarta sendiri pada awal 1950 tengah sering melakukan sidang Kabinet RIS untuk membahas kembali terbentuknya negara kesatuan. Sedangkan Bandung merupakan kota yang belum sepenuhnya dikuasai oleh pasukan Siliwangi ditambah dengan Bandung sudah lama menjadi basis kekuatan militer Belanda.
Gerakan ini pun kemudian mereka namai dengan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Asal MuasalNama Ratu Adil dalam gerakan APRA sudah lebih dulu disebut-sebut, karena memiliki sebuah makna penting bagi masyarakat yang saat itu sedang dijajah. Ratu Adil menjadi ideologi di Jawa Tengah dan Jawa Timur, menitikberatkan akan datangnya juru selamat yang akan membawa kesejahteraan pada suatu masa. Karena Ratu Adil sangat diyakini oleh masyarakat, Kapten Westerling pun memanfaatkan nama tersebut guna menarik dukungan dalam melancarkan rencananya. Pemberontakan Westerling memakai nama perang Ratu Adil karena dengan nama Ratu Adil jadi didukung rakyat banyak. Baca juga: Sejarah Berdirinya Kerajaan Mataram Islam UltimatumPada 5 Januari 1950, Westerling sudah mengirimkan surat ultimatum kepada RIS yang berisi tuntutan agar RIS menghargai negara-negara bagian, terutama Pasundan. Bahkan pemerintah RIS juga diminta untuk mengakui APRA sebagai tentara Pasundan. Surat ultimatum ini tidak hanya meresahkan RIS saja, tetapi juga beberapa pihak Belanda. Guna mencegah tindakan Westerling, Moh. Hatta mengeluarkan perintah untuk melakukan penangkapan terhadap Westerling. Jenderal Vreeden pun bersama Menteri Pertahanan Belanda yang merasa resah dengan ultimatum ini kemudian menyusun rencana untuk mengevakuasi pasukan RST tersebut. Baca juga: Sejarah Berdirinya Kerajaan Mataram Islam
Namun, upaya mengevakuasi RST, gabungan baret merah dan baret hijau sudah terlambat untuk dilakukan. Westerling sudah lebih dulu mendengar rencana penangkapan tersebut, sehingga ia mempercepat pelaksanaan kudetanya. Westerling dan anak buahnya menembak mati setiap anggota TNI yang mereka temui di jalan. Sementara Westerling menyerang kota Bandung, anak buahnya, Sersan Meijer menuju ke Jakarta untuk menangkap Presiden Soekarno dan mengambil alih gedung-gedung pemerintahan. Sayangnya, karena pasukan KNIL dan Tentara Islam Indonesia (TII) tidak muncul untuk membantu Westerling, serangannya di Jakarta mengalami kegagalan. Setelah melakukan pembantaian di Bandung, seluruh pasukan RST kembali ke tempat mereka masing-masing. Meskipun sudah banyak korban jiwa, Westerling tetap tidak tinggal diam. Ia berniat untuk mengulang kembali tindakannya tersebut. Namun, upaya keduanya ini gagal, sehingga kudeta pun tidak berhasil dilakukan. Baca juga: Kabinet Gotong Royong: Susunan, Program Kerja, dan Kejatuhan Akhir PemberontakanKegagalan kudeta yang dilakukan Westerling terhadap RIS menyebabkan adanya demoralisasi anggota milisi terhadap Westerling dan ia terpaksa melarikan diri ke Belanda. Larinya Westerling ini kemudian membuat APRA berdiri sendiri tanpa adanya seorang pemimpin yang kuat. Oleh karena itu, APRA resmi tidak kembali berfungsi pada Februari 1950. Referensi:
Pemberontakan, dalam pengertian umum, adalah penolakan terhadap otoritas. Pemberontakan dapat timbul dalam berbagai bentuk, mulai dari pembangkangan sipil (civil disobedience) hingga kekerasan terorganisir yang berupaya meruntuhkan otoritas yang ada. Istilah ini sering pula digunakan untuk merujuk pada perlawanan bersenjata terhadap pemerintah yang berkuasa, tapi dapat pula merujuk pada gerakan perlawanan tanpa kekerasan. Orang-orang yang terlibat dalam suatu pemberontakan disebut sebagai "pemberontak".
Terkadang sebuah pemberontakan bisa dibilang revolusi oleh pemimpin pemberontakan tersebut. Tengok saja pemberontakan Amerika Serikat kepada Inggris pada era perang kemerdekaanya. Atau gerakan milisi di Irlandia yang sering disebut dengan IRA. Memang hal itu bisa terjadi jika syarat-syarat Revolusi dapat tercapai. Kebanyakan pemberontakan dilaksanakan untuk menggantikan pemerintahan yang ada dengan pemerintahan yang baru, tentunya pemerintahan idaman para pemberontak. Baik itu dari segi keseluruhan nation, seperti yang terjadi di Amerika Serikat pada era Perang Saudara Amerika atau sebagian saja seperti yang dilakukan GAM di Indonesia, SPLM di Sudan, Chechnya di Rusia, atau Fidel Castro dan Che Guevara di Amerika Latin. Namun pemberontak tidak saja hanya gerakan anti-pemerintahan yang dilakukan dengan mengangkat senjata saja. Setidaknya ada beberapa tipe pemberontakan, antara lain: ketidakmauan berkorporasi dan bekerja sama kepada pemerintah, seperti yang dilakukan Mahatma Gandhi. Gerakan mempertahankan wilayah yang telah dikuasai oleh musuh, seperti Perang Revolusi Indonesia pada 1945-1949. Gerakan revolusi yang mengakar dan dilakukan untuk menggulingkan pemerintahan yang ada, seperti Revolusi Rusia. Pemberontakan yang dilakukan oleh pemberontakan lokal, seperti Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Dipanegara. Pembangkangan militer pada pemimpinya, layaknya yang dilakukan militer Filipina pada presiden Gloria Macapagal Arroyo. Aksi subversi dan sabotase pada negara. Dan terorisme. Pemberontakan masih dianggap sebagai tindakan kriminal kelas berat. Para pemberontak bisa dikenakan hukuman berat dan tak jarang hukuman mati.
|