Pertempuran yang dikenang dalam Monumen Palagan Ambarawa memiliki arti penting karena

TRIBUN-VIDEO.COM – Palagan Ambarawa merupakan sebuah peristiwa perlawanan rakyat Indonesia terhadap sekutu.

Palagan Ambarawa berlangsung antara 20 Oktober sampai 15 Desember 1945 di Ambarawa, Jawa Tengah.

Palagan Ambarawa atau kerap disebut juga Pertempuran Ambarawa merupakan peristiwa pertempuran penting dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Palagan Ambarawa melibatkan pasukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan para pejuang melawan pasukan sekutu.

Palagan Ambarawa meninggalkan catatan historis penting tentang kegigihan pejuang-pejuang Indonesia dalam menghadapi gempuran sekutu yang ingin merengut kembali hak kemerdekaan NKRI.

Latar Belakang

Menyerahnya Jepang kepada Sekutu pada 15 Agustus 1945 mengakibatkan vacuum of Power atau kekosongan kekuasaan di Hindia Belanda.

Kekosongan tersebut tidak disia-siakan oleh bangsa Indonesia untuk segera memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

Kendati demikian, masih ada saja pihak-pihak yang berusaha mengembalikan Indonesia sebagai jajahan Belanda.

Hal tersebut karena pemerintah Belanda merasa memiliki hak sejarah untuk meneruskan pemerintahan kolonialnya.

Hal ini didasarkan pada perjanjian antara Inggris dengan Belanda yang disebut Civil Affairs Aggreement pada 24 Agustus 1945 yang mengatur pemindahan kekuasaan di Indonesia dari British Military Administration kepada Nitherlands Indies Civil Administration (NICA).

Karena itu, NICA kemudian membonceng tentara sekutu untuk kembali ke Indonesia.

Pada 20 Oktober 1945, pasukan Sekutu yang di bawah Brigadir Bethel mendarat di Semarang.

Adapun maksud mereka datang ke Indonesia di antaranya untuk menerima penyerahan kekuasaan dari tangan Jepang, membebaskan para tawanan perang dan interniran Sekutu, melucuti dan mengumpulkan orang Jepang untuk dipulangkan.

Mereka juga bermaksud menegakkan dan mempertahankan keadaan damai untuk kemudian diserahkan kepada pemerintah sipil serta menghimpun keterangan tentang dan menuntut penjahat perang.

Melihat maksud sekutu seperti itu, Pemerintah RI pun menyambut baik.

Mereka kemudian mengadakan perundingan gencatan senjata dan menyepakati beberapa hal di antaranya pihak Sekutu akan tetap menempatkan pasukannya di Magelang untuk melakukan kewajibannya melindungi dan mengurus evakuasi pasukan Sekutu yang ditawan pasukan Jepang (RAPWI) dan Palang Merah (Red Cross) yang menjadi bagian dari pasukan Inggris.

Jumlah pasukan Sekutu dibatasi sesuai dengan tugasnya.

Jalan raya Ambarawa dan Magelang terbuka sebagai jalur lalu lintas Indonesia dan Sekutu.

Selain itu Sekutu juga tidak akan mengakui aktivitas NICA dan badan-badan yang ada di bawahnya.

Namun ternyata pasukan Sekutu mengkhianati perjanjian tersebut.

Sekutu ternyata diboncengi oleh NICA yang kemudian mempersenjatai bekas tawanan.

Pada 26 Oktober 1945, tentara Sekutu tiba di Magelang dan berusaha mengambil alih kekuasaan atas kota tersebut.

Hal itu menyebabkan pecahnya insiden antara tentara Inggris dibantu bekas tahanan melawan tentara Indonesia (TKR).

Dalam petempuran itu, tentara Inggris tidak kuat menghadapi gempuran rakyat Indonesia, mereka kemudian meminta bantuan Presiden Soekarno untuk menyelamatkan tentara Sekutu beserta para interniran keluar Magelang menuju kota Semarang.

1 November 1945, Presiden Soekarno dan Menteri Penerangan Mr. Amir Syarifuddin Hararap, yang dua hari sebelumnya baru kembali dari Surabaya untuk melerai insiden di sana, datang dengan pesawat ke Semarang dan kemudian melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta mengendarai mobil.

Sesampainya di Yogyakarta, kemudian diadakan perundingan dengan pimpinan militer Indonesia.

Pada 2 November 1945, dicapai sebuah kesepakatan yang berisi:

Gencatan senjatan diberlakukan dengan segera.

Tentara Sekutu diizinkan memiliki pasukan dengan jumlah yang diperlukan untuk melindungi interniran di Magelang.

Personalia NICA dilarang melakukan kegiatan apa pun

Pembentukan Contact Bureau (badan penghubung) di Semarang, Ambarawa, dan Magelang untuk mengatasi kesulitan yang mungkin terjadi.

Dengan tercapainya kesepakatan tersebut, Sekutu dapat mengulur waktu untuk memperkuat kembali posisi mereka dan mendatangkan bantuan.

Benar saja, dipicu oleh berita Agresi Militer Inggris di Surabaya mulai tanggal 10 November 1945, di Jawa Tengah juga mulai timbul insiden tembak-menembak, yang mengakibatkan tewasnya tiga perwira Inggris.

Brigadir Bethell menyalahkan pihak Indonesia atas insiden itu dan pada 18 November dia memerintahkan untuk menangkap dan menahan Gubernur Wongsonegoro.

Kronologi

20 November 1945 di Ambarawa terjadi pertempuran antara TKR di bawah pimpinan Mayor Sumarto melawan tentara Sekutu.

Untuk memperkuat pertahanan mereka di Ambarawa, pasukan bantuan sekutu yang berada di Magelang, pada 21 November ditarik ke Ambarawa dengan dilindungi oleh pesawat-pesawat mereka.

Pertempuran pecah di dalam kota pada 22 November 1945.

Pasukan sekutu melakukan pengeboman terhadap kampung-kampung di sekitar Ambarawa.

Pasukan TKR bersama pasukan-pasukan pemuda yang berasal dari Boyolali, Salatiga, dan Kartasura bertahan di kuburan Belanda, sehingga membentuk garis pertempuran sepanjang rel kereta api dan membelah kota Ambarawa.

Dari arah Magelang pasukan TKR dari Divisi V/Purwokerto di bawah pimpinan Imam Adrongi pada tanggal 21 November 1945, melakukan serangan fajar dengan tujuan menyerang pasukan Sekutu yang berkedudukan di desa Pingit.

Pasukan Imam Adrongi akhirnya berhasil menduduki Pingit, kemudian merebut desa-desa sekitarnya.

Pasukan Imam Adrongi terus meneruskan gerakan pengejaran terhadap tentara Sekutu.

Pasukan Imam Adrongi mendapat bantuan tiga batalyon yang berasal dari Yogyakarta, yaitu batalyon 10 Divisi III di bawah pimpinan Mayor Soeharto, batalyon 8 di bawah pimpinan Mayor Sardjono, dan Batalyon Sugeng.

Tambahan pasukan di pasukan TKR ini mengakibatkan kedudukan Sekutu semakin terkepung.

Walaupun telah terkepung, Sekutu masih mencoba keluar dari pengepungan tersebut.

Pasukan Sekutu melakukan gerakan melambung dan mengancam kedudukan pasukan Indonesia dari belakang dengan menggunakan tank-tanknya.

Untuk mencegah jatuhnya lebih banyak korban, pasukan Indonesia diperintahkan oleh masing-masing komandannya untuk mundur ke Bedono.

Gerakan pasukan Sekutu akhirnya berhasil ditahan, setelah bantuan dari resimen kedua di bawah pimpinan M. Sarbini dan Batalyon Posisi Istimewa di bawah pimpinan Onie Sastroatmodjo serta batalyon dari Yogyakarta datang.

Gerakan Sekutu berhasil ditahan di desa Jambu.

Setelah berhasil menahan laju Sekutu, pasukan TKR kemudian mengadakan rapat koordinasi di desa Jambu, dipimpin oleh Kolonel Holland Iskandar.

Dari rapat tersebut berhasil membentuk suatu komando, yang disebut Markas Pimpinan Pertempuran.

Markas komando tersebut bertempat di Magelang.

Sejak saat itu medan pertempuran Ambarawa dibagi menjadi 4 sektor, yaitu sektor Utara, Selatan, Timur, dan Barat.

Total jumlah pasukan Indonesia yang bertempur di Ambarawa berjmlah 19 batalyon TKR, dan beberapa batalyon badan-badan perjuangan yang bertempur secara bergantian.

Pada 26 November, pimpinan pasukan yang berasal dari Purwokerto, Kolonel Isdiman gugur.

Sejak gugurnya kolonel Isdiman, kolonel Soedirman, panglima divisi pasukan di Purwokerto, mengambil alih posisi pimpinan pasukan.

Pada perkembangannya, situasi pertempuran berubah menjadi semakin menguntungkan bagi pasukan Indonesia.

Tanggal 5 Desember 1945, pasukan kolonel Soedirman berhasil memukul mundur pasukan Sekutu dari Banyubiru, yang merupakan garis terdepan pertahanan mereka.

Setelah mempelajari situasi di medan pertempuran, kolonel Soedirman memutuskan mengumpulkan para komandan sektor pada 11 Desember 1945.

Mereka melaporkan kondisi dan situasi masing-masing sektor.

Laporan-laporan tersebut membawa kolonel Soedirman ke dalam suatu kesimpulan, bahwasanya pasukan Sekutu telah terdesak, dan perlu segera dilaksanakan serangan akhir.

Adapun rencana akhir yang disusun di antaranya serangan mendadak dan serentak dari semua sektor, masing-masing komandan sektor memimpin pelaksanaan serangan, pasukan badan-badan perjuangan (laskar) menjadi pasukan cadangan, serta ditentukan hari serangan yakni pada 12 Desember pukul 04.30 pagi.

Memasuki tanggal 12 Desember 1945, pasukan TKR bergerak menuju sasaran masing-masing.

Dalam waktu setengah jam, pasukan TKR mengepung kedudukan musuh di dalam kota.

Diperkirakan pertahanan musuh yang terkuat ada di benteng Willem, yang terletak di tengah Kota Ambarawa.

Ketika penyerangan itu dilakukan, Kota Ambarawa dikepung oleh pasukan TKR selama empat harmal.

Sekutu yang merasa kedudukannya terdesak, berusaha keras untuk menyerang balik.

Mereka menggunakan artileri berat angkatan darat, serangan udara dengan skuadron Thunderbolt, bahkan menggunakan tembakan meriam dari kapal penjelajah H. M. S Sussex.

Ternyata gempuran yang dilakukan sekutu tidak mampu mematahkan perlawanan rakyat Indonesia.

Tanggal 15 Desember, Sekutu berhasil mengevakuasi rombongan interniran terakhir ke Semarang, Brigadir Bathell juga memutuskan untuk menarik seluruh pasukannya dari Ambarawa dan daerah pegunungan untuk memperkuat pertahanan mereka di kota Semarang.

Dengan demikian, selain Kota Semarang dikatakan wewenang pemerintahan di seluruh Jawa Tengah berada di tangan rakyat Indonesia.

Kemenangan rakyat Indonesia di Pertempuran Ambarawa memiliki arti penting, karena letak kota tersebut yang strategis.

Apabila musuh berhasil menguasai Ambarawa maka akan mencancam tiga kota utama Jawa Tengah yaitu Surakarta, Magelang, dan terutama Yogyakarta sebagai tempat kedudukan Markas Tertinggi TKR.

Namun kemenangan tersebut harus dibayar mahal oleh pihak Indonesia.

Sebab Indonesia kehilangan sekitar 2.000 orang pasukannya baik dari laskar maupun TKR.

Sedangkan di pihak Inggris hanya kehilangan 100 orang prajurit.

Selain itu, meski berhasil mengusir Sekutu dari Ambarawa, Indonesia juga kehilangan seorang perwira terbaiknya yaitu Letkol Isdiman, Komandan Divisi V Banyumas.

(TribunnewsWIKI/Widi Hermawan)

Artikel ini telah tayang di Tribunnewswiki.com dengan judul: Palagan Ambarawa (20 Oktober – 15 Desember 1945)

ARTIKEL POPULER:

Baca: Perang Puputan Margarana, Perang Kemerdekaan yang Meletus pada 20 November 1946 di Margarana, Utara

Baca: Perang Menyakitkan Tapi Tak Dirasakan di Perang Dunia I - Perang Somme 1961

Baca: Tugu Muda, Monumen untuk Memperingati Peristiwa Pertempuran Lima Hari di Semarang

TONTON JUGA:

<iframe src="//www.youtube.com/embed/s09e5Z8RElU" width="520" height="292" scrolling="no" frameborder="0"></iframe>

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA