PPN (Pajak pertambahan Nilai tidak dikenakan apabila)

Jakarta - Kini, informasi seputar barang dan jasa tidak kena PPN dan transaksi yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mulai menarik perhatian pembaca. Hal ini dapat disebabkan, karena naiknya pembicaraan persoalan tarif PPN yang akan naik menjadi 11% mulai 1 April 2022, sebagaimana mandat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Pembicaraan mengenai PPN menarik untuk disimak, karena sistem perpajakan di Indonesia yang menganut sistem self-asessment bagi wajib pajak. Dimana wajib pajak perlu melakukan kewajiban perpajakannya secara mandiri. Kebenaran pemberitaan mengenai PPN penting untuk diikuti agar menghindari kekeliruan dan menertibkan wajib pajak. 

Peraturan tersebut tentu dapat berpengaruh pada pengeluaran masyarakat, khususnya pengeluaran untuk bahan pokok. Perlu dipertanyakan, apakah seluruh barang wajib untuk dikenakan PPN? Terkait hal tersebut, semua barang dan jasa akan terdampak atas kenaikan tarif PPN tersebut, kecuali untuk jasa dan barang yang tidak dikenakan PPN.

Definisi Barang Tidak Kena PPN

Barang tidak kena PPN adalah istilah untuk barang-barang tertentu yang dalam penyerahannya tidak terkena Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Barang tidak kena PPN biasanya mengacu pada barang-barang yang penggunaannya menyangkut hajat hidup orang banyak.

Pada dasarnya, seluruh barang yang beredar di masyarakat merupakan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP), sehingga pasti akan dikenakan PPN. Namun, memang terdapat beberapa barang yang penggunaannya termasuk dalam barang-barang yang sangat vital dan diperlukan oleh khalayak umum, sehingga tidak dikenakan PPN.

Dasar Hukum

Barang tidak kena PPN, memiliki landasan hukum berupa Undang-Undang No 42 Tahun 2009 tentang PPN dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM). UU No.42/2009 secara rinci menjelaskan beberapa barang tidak terkena PPN. Salah satu klasifikasi barang tidak kena PPN ialah barang kebutuhan pokok.

Barang kebutuhan pokok masuk sebagai barang tidak kena PPN tertuang dalam pasal 4A ayat 2 UU No.42/2009. Ayat tersebut secara jelas menyebutkan, salah satu jenis barang yang tidak terkena PPN ialah barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh orang banyak.

Barang kebutuhan pokok ini sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak dan barang yang menyangkut hajat hidup orang banyak dengan skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi dan menjadi faktor pendukung kesejahteraan masyarakat.

Kenaikan Tarif PPN 2022

Dalam UU HPP, tepatnya Pasal 7 ayat 1 disebutkan tarif PPN sebagai berikut:

  • Tarif PPN 11%, dimulai pada tanggal 1 April 2022
  • Tarif PPN 12%, berlaku paling lambat 1 Januari 2025.

Tarif PPN seperti yang ditentukan di atas dapat berubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15%.

Adapun, perubahan tarif PPN diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah disampaikan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membahas dan menyepakati dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Sementara itu, ada ketentuan PPN yang tidak dikenakan apabila berlaku penerapan PPN sebesar 0% yang dikenakan atas:

  • Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
  • Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud
  • Ekspor Jasa Kena Pajak

Dengan demikian, ekspor barang dan jasa sesuai ketentuan di atas termasuk dalam transaksi yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.

Daftar Barang dan Jasa Tak Kena PPN

UU No.42/2009, tidak menyebutkan secara jelas barang kebutuhan pokok yang masuk sebagai klasifikasi barang tidak kena PPN. Maka, untuk memperjelas barang pokok yang masuk ke dalam klasifikasi barang tidak kena pajak, dikeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 116/PMK.010/2017.

Dalam PMK No.116/PMK.010/2017 rincian barang kebutuhan pokok yang masuk dalam barang tidak kena PPN ialah:

  1. Beras dan Gabah. Kategori yang masuk ialah yang berkulit, dikuliti, disosoh atau dikilapkan maupun tidak, setengah giling atau digiling seluruhnya, pecah, menir, salin yang cocok untuk disemai.
  2. Kategori yang masuk ialah yang telah dikupas ataupun belum, termasuk pecah, menir, pipilan, tidak termasuk bibit.
  3. Kategori sagu tidak kena PPN ialah empulur sagu (sari sagu), tepung, tepung bubuk dan tepung kasar.
  4. Kriteria kedelai yang utuh dan pecah, selain benih serta berkulit.
  5. Garam konsumsi. Dengan kriteria garam beryodium ataupun tidak, termasuk juga garam meja dan garam didenaturasi untuk konsumsi/kebutuhan pokok.
  6. Dapat berupa daging segar dari hewan ternak dengan atau tanpa tulang yang tanpa diolah, dibekukan, dikapur, didinginkan, digarami, diasamkan, atau diawetkan dengan cara lain.
  7. Dengan kategori telur tidak diolah, telur diasinkan, dibersihkan, atau diawetkan, tidak termasuk bibit.
  8. Kriteria susu sebagai barang tidak kena PPN ialah susu perah yang telah melalui proses dipanaskan atau didinginkan serta tidak mengandung tambahan gula atau bahan lainnya.
  9. Buah-buahan. Buah-buahan segar yang dipetik dan melalui proses dicuci, dikupas, disortasi, dipotong, diiris, degrading, selain dikeringkan.
  10. Sayur-sayuran. Kategori ini adalah sayuran segar yang dipetik, dicuci, ditiriskan, dibekukan, atau dicacah.
  11. Ubi-ubian. Kategori ubi segar, baik melalui proses dicuci, dikupas, disortasi, diiris, dipotong, ataupun degrading.
  12. Bumbu-bumbuan. Kategori bumbu-bumbuan segar, dikeringkan dan tidak dihancurkan atau ditumbuk.
  13. Gula konsumsi. Tidak dikenakan PPN dengan kriteria gula kristal putih asal tebu untuk konsumsi tanpa tambahan bahan pewarna atau perasa.

Lebih lanjut, mengenai barang dan jasa yang tidak terkena PPN disebutkan dalam Pasal 4A dan 16B UU HPP, yakni barang tertentu dengan kelompok barang sebagai berikut:

  1. Makanan dan minuman yang tersaji di restoran, hotel, warung, rumah makan, dan sejenisnya, termasuk makanan dan minuman yang dikonsumsi di tempat atau tidak, makanan dan minuman yang diserahkan pada usaha catering atau jasa boga, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai peraturan perundang-undangan di bidang pajak dan retribusi daerah.
  2. Uang, emas Batangan yang digunakan untuk kepentingan cadangan devisa negara dan surat berharga.

Adapun dalam Pasal 4A ayat 3, dijelaskan jenis jasa yang tak terkena Pajak Pertambahan Nilai. Kelompok jasa tersebut ialah sebagai berikut:

  1. Jasa keagamaan
  2. Jasa perhotelan, yaitu jasa penyewaan kamar atau jasa penyewaan ruangan di hotel yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai peraturan perundang-undangan di bidang pajak dan retribusi daerah.
  3. Jasa kesenian dan hiburan, meliputi jenis jasa yang dilakukan pekerja seni dan hiburan yang sesuai peraturan perundang-undangan di bidang pajak dan retribusi daerah.
  4. Jasa penyediaan tempat parkir, yaitu jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir yang dilakukan pemilik tempat parkir atau pengusaha pengelola tempat parkir kepada pengguna tempat parkir yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai peraturan perundang-undangan di bidang pajak dan retribusi daerah.
  5. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, meliputi jenis jasa sehubungan dengan kegiatan pelayanan yang hanya dapat dilakukan oleh pemerintah dengan kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
  6. Jasa boga atau katering, yaitu semua kegiatan pelayanan penyediaan makanan dan minuman yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai peraturan perundang-undangan di bidang pajak dan retribusi daerah.

Barang Bebas PPN Terbatas Sebagian atau Seluruhnya

Selanjutnya, ketentuan terkait transaksi yang tidak terkena PPN tercantum pada Pasal 16B UU HPP. Disebutkan pula pajak terutang tidak dilakukan pungutan secara seluruhnya atau sebagian dan dibebaskan dari pengenaan pajak, hal ini dilakukan dengan kurun sementara waktu atau dapat selamanya.

Ketentuan tersebut berlaku untuk Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu atau Penyerahan Barang Kena Pajak tertentu; Impor Barang Kena Pajak tertentu; Kegiatan di kawasan tertentu dalam Daerah Pabean; Pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar dan dalam Daerah Pabean.

Ketentuan di atas diberikan terbatas dengan tujuan:

  • Mendorong ekspor dan hilirisasi industri sebagai prioritas nasional
  • Menampung kemungkinan perjanjian negara lain dalam bidang perdagangan dan investasi, kelaziman internasional, serta konvensi internasional yang diratifikasi
  • Mendorong peningkatan kesehatan masyarakat melalui pengadaan vaksinasi nasional
  • Meningkatkan kecerdasan bangsa dan pendidikan
  • Mendorong pembangunan tempat ibadah
  • Menjamin terlaksananya proyek pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman luar negeri
  • Mengakomodasi kelaziman internasional importasi Barang Kena Pajak tertentu yang bebas dari pungutan Bea Masuk
  • Membantu tersedianya Jasa Kena Pajak atau Barang Kena Pajak yang diperlukan dalam penanganan bencana alam/ non-alam.
  • Menjamin tersedianya angkutan umum di udara
  • Mendukung tersedianya barang dan jasa tertentu yang bersifat strategis dalam rangka pembangunan nasional.

Ilustrasi PPn/Fuji Sun

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Value Added Tax (VAT) adalah pajak yang dikenakan kepada konsumen atas setiap pertambahan nilai dari suatu barang dan/atau jasa di dalam daerah pabean Republik Indonesia.

Pada dasarnya semua barang dan jasa merupakan barang kena pajak dan jasa kena pajak sehingga dikenakan PPN, kecuali jenis barang dan jasa yang ditetapkan dalam undang-undang. Barang yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang disebut Barang Kena Pajak (BKP) dan jasa yang dikenakan pajak berdasarkan undang-undang disebut Jasa Kena Pajak (JKP).

Ketentuan lebih lanjut mengenai BKP dan JKP telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 yang mengalami perubahan, yaitu UU Nomor 11 Tahun 1994, UU Nomor 18 Tahun 2000, UU Nomor 42 Tahun 2009, dan yang terbaru ialah UU HPP.

Dalam UU HPP yang telah diresmikan Presiden Republik Indonesia pada tanggal 29 Oktober 2021 terdapat peraturan baru mengenai PPN. Peraturan baru tersebut di antaranya adalah mengenai tarif PPN yang tercantum pada Pasal 7 UU HPP. Tarif PPN, yaitu sebesar 11% yang sudah berlaku sejak 1 April 2022. Sementara itu, tarif PPN sebesar 0% dikenakan atas ekspor BKP Berwujud, ekspor BKP Tidak Berwujud, dan ekspor JKP.

Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen.

Baca juga Kenaikan PPN Pasca Pandemi Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Nasional

Dasar aturan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) tertuang dalam Undang-undang (UU) tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah

Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:

1.   penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;

2.   impor Barang Kena Pajak;

3.   penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;

4.   pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

5.   pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;

6.   ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;

7.   ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan

8.   ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

Penyerahan Barang Kena Pajak

Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:

1.   penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;

2.   pengalihan Barang Kena Pajak oleh karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing);

3.   penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;

4.   pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;

5.   Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;

6.   penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang;

7.   penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi; dan

8.   penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.

 Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:

1.   penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang;

2.   penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;

3.   Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak terutang;

4.   pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak; dan

5.   Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.”

Baca juga Penerimaan PPN dan PPnBM Turun, Waspada Komoditas Melemah

Lalu, apa saja barang dan jasa yang menjadi objek pajak dalam PPn? Berikut ini daftarnya.

Barang Kena Pajak

Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenakan PPN berdasarkan UU PPN yang direvisi dalam UU HPP. Barang Kena Pajak meliputi seluruh barang selain yang dimaksud pada Pasal 4A ayat (2) dan pasal 16 UU No. 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:

1.   barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;

2.   makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan

3.   uang, emas batangan, dan surat berharga.

Jasa Kena Pajak

Jasa Kena Pajak adalah jasa yang dikenakan PPN berdasarkan UU PPN yang direvisi dalam UU HPP. Jasa Kena Pajak meliputi seluruh jasa selain yang dimaksud pada Pasal 4A ayat (3) dan pasal 16 UU HPP. Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:

1.   jasa pelayanan kesehatan medik;

2.   jasa pelayanan sosial;

3.   jasa keuangan;

4.   jasa asuransi, kecuali jasa penunjang asuransi termasuk agen asuransi, penilai kerugian asuransi, dan konsultan asuransi. (diatur dalam passl 16);

5.   jasa keagamaan;

6.   jasa pendidikan;

7.   jasa kesenian dan hiburan;

8. jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri;

9. jasa tenaga kerja;

10. jasa perhotelan;

11. jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum;

12. Jasa penyediaan tempat parkir;

13. Jasa boga atau catering.

Baca juga Peraturan Baru PPN, Input Faktur Sesuai Alamat Cabang

Pengolahan pajak pertambahan nilai sangat berkaitan dengan faktur, baik itu faktur keluaran ataupun faktur masukan. Dengan lahirnya teknologi e-Faktur pengolahan faktur menjadi lebih mudah dan efisien.

E-Faktur sangat memudahkan pengadministrasian pajak. Apalagi bila faktur dikelola dengan teknologi tarra e-faktur pajakku, yang memungkinkan pengolahan puluhan ribu faktur secara sekaligus.

Segera efisienkan waktu Anda dengan bergabung bersama ribuan perusahaan pengguna Pajakku.

Serahkan pengelolaan pajak Anda kepada Pajakku sebagai mitra strategis Direktorat Jenderal Pajak sejak tahun 2005. Platform digital Pajakku mampu menjalankan urusan kewajiban perpajakan secara end to end. Dari mulai proses hitung, setor, dan lapor dengan lisensi resmi Ditjen Pajak.