adjar.id - Pada buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan kelas VIII SMP terbitan Kemendikbud edisi revisi 2017 ada tugas yang meminta kita untuk mendiskusikan dalam kelompok tentang apa akibatnya apabila Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diubah. Tugas tersebut merupakan bagian dari "Aktivitas 2.2" yang ada di halaman 31, Adjarian. Nah, untuk bisa mendiskusikan hal tersebut, kita harus mengingat lagi tentang UUD 1945 dan juga bagian pembukaannya. Sebelum amandemen atau perubahan, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas bagian: (1) Pembukaan, (2) Batang Tubuh (pasal-pasal), dan (3) Penjelasan. Baca Juga: Mengenal Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Nah, setelah amandemen, sistematika UUD 1945 meliputi: (1) Pembukaan dan (2) Pasal-pasal. Jadi, UUD 1945 saat ini terdiri dari dua bagian, yakni Pembukaan dan pasal-pasal, Adjarian. Perihal sistematika UUD 1945 ini ditegaskan di dalam Pasal II Aturan Tambahan yang berbunyi: "Dengan ditetapkannya perubahan setelah diamandemen Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal." Page 2
Kedudukan Pembukaan UUD 1945 Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, UUD 1945 terdiri dari Pembukaan dan pasal-pasal. Nah, berdasarkan tertib hukum, kedudukan keduanya tidak sama. Kedudukan Pembukaan lebih tinggi daripada pasal-pasal. Mengapa bisa begitu? Sebab, bagi Indonesia Pembukaan merupakan pokok kaidah negara yang fundamental atau disebut dengan staats-fundamentalnorm. Baca Juga: Mengenal Lembaga Legislatif Negara Sesuai Undang Undang Dasar 1945 Nah, sebagai pokok kaidah negara yang fundamental, Pembukaan memiliki hakikat dan kedudukan yang tetap, kuat, dan tidak berubah untuk negara yang sudah dibentuk. Dari segi hukum, Pembukaan UUD 1945 hanya bisa diubah oleh pembentuk negara ketika negara dibentuk . Negara Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Nah, kelangsungan negara ini terikat pada diubah atau tidaknya Pembukaan UUD 1945, Adjarian. Page 3
Pokok Kaidah Fundamental di dalam Pembukaan UUD 1945 Dilansir dari sumber yang sama, yakni buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan kelas VIII SMP terbitan Kemendikbud edisi revisi 2017, pokok kaidah fundamental dalam Pembukaan UUD 1945 meliputi: 1. Pokok-pokok pikiran diciptakan dan diwujudkan dalam pasal-pasal UUD 2. Pengakuan kemerdekaan adalah hak segala bangsa 3. Cita-cita nasional 4. Tujuan negara Baca Juga: Perjuangan-Perjuangan Diplomasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia 5. Kedaulatan rakyat 6. Dasar negara Pancasila. Lalu, apa akibatnya apabila Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diubah? Hakikatnya, mengubah Pembukaan UUD 1945 sama seperti membubarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merupakan negara berdaulat yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Jadi, sederhananya mengubah Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sama saja mengubah tatanan NKRI seperti dasar negara, tujuan negara, cita-cita nasional, pengakuan kemerdekaan, dan sebagainya Tonton juga video ini, yuk!
KBRN, Jakarta : Wakil Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Gerindra, Fadli Zon menolak keras usulan mengamandemen total UUD 1945, termasuk Pembukaan. Sebab amandemen Pembukaan UUD 1945 itu sama saja dengan membubarkan Indonesia. Menurut dia, usulan tersebut merupakan buah dari pemikiran orang yang miskin wawasan berpikir. "Itu kan lontaran yang miskin wawasan," tegasnya kepada wartawan di Jakarta, Minggu (1/12/2019). Pandangan dia, jika wacana amandemen total UUD 1945 terwujud, maka dasar negara dan bentuk negara yang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bakalan ikut berimbas. Indonesia bisa saja menjadi negara federasi, bukan lagi negara kesatuan. "Wacana liar ini bisa menyasar ke urusan dasar negara dan bentuk kesatuan atau federasi," ujar Anggota MPR RI ini. Lebih lanjut Fadli mengakui bahwa batang tubuh UUD 1945 memang bisa diamandemen oleh MPR RI. Tapi kebebasan itu tak berlaku bagi Pembukaan (Preambule). Sebab pandangan dia, Pembukaan UUD 1945 memuat "staatidee" berdirinya Republik Indonesia, memuat dasar-dasar filosofis serta dasar-dasar normatif yang mendasari UUD. "Sehingga, mengubah Pembukaan sama artinya dengan membubarkan negara ini. Pembukaan ini seperti naskah Proklamasi, tak bisa diubah. Kecuali, kita memang ingin membubarkan negara ini dan mendirikan negara baru yang berbeda," tegasnya. Jadi, imbuhnya, meski MPR RI punya kebebasan untuk mengeksplorasi gagasan, namun setiap gagasan yang dilontarkan tidaklah boleh "ngawur". "Pernyataan-pernyataan semacam itu menjadi iklan yang buruk bagi rencana amandemen kelima UUD 1945. Publik jadi akan mempertanyakan kompetensi mereka yang akan melakukan amandemen," pungkasnya. Suasana dalam Sidang Tahunan MPR (Lamhot Aritonang/detikcom)
Jakarta - Ketua MPR Zulkifli Hasan menyampaikan sepenggal perjalanan bangsa Indonesia. Dia menyampaikan perjalanan Indonesia telah tumbuh dengan baik dan alami tapi mulai tercabik-cabik oleh hadirnya kaum penjajah di bumi pertiwi."Perjalanan bangsa ini telah mekar dan tumbuh dengan baik dan alami. Kemudian dicabik-cabik oleh kolonialisme," kata Zulkifli dalam pidatonya pada Sidang Tahunan MPR di kompleks DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (16/8/2017).Tapi, setelah itu, para pendiri bangsa merumuskan dasar negara Indonesia. Zulkifli menilai gagasan Presiden Sukarno soal Pancasila sebagai hal yang luar biasa. "Sebelumnya hadirnya paham modern, para pendahulu kita telah merumuskan ide tersebut sejak era kolonial. Sampai akhirnya 1 Juni Bung Karno mengemukakan gagasan Pancasila. Sebuah gagasan luar biasa dari pemimpin terbesar sepanjang sejarah," ungkapnya."Setelah melalui penyempurnaan dan diberi masukan dari Panitia Sembilan, maka jadi Piagam Jakarta, 22 Juni 1945. Hingga lalu disahkan menjadi Pancasila pada 18 Agustus. Oleh karena itu, tanggal 18 kita peringati sebagai Hari Konstitusi," sambung Ketua Umum PAN ini.Sosok Bung Karno sebagai pemimpin besar kembali dilihatnya ketika membubarkan Konstituante. Hal ini dilakukan karena lembaga tersebut tak kunjung dapat membuat undang-undang dasar baru.Bung Karno pun mengeluarkan Dekrit Presiden soal Demokrasi Terpimpin. Menurut Zulkifli, langkah politik Sukarno tersebut berasal dari kemampuan pemimpin dalam melihat kondisi politik yang terjadi."Sekali lagi, Bung Karno menunjukkan kebesarannya sebagai seorang pemimpin. Bung Karno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959. Dekrit itu lalu diterima bulat oleh parlemen, tak ada pertentangan sedikit pun. Itu menunjukkan jalan yang ditunjukkan Bung Karno memang yang terbaik mewakili jiwa pada kondisi politik saat itu," paparnya.Dekrit Presiden tersebut pun menyatakan UUD 1945 dijadikan kembali sebagai landasan idiil Indonesia. Sejak saat itu, Indonesia tidak pernah mengutak-atik lagi ideologi negara.Amendemen UUD 1945 yang dilakukan tidak pernah menyentuh Pancasila yang ada di Pembukaan UUD. Menurutnya, mengubah Pembukaan UUD 1945 atau Pancasila berarti upaya membubarkan negara. "Memang ada amendemen terhadap konstitusi, tapi tidak pernah menyentuh Pancasila. Bahkan Pembukaan UUD 1945 sudah diputuskan DPR GR dan MPR GR untuk tidak diutak-atik. Mengubah Pembukaan UUD 1945 berarti membubarkan negara," tutur Zulkifli. (jbr/ear) Jakarta - Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) pada 18 Agustus 2021, yang merupakan Hari Konstitusi, kembali menyinggung ihwal amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Bamsoet menyebut UUD 1945 bukan kitab suci sehingga tidak boleh dianggap tabu jika ada kehendak untuk dilakukan penyempurnaan melalui proses amandemen. Amandemen yang akan dilakukan untuk menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). PPHN diperlukan untuk mengarahkan bangsa ke depan agar tidak terus berubah haluan setiap terjadi pergantian kepemimpinan, begitu alasan pokok yang disampaikan oleh Bamsoet. Perihal amandemen, Bamsoet tidak hanya menyampaikan pada saat Hari Konstitusi. Dalam Sidang Tahunan MPR 16 Agutus 2021, yang dihadiri Presiden Joko Widodo, Bamsoet juga membicarakan hal yang sama terkait dengan kehadiran PPHN.
Jika memang terjadi amandemen UUD 1945 dalam waktu dekat oleh MPR hasil Pemilu 2019, maka mungkin inilah proses amandemen yang dimaksud Andi Matalatta, salah satu pelaku amandemen pada 1999 -2002, sebagai perubahan yang direncanakan secara konstitusional. Perubahan yang didesain karena didesain dalam suasana kehidupan demokrasi yang tenang-tenang saja. Tentu menjadi sangat berbeda jika dibandingkan dengan amandemen sebelumnya karena adanya arus reformasi yang menuntut perubahan UUD 1945 untuk perbaikan sistem ketatanegaraan dan perwujudan kehidupan negara yang lebih demokratis. Karena disadari adanya penyimpangan dalam praktik ketatanegaraan sebelum reformasi.
Sesuai dengan Pasal 37 ayat (2) UUD 1945, usul perubahan diajukan secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya. Jadi untuk mengubah UUD 1945 selain ada persyaratan yang bersifat kuantitatif, terdapat juga persyaratan yang sifatnya kualitatif. Andi Mattalatta menyebut kejelasan bagian yang akan diubah sebagai syarat yang bersifat kualitatif tadi. Jika saat ini banyak praduga dan spekulasi berkembang terkait dengan amandemen UUD 1945, hal tersebut beralasan karena usul perubahan yang sifatnya tertulis belum ada/belum tersosialisasikan, pasal yang diubah/ditambahkan belum ada, dan begitu juga alasan-alasannya yang masih bersifat satu arah dari MPR.
Mengenai terpenuhinya syarat kuantitatif tadi, dengan asumsi DPD solid dan fraksi masing-masing partai solid (termasuk partai koalisi Jokowi), maka ada beberapa simulasi dan skenario besar yang mungkin terjadi dan akan membuat proses amandemen berjalan "mulus", sebagai berikut; pertama, anggota MPR dari DPR dapat melakukan amandemen UUD 1945 tanpa kehadiran DPD. Jumlah anggota MPR dari DPR memenuhi syarat kuorum untuk pengusulan, pengubahan dan persetujuan. Kedua, anggota MPR dari fraksi pendukung pemerintahan Jokowi yang jumlahnya 427 anggota memenuhi syarat pengusulan dan memberi persetujuan. Namun jumlahnya belum memenuhi syarat untuk kuorum sebanyak 474 anggota MPR. Artinya, kekurangan tersebut harus ditutupi anggota MPR dari DPD atau dari fraksi di luar pendukung pemerintahan, seperti dari fraksi Demokrat, PAN atau PKS.
Jokowi menjadi kunci karena inheren di dalam dirinya kekuatan untuk memadukan dan mensolidkan dukungan partai pendukungnya di MPR untuk dilakukan amandemen. Namun tentu kembali pada pertanyaan apa yang menjadi kepentingan politik Jokowi sehingga harus ikut mengegolkan amandemen. Sehingga di situlah mungkin titik persinggungan amandemen dengan praduga perubahan masa jabatan Presidan dan Wakil Presiden. Jadi kesimpulan saya, jika hanya sebatas memasukkan PPHN dalam UUD 1945, amandemen pasti tidak akan terjadi.
(mmu/mmu) |