Rizal memilih celana dalam dari bahan katun tujuan rizal mengenakan celana tersebut agar

JAKARTA – Para pencinta film fantasi bertema superhero di Tanah Air akhirnya bisa menikmati sekuel pemungkas “Avengers: Endgame”, sejak 24 April 2019 lalu. Lantaran menjadi salah satu film yang paling ditunggu tahun ini, film yang mengisahkan pembalasan para superhero Avengers kepada Thanos ini sukses secara komersial.

“Avengers: Endgame” menjelma jadi film terlaris kedua sepanjang masa. Tak hanya itu, tokoh-tokoh superhero dalam film besutan Marvel Cinematic Universe ini pun akhirnya menginspirasi pelbagai industri kreatif. Seperti halnya toko bernama Atlantis Store yang memanfaatkan momen bulan puasa sekaligus kemunculan film tersebut untuk menawarkan baju muslim ala karakter Avengers lewat aplikasi belanja online.

Uniknya, toko ini menawarkan desain baju koko yang justru menyerupai kostum musuh utama Avengers, Thanos. Warna biru bermotif mendominasi bagian dada dengan dua sisi bagian lengan yang panjang diberi warna ungu. Bagian pundaknya juga diberi corak emas, bak pelindung pundak milik Thanos. Baju koko ini dibanderol dengan harga Rp230 ribu dan cukup booming di masyarakat.

Baju koko Thanos ini hanyalah satu contoh dari sekian banyak bentuk kreativitas atau modifikasi motif serta warna baju koko dewasa ini. Sebelumnya juga pernah muncul baju koko ala Black Panther yang memanfaatkan ketenaran filmnya. Jadi, tak perlu heran bila mendapati ada desain baju koko yang kaya akan motif dan warna, atau bahkan sampai menggunakan kain batik atau kain poliester yang lazim digunakan di kaus olahraga.

Tren baju koko saat ini memang telah jauh berbeda dibanding kemunculan awalnya. Dulu, baju koko hanya dikenal satu warna, yakni putih. Tapi seiring perkembangan zaman, baju koko makin terbuka pada perubahan, terutama pada warna dan desainnya.

Berdasarkan cerita sejarawan JJ Rizal kepada Validnews, Selasa (14/5), baju koko bukanlah baju asli Indonesia. Baju koko merupakan hasil akulturasi antara budaya Islam, Tionghoa, dan Betawi. Pada awalnya, pakaian ini bernama tui-khim dan biasanya digunakan oleh orang Tionghoa di Batavia.

Baju ini kemudian diadaptasi oleh orang Betawi sebagai pakaian resmi. Sampai akhirnya, lelaki Muslim Betawi mulai mempopulerkan pakaian tersebut menjadi pakaian untuk beribadah. Menurut Rizal, penamaan baju koko muncul karena baju ini mulanya digunakan orang-orang Tionghoa. Karena mereka biasa disebut engkoh, penduduk asli lantas menyebutnya sebagai “baju engkoh-engkoh”. Alhasil, seiring berjalannya waktu, penamaannya disederhanakan dengan sebutan baju koko.

Baju koko, kata Rizal, dulu identik dengan warna putih dan biasanya digunakan kaum pria untuk beribadah di masjid atau pada perayaan hari raya umat Islam, seperti Lebaran. Pada awalnya, berpuluh tahun lamanya, baju muslim pria itu tak mengalami perubahan yang signifikan layaknya baju muslim perempuan.

“Tui-khim itu punya lima kancing dan biasa dipadu padankan dengan celana longgar atau sekarang celana pangsi,” katanya.

Rizal memilih celana dalam dari bahan katun tujuan rizal mengenakan celana tersebut agar

Pada awal abad ke-20, penduduk China sebenarnya masih menggunakan baju tersebut. Namun, pada 1911, gaya ini mulai ditinggalkan setelah berdirinya Tiong Hoa Hwe Koan atau Perhimpunan Tionghoa dan runtuhnya Dinasti Cheng (Mancu). Para pria China mulai mengganti pakaian tui-khim dengan pakaian ala Belanda yang dipandang lebih modern.

Sebaliknya, saat  mulai ditinggalkan oleh penduduk China, baju ini malah mulai banyak dipakai  masyarakat Nusantara untuk baju sehari-hari. Bahkan, baju ini mulai tenar di Pulau Jawa. Penduduk Jawa pada masa itu menyebut baju koko sebagai Surjan.

Surjan berasal dari kata su dan ja, yaitu nglungsur wontern jaja (‘meluncur melalui dada’) sehingga bentuk depan dan belakang memiliki panjang yang sama. Baju koko memiliki ciri khas yaitu berkerah tegak dengan lengan panjang mirip jas Jawa.

Konon, baju ini hasil kreasi Sunan Kalijaga. Model Surjan Jawa awalnya berlengan pendek. Tapi kemudian Sunan Kalijaga memodifikasinya menjadi “baju takwa” yang berlengan panjang.

“Surjan juga dipercaya menjadi cikal-bakal baju koko di Indonesia,” tambahnya.

Memadukan Batik
Saat ini, busana muslim banyak menawarkan gaya berbusana banyak profesi, mulai dari gaya busana syari hingga gaya yang cukup trendi, terutama setelah baju koko mengalami modifikasi, misalnya di bagian kerah atau lengan. Munculnya ragam gaya baju koko yang trendi juga tak lepas dari kemunculan para desainer yang tertarik untuk mendesain busana muslim.

Salah satu desainer baju muslim pria di Indonesia, Fahmi Hendrawan, mengatakan bahwa pada akhir tahun 90-an busana muslim mulai mengalami inovasi serta bentuk model yang lebih fashionable. Dengan tujuan menarik pelanggan, para produsen mulai memadukan busana muslim dengan fashion pada umumnya. Dari situ, maka terciptalah model-model yang berbeda dari masing-masing pembuat busana muslim.

Berdasarkan survei internal yang dilakukannya, saat ini kaum adam lebih suka menggunakan pakaian muslim yang berwarna softseperti navy dan biru. Di luar itu, pria biasanya juga menyukai warna hijau lumut maupun toska.

“Ini sesuai dengan kesukaan Nabi Muhammad menyukai warna hijau dan rata-rata pria suka dengan ukuran slim fit,” katanya kepada Validnews, Selasa (14/5).

Dalam pengamatannya, saat ini juga telah banyak bermunculan merek busana muslim pria yang mengusung desain dan tampilan yang semakin modern. Meski begitu, konsep baju muslim pria tetaplah berbeda dengan baju muslim perempuan. Busana muslim perempuan setiap tahunnya selalu berubah model, sedangkan untuk busana muslim pria, perubahan yang paling mencolok adalah penggunaan warna lain selain putih.

Fahmi sendiri sejak 2015 mulai mendesain baju muslim yang tidak terlihat kaku, salah satunya dengan memadukan batik garut dengan busana muslim.

Penggunaan batik bukan tanpa alasan. Indonesia sudah diakui dunia batiknya dan dia melihat pada waktu itu belum ada yang berani mengkreasikannya menjadi baju muslim. Fahmi memilih batik garutan lantaran merasa batik asal daerahnya itu belum begitu dikenal.

Ciri khas baju buatannya terletak pada perpaduan bahan berwarna polos dengan kombinasi batik garutan. Potongan baju koko ini juga selalu dikombinasikan dengan batik yang diletakkan secara tidak monoton. Motif batik terkadang ditaruh di samping, di bagian dada, dan bagian bawah. Hasilnya, baju koko yang dulunya hanya polos putih kini lebih variatif.

Menurutnya, baju koko modern tak semuanya menggunakan saku. Baju koko tersedia dua model, ada yang berlengan pendek dan berlengan panjang. Model baju koko lengan panjang lebih cocok digunakan untuk acara formal dan biasanya dipadukan dengan celana bahan katun. Sedangkan untuk aktivitas sehari-hari atau saat acara santai, bisa menggunakan baju koko lengan pendek yang dipadukan dengan celana bahan katun atau jin.

Dari sisi pemakai, baju koko mulai merambah semua lini, mulai dari anak-anak hingga orang tua. Bahkan menurutnya, baju koko bisa digunakan dalam acara-acara formal. Kemudian, kalau sebelumnya baju koko dengan bordir pada bagian leher dan pergelangan tangan yang selalu menjadi buruan, sekarang ini baju koko yang banyak dipilih oleh pria pada saat Lebaran adalah baju koko yang lebih multifungsi.

“Alasan itulah yang membuat saya mendesain baju koko dengan mencampurkan unsur batik bermotif modern dan pop,” kata Fahmi

Selain itu, agar terlihat lebih berani dirinya juga berkreasi pada cutting-nya. Lewat cara ini, dia yakin baju koko karyanya dapat dikenakan tidak hanya untuk kegiatan keagamaan tetapi juga dalam keseharian saat bersilaturahmi.

Ia mengaku, rancangan baju koko buatannya terinspirasi dari perilaku pria sekarang yang mulai berani bergaya yang menggabungkan unsur Islam dengan modern. Misalnya, pakaian atasan menggunakan baju koko dan bawahnya dapat mengenakan celana jin atau joger. Lalu, dapat pula dikombinasikan dengan sneakers agar terlihat sporty dan milenial.

Meskipun mengalami kemajuan yang signifikan, industri pakaian muslim Indonesia dirasakannya masih menghadapi sejumlah tantangan. Daya saing produknya masih rendah karena efisiensi yang buruk dan skala yang rendah. Untuk itu, agar tetap eksis, ia selalu mengikuti ajang pameran yang digelar baik di dalam negeri ataupun luar negeri.

Tantangan lainnya terkait masih lemahnya bantuan pemerintah untuk para pelaku industri busana muslim, preferensi budaya, dan tuntutan kreativitas yang bisa menjaga keseimbangan antara prinsip-prinsip Islam dan tren mode global terbaru. 

Kelatahan Warna
Menurut desainer Sonny Muchlison, perubahan model lengan pada baju koko mulai gencar sekitar tahun 2000-an. Perubahan itu, dalam pandangan Sonny dipicu oleh tokoh-tokoh yang membawa pembaruan dalam Islam.

“Sesudah tahun 2000, banyak sekali aliran-aliran yang mengatasnamakan pembaruan Islam. Itulah yang di antaranya mencontohkan dengan menggunakan lengan panjang (baju koko),” kata Sonny kepada Validnews, Rabu (15/5).

Sonny menambahkan, pengaruh tokoh itu mampu membentuk pandangan masyarakat karena penggunaan baju koko lengan panjang dirasa lebih santun untuk beribadah. Sebelumnya, masyarakat lebih berfokus pada sisi praktis dari penggunaan baju koko berlengan pendek.

“Kalau baju lengan pendek itu kalau mau ambil wudu dan segala macam, kan, lebih gampang, enggak perlu lipat-lipat lengannya. Sebetulnya masyarakat kita lebih kepada praktis, sih. Cara menggunakan pakaian dengan lebih ringkas,” terang kritikus mode itu.

Dalam pandangan Sonny, efek dari faktor sosial politik itu juga berdampak pada penggunaan aksesoris muslim lainnya, seperti peci putih misalnya.

“Itu kan sebenarnya cuma sebagai tanda kalau seseorang sudah pergi haji baru dia boleh pakai peci putih. Sekarang anak kecil pun baru lahir sudah boleh pakai peci putih. Ada unsur sosial politik dari masyarakat di Indonesia,” lanjutnya.

Begitu pula dengan perubahan warna yang ada di baju koko. Menurut Sonny, perkembangan dari sisi warna itu hanyalah kelatahan semata-mata karena masyarakat menginginkan variasi lain.

“Bukan ngomongin soal tren, loh. Baju muslim itu tidak ada tren, itu hanya kelatahan semata,” pungkasnya. (Fuad Rizky, Shanies Tri Pinasthi)