Perlawanan yang dilakukan orang-orang Cina yang meluas di daerah pesisir Jawa dengan tokohnya yaitu

Merdeka.com - Tentunya kamu sudah pernah mendengar tentang orang-orang Cina dan India yang masuk ke Indonesia. Orang-orang Cina dan India ini pada awalnya hanya datang untuk melakukan perdagangan saja. Namun, ada beberapa dari mereka yang tinggal dan menetap di Indonesia. Masyarakat Indonesia juga menyambut baik kehadiran pendatang baru itu. Di masa perkembangan kerajaan bercorak Hindu-Buddha dan Islam, masih banyak orang yang Cina yang tinggal di pesisir dan menikah dengan orang-orang Indonesia asli.

Begitu juga ketika masa pemerintahan VOC. Masih banyak orang cina yang datang ke pulau Jawa. Kedatangan orang-orang cina ini disuruh oleh VOC agar mereka bisa mendukung kemajuan ekonomi yang ada di pulau Jawa. Sayangnya, nggak semua dari orang cina itu punya modal untuk bisa mendukung kemajuan ekonomi VOC. Akhirnya, untuk membatasi kedatangan orang-orang Cina yang datang ke Batavia, VOC mengeluarkan sebuah ketentuan. Ketentuan itu berisi bahwa semua orang Cina yang tinggal di Batavia harus punya surat izin tinggal atau pemissiebriefjes. Masyarakat biasa memanggilnya dengan surat pas.

Kalau masyarakat nggak punya surat ini, maka dia akan ditangkap dan dibuang ke wilayah Sailon atau Sri Langka. Disana, mereka akan dipekerjaan di kebun pala milik VOC. Ada juga pilihan lain, yaitu dikembalikan ke wilayah asalnya yaitu Cina. Mereka diberi waktu selama 6 bulan untuk bisa mendapatkan surat pas itu. Itulah awal mula pemberontakan orang Cina kepada VOC.

Bab ini sangat menarik untuk bisa kamu pelajari karena berhubungan dengan sejarah Indonesia. Tertarik untuk bisa mempelajari bab ini secara lebih lanjut dan lebih detail kan? Jadi, segera baca dan pelajari bab yang menarik ini. Selamat belajar teman.

Home » Kelas XI » Perlawanan Orang-orang Cina Terhadap VOC

Sejak abad ke-5 orang-orang Cina sudah mengadakan hubungan dagang ke Jawa. Pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha dan Islam banyak pedagang Cina yang tinggal di daerah pesisir, bahkan tidak sedikit yang menikah dengan penduduk Jawa. Pada masa pemerintahan VOC di Batavia, banyak orang Cina yang datang ke Jawa. VOC memang sengaja mendatangkan orang-orang Cina dari Tiongkok dalam rangka mendukung kemajuan perekonomian di Jawa. 

Pada masa pemerintahan J. P Coen sangat menghargai bangsa Cina ini dan memberikan perlindungan terhadap kesewenang-wenangan bangsa barat. Sebagai pemimpin pertama diangkatlah So Bing Kong, sebagai kapten Cina. Pada akhir abad ke 18 jumlah bangsa Cina semakin banyak Speelman banyak menarik Cina dari Banten lagi pula pergolakan di negeri asalnya juga menyebabkan banyaknya orang cina bermigrasi ke luar cina dan pergi ke Nusantara. 

Hal itu kemudian berakibat pada membludaknya warga keturunan Tionghoa di Batavia, mulai dari yang rajin telaten bekerja di perkebunan tebu, dagang, hingga yang berbuat kriminal karena menganggur.

Melihat kejadian ini, Gubernur Jendral Adriaan Valckenir yang saat itu berkuasa tidak tinggal diam, beliau bersama para pejabat VOC yang lainnya mengeluarkan kebijakan tentang Pajak Kepala dan Pass yang harus dimiliki setiap imigran yang ada di Batavia.

Untuk membatasi kedatangan orang–orang Cina ke Batavia, VOC mengeluarkan ketentuan bahwa setiap orang Cina yang tinggal di Batavia harus memiliki surat izin bermukim yang disebut permissiebriefjes atau masyarakat sering menyebut dengan “surat pas”. Apabila tidak memiliki surat izin, maka akan ditangkap dan dibuang ke Sailon (Sri Langka) untuk dipekerjakan di kebun-kebun pala milik VOC atau akan dikembalikan ke Cina.

Mereka diberi waktu enam bulan untuk mendapatkan surat izin tersebut. Tetapi dalam pelaksanaannya untuk mendapatkan surat izin terjadi penyelewengan sehingga banyak yang tidak mampu memiliki surat izin tersebut. VOC bertindak tegas, orang-orang Cina yang tidak memiliki surat izin bermukim ditangkapi. Tetapi mereka banyak yang dapat melarikan diri keluar kota. Mereka kemudian membentuk gerombolan yang mengacaukan keberadaan VOC di Batavia.

Pada suatu ketika tahun 1740 terjadi kebakaran di Batavia. VOC menafsirkan peristiwa ini sebagai gerakan orang-orang Cina yang akan melakukan pemberontakan. Para serdadu VOC mulai beraksi dengan melakukan sweeping memasuki rumah-rumah orang Cina dan kemudian melakukan penangkapan. 

Sementara yang berhasil meloloskan diri dan melakukan perlawanan di berbagai daerah, misalnya di Jawa Tengah. Salah satu tokohnya yang terkenal adalah Oey Panko atau kemudian dikenal dengan sebutan Khe Panjang, kemudian di Jawa menjadi Ki Sapanjang. Nama ini dikaitkan dengan perannya dalam memimpin perlawanan di sepanjang pesisir Jawa.

Perlawanan dan kekacauan yang dilakukan orang-orang Cina itu kemudian meluas di berbagai tempat terutama di daerah pesisir Jawa. Perlawanan orang-orang Cina ini mendapat bantuan dan dukungan dari para bupati di pesisir. Bahkan yang menarik atas desakan para pangeran, Raja Pakubuwana II juga ikut mendukung pemberontakan orang-orang Cina tersebut. 

Pada tahun 1741 benteng VOC di Kartasura dapat diserang sehingga jatuh banyak korban. VOC segera meningkatkan kekuatan tentara maupun persenjataan sehingga pemberontakan orang-orang Cina satu demi satu dapat dipadamkan. Pada kondisi yang demikian ini Pakubuwana II mulai bimbang dan akhirnya melakukan perundingan damai dengan VOC

PEMBERONTAKAN TIONGHOA DI HINDIA BELANDA

Peristiwa pemberontakan orang-orang Tionghoa/Cina pada 1740-1773 merupakan krisis terbesar yang dihadapi oleh VOC sepanjang sejarah kekuasaannya di Hindia belanda. 

Pemberontakan tersebut berawal dari Batavia, yang dipicu oleh terjadinya peristiwa pembantaian terhadap orang-orang Tionghoa/Cina yang dilakukan oleh VOC, kemudian menjalar ke sejumlah wilayah seperti Karawang, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Kudus, Purwodadi, Rembang,Lasem,Tuban,Surabaya, hingga daerah pedalaman Jawa sampai ke Mataram.

Pemberontakan Tionghoa ini kemudian melibatkan kekuasaan politik di Mataram. Para bangsawan yang ketika itu terlibat dalam perang perebutan kekuasaan di Mataram melibatkan diri dalam perang antara orang-orang Tionghoa dan Belanda. Keterlibatan tersebut mengakibatkan semakin menguatnya kisruh di kraton Mataram yang berujung kepada keruntuhannya melalui Perjanjian Giyanti tahun 1755 dan Perjanjian Salatiga tahun 1757.

Yang menarik adalah, peristiwa pembantaian terhadap orang-orang Tionghoa di Batavia tersebut tidak mengakibatkan Kaisar Manchu, Qian Long kecewa. Kaisar Manchu tersebut bahkan tidak peduli dengan nasib orang-orang Tionghoa yang dibantai di Batavia dan di Jawa. 

Baginya, orang-orang Tionghoa tersebut adalah penghianat yang tidak loyal pada Tiongkok sebagai negeri leluhur, dan iapun tidak memberikan sanksi apapun kepada Belanda, walaupun sempat didesak oleh Gubernur Fujian. Padahal awalnya Belanda sangat khawatir akan adanya pembalasan dendam dari penguasa Tiongkok.

Meningkatnya jumlah imigran Tionghoa

Selama empat dasawarsa pertama abad kedelapan belas terjadi arus imigrasi orang-orang Tionghoa ke Hindia Belanda. Meningkatnya kedatangan orang-orang Tionghoa terutama sejak jatuhnya kekuasaan Dinasti Ming dan terbukanya kembali perdagangan antara Tiongkok dan Asia Tenggara pada tahun 1683.

Arus imigrasi tersebut tidak terkendali dan mengakibatkan melonjaknya jumlah orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda khususnya Batavia. Menyikapi keberadaan orang-orang Tionghoa tersebut, pemerintah Batavia awalnya bersikap ragu-ragu. Di satu pihak, orang-orang Tionghoa dianggap sebagai tenaga kerja yang rajin dan terampil sehingga dapat berguna untuk kepentingan VOC. 

Tetapi di pihak lain, sebagai pedagang, peminjam uang dan pemilik totok, mereka menghisap—atau dituduh menghisap—masyarakat kulit putih, Indo-Eropa dan masyarakat pribumi yang lebih miskin. (Boxer,1983) Selain itu keberadaan orang-orang Cina yang semakin kaya dan kuat di pertengahan abad ke-18 dianggap  berbahaya dan mengancam kekuasaan Belanda.

Terjadinya peningkatan angka kriminalitas di Batavia juga dituding banyak dikaitkan dengan keberadaan orang-orang Tionghoa yang berimigrasi secara illegal.Orang-orang Tionghoa yang miskin karena tidak mendapatkan pekerjaan di Batavia kemudian mulai melakukan aksi-aksi kriminalitas dengan menjarah daerah-daerah pedesaan di sekitar Batavia.

Seiring dengan semakin banyaknya pendatang Tionghoa, VOC mengeluarkan peraturan baru yang bernama Permissie briefje, yaitu surat izin tinggal dari para warga Cina itu. Mereka yang tidak memiliki surat tersebut akan dideportasi  ke Srilanka untuk dipekerjakan di koloni tersebut. 

Surat izin tersebut harus dimiliki oleh orang Tionghoa yang sudah tinggal di Batavia leih dari 10 tahun. Adapun yang hanya tinggal selama 3 bulan untuk urusan niaga harus memiliki “licentie briefje” dengan membayar 2 riksdalder, sedangkan yang hendak pulang ke Tiongkok dan berniat untuk kembali lagi ke Batavia juga harus mendapatkan lisensi.

Orang-orang Tionghoa selalu dapat mengatasi aturan baru dari VOC ini. Mereka mengetahui bahwa gaji para pegawai VOC sedemikian rendah dan mereka sangat mudah disogok, sehingga peraturan ini seringkali dilanggar dan tidak efektif.

Peraturan tersebut bertujuan agar dapat mengembalikan keseimbangan sosial-ekonomi di Batavia sekaligus mengurangi dampak negatif akibat meningkatnya jemlah orang-orang Tionghoa di Batavia.

Selain itu VOC juga melakukan razia dan penangkapan terhadap ratusan tokoh Tionghoa dan memenjarakannya di Balai Kota.Mereka dituduh menyimpan senjata dan hendak melakukan pemberontakan.

Akibat dari razia-razia ini banyak orang Tionghoa merasa khawatir dan mulai merasa tidak aman. Orang-orang Cina merasa ruang geraknya di batasi dan kemudian menyatakan ketidakpuasannya. Ditambah dengan beredarnya rumor yang menyebutkan bahwa mereka yang dideportasi ke Srilanka itu sebenarnya malah ditenggelamkan di tengah laut. 

Kekhawatiran di kalangan Tionghoa makin meninggi. Mereka kemudian mulai mempersenjatai diri dan dalam serangkaian pertemuan bahkan berencana untuk melawan VOC.Mereka merampok di daerah selatan dan orang-orang Tionghoa mulai menyerang posisi-posisi kekuatan kecil Belanda di Meester Cornelis  dan Tanah Abang sehingga menewaskan 50 orang tentara Kompeni.

Selebaran gelap beredar yang menunjukkan niat warga Tionghoa untuk menyerbu masuk ke dalam kota Batavia.

Tanggal 7 Oktober 1740 terjadi bentrok antara orang Tionghoa dengan pasukan VOC yang berakibat beberapa serdadu Eropa terbunuh. Pada tanggal 8 Oktober 1740 VOC berhasil mengusir sekelompok Tionghoa yang mendesak masuk ke dalam kota. Peristiwa demi peristiwa tersebut meyakinkan VOC bahwa orang-orang Tionghoa memang mau melakukan pemberontakan.

Gubernur VOC saat itu Adriaan Valkenier justru ikut menyulut ketakutan orang-orang Eropa sehingga meledak menjadi kemarahan dan kekerasan massal. Setelah itu, VOC dan orang-orang Eropa yang dibantu oleh orang-orang pribumi dan para budak yang  kemudian melakukan pembunuhan terhadap orang-orang Tionghoa (de Chinezenmoord). 

Pembantaian itu juga disertai dengan adanya pembakaran serta penjarahan terhadap gedung-gedung dan rumah-rumah orang Cina di Glodok. Ketidakmampuan dan ketidak acuhan pemerintah kolonial dalam mengatasi pembunuhan massal orang-orang Tionghoa tersebut mengakibatkan pembantaian itu meluas ke daerah pedalaman. Banyak orang-orang Tionghoa yang kemudian mengungsi ke daerah pedalaman. Pembantaian itu sendiri berlangsung selama 3 hari, dari tanggal 8 Oktober 1740 dan baru berakhir pada 10 Oktober 1740.

Pembantaian itu mengakibatkan sekitar 10.000 orang  Tionghoa tewas, yang meliputi pria,wanita,anak-anak, bahkan wanita hamil maupun bayi yang masih menyusui tidak luput dari pembantaian yang tidak mengenal perikemanusiaan, bahkan para tahanan dan pasien rumah sakit juga mengalami nasib yang sama.

Berita tentang pembantaian terhadap orang-orang Tionghoa di Batavia telah menimbulkan keresahan di kalangan orang-orang Tionghoa lainnya di Pulau Jawa. Hal itu kemudian menyulut pemberontakan massal orang Tionghoa di daerah lain di Pulau Jawa. Di sebagian kota pantai utara Jawa dan timur laut, pemberontakan orang Cina berhasil dipatahkan sejak awal, tetapi di beberapa tempat lain para pemberontak sempat berhasil menguasai benteng, dan keberhasilan mereka sebagian besar disebabkan oleh adanya dukungan baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara tebuka dari para penguasa Jawa setempat.Bahkan benteng dan pusat dagang Belanda yang penting di Semarang nyaris jatuh ke tangan orang-orang Cina.

Pada saat yang kritis ini, Belanda akhirnya mendapatkan dukungan dan bantuan dari penguasa Madura Barat, Cakraningrat. Dukungan tersebut akhirnya berhasil menjadikan VOC memukul perlawanan orang-orang Cina, bahkan mengakhirinya.

Menyikapi pemberontakan Tionghoa ini, sejumlah bangsawan Jawa awalnya memberikan dukungan, tetapi setelah diketahui bahwa VOC akan berhasil menumpas pemberontakan Tionghoa tersebut, akhirnya para bangsawan Jawa tersebut berbalik memihak VOC.

Meningkatnya keresahan di kalangan orang-orang Tionghoa

Latar belakang lainnya yang mendorong terjadinya pembantaian orang-orang Batavia pada 1740 adalah Gubernur Jenderal VOC yang berkuasa saat itu, yakni Adriaan Valkenier  dinilai memiliki moral yang rendah.VOC saat itu membebani orang-orang Tionghoa dengan berbagai pungutan pajak. Kondisi tersebut diperparah dengan melonjaknya harga beras yang mengakibatkan menurunnya daya beli masyarakat.

Pemberontakan Pieter Erbelfelt

Faktor lain yang melatarbelakangi terjadinya Pembantaian dan pemberontakan orang-orang Tionghoa adalah Pemberontakan Pieter Erbelfelt, seorang warga kelahiran India dari keturunan Siam-Jerman. Erbelfelt pada tahun 1721 merencanakan pemberontakan terhadap kekuasaan VOC di Batavia dengan dukungan sejumlah kalangan bangsawan pribumi. 

Rencananya Pieter akan melakukan pemberontakan pada malam tahun baru 1722 dengan membunuhi semua orang Belanda. Rencana pemberontakan tersebut segera diketaui dan Pieter ddan Raden Kartadria beserta 17 orang pengikutnya yang terlibat kemudian ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Hukuman mati tersebut dijatuhkan dengan alasan Pieter hendak melakukan pemberontakan dengan dukungan dari penduduk pribumi dan orang-orang Cina di Batavia dan membahayakan kedudukan serta kekuasaan VOC.

Terjadi pertempuran antara orang-orang tionghoa di batavia dengan VOC

Terjadinya pertempuran di Jawa antara orang-orang Tionghoa dan VOC

Terjadinya pertempuran di Jawa antara orang-orang Jawa melawan VOC yang dibantu oleh Kraton Mataram/Kartosuro

Terjadi pertempuran antara orang-orang Tionghoa yang bekerjasama dengan Kraton Mataram/Kartosuro yang ketika itu dipimpin oleh Pakubuwono II melawan VOC yang ketika itu dibantu oleh Cakraningrat dari Madura

Terjadi pertempuran antara aliansi orang-orang Tionghoa, Sunan kuning, Mangkubumi dan Raden Mas Said melawan VOC yang bekerjasama dengan Paku Buwono II dan Cakraningrat

Peperangan yang berkepanjangan tersebut akhirnya berakhir dengan menyerahnya dan kemudian dibuangnya Sunan Kuning/R.M.Garendi/Amangkurat V ke Ceylon/Srilanka.

Akhirnya Paku Buwono II menandatangani penyerahan Pantai Utara Jawa kepada VOC

♦ Orang-orang Tionghoa sejak pemberontakan tersebut tidak lagi menjadi ‘anak emas” VOC. VOC kemudian membuat sejumlah peraturan yang membatasi ruang gerak orang-orang Tionghoa dalam bidang perdagangan.

♦ Setelah peristiwa pembantaian terhadap orang-orang Batavia, jumlah orang Tionghoa khususnya di Batavia menyusut. Setelah peristiwa tersebut tercatat ada sekitar 3.431 orang Cina/Tionghoa yang tersisa, termasuk 1.442 pedagang,935 petani dan pekebun,728 pekerja kayu dan gula, dan 326 tukang. Jumlah tersebut oleh Belanda tidak dianggap terlalu besar tetapi tetap dinilai sangat dibutuhkan untuk mendukung perekonomian Batavia.

♦ Banyak orang Tionghoa yang kemudian masuk agama Islam

♦ Orang-orang Tionghoa dimukimkan di Pecinan, (Chineese Kapm) atau yang sekarang bernama Glodok yang ketika itu masuk ke dalam jarak tembak Meriam VOC

♦ VOC kemudian melaksanakan politik segregasi sosial termasuk di bidang pemukiman antara orang-orang Tionghoa dan pribumi.

♦ VOC juga mengarahkan agar orang-orang Tionghoa hanya bergerak di bidang perdagangan saja.

♦ Paku Buwono II meninggalkan Kartasura dan kemudian membangun kraton baru di Sala/Surakarta.

♦ Pada tahun 1755 diadakan Perjanjian Giyanti antara Mangkubumi dan Paku Buwono III yang mengakibatkan terpecahnya Mataram menjadi dua, yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.

♦ R.M.Said mengadakan perundingan dengan PB III di Salatiga pada tahun 1557. Perjanjian yang kemudian dikenal dengan nama Perjanjian Salatiga tersebut akhirnya memunculkan sebuah kerajaan baru, yaitu Mangkunegaraan.

♦ Pemerintah kolonial khawatir, pembantaian orang Tionghoa pada 1740 akan mengakibatkan terputusnya hubungan dagang antara Hindia Belanda dengan Tiongkok. Oleh karena itu Belanda kemudian mengirim surat kepada kaisar dan pegawai-pegawai negeri di Guangzhou. Tetapi dalam hal ini pemerintah Kerajaan Tiongkok tidak peduli dengan nasib orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda yang dianggap sudah melupakan negeri leluhur mereka.

♦ Peristiwa pembantaian terhadap orang-orang Tionghoa berakibat jatuhnya kekuasaan Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier pada 2 Desember 1740. Adriaan dituduh membiarkan peristiwa tersebut terjadi. Kemudian Adriaan akhirnya dijebloskan ke dalam penjara sampai akhir hayatnya pada 20 Juni 1751. Sebagai penggantinya, Dewan Tujuh belas kemudian mengangkat Baron Van Imhoff sebagai Gubernur Jenderal.

♦ Sekitar 500 orang Tionghoa yang dianggap melakukan pemberontakan dibawa ke Stadhuis/Balaikota dan kemudian dijatuhi hukuman pancung

♦ Ni Hoe Kong, yang merupakan Kapitan Cina ditangkap dan dijebloskan kedalam penjara. Ia dituduh terlibat dalam konspirasi pemberontakan orang-orang Tionghoa dan rumah mewah miliknya yang terletak di Roa Malaka dijarah habis. Sesudah itu ia kemudian dibuang atau diasingkan ke Srilanka dan kemudian ke Maluku.

* Setelah peristiwa tersebut, untuk sementara hubungan antara Batavia dan Amoy terputus. Saat itu tidak ada orang Cina yang datang ke Batavia.

ARTI PENTING PEMBERONTAKAN TIONGHOA

→ Pemberontakan Tionghoa tahun 1740 merupakan pemberontakan terbesar yang dihadapi oleh VOC di abad 18 M

→ Pemberontakan tersebut menandai adanya persekutuan antara orang-orang Tionghoa dan masyarakat Jawa atau pribumi.

→ pemberontakan dan pembantaian orang-orang Tinghoa merupakan klimaks perseteruan dua petinggi Belanda, yaitu antara Gubernur Jenderal Adriaan Valkenier dan Baron Van Imhoff. Perseteruan tersebut kemudian dimenangkan oleh Van Imhoff dan Adrian Valkenier dicopot dari jabatannya bahkan kemudian dimasukkan ke dlaam penjara hingga wafatnya.

-Alwi Shahab, Robin Hood Betawi, Jakarta : Republika, 2001

-Bernard.H.M.Vlekke, Nusantara ; Sejarah Indonesia,Jakarta ; Gramedia,2008

-C.R.Boxer, Jan Kompeni, Dalam Perang Dan Damai (1602-1799, Jakarta : Sinar Harapan, 1983

-Daradjati, Geger Pacinan, Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC, 1740-1743,Jakarta : Kompas,2013

-Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya I, Jakarta : Gramedia, 2008

-J.S.Furnivall, Hindia Belanda, Studi tentang Ekonomi Majemuk,Jakarta : Freedom Institue,2009

-Mona Lohanda, Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia,Depok : Masup Jakarta, 2007

-Onghokham, Riwayat Tionghoa Peranakan Di Jawa, Depok : Komunitas Bambu, 2009


Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA