Perang Puputan di Bali yang berkobar tahun 1864 1849 secara kultural disebabkan oleh

Admin dinsos | 02 Agustus 2021 | 6067 kali

Singaraja 2 - Agustus - 2021

Kadis Sosial Kab. Buleleng I Putu Kariaman Putra, S. Sos, MM di Wakili oleh Ida Ayu Ketut Suryatini Kasi Kepahlawanan ,Keperintisan dan Kesetiakawanan Sosial Mencari Informasi langsung terkait Sejarah Peperangan Puputan Jagaraga.

Kisah Singkat Terjadinya Perang Jagaraga Perlawanan ini terjadi karena pemerintah kolonial Hindia Belanda ingin menghapuskan hak  tawan karang yang berlaku.

Perang Puputan Jagaraga yang juga disebut Perang Bali II ini terjadi pada 1848 hingga 1849. Perang ini dilakukan oleh Patih Jelantik bersama dengan rakyat Buleleng, Bali.

Puputan Jagaraga disebabkan oleh ketidaktaatan Raja Buleleng, I Gusti Ngurah Made Karangasem dan Maha Patih I Gusti Ketut Jelantik pada perjanjian damai kekalahan perang Buleleng pada 1846. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh Raja Buleleng serta Raja Karangasem yang membantu Perang Buleleng.

Setelah Perang Buleleng berakhir, I Gusti Ngurah Made Karangasem, I Gusti Ketut Jelantik bersama pasukannya memindahkan Kerajaan Buleleng ke Desa Jagaraga karena:

Letaknya yang berada di bukit dan banyak jurang, memudahkan mereka untuk melakukan serangan mendadak. Hanya ada satu jalan penghubung, yakni melalui Desa Sangsit. Hal ini memudahkan mereka untuk mengintai musuh yang hendak menyerang. Jarak antara Jagaraga serta Pabean tergolong pendek sehingga mereka mudah mengawasi gerak gerik pasukan Belanda.

Selama di Jagaraga, I Gusti Ketut Jelantik dan Raja Buleleng dengan dibantu oleh Jro Jempiring telah menyusun strategi perang, yakni: Membangun berbagai benteng pertahanan di Desa Jagaraga. Melatih seluruh prajurit Buleleng dan Jagaraga. Membangkitkan semangat warga Jagaraga untuk berperang serta menggunakan rumah mereka sebagai lokasi penyimpanan logistik perang. Meminta dukungan kepada raja-raja di Bali dalam hal persenjataan. Penggunaan strategi perang Supit Surang atau Makara Wyuhana. Adanya Pura Dalem Segara Madu Jagaraga yang terletak di belakang tembok benteng.

Belanda yang saat itu menguasai Buleleng, Bali, merasa terusik dengan strategi serta persiapan yang telah dilakukan oleh I Gusti Ketut Jelantik bersama warga Jagaraga lainnya.

Pada 8 Juni 1848, Belanda menyerang Pelabuhan Sangsit menggunakan 22 kapal perang dengan meriam. Aksi ini turut diikuti dengan aksi serangan balik dari I Gusti Ketut Jelantik beserta pasukannya.

Tewasnya 250 serdadu Belanda menandai kekalahan mereka pada Perang Jagaraga pertama. Semangat patriotisme yang tinggi dari pasukan Jagaraga serta ketidaktahuan tentang medan perang menjadi faktor penyebab utama kekalahan Belanda.

Pada 15 April 1849, pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Michiels mendarat lagi di Pantai Sangsit, dengan kekuatan 15.235 orang, terdiri atas pasukan infantri, kavaleri, artileri, zeni, dan kesehatan. Di samping itu, terdapat 29 kapal laut. Pantai Buleleng dan Sangsit benar-benar telah terkepung. Jendaral Michiels akhirnya mengetahui siasat pertahanan supit urang dari mata-mata yang dikirimnya ke Benteng Jagaraga. Setelah mengatur persiapan, mereka langsung menyerang Benteng Jagaraga dari dua arah, yaitu depan dan belakang. Benteng Jagaraga dihujani tembakan meriam dengan gencar. Namun, tidak ada seorang pun Laskar Jagaraga yang mundur atau melarikan diri. Mereka semuanya gugur, lalu Benteng Jagaraga jatuh ke tangan Belanda pada 19 April 1849. Sejak saat itulah Belanda berhasil kuasai Bali Utara.

Dinsos Buleleng berharap nantinya agar masyarakat Buleleng bisa menanamkan nilai - nilai kepahlawanan agar nantinya bisa menghargai jasa-jasa para pahlawannya.

Admin disbud | 28 April 2021 | 7217 kali

Perang Puputan Jagaraga yang juga disebut Perang Bali II ini terjadi pada 1848 hingga 1849. Perang ini dilakukan oleh Patih Jelantik bersama dengan rakyat Buleleng, Bali.

Puputan Jagaraga disebabkan oleh ketidaktaatan Raja Buleleng, I Gusti Ngurah Made Karangasem dan Maha Patih I Gusti Ketut Jelantik pada perjanjian damai kekalahan perang Buleleng pada 1846. Mengutip dari situs Pemerintah Kabupaten Buleleng, perjanjian tersebut ditandatangani oleh Raja Buleleng serta Raja Karangasem yang membantu Perang Buleleng. 

Berikut merupakan isi perjanjian damai tersebut Kedua kerajaan harus mengakui Raja Belanda sebagai tuannya serta berada di bawah kekuasaan Gubernemen. Tidak diperbolehkan membuat perjanjian dengan bangsa kulit putih lainnya. Penghapusan peraturan Tawan Karang. Tawan Karang adalah hak raja-raja Bali untuk merampas kapal yang karam di perairannya. Harus membayar biaya perang sebesar 300 ribu Gulden. 

Raja Buleleng harus membayar 2/3 dari biaya perang. Sedangkan Raja Karangasem membayar 1/3 biaya yang harus dilunasi dalam jangka waktu 10 tahun. Baca juga: Puputan Margarana, Pertempuran Rakyat Bali Mengusir Belanda Setelah Perang Buleleng berakhir, I Gusti Ngurah Made Karangasem, I Gusti Ketut Jelantik bersama pasukannya memindahkan Kerajaan Buleleng ke Desa Jagaraga karena Letaknya yang berada di bukit dan banyak jurang, memudahkan mereka untuk melakukan serangan mendadak. 

Hanya ada satu jalan penghubung, yakni melalui Desa Sangsit. Hal ini memudahkan mereka untuk mengintai musuh yang hendak menyerang. Jarak antara Jagaraga serta Pabean tergolong pendek sehingga mereka mudah mengawasi gerak gerik pasukan Belanda. Istri dari I Gusti Ketut Jelantik berasal dari Desa Jagaraga. Selama di Jagaraga, I Gusti Ketut Jelantik dan Raja Buleleng dengan dibantu oleh Jro Jempiring telah menyusun strategi perang, yakni membangun berbagai benteng pertahanan di Desa Jagaraga. 

Melatih seluruh prajurit Buleleng dan Jagaraga. Membangkitkan semangat warga Jagaraga untuk berperang serta menggunakan rumah mereka sebagai lokasi penyimpangan logistik perang. Meminta dukungan kepada raja-raja di Bali dalam hal persenjataan. 

Penggunaan strategi perang Supit Surang atau Makara Wyuhana. Adanya Pura Dalem Segara Madu Jagaraga yang terletak di belakang tembok benteng. Lihat Foto Prajurit Bali di tahun 1880-an (Bali Museum) Belanda yang saat itu menguasai Buleleng, Bali, merasa terusik dengan strategi serta persiapan yang telah dilakukan oleh I Gusti Ketut Jelantik bersama warga Jagaraga lainnya.

TRIBUNNEWSWIKI.COM - Puputan Jagaraga atau Perang Bali III adalah perlawanan Kerajaan Buleleng terhadap pasukan Belanda pada tahun 1846 hingga 1849.

Belanda memasuki pulau Bali pada abad ke-19 dengan niat untuk melakukan penjajahan.

Salah satu hal yang melatarbelakangi Puputan Jagaraga adalah adanya adat Tawan Karang.

Tawan Karang adalah hak istimewa yang dimiliki raja-raja Bali untuk menyita kapal-kapal yang terdampar di wilayah perairan kerajaan mereka lengkap beserta seluruh muatannya.

Hukum tersebut sudah ada sejak zaman Bali Kuno hingga zaman Puputan Badung pada 1906.

Adanya Tawan Karang ini menyebabkan keselamatan harta benda dan awak kapal Belanda menjadi terancam.

Pada 1843, Belanda mengadakan perjanjian dengan beberapa Kerajaan di Bali untuk menghapus adat Tawan Karang.

Sebab, dengan adanya Tawan Karang dapat mengancam keselamatan harta benda dan awak kapal Belanda.

Setahun setelah itu, terjadi peristiwa perampasan terhadap kapal-kapal Belanda di pantai Prancah (Bali Barat) dan Sangsit (Buleleng bagian Timur).

Belanda mengutus Asisten Residen Banyuwangi bernama Ravia de Lignij ke Bali untuk bernegosiasi.

Belanda menuntut dilepaskannya kapal-kapal tersebut, yang kemudian ditolak oleh Kerajaan Buleleng.

Penolakan itu kemudian dijadikan alasan Belanda untuk menyerang Buleleng. (1)

Baca: Perang Puputan Margarana

Baca: 17 Agustus – Seri Sejarah Nasional: Perang Puputan Badung

Baca: 17 AGUSTUS - Seri Sejarah Nasional: Puputan Bayu (1771)

Perlawanan Bali (wikimedia.org)

Pada 1846, perang meletus dengan kedatangan pasukan perang Belanda ke Buleleng.

Pasukan perang ini terdiri atas pasukan gabungan Batavia dan Surabaya yang berjumlah 1.700 orang dan 400 orang tentara Eropa.

Penyerangan itu dipimpin oleh Komandan Angkatan Laut Kerajaan Belanda, Laksamana E.B. van den Bosch.

Sementara pasukan angkatan darat dikomando Letnan Kolonel J Bakker.

Belanda menawarkan diplomasi terakhir sebelum melakukan penyerangan.

Patih Kerajaan Buleleng, I Gusti Ketut Jelantik dituntut untuk meminta maaf dan mengganti rugi kapal-kapal Belanda yang dirampas.

Baca: 17 AGUSTUS - Serial Pahlawan Nasional: I Gusti Ketut Jelantik

Baca: 17 AGUSTUS - Serial Pahlawan Nasional: I Gusti Ketut Pudja

Baca: 17 AGUSTUS - Serial Pahlawan Nasional: I Gusti Ngurah Made Agung

Baca: 17 AGUSTUS - Serial Pahlawan Nasional: I Gusti Ngurah Rai

Kerajaan Buleleng (slideshare.net)

Diplomasi itu ditolak oleh I Gusti Ketut Jelantik yang kemudian memimpin perlawanan rakyat Buleleng.

Benteng pertahanan pun dibangun, salah satunya Benteng Jagaraga yang berbentuk 'Supit Urang'.

Pada hari penyerangan, kapal-kapal Belanda menyerbu dengan tembakan meriam.

Pasukan Buleleng bertahan di dalam benteng hingga membuat Belanda kewalahan.

Pasukan dari Batavia dan Madura kembali didatangkan pada 26 Mei 1846.

I Gusti Ketut Jelantik bertahan dan terus memimpin pasukannya untuk menjaga Raja Buleleng, I Gusti Ngurah Made.

Pasukan Belanda berhasil menyentuh istana, membuat Raja Buleleng mundur dan mengamankan diri ke Jagaraga.

Setelah ibukota Buleleng jatuh ke tangan Belanda, I Gusti Ketut Jelantik memulai taktik gerilya dengan memanfaatkan kondisi Jagaraga yang masih dipenuhi hutan, sungai, sawah serta perbukitan.

I Gusti Ketut Jelantik menghimpun kekuatan dari kerajaan-kerajaan Bali yang kemudian bergabung di Jagaraga.

Karena sadar pasukannya kalah dalam persenjataan dan logistik, I Gusti Ketut Jelantik menyusun strategi bertahan dengan model makara wyuha atau supit udang.

Menggunakan taktik gerilya, Buleleng terus maju sepanjang tahun 1848.

Karena merasa terancam, Belanda menggunakan taktik adu domba.

Utusan-utusan dikirim untuk memecah-belah persatuan kerajaan-kerajaan Bali.

Selain itu Belanda juga menyiarkan rumor tentang sebagian kerajaan di Bali berhasil direbut.

Rumor tidak benar itu membuat pasukan Buleleng menjadi khawatir dan bahkan meninggalkan benteng pertahanan Jagaraga.

Pada 15 April 1849, Jagaraga dikepung secara mendadak.

I Gusti Ketut Jelantik harus mundur ke Gunung Batur.

Dalam perjalanannya, I Gusti Ketut Jelantik akhirnya meninggal dunia.

Sepeninggal I Gusti Ketut Jelantik, Buleleng berhasil direbut Belanda 

Pulau Bali juga berhasil jatuh ke tangan Belanda. (2)

Lukisan I Gusti Ketut Jelantik (Kolase foto (//bulelengkab.go.id))

Sepeninggal I Gusti Ketut Jelantik, Buleleng berhasil direbut Belanda 

Pulau Bali juga berhasil jatuh ke tangan Belanda dan Kerajaan-kerajaan Bali menjadi tunduk dengan Belanda.

Dari segi ekonomi, Belanda juga menguasai monopoli perdagangan di Bali.

Selain itu adat sute dalam tradisi ngaben juga dihapus. (3)

(TribunnewsWiki/Indah)

Jangan lupa subscribe channel YoutubeTribunnewsWiki

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA