Roh kudus menggelisahkan orang berdosa agar menanggalkan manusia lama. tujuannya adalah

Holy Trinity – Love Triangle, Source of Life

A love triangle normally has a fatal ending. However, it does not happen to God’s love. The love triangle between the Father, Son, and Holy Spirit has a vital impact: they give themselves to each other, as well as give life to humans and to the universe. Solemnity of the Holy Spirit is like Valentine’s Day to the believers: the moment for celebrating and giving thanks to God’s love, the source, and the power of our life! Without God’s love, we simply do not exist: our being will be only pseudo and imitation. Our life will not be meaningful as it has no foundation and direction. Unfortunately, the Trinity is often argued because we just see it from our logic and perspective. While this mystery speaks of divine love that is manifestly experienced in our life history as believers. The Trinity is practical teaching, not a theoretical one, as it speaks of God’s relationship and love in history.The history of our life is the history of God’s love which came from the loving Father. The Father’s love is obviously experienced through His creation, choice, blessing, salvation, and protection. The Father’s gift of the most perfect love happened in Jesus Christ, His Son. In “Jesus’ event”, from His words and deeds to His death and resurrection, Father’s love is really experienced by humans and the universe. As Paul said: through Jesus Christ, we have peace life with God, the source of love (Rom. 5:1, first reading). The Father’s love through Jesus continues and is experienced by humans through the Holy Spirit who comes from the Father and the Son. She is the Spirit of Truth, as She helps us to explore more the mystery of Jesus as Father’s revelation in the context and situation of this diverse and changing life (John 16:13-14). That’s the reason why Paul said that through the Holy Spirit, the Father continues to renew us and strengthen our hope, as She continues to fill and empower us with His love (Rom. 5:5).This is the love that we are celebrating today. This love is not only proven in history but it had happened before history: in the eternal relation of the Father, the Son, and the Holy Spirit. The essence of the Holy Trinity is love. It is about giving and receiving love. The Father gives love, the Son receives and gives Father’s love to humans, and the Holy Spirit receives the Father’s love through the Son in the believers so that we can keep on recognizing and experiencing Father’s love through Jesus Christ in the history and the changing world. This is the way that the one and same love animates the relationship of the Father, the Son, and the Holy Spirit. That is the essential love triangle that gives life and becomes the core of all and renews all. We believe in the Holy Trinity, not as a dogma or doctrine but as God who has and will always love and reveal Himself to us through His Son and the Holy Spirit.(Hortensius Mandaru – Indonesia Bible Society)

Read More

Asal-Usul Doa Salam Maria

PengantarDoa Salam Maria merupakan salah satu doa yang sangat dikenal di kalangan umat Katolik bahkan doa tersebut menjadi doa andalan bagi orang Katolik dalam menghadapi situasi apa pun dalam hidupnya terutama situasi-situasi yang sulit. Doa tersebut diyakini sebagai doa yang ampuh mengabulkan permohonan doa umat beriman. Pengenalan umat Katolik akan doa Salam Maria ini sebenarnya sudah lama bahkan berabad-abad tahun yang lalu. Warisan doa Salam Maria adalah warisan rohani yang berharga bagi umat Katolik yang senantiasa diteruskan dari generasi ke generasi berikutnya. Doa Salam Maria diyakini sebagai tanda kesatuan dan penyertaan Bunda Maria akan Kristus dan Gereja-Nya. Lalu, pertanyaan yang kerap kali atau sering terjadi pada umat jaman sekarang, bagaimana sejarah doa Salam Maria dalam Gereja? Berikut ini adalah sekilas asal usul doa Salam Maria, yang mengambil sumber utama dari link ini, silakan klik:PembahasanUmumnya doa Salam Maria dijabarkan sebagai doa yang terdiri dari tiga bagian:1) “Salam Maria, penuh rahmat, Tuhan sertamu…..” merupakan kutipan perkataan Malaikat Gabriel ketika mengunjungi Perawan Maria (lih. Luk 1:28).2) “Terpujilah Engkau di antara wanita dan terpujilah buah tubuhmu (Yesus)”, diambil dari salam Elisabet kepada Perawan Maria ketika Maria datang mengunjunginya (lih. Luk 1:42)3) “Santa Maria, Bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini, sekarang dan waktu kami mati. Amin”, dinyatakan oleh Katekismus Konsili Trente, sebagai doa yang disusun oleh Gereja. Katekismus tersebut menyatakan, “Adalah sangat tepat, bahwa Gereja Tuhan yang kudus menambahkan kepada ucapan syukur ini, permohonan kepada Bunda Allah yang kudus untuk mendoakan kita, dan dengan demikian supaya kita memohon bantuan kepadanya agar oleh doa-doa syafaatnya, ia mengusahakan persahabatan antara Allah dan kita manusia, dan memperoleh bagi kita, berkat yang kita butuhkan untuk hidup sekarang ini dan untuk hidup yang tidak berkesudahan.”Namun walaupun bagian ketiga ini dikatakan sebagai ‘doa Gereja’ oleh Katekismus Konsili Trente di abad ke-16, permohonan Gereja terhadap bantuan/ perlindungan Bunda Maria, itu bukan baru muncul di abad ke-16. Doa Gereja di abad awal, yang dikenal dengan doa Sub Tuum Praesidium, berbunyi, “Di bawah belas kasihanmu kami berlindung, O Bunda Tuhan. Jangan menolak permohonan kami dalam kesesakan, tetapi bebaskanlah kami dari mara bahaya, [o engkau] yang suci dan terberkati.” (Sub Tuum Praesidium, dari Rylands Papyrus, Mesir, abad ke- 2 atau 3).Memang, penyusunan doa Salam Maria ini memiliki kisahnya tersendiri. Kata, “Salam Maria, penuh rahmat” (Ave Maria, gratia plena) itu mengacu kepada Kitab Suci terjemahan Vulgata, yang menerjemahkan secara literal, kata Yunani, chaire kecharitomene, yang sekilas sudah pernah dibahas di sini, silakan klik. Kata, “Salam Maria, penuh rahmat” ini telah dipergunakan oleh para Bapa Gereja sebagai ungkapan penghormatan kepada Bunda Maria. Di abad ke-7, St. Gregorius telah memasukkan ungkapan doa “Salam Maria” ini dalam Liber Antiphonarious, sebagai frasa dalam doa persembahan, dalam teks Misa Minggu keempat Masa Adven.  Seabad kemudian, frasa “Salam Maria” ini tercatat sebagai bagian dalam tulisan pengajaran St. Andreas dari Kreta dan St. Yohanes Damaskinus (abad ke 8).Namun demikian, “Salam Maria” sebagai rumusan doa devosi belum jelas ditemukan sebelum tahun 1050. Dua buah manuskrip tua Anglo-Saxon di British Museum, yang salah satunya berasal dari tahun 1030, menunjukkan bahwa kata, “Salam Maria…. terpujilah engkau di antara wanita dan terpujilah buah tubuhmu” itu tertulis berulang-ulang dalam sebuah doa penghormatan kepada Bunda Maria.Tahun 1184, Uskup Agung Canterbury, Abbot Baldwin, menulis:“Terhadap salam dari Malaikat ini, yang dengannya kita setiap hari menyapa Sang Perawan yang Terberkati dengan devosi sedemikian, kita biasa menambahkan, “dan terpujilah buah tubuhmu,” yang dikatakan oleh Elisabet kemudian, setelah mendengar salam dari Maria, seolah melengkapi perkataan dari malaikat itu, dengan berkata: “Terpujilah engkau di antara wanita dan terpujilah buah tubuhmu.”Tahun 1196, dekrit sinoda dari Eudes de Sully, Uskup Paris, mengajarkan kepada para klerus, “Salam kepada Perawan Maria” ini sebagai rumusan doa yang telah dikenal di keuskupannya, sebagaimana doa resmi lainnya, seperti doa Bapa Kami dan Aku Percaya. Sejak saat itu, doa Salam Maria ini diperkenalkan dan dianjurkan kepada umat beriman, dimulai dari Sinoda di Durham di Inggris, tahun 1217.Doa Salam Maria ini kemudian dikenal sebagai doa-doa yang umum didoakan oleh para orang kudus (Santo dan Santa), seperti St. Aybert, St. Louis dari Perancis, St. Margaret, St. Dominic dan doa di biara-biara, sebagai doa ungkapan pertobatan. Doa ini umum diulangi, sampai puluhan kali, 50 atau bahkan 150 kali, mengikuti pola pengulangan doa “Kudus, kudus, kudus” yang terus diulangi tanpa putusnya di hadapan tahta Allah yang Maha Tinggi.Di zaman St. Louis, doa “Salam Maria” berakhir dengan “… terpujilah buah tubuhmu”. Penambahan “Yesus” sesudah frasa itu umumnya dikenal dari abad 15, menurut anjuran Paus Urban IV (1261) dan Paus Yohanes XXII (1316-1344). Teks doa Salam Maria seperti yang kita ketahui sekarang, tercatat sebagai bagian depan salah satu karya Girolamo Savonarola, di tahun 1495. Savonarola adalah seorang biarawan, yang dikenal sebagai reformer ordo Dominikan. Dua tahun sebelumnya, frasa “Santa Maria, Bunda Allah, doakanlah kami yang berdosa ini. Amin,” tercatat dalam Calendar of Shepherds, edisi bahasa Perancis. Namun penerimaan resmi teks doa Salam Maria selengkapnya, meskipun sudah disebutkan dalam Katekismus Konsili Trente, baru akhirnya dinyatakan dalam Roman Breviary tahun 1568.Sumber : https://katolisitas.org/asal-usul-doa-salam-maria

Read More

Memaknai Bunda Maria, Bulan Mei dan Oktober

Sebagai umat Katolik, kita telah memahami bahwa bulan Mei dan Oktober merupakan bulan yang dikhususkan bagi Bunda Maria. Gereja secara resmi menjadikan bulan Mei sebagai Bulan Maria, sedangkan bulan Oktober sebagai Bulan Rosario. Keputusan ini tidak dibuat secara serampangan oleh Gereja, melainkan didasarkan pada tradisi yang diwariskan dan dapat dipertanggung jawabkan secara turun-temurun.Ada beberapa alasan mengapa bulan Mei dipilih sebagai Bulan Maria! Pertama, bulan Mei merupakan bulan dimulainya musim semi di negara empat musim, musim semi sering dikaitkan dan diartikan sebagai "permulaan hidup". Hal ini selaras dengan pandangan Gereja yang menyatakan bahwa Bunda Maria adalah Hawa baru, ibu dari semua yang hidup. Jadi pada bulan ini sungguh dimaknai sebagai lambang Bunda Maria yang mengawali sebuah kehidupan baru. Kedua, dalam catatan sejarah,  ada sebuah kisah menarik yang dialami oleh Paus VII yang hidup di abad ke-13. Konon, Paus ini ditangkap dan ditahan di penjara oleh prajurit kerajaan Napoleon. Di tengah situasi tersebut, sang Paus berdoa dan memohon agar dibebaskan dari penjara kepada Bunda Maria. Dalam doanya, sang Paus berjanji bila ia dibebaskan, ia akan mendedikasikan satu hari khusus sebagai penghormatan kepada Bunda Maria. Beberapa tahun berlalu dan pada tanggal 24 Mei 1814, Paus Pius VII dibebaskan. Setahun setelah pembebasan itu, Paus Pius VII menetapkan Pesta untuk Perayaan Bunda Maria, Penolong Umat Kristiani. Sejak saat itu, devosi kepada Bunda Maria semakin dikenal dan dilakukan.Ketiga, Paus Pius IX pada tahun 1854 mengumumkan dogma: Immaculate Conception (dogma tentang Bunda Maria yang dikandung tak bernoda). Lalu Paus Paulus VI menegaskan bahwa: “Bulan Mei adalah bulan di mana devosi umat beriman didedikasikan pada Bunda Maria yang terberkati, dan bulan Mei merupakan sebuah kesempatan untuk menghormati iman dan kasih yang diberikan Sang Ratu Surga pada umat Katolik di seluruh bagian dunia.”Maka, sepanjang bulan Mei umat Katolik diajak untuk berkumpul bersama baik di dalam keluarga maupun di dalam lingkungan untuk mempersembahkan penghormatan kepada Bunda Maria melalui doa, devosi maupun ibadat Rosario.Selanjutnya, bulan Oktober didedikasikan khusus sebagai bulan Rosario. Hal ini didasarkan pada peristiwa yang terjadi dan dialami oleh Gereja pada tahun 1571, di mana pada tahun itu pertempuran di Lepanto meletus. Beberapa negara Eropa diserang oleh Kerajaan Ottoman, Kerajaan Turki. Jumlah pasukan Ottoman lebih banyak daripada pasukan Kristen dari Spanyol, Genoa dan Venesia. Di tengah situasi ini, Komandan Armada Katolik, Don Juan (John) dari Austria, berdoa Rosario untuk mohon pertolongan Bunda Maria. Tak hanya itu, seluruh umat Katolik di Eropa turut mendaraskan Rosario dengan ujub yang sama.Tanggal 7 Oktober 1571 di Basilika Santa Maria Maggiore, Paus Pius V berdoa Rosario bersama umat. Mereka berdoa tanpa henti dan doa mereka pun terjawab karena pasukan Kristen memenangkan pertempuran. Dalam sebuah Perayaan Ekaristi di Vatikan, Paus Pius V menetapkan 7 Oktober sebagai Hari Peringatan Rosario. Paus Gregorius XIII pun mengumumkan 7 Oktober sebagai Hari Raya Rosari suci.Hal yang dapat kita ambil dari ulasan di atas mengenai bunda Maria adalah Bunda Maria merupakan ibu bagi semua umat beriman. Ibu yang sungguh-sungguh menyertai kita; anak-anak Allah di setiap zaman di dunia dan Bunda Maria selalu berusaha ambil bagian dalam karya Keselamatan hingga dunia ini berakhir agar manusia tidak jatuh dalam lembah dosa. Sumber refrensi :https://katolisitas.org/https://imankatolik.or.id/f.php?f=index1.htmlhttps://youcat.id/

Read More

Bersikaplah Setia, Berani, dan Kreatif

Dalam perayaan ulang tahun ke 200, Lembaga Karya Misi Kepausan, Paus Fransiskus memberika pesan kepada para anggota Lembaga Karya Misi Kepausan yang berkumpul di kota Lyon, Prancis. Paus Fransiskus menunjuk ke jalan yang dilacak oleh Pauline Jaricot untuk kelanjutan dan pemenuhan misi mereka.“Pada tahun yang istimewa ini Anda telah berkumpul di Lyon, kota di mana Serikat Misi Kepausan berasal dan di mana beatifikasi Pauline Jaricot, akan dirayakan,” tulis Paus Fransiskus dalam sebuah pesan kepada anggota Lembaga Misi Kepausan yang menandai serangkaian peringatan termasuk 200 tahun dari berdirinya lembaga mereka.Pauline Jaricot adalah seorang wanita awam Prancis yang merasakan panggilan hidup misionaris dan mendirikan asosiasi “Propagasi Iman” yang disetujui oleh Paus Pius VII pada tahun 1823.Dalam pesannya, Paus menyoroti fakta bahwa peringatan ini adalah bagian dari perayaan 400 tahun Kongregasi De Propaganda Fide, di mana Karya Misionaris terkait erat dan dengan mana mereka berkolaborasi dalam mendukung Gereja-Gereja di wilayah yang dipercayakan kepada Dikasteri ini.Peran evangelisasi------------------Paus mengatakan bahwa Propaganda Fide didirikan untuk mendukung dan mengkoordinasikan penyebaran di negeri-negeri yang sampai sekarang belum mengenal Injil, selain itu dorongan penginjilan tidak pernah berkurang di Gereja dan selalu tetap menjadi dinamisme fundamentalnya.“Oleh karena itu, saya berharap dalam Kuria Roma yang diperbarui, Dikasteri Evangelisasi mengambil peran khusus untuk mendorong pertobatan misioner Gereja (Praedicate Evangelium, 2-3), yang bukan proselitisme, tetapi saksi: keluar dari diri sendiri untuk mewartakan dengan hidup kita kasih Allah yang cuma-cuma dan menyelamatkan bagi kita, yang semuanya dipanggil untuk menjadi saudara-saudari”.Paus mencatat pula bahwa pertemuan tersebut berlangsung di Lyon karena di sanalah, 200 tahun yang lalu, seorang wanita muda berusia 23 tahun - Pauline Marie Jaricot - memiliki keberanian untuk mendirikan sebuah asosiasi untuk mendukung kegiatan misionaris Gereja.“Beberapa tahun kemudian dia memulai Rosario Hidup yang didedikasikan untuk doa dan berbagi persembahan,” kenangnya.Menambahkan bahwa dia berasal dari keluarga kaya, tetapi meninggal dalam kemiskinan, Paus mengatakan bahwa dengan beatifikasinya, Gereja membuktikan bahwa “dia tahu bagaimana menyimpan harta di Surga” (Mat 6:19), harta yang lahir dari keberanian memberi dan mengungkapkan rahasia hidup: hanya dengan memberi ia dimiliki, hanya dengan kehilangan ia ditemukan (Mrk 8:35).Setiap orang yang dibaptis memiliki misi----------------------------------------“Pauline Jaricot kerapkali mengatakan bahwa Gereja pada dasarnya adalah misionaris (Ad gentes, 2) dan oleh karena itu setiap orang yang dibaptis memiliki misi,” tulis Paus.Menjunjung tinggi pelayanan yang dilakukan Lembaga Karya Misi Kepausan “bersama Paus dan atas nama Paus,” kata Bapa Suci hubungan antara PMS dan pelayanan Petrine, yang didirikan seratus tahun yang lalu, diterjemahkan ke dalam pelayanan konkret kepada para uskup, untuk Gereja-Gereja, kepada seluruh Umat Allah.”“Pada saat yang sama, adalah tugas Anda, menurut Konsili, untuk membantu para uskup membuka setiap Gereja partikular ke cakrawala Gereja universal,” tulisnya.Tiga aspek mendasar--------------------Paus Fransiskus melanjutkan dengan mengatakan bahwa Yubileum yang dirayakan dan beatifikasi Pauline Jaricot memberinya kesempatan untuk menyoroti tiga aspek, yang oleh karena tindakan Roh Kudus, telah berkontribusi begitu banyak pada penyebaran Injil dalam sejarah Karya Misi Kepausan.Pertama: pertobatan misionaris. Kebaikan misi, katanya bergantung pada “perjalanan keluar dari diri sendiri, pada keinginan untuk tidak memusatkan hidup pada diri sendiri, tetapi pada Yesus, pada Yesus yang datang untuk melayani dan bukan untuk dilayani.” Dalam pengertian ini, ia menunjuk pada contoh Pauline Jaricot "yang melihat keberadaannya sebagai respons terhadap belas kasih dan belas kasihan Tuhan yang lembut dan menyalurkan belas kasihan Tuhan di jalan-jalan dunia."Kedua: doa. Hanya melalui doa, lanjut Paus, hal ini mungkin karena “Roh Tuhan yang mendahului dan memungkinkan semua pekerjaan baik kita.”Akhirnya: tindakan amal yang nyata. Bersama dengan jaringan doa, Paus menyimpulkan, Pauline memprakarsai kumpulan persembahan berskala besar yang menyertainya dengan informasi tentang kehidupan dan kegiatan para misionaris. Persembahan dari begitu banyak orang sederhana, katanya, adalah takdir bagi sejarah misi.Paus Fransiskus mengakhiri pesannya dengan mengungkapkan keinginannya agar semua anggota Majelis Umum PMS “berjalan di alur yang dilacak oleh wanita misionaris yang hebat ini, biarkan diri Anda terinspirasi oleh imannya yang nyata, keberanian yang berani, dan kreativitas yang murah hati.”Sumber : Karya Kepausan IndonesiaTeks pesan paus:https://karyakepausanindonesia.org/2022/05/17/pesan-paus-fransikus-untuk-lembaga-karya-misi-kepausan-2022/

Read More

DIA ADALAH ALAT PILIHAN BAGI-KU

![St. Paulus Image](//images.ctfassets.net/a1uad830l19w/mtI0d0DuC1kMQEO3Epv1m/ea1e17c2807e511af5f18cfd1293d880/Paul-the-Apostle-epistle-prison-Ephesians.jpg) __Sebuah Pengantar__ “Saulus, Saulus, mengapakah engkau menganiaya Aku?” (Kis 9:4) Firman itu keluar dari mulut Yesus yang merupakan langkah awal bagi pertobatan Saulus menjadi seorang bernama Paulus yang mewartakan Yesus adalah Mesias (Kis 9:22). Gereja Katolik Roma menetapkan pada tanggal 25 Januari sebagai Pesta Pertobatan Rasul Santo Paulus. Setiap orang beragama Katolik, tentunya tidak asing lagi mendengar tokoh bernama Saulus, peristiwa pertobatannya dan menjadi seorang bernama Paulus, serta debut dan semangat perwataannya hingga di tanah Asia Timur. Tak heran, Paulus menjadi teladan dan tokoh bagi para imam, suster, frater, bruder, katekis, guru agama dan para pelayan tugas pastoral lainnya dalam mewartakan Injil, mewartakan Tuhan Yesus Kristus. Penulis tertarik untuk mengenal lebih dalam mengenai sosok Paulus, “Siapa itu Paulus? Bagaimana peristiwa pertobatannya sebagai dasar bagi spiritualitas pewartaannya? Apa relevansinya bagi umat Katolik di zaman ini? Beberapa pertanyaan tersebut disusun untuk membantu penulis dan para pembaca dalam mengenal, merenungkan dan meneladani Rasul Santo Paulus sebagai patron dalam mewartakan kabar gembira di kehidupan sehari-hari. __Kehidupan Rasul Paulus__ Rasul Santo Paulus dilahirkan di Tarsus, sebuah kota metropolis Kekaisaran Romawi, berada dalam teritorial Provinsi Kilikia (Kis 22:3). Kedua orang tuanya berasal dari bangsa Yahudi dan merupakan bagian dari suku Benyamin (Rom 11:1). Keluarganya adalah kaum Yahudi yang sangat taat (Flp 3:5), sehingga tidak heran jika Rasul Santo Paulus dalam kehidupannya sebelum mengikuti dan mewartakan kabar gembira yakni Tuhan Yesus kepada seluruh bangsa (Non Yahudi) selalu menganiaya pengikut Kristus baik laki-laki, perempuan dan anak-anak (Kis 8:3). Dia juga setuju dengan Stefanus mati dibunuh melalui hukum rajam (Kis 7:54-60; 8:1a). Karena baginya, hal itu merupakan suatu hal yang benar dan seturut dengan hukum taurat. Latar belakang Rasul Santo Paulus dari segi pendidikan, dia mendapat pendidikan yang baik dari gurunya yakni Gamaliel (Kis 22:3). Paulus mulai mempelajari filsafat Yunani dan ibadah-ibadah agama. Penempatannya di Yerusalem dan didikan di sana membentuk jati diri Paulus (Pdf., Yunita F. Pomarci, Menggali Semangat pewartaan Rasul Paulus Sebagai Sumber Inspiriasi Bagi Pelayanan Katekis di Zaman Sekarang, Yogyakarta: FKIP Sanata Dharma, 2019, hlm. 15-16). Sebelum dia menerima pembaptisan, dia bernama Saulus yang mana saat itu ia memiliki hati yang berkobar-kobar untuk menangkap, menyiksa, memenjarakan, bahkan membunuh seluruh pengikut Tuhan Yesus Kristus dengan tiada belas kasihan dan kemurahan hati dalam dirinya. Melalui semangat itu, Saulus meminta surat kuasa kepada majelis-majelis Yahudi di Damsyik untuk melakukan penganiayaan besar-besaran terhadap umat kristiani (Kis 9:1-2). Siapa sangka, dalam perjalanannya dengan para sahabatnya menuju kota Damsyik, dia mengalami suatu peristiwa yang mengubah kehidupannya dari seorang penganiaya dan pembunuh umat kristiani menjadi seseorang yang menyerahkan sepenuh hidupnya dan rela mati bagi Kristus (Flp 1:21). Yesus memanggilnya dalam suatu pancaran sinar dari langit mengelilingi dia dan para sahabatnya, seraya berkata; “Saulus, Saulus, mengapakah engkau menganiaya Aku? Akulah Yesus yang kau aniaya itu. Tetapi bangunlah dan pergilah ke dalam kota, di sana akan dikatakan kepadamu, apa yang harus kau perbuat”(Kis 9:3-6). Sebelum Paulus bertobat yang menjadi pusat perhatiannya adalah kewenangan dan kemenangan hukum Taurat yang dibuktikan dengan penuh semangat. Hukum Taurat yang dijalankannya berlangsung dengan tanpa cacat. Barang siapa mengancam keberadaan Taurat harus disingkirkan. Namun Pertobatannya membalik semua yang ada di dalam dirinya (Kis 9:17-18). Paulus memiliki perawakan kecil dan lemah namun singa yang mengaung tidak membuatnya gentar dalam melaksanakan karya pewartaannya (Brunot, A. (ed.), Paulus dan Pesannya, Yogyakarta: Kanisius, 1992, hlm. 13-14). Saulus menerima pembaptisan dan menjadi alat pilihan bagi Allah (Kis 9:15-19) melalui perantara seorang murid Tuhan Yesus yang bernama Ananias. Tuhan Yesus menampakkan diri dan berfirman kepada Ananias ketika Saulus telah berada di rumah Yudas, seorang dari Tarsus, tiga hari dan tiga malam lamanya dia tidak dapat melihat, makan serta minum (Kis 9:16). Melalui peristiwa penampakan Tuhan Yesus dan pembaptisan yang dialami oleh Saulus, yakni dengan menyandang nama Paulus, maka debut pewartaannya yang berpusat pada Tuhan Yesus dan hukum kasih telah dimulai sampai pada akhir hayatnya. Seluruh hidup Paulus, baik pola pemikiran, sikap dan tingkah laku dia baktikan dan selalu berpusat pada Kristus dan hukum kasih. Menurut tulisan dari Eusebius, bahwa Rasul Santo Paulus wafat dengan dipenggal kepalanya dan Rasul Petrus disalib terbalik, pada saat kekaisaran Romawi di bahwa kepemimpinan kekaisaran Nero, dalam waktu yang sama, seluruh umat kristiani mengalami pengejaran, penyiksaan dan pembunuhan kembali (https://www.newadvent.org/fathers/250102.htm, “Eusebius of Caesarea (c. 265 - c. 340), Church History, book II, Chapter 25”, diunduh pada tanggal 14 Januari 2021, pukul 18.00 WIB). Lebih dari itu, Kaisar Nero dalam catatan sejarah dunia, merupakan kaisar yang paling kejam dan sifat kepemerintahannya adalah tirani. Meskipun umat kristiani mengalami masa-masa sulit dibawah kekaisarannya, akan tetapi pewartaan Rasul Santo Paulus tertanam kuat dan tumbuh subur seperti pohon apel. Karena semangat pewartaan Paulus yakni menyebarkan kabar gembira bahwa Tuhan Yesus Kristus adalah Mesias yang sengsara, wafat dan bangkit dan kasih karunia Allah yang dia terima selama masa hidupnya. __Spiritualitas Pewartaan__ Dalam mewartakan Yesus adalah Mesias dan menyebarkan Injil ke seluruh dunia, spiritualitas Paulus terungkap dalam Filipi 1:21. Rasul Santo Paulus telah menyadari bahwa dia merupakan sebuah alat pilihan bagi-Nya (Kis 9:15-19) untuk mempersatukan seluruh umat manusia di dunia untuk hidup dalam Roh, yang berarti hidup bersatu dalam Yesus Kristus. Sehingga dia rela melakukan apa pun dan menanggung segala resiko dalam menyebarkan Injil. Misi karya pewartaan yang telah dijalankan oleh Rasul Santo Paulus tentu tidaklah mudah. Diperlukan perjuangan untuk menghadapi tantangan pewartaan; ia menghadapi tantangan-tantangan yang ada dengan segenap hati dan dengan semangat yang membara. Tak heran, semangat perjuangan dalam pewartaan yang dilakukan Santo Paulus menjadi teladan bagi semua orang, hal itu dilakukannya agar banyak umat dapat menerima kabar gembira dari Yesus Kristus. Layaknya tulisan suratnya untuk jemaat di Filipi, ia berkata: Hendaklah kamu sehati dan sepemikiran dalam satu kasih, satu jiwa, dan satu tujuan dan tidak dengan mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menanggapi yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri... hendaklah kamu dalam hidup bersama menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus (Flp 2: 2-5). Dalam surat yang telah dituliskannya, Rasul Paulus berharap agar umat di Filipi bersatu dalam cinta kasih dengan menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat dalam Yesus Kristus. Santo Paulus sebagai teladan akan sikap bersatu dalam Kristus, yaitu dengan mementingkan kebutuhan orang lain terlebih dahulu, bukan kepentingan diri sendiri yang diutamakan. Sikap sehati dan sepermikiran dalam Yesus Kristus, maka seseorang akan memiliki kerendahan hati dalam dirinya. Dengan memiliki sikap rendah hati inilah membuat seseorang dengan mudah untuk bersatu dan sebaliknya jika memiliki sikap egois dan sombong maka mereka hanya mementingkan diri sendiri dan tentunya sikap inilah akan mudah dihancurkan, sebab dengan bersatu bagaikan kumpulan sapu lidi yang tidak mudah dipatahkan. Maka dari itu, Rasul Paulus mewartakan Injil melalui persatuan dalam persekutuan untuk memperkuat dan memperluas karya pewartaan Tuhan. Spritualitas dalam pewartaan karyanya, Rasul Santo Paulus tidak pernah merasa lelah dan takut dalam menyebarkan kabar suka cita yang telah diberikan oleh Yesus Kristus bagi semua umat manusia. Sikap pantang menyerah menjadikan Rasul Paulus memiliki pola hidup dalam pewartaannya, yaitu “tiba ditempat baru, diterima untuk beberapa waktu, ditolak dan diusir sehingga harus pergi ke tempat baru lagi”. Semangat inilah yang harus ditanamkan pada diri para misioner dalam pewartaan Injil kepada masyarakat. Sikap yang rendah hati, jujur, bijaksana, rasa belas kasih, tegas dan peduli harus dimiliki setiap para pewarta Injil agar tujuan dalam menyebarkan berita suka cita dari Tuhan dapat tersampaikan secara langsung kepada umat seluruh dunia. Sikap inilah membuat para misioner mudah untuk mencari informasi berupa kondisi dan situasi dalam suatu daerah. Bahasa yang lebih tren saat ini lebih dikenal dengan identifikasi akan kebutuhan iman, maka jangan memaksa kehendak atas apa yang telah dibawa sebelumnya. Diperlukan penyesuaian diri dari hasil identifikasi kondisi pada wilayah tersebut. Inilah yang dicontohkan oleh Rasul Santo Paulus dalam dirinya untuk menghadapi permasalahan dalam menghadapi sejumlah umat dan mempermudah diterima karyanya. Setiap manusia tidak terlepas dengan suatu kegagalan dalam dirinya. Hal ini juga terjadi pada Rasul Santo Paulus dalam karya pewartaannya yang mengalami penolakan dan kegagalan. Hingga dalam keraguannya, Rasul Paulus sampai mengeluarkan air mata, karena cemas akan karya-karyanya mengalami penolakan dan kegagalan, Paulus mengungkapkan keputusasaan itu dalam (Gal 4: 11) “aku khawatir kalau-kalau susah payahku untuk kamu sia-sia”. Walaupun demikian karena kecintaan akan Yesus Kristus, kegagalan dan penolakan yang dihadapi oleh Santo Paulus merupakan hal yang sangat kecil baginya. Kegigihan dalam menghadapi masalah tersebut tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan kesetiaannya kepada Kristus dalam mewartakan karyanya. Mengenai kesetiaan hendaklah kita sebagai orang beriman akan Yesus Kristus harus berani menjawab panggilan Tuhan untuk melayani segenap hati walaupun dalam kondisi apapun. Seperti halnya Rasul Paulus mencontohkan kesetiaannya untuk mewartakan Yesus Kristus kepada umat seluruh dunia, yang di mana Santo Paulus mengetahui jika ke depannya akan mengalami hambatan dan rintangan yang begitu luar biasa. Dari kisah Rasul Santo Paulus kita dapat merefleksikan dalam kehidupan sebagai pelayan Tuhan di zaman sekarang atau lebih dikenal jaman now. Kita semua dipanggil oleh Allah secara personal dalam bentuk profesi apa pun, baik sebagai pewarta Injil dilingkungan Gereja seperti Romo, frater, suster, bruder dan lain sebagainya, ataupun dalam segala profesi. Di sinilah kita dipilih Allah untuk menjalankan profesi yang kita miliki. Profesi yang dipilih inilah yang membuat kita lebih tahu apa yang Tuhan inginkan untuk kita sebagai alat pewartaan-Nya. Sebagai umat beriman akan Tuhan Yesus Kristus kita dapat meneladani sikap Rasul Paulus dalam era saat ini seperti sikap kegigihan, keberanian, rendah hati, dan kesetiaan akan apa yang dia wartakan kepada semua orang. Dalam menjalan misi kita, baik para biarawan-biarawati atau umat awam sebaiknya meneguhkan sikap apa yang dicontohkan oleh Rasul Paulus yaitu totalitas tanpa batas dalam menjalankan tugas untuk Allah. Apa pun jenis pekerjaan yang kita miliki selesaikan dengan semaksimal dan hasil akhirnya kita persembahkan untuk Tuhan. Kita berkarya untuk Tuhan, sebab Kristuslah yang memanggil dan memilih kita untuk suatu profesi yang kita miliki saat ini. Karena secara tidak langsung kita bekerja juga beribadat. Dapat diartikan bahwa beribadat tidak hanya dalam suatu perkumpulan doa melainkan kita bekerja kita beribadat kepada Tuhan. Secara tidak langsung jika kita bekerja karena Tuhan, maka sikap yang dicontohkan oleh Santo Paulus akan terlihat dalam diri kita, kemudian akan banyak yang menilai jika pekerjaan kita sangat baik dan latar belakang kita sebagai pengikut Kristus tidak dipandang sebelah mata. Bermisi untuk mewartakan karya Tuhan bukan memaksakan kehendak apa yang kita yakini, namun melainkan dengan cara kita mencontohkan sikap teladan Rasul Santo Paulus itu juga merupakan cara solutif bagi para misioner. Masa pandemi saat ini menjadi tantangan tersendiri bagi kita semua untuk menjawab panggilan Tuhan sebagai alat bagi-Nya dengan segenap hati dan penuh keimanan melayani di masa sulit dengan banyak keterbatasan dalam pelayanan. Teladan Rasul Santo Paulus mengenai kegigihan dan pantang menyerah untuk tetap mewartakan Injil Tuhan, hingga sampai saat ini kita rasakan akan semangat dalam karyanya. Maka dari itu, kita semua terutama bagi pewarta Injil yang berhadapan langsung kepada umat seperti Romo, Frater, Suster, Bruder dan pelayanan umat lainnya tetap menjalankan panggilan Tuhan untuk mewartakan kasih Tuhan di tengah masa pandemi Covid-19. Bentuk kasih pelayanan bermacam-macam yang dapat kita lakukan untuk saling menguatkan keimanan, kesehatan, ekonomi dan lain-lainnya, dengan bersatu dengan Tuhan melalui doa dan menjadi teladan kasih di tempat kita dalam menjalani profesi masing-masing. Sebagai alat pilihan Allah, kita dipanggil untuk saat ini untuk menyebarkan kasih, kedamaian, ketenangan, cinta, dan kemurnian untuk menghadapi masa sulit secara bersama-sama. Terpanggil bukan hanya para biarawan-biarawati saja tetapi kita semua terpanggil untuk dipilih Allah sebagai alat-Nya dalam segenap profesi kita untuk membangkitkan semangat dan keteguhan hati untuk mewartakan Injil kepada seluruh umat dari segala keterpurukkan di masa pandemi saat ini.. Kita dapat meneladani Rasul Santo Paulus bahwa kegigihan dan kesetiaan membawa kita kepada Tuhan untuk bersama-sama ikut serta dalam bentuk kasih yang nyata sesuai dengan profesi yang kita miliki. __Sumber Pustaka__ Alkitab Deuterokanonika __Sumber Internet__ Pdf., Yunita F. Pomarci, Menggali Semangat pewartaan Rasul Paulus Sebagai Sumber Inspiriasi Bagi Pelayanan Katekis di Zaman Sekarang, Yogyakarta: FKIP Sanata Dharma, 2019, hlm. 15-16. Brunot, A. (ed.), Paulus dan Pesannya, Yogyakarta: Kanisius, 1992, hlm. 13-14. https://www.newadvent.org/fathers/250102.htm, “Eusebius of Caesarea (c. 265 - c. 340), Church History, book II, Chapter 25”, diunduh pada tanggal 14 Januari 2021, pukul 18.00 WIB.

Read More

BERKENALAN DENGAN WARNA UNGU; SALAH SATU WARNA LITURGI GEREJA KATOLIK

Natal 2021 sudah terasa dekat dan masa Adven sudah akan berakhir. Kita melawati masa Adven tahun ini, yang sepenuhnya belum pulih dari suasana pandemi Covid-19, namun kita patut bersyukur masih diberi kesempatan untuk dapat merayakan masa Adven bersama di Paroki maupun di Lingkungan masing-masing. Hal yang mungkin cukup menarik perhatian saat kita merayakan perayaan liturgi di masa Adven adalah penggunaan warna liturgi yang beragam, ada yang warna ungu dan ada warna merah muda. Disadari atau tidak, warna ungu akan nampak dominan dipakai baik dalam dekorasi maupun busana liturgis terutama saat perayaan liturgi di masa pra-Paskah dan Adven. Mungkin, penggunaan warna tertentu di dalam sebuah perayaan liturgi ini akan menimbulkan tanya bagi sebagian umat: “Mengapa warna ungu menjadi warna liturgi di masa pra-Paskah dan Adven? Apa maknanya?” Seperti yang telah kita ketahui bahwa perayaan liturgi di gereja Katolik merupakan sebuah perayaan iman yang khas, kaya akan simbol sekaligus makna yang sangat mendalam. Hal itu dapat kita lihat, salah satunya dalam penggunaan warna tertentu ketika merayakan perayaan liturgi tertentu. Warna yang dipilih dan ditentukan gereja sebagai warna liturgi bukanlah hanya sekadar pemanis atau pendukung dekorasi semata, karena di balik penggunaan warna-warna tersebut terkandung sebuah pesan yang mendorong penghayatan di dalam perayaan liturgi itu sendiri. Gereja Katolik awalnya hanya menggunakan warna putih sebagai warna liturgi. Tetapi konsep mengenai pemakaian warna liturgi ini kemudian berkembang dan diberi pemaknaan yang lebih mendalam. Misalnya saja Paus Pius VI melalui Ordo Missae di tahun 1969 menetapkan lima warna dasar (Putih, Merah, Hijau, Ungu dan Hitam) sebagai warna resmi yang dipakai dalam perayaan liturgi Gereja Katolik. Kemudian di dalam PUMR (Pedoman Umum Misale Romawi) hingga terjadinya Konsili Vatikan II; Gereja menyatakan warna putih, hijau, merah dan hitam sebagai warna pokok liturgis. Tetapi, pemaknaan mengenai warna liturgi ini masih berkembang mengikuti peristiwa perayaan liturgi gereja katolik. Kini, Gereja Katolik telah memilih dan menetapkan enam warna pokok yang dapat digunakan dalam perayaan liturgi, yaitu: Putih/Emas, Hijau, Merah, Hitam, Ungu serta Merah Muda. Enam warna liturgi yang telah ditetapkan Gereja, tentu memiliki makna tersendiri. Tetapi di dalam kesempatan ini, kita akan berkenalan sekaligus melihat makna dari salah satu warna liturgi yakni: Warna Ungu. Warna ini pasti dipakai saat perayaan liturgi di masa Adven (empat minggu menjelang Hari Raya Natal) dan Pra-paskah (empat puluh hari sebelum Hari Raya Paskah). Kedua masa ini merupakan waktu di mana gereja mengajak umatnya untuk lebih mawas diri di dalam keheningan dan ketenangan. Secara khusus masa Pra-paskah kental dengan suasana doa, puasa, pantang dan aktivitas yang terkait dengan tindakan amal-kasih. Dalam masa ini, umat Katolik diajak menyadari sekaligus menyesali sungguh dosa-dosa yang telah dilakukan. Warna ungu di masa Pra-paskah menjadi lambang pertobatan dan penitensi. Bahkan dalam satu minggu menjelang Hari Paskah, warna ungu merangkum dan melambangkan sengsara dan wafat Yesus Kristus. Pakaian liturgi imam yang dipakai pada pekan suci ini dihiasi dengan simbol salib dan mahkota duri. Masa Adven merupakan masa penantian, maka dari itu, umat Katolik diajak untuk lebih dalam memaknai masa penantian pemenuhan janji Allah yang akan menghadirkan Sang Juru Selamat ke dunia. Di dalam masa Adven, menggunakan warna ungu sebagai warna liturgi, jelas di sini warna ungu dalam masa Adven memiliki perberdaan makna dengan warna ungu pada masa Pra-paskah. Warna ungu dalam masa Adven menjadi sebuah simbol fajar yang mendahului matahari terbit; yang dimaknai sebagai penantian kelahiran Sang Juru Selamat yang menghapus dosa-dosa manusia. Selain warna liturgi ungu, di masa Adven juga menggunakan warna liturgi merah muda pada waktu Minggu Adven III (Gaudette). Warna merah muda melambangkan bahwa manusia telah memasuki masa pertengahan dalam masa penantian akan pengharapan kebahagiaan untuk menyongsong Mesias yang akan segera tiba untuk memenuhi janji Allah sendiri. Simbol warna ungu dalam liturgi juga masih memiliki makna lain seperti kerendahan hati yang diambil dari gambaran bunga violet yang kuntumnya akan tertunduk ke tanah. Selain itu, warna ini merupakan warna yang mewah karena pada zaman dahulu, warna ini merupakan warna yang dipakai oleh raja dan para penyambutnya. Singkat kata, bagi Gereja, kekayaan makna simbol dari warna ungu mendorong umat semakin dalam merungkan imannya, terutama pada masa Adven umat diajak benar-benar mempersiapkan diri dengan penyesalan dan pertobatan untuk menyambut kedatangan Juru Selamat manusia yakni Yesus Kristus.

Read More

Dipanggil untuk Membangun Keluarga Manusia

Saudara-saudari terkasih,Pada saat angin dingin perang dan penindasan bertiup dan ketika kita sering menghadapi tanda-tanda polarisasi, kita sebagai Gereja telah melakukan proses sinode: kita merasakan kebutuhan mendesak untuk melakukan perjalanan bersama, memupuk semangat mendengarkan, partisipasi, dan berbagi. Bersama dengan semua orang yang berkehendak baik, kita hendak membantu membangun keluarga manusia, menyembuhkan lukanya dan membimbingnya ke masa depan yang lebih baik. Pada Hari Doa Panggilan Sedunia yang ke-59 ini, saya ingin bersama Anda merenungkan makna yang lebih luas dari “panggilan” dalam konteks Gereja sinode, Gereja yang mendengarkan Tuhan dan dunia.Dipanggil untuk menjadi pelaku misi Gereja secara bersama-samaSinodalitas, perjalanan bersama, adalah panggilan mendasar bagi Gereja. Hanya dalam cakrawala inilah kita dimungkinkan untuk membedakan dan menghargai berbagai panggilan, karisma, dan pelayanan. Kita tahu bahwa Gereja ada untuk mewartakan Injil, terus maju dan menabur benih Injil dalam sejarah. Misi ini hanya dapat dilaksanakan jika semua bidang kegiatan pastoral saling bekerja sama dan yang lebih penting, melibatkan semua murid Tuhan. Karena “berdasarkan baptisan mereka, semua anggota Umat Allah telah menjadi murid-murid yang diutus (lih. Mat. 28:19). Semua yang dibaptis, apa pun posisi mereka di dalam Gereja atau tingkat pengajaran iman mereka, adalah agen evangelisasi” (Evangelii Gaudium, 120). Kita harus waspada terhadap mentalitas yang akan memisahkan imam dan awam, menganggap yang pertama sebagai pelaku utama dan yang kedua sebagai pelaksana, dan bersama-sama meneruskan misi Kristiani sebagai satu-satunya Umat Allah, awam dan gembala bersama-sama. Gereja secara keseluruhan adalah komunitas penginjilan.Dipanggil untuk menjadi penjaga satu sama lain dan ciptaanKata “panggilan” tidak boleh dipahami secara terbatas, hanya merujuk pada mereka yang mengikuti Tuhan melalui hidup bakti khusus. Kita semua dipanggil untuk ambil bagian dalam misi Kristus untuk menyatukan kembali umat manusia yang terpecah-pecah dan mendamaikannya dengan Allah. Setiap pria dan wanita, bahkan sebelum bertemu Kristus dan memeluk iman Kristiani, menerima karunia kehidupan panggilan mendasar: kita masing-masing adalah makhluk yang dikehendaki dan dikasihi oleh Allah; masing-masing dari kita memiliki tempat yang unik dan khusus di hati Tuhan. Pada setiap saat dalam hidup kita, kita dipanggil untuk menumbuhkan percikan ilahi ini, hadir di hati setiap pria dan wanita, dan dengan demikian berkontribusi pada pertumbuhan kemanusiaan yang diilhami oleh cinta dan penerimaan timbal balik. Kita dipanggil untuk menjadi penjaga satu sama lain, untuk memperkuat ikatan harmoni dan berbagi, dan untuk menyembuhkan luka seluruh ciptaan agar keindahannya tidak dihancurkan. Singkatnya, kita dipanggil untuk menjadi satu keluarga di rumah bersama yang luar biasa, dalam keragaman unsur-unsurnya yang telah diperdamaikan. Dalam arti yang luas ini, tidak hanya individu yang memiliki “panggilan”, tetapi juga berbagai jenis masyarakat, komunitas, dan kelompok.Dipanggil untuk menyambut tatapan TuhanDi dalam panggilan umum yang luas ini, Tuhan menyampaikan panggilan khusus kepada kita masing-masing. Dia menyentuh hidup kita dengan kasih-Nya dan mengarahkannya ke tujuan akhir kita, menuju pemenuhan yang melampaui ambang kematian. Begitulah cara Tuhan ingin melihat hidup kita dan bagaimana Dia masih melihatnya.Michelangelo Buonarroti pernah mengatakan bahwa setiap balok batu berisi patung didalamnya, dan terserah bagaimana sang pematung untuk mengungkapnya. Jika itu benar bagi seorang seniman, apalagi bagi Tuhan! Dalam diri wanita muda Nazaret, Dia melihat Bunda Allah. Dalam diri Simon si nelayan, Dia melihat Petrus, si batu karang tempat dia akan membangun Gereja-Nya. Dalam diri Lewi pemungut cukai, Dia mengenali rasul dan penginjil Matius, dan pada Saulus, seorang penganiaya yang kejam terhadap orang-orang Kristen, Dia melihat Paulus, rasul orang-orang bukan Yahudi. Tatapan kasih Tuhan selalu menjumpai kita, menyentuh, membebaskan  dan mengubah kita, serta menjadikan kita pribadi baru.Itulah yang terjadi dalam setiap panggilan: kita bertemu dengan tatapan Tuhan, yang memanggil kita. Panggilan, seperti kekudusan, bukanlah pengalaman luar biasa yang diperuntukkan bagi segelintir orang. Sama seperti ada “kesucian orang-orang kudus di sebelah” (lih. Gaudete et Exsultate, 6-9), demikian juga ada panggilan untuk semua orang, karena pandangan dan panggilan Tuhan ditujukan kepada setiap orang.Menurut pepatah dari Timur Jauh, “orang bijak, pada telur dapat melihat seekor elang; pada sebiji benih, ia melihat sekilas sebuah pohon besar; pada orang berdosa, ia melihat orang kudus”. Begitulah cara Tuhan melihat kita: dalam diri kita masing-masing, Dia melihat potensi tertentu, yang terkadang tanpa kita sadari, dan sepanjang hidup kita Dia bekerja tanpa lelah sehingga kita dapat menempatkan potensi ini untuk kepentingan bersama.Panggilan muncul dengan cara ini, berkat Karya Seni Perupa ilahi yang menggunakan “tangannya” untuk membuat kita keluar dari diri kita sendiri dan menjadi mahakarya sesuai panggilan-Nya bagi kita. Sabda Tuhan, yang membebaskan kita dari kelekatan pada diri sendiri, secara khusus mampu memurnikan, mencerahkan, dan menciptakan kita kembali. Jadi marilah kita mendengarkan firman itu, agar semakin terbuka terhadap panggilan yang dipercayakan Tuhan kepada kita! Dan, marilah kita belajar untuk mendengarkan juga saudara-saudari seiman kita, karena nasihat dan teladan mereka dapat membantu mengungkapkan rencana Allah, yang menunjukkan kepada kita jalan yang selalu baru untuk ditempuh.Dipanggil untuk menanggapi tatapan TuhanTatapan Allah yang penuh kasih dan kreatif bertemu dengan kita dengan cara yang sepenuhnya unik di dalam Yesus. Penginjil Markus memberi tahu kita bahwa, dalam berbicara dengan pemuda kaya itu, “Yesus memandang dia, mengasihi dia” (Mrk. 10:21). Tatapan Yesus ini, penuh kasih, bersandar pada kita masing-masing. Saudara dan Saudari, marilah kita membiarkan diri kita tergerak oleh tatapan ini untuk mengizinkan-Nya memimpin kita keluar dari diri kita sendiri! Marilah kita juga belajar untuk saling memandang sedemikian rupa sehingga semua orang yang hidup dan kita jumpai – siapa pun mereka – akan merasa disambut dan menemukan bahwa ada Seseorang yang memandang mereka dengan kasih dan mengundang mereka untuk mengembangkan potensi diri mereka sepenuhnya.Hidup kita berubah ketika kita menyambut tatapan ini. Semuanya menjadi dialog panggilan antara diri kita dengan Tuhan, tetapi juga antara diri kita dengan orang lain. Dialog, yang dialami secara mendalam, membuat kita semakin menjadi diri kita sendiri. Dalam panggilan imamat mereka yang ditahbiskan, panggilan ini menjadi alat rahmat dan belas kasih Kristus. Dalam panggilan hidup bakti, terwujud pujian bagi Allah dan nubuat kemanusiaan baru. Dalam panggilan berkeluarga, pria dan wanita saling memberi dan menjadi guru kehidupan. Dalam setiap panggilan dan pelayanan gerejawi, kita  melihat orang lain dan dunia dengan mata Tuhan, untuk melayani kebaikan dan menyebarkan cinta kasih dengan karya dan perkataan kita.Di sini saya ingin menyebutkan pengalaman Dr. José Gregorio Hernández Cisneros. Saat bekerja sebagai dokter di Caracas, Venezuela, ia ingin menjadi Fransiskan Ordo Ketiga. Kemudian, dia berpikir untuk menjadi seorang biarawan dan imam, tetapi kesehatannya tidak memungkinkan. Dia mulai memahami bahwa panggilannya adalah profesi medis, di mana dia mengabdikan dirinya di atas segalanya untuk melayani orang miskin. Dia mengabdikan dirinya tanpa pamrih kepada mereka yang telah terjangkit epidemi di seluruh dunia yang dikenal sebagai “flu Spanyol”. Dia meninggal, tertabrak mobil, ketika dia meninggalkan apotek setelah membeli obat untuk salah satu pasiennya yang sudah lanjut usia. Seorang saksi teladan tentang apa artinya menerima panggilan Tuhan dan menerimanya sepenuhnya, dia dibeatifikasi setahun yang lalu.Terpanggil untuk membangun dunia persaudaraanSebagai orang Kristiani, kita tidak hanya menerima panggilan secara individu; kita juga dipanggil secara bersama-sama. Kita seperti ubin mosaik. Masing-masing indah dalam dirinya sendiri, tetapi hanya ketika mereka disatukan mereka membentuk sebuah gambar. Masing-masing dari kita bersinar seperti bintang di hati Tuhan dan di cakrawala alam semesta. Namun, pada saat yang sama, kita dipanggil untuk membentuk konstelasi yang dapat membimbing dan menerangi jalan umat manusia, dimulai dari tempat kita tinggal. Inilah misteri Gereja: perayaan perbedaan, tanda dan sarana dari semua yang menjadi panggilan umat manusia. Karena itu, Gereja harus menjadi semakin sinode, yakni mampu berjalan bersama, bersatu dalam keragaman yang harmonis, di mana setiap orang dapat berpartisipasi secara aktif dan di mana setiap orang memiliki sesuatu untuk disumbangkan.Ketika kita berbicara tentang “panggilan”, maka ini bukan hanya tentang memilih jalan hidup ini atau itu, mengabdikan hidup untuk pelayanan tertentu atau tertarik pada karisma keluarga, gerakan atau komunitas gerejawi yang religius. Ini adalah tentang mewujudkan impian Allah, visi persaudaraan yang agung yang Yesus hargai ketika Ia berdoa kepada Bapa “supaya mereka semua menjadi satu” (Yoh. 17:21). Setiap panggilan dalam Gereja, dan dalam pengertian yang lebih luas dalam masyarakat, berkontribusi pada tujuan bersama, yaitu untuk merayakan di antara pria dan wanita keselarasan berbagai karunia yang hanya dapat dibawa oleh Roh Kudus. Para imam, pria dan wanita yang menjalani hidup bakti, umat awam yang setia, marilah kita melakukan perjalanan dan bekerja bersama dalam memberikan kesaksian akan kebenaran bahwa satu keluarga besar manusia yang bersatu dalam kasih bukanlah visi utopis, tetapi tujuan utama yang Tuhan ciptakan untuk kita.Marilah kita berdoa, saudara-saudari, agar seluruh Umat Allah, di tengah peristiwa sejarah yang dramatis, dapat semakin menanggapi panggilan ini. Marilah kita memohon cahaya Roh Kudus, sehingga kita semua dapat menemukan tempat yang tepat dan memberikan yang terbaik dari diri kita sendiri dalam rencana ilahi yang agung ini!Roma, Santo Yohanes Lateran,8 Mei 2022, Minggu Paskah Keempat.Fransiskus

Read More

Urbi et Orbi

Semoga kita dimenangkan oleh damai Kristus!==================================Paus Fransiskus mengumumkan pesan Paskah yang menggembirakan, bahwa Yesus, Yang Tersalib, telah bangkit. Dia mengingat para korban perang, semua orang yang menderita di seluruh dunia, dan memohon dengan sungguh-sungguh untuk perdamaian dan agar damai Kristus dapat memasuki hidup kita, rumah kita, negara kita!Paus Fransiskus memimpin perayaan Paskah di bawah sinar matahari yang cerah dan Lapangan Santo Petrus yang dipenuhi bunga, penuh sesak dengan peziarah dengan pemandangan yang tidak pernah terlihat sejak sebelum pandemi. Tampilan cemerlang dari empat puluh ribu bunga dan tanaman mengubah Lapangan Santo Petrus menjadi taman berkat persembahan tahunan dari toko bunga dari Belanda.Setelah liturgi Malam Paskah di Basilika Santo Petrus kemarin malam, pada Minggu Paskah keesokan paginya, Paus memimpin Misa Hari Paskah dengan lebih dari 50 ribu peziarah di Lapangan pada pagi musim semi yang sejuk dan berangin. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Paus tidak menyampaikan homili, tetapi berbicara tepat pada pukul 12 siang ketika ia memberikan pesan tradisi Paskah diikuti dengan berkat "Urbi et Orbi" (kepada kota dan dunia).Kristus Bangkit!----------------------Mengucapkan Selamat Paskah kepada semua yang hadir dan berpartisipasi di seluruh dunia melalui web, televisi dan radio, Paus mengumumkan pesan Paskah yang menggembirakan bahwa, "Yesus, Yang Tersalib, telah bangkit!" Yesus - hidup dan bukan hantu - berdiri di antara murid-murid-Nya yang menyaksikan dengan mata tidak percaya menyapanya, "Damai sejahtera bagimu!"Kedamaian selalu bersamamu!----------------------------------------Semoga hati kita benar-benar terbuka saat kita menyambut pesan Paskah, "Damai sejahtera bagimu!" ​​Paus menggarisbawahi, terutama di saat-saat di mana kita menyaksikan yang sebaliknya, Paskah yang ditandai dengan perang di mana begitu banyak orang telah meninggal dan kekerasan terus berlanjut. Seperti yang kita ingat semua saudara dan saudari kita yang harus mencari perlindungan dari bom, kenyataan tragis ini dapat membuat sulit untuk benar-benar percaya Yesus benar-benar bangkit, bahwa hidup mengalahkan kematian.“Hari ini, lebih dari sebelumnya, kita mendengar gema kabar sukacita Paskah yang begitu dicintai oleh umat Kristen Timur: “Kristus telah bangkit! Dia benar-benar bangkit!” Hari ini, lebih dari sebelumnya, kita membutuhkan Dia, di akhir masa Prapaskah yang sepertinya tidak ada habisnya.”Kita membutuhkan Tuhan lebih dari sebelumnya untuk berdiri di hadapan kita dan mengulangi kepada kita, "Damai sejahtera bagimu!", tegas Paus. Sementara ada harapan bahwa semangat solidaritas baru berakar setelah pandemi, namun sebaliknya, kita melihat lagi bagaimana "semangat Kain", yang melihat saudaranya Habel sebagai saingan yang harus dihilangkan, masih saja terus bekerja di dalam diri kita sebagaimana dapat disaksikan dalam perang dan kekerasan yang mengerikan pada hari ini.Tuhan membawa kedamaian---------------------------------------Hanya Tuhan yang dapat memberi kita kedamaian sejati, kata Paus, Yesus yang menanggung luka-luka kita yang kita timbulkan pada-Nya oleh dosa-dosa kita, kekerasan hati dan kebencian persaudaraan. Dia juga menanggungnya demi kita, dan memanifestasikannya kepada murid-murid-Nya ketika Dia menampakkan diri kepada mereka, sebagai "meterai kasih-Nya yang tak terhapuskan bagi kita, pengantara doa yang abadi, sehingga Bapa surgawi, dalam melihat mereka, akan berbelas kasih kepada kita dan di seluruh dunia."“Saat kita merenungkan luka-luka mulia itu, mata kita yang tidak percaya terbuka lebar; hati kita yang mengeras terbuka dan kita menyambut pesan Paskah: “Damai sejahtera bagimu!” Mari kita biarkan damai Kristus memasuki hidup kita, rumah kita, negara kita!”Doa untuk Ukraina-------------------------"Semoga ada perdamaian untuk Ukraina yang dilanda perang," doa Paus, dan bahwa "di malam penderitaan dan kematian yang mengerikan ini, semoga fajar harapan baru segera muncul!"Bapa suci mengatakan bahwa ia menyimpan di dalam hatinya para korban, jutaan pengungsi, anak-anak yatim piatu, orang tua dibiarkan sendiri. Kita mendengar terutama tangisan anak-anak, katanya, bersama dengan penderitaan anak-anak di seluruh dunia yang menjadi korban kekerasan, hak untuk dilahirkan, kelaparan atau kekurangan perawatan medis.Paus mengimbau para pemimpin untuk mendengar tangisan penderitaan mereka dan membuat keputusan yang mendukung perdamaian.“Semoga para pemimpin negara mendengar permintaan rakyat untuk perdamaian. Semoga mereka mendengarkan pertanyaan meresahkan yang diajukan oleh para ilmuwan hampir tujuh puluh tahun yang lalu: "Haruskah kita mengakhiri umat manusia, atau akankah umat manusia meninggalkan perang?" (Manifesto Russell-Einstein, 9 Juli 1955).Tanda-tanda yang mendorong-----------------------------------------Paus memberikan penghormatan kepada semua orang yang telah membuka pintu mereka untuk menyambut para migran dan pengungsi melalui Eropa, menyebut tindakan amal ini sebagai tanda harapan dan berkah bagi masyarakat yang dapat membantu mengatasi keegoisan dan individualisme.Semoga kita juga menanggapi dengan belas kasih dan solidaritas yang sama terhadap konflik, seru Paus, yang terkadang diabaikan atau dilupakan.Perdamaian di Timur Tengah----------------------------------------“Damai atas Yerusalem dan damai bagi semua orang yang mencintainya, baik Kristen, Yahudi, maupun Muslim,” doa Paus, meminta agar semua yang tinggal di Kota Suci dapat mengalami keindahan kedamaian, persaudaraan, rasa hormat, dan akses ke semua Tempat Suci. Tempat.Semoga perdamaian dan rekonsiliasi mengakar di antara semua orang dan komunitas di Lebanon, Suriah, Irak, Libya dan Yaman, kata Paus, di mana meskipun konflik yang sedang berlangsung, orang-orang sangat berharap untuk mengakhiri kekerasan, ketegangan dan penderitaan yang mendalam sebagai akibatnya.Damai di dunia kita--------------------------Paus berdoa untuk karunia rekonsiliasi di Myanmar, dan bantuan untuk Aghanistan di mana krisis kemanusiaan menyebabkan penderitaan besar.Paus Fransiskus mengingat pula benua Afrika, di mana serangan teroris di wilayah Sahel telah menyebabkan eksodus orang, dan Ethiopia dan Republik Demokratik Kongo sehingga jalan dialog dan rekonsiliasi menang. Konflik yang terjadi telah menyebabkan krisis kemanusiaan yang parah, dan semoga kita ada di sana untuk membantu orang-orang, tegasnya.Paus berdoa untuk para korban bencana alam dalam beberapa pekan terakhir, terutama korban banjir di Afrika Selatan. Dia ingat mereka yang berjuang di Amerika Latin ketika kondisi sosial memburuk akibat pandemi, kejahatan dan perdagangan narkoba. Ia juga berdoa agar Tuhan yang bangkit menyertai perjalanan rekonsiliasi yang dilakukan Gereja Katolik di Kanada dengan penduduk asli setempat.Dimenangkan oleh damai sejahtera Kristus----------------------------------------------------------Sebagai penutup, Paus mendorong semua orang untuk mengetahui bahwa terlepas dari kesedihan dan penderitaan yang disebabkan oleh perang dan bencana, bahwa "Yesus Kristus, pemenang atas dosa, ketakutan dan kematian, menasihati kita untuk tidak menyerah pada kejahatan dan kekerasan."“Semoga kita dimenangkan oleh damai Kristus! Perdamaian adalah mungkin; perdamaian adalah kewajiban; perdamaian adalah tanggung jawab utama semua orang!”Sumber : Karya Kepausan Indonesia

Read More

Pesan Malam Paskah Bagi Seluruh Umat Katolik Di Dunia

Semoga kita melihat, mendengar, dan mewartakan bahwa Yesus telah Bangkit==========================Pada Misa Malam Paskah di Basilika Santo Petrus, Paus Fransiskus memfokuskan homilinya tentang bagaimana para wanita Injil membantu melihat sekilas "sinar pertama fajar kehidupan Allah yang terbit dalam kegelapan dunia kita," dan mengajar kita untuk melihat, mendengar dan mewartakan Paskah Tuhan dari kematian ke kehidupan.Paus Fransiskus menghadiri Malam Paskah pada Sabtu malam Suci di Basilika Santo Petrus, yang dipenuhi 5.500 peziarah. Perayaan ini adalah yang paling khusyuk dan paling mulia dari semua Hari Raya.Kardinal Giovanni Battista Re, Dekan Kolese Kardinal, memimpin perayaan tersebut, sementara Paus Fransiskus menyampaikan homilinya dan membaptis tujuh katekumen. Paus telah menderita sakit lutut dalam beberapa bulan terakhir, sesuatu yang juga dia sebutkan ketika berbicara kepada wartawan baru-baru ini setelah perjalanan pastoralnya ke Malta.Kedekatan dengan Ukraina------------------------------Hadir pada perayaan itu adalah anggota delegasi kecil dari Ukraina, yang terdiri dari perwakilan pemerintah daerah dan parlemen negara itu, yang bertemu dengan Paus sesaat sebelum liturgi dimulai.Delegasi itu termasuk walikota Melitopol, Ivan Fedorov, yang sekarang diasingkan. Paus menyambutnya secara khusus selama perayaan itu.“Dalam kegelapan yang Anda jalani ini, Tuan Walikota, Anggota Parlemen, kegelapan perang yang pekat, kekejaman, kami semua berdoa, berdoa bersama Anda dan untuk Anda malam ini. Kami berdoa untuk semua penderitaan. Kami hanya dapat memberi Anda kebersamaan kami, doa kami dan berkata kepada Anda: “Berteguhlah! Kami menyertaimu!” Dan juga untuk mengatakan kepada Anda hal terbesar yang kita rayakan hari ini: Christòs voskrés! Kristus telah bangkit!”Saat menyampaikan homili sambil duduk, Paus mengenang betapa banyak penulis telah membangkitkan keindahan malam berbintang, sedangkan malam perang ditandai dengan aliran cahaya yang menandakan kematian.Dari kebingungan menjadi kegembiraan--------------------------------------------Berkaca pada malam Paskah ini, paus mendorong semua orang untuk melihat cahaya fajar yang penuh harapan seperti yang dialami oleh para wanita Injil yang menemukan makam Yesus yang kosong. Mereka menunjukkan kepada kita "sinar pertama fajar kehidupan Tuhan terbit dalam kegelapan dunia kita."Paus mengenang bagaimana para wanita yang pergi pagi-pagi sekali untuk mengurapi tubuh Yesus terkejut mendapati mayat itu kosong ketika bertemu dua sosok dalam pakaian yang menyilaukan yang memberi tahu mereka bahwa Yesus telah bangkit."Mereka melihat, mereka mendengar, mereka menyatakan" - tiga aspek dari pengalaman mereka yang juga dapat kita peroleh dari mengingat paskah Tuhan dari kematian ke kehidupan.Para wanita melihat----------------------Berita pertama tentang kebangkitan menandai "sebuah tanda yang harus direnungkan," kata Paus, karena itu sepenuhnya membalikkan harapan dan datang sebagai harapan yang menakjubkan dan mengejutkan.Kadang-kadang kabar baik yang radikal banyak yang tidak "menemukan tempat di hati kita," tambah Paus, dan seperti para wanita dalam Injil, kita pada awalnya dapat bereaksi dengan keraguan dan terutama ketakutan, sebagaimana narasi Injil menggambarkan reaksi mereka.Terkadang kita dapat terus melihat kehidupan dan kenyataan dengan perspektif yang tertunduk, lanjut Paus, dan bahkan menghapus masa depan, percaya bahwa segala sesuatunya tidak akan pernah berubah atau membaik, mengubur "kegembiraan hidup."Namun, harapan Paskah yang kita nyatakan hari ini adalah panggilan Tuhan untuk melihat kehidupan dengan mata yang berbeda, dan membuat lompatan untuk benar-benar percaya bahwa "takut, rasa sakit, dan kematian tidak akan menguasai kita."Sementara kematian dapat memenuhi kita dengan ketakutan dan kesedihan, katanya, kita harus ingat bahwa "Tuhan telah bangkit!"“Mari kita angkat pandangan kita, singkirkan selubung kesedihan dan kesedihan dari mata kita, dan buka hati kita untuk harapan yang Tuhan bawa!”Para wanita mendengar--------------------------Mengingat dua pria dengan pakaian mempesona yang berbicara kepada wanita, mengatakan, “Mengapa kamu mencari yang hidup di antara yang mati? Dia tidak ada di sini, tetapi telah bangkit,” kata Paus. Kita sebaiknya mendengar dan mengulangi kata-kata mereka, “Dia tidak ada di sini!”Tanggapan ini juga dapat terjadi pada kita ketika kita berpikir bahwa kita telah memahami segala sesuatu tentang Tuhan dan membiarkan gagasan dan perspektif kita sendiri akan Dia, atau kita hanya mencari Tuhan pada saat dibutuhkan dan melupakan Dia sepanjang hidup kita sehari-hari, atau ketika kita mengabaikan Tuhan yang hadir dalam diri saudara-saudara kita yang membutuhkan bantuan kita.Paus menambahkan bahwa kita perlu membebaskan diri dari cara berpikir dan berperilaku yang hampir mati, di mana kita bisa menjadi tawanan masa lalu, kurang keberanian untuk membiarkan diri kita diampuni oleh Tuhan, untuk memilih mendukung Yesus dan cinta-Nya.Kita perlu menerima dan bertemu dengan Tuhan yang hidup yang ingin mengubah kita dan mengubah dunia kita."Tetapi Tuhan telah bangkit! Janganlah kita tinggal di antara kuburan, tetapi lari untuk menemukan Dia, Yang Hidup! Kita juga tidak boleh takut untuk mencari Dia juga di wajah saudara-saudara kita, dalam kisah mereka yang berharap dan bermimpi, dalam penderitaan mereka yang kita derita: Tuhan ada di sana!” Para wanita mewartakan----------------------------Kata kerja terakhir yang digarisbawahi Paus adalah bagaimana para wanita memberitakan sukacita kebangkitan, membuka "hati terhadap pesan luar biasa tentang kemenangan Allah atas kejahatan dan kematian."Sukacita ini bukan hanya penghiburan yang membahagiakan, tetapi menggerakkan mereka untuk menghasilkan murid-murid misionaris yang "membawa ke seluruh Injil Kristus yang bangkit."Paus mengatakan setelah para wanita melihat dan mendengar, mereka diliputi dengan dorongan dan kegembiraan untuk menyampaikan kabar baik ini, bahkan jika orang mengira mereka gila atau tidak akan mempercayainya.Sukacita Injil--------------Paus mengungkapkan keinginannya untuk sebuah Gereja yang dapat mewartakan dengan cara yang sama, dengan semangat yang sama, sukacita Injil, apa yang dipanggil untuk dilakukan oleh semua orang Kristen "untuk mengalami Kristus yang bangkit dan berbagi pengalaman dengan orang lain" dan sukacita yang dibawanya.“Mari kita membuat Yesus, Yang Hidup, bangkit kembali dari semua kubur di mana kita telah menutup Dia... Mari kita bawa Dia ke dalam kehidupan kita sehari-hari: melalui gerakan perdamaian di hari-hari ini yang ditandai dengan kengerian perang, melalui tindakan rekonsiliasi di tengah hubungan yang rusak, tindakan belas kasih terhadap mereka yang membutuhkan, tindakan keadilan di tengah situasi ketidaksetaraan dan kebenaran di tengah kebohongan. Dan di atas segalanya, melalui karya cinta kasih dan persaudaraan.”Harapan memiliki nama: nama Yesus-----------------------------------------Sebagai kesimpulan, Paus Fransiskus mengingat bagaimana Yesus memasuki "kuburan dosa kita" dan "memikul beban kita" memulihkan kita untuk hidup.“Mari kita rayakan Paskah bersama Kristus! Dia masih hidup! Hari ini juga, Dia berjalan di tengah-tengah kita, mengubah kita dan membebaskan kita... Karena bersama Yesus, Tuhan yang Bangkit, tidak ada malam yang bertahan selamanya; dan bahkan di malam yang paling gelap sekalipun, bintang pagi terus bersinar.”Sumber : Karya Kepausan Indonesia

Read More

Bersama Yesus, tak pernah ada kata terlambat

Paus Fransiskus pada Misa Minggu Palma menyampaikan sebuah pesan yang menarik bagi kita semua umat kristiani di dunia. Kita sebagai umat kristiani diminta dan didorong untuk melakukan perjalanan menuju Paskah dengan pengampunan Tuhan, dan mengingat bahwa ketika Kristus menatap "dunia kita yang kejam dan tersiksa," Yesus tidak pernah bosan mengulangi: "Ya Bapa ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." Bersama Yesus, tidak ada kata terlambat. Bersama-Nya, segala sesuatunya tidak pernah berakhir. Paus Fransiskus menggarisbawahi hal ini selama homilinya pada Minggu Palma, bersikeras bahwa tidak peduli seberapa mengerikan situasinya, tidak ada kata terlambat untuk memulai kembali karena Tuhan menantikan kita dengan belas kasih-Nya. Selamat memasuki Pekan Suci, semoga semakin menghantar kita pada pertobatan sejati untuk menyambut Kebangkitan Kristus yang Jaya pada perayaan Paskah. Teks lengkap homili paus Fransiskus bisa diakses pada website www.karyakepausanindonesia.org

Read More

Menerima Belas Kasih Tuhan dengan Terbuka

Mengingat Perumpamaan tentang Anak yang Hilang, Paus Fransiskus mengatakan ketika hati seseorang selaras dengan Tuhan dan melihat pertobatan seseorang atas kesalahannya, maka akan ada sukacita. Semoga kita juga bersukacita dengan menerima belas kasih Tuhan sehingga menjadi terang yang dengannya kita melihat sesama kita.Sebelum memimpin pendarasan Doa Malaikat Tuhan, Paus Fransiskus menyampaikan renungan mingguannya berkaitan dengan bacaan Injil hari minggu ini yang berbicara tentang Perumpamaan Anak yang Hilang yang menceritakan bagaimana Tuhan "senantiasa mengampuni dengan penuh kasih dan kelembutan." Paus menunjukkan bagaimana kita belajar bahwa Tuhan adalah Bapa yang mengampuni bahkan dengan dosa terburuk kita, menyambut kita kembali dan bersukacita dengan mengadakan pesta untuk kita.“Kita adalah putra itu, dan amat mengharukan jika mengingat betapa Bapa selalu mencintai kita dan menunggu kita.”Membuka hati kita------------------Paus kemudian mengingat bahwa perumpamaan itu menceritakan bagaimana si anak sulung itu marah ketika ayah mereka menyambut kembali anak yang hilang, yang telah menyia-nyiakan semua yang telah dia jalani dalam kehidupan yang hancur sebelum kembali untuk meminta pengampunan. Sikap si anak sulung juga ada dalam diri kita semua, kata Paus, di mana kita tergoda untuk menjadi marah dengan percaya bahwa hubungan kita hanya tentang tugas dan ketaatan pada perintah, sedangkan kita melupakan belas kasih, belas kasih, dan cinta Tuhan yang tak terbatas sebagai Ayah. Dia menambahkan bahwa kita juga harus melihat risiko mendasarkan hubungan kita dengan Tuhan dengan cara yang menjauhkan kita dari-Nya dengan kekakuan kita.Bergembiralah dan bergembiralah===============================Paus kemudian menceritakan ketika Bapa dalam perumpamaan memohon kepada anak sulung untuk membuka hati dalam menyambut adiknya, ketika Bapa membuka hatinya sendiri dan berkata: “Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali." Paus berkata kita juga harus merenungkan sejenak dan melihat apakah kita juga memiliki dua hal yang Bapa butuhkan di dalam hati kita: "untuk bergembira dan bersukacita."Dekat dengan orang yang bertobat---------------------------------“Bergembiralah,” jelas Paus, berarti menunjukkan bahwa kita dekat dengan mereka yang bertobat atau sedang dalam proses melakukannya, bahkan mereka yang masih dalam krisis ataupun yang masih jauh. Dengan melakukan itu, kita dapat mengatasi ketakutan dan keputusasaan kita sendiri dengan lebih baik karena mengingat kesalahan kita sendiri, tambahnya. Seperti Bapa, kita harus menawarkan sambutan hangat dan dorongan kepada semua orang, karena jarak dan kecaman tidak akan membantu. Kita juga harus menjangkau mereka yang jauh, dan berada di sana, untuk mendorong mereka dan merayakan bersama mereka ketika mereka mengubah cara mereka untuk menjadi lebih baik.“Betapa baiknya hati yang terbuka, mendengar dengan tulus, senyuman yang murni dapat dilakukan; untuk merayakannya, bukan untuk membuat mereka merasa tidak nyaman!”Selaraskan hati dengan Tuhan----------------------------Paus kemudian menambahkan bahwa "kita perlu bersukacita." Jika hati kita benar-benar "selaras dengan Tuhan", ketika kita melihat pertobatan seseorang - tidak peduli seberapa serius kesalahannya - kita bersukacita, kita tidak bisa terus menuding-nuding kesalahan yang mereka lakukan, tetapi kita bersukacita bersama untuk jalan kebaikan yang telah dipilih. Jadi marilah kita semua belajar bagaimana bersukacita untuk dan bersama-sama dengan orang lain.“Semoga Perawan Maria mengajari kita bagaimana menerima belas kasih Tuhan sehingga belas kasih itu bisa menjadi terang yang dengannya kita melihat sesama kita.” Sumber Karya Kepausan Indonesia  

Read More

Merefleksikan Puasa dan Pantang Orang Katolik

Menjelang persiapan liturgi Paskah, dalam tradisi Katolik, umat menjalani masa persiapan tersebut dengan melaksanakan pantang dan puasa sebagai bentuk laku tobat untuk mempersiapkan diri, bangkit bersama Kristus. Gereja Katolik mewajibkan setiap umat yang genap berusia 14 tahun untuk berpantang dan setiap umat yang sudah berusia 18 hingga 60 tahun wajib berpantang dan puasa. Puasa wajib dilakukan pada hari Rabu Abu dan Jumat Agung. Jadi bisa dikatakan bahwa kewajiban puasa bagi umat Katolik secara penuh diwajibkan hanya dua hari saja, yakni pada hari yang telah disebutkan tadi. Sedangkan untuk pantang dilakukan pada hari Rabu Abu dan setiap hari Jumat sampai Jumat Suci. Singkat kata, pantang dilakukan hanya 7 kali selama masa Prapaskah berlangsung (Bdk. KHK. Kan 1251).Puasa berarti makan kenyang hanya satu kali dalam sehari. Skema puasa orang Katolik bila dalam keadaan makan normal (3 kali dalam sehari), dapat mengikuti salah satu usulan berikut:Kenyang, tak kenyang, tak kenyang,Tak kenyang, kenyang, tak kenyang,Tak kenyang, tak kenyang, kenyang.Jadi intinya adalah di dalam satu hari, makan kenyang hanya diperbolehkan hanya sekali. Waktu kenyang ini pun dapat dipilih sewaktu makan pagi (sarapan), makan siang atau pun makan malam. Bila dirasa perlu, umat Katolik dapat melaksankan puasa dengan makan hanya satu kali saja dalam hari tersebut. Pantang secara sederhana berarti menghindari hal-hal yang disukai seperti: daging, rokok, garam, gula dan semua manisan, serta segala bentuk hiburan duniawi (Bdk. KHK Kan 1251). Puasa dan pantang menurut ajaran Gereja Katolik seperti di atas memang tidak menitik beratkan pada puasa fisik sehingga bila dibandingkan dengan puasa saudari-saudara kita beragama lain mungkin bisa dikatakan jauh lebih ringan. Akan tetapi yang perlu digarisbawahi adalah puasa dan pantang menurut ajaran Katolik meskipun tidak menekankan matiraga secara fisik namun puasa dan pantang menunut setiap orang melakukan perubahan hidup dan konsisten dalam menghidupi keutamaan-keutamaan yang ingin dihayati singkat kata matiraga tidak sekedar fisik namun juga batin, pikiran, dan jiwa. Puasa dan pantang bagi umat Katolik sangatlah penting. Melalui puasa dan pantang, orang Katolik diundang Tuhan untuk mengambil bagian dalam karya penyelamatan dunia, dengan cara yang paling sederhana, yaitu berdoa dan menyatukan pengorbanan kita dengan pengorbanan Yesus di kayu salib. Puasa orang Katolik merupakan bagian dari latihan rohani untuk memurnikan hati, memfokuskan diri saat bermeditasi dan berdoa, puasa juga sebagai bentuk kurban persembahan diri, puasa juga dapat menjadi sarana keseimbangan diri dari segi rohani dan jasmani, sejenak melihat kembali kehidupan sebagai sebuah anugerah dengan memusatkan diri pada Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus dalam situasi doa, intim dan tersembunyi. Orang berpuasa menandakan adanya kesungguhan pada orang yang menaikkan permohonan doanya, dan memperkuat seruannya di hadapan takhta Allah. Orang yang berdoa sambil berpuasa menyatakan bahwa dirinya sungguh-sungguh memohon. Bagi orang Katolik, puasa dan pantang merupakan sarana untuk lebih merendahkan diri di hadapan Allah, tidak sibuk dengan dirinya sendiri, semakin menunjukkan solidaritas kepada sesama terutama yang papa, dan tidak berbuat jahat. Sebenarnya masih banyak hal yang dapat digali lebih dalam ketika kita berdoa, puasa, dan pantang dalam masa Prapaskah. Namun bagi saya secara pribadi, puasa dan pantang orang Katolik merupakan sebuah bentuk latihan rohani yang sungguh didasarkan pada kebijaksanaan, bahwa fokus puasa dan pantang bukan orang lain, melainkan diri pribadi. Hal yang cukup menohok yang bagi saya, sekaligus memotivasi dan menunjukkan hal tersebut adalah khotbah Yesus saat berada di bukit:“Apabila kamu berpuasa, Janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi apabila engkau berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu supaya jangan dilihat orang bahwa rngkau sedang berpuasa. Melainkan hanya oleh Bapamu yang ada di tempat tersembunyi. Maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu.” Jadi, selamat berproses dalam rangkaian olah rohani di dalam masa Prapaskah ini. Shaloom!

Read More

Signifikansi Teologis Dari Konsekrasi

Beberapa saat lagi paus Fransiskus akan menguduskan Rusia dan Ukraina ke Hati Maria yang Tak Bernoda. Pastor Stefano Cecchin, OFM, Presiden Akademi Kepausan Maria Internasional, mengatakan "Damai selalu lahir dari Allah dan oleh karena itu, seturut dengan hati Maria yang amat mengasihi Dia."Saat anak-anak berpaling kepada Ibu mereka, demikian pula umat manusia mempercayakan dirinya kepada Maria, Ratu Perdamaian, di tengah badai, perang yang meletus sebulan lalu antara Rusia dan Ukraina."Demi engkau, kami mempersembahkan masa depan seluruh keluarga manusia, kebutuhan dan harapan setiap orang, kecemasan dan harapan dunia."Kata-kata Akta Konsekrasi Rusia dan Ukraina kepada Hati Maria yang Tak Bernoda ini bergema pada hari Jumat sekitar pukul 18:30, waktu setempat (23:30 WIB), di Basilika Santo Petrus, ketika Paus memimpin Ritus Rekonsiliasi dengan pengakuan dosa dan absolusi individu.Ibadat Pengudusan yang sama sedang didoakan pada hari Jumat ini oleh semua uskup di dunia. Di Fatima, Kardinal Konrad Krajewski, almoner kepausan, bertindak sebagai utusan khusus Paus Fransiskus.Seturut dengan hati Maria------------------------------Keputusan Paus Fransiskus untuk menguduskan Rusia, Ukraina dan seluruh umat manusia kepada Hati Maria yang Tak Bernoda adalah sesuai dengan tradisi Magisterium Gereja, yang selalu memandang Bunda Maria sebagai orang yang dapat dipercayakan pada saat-saat sulit yang menguji di dunia ini.Dalam sebuah wawancara dengan Vatican News, Ahli Mariologi Pastor Stefano Cecchin, OFM, Presiden Akademi Kepausan Maria Internasional, menggarisbawahi signifikansi teologis dari konsekrasi ini."Untuk menemukan kedamaian kita harus menyelaraskan diri dengan hati Maria, hati yang sangat mencintai," katanya. Pada bulan Oktober 2020, ketika bertemu dengan para guru dan siswa Fakultas Teologi Kepausan Marianum di Roma, Paus mengajak mereka untuk tetap "selalu memperhatikan tanda-tanda zaman Maria yang berjalan melalui zaman kita."Menurut Pastor Cecchin, keputusan Paus Fransiskus untuk memperbarui konsekrasi pada momen bersejarah ini justru berasal dari perhatian ini: "Ketika ada perang dalam sebuah keluarga, seseorang mempercayakan dirinya kepada Bunda." Sumber Karya Kepausan Indonesia

Read More

Pertemuan IV APP Keuskupan Surabaya

PERSEMBAHANKU DAN PERSEMBAHANMU : LITURGI EKARISTI Gagasan PokokPuncak dari perayaan Ekaristi adalah Liturgi Ekaristi. Apa yang terjadi dalam Liturgi Ekaristi berasal dari Perjamuan Terakhir sebelum Tuhan Yesus mengalami sengsara, wafat dan bangkit dari mati. Dalam Perjamuan Terakhir itulah Tuhan Yesus mengubah roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah-Nya untuk keselamatan manusia.Sebelum Perjamuan Terakhir, para murid mempersiapkan roti dan anggur yang akan diubah oleh Tuhan Yesus menjadi Tubuh dan Darah-Nya. Demikian pula, kita sebagai persekutuan murid-murid Tuhan Yesus mempersembahkan roti dan anggur sebagai persembahan utama yang akan diubah menjadi Tubuh dan Darah Tuhan Yesus. Roti sebagai hasil bumi dan usaha manusia yang kita persembahkan akan diubah menjadi roti kehidupan, yaitu Tubuh Kristus. Dan anggur sebagai hasil pokok anggur dan usaha manusia yang kita persembahkan akan diubah menjadi minuman rohani, yaitu Darah Kristus. Maka bersama roti dan anggur itu, kita sebagai Gereja juga mempersembahkan diri agar disatukan dengan persembahan roti dan anggur.Tujuan Umat memahami bahwa Liturgi Ekaristi sebagai puncak Perayaan Ekaristi didahului dengan persiapan persembahan, yaitu tindakan dan doa-doa oleh imam atas roti dan anggur yang akan diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Umat juga ajak untuk mempersembahkan seluruh hidup bersama dengan persembahan roti dan anggur yang telah diubah menjadi tubuh dan darah Kristus.Umat ikut serta secara aktif dalam persembahan diri bersama persembahan roti dan anggur.Pengantar Para saudara terkasih. Dalam pertemuan ini kita melanjutkan perjalanan pendalaman bagian-bagian Ekaristi yang setiap kali kita rayakan sebagai puncak dan sumber iman Gereja. Setelah Liturgi Sabda yang kita dalami dalam pertemuan ketiga, kita masuk ke bagian persiapan persembahan yang mengawali Liturgi Ekaristi. Dalam bagian ini, roti dan anggur sebagai persembahan utama bersama bahan-bahan persembahan lain, termasuk kolekte, dibawa untuk dipersembahkan. Hanya roti dan anggur sebagai persembahan utama yang diletakkan di atas altar. Sedangkan bahan persembahan lainnya, diletakkan di tempat lain.  Dalam mempersiapkan persembahan, ada beberapa tindakan yang dilakukan oleh imam dengan diiringi doa-doa. Marilah kita mempersiapkan diri dengan hening sejenak dan mohon rahmat Roh Kudus. . . .Belajar Ajaran Gereja Konstitusi Liturgi Artikel 48.Para saudara terkasih. Mari kita membaca dan cermati bacaan di bawah ini yang diambil dari Konstitusi Liturgi artikel 48. “Maka dari itu Gereja dengan susah payah berusaha, jangan sampai Umat beriman menghadiri misteri iman itu sebagai orang luar atau penonton yang bisu, melainkan supaya melalui upacara dan doa-doa memahami misteri itu dengan baik, dan ikut-serta penuh khidmat dan secara aktif. Hendaknya mereka rela diajar oleh sabda Allah, disegarkan oleh santapan Tubuh Tuhan, bersyukur kepada Allah. Hendaknya sambil mempersembahkan Hosti yang tak bernoda bukan saja melalui tangan imam melainkan juga bersama dengannya, mereka belajar mempersembahkan diri, dari hari ke hari –berkat perantaraan Kristus– makin penuh dipersatukan dengan Allah dan antar mereka sendiri, sehingga akhirnya Allah menjadi segalanya dalam semua. Makna dan Pesan dari Konstitusi Liturgi Artikel 48. Dalam pertemuan pertama, kita diingatkan betapa pentingnya bagi iman kita untuk menguduskan hari Minggu sebagai perayaan kebangkitan Tuhan Yesus. Oleh karena itu, setiap hari Minggu semua umat Katolik wajib berkumpul untuk merayakan kebangkitan Tuhan dengan mendengarkan Sabda Allah dan Ekaristi Suci. Dalam pertemuan kedua, kita diajak untuk menyegarkan kembali makna Ritus Pembuka yang tersusun mulai dengan perarakan imam menuju panti imam sampai Doa Kolekta atau Doa Pembuka. Sedangkan dalam pertemuan ketiga, kita diajak menyegarkan kembali makna Liturgi Sabda di mana terjadi dialog antara Allah yang hadir dalam Sabda-Nya dan tanggapan kita terhadap Sabda Allah. Dalam pertemuan keempat ini kita diajak untuk mendalami persiapan persembahan yang mengawali Liturgi Ekaristi. Roti dan anggur sebagai persembahan utama dibawa ke altar. Kemudian imam mempersiapkan altar tempat roti dan anggur akan dikuduskan menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Selain roti dan anggur sebagai persembahan utama, juga dipersembahkan bahan-bahan persembahan lain misalnya bahan pangan untuk dibagikan bagi yang kekurangan. Jadi bahan persembahan lainnya itu bukan untuk romo. Juga dipersembahkan kolekte yang dikumpulkan dari umat. Perlu disadari bersama bahwa kolekte itu bukanlah urunan atau tarikan atau donasi, tetapi ungkapan syukur atas penyertaan Allah yang memberi rejeki dari hasil kerja atau usaha. Ungkapan syukur itu dipersembahkan dengan tulus bersama roti dan anggur yang akan diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Kolekte yang dipersembahkan bersama roti dan anggur ini dipergunakan untuk kebutuhan kehidupan Gereja dan untuk mereka yang miskin. Bahan persembahan lain dan kolekte diletakkan di tempat khusus, bukan di altar.Konstitusi liturgi menegaskan bahwa bersama Hosti tak bernoda yang dipersembahkan imam, kita juga belajar mempersembahkan diri. Dengan demikian berkat perantaraan Kristus, dari hari ke hari, kita makin penuh dipersatukan dengan Allah dan dengan umat beriman lainnya. Maka kolekte dan persembahan bahan lain, merupakan ungkapan syukur yang kita persembahkan, bersama persembahan roti dan anggur yang akan diubah oleh Tuhan Yesus menjadi Tubuh dan Darah-Nya. Ketika seorang imam mengucapkan doa “Terpujilah Terpujilah Engkau, Tuhan, Allah semesta alam, sebab dari kemurahan-Mu kami menerima roti, yang kami persembahkan kepada-Mu, hasil bumi dan usaha manusia yang bagi kami akan menjadi roti kehidupan” mengungkapkan  pengakuan iman atas kemurahan Allah yaitu hasil bumi dan usaha manusia. Maka bagi murid-murid Kristus, hasil bumi dan usaha manusia, keduanya merupakan kemurahan Allah. Roti kecil dan sederhana yang merupakan wujud kemurahan Allah ini, bagi murid-murid Kristus akan menjadi roti kehidupan. Dengan demikian, roti sederhana itu bukanlah sekedar makanan untuk kebutuhan biologis, tetapi akan diubah menjadi Roti Kehidupan, yaitu Tuhan Yesus sendiri. Atas doa imam itu, umat menjawab: Terpujilah Allah selama-lamanya. Jawaban umat ini merupakan ungkapan iman setiap kali berhadapan dengan kemurahan hati Allah, yaitu selalu memuji Allah yang kekal. Ketika seorang imam mengucapkan doa “Sebagaimana dilambangkan oleh percampuran air dan anggur ini, semoga kami layak mengambil bagian dalam keallahan Kristus, yang telah berkenan menjadi manusia seperti kami.” Ada beberapa hal penting yang perlu disadari bersama dari doa imam ini. Pertama, percampuran air dan anggur melambangkan air dan darah yang keluar dari lambung Tuhan Yesus di atas salib. Keluarnya air dan darah dari lambung Tuhan Yesus diimani sebagai kelahiran Gereja dan sakramen-sakramennya. Kedua, anggur dan air juga melambangkan keilahian dan kemanusiaan, yaitu penjelmaan Allah menjadi manusia dalam diri Tuhan Yesus. Dan karena itulah manusia dapat mengambil bagian dalam keilahian Tuhan Yesus. Ketiga, pencampuran air dan anggur mengungkapkan makna kesatuan tak terpisahkan antara Tuhan Yesus dan kita. Ketika seorang imam mengucapkan doa “Terpujilah Engkau, Tuhan, Allah semesta alam, sebab dari kemurahan-Mu kami menerima anggur, yang kami persembahkan kepada-Mu, hasil pokok anggur dan usaha manusia, yang bagi kami akan menjadi minuman rohani.” Doa tersebut memiliki makna yang sama seperti ketika imam mendoakan roti, yaitu bahwa anggur ini merupakan wujud kemurahan Allah dalam hasil bumi dan usaha manusia yang bagi para murid Kristus akan menjadi kekuatan ilahi, yaitu minuman rohani.Selanjutnya imam membasuh tangannya dengan air yang memohon agar Allah membersihkan dari kesalahan dan menyucikan dari dosa sehingga dia layak untuk menghadirkan Kristus yang memimpin Doa Syukur Agung. Setelah itu, imam mengajak umat untuk berdoa: Berdoalah, Saudara-saudari supaya persembahanku dan persembahanmu berkenan kepada Allah, Bapa yang Mahakuasa. Kata “ku” dalam persembahan itu menunjuk pada diri imam; dan kata “mu” menunjuk pada diri umat secara pribadi. Yang dimaksud dengan persembahan imam dan persembahan umat adalah roti dan anggur serta seluruh diri seutuhnya. Dengan demikian bersama persembahan roti dan anggur, imam dan umat mempersembahkan kepada Allah seluruh hidupnya. Konstitusi Liturgi yang kita baca tadi menegaskan hal itu. Umat menjawab yang berisi harapan persembahan roti dan anggur berserta seluruh hidup diterima demi kemuliaan Allah, keselamatan jiwa kita dan seluruh umat Allah yang kudus.Pemeriksaan BatinPara saudara terkasih. Gereja mengajak kita merayakan Ekaristi bukan sebagai orang luar dan penonton yang pasif, tetapi merayakan Ekaristi dengan memahami makna iman yang terkandung di dalamnya, berpartisipasi dengan aktif dan penuh khidmat. Apakah selama ini kita merayakan Ekaristi dengan khidmat dan aktif? Apa saja yang menjadi hambatan sehingga kita tidak merayakan Ekaristi dengan khidmat dan aktif? Setiap kali Ekaristi, kita memberikan kolekte. Apa yang ada dalam hati dan budi kita ketika memberikan kolekte? Bagaimana sikap hati ketika kita menjawab doa imam atas persembahan roti dan anggur? Ketika imam mengajak kita untuk berdoa agar persembahanku dan persembahanmu berkenan kepada Allah, apa yang kita persembahkan kepada Allah? Apa yang perlu kita perbaiki agar kita dengan sepenuh hati dapat ikut serta mempersembahkan hidup bersama persembahan roti dan anggur? Intensi Pribadi/BersamaPara saudara terkasih. Melalui Gereja-Nya, Allah selalu mengajak kita untuk belajar mempersembahkan hidup demi kemuliaan Allah. Oleh karena itu, marilah kita mempersembahkan doa-doa permohonan kita. Doa Bapa KamiKita satukan seluruh proses pendalaman iman kita dan permohonan-permohonan dengan doa Tuhan: Bapa kami..DOA PENUTUP Ya Bapa yang Maha Pengasih, kami telah mendalami makna iman dalam persiapan persembahan. Ketika imam mempersiapkan persembahan utama roti dan anggur yang akan dikuduskan oleh Tuhan Yesus menjadi Tubuh dan Darah-Nya, kami juga Engkau undang untuk mempersembahkan diri kami. Ampunilah kami jika selama ini Engkau kurang berkenan dengan apa yang kami persembahkan. Utuslah Roh Kudus-Mu untuk memurnikan hati dan diri kami sehingga setiap kali merayakan Ekaristi, kami dapat mempersembahkan diri dengan tulus bersama persembahan roti dan anggur. Dengan pengantaraan Yesus Kristus, Tuhan dan Guru kami, yang berkuasa bersama Dikau dan Roh Kudus, sepanjang segala masa, Amin. BERKAT Marilah kita hening sejenak, mohon berkat Tuhan bagi kita yang hadir di sini, bagi keluarga dan juga bagi umat di lingkungan/stasi. Semoga Tuhan beserta kita. Semoga kita semua, seluruh anggota keluarga dan saudara kita di lingkungan/stasi . . . senantiasa dibimbing dan dilindungi oleh berkat Allah Yang Mahakuasa: Dalam Nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus, Amin. Sumber : Buku Panduan APP Keuskupan Surabaya 2022

Read More

Pertemuan IV APP Keuskupan Surabaya

PERSEMBAHANKU DAN PERSEMBAHANMU : LITURGI EKARISTI Gagasan PokokPuncak dari perayaan Ekaristi adalah Liturgi Ekaristi. Apa yang terjadi dalam Liturgi Ekaristi berasal dari Perjamuan Terakhir sebelum Tuhan Yesus mengalami sengsara, wafat dan bangkit dari mati. Dalam Perjamuan Terakhir itulah Tuhan Yesus mengubah roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah-Nya untuk keselamatan manusia.Sebelum Perjamuan Terakhir, para murid mempersiapkan roti dan anggur yang akan diubah oleh Tuhan Yesus menjadi Tubuh dan Darah-Nya. Demikian pula, kita sebagai persekutuan murid-murid Tuhan Yesus mempersembahkan roti dan anggur sebagai persembahan utama yang akan diubah menjadi Tubuh dan Darah Tuhan Yesus. Roti sebagai hasil bumi dan usaha manusia yang kita persembahkan akan diubah menjadi roti kehidupan, yaitu Tubuh Kristus. Dan anggur sebagai hasil pokok anggur dan usaha manusia yang kita persembahkan akan diubah menjadi minuman rohani, yaitu Darah Kristus. Maka bersama roti dan anggur itu, kita sebagai Gereja juga mempersembahkan diri agar disatukan dengan persembahan roti dan anggur.Tujuan Umat memahami bahwa Liturgi Ekaristi sebagai puncak Perayaan Ekaristi didahului dengan persiapan persembahan, yaitu tindakan dan doa-doa oleh imam atas roti dan anggur yang akan diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Umat juga ajak untuk mempersembahkan seluruh hidup bersama dengan persembahan roti dan anggur yang telah diubah menjadi tubuh dan darah Kristus.Umat ikut serta secara aktif dalam persembahan diri bersama persembahan roti dan anggur.Pengantar Para saudara terkasih. Dalam pertemuan ini kita melanjutkan perjalanan pendalaman bagian-bagian Ekaristi yang setiap kali kita rayakan sebagai puncak dan sumber iman Gereja. Setelah Liturgi Sabda yang kita dalami dalam pertemuan ketiga, kita masuk ke bagian persiapan persembahan yang mengawali Liturgi Ekaristi. Dalam bagian ini, roti dan anggur sebagai persembahan utama bersama bahan-bahan persembahan lain, termasuk kolekte, dibawa untuk dipersembahkan. Hanya roti dan anggur sebagai persembahan utama yang diletakkan di atas altar. Sedangkan bahan persembahan lainnya, diletakkan di tempat lain.  Dalam mempersiapkan persembahan, ada beberapa tindakan yang dilakukan oleh imam dengan diiringi doa-doa. Marilah kita mempersiapkan diri dengan hening sejenak dan mohon rahmat Roh Kudus. . . .Belajar Ajaran Gereja Konstitusi Liturgi Artikel 48.Para saudara terkasih. Mari kita membaca dan cermati bacaan di bawah ini yang diambil dari Konstitusi Liturgi artikel 48. “Maka dari itu Gereja dengan susah payah berusaha, jangan sampai Umat beriman menghadiri misteri iman itu sebagai orang luar atau penonton yang bisu, melainkan supaya melalui upacara dan doa-doa memahami misteri itu dengan baik, dan ikut-serta penuh khidmat dan secara aktif. Hendaknya mereka rela diajar oleh sabda Allah, disegarkan oleh santapan Tubuh Tuhan, bersyukur kepada Allah. Hendaknya sambil mempersembahkan Hosti yang tak bernoda bukan saja melalui tangan imam melainkan juga bersama dengannya, mereka belajar mempersembahkan diri, dari hari ke hari –berkat perantaraan Kristus– makin penuh dipersatukan dengan Allah dan antar mereka sendiri, sehingga akhirnya Allah menjadi segalanya dalam semua. Makna dan Pesan dari Konstitusi Liturgi Artikel 48. Dalam pertemuan pertama, kita diingatkan betapa pentingnya bagi iman kita untuk menguduskan hari Minggu sebagai perayaan kebangkitan Tuhan Yesus. Oleh karena itu, setiap hari Minggu semua umat Katolik wajib berkumpul untuk merayakan kebangkitan Tuhan dengan mendengarkan Sabda Allah dan Ekaristi Suci. Dalam pertemuan kedua, kita diajak untuk menyegarkan kembali makna Ritus Pembuka yang tersusun mulai dengan perarakan imam menuju panti imam sampai Doa Kolekta atau Doa Pembuka. Sedangkan dalam pertemuan ketiga, kita diajak menyegarkan kembali makna Liturgi Sabda di mana terjadi dialog antara Allah yang hadir dalam Sabda-Nya dan tanggapan kita terhadap Sabda Allah. Dalam pertemuan keempat ini kita diajak untuk mendalami persiapan persembahan yang mengawali Liturgi Ekaristi. Roti dan anggur sebagai persembahan utama dibawa ke altar. Kemudian imam mempersiapkan altar tempat roti dan anggur akan dikuduskan menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Selain roti dan anggur sebagai persembahan utama, juga dipersembahkan bahan-bahan persembahan lain misalnya bahan pangan untuk dibagikan bagi yang kekurangan. Jadi bahan persembahan lainnya itu bukan untuk romo. Juga dipersembahkan kolekte yang dikumpulkan dari umat. Perlu disadari bersama bahwa kolekte itu bukanlah urunan atau tarikan atau donasi, tetapi ungkapan syukur atas penyertaan Allah yang memberi rejeki dari hasil kerja atau usaha. Ungkapan syukur itu dipersembahkan dengan tulus bersama roti dan anggur yang akan diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Kolekte yang dipersembahkan bersama roti dan anggur ini dipergunakan untuk kebutuhan kehidupan Gereja dan untuk mereka yang miskin. Bahan persembahan lain dan kolekte diletakkan di tempat khusus, bukan di altar.Konstitusi liturgi menegaskan bahwa bersama Hosti tak bernoda yang dipersembahkan imam, kita juga belajar mempersembahkan diri. Dengan demikian berkat perantaraan Kristus, dari hari ke hari, kita makin penuh dipersatukan dengan Allah dan dengan umat beriman lainnya. Maka kolekte dan persembahan bahan lain, merupakan ungkapan syukur yang kita persembahkan, bersama persembahan roti dan anggur yang akan diubah oleh Tuhan Yesus menjadi Tubuh dan Darah-Nya. Ketika seorang imam mengucapkan doa “Terpujilah Terpujilah Engkau, Tuhan, Allah semesta alam, sebab dari kemurahan-Mu kami menerima roti, yang kami persembahkan kepada-Mu, hasil bumi dan usaha manusia yang bagi kami akan menjadi roti kehidupan” mengungkapkan  pengakuan iman atas kemurahan Allah yaitu hasil bumi dan usaha manusia. Maka bagi murid-murid Kristus, hasil bumi dan usaha manusia, keduanya merupakan kemurahan Allah. Roti kecil dan sederhana yang merupakan wujud kemurahan Allah ini, bagi murid-murid Kristus akan menjadi roti kehidupan. Dengan demikian, roti sederhana itu bukanlah sekedar makanan untuk kebutuhan biologis, tetapi akan diubah menjadi Roti Kehidupan, yaitu Tuhan Yesus sendiri. Atas doa imam itu, umat menjawab: Terpujilah Allah selama-lamanya. Jawaban umat ini merupakan ungkapan iman setiap kali berhadapan dengan kemurahan hati Allah, yaitu selalu memuji Allah yang kekal. Ketika seorang imam mengucapkan doa “Sebagaimana dilambangkan oleh percampuran air dan anggur ini, semoga kami layak mengambil bagian dalam keallahan Kristus, yang telah berkenan menjadi manusia seperti kami.” Ada beberapa hal penting yang perlu disadari bersama dari doa imam ini. Pertama, percampuran air dan anggur melambangkan air dan darah yang keluar dari lambung Tuhan Yesus di atas salib. Keluarnya air dan darah dari lambung Tuhan Yesus diimani sebagai kelahiran Gereja dan sakramen-sakramennya. Kedua, anggur dan air juga melambangkan keilahian dan kemanusiaan, yaitu penjelmaan Allah menjadi manusia dalam diri Tuhan Yesus. Dan karena itulah manusia dapat mengambil bagian dalam keilahian Tuhan Yesus. Ketiga, pencampuran air dan anggur mengungkapkan makna kesatuan tak terpisahkan antara Tuhan Yesus dan kita. Ketika seorang imam mengucapkan doa “Terpujilah Engkau, Tuhan, Allah semesta alam, sebab dari kemurahan-Mu kami menerima anggur, yang kami persembahkan kepada-Mu, hasil pokok anggur dan usaha manusia, yang bagi kami akan menjadi minuman rohani.” Doa tersebut memiliki makna yang sama seperti ketika imam mendoakan roti, yaitu bahwa anggur ini merupakan wujud kemurahan Allah dalam hasil bumi dan usaha manusia yang bagi para murid Kristus akan menjadi kekuatan ilahi, yaitu minuman rohani.Selanjutnya imam membasuh tangannya dengan air yang memohon agar Allah membersihkan dari kesalahan dan menyucikan dari dosa sehingga dia layak untuk menghadirkan Kristus yang memimpin Doa Syukur Agung. Setelah itu, imam mengajak umat untuk berdoa: Berdoalah, Saudara-saudari supaya persembahanku dan persembahanmu berkenan kepada Allah, Bapa yang Mahakuasa. Kata “ku” dalam persembahan itu menunjuk pada diri imam; dan kata “mu” menunjuk pada diri umat secara pribadi. Yang dimaksud dengan persembahan imam dan persembahan umat adalah roti dan anggur serta seluruh diri seutuhnya. Dengan demikian bersama persembahan roti dan anggur, imam dan umat mempersembahkan kepada Allah seluruh hidupnya. Konstitusi Liturgi yang kita baca tadi menegaskan hal itu. Umat menjawab yang berisi harapan persembahan roti dan anggur berserta seluruh hidup diterima demi kemuliaan Allah, keselamatan jiwa kita dan seluruh umat Allah yang kudus.Pemeriksaan BatinPara saudara terkasih. Gereja mengajak kita merayakan Ekaristi bukan sebagai orang luar dan penonton yang pasif, tetapi merayakan Ekaristi dengan memahami makna iman yang terkandung di dalamnya, berpartisipasi dengan aktif dan penuh khidmat. Apakah selama ini kita merayakan Ekaristi dengan khidmat dan aktif? Apa saja yang menjadi hambatan sehingga kita tidak merayakan Ekaristi dengan khidmat dan aktif? Setiap kali Ekaristi, kita memberikan kolekte. Apa yang ada dalam hati dan budi kita ketika memberikan kolekte? Bagaimana sikap hati ketika kita menjawab doa imam atas persembahan roti dan anggur? Ketika imam mengajak kita untuk berdoa agar persembahanku dan persembahanmu berkenan kepada Allah, apa yang kita persembahkan kepada Allah? Apa yang perlu kita perbaiki agar kita dengan sepenuh hati dapat ikut serta mempersembahkan hidup bersama persembahan roti dan anggur? Intensi Pribadi/BersamaPara saudara terkasih. Melalui Gereja-Nya, Allah selalu mengajak kita untuk belajar mempersembahkan hidup demi kemuliaan Allah. Oleh karena itu, marilah kita mempersembahkan doa-doa permohonan kita. Doa Bapa KamiKita satukan seluruh proses pendalaman iman kita dan permohonan-permohonan dengan doa Tuhan: Bapa kami..DOA PENUTUP Ya Bapa yang Maha Pengasih, kami telah mendalami makna iman dalam persiapan persembahan. Ketika imam mempersiapkan persembahan utama roti dan anggur yang akan dikuduskan oleh Tuhan Yesus menjadi Tubuh dan Darah-Nya, kami juga Engkau undang untuk mempersembahkan diri kami. Ampunilah kami jika selama ini Engkau kurang berkenan dengan apa yang kami persembahkan. Utuslah Roh Kudus-Mu untuk memurnikan hati dan diri kami sehingga setiap kali merayakan Ekaristi, kami dapat mempersembahkan diri dengan tulus bersama persembahan roti dan anggur. Dengan pengantaraan Yesus Kristus, Tuhan dan Guru kami, yang berkuasa bersama Dikau dan Roh Kudus, sepanjang segala masa, Amin. BERKAT Marilah kita hening sejenak, mohon berkat Tuhan bagi kita yang hadir di sini, bagi keluarga dan juga bagi umat di lingkungan/stasi. Semoga Tuhan beserta kita. Semoga kita semua, seluruh anggota keluarga dan saudara kita di lingkungan/stasi . . . senantiasa dibimbing dan dilindungi oleh berkat Allah Yang Mahakuasa: Dalam Nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus, Amin. Sumber : Buku Panduan APP Keuskupan Surabaya 2022

Read More

Pertemuan IV APP Keuskupan Surabaya

PERSEMBAHANKU DAN PERSEMBAHANMU : LITURGI EKARISTI Gagasan PokokPuncak dari perayaan Ekaristi adalah Liturgi Ekaristi. Apa yang terjadi dalam Liturgi Ekaristi berasal dari Perjamuan Terakhir sebelum Tuhan Yesus mengalami sengsara, wafat dan bangkit dari mati. Dalam Perjamuan Terakhir itulah Tuhan Yesus mengubah roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah-Nya untuk keselamatan manusia.Sebelum Perjamuan Terakhir, para murid mempersiapkan roti dan anggur yang akan diubah oleh Tuhan Yesus menjadi Tubuh dan Darah-Nya. Demikian pula, kita sebagai persekutuan murid-murid Tuhan Yesus mempersembahkan roti dan anggur sebagai persembahan utama yang akan diubah menjadi Tubuh dan Darah Tuhan Yesus. Roti sebagai hasil bumi dan usaha manusia yang kita persembahkan akan diubah menjadi roti kehidupan, yaitu Tubuh Kristus. Dan anggur sebagai hasil pokok anggur dan usaha manusia yang kita persembahkan akan diubah menjadi minuman rohani, yaitu Darah Kristus. Maka bersama roti dan anggur itu, kita sebagai Gereja juga mempersembahkan diri agar disatukan dengan persembahan roti dan anggur.Tujuan Umat memahami bahwa Liturgi Ekaristi sebagai puncak Perayaan Ekaristi didahului dengan persiapan persembahan, yaitu tindakan dan doa-doa oleh imam atas roti dan anggur yang akan diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Umat juga ajak untuk mempersembahkan seluruh hidup bersama dengan persembahan roti dan anggur yang telah diubah menjadi tubuh dan darah Kristus.Umat ikut serta secara aktif dalam persembahan diri bersama persembahan roti dan anggur.Pengantar Para saudara terkasih. Dalam pertemuan ini kita melanjutkan perjalanan pendalaman bagian-bagian Ekaristi yang setiap kali kita rayakan sebagai puncak dan sumber iman Gereja. Setelah Liturgi Sabda yang kita dalami dalam pertemuan ketiga, kita masuk ke bagian persiapan persembahan yang mengawali Liturgi Ekaristi. Dalam bagian ini, roti dan anggur sebagai persembahan utama bersama bahan-bahan persembahan lain, termasuk kolekte, dibawa untuk dipersembahkan. Hanya roti dan anggur sebagai persembahan utama yang diletakkan di atas altar. Sedangkan bahan persembahan lainnya, diletakkan di tempat lain.  Dalam mempersiapkan persembahan, ada beberapa tindakan yang dilakukan oleh imam dengan diiringi doa-doa. Marilah kita mempersiapkan diri dengan hening sejenak dan mohon rahmat Roh Kudus. . . .Belajar Ajaran Gereja Konstitusi Liturgi Artikel 48.Para saudara terkasih. Mari kita membaca dan cermati bacaan di bawah ini yang diambil dari Konstitusi Liturgi artikel 48. “Maka dari itu Gereja dengan susah payah berusaha, jangan sampai Umat beriman menghadiri misteri iman itu sebagai orang luar atau penonton yang bisu, melainkan supaya melalui upacara dan doa-doa memahami misteri itu dengan baik, dan ikut-serta penuh khidmat dan secara aktif. Hendaknya mereka rela diajar oleh sabda Allah, disegarkan oleh santapan Tubuh Tuhan, bersyukur kepada Allah. Hendaknya sambil mempersembahkan Hosti yang tak bernoda bukan saja melalui tangan imam melainkan juga bersama dengannya, mereka belajar mempersembahkan diri, dari hari ke hari –berkat perantaraan Kristus– makin penuh dipersatukan dengan Allah dan antar mereka sendiri, sehingga akhirnya Allah menjadi segalanya dalam semua. Makna dan Pesan dari Konstitusi Liturgi Artikel 48. Dalam pertemuan pertama, kita diingatkan betapa pentingnya bagi iman kita untuk menguduskan hari Minggu sebagai perayaan kebangkitan Tuhan Yesus. Oleh karena itu, setiap hari Minggu semua umat Katolik wajib berkumpul untuk merayakan kebangkitan Tuhan dengan mendengarkan Sabda Allah dan Ekaristi Suci. Dalam pertemuan kedua, kita diajak untuk menyegarkan kembali makna Ritus Pembuka yang tersusun mulai dengan perarakan imam menuju panti imam sampai Doa Kolekta atau Doa Pembuka. Sedangkan dalam pertemuan ketiga, kita diajak menyegarkan kembali makna Liturgi Sabda di mana terjadi dialog antara Allah yang hadir dalam Sabda-Nya dan tanggapan kita terhadap Sabda Allah. Dalam pertemuan keempat ini kita diajak untuk mendalami persiapan persembahan yang mengawali Liturgi Ekaristi. Roti dan anggur sebagai persembahan utama dibawa ke altar. Kemudian imam mempersiapkan altar tempat roti dan anggur akan dikuduskan menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Selain roti dan anggur sebagai persembahan utama, juga dipersembahkan bahan-bahan persembahan lain misalnya bahan pangan untuk dibagikan bagi yang kekurangan. Jadi bahan persembahan lainnya itu bukan untuk romo. Juga dipersembahkan kolekte yang dikumpulkan dari umat. Perlu disadari bersama bahwa kolekte itu bukanlah urunan atau tarikan atau donasi, tetapi ungkapan syukur atas penyertaan Allah yang memberi rejeki dari hasil kerja atau usaha. Ungkapan syukur itu dipersembahkan dengan tulus bersama roti dan anggur yang akan diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Kolekte yang dipersembahkan bersama roti dan anggur ini dipergunakan untuk kebutuhan kehidupan Gereja dan untuk mereka yang miskin. Bahan persembahan lain dan kolekte diletakkan di tempat khusus, bukan di altar.Konstitusi liturgi menegaskan bahwa bersama Hosti tak bernoda yang dipersembahkan imam, kita juga belajar mempersembahkan diri. Dengan demikian berkat perantaraan Kristus, dari hari ke hari, kita makin penuh dipersatukan dengan Allah dan dengan umat beriman lainnya. Maka kolekte dan persembahan bahan lain, merupakan ungkapan syukur yang kita persembahkan, bersama persembahan roti dan anggur yang akan diubah oleh Tuhan Yesus menjadi Tubuh dan Darah-Nya. Ketika seorang imam mengucapkan doa “Terpujilah Terpujilah Engkau, Tuhan, Allah semesta alam, sebab dari kemurahan-Mu kami menerima roti, yang kami persembahkan kepada-Mu, hasil bumi dan usaha manusia yang bagi kami akan menjadi roti kehidupan” mengungkapkan  pengakuan iman atas kemurahan Allah yaitu hasil bumi dan usaha manusia. Maka bagi murid-murid Kristus, hasil bumi dan usaha manusia, keduanya merupakan kemurahan Allah. Roti kecil dan sederhana yang merupakan wujud kemurahan Allah ini, bagi murid-murid Kristus akan menjadi roti kehidupan. Dengan demikian, roti sederhana itu bukanlah sekedar makanan untuk kebutuhan biologis, tetapi akan diubah menjadi Roti Kehidupan, yaitu Tuhan Yesus sendiri. Atas doa imam itu, umat menjawab: Terpujilah Allah selama-lamanya. Jawaban umat ini merupakan ungkapan iman setiap kali berhadapan dengan kemurahan hati Allah, yaitu selalu memuji Allah yang kekal. Ketika seorang imam mengucapkan doa “Sebagaimana dilambangkan oleh percampuran air dan anggur ini, semoga kami layak mengambil bagian dalam keallahan Kristus, yang telah berkenan menjadi manusia seperti kami.” Ada beberapa hal penting yang perlu disadari bersama dari doa imam ini. Pertama, percampuran air dan anggur melambangkan air dan darah yang keluar dari lambung Tuhan Yesus di atas salib. Keluarnya air dan darah dari lambung Tuhan Yesus diimani sebagai kelahiran Gereja dan sakramen-sakramennya. Kedua, anggur dan air juga melambangkan keilahian dan kemanusiaan, yaitu penjelmaan Allah menjadi manusia dalam diri Tuhan Yesus. Dan karena itulah manusia dapat mengambil bagian dalam keilahian Tuhan Yesus. Ketiga, pencampuran air dan anggur mengungkapkan makna kesatuan tak terpisahkan antara Tuhan Yesus dan kita. Ketika seorang imam mengucapkan doa “Terpujilah Engkau, Tuhan, Allah semesta alam, sebab dari kemurahan-Mu kami menerima anggur, yang kami persembahkan kepada-Mu, hasil pokok anggur dan usaha manusia, yang bagi kami akan menjadi minuman rohani.” Doa tersebut memiliki makna yang sama seperti ketika imam mendoakan roti, yaitu bahwa anggur ini merupakan wujud kemurahan Allah dalam hasil bumi dan usaha manusia yang bagi para murid Kristus akan menjadi kekuatan ilahi, yaitu minuman rohani.Selanjutnya imam membasuh tangannya dengan air yang memohon agar Allah membersihkan dari kesalahan dan menyucikan dari dosa sehingga dia layak untuk menghadirkan Kristus yang memimpin Doa Syukur Agung. Setelah itu, imam mengajak umat untuk berdoa: Berdoalah, Saudara-saudari supaya persembahanku dan persembahanmu berkenan kepada Allah, Bapa yang Mahakuasa. Kata “ku” dalam persembahan itu menunjuk pada diri imam; dan kata “mu” menunjuk pada diri umat secara pribadi. Yang dimaksud dengan persembahan imam dan persembahan umat adalah roti dan anggur serta seluruh diri seutuhnya. Dengan demikian bersama persembahan roti dan anggur, imam dan umat mempersembahkan kepada Allah seluruh hidupnya. Konstitusi Liturgi yang kita baca tadi menegaskan hal itu. Umat menjawab yang berisi harapan persembahan roti dan anggur berserta seluruh hidup diterima demi kemuliaan Allah, keselamatan jiwa kita dan seluruh umat Allah yang kudus.Pemeriksaan BatinPara saudara terkasih. Gereja mengajak kita merayakan Ekaristi bukan sebagai orang luar dan penonton yang pasif, tetapi merayakan Ekaristi dengan memahami makna iman yang terkandung di dalamnya, berpartisipasi dengan aktif dan penuh khidmat. Apakah selama ini kita merayakan Ekaristi dengan khidmat dan aktif? Apa saja yang menjadi hambatan sehingga kita tidak merayakan Ekaristi dengan khidmat dan aktif? Setiap kali Ekaristi, kita memberikan kolekte. Apa yang ada dalam hati dan budi kita ketika memberikan kolekte? Bagaimana sikap hati ketika kita menjawab doa imam atas persembahan roti dan anggur? Ketika imam mengajak kita untuk berdoa agar persembahanku dan persembahanmu berkenan kepada Allah, apa yang kita persembahkan kepada Allah? Apa yang perlu kita perbaiki agar kita dengan sepenuh hati dapat ikut serta mempersembahkan hidup bersama persembahan roti dan anggur? Intensi Pribadi/BersamaPara saudara terkasih. Melalui Gereja-Nya, Allah selalu mengajak kita untuk belajar mempersembahkan hidup demi kemuliaan Allah. Oleh karena itu, marilah kita mempersembahkan doa-doa permohonan kita. Doa Bapa KamiKita satukan seluruh proses pendalaman iman kita dan permohonan-permohonan dengan doa Tuhan: Bapa kami..DOA PENUTUP Ya Bapa yang Maha Pengasih, kami telah mendalami makna iman dalam persiapan persembahan. Ketika imam mempersiapkan persembahan utama roti dan anggur yang akan dikuduskan oleh Tuhan Yesus menjadi Tubuh dan Darah-Nya, kami juga Engkau undang untuk mempersembahkan diri kami. Ampunilah kami jika selama ini Engkau kurang berkenan dengan apa yang kami persembahkan. Utuslah Roh Kudus-Mu untuk memurnikan hati dan diri kami sehingga setiap kali merayakan Ekaristi, kami dapat mempersembahkan diri dengan tulus bersama persembahan roti dan anggur. Dengan pengantaraan Yesus Kristus, Tuhan dan Guru kami, yang berkuasa bersama Dikau dan Roh Kudus, sepanjang segala masa, Amin. BERKAT Marilah kita hening sejenak, mohon berkat Tuhan bagi kita yang hadir di sini, bagi keluarga dan juga bagi umat di lingkungan/stasi. Semoga Tuhan beserta kita. Semoga kita semua, seluruh anggota keluarga dan saudara kita di lingkungan/stasi . . . senantiasa dibimbing dan dilindungi oleh berkat Allah Yang Mahakuasa: Dalam Nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus, Amin. Sumber : Buku Panduan APP Keuskupan Surabaya 2022

Read More

Pertemuan IV APP Keuskupan Surabaya

PERSEMBAHANKU DAN PERSEMBAHANMU : LITURGI EKARISTI Gagasan PokokPuncak dari perayaan Ekaristi adalah Liturgi Ekaristi. Apa yang terjadi dalam Liturgi Ekaristi berasal dari Perjamuan Terakhir sebelum Tuhan Yesus mengalami sengsara, wafat dan bangkit dari mati. Dalam Perjamuan Terakhir itulah Tuhan Yesus mengubah roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah-Nya untuk keselamatan manusia.Sebelum Perjamuan Terakhir, para murid mempersiapkan roti dan anggur yang akan diubah oleh Tuhan Yesus menjadi Tubuh dan Darah-Nya. Demikian pula, kita sebagai persekutuan murid-murid Tuhan Yesus mempersembahkan roti dan anggur sebagai persembahan utama yang akan diubah menjadi Tubuh dan Darah Tuhan Yesus. Roti sebagai hasil bumi dan usaha manusia yang kita persembahkan akan diubah menjadi roti kehidupan, yaitu Tubuh Kristus. Dan anggur sebagai hasil pokok anggur dan usaha manusia yang kita persembahkan akan diubah menjadi minuman rohani, yaitu Darah Kristus. Maka bersama roti dan anggur itu, kita sebagai Gereja juga mempersembahkan diri agar disatukan dengan persembahan roti dan anggur.Tujuan Umat memahami bahwa Liturgi Ekaristi sebagai puncak Perayaan Ekaristi didahului dengan persiapan persembahan, yaitu tindakan dan doa-doa oleh imam atas roti dan anggur yang akan diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Umat juga ajak untuk mempersembahkan seluruh hidup bersama dengan persembahan roti dan anggur yang telah diubah menjadi tubuh dan darah Kristus.Umat ikut serta secara aktif dalam persembahan diri bersama persembahan roti dan anggur.Pengantar Para saudara terkasih. Dalam pertemuan ini kita melanjutkan perjalanan pendalaman bagian-bagian Ekaristi yang setiap kali kita rayakan sebagai puncak dan sumber iman Gereja. Setelah Liturgi Sabda yang kita dalami dalam pertemuan ketiga, kita masuk ke bagian persiapan persembahan yang mengawali Liturgi Ekaristi. Dalam bagian ini, roti dan anggur sebagai persembahan utama bersama bahan-bahan persembahan lain, termasuk kolekte, dibawa untuk dipersembahkan. Hanya roti dan anggur sebagai persembahan utama yang diletakkan di atas altar. Sedangkan bahan persembahan lainnya, diletakkan di tempat lain.  Dalam mempersiapkan persembahan, ada beberapa tindakan yang dilakukan oleh imam dengan diiringi doa-doa. Marilah kita mempersiapkan diri dengan hening sejenak dan mohon rahmat Roh Kudus. . . .Belajar Ajaran Gereja Konstitusi Liturgi Artikel 48.Para saudara terkasih. Mari kita membaca dan cermati bacaan di bawah ini yang diambil dari Konstitusi Liturgi artikel 48. “Maka dari itu Gereja dengan susah payah berusaha, jangan sampai Umat beriman menghadiri misteri iman itu sebagai orang luar atau penonton yang bisu, melainkan supaya melalui upacara dan doa-doa memahami misteri itu dengan baik, dan ikut-serta penuh khidmat dan secara aktif. Hendaknya mereka rela diajar oleh sabda Allah, disegarkan oleh santapan Tubuh Tuhan, bersyukur kepada Allah. Hendaknya sambil mempersembahkan Hosti yang tak bernoda bukan saja melalui tangan imam melainkan juga bersama dengannya, mereka belajar mempersembahkan diri, dari hari ke hari –berkat perantaraan Kristus– makin penuh dipersatukan dengan Allah dan antar mereka sendiri, sehingga akhirnya Allah menjadi segalanya dalam semua. Makna dan Pesan dari Konstitusi Liturgi Artikel 48. Dalam pertemuan pertama, kita diingatkan betapa pentingnya bagi iman kita untuk menguduskan hari Minggu sebagai perayaan kebangkitan Tuhan Yesus. Oleh karena itu, setiap hari Minggu semua umat Katolik wajib berkumpul untuk merayakan kebangkitan Tuhan dengan mendengarkan Sabda Allah dan Ekaristi Suci. Dalam pertemuan kedua, kita diajak untuk menyegarkan kembali makna Ritus Pembuka yang tersusun mulai dengan perarakan imam menuju panti imam sampai Doa Kolekta atau Doa Pembuka. Sedangkan dalam pertemuan ketiga, kita diajak menyegarkan kembali makna Liturgi Sabda di mana terjadi dialog antara Allah yang hadir dalam Sabda-Nya dan tanggapan kita terhadap Sabda Allah. Dalam pertemuan keempat ini kita diajak untuk mendalami persiapan persembahan yang mengawali Liturgi Ekaristi. Roti dan anggur sebagai persembahan utama dibawa ke altar. Kemudian imam mempersiapkan altar tempat roti dan anggur akan dikuduskan menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Selain roti dan anggur sebagai persembahan utama, juga dipersembahkan bahan-bahan persembahan lain misalnya bahan pangan untuk dibagikan bagi yang kekurangan. Jadi bahan persembahan lainnya itu bukan untuk romo. Juga dipersembahkan kolekte yang dikumpulkan dari umat. Perlu disadari bersama bahwa kolekte itu bukanlah urunan atau tarikan atau donasi, tetapi ungkapan syukur atas penyertaan Allah yang memberi rejeki dari hasil kerja atau usaha. Ungkapan syukur itu dipersembahkan dengan tulus bersama roti dan anggur yang akan diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Kolekte yang dipersembahkan bersama roti dan anggur ini dipergunakan untuk kebutuhan kehidupan Gereja dan untuk mereka yang miskin. Bahan persembahan lain dan kolekte diletakkan di tempat khusus, bukan di altar.Konstitusi liturgi menegaskan bahwa bersama Hosti tak bernoda yang dipersembahkan imam, kita juga belajar mempersembahkan diri. Dengan demikian berkat perantaraan Kristus, dari hari ke hari, kita makin penuh dipersatukan dengan Allah dan dengan umat beriman lainnya. Maka kolekte dan persembahan bahan lain, merupakan ungkapan syukur yang kita persembahkan, bersama persembahan roti dan anggur yang akan diubah oleh Tuhan Yesus menjadi Tubuh dan Darah-Nya. Ketika seorang imam mengucapkan doa “Terpujilah Terpujilah Engkau, Tuhan, Allah semesta alam, sebab dari kemurahan-Mu kami menerima roti, yang kami persembahkan kepada-Mu, hasil bumi dan usaha manusia yang bagi kami akan menjadi roti kehidupan” mengungkapkan  pengakuan iman atas kemurahan Allah yaitu hasil bumi dan usaha manusia. Maka bagi murid-murid Kristus, hasil bumi dan usaha manusia, keduanya merupakan kemurahan Allah. Roti kecil dan sederhana yang merupakan wujud kemurahan Allah ini, bagi murid-murid Kristus akan menjadi roti kehidupan. Dengan demikian, roti sederhana itu bukanlah sekedar makanan untuk kebutuhan biologis, tetapi akan diubah menjadi Roti Kehidupan, yaitu Tuhan Yesus sendiri. Atas doa imam itu, umat menjawab: Terpujilah Allah selama-lamanya. Jawaban umat ini merupakan ungkapan iman setiap kali berhadapan dengan kemurahan hati Allah, yaitu selalu memuji Allah yang kekal. Ketika seorang imam mengucapkan doa “Sebagaimana dilambangkan oleh percampuran air dan anggur ini, semoga kami layak mengambil bagian dalam keallahan Kristus, yang telah berkenan menjadi manusia seperti kami.” Ada beberapa hal penting yang perlu disadari bersama dari doa imam ini. Pertama, percampuran air dan anggur melambangkan air dan darah yang keluar dari lambung Tuhan Yesus di atas salib. Keluarnya air dan darah dari lambung Tuhan Yesus diimani sebagai kelahiran Gereja dan sakramen-sakramennya. Kedua, anggur dan air juga melambangkan keilahian dan kemanusiaan, yaitu penjelmaan Allah menjadi manusia dalam diri Tuhan Yesus. Dan karena itulah manusia dapat mengambil bagian dalam keilahian Tuhan Yesus. Ketiga, pencampuran air dan anggur mengungkapkan makna kesatuan tak terpisahkan antara Tuhan Yesus dan kita. Ketika seorang imam mengucapkan doa “Terpujilah Engkau, Tuhan, Allah semesta alam, sebab dari kemurahan-Mu kami menerima anggur, yang kami persembahkan kepada-Mu, hasil pokok anggur dan usaha manusia, yang bagi kami akan menjadi minuman rohani.” Doa tersebut memiliki makna yang sama seperti ketika imam mendoakan roti, yaitu bahwa anggur ini merupakan wujud kemurahan Allah dalam hasil bumi dan usaha manusia yang bagi para murid Kristus akan menjadi kekuatan ilahi, yaitu minuman rohani.Selanjutnya imam membasuh tangannya dengan air yang memohon agar Allah membersihkan dari kesalahan dan menyucikan dari dosa sehingga dia layak untuk menghadirkan Kristus yang memimpin Doa Syukur Agung. Setelah itu, imam mengajak umat untuk berdoa: Berdoalah, Saudara-saudari supaya persembahanku dan persembahanmu berkenan kepada Allah, Bapa yang Mahakuasa. Kata “ku” dalam persembahan itu menunjuk pada diri imam; dan kata “mu” menunjuk pada diri umat secara pribadi. Yang dimaksud dengan persembahan imam dan persembahan umat adalah roti dan anggur serta seluruh diri seutuhnya. Dengan demikian bersama persembahan roti dan anggur, imam dan umat mempersembahkan kepada Allah seluruh hidupnya. Konstitusi Liturgi yang kita baca tadi menegaskan hal itu. Umat menjawab yang berisi harapan persembahan roti dan anggur berserta seluruh hidup diterima demi kemuliaan Allah, keselamatan jiwa kita dan seluruh umat Allah yang kudus.Pemeriksaan BatinPara saudara terkasih. Gereja mengajak kita merayakan Ekaristi bukan sebagai orang luar dan penonton yang pasif, tetapi merayakan Ekaristi dengan memahami makna iman yang terkandung di dalamnya, berpartisipasi dengan aktif dan penuh khidmat. Apakah selama ini kita merayakan Ekaristi dengan khidmat dan aktif? Apa saja yang menjadi hambatan sehingga kita tidak merayakan Ekaristi dengan khidmat dan aktif? Setiap kali Ekaristi, kita memberikan kolekte. Apa yang ada dalam hati dan budi kita ketika memberikan kolekte? Bagaimana sikap hati ketika kita menjawab doa imam atas persembahan roti dan anggur? Ketika imam mengajak kita untuk berdoa agar persembahanku dan persembahanmu berkenan kepada Allah, apa yang kita persembahkan kepada Allah? Apa yang perlu kita perbaiki agar kita dengan sepenuh hati dapat ikut serta mempersembahkan hidup bersama persembahan roti dan anggur? Intensi Pribadi/BersamaPara saudara terkasih. Melalui Gereja-Nya, Allah selalu mengajak kita untuk belajar mempersembahkan hidup demi kemuliaan Allah. Oleh karena itu, marilah kita mempersembahkan doa-doa permohonan kita. Doa Bapa KamiKita satukan seluruh proses pendalaman iman kita dan permohonan-permohonan dengan doa Tuhan: Bapa kami..DOA PENUTUP Ya Bapa yang Maha Pengasih, kami telah mendalami makna iman dalam persiapan persembahan. Ketika imam mempersiapkan persembahan utama roti dan anggur yang akan dikuduskan oleh Tuhan Yesus menjadi Tubuh dan Darah-Nya, kami juga Engkau undang untuk mempersembahkan diri kami. Ampunilah kami jika selama ini Engkau kurang berkenan dengan apa yang kami persembahkan. Utuslah Roh Kudus-Mu untuk memurnikan hati dan diri kami sehingga setiap kali merayakan Ekaristi, kami dapat mempersembahkan diri dengan tulus bersama persembahan roti dan anggur. Dengan pengantaraan Yesus Kristus, Tuhan dan Guru kami, yang berkuasa bersama Dikau dan Roh Kudus, sepanjang segala masa, Amin. BERKAT Marilah kita hening sejenak, mohon berkat Tuhan bagi kita yang hadir di sini, bagi keluarga dan juga bagi umat di lingkungan/stasi. Semoga Tuhan beserta kita. Semoga kita semua, seluruh anggota keluarga dan saudara kita di lingkungan/stasi . . . senantiasa dibimbing dan dilindungi oleh berkat Allah Yang Mahakuasa: Dalam Nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus, Amin. Sumber : Buku Panduan APP Keuskupan Surabaya 2022

Read More

Studi Teologi dan Manfaatnya Bagi Kehidupan Menggereja

Pernahkah sekali waktu kita berpikir dan kemudian mempertanyakan iman kita? Bisa juga sekedar ingin mengetahui latar belakang, alasan-alasan tertentu dari iman yang kita miliki? Atau bahkan pernah mendapatkan sebuah pertanyaan yang cukup mendasar mengenai iman kita sehingga kita cukup goyah dan mulai mempertanyakan iman yang dimiliki? Hal tersebut ternyata bukanlah barang baru, hal ini wajar dialami oleh manusia, karena manusia sebagai makhluk yang memiliki akal budi memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap suatu hal. Ternyata rasa ingin tahu ini juga berlaku juga bagi lingkup iman yang dimiliki. Memang tidak semua orang mempertanyakan iman yang dimilikinya, tetapi mengapa harus takut untuk mencoba? Selain karena iman merupakan suatu hal yang menarik untuk didalami, iman juga memiliki peran fundamental di dalam perkembangan manusia sendiri.Apakah kita perlu mendalami iman lebih lanjut, atau hanya boleh diterima begitu saja sebagai sebuah pondasi kehidupan? Lalu apa gunanya mendalami iman bagi kehidupan menggereja? Hal ini dapat kita dalami sekilas di dalam ulasan singkat ini.Studi merupakan suatu bentuk kegiatan olah intelektual yang dilakukan manusia untuk memeroleh ilmu pengetahuan dan pengertian akan suatu hal. Sedangkan Teologi secara sederhana dapat dipahami sebagai sebuah bidang ilmu yang memelajari Tuhan dalam terang iman. Berarti studi teologi merupakan sebuah olah akal budi manusia untuk dapat memahami Tuhan dalam iman. Beriman berarti memahami apa yang diimani adalah sebuah kebenaran yang dipahami secara mendalam, baik secara spiritual, intelektual maupun dalam tindakkan.Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik “fides et ratio” (iman dan akal budi), menegaskan dan menjabarkan bahwa iman dan akal budi yang dimiliki manusia merupakan keberadaan yang saling mendukung dan memurnikan dalam mengejar pemahaman yang lebih dalam atau dapat disebut dengan kebenaran. Demikian dengan pencarian mendalam terhadap iman yang dimiliki, merupakan sebuah langkah yang tepat untuk dapat menjalani hidup secara lebih terbuka dan bermakna.Studi teologi diharapkan dapat membantu seseorang menemukan kebenaran iman, sehingga kehidupannya menjadi lebih bermakna dan mendalam. Orang hanya dapat menemukan kebenaran bila masuk ke dalam kebenaran, tinggal dalam kebenaran, hidup dinaungi kebijaksanaan. Dengan begitu manusia akan memahami kebebasannya dan panggilan mereka untuk mengetahui dan mencintai Allah, realisasi tertinggi dari kebenaran diri pribadi. Kebenaran adalah kesesuaian antara kenyataan dan pemahaman manusia. Yesus Kristus adalah Jalan, Kebenaran, dan Kehidupan. Dalam hidup Kristus ada kesesuaian antara pemahaman kita tentang realitas diri kita dengan realitas diri-Nya; terdapat juga kesesuaian antara apa yang dikatakan-Nya dan apa yang dilakukan-Nya; terdapat juga kesesuaian antara apa yang diajarakan-Nya (yang kita imani) dan realitas yang terjadi di dalam diri Yesus Kristus. Ketika seseorang menemukan kebenaran di dalam imannya, maka kehidupannya akan berubah terutama dalam menyikapi dan menjalani kehidupannya. Penemuan tersebut akan sangat berguna bagi kehidupan menggereja karena saat makna yang ia temukan diaplikasikan dan sudah menjadi bagian kehidupannya, hal yang ia jalani adalah kesaksian hidup. Bukan lagi hanya ditaraf pengetahuan mengenai iman semata. 

Read More

Pertemuan III APP Keuskupan Surabaya

PERTEMUAN 3APP KEUSKUPAN SURABAYABERSABDALAH TUHAN HAMBAMU MENDENGARKAN: LITURGI SABDAGagasan PokokAllah berkarya menyelamatkan manusia melalui SabdaNya, yang memuncak pada Yesus, Kristus, Sabda yang menjadi manusia. Demikian pula Tuhan Yesus juga berkarya melalui SabdNya. Maka dalam Ekaristi Suci selalu tersedia dua meja: meja Sabda dan meja Ekaristi. Dalam Ekaristi, dua meja ini memiliki martabat yang sama dan merupakan kesatuan yang tak terpisahkan. Oleh karena itu, ketika dibacakan Bacaan dalam Ekaristi, Allah sendiri yang bersabda kepada umatNya. Maka pusat perhatian umat adalah Sabda Allah yang diperdengarkan, bukan pada teks dalam bentuk apapun. Petugas yang menyampaikan Sabda Allah, sungguh mendapat kehormatan yang tinggi karena menjadi juru bicara Allah.Dalam liturgi sabda, Allah bersabda dan umat menanggapi dengan masmur, aku percaya dan doa umat.TujuanUmat memahami bahwa Ekaristi itu memiliki dua meja yang semartabat dan tidak dapat dipisahkan.Umat memiliki penghargaan yang tinggi terhadap Sabda Allah. Umat mendengarkan dengan sungguh-sungguh ketika Sabda Allah diwartakan.Umat mencintai Sabda Allah dengan membaca dan merenungkan secara pribadi di luar ekaristi. Pengantar Para saudara terkasih. Terima kasih atas kehadiran para saudara dalam pertemuan Prapaskah ketiga ini. Jika pendalaman iman masa Prapaskah ini digambarkan sebagai sebuah perjalanan maka, sebelum melakukan perjalanan, kita diajak untuk memahami terlebih dahulu makna hari Minggu sebagai hari Tuhan. Itu yang kita lakukan dalam pertemuan pertama. Langkah selanjutnya, kita mulai perjalanan mendalami Ekaristi dari bagian awal, yaitu Ritus Pembuka yang bertujuan mempersatukan dan mempersiapkan seluruh umat agar dapat mendengarkan Sabda Allah dan merayakan Ekaristi dengan layak. Para saudara terkasih. Dalam pertemuan Prapaskah ketiga ini, kita diajak untuk berjalan lebih masuk lagi, yaitu Liturgi Sabda. Dalam Liturgi Sabda ini, kita diajak untuk berdialog dengan Allah. Allah menyampaikan SabdaNya dan kita menyampaikan tanggapan atas Allah yang bersabda. Seperti halnya orang tua yang menyampaikan nasehat kepada anaknya dengan cinta, maka sikap anak adalah memperhatikan dan mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Tentu orang tua akan sedih jika anaknya tidak memperhatikan, tidak mendengarkan, dan acuh tak acuh terhadap orangtua yang dengan cinta menyampaikan nasehatnya. Ketika orangtua meminta tanggapan kepada anaknya atas nasehat yang diberikan, dan anaknya diam seribu bahasa, tidak memberikan tanggapan, orangtua juga sedih. Kurang lebih demikianlah yang terjadi dalam Liturgi Sabda: dialog antara Allah dan kita, anak-anakNya. Belajar Ajaran Gereja Konstitusi Liturgi Artikel 24. Para saudara terkasih. Mari kita membaca dan cermati bacaan di bawah ini yang diambil dari Konstitusi Liturgi artikel 24. “Dalam perayaan Liturgi Kitab suci sangat penting. Sebab dari Kitab sucilah dikutip Bacaan-Bacaan, yang dibacakan dan dijelaskan dalam homili, serta mazmur-mazmur yang dinyanyikan. Dan karena ilham serta jiwa Kitab sucilah dilambungkan permohonan, doa-doa dan madah-madah Liturgi; dari padanya pula upacara serta lambang-lambang memperoleh maknanya. Maka untuk membaharui, mengembangkan dan menyesuaikan Liturgi suci perlu dipupuk cinta yang hangat dan hidup terhadap Kitab suci. Makna dan Pesan dari Konstitusi Liturgi Artikel 24.Dalam pertemuan kedua kita sudah menyegarkan kembali pemahaman tentang Ritus Pembuka yang bertujuan mempersatukan dan mempersiapkan kita semua untuk merayakan Ekaristi dengan layak. Ini berarti Ritus Pembuka menyiapkan umat untuk mendengarkan Sabda Allah dan memberikan tanggapan terhadap Allah yang bersabda. Maka dalam pertemuan ketiga ini kita akan menyegarkan kembali penghayatan iman kita akan Liturgi Sabda dalam Perayaan Ekaristi.Makna Liturgi Sabda dalam Perayaan Ekaristi adalah kehadiran Tuhan dan karya penebusanNya bagi Gereja melalui SabdaNya. Dalam Liturgi Sabda, Allah menyampaikan SabdaNya dan umat memberi tanggapan terhadap Allah yang bersabda. Sikap dasar yang hendaknya ada dalam diri kita adalah kesediaan mendengarkan sebagai hamba. Mendengarkan bukan sebatas mendengar dengan telinga tetapi terlebih dengan sepenuh hati sehingga membuahkan tanggapan terhadap Allah yang bersabda. Kita bukanlah murid-murid Kristus yang pasif dan diam saja ketika mendengarkan Allah yang bersabda. Pewartaan Sabda Allah dilakukan dalam pembacaan Kitab Suci dan Homili yang memperdalam Sabda itu. Tanggapan umat terungkap melalui Mazmur Tanggapan dan Bait Pengantar Injil, Syahadat dan Doa Umat.Betapa pentingnya Sabda Allah dalam Perayaan Ekaristi. Untuk itu disediakan mimbar khusus dan terhormat bagi Sabda Allah yang disebut Ambo. Dari Ambo inilah Sabda Allah yang dikutip dari Kitab Suci diwartakan kepada kita. Dalam Perayaan Ekaristi hari Minggu ada tiga Bacaan yang diwartakan: Bacaan I, Bacaan II dan Injil. Umumnya dalam Ekaristi Minggu dan hari Raya, Bacaan I dikutip dari Kitab Suci Perjanjian Lama yang mempunyai hubungan khusus dengan Injil Minggu itu. Hal ini menyatakan bahwa ada kesinambungan yang tak terputuskan antara sejarah keselamatan dari Perjanjian Lama dengan kepenuhan keselamatan dalam Yesus Kristus yang diwartakan dalam Injil. Kesinambungan karya keselamatan Allah dalam Perjanjian Lama dan kepenuhannya dalam diri Yesus Kristus, sungguh mengagumkan. Bacaan I dan juga Bacaan II diakhiri dengan ungkapan: Demikianlah Sabda Tuhan, umat menjawab: Syukur kepada Allah. Ungkapan ini merupakan pengakuan iman bahwa yang baru saja dibacakan adalah benar-benar Sabda Allah. Dan kita bersyukur karena Allah yang Mahakudus berkenan bersabda kepada kita manusia yang berdosa. Setelah Bacaan I, disusul dengan Mazmur Tanggapan. Sesuai dengan namanya, dalam Mazmur ini kita menanggapi Sabda Allah yang diwartakan kepada kita. Kita bukanlah umat yang pasif, acuh tak acuh dan diam saja ketika Allah hadir dan bersabda. Tentu isi Mazmur tanggapan memiliki hubungan dengan Sabda Allah yang diwartakan kepada kita.Selanjutnya dibacakan Bacaan II yang umumnya dipetik dari surat-surat dalam Perjanjian Baru yang disebut Epistola yang artinya surat. Bacaan II ini mewartakan iman akan Yesus Kristus dalam konteks pertumbuhan Gereja perdana. Bacaan II ini juga mengarahkan umat pada puncak Liturgi Sabda, yaitu Injil. Namun sebelum Injil diwartakan, diserukan Bait Pengantar Injil untuk mempersiapkan umat mendengarkan Tuhan Yesus sendiri yang bersabda dan kita menghormati kedatanganNya dengan berdiri.Puncak dari Liturgi Sabda adalah Bacaan Injil. Ketika Injil dibacakan, Tuhan Yesus sendiri yang hadir dan bersabda bagi GerejaNya. Ya, memang Tuhan Yesus selalu dan tetap hadir untuk terus menerus mewartakan keselamatan sampai akhir jaman. Demikian istimewanya Injil, maka Injil hanya boleh dibacakan oleh imam atau yang telah memperoleh rahmat tahbisan. Selain itu ada beberapa hal lain yang mengungkapkan keistimewaan Injil. (1) Sebelum Injil diwartakan, ada dialog antara imam dan umat. “Tuhan bersamamu”, umat menjawab: “Dan bersama Rohmu”. “Inilah Injil Suci menurut Santo. . . Umat menjawab: “Dimuliakanlah Tuhan”. (2) Pembuatan tanda salib di dahi, mulut, dan dada, maknanya: SabdaMu ya Tuhan, kami pikirkan dan renungkan (tanda salib di dahi); kami wartakan (tanda salib di mulut) dan kami resapkan/batinkan dalam hati (tanda salib di dada). (3) Pembaca Injil mengecup Injil setelah dibacakan sebagai tanda penghormatan terhadap Sabda Yesus. Yang dibacakan dan dikecup adalah EVANGELIARIUM atau ALKITAB, bukan teks misa, atau lembaran. (4) Jawaban umat: Terpujilah Kristus, setelah Injil dibacakan menunjuk pada pujian pada Kristus sendiri yang bersabda. Selanjutnya imam menyampaikan Homili yang merupakan pewartaan dan pendalaman misteri iman bersumber dari Kitab Suci yang diwartakan Minggu itu, terutama Injil, sesuai dengan situasi umat. Setelah Sabda Allah diwartakan melalui Bacaan-Bacaan Kitab Suci dan Injil serta Homili, umat menanggapinya dengan pernyataan iman dalam Syahadat atau Credo. Pernyataan iman ini mengungkapkan kesetiaan untuk tetap percaya pada Allah Tritunggal yang telah menyelamatkan manusia dan menganugerahkan hidup kekal melalui GerejaNya yang kudus. Selain menanggapi dengan pernyataan iman, umat menanggapi Sabda Allah dengan doa bersama untuk kepentingan seluruh Gereja, yaitu dalam Doa Umat. Umumnya, doa umat terdiri dari empat hal: doa bagi Gereja, khususnya pemimpin Gereja, doa bagi pemimpin masyarakat dan keselamatan dunia, doa bagi mereka yang sedang menderita dan doa bagi umat setempat (paroki, stasi, lingkungan, dll). Doa Umat ini merupakan penutup dari Liturgi Sabda. Kemudian dilanjutkan dengan Liturgi Ekaristi.Pemeriksaan BatinPara saudara terkasih. Sabda Allah merupakan sumber iman kita. Oleh karena itu dalam Perayaan Ekaristi, Kitab Suci memiliki tempat yang penting. Allah sendiri yang bersabda ketika Lektor membacakan kutipan Kitab Suci dalam Perayaan Ekaristi. Benarkah kita mendengarkan dengan sikap hormat, Allah yang bersabda kepada kita? Ketika Sabda Allah diwartakan dalam Perayaan Ekaristi, benarkah kita mendengarkan atau malah membaca teks dalam panduan atau melalui HP? Setelah selesai mewartakan Sabda Allah, Lektor menyatakan: Demikianlah Sabda Tuhan. Apakah kita memberikan jawaban dengan sepenuh hati? Jika ANDA sedang memperoleh kepercayaan sebagai Lektor, apakah ANDA sungguh menyiapkan diri? Allah menghendaki kita menanggapi SabdaNya. Bagaimana selama ini kita menanggapi Sabda Allah melalui Mazmur? Ketika ANDA mendapat kehormatan sebagai pemazmur, apakah ANDA menyiapkan diri dengan baik? Bagaimana sikap iman kita ketika Injil diwartakan oleh imam? Apakah kita membuat tanda salib di dahi, bibir dan hati dengan sungguh-sungguh? Selama imam memberikan Homili, benarkah kita mendengarkan dengan penuh perhatian atau cenderung mengabaikan? Mengapa? Setelah Homili, imam mengajak kita untuk menyerukan pernyataan iman. Bagaimana kita menyatakannya? Ketika Doa Umat didoakan, benarkah kita juga ikut berdoa? Apa yang perlu kita perbaiki dari diri kita agar dapat mendengarkan Sabda Allah dan menanggapinya dengan lebih hormat?Intensi Pribadi/Bersama Para saudara terkasih. Gereja mengajarkan supaya kita mencintai Sabda Allah yang selalu diwartakan dalam Perayaan Ekaristi. Sabda Allah itulah yang menjadi sumber iman kita. Dan marilah kita persembahkan permohonan-permohonan kita kepada Tuhan.Doa Bapa KamiKita satukan seluruh proses pendalaman iman kita dan permohonan-permohonan dengan doa Tuhan: Bapa kami..DOA PENUTUPYa Bapa yang Mahakasih, setiap kali kami merayakan Ekaristi, Engkau senantiasa menyampaikan SabdaMu yang menyelamatkan. Melalui SabdaMu, Engkau mendidik dan membentuk kami untuk lebih beriman kepadaMu. Bantulah kami untuk senantiasa terbuka untuk mencintai dan mendengarkan SabdaMu. Utuslah Roh KudusMu agar dapat menerangi budi dan melembutkan hati kami sehingga Sabda yang Kau taburkan menjadi benih yang tumbuh subur dan menghasilkan buah keselamatan dalam hidup kami. Dengan pengantaraan Yesus, SabdaMu yang menjadi manusia, Dialah Tuhan dan Penebus kami, kini dan sepanjang masa, Amin. BERKAT Marilah kita hening sejenak, mohon berkat Tuhan bagi kita yang hadir di sini, bagi keluarga dan juga bagi umat di lingkungan/stasi. Semoga Tuhan beserta kita. Semoga kita semua, seluruh anggota keluarga dan saudara kita di lingkungan/stasi . . . senantiasa dibimbing dan dilindungi oleh berkat Allah Yang Mahakuasa: Dalam Nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus, Amin.  Sumber :Buku Bahan Pendalaman Iman APP Tahun 2022 Keuskupan Surabaya

Read More

Pertemuan II APP Keuskupan Surabaya

Gagasan PokokGerak umat berdatangan berkumpul merayakan Ekaristi merupakan kesediaan tulus memenuhi undangan Tuhan Yesus untuk menyatukan diri sebagai persekutuan yang telah dikuduskan dalam kesatuan Allah Tritunggal Mahakudus melalui Baptis. Maka Ritus Pembuka yang diawali perarakan masuk imam menuju panti imam sampai doa kolekta ini mengungkapkan iman akan kehadiran Tuhan dalam persekutuan Umat yang siap mendengarkan SabdaNya, mempersembahkan hidup bersamaNya dan menerima TubuhNya yang kudus. Seluruh ritus pembuka bertujuan untuk mempersatukan dan menyiapkan seluruh umat untuk mendengarkan SabdaNya dan merayakan Ekaristi dengan layak. Iman akan kesatuan ilahi ini diungkapkan oleh umat dengan secara aktif bernyanyi, menyesali dosa dan mohon belas kasih Allah, menyampaikan jawaban doa-doa, memuji dan memuliakan Allah serta menyatukan diri dalam doa kolekta.TujuanUmat memahami makna rangkaian ritus pembuka yang dimulai dengan perarakan masuk imam menuju panti imam sampai doa kolekta, merupakan wujud kesatuan dan kesiapan diri merayakan Ekaristi dengan layak.Umat menyadari bahwa dalam Ekaristi, Tuhan sendiri yang mengundang, menyatukan dan memberikan diriNya bagi keselamatan umatNya. Kehadiran umat dalam Ekaristi Bahan Pendalaman Iman APP Tahun 2022 Keuskupan Surabaya | 12 merupakan peristiwa iman yang ilahi, yaitu kesediaan memenuhi undangan Tuhan yang hadir menyatukan umatNya, menyampaikan sabdaNya dan memberikan DiriNya sebagai Roti Hidup.Umat semakin aktif merayakan Ekaristi dengan sadar sebagai perwujudan iman sejak dari ritus pembuka. PengantarPara saudara terkasih. Dalam pertemuan pertama, kita sudah mendalami makna iman hari Minggu sebagai hari Tuhan. Maka kita wajib untuk berkumpul mendengarkan Sabda Tuhan dalam ibadat dan merayakan Ekaristi. Mulai pertemuan yang kedua sampai keenam, kita akan mendalami kembali makna iman bagian-bagian dalam perayaan Ekaristi. Pertemuan yang terangkai selama masa Prapaskah ini seperti sebuah perjalanan menuju puncak dan sumber iman Gereja, yaitu Ekaristi Suci. Oleh karena itu, dalam pertemuan kedua ini, kita akan mulai perjalanan rohani kita dari bagian awal, yaitu RITUS PEMBUKA.Perayaan Ekaristi merupakan peristiwa persekutuan. Maka untuk merayakan Ekaristi, masing-masing anggota persekutuan harus terlebih dahulu mempersiapkan diri secara pribadi. Ketika memasuki gedung Gereja atau kapel, kita sudah harus memusatkan hati pada Ekaristi yang akan kita rayakan. Kita menyediakan waktu hening untuk berdoa sebelum Ekaristi dimulai. Bagaimana selama ini kita mempersiapkan diri? Apakah kita telah sungguh-sungguh menyiapkan diri atau masih bicara dengan yang lain? Apakah kita datang beberapa menit sebelum Ekaristi dimulai atau datang tanpa persiapan pribadi bahkan sering terlambat? Ketika kita sudah berada dalam Gereja atau kapel, apakah kita masih sibuk dengan HP? Apakah kita tidak dapat melepaskan diri kesibukan sehari-hari saat masuk Gereja atau kapel? Sadarkah kita bahwa sikap dan perilaku kita dapat mengganggu persekutuan yang akan merayakan Ekaristi? Belajar Ajaran Gereja Konstitusi Liturgi Artikel 10-11Para saudara terkasih. Mari kita membaca dan cermati bacaan di bawah ini yang diambil dari Konstitusi Liturgi artikel 10-11. “Jadi dari Liturgi, terutama dari Ekaristi, bagaikan dari sumber, mengalirlah rahmat kepada kita, dan dengan hasil guna yang amat besar diperoleh pengudusan manusia dan permuliaan Allah dalam Kristus, tujuan semua karya Gereja lainnya. Akan tetapi supaya hasil guna itu diperoleh sepenuhnya, Umat beriman perlu datang menghadiri Liturgi suci dengan sikap-sikap batin yang serasi. Hendaklah mereka menyesuaikan hati dengan apa yang mereka ucapkan, serta bekerja sama dengan rahmat sorgawi, supaya mereka jangan sia-sia saja menerimanya. Maka dari itu hendaklah para gembala rohani memperhatikan dengan seksama, supaya dalam kegiatan Liturgi jangan hanya dipatuhi hukum-hukumnya untuk merayakannya secara sah dan halal, melainkan supaya Umat beriman ikut merayakannya dengan sadar, aktif dan penuh makna.” Makna dan Pesan dari Konstitusi Liturgi Artikel 10-11Pada Pertemuan pertama, kita diajak menguduskan hari Minggu dengan berkumpul bersama untuk berdoa, mendengarkan Sabda Allah dan merayakan Ekaristi. Dua hal pokok yang ditegaskan dalam Konstitusi Liturgi: pertama, berkumpul bersama; kedua berdoa, mendengarkan Sabda Allah, merayakan Ekaristi. Dua hal itu tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Dengan jelas dinyatakan oleh Ajaran Gereja dalam Konstitusi Liturgi bahwa menguduskan hari Minggu merupakan kewajiban setiap orang Katolik.Setiap hari Minggu yang merupakan hari Tuhan kita berkumpul untuk merayakan Ekaristi. Sebagai persekutuan murid-murid Kristus, setiap hari Minggu kita disatukan oleh Yesus, Guru dan Tuhan dalam perayaan Ekaristi. Dalam perayaan Ekaristi itu, Tuhan Yesus sendirilah yang mengundang dan mengumpulkan kita untuk mendengarkan SabdaNya dan menerima TubuhNya sebagai makanan kehidupan abadi. Dari perayaan Ekaristi inilah Gereja memperoleh daya kehidupan ilahinya. Oleh karena itu, Perayaan Ekaristi merupakan sumber dan puncak hidup Gereja. Ekaristi sebagai sumber dan puncak hidup Gereja, memiliki dua bagian yang tak terpisahkan, yaitu Liturgi Sabda dan Liturgi Ekaristi. Dua bagian yang tak terpisahkan ini dibuka dengan Ritus Pembuka dan ditutup dengan Ritus Penutup.Konstitusi Liturgi menyatakan agar kita dapat memperoleh pengudusan hidup dan memuliakan Allah dalam karya, maka kita perlu datang menghadiri Liturgi Suci dengan sikap batin yang serasi. Sikap batin yang serasi adalah menyesuaikan hati dengan apa yang kita ucapkan, dengan demikian kita bekerjasama dengan rahmat surgawi. Oleh karena itu, dalam pertemuan kedua ini kita memahami kekayaan ungkapan iman yang ada dalam Ritus Pembuka. Sikap batin yang serasi dapat diusahakan jika kita mempersiapkan diri terlebih dahulu minimal 20 menit sebelum perayaan Ekaristi dimulai. Memasuki gedung gereja, kita mencelupkan jari pada bejana air suci di pintu masuk gereja dan  membuat tanda salib. Memang di masa pandemi sekarang ini, di banyak gedung gereja tradisi tersebut untuk sementara ditiadakan. Meski demikian, tindakan mencelupkan jari dan membuat tanda salib di pintu masuk gereja memiliki arti yang mendalam yaitu bahwa kita memasuki persekutuan orang-orang yang memperoleh keselamatan kekal melalui baptis dalam nama Tritunggal Mahakudus, Bapa, Putra dan Roh Kudus. Buatlah tanda salib dengan hormat karena itu pengakuan iman kita. Kemudian kita berlutut dengan tenang dan mengambil tempat duduk. Sikap berlutut dengan tenang mengungkapkan hormat kepada Allah yang bertahta dalam gedung gereja. Selanjutnya, kita melakukan persiapan pribadi dengan hening di hadapan Tuhan dan berdoa mengucap syukur bahwa kita boleh merayakan Ekaristi. Kita juga memohon agar dapat merayakan Ekaristi dengan layak, sehingga dapat memetik buah-buah Ekaristi. Jika disediakan teks Misa atau buku panduan, kita dapat membaca dan merenungkan beberapa saat Bacaan-Bacaan Minggu itu.Perlu kita sadari bersama bahwa tujuan Ritus Pembuka adalah mempersatukan dan mempersiapkan umat untuk mendengarkan Sabda Allah dan merayakan Ekaristi dengan layak. Kekhasan bagian ini adalah sebagai pembuka, pengantar dan persiapan. Seluruh umat yang hadir dalam perayaan Ekaristi menyatakan iman akan kehadiran Tuhan Yesus di tengah umatNya. Ungkapan kesiapan dan kesatuan umat ini dinyatakan dengan berdiri dan menyanyikan Lagu Pembuka ketika imam bersama  para petugas liturgi berarak masuk ke dalam persekutuan umat Allah yang berkumpul di dalam gedung Gereja. Kesediaan berdiri dengan tegak dan bernyanyi bersama merupakan ungkapan iman akan kehadiran Tuhan Yesus dalam persekutuan umat yang berhimpun. Sesampainya di depan panti imam, imam dan para petugas liturgi berlutut sebagai tanda hormat. Selanjutnya imam menuju altar dan secara khusus imam mencium altar untuk menyatakan hormat yang mendalam kepada Kristus sang Imam Agung yang hadir di altar sebagai Tuan Rumah Perayaan Ekaristi yang menyerahkan Diri untuk keselamatan umatNya dan seluruh manusia. Tindakan imam mencium altar bukan bersifat pribadi melainkan mewakili dan menyatukan seluruh umat yang hadir. Hendaknya umat menyatukan diri dengan penghormatan imam ini dalam batin.Kemudian imam menuju mimbar imam untuk membacakan intensi misa hari itu. Intensi misa adalah ujud-ujud yang diminta oleh umat untuk dipersembahkan pada perayaan Ekaristi hari itu. Selanjutnya imam memulai perayaan Ekaristi dengan tanda salib pembuka. Tanda salib ini secara jelas mengungkapkan iman. (1) Kita diselamatkan melalui salib Kristus; (2) kita telah menerima keselamatan melalui pembaptisan dalam nama Tritunggal Mahakudus, Bapa, Putra dan Roh Kudus; (3) kita disatukan dalam kesatuan ilahi yang abadi dalam Tritunggal Mahakudus; (4) kita milik Kristus yang tersalib dan bangkit. Betapa mendalamnya makna tanda salib. Maka hendaknya kita membuat tanda salib dengan hormat. Selanjutnya, imam memberi salam: Tuhan Bersamamu. Salam imam ini menyatakan iman bahwa benar, Tuhan hadir di tengah umat yang berkumpul. Seluruh umat menjawab: dan bersama Rohmu. Dan jawaban umat ini menyatakan iman, Tuhan juga hadir dalam RohNya yang kudus dalam diri imam. Salam ini merupakan salam khas dalam Liturgi, khususnya Ekaristi. Imam kemudian melanjutkan dengan menyampaikan pengantar tentang misteri iman yang mengajak umat untuk memasuki misteri iman yang dirayakan Minggu itu melalui Sabda Allah yang diwartakan Minggu itu. Selanjutnya imam mengajak hening untuk memeriksa batin. Pemeriksaan batin ini merupakan ajakan untuk menyadari bahwa meski kita ini berdosa, namun Allah tetap mengundang dan menyatukan kita dalam GerejaNya yang kudus. Setiap dosa mencemari kesucian Allah dan GerejaNya yang kudus. Oleh karena itu, kemudian imam mengajak menyatakan tobat dengan mengakukan dosa pikiran, misalnya, pikiran negatif, cabul, jahat, benci, dendam; dosa perkataan, misalnya, kata-kata yang melukai, kotor, bohong, menghina; dosa perbuatan, misalnya mencuri, menipu, melakukan kekerasan; dan dosa kelalaian, misalnya dapat berbuat baik tetapi tidak mau melakukan, dapat membantu tetapi tidak mau melakukan. Penyesalan dan pertobatan sejati selalu bersumber dari pengalaman akan kebaikan Allah. Allah yang Mahabaik itu kemudian memberikan absolusi melalui imam. Absolusi dalam Ritus Pembuka ini tidak menggantikan sakramen Tobat, karena absolusi ini diberikan kepada Gereja sebagai persekutuan atau absolusi umum. Tentu dosa-dosa kecil pasti diampuni Allah, namun jika kita berdosa berat harus tetap menerima sakramen pengakuan dosa secara pribadi. Tobat dan absolusi ini disusul dengan mohon belaskasih Allah melalui seruan Tuhan Kasihanilah Kami atau Kyrie. Seruan Tuhan Kasihanilah kami merupakan permohonan belaskasih Tuhan seperti yang diserukan orang buta yang memohon belaskasih Tuhan Yesus: Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku. Karena kita telah mengalami pengampunan dan belaskasih Allah, maka kemudian dengan penuh sukacita memuji dan memuliakan Allah atau Gloria. Pujian ini mengungkapkan iman akan kemuliaan Tritunggal Mahakudus. Ritus Pembuka ini diakhiri dengan Doa Kolekta atau Doa Pembuka. Imam mengajak umat untuk menyatukan diri dalam doa dengan ajakan: Marilah Berdoa dan kemudian hening sejak. Dalam keheningan inilah umat dapat menyampaikan intensi atau permohonan pribadi. Imam kemudian mendoakan Doa Kolekta yang berisi misteri iman yang dirayakan hari itu dan kemudian diakhiri dengan pengakuan iman akan Tritunggal Mahakudus. Umat menjawab serentak, Amin. Kata “Amin” ini menyatakan dengan jelas bahwa ya itu juga doa kita sebagai Gereja. Selesai Doa Kolekta atau Doa Pembuka, kita siap memasuki Liturgi Sabda.Pemeriksaan BatinPara saudara terkasih. Agar dapat merayakan Ekaristi dengan pantas, kita diajak untuk mempersiapkan diri secara pribadi sebelum Perayaan Ekaristi dimulai. Benarkah itu kita lakukan? Apa saja yang menghambat kita untuk menyiapkan diri? Sungguhkah kita memasuki gereja sebagai rumah Allah dengan hormat? Membuat tanda salib dengan hormat dan berlutut dengan tenang? Apakah kita masih sibuk dengan hal lain ketika sudah memasuki rumah Allah? Ketika Lagu Pembuka dinyanyikan, apakah kita ikut juga mempersembahkan suara untuk memuliakan Allah? Apakah kita dengan jujur meneliti batin dan dengan sepenuh hati menyesali dosa dan menyatakan tobat? Apa saja yang menghambat kita untuk bertobat? Apa saja yang sering kita lakukan sehingga mengganggu umat lain dalam Ekaristi? Apa yang kita lakukan agar merayakan Ekaristi dengan lebih layak pada kesempatan mendatang?Intensi Pribadi/BersamaPara saudara terkasih. Setelah mendengarkan Ajaran Gereja tentang hari Minggu sebagai hari Tuhan, marilah kita persembahkan permohonan-permohonan kita.Doa Bapa KamiKita satukan seluruh proses pendalaman iman kita dan permohonan-permohonan dengan doa Tuhan: Bapa kami..Doa PenutupBapa yang Mahakasih, pada pertemuan kedua di masa Prapaskah ini kami telah mendalami kembali makna rangkaian dalam Ritus Pembuka perayaan Ekaristi. Syukur dan terima kasih kami haturkan atas kesempatan merefleksikan kembali sikap dan perilaku kami dalam mengawali Perayaan Ekaristi. Utuslah Roh KudusMu setiap kali kami merayakan Ekaristi sehingga kami dapat mengalami kehadiranMu yang menyelamatkan dengan pengantaraan Yesus Kristus, Tuhan dan Juru Selamat kami kini dan sepanjang segala masa, Amin.BERKAT Marilah kita hening sejenak, mohon berkat Tuhan bagi kita yang hadir di sini, bagi keluarga dan juga bagi umat di lingkungan/stasi. Semoga Tuhan beserta kita. Semoga kita semua, seluruh anggota keluarga dan saudara kita di lingkungan/stasi . . . senantiasa dibimbing dan dilindungi oleh berkat Allah Yang Mahakuasa: Dalam Nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus, Amin.Sumber:Buku Bahan Pendalaman Iman APP Tahun 2022 Keuskupan Surabaya

Read More

Taburlah Benih Kebaikan

“Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik, karena apabila sudah datang waktunya, kita akan menuai, jika kita tidak menjadi lemah. Karena itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang” (Gal 6:9-10)Dalam pesannya untuk Prapaskah 2022, Paus Fransiskus mengajak umat beriman untuk menabur benih kebaikan, sehingga kita dapat menuai panen keselamatan bagi diri kita sendiri dan orang lain. Bapa suci mendasarkan Pesannya untuk Prapaskah 2022 pada bagian dari Surat Santo Paulus kepada Jemaat Galatia.Rekan kerja Tuhan---------------------Dimulai dengan gambaran tentang menabur dan menuai, Bapa Suci menunjukkan bahwa “Prapaskah mengundang kita untuk pertobatan, untuk mengubah pola pikir, sehingga kebenaran dan keindahan hidup dapat ditemukan bukan dalam hal memiliki namun dalam hal memberi, bukan dalam hal mengumpulkan, melainkan dalam menabur dan berbagi kebaikan.”Bapa suci menjelaskan bahwa Tuhan adalah yang pertama menabur, menabur “benih kebaikan yang berlimpah dalam keluarga umat manusia kita.” Selama masa Prapaskah, “kita dipanggil untuk menanggapi pemberian Tuhan” dengan mendengarkan Firman-Nya, sehingga “berbuah dalam hidup kita”. Dengan cara inilah, kita menjadi “rekan kerja Tuhan”, yang merupakan anugerah berbagi dalam “kebaikan yang melimpah” dari Tuhan sendiri.Menuai panenan-------------------Pada gilirannya, mengarah kepada panenan. Ketika kita menabur benih kebaikan dan kebaikan, "tidak peduli seberapa kecil," dalam hidup kita sendiri, kita memancarkan cahaya dan membawa "aroma Kristus ke dunia." Mengingat peribahasa Injil, “yang satu menabur, yang lain menuai,” Paus Fransiskus mengingatkan kita bahwa “kita hanya melihat sebagian kecil dari buah yang kita tabur.” Paus menjelaskan bahwa “menabur kebaikan untuk kepentingan orang lain membebaskan kita dari kepentingan pribadi yang sempit, menanamkan tindakan kita dengan cuma-cuma, dan menjadikan kita bagian dari cakrawala yang luar biasa dari rencana kebaikan Tuhan.”Doa, Puasa, dan Derma---------------------------Bapa Suci melanjutkan untuk menghubungkan kata-kata Paulus kepada jemaat di Galatia dengan tradisi Prapaskah dari doa, puasa, dan derma. “Jangan sampai kita bosan berdoa,” katanya, menyadari bahwa kita membutuhkan Tuhan dan sesama. “Marilah kita tidak bosan mencabut kejahatan dari hidup kita,” merangkul puasa untuk “membentengi roh kita untuk pertempuran melawan dosa,” terutama melalui Sakramen Pengakuan Dosa dan dengan memerangi nafsu. “Marilah kita tidak bosan berbuat baik dalam amal aktif terhadap sesama kita,” memberi dengan sukacita dan murah hati kepada orang lain, terutama mereka yang paling membutuhkan.Paus Fransiskus mengatakan bahwa setiap tahun selama masa Prapaskah “kita diingatkan bahwa ‘kebaikan, bersama dengan cinta kasih, keadilan, dan solidaritas, tidak dicapai sekali dan untuk selamanya; mereka harus diwujudkan setiap hari.'”Jangan lelah berbuat baik-----------------------------Bapa suci mengakhiri pesannya dengan mengingatkan kita bahwa “tanah disiapkan dengan puasa, disirami dengan doa, dan diperkaya dengan amal.” Paus mengundang kita, sekali lagi, untuk tidak bosan berbuat baik, dan memanggil kita untuk “percaya dengan teguh bahwa 'jika kita tidak menyerah, kita akan menuai panenan kita pada waktunya,' dan bahwa, dengan karunia ketekunan, kita akan mendapatkan apa yang dijanjikan, untuk keselamatan kita dan keselamatan sesama.” #KaryaKepausanIndonesiaTeks lengkap pesan paus:https://karyakepausanindonesia.org/2022/02/25/pesan-paus-fransiskus-untuk-masa-prapaskah-2022/

Read More

Pendalaman Iman APP Pertemuan I Keuskupan Surabaya 2022

Gagasan PokokHari Minggu merupakan hari yang dikuduskan oleh Tuhan. Maka pada hari Minggu umat Allah berhenti dari pekerjaan untuk berkumpul dan beribadat kepada Allah; berkumpul untuk bersyukur dan mendengarkan Sabda Allah. Ini bersumber dari peristiwa kebangkitan Tuhan Yesus yang terjadi pada hari Minggu. Maka sekalipun tidak ada Perayaan Ekaristi Minggu atau berhalangan mengikuti Ekaristi Minggu, kita tetap perlu berkumpul bersama, entah itu dalam stasi atau keluarga atau kelompok tertentu untuk bersyukur dan mendengarkan sabda Allah dalam ibadat.Hari Minggu adalah hari pertemuan kita sebagai persekutuan dalam keluarga Allah. TujuanMenyadarkan umat akan pentingnya hari Minggu sebagai hari pertemuan keluarga Allah untuk bersyukur dan mendengarkan Sabda AllahMenegaskan kembali kebiasaan berkumpul untuk beribadat bersama pada hari Minggu.Menggerakkan umat untuk menguduskan hari Minggu. Pengantar Para saudara terkasih. Dalam masa Prapaskah ini, kembali kita berkumpul bersama sebagai persekutuan murid-murid Kristus untuk melakukan pendalaman iman sebagai usaha pertobatan. Tema pendalaman iman Prapaskah 2022 ini adalah DIPERSATUKAN KRISTUS DALAM PERSEKUTUAN YANG DIHIDUPI OLEH EKARISTI. Tema ini merupakan kelanjutan tak terpisahkan dari tema tahun 2021, yaitu Mengenal Yesus, Guru dan Tuhan. Dalam tema tersebut, kita diajak untuk merenungkan dan menyegarkan kembali pengenalan kita pada Yesus, Guru dan Tuhan. Selanjutnya, di tahun 2022 ini, sebagai seorang murid, kita diajak untuk merenungkan dan menyegarkan kembali kesatuan kita dengan Yesus, Guru dan Tuhan.Para saudara terkasih. Kesatuan kita sebagai murid dengan Yesus, Guru dan Tuhan secara nyata terjadi ketika kita merayakan Ekaristi. Maka fokus pendalaman iman selama tahun 2022 adalah Persatuan dengan Yesus, Guru dan Tuhan dalam perayaan Ekaristi. Apalagi selama masa pandemi, kita hanya sebatas merayakan Ekaristi secara virtual. Hal ini sadar atau tidak, langsung atau tidak, melemahkan semangat iman kita dalam merayakan Ekaristi yang merupakan puncak dan sumber hidup Gereja. Maka selama masa Prapaskah Tahun 2022 ini, kita menyegarkan kembali pemahaman kita tentang Ekaristi dalam 6 kali pertemuan.Para saudara terkasih. Sebelum mendalami bagian per bagian Ekaristi yang kita rayakan setiap hari Minggu, terlebih dahulu kita mendalami kembali makna hari Minggu bagi iman kita. Maka dalam pertemuan Prapaska yang pertama ini, kita menyegarkan kembali penghayatan iman kita tentang Hari Minggu sebagai Hari Tuhan. Kitab Suci sebagai sumber iman kita mewartakan bahwa Tuhan Yesus bangkit pada hari Minggu. Oleh karena itu setiap hari Minggu murid-murid Tuhan Yesus berkumpul untuk merayakan kebangkitan Tuhan dengan beribadat dan merayakan Ekaristi. Tentu sebagian dari kita benar-benar mengimani hari Minggu sebagai hari Tuhan, maka mereka menguduskan hari Minggu dengan ibadat Sabda atau merayakan Ekaristi. Namun ada juga yang mengurbankan hari Minggu untuk kepentingan lain dengan berbagai alasan. Bagi mereka ini, rasanya masih kurang waktu untuk diri sendiri selama 6 hari sehingga 1-2 jam menguduskan hari Tuhan pada hari Minggu pun tidak sempat. Belajar Ajaran Gereja dari Konstitusi Liturgi Artikel 106Para saudara terkasih. Mari kita membaca dan cermati bacaan di bawah ini yang diambil dari Konstitusi Liturgi artikel 106. “Berdasarkan Tradisi para Rasul yang berasal mula pada hari Kebangkitan Kristus sendiri, Gereja merayakan misteri Paskah sekali seminggu, pada hari yang tepat sekali disebut Hari Tuhan atau hari Minggu. Pada hari itu Umat beriman wajib berkumpul untuk mendengarkan sabda Allah dan ikut-serta dalam perayaan Ekaristi, dan dengan demikian mengenangkan Sengsara, Kebangkitan dan kemuliaan Tuhan Yesus, serta mengucap syukur kepada Allah, yang melahirkan mereka kembali ke dalam pengharapan yang hidup berkat Kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati (1Ptr. 1:3). Demikianlah hari Minggu itu pangkal segala hari pesta. Hari itu hendaknya dianjurkan dan ditandaskan bagi kesalehan kaum beriman, sehingga juga menjadi hari kegembiraan dan bebas dari kerja. Kecuali bila memang sungguh sangat penting, perayaan-perayaan lain jangan diutamakan terhadap Minggu, sebab perayaan Minggu memang merupakan dasar dan inti segenap tahun Liturgi.”Makna dan Pesan dari Konstitusi Liturgi Artikel 106Selama masa pandemi, kehidupan iman kita mengalami masa yang tidak mudah. Perayaan Ekaristi yang menjadi sumber dan puncak iman Gereja hanya bisa kita ikuti sebatas melalui jaringan internet. Meski hanya sebatas melalui jaringan internet, banyak umat Katolik mengikutinya dengan penuh iman. Namun tidak jarang ada juga yang mengikuti dengan asal-asalan, bahkan memutar rekaman perayaan Ekaristi saja. Karena itu, sebagian umat sudah meredup cintanya terhadap Ekaristi. Selaras dengan arah dasar Keuskupan Surabaya dan sekaligus menyegarkan kembali penghayatan Ekaristi, maka tema pendalaman iman Prapaskah Tahun 2022 adalah Dipersatukan Kristus Dalam Persekutuan yang Dihidupi oleh Ekaristi, yang akan kita dalami dalam 6 kali pertemuan. Dalam pertemuan yang pertama ini kita diajak untuk mendalami kembali Hari Minggu sebagai Hari Tuhan. Konstitusi Liturgi yang kita baca tadi mengajarkan bahwa hari Minggu disebut hari Tuhan karena pada hari itu Gereja merayakan misteri Paskah kebangkitan Tuhan. Oleh karena itu Gereja mengajak seluruh umatnya untuk menguduskan hari Minggu dengan berkumpul mendengarkan Sabda Allah dan ikut serta dalam perayaan Ekaristi. Jelas dan tegas yang disampaikan Gereja bagi kita, bahwa umat Katolik wajib berkumpul pada hari Minggu. Berkumpul dengan siapa? Tentu dengan sesama umat seiman. Berkumpul untuk apa? Untuk mendengarkan Sabda Allah dan ikut serta dalam Perayaan Ekaristi.  Karena jumlah imam belum mencukupi, maka masih ada umat Katolik yang tinggal di stasi-stasi yang jauh dari pusat paroki, tidak dapat merayakan Ekaristi setiap Minggunya. Ada yang merayakan Ekaristi dua kali sebulan, ada juga yang sekali sebulan. Meski demikian, setiap Minggu umat di stasi-stasi ini tetap setia untuk berkumpul mendengarkan Sabda Allah dalam ibadat Sabda yang dipimpin oleh para pemuka umat di stasi itu. Kalaupun kita tidak mungkin berkumpul bersama umat lainnya karena jarak tinggal kita dengan umat lainnya sangat jauh, maka kita dapat berkumpul bersama keluarga untuk ibadat sabda di rumah. Ayah atau ibu dapat memimpin ibadat sabda dalam keluarga.Karena ada pembatasan untuk berkumpul banyak orang dalam masa pandemi, maka tidak mungkin kita merayakan Ekaristi di Gereja. Berkat kemajuan tehnologi komunikasi dan informasi, kita dapat mengikuti Ekaristi hari Minggu, bahkan setiap hari secara virtual dari rumah masing-masing. Dalam masa pandemi, melalui jaringan internet Gereja tetap hadir untuk memelihara kehidupan rohani umatnya.Dengan berkumpul mengikuti Ekaristi secara virtual bersama keluarga di rumah masingmasing, kita melaksanakan kewajiban untuk berkumpul pada hari Minggu. Ajaran Gereja dalam Konsitusi Liturgi yang kita dengarkan tadi menegaskan pentingnya berkumpul pada hari Minggu, hari Tuhan. Dengan berkumpul pada hari Minggu bersama keluarga maupun umat lainnya, baik dengan beribadat Sabda maupun merayakan Ekaristi secara langsung atau mengikuti Ekaristi melalui jaringan internet, kita menguduskan hari Minggu sebagai hari Tuhan.  Konstitusi Liturgi yang kita baca tadi juga menegaskan bahwa hari Minggu adalah hari kegembiraan dan bebas dari kerja. Setelah setiap hari kita bekerja untuk mengusahakan kesejahteraan hidup, maka pada hari Minggu merupakan hari kegembiraan bebas dari kerja. Pada hari Minggu itu kita diajak untuk menyatukan diri satu dengan yang lain dan memperoleh kekuatan rohani dengan mendengarkan Sabda Allah dan merayakan Ekaristi. Hari Minggu merupakan hari penyegaran hidup rohani kita. Dengan kata lain, hari Minggu merupakan hari bebas dari kerja agar kita dapat bersyukur atas penyertaan Allah pada setiap hari kerja. Pada hari Minggu, kita berhenti dari kerja untuk bersatu dengan Tuhan Yesus dan mendengarkan SabdaNya serta menerima TubuhNya sebagai makanan kehidupan kekal. Selain mendengarkan SabdaNya dan merayakan Ekaristi, kita juga dapat menguduskan hari Tuhan dengan melakukan perbuatan belaskasih, misalnya mengunjungi orang sakit, mengunjungi para lansia yang tinggal sendirian, jika perlu merapikan dan membersihkan tempat tinggal mereka, mengajak seluruh anggota keluarga merapikan dan membersihkan rumah sendiri, dll.Betapa pentingnya hari Minggu bagi iman kita. Sebagai muridmurid Kristus kita mendapat kekuatan dari Allah untuk berjuang dalam hidup setiap hari dengan bekerja. Dan apa yang kita alami dalam hidup sehari-hari, kita bawa kepada Allah untuk dikuduskan dan diberkati pada hari Minggu. Berkat Allah selalu menyertai kita.Pemeriksaan BatinPara saudara terkasih. Dari ajaran Gereja melalui Konstitusi Liturgi kita tahu betapa pentingnya hari Minggu bagi iman kita. Bagaimana selama ini kita menguduskan hari Minggu? Apa yang kita lakukan untuk menguduskan hari Minggu? Apa saja yang selama ini menghambat kita untuk menguduskan hari Minggu? Bagaimana selama ini sikap kita ketika mengikuti Ekaristi secara virtual? Bagaimana cara kita berpakaian dalam mengikuti Ekaristi? Bagaimana tata gerak yang kita lakukan? Sikap dan tindakan apa yang akan kita lakukan untuk menghormati hari Minggu sebagai hari Tuhan di hari mendatang? Intensi Pribadi/BersamaPara saudara terkasih. Setelah mendengarkan Ajaran Gereja tentang hari Minggu sebagai hari Tuhan, marilah kita persembahkan permohonan-permohonan kita.Doa Bapa KamiKita satukan seluruh proses pendalaman iman kita dan permohonan-permohonan dengan doa Tuhan: Bapa kami..Doa PenutupBapa yang Mahakasih, kami sudah menyelesaikan pertemuan Prapaskah yang pertama. Dalam pertemuan pertama ini, GerejaMu mengajarkan bahwa kami wajib berkumpul bersama untuk bersyukur dan mendengarkan Sabda Allah serta merayakan Ekaristi Suci. Bantulah kami untuk setia merayakan hari Minggu sebagai hari Tuhan. Berilah kami kekuatan ilahiMu sehingga setiap hari Minggu kami dapat mempersembahkan waktu dan hati kami untuk bersyukur bersama keluarga dan umat lainnya atas rahmat Mu yang kami terima setiap hari. Demi kemuliaan namaMu, kini dan sepanjang masa, Amin.BERKAT Marilah kita hening sejenak, mohon berkat Tuhan bagi kita yang hadir di sini, bagi keluarga dan juga bagi umat di lingkungan/stasi. Semoga Tuhan beserta kita. Semoga kita semua, seluruh anggota keluarga dan saudara kita di lingkungan/stasi . . . senantiasa dibimbing dan dilindungi oleh berkat Allah Yang Mahakuasa: Dalam Nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus, Amin.Sumber:Buku Bahan Pendalaman Iman APP Tahun 2022 Keuskupan Surabaya

Read More

Murid-murid Yesus Miskin dalam Kebahagiaan

Murid-murid Yesus miskin dalam kebahagiaan====================Dalam sapaannya sebelum pendarasan Doa Malaikat Tuhan hari Minggu ini, Paus Fransiskus memberikan renungannya mengenai identitas Kristen yang dikemas dalam Sabda Bahagia, dan paus mengatakan bahwa murid-murid Yesus diberkati karena mereka miskin.Paus Fransiskus mempersembahkan refleksi pembacaan Injil hari Minggu (Luk 6:20-23) pada doa Angelus tengah hari bersama para peziarah di Lapangan Santo Petrus.Berbicara tentang Sabda Bahagia, Paus mencatat bahwa Yesus dikelilingi oleh banyak orang ketika Dia mewartakan Sabda Bahagia, tetapi Dia menyapa mereka kepada “murid-murid-Nya”.Paus Fransiskus mengatakan Yesus melakukannya karena Sabda Bahagia “menentukan identitas murid Yesus.”“Itu semua mungkin terdengar aneh, hampir tidak dapat dipahami oleh mereka yang bukan murid,” akunya. “Namun, jika kita bertanya pada diri sendiri seperti apa murid Yesus itu, jawabannya justru Sabda Bahagia.”Miskin, diberkati, rendah hati---------------------------------------------Paus memusatkan perhatiannya pada kalimat “Berbahagialah kamu yang miskin, karena kamu adalah empunya Kerajaan Surga.”“Yesus mengatakan dua hal itu kepada umat-Nya: bahwa mereka diberkati dan miskin, dan bahwa mereka diberkati karena mereka miskin.”Menjadi miskin, kata Paus Fransiskus, berarti orang Kristiani menemukan sukacita kita dalam karunia yang kita terima setiap hari dari Tuhan — seperti halnya kehidupan, ciptaan, dan saudara-saudari kita — dan bukan dalam rupa uang atau barang materi lainnya.Kemiskinan jenis ini, lanjutnya, mendorong kita untuk berbagi harta yang kita miliki “menurut logika Tuhan, yaitu secara cuma-cuma.”“Oleh karena itu,” katanya, “para murid adalah orang-orang yang rendah hati, terbuka, jauh dari prasangka dan kekakuan.”Paradoks Sabda Bahagia---------------------------------------Kemudian paus Fransiskus melanjutkan dengan mengingat kisah dari bacaan Injil hari Minggu lalu tentang Santo Petrus yang menebarkan jala atas ajakan Yesus, sebelum meninggalkan tangkapannya yang ajaib, untuk mengikuti Tuhan.“Petrus menunjukkan dirinya penurut dengan meninggalkan segalanya, dan dengan cara ini, ia menjadi murid. Sebaliknya, mereka yang terlalu terikat pada ide dan perasaan mereka sendiri, merasa sulit untuk benar-benar mengikuti Yesus.”Paus mengatakan bahwa beberapa orang mungkin mendengarkan Yesus tetapi pada akhirnya menolak untuk menerima “paradoks Sabda Bahagia” dan akhirnya tidak puas dan merasa sedih.Terbebas dari rantai kekakuan----------------------------------------------Sabda Bahagia, kata Paus, “menyatakan bahwa mereka yang miskin, yang tak memiliki banyak harta dan menyadari hal ini, diberkati, yaitu bahagia.”“Para murid tahu bagaimana mempertanyakan diri mereka sendiri, bagaimana dengan rendah hati mencari Tuhan setiap hari, dan ini memungkinkan mereka untuk menyelidiki kenyataan, memahami kekayaan dan kompleksitasnya,” katanya.Murid-murid Kristiani, kata Paus, membiarkan diri kita tertantang dan rela menempuh perjalanan yang melelahkan untuk memasuki logika Tuhan.“Dengan membebaskan kita dari perbudakan keegoisan, Tuhan membuka kunci kita, melarutkan kekerasan kita, dan membukakan bagi kita kebahagiaan sejati, yang seringkali ditemukan di tempat yang tidak kita harapkan.”Sukacita murid Kristiani--------------------------------------Akhirnya, Paus Fransiskus mengundang orang Kristiani untuk bertanya pada diri sendiri apakah kita menikmati “kesiapsediaan murid” atau apakah kita lebih suka merangkul pola pikir kita sendiri yang kaku.“Apakah kita membiarkan diri kita 'tertekuk dalam batin' oleh paradoks Sabda Bahagia, atau apakah kita tetap berada dalam batas-batas ide kita sendiri?” tanya Paus.Paus Fransiskus menutup katekese singkatnya dengan mengingatkan bahwa sukacita adalah tanda sejati seorang murid Yesus.Paus mengajak semua umat berdoa “Semoga Bunda Maria, murid pertama Tuhan, membantu kita hidup sebagai murid yang terbuka dan penuh sukacita.”

Read More

Ziarah “Cinta” Spiritual Vatikan Dan Abu Dhabi

Vatikan dan Abu Dhabi ibarat judul salah satu sinetron Indonesia; “Cinta Beda Agama.” Namun Vatikan dan Abu Dhabi tidak sedang memainkan sinetron yang penuh dengan cerita dan kisah fiktif. Vatikan dan Abu Dhabi adalah Cinta itu sendiri yang memainkan dan mewartakan kepada semesta akan Cinta spiritual yang memainkan peran iman dalam upaya mencegah segala konsekuensi negatif pembelokan kebenaran transenden dengan nilai-nilai yang dangkal dan materialistis mengatasnamakan agama.Peresmian Kedubes Vatikan (Apostolic Nunciature) di Abu Dhabi pada hari Jumad, 04-February 2022 yang menjadi Kedubes pertama di Abu Dhabi sepanjang perjalanan sejarah Gereja Katolik di Abu Dhabi adalah kado terindah bagi Vatikan dalam hal ini bagi Gereja Katolik namun juga bagi Abu Dhabi yang telah lama berziarah dalam rajutan cinta persaudaraan seorang Paus Fransiskus dengan pihak kerajaan Abu Dhabi yang hadir dalami diri Imam Besar Al-Azar: Ahmed el-Tayeb.Ziarah cinta Vatikan yang merepresentasikan Gereja Katolik dengan Abu Dhabi yang merepresentasikan umat Islam ditandai dengan semangat persaudaraan dua tokoh karismatik dan spiritual beda agama: Paus Fransiskus (Katolik) dan Ahmed el-Tayeb (Islam) dalam kunjungan spiritual sebagaimana kunjungan Ahmed el-Tayeb ke Vatikan pada Senin, 23-Mei 2016 (bdk. liputan6.com, 24 Mei 2016) dan kunjungan Paus Fransiskus ke Abu Dhabi pada 3-5 Februari 2019 (bdk. dunia.tempo.co, 4 Februari 2019).Kunjungan kedua tokoh spiritual ini tidak hanya menjadi kunjungan persaudaraan pribadi antar mereka berdua namun merupakan sebuah kunjungan iman dua agama; Katolik dan Islam dalam membangun gerakan kemanusiaan dan persaudaraan sejati. Sebuah ziarah yang mengedepankan pemahaman tentang pentingnya iman pada gilirannya membuahkan peran positif untuk membumikan kebenaran Transenden yang ada didalam agama masing-masing menjadi sebuah persaudaraan spiritual; persaudaraan untuk kemanusiaan dan hanya untuk kemuliaan Allah.Ziarah cinta spiritual Vatikan (Katolik) dan Abu Dhabi (Islam) menjadi sebuah ziarah cinta yang unik karena bukan lagi dogma dalam bentuk Kitab Suci dan ajaran-ajaran tertulis lainnya yang dibicarakan melainkan menjadikan rajutan cinta persaudaraan yang ditandai dalam semangat persaudaraan berupa kunjungan yang menghasilkan “Dokumen Persaudaraan Manusia Untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama” yang dideklarasikan oleh Paus Fransiskus dan Ahmed el-Tayeb sebagai Dokumen Cinta (4 Februari 2019) dan Ensiklik Paus Fransiskus: Fratelli Tutti (3 Oktober 2020) sebagai Ensiklik Persaudaraan Kasih adalah dogma itu sendiri, dogma yang bukan dalam bentuk buku namun dalam tindakan iman.Hadirnya Kedubes Vatikan di Abu Dhabi bukan hanya mempertegas hubungan bilateral dan diplomatik antara Tahkta Suci Vatikan dengan Abu Dhabi yang sudah dimulai sejak 2007 namun mempertegas makna dan peran penting kehadiran agama bagi dunia yaitu menjadi terang bagi dunia termasuk bagi praktek keagamaan yang penuh dengan kecurigaan, prasangka buruk, penghinaan dan fitnah serta sikap saling menjelekan hanya karena klaim-klaim kebenaran yang dangkal dan materialistik.Kehadiran Apostolic Nunciature di Abu Dhabi menjadi sebuah pancaran kebenaran bahwa Kebenaran itu tidak lagi menjadi perdebatan dalam tataran agama (Ritus, Kitab Suci, Dogma) namun dalam tataran Iman yang hidup dalam tindakan untuk kebaikan bersama.Selamat atas ziarah cinta spiritual Vatikan dan Abu Dhabi yang menghadirkan sebuah “rumah” spiritual, Kedubes Vatikan di Abu Dhabi. Abu Dhabi adalah contoh nyata dari Rumah Cinta Beda Agama.Bdk. Vatican opens its first embassy in Abu Dhabi, cbcpnews.net, February 5 2022 

Read More

KEMBANGKAN VISI BARU PADA HIDUP BAKTI

Paus Fransiskus memimpin Misa pada Pesta Yesus Dipersembahkan di Bait Allah pada 2 Februari 2022, yang juga menandai Hari Doa Sedunia untuk Hidup Bakti.Dalam homilinya pada Rabu malam, Paus Fransiskus merefleksikan bacaan injil mengenai Yesus pada Pesta Persembahan-Nya di Bait Allah yang dirayakan pada 2 Februari ini.Paus mengenang dua penatua, Simeon dan Hana yang sedang menunggu di Bait Suci, “penggenapan janji yang Tuhan buat kepada umat-Nya: kedatangan Mesias.”Paus Fransiskus mencatatkan bahwa Simeon digerakkan oleh Roh; “kemudian dia melihat keselamatan di dalam Kanak-kanak Yesus dan akhirnya dia membawanya ke dalam pelukannya.”Apa yang menggerakkan kita?----------------------------------------Paus kemudian mengajak kita untuk mempertimbangkan ketiga tindakan ini dengan melihat terlebih dahulu apa yang menggerakkan kita?Paus menjelaskan bahwa seperti Simeon, Roh Kudus “memampukan kita untuk membedakan kehadiran dan aktivitas Tuhan bukan dalam hal-hal besar, dalam penampilan luar atau unjuk kekuatan, tetapi dalam hal kecil dan kelemahan.”Paus Fransiskus kemudian mengajukan pertanyaan; “siapa yang paling banyak menggerakkan kita? Apakah itu Roh Kudus, atau roh dunia ini?”Pada Hari Doa Sedunia untuk Hidup Bakti ini, Paus bergabung di Basilika Santo Petrus oleh para anggota Institut Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan, dan beliau mengatakan bahwa “ini adalah pertanyaan yang setiap orang, khususnya orang-orang hidup bakti, perlu bertanya."Bapa suci melanjutkan dengan mengatakan, “Roh menggerakkan kita untuk melihat Tuhan dalam kekecilan dan kerentanan seorang bayi, namun terkadang kita mengambil risiko melihat pentahbisan kita hanya dalam hal hasil, tujuan, dan kesuksesan: kita mencari pengaruh, visibilitas, hanya untuk angka.”Roh, komentar Paus, “di sisi lain, tidak meminta semua ini. Dia ingin kita memupuk kesetiaan setiap hari dan memperhatikan hal-hal kecil yang dipercayakan kepada kita.”Paus Fransiskus menekankan bahwa penting bagi orang-orang hidup bakti untuk memeriksa motivasi batin mereka dan membedakan gerakan spiritual mereka, “agar pembaruan hidup bakti dapat terjadi, pertama dan terutama, dari sana.”Apa yang dilihat oleh mata kita?------------------------------------------Paus kemudian mengalihkan perhatiannya ke pertanyaan kedua, Apa yang dilihat oleh mata kita? Paus mencatat bahwa Tuhan memandang kita dengan “tatapan penuh kasih”, dan memberi kita “mata baru untuk melihat diri kita sendiri dan dunia kita.” Itu adalah tatapan, katanya, “yang tidak berhenti pada penampilan, tetapi dapat masuk ke celah kelemahan dan kegagalan kita, untuk melihat kehadiran Tuhan bahkan di sana.”Dalam sambutannya yang spontan, Paus mencatat bahwa ada baiknya orang-orang “mengunjungi saudara dan saudari seagama kita yang sudah lanjut usia, untuk melihat mereka, untuk berbicara, untuk bertanya, untuk mendengar apa yang mereka pikirkan. Saya pikir itu akan menjadi obat yang baik.”Tuhan, menggarisbawahi Paus Fransiskus, “tidak pernah gagal memberi kita tanda-tanda yang mengundang kita untuk menumbuhkan visi hidup bakti yang diperbarui.”“Mari kita buka mata kita: Roh mengundang kita di tengah krisis kita, mengurangi jumlah dan kekuatan, untuk memperbarui hidup kita dan komunitas kita,” katanya.Pada homilinya tersebut, Paus juga memperingatkan terhadap godaan “untuk mundur, demi keamanan, untuk ketakutan, untuk melestarikan iman, untuk melestarikan karisma pendiri.”"Baik Simeon maupun Hana tidaklah kaku. Mereka bebas dan merayakan pesta."Merangkul Tuhan----------------------Akhirnya, Paus memusatkan perhatian pada pertanyaan ketiga: apa yang kita bawa di tangan kita sendiri?“Kadang-kadang kita berisiko kehilangan arah, terjebak dalam seribu hal yang berbeda, terobsesi dengan masalah kecil atau terjun ke proyek baru,” namun, kata Paus, “jantung dari segala sesuatu adalah Kristus, memeluknya sebagai Tuhan atas hidup kita.”Paus memperingatkan, “jika pria dan wanita yang ditahbiskan kekurangan kata-kata yang memberkati Tuhan dan orang lain, jika mereka kekurangan sukacita, jika antusiasme mereka gagal, jika kehidupan persaudaraan mereka hanya merupakan tugas, itu bukan kesalahan seseorang atau sesuatu yang lain. Itu karena lengan kita tidak lagi memeluk Yesus.”Paus melanjutkan dengan mengatakan bahwa ketika itu terjadi, "hati kita menjadi mangsa kepahitan, mengeluh tentang hal-hal yang tidak berjalan seperti jarum jam, kekakuan dan ketidakfleksibelan, ilusi superioritas kita sendiri."Visi yang diperbarui-------------------------Sebagai penutup, Paus Fransiskus mengundang semua umat yang ditahbiskan untuk “memperbarui konsekrasi kita,” menanyakan apa yang “'menggerakkan' hati dan tindakan kita, visi baru apa yang kita dipanggil untuk kembangkan, dan di atas segalanya, mari kita membawa Yesus ke dalam tangan kita,” seperti yang dilakukan Simeon dan Hana.Sumber :https://karyakepausanindonesia.org/2022/02/03/homili-bapa-suci-fransiskus-pada-misa-hari-doa-sedunia-untuk-hidup-bakti-ke-26/  

Read More

“OASE BAGI YANG KEHAUSAN PENGETAHUAN IMAN KEUSKUPAN SURABAYA”

“OASE BAGI YANG KEHAUSAN PENGETAHUAN IMAN KEUSKUPAN SURABAYA”Oleh RD. Agustinus Tri Budi Utama, S.S., M.HumPembukaanRabu, 9 Februari 2022, Pusat Studi Teologi Awam Centrum Ivan Merz Keuskupan Surabaya membuka kelas perdananya di tahun 2022. Kelas perdana tersebut digelar sebagai awal pembukaan kelas kursus teologi dari  Pusat Studi Teologi Awam Centrum Ivan Merz Keuskupan Surabaya. Akan ada 3 kelas yang dibuka, yakni kelas Eklesiologi, Kitab Suci 2, dan Pastoral Katekese. Kelas perdana tersebut akan dibawakan oleh narasumber RD. Agustinus Tri Budi Utomo, S.S., M.Hum dengan tema “OASE BAGI YANG KEHAUSAN PENGETAHUAN IMAN KEUSKUPAN SURABAYA”. Acara dibuka oleh moderator Galan Suswardana, S.S., M.Fil dengan doa oleh salah seorang peserta. Acara kelas perdana pada hari ini bekerjasama dengan komunitas pastoral difabel untuk membantu peserta difabel yang ikut dalam kelas perdana. Inti AcaraSebelum memulai membahas topik atau tema kelas perdana secara mendalam, RD. Agustinus Tri Budi Utomor4, S.S., M.Hum, mengajak sejenak merefleksikan perjalanan kehidupan yang sudah dilalui dan harapan-harapan apa yang diinginkan kedepannya. Narasumber melanjutkannya dengan mengajak peserta melihat situasi konkret saat ini terutama situasi pandemi yang tak kunjung selesai dan sudah memakan banyak korban dan mengakibatkan dampak yang luar biasa bagi hidup manusia. Situasi sulit tersebut tak jarang membuat manusia seolah berjalan di padang gurun yang tidak tahu di mana ujungnya dan seketika itu manusia akan merasa sangat bahagia jika menemukan suatu tempat yang bisa dijadikan istirahat sejenak dan bisa mengisi tenaganya kembali, dan tempat itulah yang dimaksud sebagai oase. Kehadiran Centrum Ivan Merz di Keuskupan Surabaya, hendaknya menjadi oase bagi umat awam yang merindukan Allah lewat pengetahuan yang nantinya dapat memberikan kesegaran, semangat, dan harapan baru bagi umat. Singkat kata pengertian oase adalah suatu daerah subur terpencil yang berada di tengah gurun, umumnya mengelilingi suatu mata air atau sumber air lainnya. Lokasi oase sangatlah penting dalam rute perdagangan atau transportasi di daerah gurun.Lantas, apa kaitannya dengan kita umat beriman? Orang beriman disebut juga homo viator, yang artinya manusia pada dasarnya adalah peziarah, pejalan, penyusur waktu, pencari makna, petualang, penjelajah, pengusaha, pembangun harapan, pelintas batas, pengungsi, perantau. Manusia memiliki dimensi waktu, artinya dari masa lalu menuju masa depan. Manusia memiliki dimensi ruang, artinya dari sini ke sana, ke seberang, ke tanah terjanji. Manusia juga memiliki dimensi kualitas, artinya fakta menuju cita-cita, kebutuhan menuju pemenuhan, belum menuju sudah, gelap menuju terang, keputusasaan menuju harapan, kemungkinan menuju kenyataan, sakit menuju sembuh, dari murid menjadi pewarta, dst. Dalam Kitab Suci juga diceritakan tentang kisah perjalanan bangsa Israel, Abraham, Yakub, Musa, keluarga Nazaret, para rasul. Maka dari itu kita sebagai kumpulan umat beriman merupakan Gereja berziarah. Thomas Aquinas dalam pemikirannya, mengatakan bahwa pada dasarnya manusia memiliki rasa kekaguman/heran. Kekaguman/heran merupakan kerinduan akan pengetahuan. Pada kedalaman hasrat manusiawi adalah kerinduan transendental (mencari wajah Allah), keterarahan pada yang ilahi.  Selanjutnya narasumber membagikan gambaran trend saat ini yang sedang terjadi. Beliau mengatakan bahwa orang Katolik sekarang tidak sekedar menjadi orang Katolik “biasa”. Umat ingin lebih memperdalam imannya sehingga bisa mempertanggungjawabkannya karena semakin banyak ajaran yang salah dan sesat di masyarakat. Saat ini juga muncul banyak “sosialita kristiani”. Umat sekarang juga semakin banyak ingin mempelajari ilmu teologi karena ingin mempertahankan imannya karena berhadapan dengan pluralitas ajaran keagamaan. Karl Rahner seorang teolog mengatakan bahwa Manusia diciptakan Allah sedemikian rupa sehingga manusia bisa menerima komunikasi diri Allah tersebut. Tujuan utama Allah menciptakan manusia ialah untuk membagikan rahmat, yang tidak lain adalah komunikasi diri-Nya. Rahner menegaskan; “Allah mengkomunikasikan diri-Nya untuk membagikan kasih yang tidak lain adalah diri-Nya sendiri”. Komunikasi diri Allah, dialami secara unthematic sebagai kesadaran akan ada yang tak terbatas, yang kepadanya kita mengalami semua pengetahuan kategoris yang terbatas. Allah bukanlah salah satu objek dari objek-objek lain pengetahuan kita, melainkan horizon tak terbatas yang melaluinya kita mengalami segala realitas yang lain. Dalam karyanya Hearer of the Word, Rahner fokus pada manusia yang secara konstitutif dipandangnya sebagai sebuah keterbukaan terhadap kemungkinan untuk mendengarkan komunikasi diri Allah. Adanya simbol, budaya, mitologi dan aneka agama bahkan ateisme pun merupakan indikator akan kerinduan atas horizon transendental ini. St. Agustinus memberikan penegasan bahwa Tuhan, bagi Agustinus, adalah horizon peziarahan manusia yang melambaikan daya tarik yang membahagiakan sekaligus menggelisahkan. Manusia di dunia tidak lepas dari padang gurun kehidupan. Yang dimaksud dengan padang gurun kehidupan secara teologis adalah ruang pengembaraan, perjuangan (pergulatan) panjang dan penuh resiko, ruang pembersihan dari dosa; pemurnian, mengandalkan Allah, mengandalkan Allah, bukan hanya hidup dari roti. Selanjutnya narasumber memberikan pemahaman lebih dalam mengenai makna padang gurun. Padang gurun yang dihadapi manusia saat ini, hendaknya dipandang sebagai layar teofani ilahi, artinya menjadi sekolah iman seperti kisah Musa dan perjalanan umat Israel selama 40 tahun. Padang gurun adalah hamparan kering dan tandus sebagai tubir/ batas kebuntuan-upaya manusiawi untuk melompat bersama iman hingga mengandalkan Allah. "TUHAN berjalan di depan mereka, pada siang hari dalam tiang awan untuk menuntun mereka di jalan, dan pada waktu malam dalam tiang api untuk menerangi mereka, sehingga mereka dapat berjalan siang dan malam. Dengan tidak beralih tiang awan itu tetap ada pada siang hari dan tiang api pada waktu malam di depan bangsa itu.” Keluaran 13:21-22. Umat dalam peziarahan di padang gurunnya merupakan suatu tantangan yang tidak mudah, artinya medan hidup umat tidak selalu indah dan lancar, kehidupan keluarga tidak selalu di taman eden. Seringkali merupakan padang gurun yang gersang dan penuh pencobaan. Padang gurun dalam era modern dapat ditemukan dalam beberapa bentuk yang mungkin kita alami saat ini atau sudah kita alami yakni kering , gersang, dan hampa bahkan ketika berada di tengah riuhnya pasar, badai informasi digital dan rutinitas kerja. Sering merasa kehilangan kompas arah jalan – kebenaran dan hidup. Namun kita sebagai umat beriman hendaknya menyadari akan panggilannya yakni dipanggil pada kepenuhan hidup kristiani dan kesempurnaan cinta kasih (LG 40). Pada tahun 2018, Keuskupan mengadakan survey untuk bahan materi musyawarah pastoral Keuskupan Surabaya. Hasil dari survey tersebut bisa disimpulkan bahwa umat rindu oase. Hasil ini diperoleh dari beberapa data yang mengatakan bahwa Kuesioner visitasi ketua lingkungan (1.416 kaling), suara cukup dominan yang mengungkapkan minimnya pengajaran pengetahuan iman bagi umat. Maka Prioritas pastoral 2021-2022 adalah tahap kemuridan, yang artinya tahun mengenal Yesus sebagai Guru dan Tuhan dan Tahun Bersatu dengan Yesus.Demi menjawab kebutuhan umat yang akan rindu dengan imannya, Keuskupan Surabaya berupaya mengembangkan layanan pengajaran iman di Keuskupan Surabaya. Ada empat kelompok yang menjadi pusat perhatian yakni berdasarkan teritorial, siswa/mahasiswa, calon imam, dan kategorial. Pusat Studi Teologi Awam Centrum Ivan Merz Keuskupan Surabaya merupakan salah bentuk upaya mewadahi kebutuhan umat di langsung di bawah naungan IMAVI (Institusi Teologi Yohanes Maria Vianney) Keuskupan Surabaya. Pusat Studi Teologi Awam Centrum Ivan Merz Keuskupan Surabaya berdiri sebagai lembaga tentunya tidak dengan begitu saja, namun banyak menemui tantangan dan tantangan tersebut semakin hari, hendaknya dilihat sebagai proses untuk memperbaiki diri. Saat ini tantangan Pusat Studi Teologi Awam Centrum Ivan Merz Keuskupan Surabaya dalam mewujudkan diri sebagai oase bagi umat adalah Mengenali kondisi dan kebutuhan umat, “marketing mix” : positioning/ segmentasi, pricing, packaging dan promoting, mempopulerkan/ kontekstualisasi kekayaan kebenaran ajaran iman, rekrutmen pengajar, kemudahan akses, jejaring kemitraan dan IT, serta formatio alumni (after sales services). Setelah narasumber memberikan penjelasan materi, disambung dengan beberapa pertanyaan dari peserta untuk memperdalam materi yang telah disampaikan. Banyak pertanyaan yang diajukan namun karena waktu yang terbatas maka tidak semua pertanyaan dijawab dan panitia menampung pertanyaan tersebut. Selanjutnya narasumber memberikan penegasan bagi umat untuk senantiasa tidak lelah mencari kebenaran-kebenaran iman dan semakin memperdalam iman lewat ilmu pengetahuan teologi yang benar, sehingga umat senantiasa dikuatkan dan semakin rendah hati dalam mengaktualisasikan imannya di tengah masyarakat agar menjadi saksi-saksi kehidupan dan nabi yang senantiasa menyuarakan kebenaran. PenutupSetelah prenstasi dan diskusi, tibalah pada akhir acara. Acara ditutup dengan pengumuman dan doa penutup oleh salah satu perseta dan berkat dari RD. Agustinus Tri Budi Utomo, S.S., M.Hum. 

Read More

Indentitas Awam dalam Gereja Katolik

PengantarDewasa ini, pertumbuhan umat katolik bisa dikatakan berkembang. Seiring perkembangan umat, Gereja juga sadar bahwa Gereja akan menjumpai banyak kebutuhan yang kompleks. Kebutuhan yang dibutuhkan oleh umat membutuhkan sebuah penanganan oleh pihak Gereja. Namun disisi lain dari pihak Gereja juga kekurangan tenaga-tenaga pastoral. Maka dari itu Gereja ingin mengajak semua umat beriman kristiani untuk sadar akan panggilan dan perutusannya sebagai awam agar kebutuhan umat dapat tertangani dengan baik dan benar.  2. PengertianBerangkat dari kemendesakan di atas, perlu dijelaskan secara lebih mendalam dan komprehensif tentang pengertian seorang awam atau identitas seorang awam termasuk dengan peran dan tugasnya. Dalam Dokumen Konsili Vatikan II, definisi awam adalah semua orang beriman Kristiani yang tidak termasuk golongan yang menerima tahbisan suci dan status kebiarawanan yang diakui dalam Gereja (lih. LG 31). Dalam praktek kehidupan Kristiani yang berdasarkan pada dokumen Gereja ada dua macam kategori awam. Yang pertama, disebut awam dalam pengertian teologis adalah warga Gereja yang tidak ditahbiskan. Dalam pengertian ini meliputi warga Gereja dan para biarawan dan biarawati yang tidak menerima tahbisan. Yang kedua, disebut awam dalam pengertian tipologis adalah warga Gereja yang tidak ditahbiskan dan juga bukan biarawan dan biarawati. Pada lingkup kursus teologi Katolik atau Centrum Ivan Merz Keuskupan Surabaya, akan lebih menekankan peran atau tugas sebagai awam dalam pengertian tipologis.  3. Peran atau TugasSeorang awam katolik ketika sudah dibaptis memiliki tugas yang harus diemban. Tugas tersebut tidak lain adalah Tri Tugas Kristus yakni sebagai nabi, imam dan raja. Kesadaran akan keterlibatan awam dalam melaksanakan Tri Tugas Kristus hendaknya senantiasa ditumbuhkembangkan sehingga sebagai umat awam bangga akan identitasnya yang diperoleh dari rahmat pembaptisan. Ketiga tugas ini melekat pada setiap orang yang percaya pada Kristus dan merupakan tuntutan sebagai seseorang yang mengikuti Kristus. Sebagai umat Allah, para awam hendaknya menjalankan tugas sebagai nabi dengan terus berpegang pada kebenaran dan hidup menurut kebenaran yang telah ditetapkan oleh Kristus melalui Gereja-Nya. Umat Katolik juga diajak untuk turut aktif dalam setiap karya pewartaan, baik melalui katekese, kesaksian hidup, dll. Sebagai imam, umat Allah diajak untuk terus berpartisipasi dalam kehidupan sakramen dan liturgi, terutama Sakramen Ekaristi dan Sakramen Tobat. Dan umat Allah juga dapat turut serta dalam tugasnya sebagai imam dengan hidup kudus yaitu mengasihi Allah dan mengasihi sesama atas dasar kasih terhadap Allah. Sebagai raja, umat Allah diajak dalam tugas pelayanan (diakonia), pelayanan pastoral, persaudaraan (koinonia) dll. Peran dan tugas yang diemban para awam dalam menjalankan Tri Tugas Kristus akan semakin konkret dalam lingkup berikut.3.1 InternalYang dimaksud dengan lingkup internal adalah lingkup Gereja (kumpulan jemaat beriman). Hendaknya umat menjadi sungguh-sungguh warga Gereja, artinya ambil bagian dalam peran dan tugas yang Gereja berikan. umat awam hendaknya mengkonsolidasi diri untuk benar-benar menjadi Umat Allah. Ini adalah tugas membangun  gereja. Tugas ini dapat disebut kerasulan internal. Tugas ini pada dasarnya dipercayakan kepada golongan hierarkis (kerasulan hierarkis), tetapi Awam dituntut pula untuk ambil bagian di dalamnya. Keterlibatan Awam dalam tugas membangun gereja ini bukanlah karena menjadi perpanjangan tangan dari hierarki atau ditugaskan hierarki, tetapi karena pembaptisan ia mendapat tugas itu dari Kristus. Awam hendaknya berpartisipasi dalam tri tugas gereja. 1) Dalam tugas nabiah (pewarta sabda), seorang Awam dapat mengajar agama, sebagai katekis,memimpin kegiatan pendalaman Kitab Suci atau pendalaman iman, dsb3.2 EksternalYang dimaksud dengan lingkup eksternal adalah di luar lingkup Gereja. Lingkup ini lebih kompleks menyangkut kebutuhan dan permasalahannya. Peran dan tugas awam terutama menjadi saksi dan pewarta tidaklah mudah, namun hendaknya awam tidak jatuh pada pemisahan antara urusan duniawi dengan urusan rohani karena keduanya saling berkaitan. Artinya seorang menyadari bahwa menjalankan tugas-tugas duniawi tidak hanya berdasarkan alasan kewargaan dalam masyarakat atau negara saja, tetapi juga karena dorongan  iman dan tugas kerasulan kita, asalkan dengan motivasi yang baik. Iman tidak hanya menghubungkan  kita dengan Tuhan, tetapi sekaligus juga menghubungkan dengan sesama kita di dunia ini dan masyarakat sekitar.  4. Penutup Kesadaran akan rahmat pembaptisan tampaknya belum sepenuhnya menjadi kesadaran seluruh umat awam beriman dan belum menjadi bagian identitas dari seorang awam. Pola pikir yang terjadi pada kehidupan umat pada umumnya menyatakan bahwa Tri Tugas Kristus adalah tugas seorang Gembala. Pola pikir seperti ini hendaknya sama-sama kita luruskan terutama pada kehidupan zaman sekarang yang penuh dengan tantangan dan semakin banyaknya kebutuhan kompleks pada umat yang dilayani. Pada kesempatan ini pulalah Centrum Ivan Merz Keuskupan Surabaya dibentuk sebagai sarana atau wadah studi untuk umat supaya lebih mengenal identitasnya dan panggilan perutusannya sebagai awam serta mempersiapkan tenaga-tenaga pastoral handal yang dibutuhkan oleh Gereja setempat untuk pelayanan. Sesungguhnya awam menjalankan kerasulan awam dengan kegiatan mereka untuk mewartakan Injil dan demi penyucian sesama, pun untuk meresapi dan menyempurnakan tata dunia dengan semangat Injil sehingga dalam tata hidup itu kegiatan mereka merupakan kesaksian akan Kristus yang jelas dan mengabdi kepada keselamatan manusia. Karena ciri khas status hidup awam, yakni hidup di tengah masyarakat dan urusan-urusan duniawi, maka mereka dipanggil Allah, untuk menjiwai semangat Kristiani, ibarat ragi, menunaikan kerasulan mereka di dunia (AA.2).  

Read More

Belajar dari Orang-orang Majus

Siapakah orang-orang majus yang dikisahkan oleh Matius mengunjungi bayi Yesus? Mereka dikisahkan datang karena melihat rasi bintang yang menunjukkan adanya tanda besar. Tanda itu adalah sebuah kabar sukacita bagi seluruh umat manusia lantaran Sang Raja Agung telah lahir ke dunia, yakni Yesus Kristus. Mereka juga datang kepada Yesus Kecil dengan membawa aneka persembahan, seperti emas, kemenyan dan mur (bdk. Mat. 2:11). Orang-orang majus sendiri dikenal sebagai ahli bintang atau bisa dikatakan sebagai seorang astronom. Mereka sangat paham terhadap urusan rasi perbintangan. Di era itu, mereka juga dikenal sebagai para cendekiawan atau bahkan ilmuwan yang memahami pelbagai sains. Tak heran, beberapa literatur menyebut mereka sebagai para sarjana atau orang-orang yang maju dalam ilmu pengetahuan. Kisah orang-orang majus dalam Matius agaknya memiliki keserupaan jika disandingkan dengan kisah Bileam. Dalam Perjanjian Lama, muncul tokoh Bileam yang dikenal sebagai ahli gaib yang dapat meramal atau setidaknya menubuatkan hal-hal yang akan terjadi (bdk. Bil. 22-24). Para tokoh tersebut memiliki beberapa kesamaan, seperti ahli meramal dan dianggap sebagai tokoh berpendidikan dalam Kitab Suci. Akan tetapi, orang-orang majus mengetahui apa yang lebih besar dari yang diketahui Bileam. Pasalnya, orang-orang majus mengetahui dan mendatangi secara langsung peristiwa penting bagi umat manusia, yakni kelahiran Sang Penyelamat. Persembahan Orang Majus Beberapa persembahan, seperti emas, kemenyan dan mur yang diberikan kepada Yesus seakan menyampaikan sebuah “simponi indah” dari manusia untuk Allah. Emas menunjukkan kemegahan dan kekuasaan yang tak akan berakhir. Yesus memang akan menjadi Raja Semesta Alam, melebihi raja politik yang disalahpahami oleh bangsa Israel. Kemenyan dan mur merupakan bentuk wewangian yang aromanya sangat kuat. Keduanya melambangkan pengurapan yang merujuk pada penyertaan Allah atas Yesus sebab Kristus artinya “Yang Diurapi”. Kemegahan dan wewangian menyampaikan pesan bahwa kelahiran Yesus memang mulia bagi umat manusia. Semuanya dipersembahkan di bawah kaki palungan tempat Yesus dibaringkan. Persembahan-persembahan tersebut memang sangat manusiawi dan terkesan “duniawi”. Memang demikian adanya lantaran Yesus akan mengilahikannya dengan bekat-Nya. Terkesan berlebihan bila mendengar bayi mendapat hadiah-hadiah yang demikian. Namun, persembahan-persembahan itu hendak mengatakan usaha manusia yang dipersembahkan kepada Allah. Persembahan Kita Kelahiran dan peristiwa peringatannya akan selalu menjadi momen khusus bagi orang-orang. Hadiah dan aneka persembahan menjadi hal yang mengiringinya. Kita pun demikian karena menganggap bahwa peristiwa peringatan kelahiran akan selalu berarti untuk dirayakan. Itu semua menandai bahwa adanya kehidupan baru yang lahir ke dunia dan merasakan semua dinamika dunia. Kali ini, yang lahir adalah Tuhan Yesus. Hadiah macam apa yang selayaknya dipersembahkan kepada Sang Penguasa Dunia? Tentu, kita tak akan mengulang persembahan para majus yang membawa emas, kemenyan dan mur. Kita bisa menyiapkan hadiah-hadiah terbaik dari diri sendiri untuk Tuhan. Meskipun hadiah itu tak besar, namun hadiah itu sungguh berasal dari kesungguhan hati kita. Bukankah Tuhan tidak memandang hina hati yang remuk redam dan patah? Sungguh, hari Natal tinggal menghitung jari akan segera tiba. Minggu Adven Keempat adalah momen untuk semakin siap menyambut kedatangan-Nya ke dunia, khususnya ke hati kita. Ya, hadiah apa yang bisa kita persembahkan kepada-Nya? Perubahan sikap yang baik ataukah lebih mendekatkan diri kepada Tuhan? Pada akhirnya, kita memiliki hadiah masing-masing yang nanti saat Natal kita persembahkan di hadapan bayi Yesus yang lemah tak berdaya. Ya, seperti kita yang lemah dan tak berdaya, biarlah Tuhan yang menjadi andalan kita dalam berkarya di dunia. Selamat merenungkan Minggu Adven Keempat!

Read More

Panorama Adven

Adven berasal dari kata “adventus” dari bahasa Latin, yang artinya “kedatangan”. Adven dapat dihayati sebagai masa persiapan untuk menyongsong kedatangan Tuhan. Penantian yang dihayati selama masa Adven terdapat dua corak yakni penantian kelahiran Tuhan Yesus pada hari raya Natal dan sebagai panantian akan kedatangan Kristus pada akhir jaman (penantian Eskatologis). Adven dapat dimaknai dengan masa yang penuh, yaitu: masa lalu, sekarang dan yang akan datang. Dalam masa lalu atau, Gereja berusaha memperingati kedatangan Kristus yang pertama di dunia. Sekarang, Gereja menghayati kehadiran Allah di tengah jemaat-Nya, dan penantian akan kedatangan-Nya kembali di akhir zaman. Struktur Liturgi di masa Adven dibagi menjadi 4 minggu. Masa Adven dibagi menjadi 2 periode yaitu : per Minggu Adven 1 sampai 16 Desember dan mulai tanggal 17 Desember sampai 24 Desember. Periode pertama lebih mengutamakan misteri penantian eskatologis yang dapat dilihat melalui bacaan-bacaan misa khususnya Kitab Yesaya. Periode kedua lebih mengutamakan misteri kelahiran Yesus yang didukung oleh seruan Yohanes Pembaptis dan kisah-kisah Maria dan Yusuf. Dalam masa Adven terdapat 4 tokoh yang ditonjolkan yakni: Nabi Yesaya, Yohanes Pembaptis, Maria dan Yusuf. Pertama, Nabi Yesaya menjadi tokoh penting dalam masa Adven karena Nabi Yesaya dapat memperlihatkan suatu pengharapan yang besar dan sungguh meneguhkan hati dan memberi penghiburan terhadap bangsa yang terpilih yang mengalami penindasan dimana ia menyerukan akan kedatangan Mesias yang menyelamatkan mereka. Kedua, Yohanes Pembaptis menjadi tokoh terpenting dalam masa Adven karena Yohanes Pembaptis dipanggil untuk menyerukan pertobatan dan mempersiapkan jalan bagi Tuhan sehingga ia benar-benar menghayati semangat penantian Tuhan. Ketiga, Perawan Maria menjadi tokoh yang sangat penting dalam masa Adven, karena Maria adalah seorang yang amat berjasa dalam misteri penebusan jikalau Maria menolak akan kedatangan Yesus dalam rahimnya pasti karya keselamatan tidak pernah ada. Keempat, Santo Yusuf adalah orang yang takwa dan mampu mendengarkan kehendak Allah dikisahkan dalam yusuf didatangi oleh Malaikat Gabriel. Dalam lingkaran Liturgi, masa Adven diidentikkan dengan warna ungu. Warna ungu sendiri mengandung makna pertobatan. Lantas apa perbedaan semangat pertobatan yang ada dalam masa Pra-paskah dengan masa Adven? Semangat pertobatan di Masa Pra-Paskah adalah pertobatan dari perilaku jahat manusia berpaling dalam cinta kasih Allah, sedangkan Masa Adven memiliki spiritualitas pertobatan untuk menyiapkan kedatangan Yesus ke Dunia. Adven mengajak kita menantikan kedatangan Sang Juru Selamat yakni dalam diri Yesus Kristus. Penantian ini dilakukan dengan penuh kegembiraan dan penuh harapan akan kepenuhan janji Allah yang ada dalam diri Yesus Kristus dimana itu Allah telah menunjukan cinta-Nya kepada umat-Nya. Dengan peristiwa ini, Allah hendak menunjukan kesetiaan Allah akan umat-Nya. Dalam tradisi Gereja Katolik, pada saat Masa Adven umat diajak untuk membuat lingkaran Adven (Advent wreath) adalah satu lingkaran yang biasanya terbuat dari daun-daunan, dengan empat lilin. Di mana dari empat lilin, dapat melambangkan empat minggu lamanya kita mempersiapkan diri menyambut kedatangan Kristus. Setiap minggunya dinyalakan satu lilin hal ini dilambangkan sebagai perpindahan kita dari kegelapan dunia menuju terang dunia. Nyala lilin yang bertambah setiap minggu menggambarkan pula cahaya sejati yang semakin hari semakin terang, dan juga lambang kedatangan Kristus, sebagai Cahaya Sejati, yang semakin dekat. Dalam lingkaran Adven itu terdapat tiga lilin yang berwarna ungu namun ada satu lilin yang berwarna merah muda di mana biasanya disebut dengan Minggu “Gaudete” atau Minggu Sukacita, yang yang menyatakan sukacita karena masa penantiaan akan telah berjalan setengah dan akan berakhir. Sumber Bacaan Da Cunha, Bosco.2011. Memaknai Perayaan Liturgi Sepanjang Satu Tahun. OBOR: Jakarta. Heuken, Adolf. 2004. Ensiklopedi Gereja Jilid I, II, VI. Yayasan Cipta Loka Caraka: Jakarta.

Read More

MEREFLEKSIKAN DAN MENERAPKAN SABDA ALLAH

![sabda allah (kitab suci)](//images.ctfassets.net/a1uad830l19w/63G5Yqc1IJuOpDM1qWkjuh/750c277a32e94076a5470f0f71218629/bible-1866564_1920.jpg) Surat Apostolik Paus Fransiskus, Motu proprio “Aperuit illis” yang terbit pada tanggal 30 September 2019, menetapkan bahwa “Minggu Ketiga Masa Biasa akan dikhususkan untuk perayaan, pembelajaran, dan pewartaan Sabda Allah”. Maka, Paus Fransiskus melalui Minggu Sabda Allah berharap agar umat Katolik semakin mengenal, mengakui, serta menghidupi Kristus melalui Kitab Suci, Sabda-Nya. Mungkin saja selama ini kita tidak lagi mempunyai waktu untuk sekadar membuka Kitab Suci. Di hari Minggu Sabda Allah ini kita diajak untuk kembali membuka Kitab Suci kita. Kitab Suci merupakan Sabda Allah yang harus kita baca. Akan tetapi, apakah cukup jika hanya sekadar membaca saja? Tentu tidak hanya sampai di situ. Kitab Suci hendaknya di hidupi; dibaca, direfleksikan, dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi sebagian orang, menghadiri misa adalah jalan satu-satunya untuk mendengarkan Sabda Allah. Tetapi, menghadiri misa bukanlah satu-satunya cara agar kita dapat mendengarkan Sabda Allah. Dengan membaca Kitab Suci dan merenungkan Sabda Allah ditengah kesibukan, akan membawa diri kita mendapatkan ketenangan dan kekuatan batin. Jika kita sungguh dapat meresapi ayat-ayat Kitab Suci, kita mampu merefleksikan kehidupan atas hiruk-pikuknya dunia. Pada hari Minggu Sabda Allah ini, Gereja mengajak umat Allah untuk senantiasa dekat dengan Kitab Suci. Bukan hanya hari ini saja, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari hendaknya kita terus membaca dan merenungkan Kitab Suci. Tahap selanjutnya, kita juga diajak untuk mengungkapkan permenungan Kitab Suci tersebut melalui tindakan yang konkrit. Disinilah tantangannya, seringkali dalam menghidupkan Sabda Allah kita menemukan kesulitan. Oleh sebab itu, diperlukan refleksi mendalam untuk memaknai Sabda Allah. Sehingga melalui perbuatan sederhana pun kita dapat menghidupi Sabda Allah dalam hidup sehari-hari. Dalam memahami Sabda Allah kita membutuhkan akal budi dan hati. Jika hanya mengandalkan akal budi saja, maka itu tidak akan cukup. Kita perlu membuka akal budi untuk mengerti dan memahami isi dari Sabda Allah. Selain itu, kita juga menerima, merefleksikan dan merenungkannya didalam hati, agar pesan-pesan dalam Kitab Suci sungguh meresap dalam diri kita. Sehingga tindakan yang kita lakukan berdasarkan atas permenungan dari Sabda Allah. Salah satu cara agar sabda Allah sungguh dapat tinggal dalam diri kita adalah dengan melakukan lectio divina (pembacaan Ilahi). Lectio divina dapat membawa kita pada dialog yang intim bersama Allah, yakni melalui doa dan membaca Kitab Suci. Tradisi ini dapat kita laksanakan untuk mencapai kesatuan yang lebih mendalam bersama Allah. Lectio divina membawa kita untuk berdoa sembari merefleksikan Sabda Allah yang tertuang di dalam Kitab Suci, sehingga kita dapat lebih memahami misteri kasih Allah. Sampai di sini kita dapat mengetahui bahwa Kitab Suci sungguh bermakna bagi kehidupan kita. Kitab Suci bukan hanya sekadar buku biasa, melainkan merupakan Sabda Allah yang tertulis dan menjadi salah satu pilar kebenaran iman bagi Gereja Katolik. Kitab Suci membawa kita lebih dekat pada Allah. Kitab Suci juga membawa kita untuk lebih mengenal Allah melalui sabda-sabda-Nya. Membaca Kitab Suci dapat menguatkan iman kita. Hingga pada akhirnya kita dapat memahami dan bertindak seturut dengan apa yang telah disabdakan-Nya. Sumber Referensi APOSTOLIC LETTER ISSUED "MOTU PROPRIO" BY THE SUPREME PONTIFF FRANCIS “APERUIT ILLIS” INSTITUTING THE SUNDAY OF THE WORD OF GOD Https://www.loyolapress.com/catholic-resources/prayer/personal-prayer-life/different-ways-to-pray/lectio-divina/ Diunduh pada hari Sabtu, 16 Januari 2021, pkl. 21.05 WIB.

Read More

SAKIT BUKAN PENGHALANG BERSUKACITA DALAM NAMA-NYA

![sick](//images.ctfassets.net/a1uad830l19w/5UvVPdSUIsQiVkJnsLA37t/c687cd7c1fcf317dd5006af42312cf5e/663094.jpg) __Pengantar__ Setiap manusia pasti pernah mengalami suatu penderitaan dalam hidup. Bentuk penderitaan yang dialami dapat berupa kesehatan, ekonomi, maupun sosial. Sering kali manusia tidak berdaya atas penderitaan, terutama bagi yang mengalami gangguan kesehatan. Kesehatan merupakan kebutuhan manusia pertama dan utama yang harus tetap dijaga, sebab segala aktivitas dapat dilakukan seseorang ketika memiliki tubuh dan jiwa yang sehat. Namun dalam keadaan berbeda, yakni jika Tuhan berkehendak lain bagi umat yang dipilih-Nya agar senantiasa dekat dengan Allah melalui sakit yang diderita, maka dalam kondisi tersebut seseorang harus ikhlas, berusaha dan berdoa untuk diberikan pemulihan bagi penderita. Tidak hanya itu, bagi teman-teman disabilitas juga merupakan orang yang dipilih Tuhan untuk selalu bersama di jalan Kristus. Sebagai umat beriman harus yakin dan percaya bahwa penderitaan yang diberikan kepada setiap manusia merupakan rahmat dan bentuk cinta yang diberikan oleh Kristus kepada murid-murid-Nya. Untuk mengurangi beban penderitaan bagi orang sakit, sebagai sesama saudara seiman patut untuk memberikan penghiburan kepadanya. Hal ini juga dilakukan oleh Gereja Katolik untuk peduli terhadap orang yang menderita sakit. Setiap tanggal 11 Februari Gereja Katolik memperingati hari orang sakit sedunia, yaitu untuk memberikan penguatan dan penghiburan bagi mereka yang sedang berjuang terhadap penyakit yang dideritanya. Dukungan yang diberikan sangat berarti bagi mereka, sekalipun dalam bentuk doa. Dapat dilihat ketika mengunjungi dan mendoakan orang sakit, maka energi dalam dirinya akan bangkit untuk sembuh, karena dia merasa bahwa banyak orang yang masih sayang kepadanya, walaupun bentuk perhatian yang diberikan itu mungkin kecil. Maka diperlukan kesabaran dan penuh harapan bagi orang yang sakit untuk senantiasa bersyukur kepada Tuhan. Saat ini dunia sedang dilanda krisis kesehatan yang diakibatkan virus Corona atau servere acute respiratory sydnrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) biasa dikenal dengan sebutan Covid-19. Jumlah yang terinfeksi Covid-19 dari hari ke hari makin mengalami peningkatan. Virus ini dapat ditularkan melalui antar manusia, sehingga keterbatasan dalam aktivitas sangat dirasakan. Apalagi bagi yang terinfeksi Covid-19, baik gejala ringan atau berat sama-sama memiliki kekhawatiran, sebab mereka secara tidak langsung akan dijauhi dari orang terdekat di lingkungannya. Kondisi inilah yang membuat orang terinfeksi Covid-19 semakin hari semakin melemah. Untuk itu diperlukan dukungan orang terdekat sebagai bentuk sukacita bagi mereka yang terjatuh sakit terutama yang terinfeksi Covid-19. Oleh karena itu, tujuan dari penulisan ini tidak lain memberikan dukungan secara rohani bahwa sakit bukan menjadi penghalang bagi orang untuk bersukacita dalam namaNya. Penulis memberikan beberapa pertanyaan untuk membantu para pembaca untuk dapat mengikuti alur refleksi dari penulis, yakni sebagai berikut; apa makna teologis Peringatan Hari Orang Sakit Sedunia Ke-29 bagi Gereja? Apa buah-buah religius yang dapat dihayati dalam Peringatan Hari Orang Sakit Sedunia Ke-29? __Makna Peringatan Hari Orang Sakit Sedunia XXIX__ Paus Fransiskus mengeluarkan pesan untuk Hari Orang Sakit Sedunia XXIX, yang diperingati pada tanggal 11 Februari 2021 dan bertepatan dengan peringatan Santa Perawan Maria Lourdes, Paus menyatakan bahwa di hadapan kebutuhan sesama, Yesus meminta kita untuk diam dan mendengarkan, untuk membangun relasi langsung dan personal dengan orang lain, dan untuk membiarkan penderitaan mereka menjadi milik kita saat kita berusaha melayani mereka (Pesan Bapa Suci Paus Fransiskus Untuk Hari Orang Sakit Sedunia ke-29 11 Februari 2021, Disebarluaskan oleh Biro Nasional Karya Kepausan Indonesia). Karena melalui perjumpaan orang yang sehat dengan orang yang sakit, memberikan sukacita dan penyembuhan tersendiri bagi yang sakit. Seperti apa yang diajarkan oleh Tuhan Yesus Kristus kepada para murid-murid-Nya, yakni Dia selalu melakukan perjumpaan dan datang terus-menerus kepada orang-orang sakit untuk menyembuhkan mereka. Tuhan Yesus tidak hanya menyembuhkan mereka dengan kuasa saja tetapi juga melalui perjumpaan-Nya dengan para orang sakit. Karena Dia datang untuk memberikan kabar sukacita dan supaya mereka yang sakit memiliki sukacita dalam nama-Nya. Penyakit, penderitaan maupun orang yang mengalami keduanya mewujudkan cinta kasih Kristus yang nyata ke dalam dunia. Kemenangan Yesus atas sakit, sebagaimana atas penderitaan manusiawi, tidak hanya terjadi melalui hilangnya sakit oleh penyembuhan ajaib, tetapi juga karena penderitaan sukarela dan tak bersalah dari Kristus dalam sengsaranya, memberikan setiap orang kemungkinan menyatukan dirinya dengan penderitaan Tuhan. Karena Kristus sendiri, tanpa dosa, menderita dalam segala macam kesakitan dan siksaan sengsara, dan menjadikan penderitaan semua orang sebagai penderitaannya sendiri. Pada salib Kristus tidak hanya penebusan diselesaikan melalui penderitaan, tetapi juga penderitaan manusia sendiri telah ditebus… Dalam menghasilkan penebusan melalui penderitaan, Kristus juga telah mengangkat penderitaan manusia pada tingkat penebusan. Dengan demikian setiap orang dalam penderitaannya dapat juga ambil bagian dalam penderitaan penebusan Kristus (Dokumen Gerejawi No. 61, Instruksi Mengenai Doa Penyembuhan, Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi WaliGereja Indonesia, Jakarta, Januari 2001, hlm. 9-10). Gereja menerima dan menyambut orang sakit sebagai sebuah panggilan bagi mereka yang mengalaminya untuk menghidupi panggilan manusiawi dan iman Kristianinya serta untuk ikut andil dalam pertumbuhan Kerajaan Allah dalam cara yang baru dan bahkan lebih bermakna. Seperti perkataan Santo Paulus dalam Kolose 1:24 yang mana merupakan kegembiraan paskah, buah Roh Kudus dan cara yang sama banyak orang sakit menjadi pembawa sukacita yang dikerjakan oleh Roh Kudus dalam penderitaan (1 Tesalonika 1:6) dan menjadi saksi Kebangkitan Yesus (Bdk. Dokumen Gerejawi No. 61, Instruksi Mengenai Doa Penyembuhan, Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi WaliGereja Indonesia, Jakarta, Januari 2001, hlm. 10-11). Peringatan Hari Orang Sakit Sedunia (HOSS) telah ditetapkan oleh Paus Yohanes Paulus II pada tanggal 13 Mei 1992 dan diperingati setiap tahunnya sejak tanggal 11 Februari 1993. Awal mula ditetapkannya HOSS, yaitu setahun sebelum Bapa Suci didiagnosa menderita penyakit parkinson pada tahun 1991. Tujuan dengan adanya perayaan ini, yaitu mengajak bagi yang mengharapkan pemulihan untuk senantiasa berdoa dan mempersembahkan penderitaannya kepada Tuhan. Perayaan ini juga bertepatan dengan pesta Santa Perawan Maria Lourdes. Banyak peziarah untuk datang dan berdoa, yang kemudian diberikan kesembuhan melalui doa-doa bunda Maria. Peringatan Hari Orang Sakit Sedunia (World Day of the Sick) diperingati sebagai bentuk dukungan dan kekuatan bagi orang yang menderita suatu penyakit, bahwa mereka tidak sendiri dalam menghadapi penderitaan yang dialaminya. Melalui perayaan ini, bagi semua, baik dalam keadaan miskin, sakit, dan tertindas untuk senantiasa menyadari bahwa kehidupan mereka tergantung oleh Tuhan, seperti sabdah Yesus Kristus “Marilah kepada-Ku semua yang letih lesu dan beban berat, Aku akan berikan kelegaan bagimu” (Mat.11:28) Setiap manusia tidak luput dari gangguan kesehatan atau penyakit yang dialami. Dalam kondisi lemah menghadapi penyakit yang diderita tentunya mereka tidak sendiri, banyak di luar sana baik tua, muda, anak-anak, perempuan maupun laki-laki juga mengharapkan pemulihan dari Tuhan. Tuhan mengajak semua datang kepadaNya “Marilah kepada-Ku” untuk selalu setia bersama Kristus dalam kondisi lemah sekalipun. Ajakan Tuhan mengajarkan kesetiakawanan untuk mengajak sesama manusia bersukacita dalam kemalangan (Pdf., Pesan Bapa Suci Paus Fransiskus Untuk Hari Orang Sakit Sedunia ke-28 11 Februari 2020, Disebarluaskan oleh Biro Nasional Karya Kepausan Indonesia). Tuhan telah memberikan penghiburan yang diberikan oleh manusia berupa hukum kasih. Kedua hukum itu mengetuk hati setiap manusia untuk saling berbagi dalam keadaan apa pun yang dihadapi. Selain itu, Tuhan telah memberikan Gerejanya sebagai tempat untuk saling berbagi kasih atas sesama. Maka dari itu yakinilah dalam kondisi tidak berdaya ini merupakan pemberian Tuhan, agar anak Allah senantiasa selalu bersyukur dan dapat memaknai bahwa hidup manusia milik Kristus. Kematian tidak dapat dihindari setiap makhluk yang hidup di bumi ini, sebagian besar seseorang yang menderita suatu penyakit dan kemudian dinyatakan meninggal, bukan berarti kematian yang dialami menjadi hal yang sia-sia melainkan sebagai kemuliaan bagi Allah. Yesus Kristus berkata “penyakit tidak akan membawa kematian, tetapi akan menyatakan kemuliaan Allah, sebab oleh penyakit anak Allah akan dimuliakan” (Yohanes 11: 4). Namun banyak yang beranggapan bahwa suatu penyakit yang diderita merupakan kutukan atau hukuman atas dosa besar yang diperbuat oleh si penderita atau orang terdekatnya. Hal demikian salah besar, Tuhan sangat menyangkal atas pernyataan ini melalui pertanyaan yang diberikan oleh muridnya mengenai orang buta sejak lahir, Tuhan Yesus menjawab “bukan dia atau orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia” (Yohanes 9:3). Bagi orang yang sakit maupun penyandang disabilitas bukan merupakan keadaan yang disesali, percayalah Tuhan telah menetapkan pekerjaannya bagi mereka seperti apa yang dikatakan dalam firmanNya. Sebagai orang beriman akan Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria, haruslah percaya karena terdapat mujizat dalam diri setiap manusia untuk keluar dari kemalangan yang dideritanya. Hukum kasih yang diajarkan oleh Tuhan kepada murid-murid-Nya sampai saat ini tetap memiliki relevansi yang nyata dengan melalui kegiatan sosial. Hendaklah sebagai saudara seiman mampu untuk menolong satu sama lain kepada orang yang dirasa lemah, terbatas, dan sakit. Sebagai umat Katolik patut bersyukur dan bangga memiliki pelayanan kesehatan, pendidikan, panti jompo, panti asuhan, dan komunitas anak jalanan yang diperhatikan oleh Gereja untuk saling berbagi kasih dalam suatu komunitas, yakni persektuan di dalam Kristus sendiri. Terutama bagi pelayanan kesehatan, seperti dokter, perawat, apoteker, analisis, bidan dan lain sebagainya, sepenuh hati untuk melayani semaksimal mungkin untuk meningkatkan taraf kesehatan di masyarakat. Bagi pelayanan kesehatan tentu hal ini tidak mudah baginya diperlukan ketelitian dan kecermatan dalam mediagnosa penyakit yang diderita pasien. Dengan bantuan Allah pelayanan kesehatan selalu diberikan kemudahan dan perlindungan dalam berkarya untuk membantu keselamatan jiwa manusia. Supaya setiap orang walaupun dalam keadaan sakit tetap bersukacita dalam nama-Nya oleh karena pelayanan kesehatan yang baik. __Refleksi Atas Hari Orang Sakit Sedunia XXIX__ Hari ini kita diajak kembali untuk senantiasa mensyukuri kasih berkat yang telah diberikan oleh Yesus Kristus. Kita sebagai manusia selama ini lupa bahwa kehidupan di muka bumi merupakan milik Allah Bapa dan semua yang kita miliki hanya sebuah titipan, agar kita dapat berbagi suka cita memuji namaNya. Sejatinya manusia merupakan makhluk yang lemah, yang telah diberikan kekuatan oleh Kristus untuk senantiasa melaksanakan pekerjaan yang telah tetapkan pada masing-masing individu, sekalipun bagi orang yang sakit. Sakit bukan penghalang bagi kita untuk senantiasa berjalan dijalan Tuhan. Banyak beranggapan bahwa penyakit yang diderita merupakan akhir segalanya. Hal demikian tidak benar adanya, Tuhan memberikan sebuah penyakit yang diderita oleh manusia agar selalu mengingat Tuhan melalui doa. Mereka telah dipilih untuk tetap mensyukuri atas apa yang diberikan oleh Kristus selama hidupnya. Maka ditekankan sekali lagi bahwa penyakit bukan sebuah kutukan atau dosa besar. Oleh karena itu melalui sakit yang diderita manusia ,Tuhan selalu senantiasa memuliakannya dengan membebaskan beban yang seharusnya mereka kerjakan, sehingga jangan takut dan cemas bagi penderita sakit percayalah bahwa Tuhan kita Yesus Kristus yang memberikan rasa sakit dan Dialah juga sebagai obat penyembuh. Dalam kondisi sakit tentunya bagi penderita sangat membutuhkan dukungan dari orang terdekat. Melalui peringatan Hari Orang Sakit Sedunia, kita diajak untuk juga merasakan apa yang dirasakan oleh saudara kita untuk melawan rasa sakit yang dideritanya. Maka dari itu kepedulian bagi penderita sakit, Gereja Katolik setiap tahunnya memperingati Hari Orang Sakit Sedunia untuk mengajak orang yang sedang berjuang melawan sakit yang dideritanya sebagai bentuk persembahan. Kita persembahan diri kita untuk Tuhan, baik dalam keadaan suka maupun duka, sebab kita hidup di dunia hanya untuk Tuhan. Bagi orang menderita sakit hendaknya selalu senantiasa bersuka cita, sebab Tuhan berserta orang yang berjuang. Perlu kita tahu bahwa sakit dan penderitaan yang kita alami bukan sebuah cobaan, melainkan rahmat bagi kita untuk selalu mengingat Tuhan dalam kondisi apa pun. Melalui sakit kita diketuk oleh Kristus agar kita tidak terlalu jauh pergi dariNya. Oleh karena itu, sepatutnya kita untuk selalu berpikir positif kepada Allah, sebab apa yang diberikan oleh Tuhan merupakan kebaikan kepada kita termasuk dalam keadaan sakit. Janganlah menyesali apalagi menyalahkan Tuhan atas keadaan ini, kuatkanlah iman kepada Yesus Kristus agar dalam sakit kita tidak terhasut oleh bisikan iblis yang menyertai kita juga dalam keadaan sakit. Meminta pertolongan dan perlindungan kepada Tuhan Yesus Kristus serta bunda Maria yang suci melalui doa-doa pribadi atau bersama-sama yang biasanya diintensikan khusus dalam misa bagi orang-orang yang sedang mengharapkan kesembuhan. Saya secara pribadi yakin bahwa Tuhan akan memberikan penyembuhan kepada kita. Semangatlah untuk berjuang dan berdoa penuh pengharapan kesembuhan, ingatlah Tuhan lebih dekat kepada orang yang sakit dan lemah. Bagi orang yang sedang berjuang untuk kesembuhan dibutuhkan orang terdekat agar senantiasa mereka semangat melawan rasa sakit yang dideritanya. Dukungan dan doa kita hari ini dikhususkan bagi orang yang berjuang kesembuhan melalui Hari Peringatan Orang Sakit Sedunia, walaupun pada hari-hari biasa kita juga melakukan demikian. Melalui peringatan ini kita diajak oleh Tuhan untuk senantiasa peduli kepada orang sakit dengan memberikan penghiburan suka cita dalam Tuhan Yesus Kristus. Bentuk kepedulian sangat berarti bagi orang yang berjuang kesembuhan. Sebab dalam keadaan sakit segala aktivitas tidak bisa dilakukan sendiri, oleh karena itu hendaknya kita yang memiliki tubuh yang sehat senantiasa untuk melayani sebagai bentuk rasa syukur bahwasanya kita diberikan kesehatan oleh Tuhan. Bentuk kepedulian bisa kita lakukan dengan cara, yaitu mendoakan, memberikan bantuan, menjadi pelayan Tuhan medis maupun non medis dan lain sebagainya. Melalui peringatan ini juga sebagai bentuk dukungan bagi para pelayanan Tuhan dalam bidang kesehatan, baik dokter, perawat, apoteker, bidan, analisis dan lain sebagainya yang telah mengorbankan jiwa dan raga membantu sesama dalam kemanusiaan. Di masa pandemi Covid-19 saat ini para tenaga kesehatan tak kenal lelah dalam melayani pasien yang terpapar virus Corona. Mau tidak mau sebagai rasa kemanusian, para tenaga kesehatan maupun relawan tetap memberikan pelayanan walaupun mereka mengetahui bahwa bisa saja tertular pasien Covid-19. Sehingga mereka tidak kenal takut, sebab tenaga medis dan relawan terpanggil untuk menjadi garda terdepan dalam memerangi penyebaran Covid-19. Maka dari itu melalui peringatan Hari Orang Sakit Sedunia kita mendukung tenaga kesehatan dan relawan dalam menanggulangi penyebaran Covid-19 dengan tetap menaati protokol kesehatan. Melalui Covid-19 Tuhan telah mempersatukan kita untuk saling peduli satu sama lain. Rasa kepedulian ini membawa perdamaian antar umat manusia. Maka dari itu dengan peringatan ini kita dapat mempersatukan doa bagi saudara-saudara yang sedang berjuang melawan dan menanggulangi penyebaran Covid-19. Sebagai umat beriman kita sepatutnya untuk berharap akan kemuliaan Tuhan melalui Covid-19. Semoga bagi orang yang berjuang melawan rasa sakit untuk senantiasa diberikan penyembuhan oleh Tuhan dan bagi para tenaga kesehatan selalu diberikan perlindungan, serta senantiasa untuk tidak kenal lelah dalam melayani, sebab Tuhan berserta kita untuk bersuka cita dalam nama-Nya. __Sumber Pustaka__ Alkitab Deuterokanonika. Dokumen Gerejawi No. 61, Instruksi Mengenai Doa Penyembuhan, Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi WaliGereja Indonesia, Jakarta, Januari 2001, hlm. 9-10. __Sumber Internet__ Pdf., Pesan Bapa Suci Paus Fransiskus Untuk Hari Orang Sakit Sedunia ke-29 11 Februari 2021, Disebarluaskan oleh Biro Nasional Karya Kepausan Indonesia. Pdf., Pesan Bapa Suci Paus Fransiskus Untuk Hari Orang Sakit Sedunia ke-28 11 Februari 2020, Disebarluaskan oleh Biro Nasional Karya Kepausan Indonesia. Benedicta, Pesan Paus Fransiskus Untuk Hari Orang Sakit Sedunia 2020, https://www.dokpenkwi.org/2020/02/03/pesan-paus-fransiskus-untuk-hari-orang-sakit-sedunia-2020/, diunduh pada tanggal 01 Januari 2021, pukul 10.00 WIB.

Read More

RABU ABU: TANPA ALLAH, KITA BUKAN APA-APA

![ash wednesday](//images.ctfassets.net/a1uad830l19w/4KnFqPq1CouyYuVSFiqc3g/d675a61649cfd92ec436644dd6671727/Ash-Wednesday-All-Go-To-The-Same-Place-All-Come-From-Dust-And-To-Dust-All-Return.jpg) Setahun yang lalu, banyak akun rohani di Instagram membicarakan artis dan tokoh publik yang mengunggah foto mereka dengan olesan abu di dahi saat Rabu Abu. Tak pelak, foto-foto tersebut menuai banyak pujian dari warga net, baik yang Katolik maupun bukan Katolik. Banyak warga net menilai bahwa tradisi pemberian abu dalam ajaran agama Katolik sangat keren karena memberikan simbol salib di dahi. Akan tetapi, makna Rabu Abu jauh lebih mendalam dari sekadar simbol salib di dahi yang ‘keren’. Lantas, mengapa orang Katolik mengikuti tradisi Rabu Abu? __Sekilas Mengenai Rabu Abu__ “Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!”. Demikianlah rumusan dalam proses penerimaan abu pada saat Rabu Abu. Setiap umat mendapat tanda salib di dahi yang berasal dari sisa abu pembakaran daun palem. Rabu Abu juga merupakan hari yang menjadi tanda dibukanya masa Prapaskah, yakni masa pertobatan bagi umat Katolik menjelang Paskah. Rabu Abu juga mengingatkan kita pada peristiwa Yunus yang mempertobatkan orang-orang Niniwe. “Setelah sampai kabar itu kepada raja kota Niniwe, turunlah ia dari singgasananya, ditanggalkannya jubahnya, diselubungkannya kain kabung, lalu duduklah ia di abu” (Yun. 3:6). Sebelumnya, hidup orang-orang Niniwe dikisahkan menjauhi ajaran Tuhan dan penuh dengan kelaliman. Dengan seruan pertobatan dan perintah raja, orang-orang Niniwe lantas melakukan hal yang serupa dengan rajanya sebagai lambang dari penyesalan dan tobat. Hal demikian juga nampak dalam peristiwa malang yang dialami oleh seorang hamba Tuhan yang saleh, yakni Ayub. “Lalu Ayub mengambil sekeping beling untuk menggaruk-garuk badannya, sambil duduk di tengah-tengah abu” (Ayub 2:8). Ayub sendiri bukanlah orang yang tak mengenal Allah. Sebaliknya, ia adalah orang yang saleh, jujur dan takut akan Allah (bdk. Ayub 1:1). Artinya, pertobatan dan penyesalan yang mendalam tidak hanya dialami oleh orang-orang jahat seperti di Niniwe, namun juga dialami oleh orang baik seperti Ayub. Seorang Bapa Gereja, Tertulianus, dalam “De Poenitentia” juga menunjukkan bahwa semua orang hendaknya menjauhi tindakan-tindakan duniawi dan kembali berbalik kepada Allah. Sekitar abad II M, Tertulianus menggambarkan kehidupan orang-orang yang acapkali menyimpang dari kebenaran Injil sehingga ia menyerukan pertobatan khususnya pada masa Prapaskah sebagai kenangan akan sengsara Kristus di dunia. Umat Katolik sendiri mengikuti perayaan Rabu Abu sebagai tanda dimulainya masa pantang dan puasa selama masa Prapaskah. Hal ini juga diiringi dengan suasana gereja yang agak berbeda seperti dekorasi altar yang dibuat amat sederhana bahkan tanpa dekorasi. Bahkan, ada sebuah universitas Katolik yang menunda sebuah pesta lantaran bertepatan dengan hari Rabu Abu. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi Rabu Abu sehingga mendukung suasana pertobatan bagi umat Katolik. __Makna Rabu Abu__ Makna Rabu Abu sebenarnya sudah tidak asing bagi umat Katolik karena seringkali digemakan dalam warta paroki dan tulisan-tulisan populer. Secara umum, Rabu Abu bermakna pertobatan yang mendalam agar manusia kembali kepada Allah. Rabu Abu juga membawa kita kembali pada cermin awali, yakni asal mula manusia yang diciptakan Allah dari debu tanah. “Ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup” (Kejadian 2:7). Manusia yang dibentuk oleh Tuhan Allah dari debu tanah adalah makhluk yang mulanya hampa sampai Allah menghembuskan nafas hidup ke dalamnya. Nafas ini adalah roh yang memberi kehidupan bagi manusia. Dengan roh inilah, manusia hidup dan mengenal Penciptanya. Tanpa Allah, manusia bukan apa-apa dan tak akan mampu berbuat apa-apa. Inilah permenungan yang membuat kita menyadari bahwa hidup kita adalah untuk Allah. Sungguh tepat jika Rasul Paulus menggambarkan bahwa kita hidup dan mati adalah untuk Allah (bdk. Galatia 2:19). __Di tengah pandemi__ Refleksi Rabu Abu ini juga sangat relevan dimaknai di tengah situasi pandemi. Kenyataan pahit akibat pandemi Covid-19 memang tak kunjung usai dengan banyaknya angka kematian yang terus bertambah. Semua orang menanggung akibat dari pandemi ini. Segala aspek hidup manusia seperti sosial, ekonomi, pendidikan bahkan religius pun turut terpukul akibat bencana ini. Di sinilah kita diingatkan betapa rapuhnya hidup manusia. Hidup dan segalanya yang melekat pada diri manusia adalah rapuh. Kebanggaan, prestasi, kesenangan dan semua yang kita kejar adalah rapuh tanpa Allah. Segalanya sungguh belum sempurna tanpa kehadiran Allah. Demikian Daniel mekukiskan, “Tetapi sebagaimana jari-jari kaki itu sebagian dari besi dan sebagian lagi dari tanah liat, demikianlah kerajaan itu akan menjadi keras sebagian dan rapuh sebagian” (Daniel 2:42). Manusia yang mulanya diciptakan Allah dari debu akan disempurnakan oleh Roh Allah yang dihembuskan ke dalam hidup manusia. Inilah salah satu makna Rabu Abu yang bisa mengingatkan kita agar selalu bergantung pada Allah dalam segala sesuatu sebab Allah-lah yang menyempurnakan hidup kita yang rapuh ini. Semangat yang digemakan dalam Rabu Abu adalah kerendahan hati, yakni sadar bahwa hidup kita rapuh sehingga memerlukan keterlibatan Allah. Abu yang kita peroleh dalam Rabu Abu seakan menegur kita bahwa kemampuan manusiawi belaka tidaklah cukup untuk keselamatan hidup. Sebaliknya, Tuhan meminta kita untuk terus bertobat dan kembali mengarahkan pandangan kepada-Nya. Inilah pesan Rabu Abu, yakni agar kita tetap bertekun dalam tobat dan percaya kepada Injil, yakni Yesus Kristus Putera Allah. Artinya, Rabu Abu bukan sekadar ajang untuk pamer foto di media sosial, tapi sebuah permenungan agar kita bergantung pada Tuhan. Oleh sebab itu, saat kita mendengar “Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!”, maka kita semestinya mengamini “Ya, tanpa Allah, aku bukan apa-apa”. Selamat merenungkan Rabu Abu!

Read More

MEMPERSEMBAHKAN HIDUP KEPADA ALLAH DAN SESAMA

![helping-others-live-longer](//images.ctfassets.net/a1uad830l19w/6XZupXnk4Q0SkKztGZ7Gyq/d260c91d2f2044d35746e25689a57fa4/helping-others-live-longer.jpg) “Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup kekal.” Hari ini kita memasuki Pekan atau Minggu Prapaskah yang ke lima. Injil hari ini, mengajak kita untuk merenungkan Kembali dan menghayati panggilan kita sebagai murid-murid Kristus. Wujud nyata dari upaya menghayati panggilan mengikuti Kristus akan ditampilkan dari ajaran-ajaran Yesus yang terarah pada sikap untuk mau mempersembahkan hidup kepada Allah dan sesama. Oleh karenanya di masa Prapaskah ini dalam semangat pertobatan, kita semakin dihantar untuk bisa mendekatkan diri kepada Yesus Kristus. Pernahkan kita membayangkan bahwa besok atau beberapa waktu ke depan kita akan meninggal? Apa yang akan anda perbuat bila akhir hidup anda sudah anda ketahui? Pastinya akan ada beragam jawaban, misalnya ingin mewujudkan keinginan-keinginan yang belum terwujud, ingin berjumpa dengan keluarga dan saudara-saudara, dan lain-lain. Akhir hidup di sini kadang kita maknai sebagai kesempatan terakhir kita untuk bisa memuaskan dan mendapatkan apa yang kita inginkan. Namun apakah semua keinginan kita merupakan keinginan yang terbaik bagi hidup kita? Nampaknya keinginan-keinginan kita itu masih dilandasi sikap kecintaan diri kita semata, sebab seringkali kita tidak menyadari tujuan kita hadir ke dunia, yaitu untuk bersatu dengan Yesus Kristus dalam kehidupan abadi. Dalam Injil hari ini, Yesus memberitakan tentang saatnya telah tiba, yaitu kematiaan Yesus akan datang. Pada pemberitaan itu, Yesus mengajarkan beberapa hal terkait hubungannya dengan kematian-Nya. Yesus menyampaikan kepada banyak orang “Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup kekal.” Mungkin bagi kita sebagai umat Kristiani, perkataan Yesus ini dapat dimengerti karena kita sudah melihat bagaimana proses perjalanan hidup Yesus. Namun bagaimanakah dengan mereka yang mendengar perkataan Yesus pada saat itu? Pasti akan sulit diterima, apalagi bila ditangkap secara harafiah berarti mereka diajak untuk tidak mencintai nyawa mereka, sehingga kematian adalah jalan untuk mewujudkan kecintaan nyawa yang baik. Padahal maksud dari perkataan Yesus itu lebih dalam dan ditujukan bagi para pengikut-Nya untuk diamalkan dalam perjalanan hidup ke depan. Kematian Yesus diumpamakan-Nya dengan biji gandum yang harus jatuh ke dalam tanah dan mati untuk menghasilkan banyak buah (12,24). Di sini Yesus hendak menunjukkan bahwa kematian yang dialami Yesus itu akan membawa kebaharuan hidup bagi umat manusia, karena arti dari kematian Yesus adalah bentuk penghapusan dosa umat manusia terhadap Allah. Oleh karenanya Yesus menunjukkan bahwa kematian Yesus merupakan bukti persembahan diri-Nya kepada Allah untuk pendamaian dosa manusia. Hal ini akan menjadi contoh bagi para pengikut-Nya untuk bisa memahami arti kematian sebagai persembahan hidup kepada Allah dan sesama. Wujudnyata persembahan hidup untuk bisa bersatu dengan Allah ini, tertuang dalam ayat 25, yang mana sikap “tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal.” Manusia diajak untuk memahami lebih dalam kematian sebagai persembahan diri kepada Allah. Mencintai nyawa berarti diartikan sebagai sikap mempertahankan diri dan kepentingannya sendiri di dunia ini dengan tangan tertutup. Maka, tidak mencintai nyawa adalah sikap merelakan diri atau mempersembahkan diri untuk tidak takut kehilangan hidupnya yang fana demi mencapai kebenaran yaitu kesatuan dengan Allah. Kita diajak untuk mewujudkan sikap tidak mencintai nyawa yang berarti mempersembahkan diri secara utuh kepada Allah dengan baik dan benar. Bila kita sadari, sejak kita di baptis kita telah diundang Allah untuk mewartakan Kerajaan-Nya di dunia. Undangan Allah ini dapat kita maknai sebagai proses untuk mempersembahkan diri kita dalam perjalanan hidup kita untuk bisa kembali bersatu dengan Allah. Perjuangan hidup yang kita lakukan di dunia tentunya ada beranekaragam untuk mengamalkan ajaran Yesus Kristus. Namun seringkali upaya-upaya yang kita lakukan untuk mewujudkan pesan-pesan Allah, tertutupi oleh keinginan diri yang lain. Hal itu disebabkan oleh pengaruh-pengaruh lingkungan sekitar kita, misalnya kemajuan teknologi, budaya konsumerisme, sikap masa bodoh terhadap sekitar, dan lain-lain. Akhirnya tujuan pewartaan Kerajaan Allah kita di dunia menjadi terhambat, sehingga semangat untuk mempersembahkan diri kita kepada Allah turut terhambat dan menjadi kabur. Di dalam perjalanan masa Prapaskah ke lima ini, saya hendak membagikan beberapa poin yang dapat menjadi jalan untuk memurnikan semangat kita, dalam rangka mempersembahkan diri kepada Allah. Pertama, keinginan untuk melawan ke-egoisan diri dengan mau berkorban. Sikap egois dalam diri kita terkadang menjerumuskan kita dalam dosa. Buktinya adalah perhatian kita yang selalu mengarah ke aku, aku dan aku. Tindakan seperti itu dinamakan cinta diri yang berlebihan, sehingga menjadi sikap egois. Yesus sendiri mengajarkan perintah kasih yang mengarahkan diri keluar. Mengasihi diri seperti berusaha memberikan yang terbaik bagi hidupku memang baik, tetapi bila selalu mengarah ke dalam, maka kita tidak akan bisa merasakan arti kasih yang sesungguhnya. Yesus mengajarkan kasih yang keluar seperti sikap untuk “tidak mencintai nyawa”ku, yang berarti kita harus membagikan kasih ke sesama. Upaya untuk melawan sikap egois dalam diriku dapat dimulai dengan tindakan mau berkorban. Pengorbanan ini dapat terwujud mau mendahulukan kepentingan sesama. Dewasa ini, sikap mau berkorban untuk mendahulukan kepentingan sangat sulu, misalnya dalam hal mengantri di loket, naik angkutan umum, bahkan ketika berbagi pendapat. Sikap mau berkorban bagi sesama ini dapat menjadi jalan kita untuk melawan ke-egoisan diri, sehingga tidak hanya diriku saja yang mendapat kasih dari orang lain, tetapi juga orang lain turut aku kasihi. Berkorban ini bukan berarti mengalah karena selalu mendahulukan yang lain, seperti kita mengartikan “tidak mencintai nyawa” berarti kematian. Mau berkorban ini lebih pada sikap untuk saling melengkapi sesama kita dengan berbagi dan membantu apa yang dibutuhkan. Dengan demikian, sikap mau berkorban ini dapat menjadi langkah menahan ke-egoisan kita, untuk mewujudkan persembahan diri kepada Allah. Kedua, usaha untuk berbagi kasih kepada sesama. Berkaitan dengan sikap mau berkorban, kasih kepada sesama ini, tindakan pemberian diri kepada Allah juga harus terarah pada sesama. Allah telah memberi kasih kepada kita melalui kehidupan kita, maka sekarang kita harus bisa membagikan kasih itu kepada sesama (AG. 12). Manusia hidup selalu dengan sesama karena manusia adalah mahkluk sosial. Kita tidak bisa menganggap diriku itu bisa melakukan semuanya, sehingga aku tidak membutuhkan yang lain. Bila kita memiliki pandangan demikian, berarti kita menolak dan melukai hati Allah yang sudah memberi kasih kepada kita. Usaha mau berbagi kasih kepada sesama dapat kita landasi dasar dari Dekrit Ad Gentes, yaitu: “Sebab seperti Allah telah mengasihi kita dengan cinta yang sukarela, begitu pula hendaknya kaum beriman dengan kasih mereka memperhatikan sepenuhnya manusia sendiri, dalam gerak yang sama seperti Allah mencari manusia.” (AG. 12) Wujud dari sikap berbagi kasih kepada sesama dapat dimulai dengan memperhatikan mereka yang lemah, miskin dan menderita. Kehadiran kita sebagai manusia yang dikasihi Allah adalah untuk merangkul mereka yang belum bisa merasakan kasih yang kita miliki, misalnya bersedekah, mendoakan sesama kita yang menderita, dan lain-lain. Oleh karenanya kasih kepada sesama yang kita lalukan itu harus dilakukan dengan sukarela, seperti yang kita terima dari Allah, sebab “cinta kasih Kristiani ditujukan kepada semua orang tanpa membeda-bedakan suku bangsa, keadaan sosial atau agama; cinta kasih tidak mengharapkan keuntungan atau ungkapan terima kasih.” (AG. 12). Semangat pemberian diri kita kepada Allah melalui sesama, dapat menjadi perwujudan nyata bagaimana kita “tidak mencintai nyawa” kita. Kita melakukan itu semua haruslah mengarah untuk kemuliaan Allah, sehingga upah yang kita terima adalah kehidupan abadi bersama Allah. Dari sini, seperti yang dikatakan Yesus bahwa Ia hadir untuk melakukan kehendak Bapa, bukan untuk melakukan demi kepentingan-Nya semata. Melakukan kehendak Bapa berarti Yesus memberikan nyawa-Nya untuk keselamatan umat manusia. Demikianlah kita dalam semangat mau memberikan diri kepada Allah yang terwujud kepada sesama, dapat menjadi jalan untuk menyelamatkan sesama dan diri kita ke dalam persatuan dengan Allah. Di Minggu Prapaskah ke lima ini, semoga kita bisa semakin menghayati arti mau mempersembahkan diri kepada Allah dan sesama. Keinginan untuk mempersembahkan diri berarti “mati” bagi Allah, sehingga diri kita bisa menjadi alat-Nya untuk mengasihi banyak orang demi keselamatan, yaitu mencapai kehidupan kekal bersama Allah. Tuhan memberkati.

Read More

TELADAN MARIA MELALUI DOA ANGELUS

![Mary-Cherubs-The-Assumption-of-the-Blessed](//images.ctfassets.net/a1uad830l19w/4AJzKxxfUNeFtmP0rZwtea/89297b727555e84cdb6b9a76c4300dd2/Mary-Cherubs-The-Assumption-of-the-Blessed.jpg) Seorang pemuda di salah satu paroki di Surabaya memutuskan untuk memeluk iman Katolik karena tersentuh dengan suara lonceng gereja. Selama empat tahun, setiap pagi saat hendak berangkat kuliah, pemuda ini mendengar suara lonceng gereja pukul enam pagi. Saat sore pukul enam, ia juga mendengar lonceng yang sama berdentang. Sejak saat itu, ia merasa terpanggil dan merasakan kedamaian hati setiap ada suara lonceng gereja. Meskipun tak mengerti maksud bunyi lonceng itu, namun ia memutuskan untuk percaya kepada Yesus dan dibaptis di Gereja Katolik. Doa Malaikat Tuhan Suara lonceng yang didengar oleh pemuda itu adalah pertanda didoakannya doa Malaikat Tuhan atau Angelus. Doa ini didoakan setiap pukul enam pagi, dua belas siang dan enam sore. Beberapa gereja yang memiliki lonceng cukup besar dapat menggemakan suara lonceng ini hingga berkilo-kilo meter. Setiap orang yang lewat dekat gereja akan mendengar suara ini dan beberapa memutuskan untuk menghentikan aktivitasnya sejenak untuk berdoa. Doa yang amat ringkas dari suara lonceng ini nyatanya menyingkap sebuah penghormatan kepada Ibu Maria. Doa ini pada mulanya adalah kebiasaan hidup para biarawan Fransiskan yang membunyikan lonceng sebanyak tiga kali sehari dengan ditutup doa Salam Maria. Lambat laun, kebiasaan yang sederhana ini berkembang ke Inggris dan semua daerah-daerah jajahannya di penjuru dunia. Kemudian, pada abad XVI doa ini mendapat dukungan dari Paus Benediktus XIV, Paus Leo XIII, Paus Pius XI dan Paus Pius XII. Dalam dokumen Marialis Cultus, Paus Paulus VI menganalisis doa ini secara khusus. Menurut Paus Paulus VI, doa ini sangat injili karena seluruh isinya merupakan penyingkapan misteri Paskah dan mengarahkan orang untuk berkontemplasi. Doa malaikat Tuhan juga berisi mengenai peran khusus Ibu Maria dalam karya keselamatan Allah untuk umat manusia. Pertama, doa ini berbunyi, “Angelus Domini nuntiavit Mariae” yang berarti Malaikat Tuhan memberi kabar kepada Maria. Ini merupakan Kabar Sukacita akan karya keselamatan yang dimulai dari “Ya” Maria. Nyatalah di sini bahwa Allah memilih seorang perawan yang amat bersahaja, yakni Maria. Maka, Maria mengandung Putera Allah, yakni Yesus dari karunia Roh Kudus. Kedua, karya keselamatan itu juga tersingkap dari ungkapan Maria yang amat indah, “Aku ini hamba Tuhan, terjadilah kepadaku menurut perkataanmu” (Luk. 1:38). Ungkapan ini acapkali dikutip oleh para imam yang baru ditahbiskan untuk menunjukkan sikap berserah kepada kehendak Allah. Bila ditelisik, maka nyatalah bahwa karya Allah tersebut hampir tak masuk akal bagi Maria. Akan tetapi, Maria mengatakan “Ya” karena tahu bagi Allah tak ada yang mustahil. Belajar dari Maria Doa Malaikat Tuhan ini memang berisikan sebuah teladan iman dari sosok Maria. Bahkan, dalam masa Paskah, doa ini diganti dengan doa Ratu Surga yang juga berisikan teladan iman Maria. Seakan, doa Ratu Surga menjawab kepasrahan iman Maria dalam doa Malaikat Tuhan. “Ratu Surga bersukacitalah, alleluya!”, demikianlah bunyi doa Ratu Surga. Ya, Maria layak bersukacita sebagai buah imannya akan kehendak Allah dalam hidupnya. Tentu saja, lonceng gereja juga dibunyikan untuk mengiringi baik doa Malaikat Tuhan maupun doa Ratu Surga. Lewat suara lonceng gereja, kita dipanggil untuk belajar meneladani iman Maria yang sungguh pasrah pada kehendak Allah. Bahkan, Paus Kalistus III sekitar abad XV meminta semua orang Katolik di seluruh dunia untuk berdoa kepada Maria saat mendengar suara lonceng gereja. Ini merupakan ungkapan syukur atas bantuan Maria dalam kemenangan pasukan Katolik atas armada Turki yang waktu itu mengancam Eropa. Doa-doa tersebut sungguh sebuah usaha menimba pengalaman iman dari Maria. Sungguh, Maria memiliki pengharapan teguh pada Allah. Ini dipegangnya teguh, bahkan dengan setia ia berdiri di bawah kaki salib Puteranya saat para murid meninggalkan Yesus. Teladan inilah yang terus diingatkan kepada umat Katolik melalui suara lonceng yang bergema tiga kali sehari. Selain itu, lewat sosok Maria, setiap orang belajar bahwa kehendak Allah adalah nomor satu dalam hidup. Selalu Mengingat Allah Melalui suara lonceng, kita semua diminta untuk meneladani sikap Maria. Terlebih, kita diminta untuk kembali mengingat Allah di tengah rutinitas dan kesibukan kita. Melalui doa-doa Salam Maria yang kita ucapkan, kita mengingat Allah. Sungguh, ini amat perlu bagi hidup kita yang sibuk ini agar kita tak semakin dikuasai kesibukan yang membuat hidup kita kering. Sebaliknya, “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa!” (Ul. 6:4), iman inilah yang kita ingat selalu. Maka, kita diingatkan untuk selalu mengingat Allah yang amat berharga dalam hidup ini. Kita juga belajar dari Maria agar selalu mengandalkan Allah dalam rutinitas hidup. Kita tak akan mengandalkan kekuatan diri sendiri dan kita hidup bukan untuk diri sendiri. Maria tak bertindak dalam namanya sendiri, tapi selalu mengandalkan Allah. Demikianlah kita dipanggil untuk mengandalkan Tuhan dan bersandar pada-Nya. Maria ketika menghadapi persoalan hidup tak mengutamakan kehendaknya sendiri, melainkan mengutamakan kehendak Allah. Seperti Maria yang lebih memilih kehendak Allah, maka kita dipanggil untuk mencari kehendak Tuhan dalam hidup sehari-hari. Lewat suara lonceng yang meminta kita untuk berdoa ini, kita diingatkan bahwa Tuhan yang kita imani jauh lebih besar dari persoalan yang kita hadapi. Dari 24 jam waktu kita sehari, sisihkanlah tiga kali waktu untuk mendoakan doa-doa tersebut. Dengan perantaraan Maria dalam doa-doa itu, kita akan selalu mengingat Allah. Akhirukallam, kita akan mengalamai sukacita yang dialami Maria karena percaya pada Yesus, Puteranya. Doakanlah kami, ya Santa Bunda Allah, supaya kami dapat menikmati janji Kristus. Amin.

Read More

Keindahan Ikatan yang Menyatukan Generasi

Dalam katekese lanjutannya tentang makna dan nilai usia tua dalam terang sabda Allah, Paus Fransiskus merenungkan sosok janda Naomi seperti yang disajikan dalam Kitab Ruth, yang ia sebut sebagai “permata Alkitab.”Dia mengatakan kepada mereka yang berkumpul pada Audiensi Umum hari Rabu di Lapangan Santo Petrus bahwa kisah indah ini “menjelaskan keindahan ikatan keluarga,” dan mengundang umat beriman untuk “menemukan kembali Kitab Ruth.”Ikatan cinta dan dukungan---------------------------------Paus menceritakan hubungan cinta dan saling mendukung antara Naomi yang sudah lanjut usia dan menantu perempuannya, Ruth.Naomi, yang tinggal di negeri asing, ditinggalkan sendirian ketika kedua putranya meninggal.Namun terlepas dari kesedihannya, dia mendorong kedua menantunya untuk tetap berada di antara orang-orang mereka sendiri saat dia kembali ke Betlehem, kota asalnya, sebuah tindakan yang digambarkan Paus Fransiskus sebagai “tindakan cinta.”Ruth membuat keputusan untuk tidak meninggalkan Naomi, dan menemaninya ke Yehuda, dengan mengatakan kepadanya, ”Umatmu akan menjadi umatku, dan Allahmu, Allahku.”Paus menggarisbawahi bahwa “Naomi, tergerak oleh pengabdian Ruth, akan muncul dari pesimismenya dan bahkan mengambil inisiatif, membuka masa depan baru bagi Rut.”Babak baru--------------Kedua wanita memulai babak baru dalam hidup mereka dengan Rut mendukung Naomi, dan Naomi pun pada gilirannya, membantu Ruth menemukan suami baru, Boas, yang akan mengarah pada kelahiran putra Obed, yang adalah ayah Isai.“Naomi, di usia tuanya,” komentar Paus Fransiskus, “akan mengetahui sukacita memiliki bagian dalam generasi kelahiran baru.”“Lihat betapa banyak 'mukjizat' yang menyertai pertobatan wanita tua ini. Dia beralih ke komitmen untuk membuat dirinya tersedia, dengan cinta, untuk masa depan generasi yang terluka oleh kehilangan dan berisiko ditinggalkan.”Dalam sambutannya, Paus mengatakan terkadang ibu mertua memiliki reputasi sebagai orang yang sulit; tapi paus menambahkan, dia adalah seorang ibu, dan dia juga bisa menjadi nenek yang merupakan "hal yang indah."Ia juga mengimbau keluarga dan ibu mertua untuk saling memberikan yang terbaik.Mempersatukan generasi-----------------------------------Paus Fransiskus menjelaskan bahwa kisah Naomi dan Rut menunjukkan bahwa dalam rencana pemeliharaan Allah, iman dan kasih memungkinkan tantangan untuk diatasi.Paus melanjutkan dengan mengatakan bahwa ikatan yang menyatukan generasi ini dapat terbukti memperkaya keluarga kita dan untuk pertumbuhan masyarakat yang menghormati martabat dan karunia setiap anggotanya, tidak peduli tua atau muda.Sebagai penutup, Paus menggarisbawahi, “Jika kaum muda membuka diri untuk bersyukur atas apa yang telah mereka terima, dan para lansia mengambil inisiatif untuk meluncurkan kembali masa depan mereka, tidak ada yang dapat menghentikan berkembangnya berkat Tuhan di antara orang-orang.”Paus Fransiskus juga merekomendasikan agar orang muda berbicara dengan kakek-nenek mereka dan orang tua mereka, dan orang tua berbicara dengan orang muda. Hal ini, katanya, akan menumbuhkan kerukunan dan menempa “jembatan indah yang harus kita jaga dan awasi.”

Read More

Perbedaan Antara Menghormati dan Menyembah

Kehidupan manusia sungguh diwarnai dengan simbol. Simbol-simbol ini dibuat untuk mengungkapkan imaginasi atau rasa yang dirasakan oleh manusia. Simbol-simbol kerap kali diungkapkan melalui benda-benda, seperti patung, gambar, dll. Kehidupan beragama pun juga tidak lepas dari simbol. Namun sebagian kerap kali sebagaian dari manusia menyalahartikan makna dari simbol tersebut dan ada juga yang merasa bingung apakah simbol itu disembah atau hanya sebatas dihormati. Maka dari itu mari, kita melihat makna dari menghormati dan menyembah lewat ulasan artikel di bawah ini. Anda bisa mengaksesnya melalui link https://jejakkudus.com/temukan-perbedaannya-menghormati-vs-menyembah/. Tuhan memberkati. Amin

Read More

Relevansi Cinta Kasih Kristus Yang Menggerakkan Persaudaraan

Tema natal tahun ini mengingatkan kita akan misi Allah yang turun ke dunia dua ribu tahun silam lewat pribadi Yesus Kristus, yakni untuk memulihkan kembali relasi antara Allah dan manusia di mana hubungan itu pernah renggang oleh karena dosa Adam. Ketaatan Yesus pada Bapa untuk datang ke dunia sebagai manusia hingga matinya di salib menjadi tebusan atas dosa ketidaktaatan Adam sehingga manusia kembali pada persaudaraan asali dengan Allah dan sesama. Kasih merupakan misi yang Yesus berikan kepada Gereja, di mana kita semua umat beriman yang oleh karena rahmat baptis dan krisma memiliki tanggungjawab misioner. Umat beriman menjalankan tanggung jawab misioner dengan melaksanakan Tritugas Kristus. Tritugas Kristus itu diterima melalui sakramen inisiasi yang mereka terima sebagai tanda menjadi anggota penuh Gereja yakni Sakramen Baptis, Sakramen Krisma, dan Sakramen Ekaristi. Tritugas Kristus yang dijalankan oleh umat awam beriman ( anggota tubuh Gereja) sama halnya tugas misi yang diemban Yesus ketika datang ke dunia dan memasuki sejarah umat manusia. Tritugas tersebut adalah tugas sebagai imam, nabi dan raja, yang mana didalamnya dapat dimaknai sebagai upaya partisipasi aktif dalam mewujudkan cinta kasih Allah kepada manusia. Di dalam Tritugas Kristus tersebut, terdapat upaya-upaya konkret pemberian diri demi membangun persaudaraan dengan kebaikan orang bersama, baik dalam lingkup menggereja maupun bermasyarakat. a. Peran Misioner Awam sebagai Imam Tugas seorang imam adalah menguduskan. Pengudusan adalah bentuk upaya membangun persaudaraan dengan sesama. Peran misioner awam sebagai imam secara jelas tertulis dalam KGK 902: “Secara khusus orang tua mengambil bagian dalam pelayanan pengudusan ‘dengan hidup berkeluarga dalam semangat kristiani serta mengusahakan pendidikan kristiani anak-anak mereka’ (KGK 902). Dalam teks di atas, seorang umat awam, di mana mereka hidup dalam sebuah keluarga, memiliki peran misioner sebagai imam dalam bentuk pengudusan keluarga. Salah satu bentuk pengudusan yang dapat diupayakan ialah pendidikan kristiani anak-anak. “Kalau memenuhi semua persyaratan, para awam dapat dilantik untuk pelayanan tetap sebagai lektor atau akolit (lih. Kan. 230, §1). Di mana kebutuhan Gereja memintanya, dan bila tidak ada pelayanan-pelayanan rohani, juga kaum awam meskipun bukan lektor atau akolit, dapat menjalankan beberapa tugas, yakni melakukan pelayanan sabda, memimpin doa-doa liturgis, memberikan permandian, dan membagikan Komuni Suci, menurut ketentuan-ketentuan hukum.” Peran misioner awam sebagai imam sebagaimana dijelaskan dalam teks KGK di atas ditunjukkan dalam suatu kegiatan peribadatan. Hal ini menunjukkan bahwa seorang umat awam memiliki kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam pelayanan sebagai wujud semangat misionernya. Lebih-lebih di masa Natal, kita dapat terlibat aktif dalam aktivitas peribadatan. Dengan demikian, tugas sebagai imam yang dimaksudkan tidak dikhususkan hanya pada kaum klerus (imamat khusus) semata. Sebaliknya, seorang umat awam, melalui sakramen inisiasi yang ia terima, memiliki kapasitas untuk menjadi sarana pengudusan dari Allah bagi orang lain sebagai upaya misionernya. b. Peran Misioner Awam sebagai Nabi Nabi adalah seorang yang memiliki misi untuk mewartakan kabar gembira dari Allah. Dalam Lumen Gentium 35 dikatakan dengan jelas bahwa tugas kenabian semestinya juga melekat bagi para awam: “Kristus Nabi Agung telah memaklumkan Kerajaan Bapa dengan kesaksian hidup maupun kekuatan sabda-Nya. Ia menunaikan tugas kenabian-Nya hingga penampakan kemuliaan sepenuhnya bukan saja melalui hierarki melainkan juga melalui para awam.” Dalam KGK 904 dengan jelas dikatakan mengenai tugas kenabian yang dapat dilakukan oleh kaum awam melalui tugas penginjilan yakni “pewartaan Kristus, yang disampaikan dengan kesaksian hidup dan kata-kata”. Misi pewartaan yang dilakukan oleh kaum awam ini justru memiliki kekhasannya yang istimewa oleh karena dijalankan dalam keadaan-keadaan biasa dunia ini. Selain itu, dalam Kanon 774, 776, 229 dan 823 - §1, juga dijelaskan bahwa bagi kaum awam yang berpendidikan khusus dapat juga turut bekerja dalam pelajaran katekese, ilmu pengetahuan teologi dan juga dalam kerasulan media komunikasi. Kerangka isi dalam pewartaan itu tentu adalah kasih, perintah utama dan pertama, yang terus menerus diajarkan kepada sesama sehingga semua orang yang menerima pengajaran mendapatkan pemahaman yang baik dan akhirnya mempraktikkannya dalam hidup bersama. Semua itu adalah bentuk-bentuk pastoral yang dapat dilakukan oleh umat awam dalam menjalankan tugas misionernya dalam hal kenabian. c. Peran Misioner Awam sebagai Raja Tugas sebagai raja seringkali juga disamakan dengan tugas menggembalakan atau memimpin. Tugas raja atau gembala ini juga diberikan oleh awam yang menerimanya sejak Sakramen Baptis. Tugas penggembalaan ini merupakan wujud nyata dari keterlibatan kaum awam untuk mengambil bagian dalam tugas rajawi Kristus yang berjuang mewujudkan harapan dan cita-cita Gereja dalam mengembangkan Kerajaan Allah di dunia. Hal ini juga ditunjukkan dalam Lumen Gentium 36: “Sebab Tuhan ingin memperluas kerajaan-Nya juga melalui kaum beriman awam, yakni kerajaan kebenaran dan kehidupan, kerajaan kesucian dan rahmat, kerajaan keadilan, cinta kasih dan damai”. Keterlibatan kaum awam dalam tugas penggembalaan tentu memiliki kekhasannya dalam menata Gereja katolik baik sebagai organisasi agar lebih baik di segala bidang, misalnya menyangkut mekanisme kerja, transparansi dan akuntabilitas keuangan, kerapian administrasi, dsb. Tentu saja, demi terwujudnya hal itu, Gereja Katolik perlu mengikutsertakan, mengembangkan, dan memberdayakan kaum awam itu sendiri, sebagai fungsionaris Gereja. Secara lebih konkret, kaum awam memiliki tugas/misi penggembalaan sebagaimana tertulis dalam KGK 911 demikian: “Di dalam Gereja, orang-orang beriman kristiani awam dapat diikutsertakan [dalam pelaksanaan kuasa yurisdiksi] menurut hukum (Kan. 129 - §2). Misalnya mereka dapat mengambil bagian dalam konsili lokal (Kan. 443 - §4) dan sinode diosesan (463 - §1), menjadi anggota dewan pastoral (Kan. 511, 536), dapat turut serta dalam suatu tim pastoral paroki (Kan. 517 - §2), dapat turut bekerja dalam dewan keuangan (Kan. 492 - §1) dan menjadi anggota pengadilan gerejani (Kan. 1421 - §2). Tugas misioner kaum awam sebagai seorang raja/gembala ini juga dapat pula dilakukan melalui tugas kepemimpinannya di tengah masyarakat. Mereka dapat melakukan tugas kepemimpinannya sebagaimana dikerjakan orang lain, seperti ketua RT, dosen, pejabat, dll. Di mana letak perbedaannya? Perbedaannya tentu terletak pada inspirasi imannya yang berbeda. Misalkan seorang politikus Katolik. Perbedaannya terletak pada Katoliknya. Sebagai seorang Katolik, ia diharapkan tahu ajaran sosial Gereja mengenai etika politik dan bertindak atas dasar itu. Semangat kasih menjadi dasar seorang Katolik sejati dalam menjadi pelayan bagi sesama dan mengusahakan persaudaraan bagi siapapun, melalui peran dan kedudukan yang ia emban, baik di lingkup Gereja maupun masyarakat.

Read More

Pintu Sukacita

Minggu Adven ketiga disebut sebagai Minggu Gaudete. Dalam Bahasa Latin, Gaudete merupakan kata imperatif atau perintah yang mengatakan “Bersukacitalah!”. Alasan bersukacita jika dirunut dari konteks sejarahnya memang unik. Di Eropa, bulan Desember adalah bulan yang paling banyak menurunkan hujan salju, bahkan sinar matahari tak akan nampak pada beberapa tempat di sana. Uniknya, pada awal Desember akan terjadi gerak semu matahari yang menyebabkan matahari bersinar lebih cerah dari biasanya. Hal ini hanya terjadi di awal pekan dalam bulan Desember. Sukacita menyambut sinar matahari ini oleh orang-orang Eropa kuno disebut sebagai minggu sukacita yang dikait-kaitkan dengan keberadaan Minggu Adven III, yakni Minggu Gaudete. Tentu saja, hal tersebut tak akan terjadi di Indonesia yang beriklim tropis. Bulan Desember justru mendatangkan hujan yang curahnya jauh lebih lebat dari biasanya. Orang Indonesia juga tak merayakan Minggu Gaudete karena sinar matahari bersinar lebih cerah pada minggu ini sebab memang sepanjang tahun Indonesia berlimpah akan sinar matahari. Adapun Gereja Katolik merayakan Minggu Gaudete lantaran sebagai peringatan bahwa Natal sudah semakin dekat guna mengingat kelahiran Sang Penebus, yang membawa sukacita bagi umat manusia. Permenungan yang menarik adalah bahwa sukacita itu datang dari sosok bayi yang lahir lemah dalam lampin di kandang binatang. Hampir tak masuk akal, tapi inilah yang terjadi bahwa Yesus lahir di kandang binatang dan Ia membawa sukacita bagi umat manusia. Jika Gaudete lekat dengan sinar matahari yang bersinar lebih cerah, maka tidak berlebihan bila dikatakan bahwa Yesus adalah sinar matahari itu. Bukankah Ia adalah Terang Dunia? (bdk. Yoh. 3:19). Ya, Minggu ini seakan menjadi alarm bagi umat manusia agar selalu berjaga dalam sukacita. Mengapa sukacita? Itu karena manusia lama yang terjebak dalam lembah dosa dan akibat dosa dalam maut akan menang berkat Kabar Sukacita, yakni Yesus Kristus. Nah, sukacita ini baru permulaan karena Yesus sejatinya memberikan lebih banyak sukacita. Dikatakan permulaan karena seolah ini menjadi pintu menuju sukacita yang lebih besar, yakni kehidupan kekal. Jika Tuhan Yesus adalah pintu satu-satunya, maka Minggu Gaudete seakan mengingatkan kita akan pintu sukacita dalam diri Yesus. Diakatakan pintu karena memang Ia adalah yang Awal, sekaligus yang Akhir (baca: Alpha et Omega). Kita akan masuk ke dalam rumah melalui pintu. Jika demikian, maka kita akan masuk melalui pintu sukacita yang telah disediakan oleh Tuhan. Akan tetapi, sukacita di sini tidak bisa dimengerti hanya sebagai hura-hura atau foya-foya menjelang Natal. Seperti beredar di banyak media sosial saat ini, orang memasang foto makan malam mewah dengan caption, “Early Christmas dinner”. Sekali lagi, sukacita Tuhan tidak sedangkal itu, apalagi jika itu digunakan untuk pamer status sosial di media. Tidak sama sekali. Pintu sukacita yang dimaksud di sini adalah sebuah luapan hati yang penuh sukacita karena Tuhan segera hadir ke dunia untuk menyelamatkan umat manusia. Disposisi batin dalam sukacita ini melebihi perasaan psikologis, seperti senang dan gembira. Lebih dari itu, sukacita ini adalah sikap antusias yang penuh harapan bahwa keselamatan telah tiba bagi umat manusia. Tidak lain dan tidak bukan, keselamatan itu adalah Kristus, Sang Juruselamat. Misteri dalam Liturgi suci memang menghantar kita untuk mengupayakan sikap berjaga-jaga. Maka, pintu sukacita seolah semakin melengkapinya, yakni berjaga dengan bersukacita. Kita bisa mengingat kisah Yohanes Pembaptis yang bersukacita sejak dalam kandungan, karena Maria dan Yesus yang juga masih dalam kandungan mengunjungi Elisabeth. Sukacita itu semakin sempurna saat “Waktu Yesus sudah tiba”. Akhirnya, kita semua diundang untuk tinggal dalam sukacita itu. Langkahnya adalah kita mau masuk ke pintu sukacita. Tentu saja, pintu itu sempit di mata dunia. Seolah pintu itu tak mungkin dilalui dengan mudah. Akan tetapi, sesungguhnya, pintu itu menjadi sempit karena kita masih menggenggam sukacita dunia yang semu ini. Sebaliknya, pintu itu menjadi lebar bagi kita yang mau kembali pada Allah. Pintu itu lebar bagi kita yang mau bersekutu dan bergumul dalam Allah, baik dalam suka maupun duka. Niscaya, pintu itu sungguh menjadi pintu sukacita bagi kita semua.

Read More

Iman, Harapan, dan Kasih: Motor “Penggerak” Persekutuan

Analogi “Gerak” Ketika merenungkan kata “gerak”, tiba-tiba saya teringat akan kendaraan-kendaraan bermesin, seperti motor, mobil, dsb. Kendaraan-kendaraan tersebut dapat bergerak karena ada beberapa faktor, yakni adanya bahan bakar, seperti bensin dan perangkat-perangkat yang mendukung berjalannya mesin kendaraan tersebut. Ibarat kendaraan bermesin demikian pula dengan kehidupan kita. Kita bisa “bergerak” karena salah satunya ada “energi”. Energi dapat diperoleh dari berbagai sumber. Energi gerak untuk kehidupan spiritual kita diperoleh tidak lain dan tidak bukan dari iman, harapan, dan kasih. Iman Iman adalah kebajikan ilahi yang berasal dari Allah sendiri dan bentuk kebebasan kita dalam menyerahkan seluruh diri kita kepada Allah melalui Gereja-Nya yang kudus. Pertanyaannya, iman yang seperti apa yang harus kita miliki? Apakah hanya bermodalkan percaya yang lebih mengarah pada kata “pasrah”, tanpa perbuatan? Tentunya tidak, iman yang kita miliki harus memberi kesaksian dengan berani dalam menempuh jalan salib. Dalam Surat Rasul Yakobus pun tertulis, “iman tanpa perbuatan adalah mati” (lih. Yak 2:17). Iman yang telah Ia berikan kepada kita juga sudah seharusnya kita tanggapi sebagai bentuk tanggapan manusia akan panggilan Allah. Ambil contoh Bapa Abraham dijuluki Bapa Iman. Karena apa? Karena Bapa Abraham menanggapi panggilan Allah atau dapat dikatakan ada kerja sama antara Allah dengan Bapa Abraham. Sebenarnya bisa saja Ia melakukan karya keselamatan secara sendiri, tetapi karya ini adalah karya keselamatan, maka ada subjek yang diselamatkan, yaitu manusia. Iman tersebut juga berdampingan dengan harapan dan kasih, bahkan iman tanpa harapan dan kasih tidak sepenuhnya mempersatukan orang beriman dengan Kristus dan tidak menjadikannya anggota yang hidup dalam Tubuh-Nya. Harapan Harapan adalah kebajikan ilahi yang berasal dari Allah dan bentuk kerinduan kita akan Kerajaan Surga, terlebih-lebih janji-janji Kristus kepada kita. Semangat harapan inilah yang mengantar kita kepada kebahagiaan cinta kasih Kristen. Dengan adanya harapan dalam hidup kita, kita masih bisa berjuang dalam menapaki peziarahan hidup ini, terlebih-lebih menantikan kelahiran-Nya yang sedang kita jalani di masa Adven ini. Kelahiran Kristus yang kita nantikan bukan hanya perayaan ritus agama belaka, tetapi lebih pada kebaruan iman kita pada-Nya. Ia lahir ke dunia untuk wafat di kayu salib. Sejarah keselamatan terpenuhi “dalam harapan melawan semua harapan” (Rm 4:18), melalui kelemahan kita. Kita mungkin berpikir bahwa Allah melihat kita hanya dari kelebihan atau keberhasilan-keberhasilan yang kita capai di dunia ini. Akan tetapi perlu disadari bahwa “Ia datang bukan untuk orang yang benar, tetapi untuk orang yang berdosa” (Mat 9:13). Santo Paulus juga mengatakan: “Dan supaya aku jangan meninggikan diri karena penyataan-penyataan yang luar biasa itu, maka aku diberi suatu duri di dalam dagingku, yaitu seorang utusan Iblis untuk menggocoh aku, supaya aku jangan meninggikan diri. Tentang hal itu aku sudah tiga kali berseru kepada Tuhan, supaya utusan Iblis itu mundur dari padaku. Tetapi jawab Tuhan kepadaku: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2Kor 12:7-9). Kasih Kasih adalah kebajikan dari Allah dan wujud cinta kita kepada-Nya melalui “mengasihi Allah dengan segenap akal budimu, dan mengasihi sesamamu seperti dirimu mengasihi dirimu sendiri” (Bdk. Mat 22:37). Wafat-Nya di kayu salib menunjukkan kepada kita akan kasih-Nya yang tiada kesudahannya, “seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggalah di dalam kasih-Ku itu,” (Yoh 15:12). “Gerak” menuju Persekutuan Dalam Gereja Katolik, kata “gerak” sering dipakai dalam menampilkan belas kasih Allah sendiri. Ambil contoh dalam Injil Matius 15:32-39. Di sini tampak bahwa Yesuslah yang berinisiatif untuk memberi makan empat ribu orang atau dapat dikatakan bahwa Yesus menjadi inisiatif pertama dalam terjadinya kasih. Ia tergerak oleh cinta kasih-Nya untuk orang-orang yang mengikuti-Nya. Ia melihat orang-orang tersebut belum makan berhari-hari, sehingga Ia tergerak untuk mengadakan mukjizat bagi mereka. Dari Injil tersebut, kita diajak untuk mudah tergerak oleh belas kasih yang juga berasal dari Yesus sendiri, agar kita menyalurkan kasih tersebut kepada sesama kita. Saat ini, kita masih hidup dalam lingkup pandemi Covid-19. Dengan adanya pandemi ini, kita semakin diajak untuk mudah tergerak oleh belas kasih dari-Nya yang kita salurkan melalui sesama kita, seperti menerapkan protokol kesehatan dengan setia, memberikan bantuan kepada mereka yang terpapar Covid-19, dsb. *Kata “gerak” sendiri berarti suatu tindakan yang memiliki dua arah, dari kemana dan mau kemana. Kita semua lahir (berasal) dari Allah sendiri dan arah (tujuan) hidup kita adalah Allah sendiri. Inilah yang menjadi pedoman kita dalam bergerak, yang terkadang juga perlu bergerak “diam” untuk merenungkan sabda-sabda-Nya. Saat ini kita sedang menjalani masa Adven. Dalam masa adven ini, kita diajak untuk senantiasa berharap, menantikan kelahiran Sang Kasih itu sendiri, yaitu Tuhan. Sebenarnya, patut kita refleksikan dalam diri kita masing-masing, “Apakah kita mau untuk setia dalam penantian akan kelahiran-Nya? Jika mau, alasan kita mau untuk setia menantikan Dia Sang Kasih itu sendiri?” Dari situ, kita bisa merenungkan kenapa kita masih mau berjuang hidup dalam menapaki peziarahan hidup yang penuh dengan lika-liku ini dan Apa yang sebenarnya kita cari dalam hidup ini. “Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia” (Mzm 103:13). Sudah sejak Bangsa Israel, umat manusia dicintai oleh Allah sendiri dan cinta itulah yang menggerakkan kita umat manusia untuk mencintai Allah sendiri. Atas dasar cinta ini pula, Ia menyatukan umat-umat-Nya dalam Satu Tubuh, sehingga terbangunlah suatu persekutuan. Oleh karena itu, marilah kita bergerak bersama untuk membangun persekutuan murid-murid Kristus sesuai dengan Arah Dasar Keuskupan Surabaya.

Read More

Cinta Kristus: Pendorong Persaudaraan Dalam Tubuh Mistik-Nya

Gereja pada hakikatnya adalah kesatuan umat Allah, yang dipanggil oleh-Nya menuju kepada keselamatan sejati, yaitu melalui salib Kristus. Kita sebagai kesatuan umat Allah tersebut memiliki harkat dan martabat yang sama oleh karena rahmat pembaptisan. Secara bersama-sama, kita adalah tubuh Gereja dan Kristus sebagai kepala Gereja sendiri (Bdk. KGK, 748-757). Kesatuan tersebut didasari oleh karena cinta kasih yang mesra antara Kristus dengan tubuh mistik-Nya, yaitu kita sendiri sebagai suatu persekutuan. Kita adalah wujud dari kehadiran Allah yang secara nyata tampak di dunia ini dalam cinta kasih persaudaraan kita dengan yang lain sebagai persekutuan Gereja. Cinta kasih tersebut menggerakkan kita untuk terus-menerus mengusahakan diri mencapai persaudaraan yang kuat di tengah berbagai macam cobaan yang ada di dunia ini, yang dapat merongrong persaudaraan kita, bahkan dapat meruntuhkan persaudaraan kita. Oleh karena itu, kekuatan cinta hendaknya terus-menerus kita kuatkan dan tumbuhkan di dalam persekutuan kita sebagai umat Allah yang hidup di tengah dunia ini. Apa Arti dari Cinta Kasih? Cinta kasih adalah penyerahan diri secara bebas (Bdk. KGK, 2346). Setiap manusia yang terdorong oleh hati yang penuh cinta akan terdorong untuk mengabdikan diri secara penuh. Cinta kasih secara langsung mempengaruhi keseluruhan hidup seseorang dan secara nyata tampak melalui tindakan-tindakan seseorang seperti seorang musisi yang mengabdikan dirinya pada suatu karya musik yang besar, seperti orang tua yang dengan tulus hati mendidik, membesarkan dan rela berkorban demi anaknya, dan di dalam persahabatan pun tumbuh akibat adanya cinta kasih antar sesama. Allah Wujud Cinta Kasih Allah telah menyatakan diri-Nya bahwa Ia adalah kasih. Kasih tersebut diwujudkan melalui pengorbanan-Nya di kayu salib, tempat Ia menyerahkan nyawa-Nya bagi para sahabat-Nya. Ia telah membuktikan perkataan-Nya sendiri: “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seseorang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:17). Iman kita berpegang teguh pada janji “Allah adalah kasih”, meskipun pengalaman akan penderitaan seringkali membuat kita mempertanyakan apakah Allah sungguh mengasihi kita. “Kasih itu berasal dari Allah; dn setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah” (1Yoh 4:7). Cinta Kasih Allah Hadir Dalam Sesama Pernahkah kita sadari bahwa Allah benar-benar mengasihi kita? Sehingga kita bertanya-tanya, apakah Allah sungguh mengasihi kita ketika mengalami pengalaman penderitaan. Pernahkah kita menyadari bahwa uluran tangan orang lain merupakan bentuk wujud kasih Allah? Allah akan tetap dan selalu mengasihi kita, di mana Ia selalu memandang kita dengan penuh cinta setiap saat, Ia senantiasa menjaga hidup kita, dan Ia selalu ada untuk kita di tengah kemelut dunia ini. Melalui orang-orang yang ada di sekitar kita, Allah hadir dan menggerakkan kita untuk saling mengasihi satu sama lain. Seluruh cinta kasih manusia kepada manusia yang lain merupakan gambaran cinta kasih Ilahi. Cinta kasih adalah bentuk yang paling dalam dari Allah sendiri. Cinta kasih Ilahi yang berlimpah tersebut melibatkan kita untuk hidup dalam cinta kasih-Nya. Kita yang secitra dengan-Nya dirancang untuk saling berhubungan, bertukaran, berbagi, dan mengasihi satu sama lain. Kasih Allah menggerakkan kita untuk bertanggung jawab satu sama lain dan hal tersebut terwujud dalam persaudaraan sejati kita sebagai persekutuan umat Allah (Gereja). Gereja sebagai tubuh mistik Kristus secara nyata tampak dalam kasih Allah yang hadir dalam segala perbuatan kasih kita kepada sesama manusia. Kristus sendiri menghendaki kasih dari diri kita masing-masing seperti yang Ia lakukan terhadap Gereja, di mana Ia mengikatkan diri-Nya dengan Gereja dan memberikan hidup-Nya bagi Gereja (Bdk. KGK, 796). Kasih tersebut mengikatkan kita dengan Kristus dan kita hidup di dalam-Nya sehingga kita pun diutus menjadi kasih Allah yang hadir dalam persaudaraan sejati yang tidak pernah terputuskan, karena di dalam Kristus, kita menjadi satu tubuh dan saling menjaga serta saling melengkapi satu sama lain. Jika kita semakin besar dan semakin dalam mencintai sesama, maka cinta kasih Allah terjelma dalam hidup kita dan kita semakin diarahkan kepada kesatuan cinta bersama-Nya. Pada akhirnya, kasih adalah dasar utama dan penggerak utama untuk semua orang kristiani. Karena melalui kasih, kita saling memiliki dan saling tergantung satu sama lain sehingga kita sebagai tubuh mistik Kristus didorong untuk saling bersaudara serta menghidupi perintah-Nya: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat 22: 39).

Read More

Belajar dari Yohanes Pembaptis

Mari kita sejenak berpikir matematis. Yohanes Pembaptis adalah putera Elisabet, saudari Maria, ibu Yesus. Maka, dapat dikatakan bahwa Yohanes adalah saudara sepupu dari Yesus. Usia Yohanes tentu jauh lebih tua kira-kira enam bulan dibandingkan Yesus. Mengapa demikian? Saat Maria menerima kunjungan dari malaikat Tuhan, ia tahu bahwa dirinya akan mengandung. Saat itu, malaikat berkata padanya, “Dan sesungguhnya, Elisabet, sanakmu itu, ia pun sedang mengandung seorang anak laki-laki pada hari tuanya dan inilah bulan yang keenam bagi dia, yang disebut mandul itu” (Luk. 1:36). Rupanya, Yohanes lahir sekitar enam bulan lebih dulu dari Yesus. Dalam hidup orang Ibrani, kebiasaan penghormatan pada orang yang lebih tua boleh dikatakan cukup terjaga. Artinya, orang yang lebih muda masih menjaga “tata krama” dalam bersikap dengan orang yang lebih tua. Akan tetapi, hal tersebut agaknya tidak berlaku bagi Yohanes yang sangat menghormati Yesus. Lantas, semangat apa yang bisa kita timba dari sosok Yohanes Pembaptis? Memakai pakaian dari bulu unta – ikat pinggang dari kulit, memakan belalang dan madu hutan adalah hal-hal yang melekat pada diri Yohanes Pembaptis. Ditengarai dengan cermat bahwa ia berasal dari kelompok Qumran, yakni sebuah komunitas kecil yang menghayati iman Yahudi dan melakukan askese dengan sangat ketat. Biasanya, kelompok tersebut tinggal di sekitar padang gurun untuk mendukung askesenya (bdk. Luk. 1:80). Kehidupan sehari-harinya juga keras dan penuh seruan kenabian. Bahkan, Yohanes berani mencela Herodes Antipas (bdk. Mrk. 6:18) yang melakukan perkawinan tidak sah karena merebut pasangan orang lain. Itu sebabnya, Yohanes dipenjara dan dihukum mati di sana. Lebih dari itu, Yohanes adalah sosok yang sangat tegas dalam mewartakan kebenaran mesianis. Tujuannya adalah agar orang-orang siap menyambut hadirnya Yesus, Sang Mesias Sejati. Masa Adven dan Yohanes Masa Adven membuat Gereja menghadapi beberapa tokoh besar dalam Kitab Suci, seperti Yesaya, Yohanes Pembaptis, Perawan Maria dan Bapa Yosef. Di Minggu Adven Kedua, Gereja boleh merefleksikan sosok Yohanes Pembaptis yang selalu menyiapkan jalan untuk kedatangan Yesus. “Ada suara orang yang berseru-seru di padang gurun: Persiapkanlah jalan untuk Tuhan, luruskanlah jalan bagi-Nya" (Mrk. 1:3). Yohanes tidak mempedulikan dirinya dan tidak memegahkan dirinya. Meski sebagai tokoh yang cukup terkenal kala itu, namun itu bukan tujuan ia hidup. Sebaliknya, tujuan ia hidup adalah mewartakan kebenaran dan menyiapkan hati orang-orang Yahudi agar siap menerima Yesus, Sang Mesias. Bahkan, Yohanes selalu ingin menjadi semakin kecil, sementara Yesus harus semakin besar. Yohanes memang biasa membaptis, tapi ia merasa tidak pantas melakukan itu pada Yesus, yang ia nanti-nantikan. Kehadiran Yesus memang akan menyedot perhatian orang-orang karena Ia menjadi lebih terkenal darinya. Namun, ia tidak merasa cemas, melainkan ia justru bahagia melihat “Sahabatnya”. Bacaan-bacaan selama masa Adven pun mengundang Gereja untuk merenungkan sosok Yohanes Pembaptis yang rendah hati ini. Sebagai masa penantian, masa Adven mengajarkan kepada kita untuk menanti Tuhan dengan sikap rendah hati. Semangat rendah hati menjadi nafas bagi kita dalam menanti Tuhan karena artinya kita memprioritaskan Tuhan lebih dari diri sendiri. Rendah hati juga berarti meredam arogansi hati yang selalu ingin menang. Lantas, bagaimana kita bersikap? Sikap rendah hati dalam masa Adven bisa diwujudkan dalam doa-doa pribadi, yang pertama-tama mendahulukan kehendak Tuhan, alih-alih kehendak diri. Di sini, kita bisa bercermin pada sikap batin kita selama ini. Doa yang memaksa kehendak Tuhan, doa yang egoistis dan doa yang mengabaikan kepentingan orang lain adalah beberapa sikap arogansi diri. Sikap rendah hati juga ditantang dalam hidup sehari-hari, seperti di kehidupan media sosial. Dewasa ini, banyak orang mendewakan “Keakuan diri” dalam ambisi popularitas di media sosial. Beraneka cara dilakukan demi mencapai popularitas. Akan tetapi, masa Adven mengajak kita untuk bercermin dari sosok Yohanes Pembaptis yang rendah hati, yang menganggap Yesus adalah segala-galanya bagi dirinya. Kita diundang untuk bersikap rendah hati: mementingkan kehendak Tuhan di atas segala-galanya. Akhirnya, masa Adven ini membuat kita semakin rendah hati menanti kehadiran Yesus, teladan kerendahan hati yang sejati, yang rela menjadi manusia lemah untuk kita. Semoga kita selalu menjadikan Tuhan Yesus segala-galanya di hidup kita.

Read More

ALLAH JAHAT DAN ALLAH BAIK

Galan Suswardana, S.S.,M.Fil ![Webinar Allah Jahat dan Allah Baik](//images.ctfassets.net/a1uad830l19w/1YI6iBSpySMgM3cb9VMje9/ecd339f3f70b697f202003519b498ea9/WhatsApp_Image_2021-11-20_at_8.50.47_AM.jpeg) Pembukaan Hari Jumat, 26 November 2021, Centrum Ivan Merz bersama dengan komunitas Wanita Bijak Katolik dan komunitas St. Joseph Family Ministry mengadakan acara bincang rohani bersama dengan tema “ALLAH JAHAT DAN ALLAH BAIK”. Acara ini dihadiri oleh 76 peserta dari berbagai tempat dan komunitas, karena acara bincang rohani yang diadakan ini tidak membatasi undangan dari manapun. Acara dilangsungkan dengan zoom dengan dimoderatori oleh Galan Suswardana, S.S., M.Fil dan Narasumber oleh Dr. Stefanus Iswadi Prayidno (Dosen Kitab Suci Institut Teologi Yohanes Maria Vianney Keuskupan Surabaya). Acara dibuka oleh panitia dari komunitas Wanita Bijak Katolik dan komunitas St. Joseph Family Ministry dan dilanjutkan video perkenalan akan Centrum Ivan Merz, Wanita Bijak Katolik, dan St. Joseph Family Ministry oleh Bapak Soegiharto Widodo (ketua pelaksana acara) dan dilanjutkan pembahasan mengenai tema bincang rohani. Isi Pembahasan mengenai tema “ALLAH JAHAT DAN ALLAH BAIK” dibuka dengan sebuah pengantar singkat latar belakang pemilihan tema dan memperkenalkan sedikit profil dari narasumber yang akan mengulas tema “ALLAH JAHAT DAN ALLAH BAIK”. Rm. Iswadi membuka presentasinya dengan sebuah pengantar yang mengatakan bahwa tema ini sesungguhnya tema yang tidak mudah namun harus berusaha membawakannya dengan mudah kepada para peserta. Permasalahan mengenai pandangan umat tentang Allah jahat dalam Kitab Suci Perjanjian Lama itu hanya terjadi zaman sekarang, namun sudah ada ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu seperti seseorang yang bernama Marcion (140 M). Ia membedakan Tuhan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru “Tuhan yang jahat berasal dari Perjanjian Lama sehingga seluruh isi Perjanjian Lama tidak perlu dipakai”. Maka dari itu Rm. Iswadi mengajak peserta untuk melihat rambu-rambu secara baik dan benar dalam membaca Kitab Suci. Kitab Suci yang dimiliki orang Kristen memiliki karya sastra yang tinggi, namun lebih daripada itu Kitab Suci adalah Sabda Allah dalam Bahasa Manusia. Memang beberapa tulisan dalam Perjanjian Lama mengungkapkan sesuatu yang menganggap bahwa Allah memiliki karakter yang jahat, seperti kesewenangan Allah, doa balas dendam, dan Allah yang marah. Namun, sebagai umat beriman harus melihatnya secara jeli, seperti melihat langit dengan mata telanjang dan dengan menggunakan teleskop. Melihat langit dengan mata telanjang, memang sudah terlihat indah, namun bila melihat dengan teleskop langit semakin indah, semakin banyak benda-benda luar angkasa yang bisa dilihat. Dikatakan dalam Perjanjian Lama Allah memang menghukum, namun hukuman Allah tidak lebih kejam dari hukum yang diciptakan oleh manusia sendiri. Lalu apa alasan Allah mengadakan hukuman bagi umat-Nya? Allah menghukum karena Allah mencela dan mengutuk segala bentuk pelecehan, dari perbudakan hingga perang saudara, dari agresi pribadi hingga sistem penindasan, baik antar bangsa atau di dalam Israel. Allah mengundang kita untuk mengenali kejahatan agar bisa menghindari dan memeranginya. Dalam Perjanjian Baru, Yesus mengatakan bahwa “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya” Mat 5:17. Artinya dalam konteks memahami hukum Allah, ada yang bersifat sementara dan ada yang bersifat tetap, Jenis-jenis hukuman bisa berganti, tetapi nilai keadilan di dalamnya tetap berlaku, Yesus tetap mempertahankan nilainya, malah Dia membawa ke akarnya jangan sampai benih kejahatan muncul. Memahami karakter Allah semena-mena juga harus dipahami sebagai Sabda Allah dalam bahasa manusia (ini adalah kunci), seperti pada perikop Ul 7:1-2. Kisah ini bukan kronik sejarah Fakta arkeologis: bangsa Israel masuk tanah Kanaan dalam kurun waktu yang lama dan bertahap, Peraturan Ulangan untuk memusnahkan orang Kanaan ditulis manakala orang Kanaan sudah tidak ada lagi, dan Hukum pemusnahan memerlukan penafsiran non-harfiah (bdk. Mat 5:29; 18:9 tentang mencungkil mata yg menyesatkan). Jadi Tuhan tidak menganjurkan kebiadaban atas nama agama dan Sastra penaklukan dan pengusiran menjadi gambaran kesungguhan menjadi umat kudus. Berikutnya memahami maksud dari doa balas dendam. Dalam Mazmur 137:8-9 berbunyi “Hai puteri Babel, yang suka melakukan kekerasan, berbahagialah orang yang membalas kepadamu perbuatan-perbuatan yang kau lakukan kepada kami! Berbahagialah orang yang menangkap dan memecahkan anak-anakmu pada bukit batu! Cara membaca ayat tersebut adalah Subyek doa adalah orang yang menderita. Orang yang sangat menderita menyampaikan uneg-unegnya tanpa malu.Jenis sastranya adalah ratapan (ungkapan penderitaan dilebih-lebihkan, solusinya juga ekstrem) Contoh: “Mereka menusuk tangan dan kakiku. Segala tulangku dapat kuhitung” (Mzm 22:17-18). Isi doa: permintaan dilepaskan dari kejahatan. Doanya bukan mantra yang bisa mencelakakan orang. Sebaliknya, si pendoa mempercayakan keadilan ke tangan Tuhan sendiri. Terakhir memahami tentang Allah murka. Dalam teks 2 Sam 12:14 berbicara tentang hukum yang tidak sebanding yang diberikan Allah kepada Daud. Daud berdosa dengan istri Uria, hukumannya adalah anak yang lahir baginya akan mati. Lalu bagaimana membaca peristiwa ini dengan baik dan benar? Hukuman kepada Daud bisa diartikan bahwa Tuhan digambarkan marah, tetapi kita tidak bisa menerapkan seluruh pengalaman marah kita pada Tuhan. Para nabi tidak pernah menggambarkan kemarahan Tuhan sebagai sesuatu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kemarahan Tuhan selalu merupakan reaksi terhadap perilaku manusia dan didasarkan pada kepedulian akan yang benar dan salah. Alasan Allah marah dalam konteks ini adalah Pengkhianatan terus-menerus terhadap perjanjian, kekerasan dan penindasan terhadap kaum lemah, bisa dibayang dalam pemikiran manusia bila Tuhan tidak marah dalam peristiwa tersebut, manusia akan beranggapan “Tuhan macam apa yang diam manakala terjadi penganiayaan?”. Lalu seperti apa marah Tuhan yang dimaksud dalam Perjanjian Lama. Murka Tuhan itu lambat (misal. Firaun diberi sepuluh kesempatan; Abraham negosiasi untuk menyelamatkan Sodom). Bentuk dari kemarahan Tuhan pada dasarnya menyerahkan kepada kita, seperti 40 tahun bangsa Israel menuju tanah terjanji. Tuhan marah karena bangsa Israel menolak untuk pergi ke tanah terjanji, maka Allah menghukum mereka selama 40 tahun berputar-putar menuju tanah terjanji. Bentuk kemarahan Tuhan lainnya adalah menyembunyikan wajah-Nya. Jadi kesimpulan dari materi “Allah Jahat dan Allah Baik” sebenarnya adalah Murka Tuhan selalu merupakan tanggapan terhadap pengkhianatan dan kejahatan manusia Kemarahan diungkapkan dengan menyerahkan si pendosa pada konsekuensi logis keputusannya. Allah memberikan apa yang dengan keras kepala dipilih oleh umat-Nya. Hukuman itu adalah sesuatu yang dipilih oleh manusia sendiri. Setelah penyampaian materi dilanjutkan dengan proses tanya-jawab dan bincang-bincang rohani memperdalam pembahasan materi, banyak pertanyaan dan diskusi yang disampaikan dan terjadi. Hal ini membuat acara semakin menarik terutama pembahasan kenapa Allah berbuat demikian bagi hidup manusia, kenapa berbeda dengan Allah dalam Perjanjian Baru. Rm. Iswadi menegaskan bahwa sekali lagi dalam melihat itu harus ingat rambu-rambu dan kuncinya yakni Kitab Suci ditulis dalam bahasa manusia namun dengan inspirasi oleh Roh Kudus. Kitab Suci adalah Sabda Allah dalam bahasa manusia. Banyak hal sebenarnya dalam Perjanjian Allah yang menggambarkan Allah begitu cinta kepada manusia, namun tidak mengerti mengapa fokus manusia pada umumnya lebih menyoroti Allah yang jahat, namun Allah yang dipandang jahat tidak bisa diartikan secara harfiah, harus dilihat konteksnya. Penutup Acara ditutup dengan sebuah kesimpulan oleh moderator dengan mengambil kutipan kunci dalam bincang rohani yakni Kitab Suci merupakan sabda Allah dalam bahasa manusia. Maka kita harus jeli dalam membaca teks. Cara membaca teks yang baik dengan cara belajar teologi dan berteologi yang baik dan benar, artinya harus berdasarkan sumber-sumber yang valid dalam mentafsirkan sebuah teks. Setelah kesimpulan, acara dikembalikan kepada panita untuk menutup acara bincang rohani.

Read More

ADVEN DI MASA WABAH

Untara Simon, S.S.,M.Hum (Dosen Filsafat di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. ![Ilustrasi artikel Adven Di Masa Pandemi](//images.ctfassets.net/a1uad830l19w/6lc9P7k3YlVnxrONJS4h6K/6fd216039db8151b5abfce54068eda0b/download__1_.jfif) Kalau Advent itu dimaknai sebagai minggu-minggu penantian hadirnya keselamatan, saya kira yang lebih dinanti-nantikan umat beriman pada hari-hari ini bukanlah natal dan segala kemeriahannya. Toh, kemeriahan natal pada bulan ini masih penuh dengan teka-teki: Apakah Natal ini akan betul-betul meriah? Berapa orang yang akan datang ke Gereja? Berapa orang akan berkunjung ke rumah orang tuanya untuk menghabiskan masa Natal? Bahkan, apakah Natal ini akan ada libur kerja atau jangan-jangan kita masih akan sibuk dengan pekerjaan sekalipun kita tidak harus masuk kerja? Adven tahun ini, sepertinya memang masih akan kita jalani dalam bayang-bayang kekhawatiran. Kita masih belum tahu bagaimana kondisi masyarakat kita berhadapan dengan Covid-19. Banyak orang yang merasa bahwa krisis ini telah berlalu dan kemudian mengatakan bahwa kita telah bebas dan siapapun bisa berbuat sekehendak hatinya, namun banyak berita beredar bahwa di berbagai belahan dunia ini, banyak orang yang mulai kembali harus merasa khawatir. Di beberapa kota besar di Indonesia, rumah sakit yang dalam beberapa minggu terakhir telah bebas dari pasien Covid-19 mulai lagi didatangi oleh pasien Covid-19. Para pemimpin negeri ini bahkan sudah wanti-wanti harus persiapan untuk adanya gelombang wabah setelah libur Natal. Di Eropa, gelombang wabah mulai menjangkiti lagi masyarakat seiring dengan varian baru virus yang lebih ganas dan kebebasan yang telah mereka terima yang mendorong mereka untuk berkumpul di stadion dan banyak tempat lainnya. Bahkan di Eropa, terjadi pula demonstrasi besar-besaran untuk melawan aturan lockdown. Salah satu sebabnya tentu saja karena aturan lockdown di Eropa betul-betul membuat banyak orang stress karena tidak bisa mengalami kebebasan keluar rumah. Di belahan bumi lain seperti di China, krisis karena wabah telah membuat persoalan ekonomi dan energi yang serius. Sampai hari ini, kita sendiri masih juga mengalami persoalan ekonomi yang serius: banyak destinasi wisata dan industri yang betul-betul belum mampu bangkit karena aturan-aturan yang dibuat demi pembebasan dari wabah. Bukan hanya soal ekonomi, secara sosial, persoalannya tentu saja terjadi pada kita, orang-orang Katolik yang barangkali selama lebih dari setahun ini tidak pernah bersentuhan dengan Gereja secara fisik karena semua aktivitas gerejani dilakukan dengan banyak pembatasan pertemuan. Situasi ini sangat mungkin memberi jarak emosional dengan gereja tempat kita biasa menemukan komunitas dan kenyamanan sebagai saudara seiman. Maka, bebas dari wabah dan kembali merasakan dunia seperti tiga atau empat tahun lalu masih menjadi keselamatan yang paling dinanti hari-hari ini. Belajar dari keselamatan dari wabah yang masih terus kita nantikan akan menarik bagi kita untuk memaknai Adven. Keselamatan dan kebebasan dari wabah hingga kini adalah suatu misteri di masa depan. Dalam misteri itu, kita hanya bisa berharap yang terbaik: semoga gelombang wabah baru tidak jadi datang, semoga krisis-krisis ekonomi, sosial dan lain-lain sebagai akibat dari wabah tidak semakin memburuk tapi justru semakin membaik, semoga mode online tetap juga bertahan namun juga semakin memampukan kita saling mendekat dengan komunitas-komunitas sekitar kita dan harapan-harapan lainnya. Harapan-harapan ini masih misteri, namun harapan ini terus kita wujudkan karena kita benar-benar berharap agar harapan itu terwujud di masa depan. Entah kapan masa depan itu akan datang. Demikianlah pula saya membayangkan bagaimana dahulu pada masa Yesus, orang-orang menantikan kedatangan Mesias. Mereka hanya bisa berharap agar Mesias itu datang untuk membawa keselamatan, sesuai harapan mereka. Dalam rangka itu, mereka mengupayakan sekuat tenaga hal-hal yang perlu agar keselamatan yang dibawa oleh Mesias itu bisa hadir. Menantikan misteri dengan penuh harapan dan dengan demikian juga mengupayakan terwujudnya harapan-harapan itu adalah masa Adven. Kita berharap bahwa keselamatan itu datang dan dalam pengharapan akan datangnya keselamatan itu, kita juga mengupayakan hal-hal yang perlu agar saat sang juru selamat itu datang, kita bisa bekerjasama denganNya untuk mewujudkan keselamatan kita. Selamat menanti kehadiran sang Juru Selamat: Selamat berharap yang terbaik dan selamat mengupayakan pengharapan akan keselamatan.

Read More

ARTIKEL SERI SPESIAL ADVEN

Cinta Kristus yang Menggerakkan Persaudaraan Pengantar Hari Minggu, 28 November 2021, umat Kristiani memasuki masa Adven. Masa Adven, bagi umat Kristiani merupakan sebuah masa untuk mempersiapkan diri menyambut kedatangan sang penyelamat dunia yakni Yesus Kristus. Tradisi suci ini sudah lama berjalan dan peristiwa ini tidak hanya dikenang sebagai sebuah peristiwa historis semata, namun sebagai titik balik bagi orang Kristen untuk bertobat karena kesadaran akan Allah yang begitu mencintai manusia. Gerak cinta Allah kepada manusia membawa manusia pada suatu perubahan hidup yang baru yakni hidup yang penuh damai dan kasih baik bagi diri sendiri dan orang disekitarnya bahkan seluruh alam semesta. Maka dari situ manusia diajak untuk meyakini bahwa Yesus benar-benar seorang Raja. Raja yang merajai seluruh hidup manusia dan alam semesta. Dalam nuansa Adven, Centrum Ivan Merz ingin berbagi bahan bacaan lewat artikel untuk membantu umat semakin mendalami pesan Adven sehingga umat dapat mempersiapkan dirinya lebih baik. Tema-tema yang diambil dari artikel ini berangkat dari sebuah pendalaman akan tema besar Natal 2021 “Cinta Kristus yang Menggerakkan Persaudaraan”. Selamat memasuki masa Adven dan selamat merenungkan karya keselamatan Allah dalam hidup kita masing-masing serta membawa perubahan hidup yang baru. Tuhan memberkati. Amin

Read More

Menanti Dia yang Kita Cinta

Salah satu sudut jalan di kota Surabaya pada waktu itu sangat buruk karena sering ditambal secara tak beraturan. Padahal, jalan itu adalah jalan yang cukup sering dilewati warga. Banyak orang mengeluhkan jalan yang buruk itu, tapi belum ditanggapi. Sampai suatu kali, Pak Presiden datang berkunjung ke sana, barulah jalan itu diperbaiki. Jika presiden datang, maka orang-orang menanti dan menyiapkan kotanya dengan baik. Apalagi, kelak Tuhan Yesus akan datang, tentu orang akan lebih antusias menanti kedatangan-Nya selama masa adven. Rupanya masa adven pun demikian, yakni masa penantian datangnya Sang Juruselamat. Banyak hal harus dipersiapkan. Minggu Adven pertama menjadi momen yang tepat untuk membuka masa penantian tersebut. Adven berasal dari akar kata Bahasa Latin, “adventus” yang berarti kedatangan. Kata ini merujuk pada kedatangan Tuhan Yesus dalam misteri inkarnasi yang amat mulia. Bayangkan saja, Allah yang Mahamulia yang tak akan pernah disentuh oleh manusia rela menjadi daging dalam rupa bayi manusia yang lemah. Segala kegemilangan konsep raja seolah menjadi luluh saat Tuhan Yesus Kristus Raja Semesta Alam menjadi manusia yang lemah. Demikian Paulus mengajarkan, “Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia” (Flp. 2:5-7). Lantas, apa yang membuat Allah rela berbuat demikian? Alasannya hanya satu, yakni cinta kasih-Nya yang sukar dimengerti oleh manusia. Seminggu sebelum perayaan Minggu Adven I, Gereja merayakan Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam. Di sana ditekankan makna penting datangnya hari akhir, yakni penghakiman akhir bagi semua orang. Orang yang percaya pada Kristus akan menerima ganjaran baik, sementara orang yang tak percaya akan menderita karena terpisah dari cinta Allah. Alasan utama cinta tersebut selalu melingkupi Yesus dalam misteri-Nya yang mulia. Minggu Adven I juga menjadi pengingat bagi orang beriman akan makna eskatologis, yakni penantian hari akhir, di mana Kristus akan datang untuk kedua kali ke dunia. Penginjil Matius menggambarkan betapa orang-orang telah menantikan datangnya Juruselamat demikian, “Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan orang lain?” (Mat. 11:3). Gereja mau menekankan makna penting penantian akan datangnya Kristus. Sikap menanti tersebut lagi-lagi dilandasi dengan rasa cinta, sebagaimana alasan Tuhan datang ke dunia adalah karena cinta. Cinta tersebut bahkan meresap sejak Tradisi Patristik sekitar abad VI. Tradisi perayaan Minggu Adven kala itu dianggap sebagai hari-hari penantian menjelang datangnya hari Natal. Gereja kala itu merayakannya dengan khas, seperti sikap berpuasa dan berdoa dengan lebih tekun. Sementara itu, kebiasaan ini juga disambut baik oleh Gereja Timur (Armenia dan Koptik). Kebiasaan ini pun akhirnya menjadi suatu yang sifatnya tetap, bahkan dimasukan dalam lingkaran tahun Liturgi Gereja Katolik. Meskipun beberapa Gereja Reformis menolaknya, namun belakangan diketahui mereka mulai mengakui dan menetapkan masa Adven sebagaimana diakui oleh Gereja Katolik. Bagaimana Kita Bersikap? Bisa dibayangkan, seorang presiden disambut dengan baik di suatu kota. Tentu saja, kita akan menanti kedatangan Tuhan yang kita cintai dengan lebih spesial. Refleksi yang layak untuk direnungkan adalah bahwa Gereja perlu membangun sikap yang mau menanti dengan penuh cinta. Menanti di sini bukan menanti dengan bersungut-sungut, tidak sabar dan meremehkan. Sebaliknya, sikap penuh cinta menjadi landasan penantian Gereja pada mempelainya, yakni Kristus. Seorang istri tentu dengan rasa cinta menanti suaminya pulang kerja. Nah, Gereja pun demikian karena menantikan Kristus yang sangat dirindukannya. Kita sebagai anggota Gereja juga bisa mengisi waktu penantian ini dengan sikap penuh cinta. Bagaimana ini bisa diwujudkan? Lakukan semua hal yang menunjukkan rasa cinta kita pada Tuhan, misalnya lebih banyak waktu berdoa dan berwawasan hati dengan Dia. Sejujurnya, banyak hal harus dipersiapkan di sini, mulai dari persiapan hati dan budi. Semoga kita semua mau menanti Tuhan Yesus dengan rasa cinta. Akhirukallam, kita persembahkan cinta yang terbaik selama menantikan Dia, Sang Cinta Sejati.

Read More

Cinta Kasih Kristus: Totalitas dan Keterbukaan

Cinta Kasih sebagai Kebajikan Ilahi Gereja Katolik berpandangan bahwa cinta kasih merupakan suatu kebajikan ilahi. Kebajikan ilahi sendiri merupakan akar dari kebajikan manusiawi. Ini berarti bahwa kebajikan ilahi adalah sesuatu yang memungkinkan kemampuan manusiawi untuk berpartisipasi dalam kodrat yang ilahi. Hal ini hendak menegaskan bahwa kebajikan ilahi sangat berhubungan erat dengan Allah. Karena berkaitan langsung dengan Allah, maka kebajikan ini memungkinkan manusia untuk mengalami relasi yang secara langsung dengan Tritunggal Mahakudus.Kebajikan ilahi menjadi sesuatu yang membentuk dan menjiwai semua kebajikan moral. Manusia bisa memiliki kebajikan ilahi ini dari Allah sendiri yang mencurahkannya ke dalam diri manusia, terutama dalam jiwanya. Dengan kebajikan ini manusia dimampukan untuk bertindak sebagai anak-anak Allah, sehingga dapat mengalami hidup abadi. Kebajikan ilahi ini adalah bukti kehadiran Roh Kudus dalam diri manusia. Ada tiga buah kebajikan ilahi antara lain: iman, harapan, dan kasih. Cinta kasih adalah salah satu dari tiga kebajikan ilahi. Santo Paulus menegaskan pula bahwa yang terbesar di antara ketiga kebajikan tersebut adalah kasih. Cinta kasih mendorong manusia untuk semakin mencintai Allah secara lebih mendalam dan di atas segala-galanya. Namun demikian, cinta kasih tidak berhenti pada Allah saja, melainkan juga pada mencintai sesama. Ini merupakan suatu perintah baru yang diwartakan oleh Tuhan Yesus sendiri. Ini senada dengan sabda-Nya, “Inilah perintah-Ku: yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu”. Cinta Kasih Yesus Kristus bagi Manusia Yesus Kristus adalah Allah yang menjadi manusia, sebagaimana yang diimani oleh Gereja. Peristiwa Allah yang menjadi manusia ini tentu memiliki tujuan yang baik bagi manusia. Tujuan itu tidak lain adalah demi mendamaikan relasi manusia dengan Allah, sehingga bisa membawa keselamatan bagi manusia. Lebih lanjut, tindakan Allah Putra yang menjadi manusia juga merupakan upaya-Nya agar manusia semakin mengenal cinta kasih Allah. Cinta kasih Yesus adalah sungguh-sungguh total bagi umat manusia. Ketotalan itu diwujudkan dengan pengorbanan-Nya yang nyata dan sehabis-habisnya di kayu salib. Melalui peristiwa salib, Yesus menunjukkan suatu keputusan cinta yang penuh kebaikan dan hal itu mendahului setiap jasa manusia. Dengan kata lain, ini adalah inisiatif Allah yang penuh cinta. Inisiatif tersebut tentu saja disebabkan karena cinta-Nya yang total bagi manusia ciptaan-Nya. Cinta kasih Yesus ini juga tidak mengecualikan siapapun. Artinya ialah bahwa cinta-Nya itu tidak tertutup pada satu atau dua pihak saja, melainkan terbuka untuk seluruh umat manusia. Keterbukaan inilah yang membuat cinta kasih Yesus dapat dirasakan oleh semua orang. Karena itu, Gereja meyakini bahwa Tuhan Yesus wafat untuk semua manusia tanpa terkecuali. Tindakan Tuhan Yesus Kristus di sini dapat menjadi teladan bagi manusia, terutama dalam hal mencintai. Cinta kasih Yesus itu diwujudkan dalam kesediaan-Nya untuk menjadi manusia secara total dan terbuka. Manusia dengan demikian juga diajak untuk memiliki cinta kasih yang total seperti tindakan Yesus yang menjadi sungguh manusia dan menyerahkan diri-Nya dalam peristiwa salib. Selain itu, manusia juga diajak untuk memiliki cinta yang terbuka kepada siapapun, bahkan terhadap orang yang ia anggap sebagai “musuh” sekalipun; “Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu”. Dengan demikian, setiap orang perlu mengupayakan kebajikan cinta kasih seperti yang diteladankan oleh Tuhan Yesus. Tujuannya agar cinta kasih Yesus yang total dan terbuka itu tidak berhenti pada satu pribadi saja, melainkan agar dapat menyebar ke setiap pribadi manusia, sehingga terbentuklah suatu persahabatan dan persekutuan.

Read More

BERSATU DENGAN YESUS KRISTUS DALAM DUNIA YANG TERSEKULERSASI (Otentisitas sebagai Sikap Moral dan Spritual dalam Pemikiran Charles Taylor)

F.X. Satrijo Widyatmoko, M.Si. ![BERSATU DENGAN YESUS KRISTUS DALAM DUNIA YANG TERSEKULERSASI](//images.ctfassets.net/a1uad830l19w/5Tm5H4vsLGZp2hQ9HNS8Dz/16ffa6181be599e15eba8084c055e4f3/Cefal___Pantocrator_retouched.jpg) Abstrak Charles Taylor mengamati bahwa ‘sekularisasi’ memiliki dua arti berbeda: hilangnya kepercayaan dan praktik agama dan mundurnya agama dari ruang publik. Pembedaan dua makna sekularisasi membantu menyingkapkan pola kultural yang muncul, yang disebut Taylor sebagai etika otentisitas. Atas dua makna sekularisasi ini, Taylor menawarkan fenomenon ketiga, bahwa memahami dunia yang berkembang dan menjadi terinstitusionalisasi lebih mudah dengan mau berpikir tentang Yang Transendens, menerima Yang Transendens, dan berbicara tentang Yang Transendens. Taylor juga membuat pembedaan antara dua fase penting dalam sejarah Barat yang menandai bagaimana Allah hadir dalam ruang publik: masyarakat hirarkis berakses-taklangsung dan masyarakat horizontal berakses-langsung, serta menunjukkan pergeseran pola masyarakat ini makin menyingkapkan kehausan untuk mengatasi hidup (hunger to go beyond life) sebagai bagian identitas manusiawi. Identitas manusiawi ini dibadankan dalam suatu medium eksternal, yang berkaitan erat dengan Yang Transendens. Kata-kunci: Dua Arti Sekularisasi, Etika Otentisitas, Masyarakat Hirarkis berakses-tak-langsung, Masyarakat horizontal berakses-langsung, Kehausan untuk mengatasi hidup, Yang Transendens. Pengantar Dalam tulisan ini, ada beberapa pikiran pokok utama yakni , pertama-tama akan diuraikan pokok-pokok pikiran Taylor dalam Sources of The Self, yang ditulisnya “sebagai usaha untuk mengartikulasikan dan menuliskan suatu sejarah tentang identitas modern … apa artinya menjadi agen manusiawi: rasa-merasa kekedalaman, kemerdekaan, individualitas, dan rasa tertanam dalam kodrat, yang khas dan dekat dalam dunia Barat modern.” Bagian kedua akan membahas A Secular Age, bagaimana Taylor membantah pandangan umum Weberian tentang sekularisasi, bahwa dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan pola-pola kekuasaan (politik) yang rasional pengaruh agama makin lama makin berkurang, bahkan akan menghilang. Esai akan ditutup dengan tanggapan ringkas yang dimaksudkan sebagai jembatan penghubung pemikiran Taylor dengan tema besar Hari Studi IMAVI kali ini. Source Of The Self Fokus utama dari Source Of The Self adalah meneliti bagaimana identitas manusia modern itu dan bagaimana identitas itu terbentuk. Namun, bagi Taylor, pembicaraan tentang identitas manusia modern tidak dapat tidak melibatkan pembicaraan tentang kerangka pikir moral yang melatarbelakangi nilai-nilai moral kontemporer. Kerangka pikir moral perlu dipahami benar-benar, karena amat menentukan bagaimana seseorang menghidupi kemanusiaannya, kendati kerangka pikir moral ini sering tidak tampak, bahkan tidak diakui. Taylor mendedikasikan Bagian pertama buku Sources of The Self untuk menguraikan kerangka pikir moral (dan spiritual) yang melandasi identitas manusia modern. Bagian kedua, Taylor membahas Sources of The Self dalam sudut pandang sejarah peradaban. Dalam Masa Homer, kebaikan konstitutif yang dihidupi adalah etika pejuang. Dalam Masa Yunani Klasik, melalui pemikiran Plato, tatanan kosmis adalah kebaikan konstitutif. Budi adalah visi tentang tatanan kosmis yang penuh makna dan visi inilah yang menjadi sumber penilaian moral. Aristoteles berbeda dari Plato, karena ia tidak memandang segala keteraturan itu sebagai yang tetap dan bersifat kosmis. Aristoteles, kemudian, menunjuk hidup baik dan bahagia (eudaimonia) sebagai kebaikan konstitutif, baik dalam tataran individu maupun dalam masyarakat. Taylor berpendapat bahwa pengaruh penting terhadap identitas modern, didapat dari pemikiran Agustinus dari Hippo. Terinspirasi pemikiran Plato, Agustinus memikirkan ide tentang suatu tatanan kosmis yang abadi dan dapat dipikirkan, suatu tatanan yang datang dari Allah. Bagian ketiga, Taylor membahas tentang “penegasan hidup sehari-hari”. Bagi Taylor “penegasan hidup sehari-hari menjadi landasan untuk pemahaman modern akan alam, sumber lain untuk kesadaran akan kemendalaman diri, yang tidak cukup dipahami hanya dari refleksivitas radikal biasa. Yang Taylor maksud dengan ‘hidup sehari-hari’ adalah aspek-aspek kehidupan manusia yang berkaitan dengan produksi dan reproduksi, yaitu kerja menghasilkan hal-hal yang diperlukan untuk hidup dan kehidupan manusia sebagai makhluk seksual (Sources of The Self, 211). Dalam Bagian Keempat, Taylor menguraikan dua tanggapan terhadap deisme Lockean dan pertanyaan tentang sumber moral darinya. Di satu pihak, terdapat Immanuel Kant yang berpendapat bahwa pilihan dan penilaian moral tergantung sepenuhnya dari penerapan nalar, dan dengan demikian memisahkan penilaian moral dari alam. Di lain pihak, ada Jean-Jacque Rousseau yang mengikuti tesis Hume tentang rasa-merasa moral. Hanya dalam suara hati yang merupakan rasa-merasa alamiah dalam diri manusia, manusia dapat mengenali dan memahami suara kodrat. A Secular Age Jika dalam Sources of The Self, Taylor memusatkan perhatian pada proses perkembangan yang membentuk identitas manusia modern, dalam A Secular Age ia memaparkan proses perkembangan yang membawa pada struktur-struktur masyarakat modern. Dalam Bagian Pengantar A Secular Age, Taylor memaparkan pendapatnya tentang sekularisasi, yang disebutnya sebagai proses “ketika [agama] mundur dari ruang publik, atau ketika agama-kepercayaan dan praktik-praktiknya menghilang.” Sebenarnya, masih ada penjelasan ketiga Taylor tentang sekularisasi, yaitu, “ketika sementara kepercayaan atau komitmen yang syarat-syaratnya (pada masa ini) dipertanyakan. Penjelasan ketiga ini akan menjadi landasan Taylor untuk mengkritik pendekatan Weberian. Penutup: Bersatu denga Yesus Kristus dalam Dunia yang Tersekulerisasi Tesis Taylor yang melawan pendekatan Weberian bahwa sekularisasi, kendati merupakan proses sejarah yang tak terelakkan, tidak serta-merta menggusur habis agama dan praktikpraktiknya, kiranya ditegaskan oleh kondisi masyarakat, dan Gereja sebagai institusi keagamaan, sampai sekarang ini. Yang jelas dihembuskan oleh proses sekularisasi adalah kesadaran baru bahwa iman-kepercayaan yang terlembagakan, dalam hal ini Gereja, hanyalah menjadi salah satu jalan dan pengungkapan tata-hidup yang baik. Apakah keadaan sedemikian ini masih mengkhawatirkan? Taylor sendiri agaknya tidak memandang keadaan terkini sebagai yang mengkhawatirkan. Malahan, ada buah baik tersembunyi yang terbawa dalam proses sekularisasi, yaitu otentisitas. Memang, bahasan Taylor sendiri mengenai otentisitas tidaklah serta-merta positif, karena Taylor melihat bahwa otentisitas sendiri adalah buah dari pergeseran struktur masyarakat dari hirarkis-tak langsung (hierarchical, mediated-access societies) menjadi masyarakat horizontal langsung (horizontal, direct-access societies). Akan tetapi, otentisitas sebagai sikap moral dan spiritual mengandaikan keseimbangan antara ketiga utas kedalaman diri manusia (refleksivitas radikal, sensitivitas ekspresif, dan komitmen personal), dan hanya otentisitas yang membuat imankepercayaan beserta praktik-praktik keagamaannya masih dan akan tetap relevan bagi individu-individu penganutnya, bukan hanya bertahan di tengah “gempuran” sekularisasi, malahan dapat berkembang dan berbuah. Pada titik inilah, pemikiran Taylor kiranya berkaitan dengan tema Hari Studi IMAVI kali ini. Iman Kristiani, kendati dalam pandangan Taylor ‘hanyalah’ salah satu jalan dan pengungkapan hidup manusiawi yang baik, yang dipilih dan dihidupi secara otentik – berarti melibatkan ketiga utas identitas modern – adalah jalan Bersatu dengan Kristus. Daftar Pustaka Taylor, C., 1989, The Source of The Self, The Making of The Modern Identity, Massachusetts: Harvard University Press. ----------, 2007, A Secular Age, Cambridge: The Belknap Press of Harvard University Press.

Read More

DOA YESUS : KESATUAN RELASI ANTARA BAPA DAN PUTRA YANG MENJADI DASAR DAN MODEL KESATUAN KITA DENGAN KRISTUS (Sebuah Komentar atas Tujuh Tesis Dasar dari Joseph Ratzinger tentang Doa Yesus untuk Mengenal Yesus Secara Utuh)

Stefanus Agung Wisaksono, STL (Dosen Institutum Theologicum Ioannis Mariae Vianney Surabayanum) ![Doa Yesus](//images.ctfassets.net/a1uad830l19w/4tV3YorNNGUk35DydXzmJs/1395b810ad5bdce946a4e034672588d7/7-doa-Yesus-terkenal-di-Alkitab.jpeg) Abstrak Dalam iman kristiani, tujuan hidup rohani terletak pada kemuliaan Tuhan dan pengudusan-keselamatan manusia. Kesemuanya tersebut bermuara pada kesatuan yang intim antara Tuhan dan manusia. Jalan yang ditempuh untuk mencapainya adalah dengan jalan doa, karena, di dalam dan lewat doa, manusia menjadi jujur dengan dirinya sendiri. Tidak ada kepura-puraan di dalam doa. Doa melibatkan seluruh keberadaan diri seseorang. Dalam tulisan ini, kita memilih doa Yesus sebagai sebuah dasar dan model kita dalam menjalin kesatuan dengan Tuhan. Penulis akan berangkat dari pemikiran Joseph Ratzinger yang menuangkan pemikiran-pemikirannya tentang doa Yesus dalam tujuh tesis dasar yang kemudian dikomentari oleh penulis. Kata kunci : Doa, Kesatuan dengan Tuhan Pendahuluan Ada suatu korelasi yang menarik antara doa dengan pribadi Yesus. Banyak orang melakukan suatu pendekatan baik lewat bidang ilmu studi (teologi/filsafat, historis, sains, literatur dsb) untuk mengenal pribadi Yesus. Bagi orang-orang kristiani, Dia dikenal sebagai Tuhan. Bagi yang lain, ada yang mengenalNya sebagai nabi, orang yang bijaksana, atau pembaharu pada jamannya dsb. Untuk lebih mendalami sosok Yesus, penulis dalam tulisan ini akan berangkat dari pemikiran Joseph Ratzinger dalam karyanya “Ils regarderont Celui qu'ils ont transpercé”. Tulisan tersebut merupakan hasil refleksinya yang dipresentasikan dalam kongres kristologis yang diorganisasi oleh CELAM (Konferensi WaliGereja Uskup Amerika Latin dan Karibia) pada bulan September 1982 di Rio de Janeiro. Latar belakang penulisan tersebut adalah terjadinya perdebatan hebat tentang konsep kristologi dengan dominasi warna teologi kebebasan. Alih-alih terlibat langsung dalam perdebatan, dengan kecerdasannya, Joseph Ratzinger memilih menggunakan pendekatan lain yang orisinil. Beliau ingin menunjukkan bahwa ada kesatuan internal yang tak terpisah antara Yesus dan Kristus, antara Gereja dan sejarah. Melalui pendekatan kristologi spiritual, Joseph Ratzinger mencoba menggarisbawahi bahwa Kristus yang diwartakan dan diimani para rasul dan Gereja adalah Yesus yang dikenal oleh para murid lewat kehidupan kesehariannya, terutama ketika mereka menjumpai saat Yesus berdoa. Ada dua hal penting dari pendekatan kristologi dalam pemahaman Josep Ratzinger yakni, yang pertama, dari doaNya, kita semakin mendalami dan mengenal pribadi Yesus Kristus dan relasiNya dengan Bapa. Yang kedua, kita melihat doa Yesus dengan pandangan yang semakin kaya dan berbeda. Hubungan antara kedua hal ini juga semakin mengukuhkan pandangan yang mengatakan bahwa doa memang melibatkan seluruh keberadaan diri seseorang dan doa merupakan sebuah relasi dengan Tuhan. Gambaran yang sempurna akan hal ini dijumpai dalam diri Yesus. Untuk menjabarkan hal ini, penulis akan mengomentari tujuh tesis dasar yang diajukan oleh Ratzinger dalam karyanya tersebut. Komunikasi dengan Sang Bapa Tesis 1: Menurut kesaksian Kitab Suci, inti kehidupan dan pribadi Yesus terletak dalam komunikasiNya yang tak terputus dengan Bapa. Pada intinya tesis ini berbicara tentang relasi antara Putra dan Bapa. Para penginjil sepakat menyatakan bahwa segenap sabda dan tindakan Yesus berasal dari hubungan dan persatuanNya yang intim dengan Sang Bapa. Gelar “Putera” berasal dan berpijak dari kedekatan dan keintiman relasi ini. Ratzinger menambahkan bahwa gelar “Putera” menunjukkan sisi relasi keputraan yang selalu hadir dan nampak dari setiap sabda dan tindakan Yesus. Dalam interioritas pribadi Yesus nampak sisi “jati diri yang berada dalam relasi” yang konstan dan tak terputus dengan Sang Bapa. Selain penyebutan diri sebagai “Putera”, dalam sabdaNya, beberapa kali Yesus juga mengatakan kalimat seperti “oleh karena hal itu, Saya diutus ”. Hal ini menandakan bahwa Yesus berbicara dan bertindak tidak atas nama diriNya sendiri, tetapi dari seseorang yang mengutusNya, yaitu Sang Bapa. Seluruh keberadaan diri Yesus adalah sebagai “utusan”, “misi”, dengan kata lain sebagai relasi. Wafat dalam Doa Tesis 2: Yesus wafat sembari berdoa. Selama Perjamuan Terakhir, Dia telah mengantisipasi wafatNya dengan memberikan diriNya sebagai korban yang untuk dibagi-bagikan dan, dari dalam, Dia mengubah wafatNya menjadi tindakan cinta, menjadi sebuah bentuk pemuliaan Tuhan. Dalam bagian tesis ini pada intinya berbicara mengenai doa Yesus adalah kunci yang menyatukan kristologi dan soteriologi. Terkait dengan persoalan ini, Ratzinger mengingatkan kembali bahwa titik tolak seluruh kristologi adalah: “identitas atau kesamaan antara karya dan jati diriNya, antara tindakan dan pribadiNya, penyerapan total menyeluruh pribadiNya dalam karyaNya, koinsidensi antara perbuatan dengan pribadinya sendiri, yang tidak pernah sekalipun menyimpan apapun untuk diriNya sendiri, tetapi yang memberikan diri seluruhnya dalam karyaNya”. Singkat kata dalam diri Yesus, antara jati diri-Nya dan tindakannya terdapat kesatuan. Kesatuan hal ini terletak di dalam doa Yesus. Sebab di dalam doa Yesus, kita akan menemukan kesatuan dua arah besar pengembangan teologi iman kristiani tentang Yesus, yaitu: teologi inkarnasi (kristologi) dan teologi salib (soteriologi). Peristiwa Yesus yang wafat sambil berdoa dapat dijumpai dalam perkataan Yesus di atas kayu salib, yaitu: “AllahKu, AllahKu, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Perkataan Yesus ini dapat dijumpai di bagian awal kitab Mazmur 21(22) yang merupakan ungkapan dan doa pemazmur yang adalah orang benar, namun menderita dan kemudian diselamatkan. Doa ini sebenarnya merupakan mazmur agung penderitaan Israel yang bersifat mesianik. Yesus, Sang Mesias sejati, menanggung semua penderitaan dan kesengsaraan tersebut, tidak hanya penderitaan Israel, tetapi penderitaan semua orang di dunia ini. Dari sisi teologi inkarnasi (kristologi), doa mazmur ini tidak hanya menjadi teks kunci bagi orang-orang kristiani dalam memahami wafat Yesus di atas salib, namun juga membawa pemaknaan atas dua hal lain. Yang pertama adalah pemahaman atas misteri ekaristi yang diturunkan dari peristiwa salib yang mengandung dimensi pemuasan sejati terhadap kelaparan orang miskin. Yang kedua adalah kelahiran Gereja di kalangan kaum pagan lewat pertobatan orang-orang non yahudi yang bersumber dari salib. Dari sisi teologi salib (soteriologi), doa Yesus ini menyiratkan pemenuhan janji keselamatan bagi umat manusia. Apa yang dikatakan dan tindakan yang dilakukan Yesus terdapat satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Antara perkataan dan realitas saling berpaut satu sama lain. Keseluruhan hidup Yesus adalah doa. Akhir hidupNya di dunia ini juga diwarnai dengan doa yang merupakan ungkapan kepercayaanNya pada Sang Bapa. Dia menyertakan penderitaan dan wafatNya dalam doa. Di atas salib, Dia berdoa dengan Kitab Suci dan, dengan demikian, Kitab Suci benar-benar "mendaging" di dalam diriNya. Dia menyertakan wafatNya dalam sabda Tuhan, di mana sabda tersebut telah dihidupiNya, hidup di dalamNya dan, dalam diriNya, Sabda tersebut terwujud. Dalam karyanya “Le Ressuscité”, Ratzinger mengatakan, “Tanpa tindakan kasih tanpa batas dari Perjamuan Terakhir, kematian akan kosong, tidak berarti ; dan, tanpa pencapaian konkret dari kematian yang diantisipasinya, Perjamuan Terakhir akan menjadi sebuah gestur yang tidak berarti apa-apa. Secara bersama-sama, Perjamuan Terakhir dan Salib, keduanya tidak terpisahkan dan merupakan asal dari Ekaristi.” Berpartisipasi dalam Doa-Nya Tesis 3: Karena doa merupakan inti pribadi dari Yesus sendiri, maka partisipasi dalam doaNya menjadi syarat untuk mengenal dan mengenali-Nya. Joseph Ratzinger mengawali penjabarannya dengan pemahaman dasar filosofis terkait dengan inti tesis ini, yaitu terkait dengan “pengetahuan” atau “pengenalan”. Ratzinger menunjukkan bahwa pengertian kata “mengenal” atau “memahami” terkait dengan etimologi atas kata “intellegere”, yaitu ab intus legere, membaca dari dalam. Mengenal seseorang berarti bersatu dengan seseorang, sedangkan bersatu mengandaikan kita “membaca dari dalam”. Ratzinger semakin mempertegas hubungan yang erat antara doa dan pengetahuan atau pengenalan dalam wilayah epistemologi teologi. Ratzinger menandaskan bahwa kemajuan pengenalan akan Yesus (kristologi) sejatinya diperoleh dari teologi para orang kudus. Terang pengenalan akan Tuhan yang benar diperoleh dari penglihatan yang dilandasi cinta yang sedemikian besar yang dapat ditemukan dalam diri para orang kudus. Sumber Persekutuan antar Saudara-Saudari Tesis 4: Persekutuan dalam doa Yesus mencakup persekutuan dengan semua saudara-saudaraNya. Persekutuan dalam pribadiNya, yang dihasilkan dari partisipasi dalam doaNya, dengan demikian membentuk komunitas yang disebut oleh rasul Paulus dengan istilah "Tubuh Kristus". Oleh karena itu, Gereja – sebagai "Tubuh Kristus" - adalah subjek sejati yang mengenal Yesus. Dalam ingatan Gereja, masa lalu adalah hadir, karena Kristus hadir dan hidup di dalamnya. Ratzinger memulai penjabarannya dengan doa “Bapa Kami”. Dalam doa ini, Yesus mengajarkan pada para muridNya untuk menyebut Bapa dengan panggilan “Bapa Kami”, bukan “Bapaku”. Bagi Ratzinger, pemilihan sebutan “Bapa kami” yang dilakukan Yesus ini bukan tanpa alasan. Dia melihat bahwa kata “kami” ini ingin menunjukkan dimensi saling keterkaitan timbal-balik di antara kita semua sebagai ciptaan Tuhan, ketika kita menyambut dan mengenal sisi paternitas Tuhan. Bagi Ratzinger, pengenalan akan Tuhan secara sempurna merupakan usaha yang mustahil. Dengan melalui ajaran dan seluruh keberadaan diriNya, Yesus masuk ke dalam tradisi yang sudah ada, yaitu umat Allah, bangsa Israel, dan membuat persekutuan menjadi mungkin melalui tindakanNya yang paling intim, yaitu dialogNya dengan Sang Bapa. Oleh karena itu, persekutuan dengan Yesus melibatkan dan mengibaratkan pula adanya penyangga tradisi yang hidup di mana semuanya itu terkait, yaitu Gereja, di mana pesan Yesus dapat hidup dan terus aktual jika hanya berada dalam persekutuan ini. Kekayaan dari Elaborasi Dogmatik Tesis 5: Inti dari dogma yang didefinisikan oleh konsili-konsili kuno Gereja terdiri dari penegasan bahwa Yesus adalah Putra Allah yang sejati, dengan kodrat yang sama dengan Bapa, dan, melalui Inkarnasi, juga memiliki kodrat yang sama dengan kita. Definisi ini, pada akhirnya, muncul sebagai sebuah interpretasi dari kehidupan dan wafat Yesus, yang terus-menerus ditandai dengan dialog Putra dengan Bapa. Inilah sebabnya mengapa kita tidak dapat memisahkan dan mempertentangkan kristologi dogmatis dan kristologi biblis, seperti halnya kita tidak dapat memisahkan kristologi dan soteriologi. Demikian pula, kristologi "dari atas" dan kristologi "dari bawah", teologi Inkarnasi dan teologi Salib membentuk satu kesatuan yang tak terpisahkan. Pada pembahasan awal tesis ini, dengan terang dan lugas, Ratzinger mengatakan bahwa dogma sentral iman kristiani, "kosubstansialitas Sang Putra dengan Sang Bapa, yaitu adanya kodrat yang sama antara Sang Putra dengan Sang Bapa", yang merupakan hasil simpulan dari seluruh kesaksian konsili jaman dulu, hanya merupakan hasil transposisi ke dalam bahasa filosofis dan teologis dari fakta tentang doa Yesus, yaitu relasi yang intim antara Sang Putra dan Bapa. Ratzinger mengatakan, "Ketika kita berbicara tentang hubungan Yesus-Sang Putera dengan Bapa, kita mulai menyentuh, pada titik yang paling sensitif, masalah kebebasan manusia dan pembebasannya, yang tanpanya segala sesuatu akan berakhir dalam ruang hampa." Berkaitan dengan pertanyaan manusia soal kebebasan, wacana kristiani dalam Perjanjian Baru berbicara tentang divinisasi, pengilahian atau deifikasi manusia yang secara tidak langsung menyentuh persoalan kebebasan manusia yang hakiki. Deifikasi atau pengilahian manusia adalah tempat di mana manusia menemukan kebenarannya dan menjadi dirinya sendiri benar. Dia Berdoa Secara Bebas Tesis 6: Apa yang disebut sebagai teologi neo-Kalsedon, yang diringkas oleh Konsili Konstantinopel III (680-681), memberikan kontribusi penting bagi pemahaman yang benar tentang kesatuan internal antara teologi biblis dan teologi dogmatis, antara teologi dan kehidupan religius. Hanya dari sanalah makna dogma Kalsedon (451) sepenuhnya diperjelas atau dijernihkan. Konsili Konstatinopel III, yang mendapat perhatian Ratzinger dalam tesis ini, menggarisbawahi bahwa kesatuan Tuhan dan manusia dalam diri Kristus tidak mengalami pemotongan atau pengurangan sedikitpun. Konsili ini menganalisa persoalan dualitas dan kesatuan dalam diri Kristus dengan menaruh perhatian secara konkret pada pertanyaan seputar kehendak Yesus. Konsili mempertahankan dengan kokoh adanya kehendak manusia Yesus yang tidak terserap oleh kehendak ilahiNya. Konsili menunjukkan bahwa, meski terdapat dua kehendak, namun tetap ada kesatuan subyek dalam diri Yesus. Pada diriNya, tidak ada dua “Aku”, tetapi hanya satu. Ketika Logos mengatakan "Aku", di sini, "Aku" mengatasnamakan kehendak manusiawiNya yang kemudian sepenuhnya menyatu dengan kehendak ilahi Logos dan, dengan demikian, menjadi sepenuhnya sejalan dengan kehendak Bapa. Selanjutnya, Ratzinger menunjukkan bagaimana doa Yesus mempunyai peranan yang penting dan utama dalam pengembangan sebuah dogma kristologis, terkait pula dengan artikulasi dan dinamika antara kehendak manusiawi dan kehendak Ilahi dalam diri Yesus Kristus. Peran penting doa Yesus dalam pengembangan dogma ditunjukkan Ratzinger dengan merujuk pada santo Maximus Pengaku Iman. Ratzinger mengembangkan lebih jauh prosesus yang dikatakan Santo Maximus dengan menggunakan sudut pandang yang berbeda, dari arah yang sebaliknya, yaitu Logos yang merendahkan diri dan menerima kehendak manusia sebagai kehendak ilahi. Konsili Konstantinopel III memperlihatkan bahwa bahasa filosofis-teologis sebuah misteri iman mempunyai akar dan sumber dari Kitab Suci. Selain itu, kita dapat melihat bahwa dialektika antara teologi dan hidup rohani bukanlah sesuatu yang bertentangan, melainkan saling memperkaya dan saling menguatkan. Dengan demikian, memang memungkinkan tercipta sebuah kesatuan internal antara teologi biblis dan teologi dogmatis, antara teologi dan hidup religius. Dari sini, kita melihat bahwa satu-satunya tranformasi terbesar manusia dan yang benar-benar dicari dan diinginkan manusia untuk mencapai kebebasannya yang penuh terletak pada pengilahiannya. Laboratorium kebebasan manusia terletak pada doanya yang masuk dalam doa Yesus, yang di dalam tubuh Kristus, dan yang menjadi doa Yesus Kristus. Pertanyaan-Pertanyaan Seputar Hermeneutika Tesis 7: Metode historis-kritis, seperti metode ilmiah mutakhir lainnya, penting untuk memahami Kitab Suci dan tradisi. Tetapi nilai metode-metode tersebut tergantung pada konteks hermeneutis (filosofis) di mana mereka diterapkan. Pada tesis terakhir ini, Ratzinger menyoroti metode penafsiran Kitab Suci yang berkembang di jaman ini yang nampaknya beresiko membawa pada pemisahan antara akal budi dan iman, antara ilmu dan tradisi. Ratzinger berpendapat bahwa kesatuan dalam penafsiran Kitab Suci, dalam hal ini, kesatuan internal antara kitab-kitab yang ada dalam Perjanjian Baru, dan juga antara kitab-kitab yang ada di Perjanjian Lama dan Baru, adalah suatu hal yang sangat penting. Ratzinger mengungkapkan kekuatan dan kesuburan hermeneutika iman yang tidak mencederai sejarah dan, di saat yang sama, mampu memetik kebenaran serta terbuka pada seluruh kebenaran nyata. Penutup Melalui paparan Ratzinger, kita dibukakan pada sebuah pemahaman bahwa antara doa dan pengenalan Tuhan terdapat hubungan yang sangat erat dan tidak terpisahkan. Pengenalan Tuhan didapat dan diperkaya dari sumbernya, yaitu doa Yesus, sebuah dialog tak terputus antara Sang Putera dengan Sang Bapa. Ratzinger melihat bahwa ada sesuatu yang khusus dan dapat didalami lebih lanjut dari gelar "Putera" yang melekat pada diri Yesus. Dari doa Yesus, kita dapat memperoleh pemahaman yang terbaik tentang Yesus, karena, di situ, tidak terdapat pemisahan antara jati diriNya dan tindakanNya. Pengenalan diri Tuhan lewat sebuah doa juga diperlihatkan lewat dimensi partisipasi yang terkandung dalam sebuah doa. Ketika berdoa, pendoa terlibat dan berpartisipasi dalam doa Yesus. Partisipasi tersebut juga diperluas cakupannya dalam sebuah persekutuan. Dengan mengenal Tuhan lebih baik, kita pun juga semakin dibawa pada jawaban atas persoalan mendasar manusia, yaitu keinginan manusia yang selalu mengarah pada tak-terhingga. Kehausan tak-terhingga manusia tersebut dapat dipenuhi jika manusia menjadi "seperti Tuhan". Hal ini yang disebut sebagai deifikasi atau pengilahian manusia. Melalui doa Yesus, kita diajarkan bahwa pengilahian manusia tersebut justru diperoleh lewat jalan pengosongan diri, yaitu lebih mencari dan menjalankan kehendak Sang Bapa daripada kehendak sendiri. Pada akhirnya, pengenalan yang benar akan Tuhan perlu diletakkan dalam kerangka hermeneutika yang benar, yaitu hermeneutika iman yang bersumber dari doa Yesus. Mengenal Tuhan yang benar, berteologi yang benar lahir dari doa dan berada di dalam doa. Daftar Pustaka • Katekismus Gereja Katolik. • Audiensi umum paus Benediktus XVI tanggal 7 Desember 2011. • RATZINGER Joseph, Dogme et annonce, éd. Parole et Silence, 2012. • RATZINGER Joseph, Foi Chrétienne, hier et aujourd'hui, Mame, Paris, 1969. • RATZINGER Joseph, Ils regarderont Celui qu'ils ont transpercé, Salvator, Paris, 2006. • RATZINGER Joseph, Jésus de Nazareth, Tome 2, De L'entrée À Jérusalem À La Résurrection, éd. du Rocher, Paris, 2011. • RATZINGER Joseph, Le Ressuscité, Desclée de Brouwer, Paris, 1986.

Read More

HIDUP ADALAH KRISTUS

Dr. Stefanus Isawadi Dosen Kitab Suci Institutum Theologicum Ioannis Mariae Vianney Surabayanum ![HIDUP ADALAH KRISTUS](//images.ctfassets.net/a1uad830l19w/4wS5ZfyWmecFyqk1TT56IO/605283645879ea9ad87a0c9c4cc6ccbb/hidup-adalah-kristus-mati-adalah-keuntungan-1-638.webp) Pengantar Transformasi hidup Paulus tidak bisa dipisahkan dari pengalaman iman yang dia alami di Damsyik. Perubahan hidup Paulus sangat drastis dari seorang pemburu pengikut Yesus kemudian menjadi rasul dan pewarta tentang Yesus Kristus. Semangatnya sungguh sangat luar biasa seperti api yang terus berkobar-kobar tidak ada hentinya. Salah satu pernyataan yang menunjukkan Paulus seorang militan sebagai pengikut Kristus yang setia adalah “bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan” (Flp 1:21). Tema hari studi kali ini mengambil sebuah tema “Bersatu dengan Kristus”. Kiranya tema tersebut dirasa sangat cocok untuk direnungkan dengan semangat Paulus. Kita diajak untuk belajar dari Paulus untuk merenungkan tema “Bersatu dengan Kristus”. Paulus adalah guru kita, seorang rasul yang tangguh, dan seorang pemberani dalam menyampaikan kebenaran akan Kristus. Paulus adalah sosok guru yang baik bagi kita, dialah teladan yang baik bagi kita dalam hal dedikasi total untuk Tuhan dan Gereja-Nya. Dalam tulisan singkat ini akan dibagi menjadi tiga bagian pokok dalam mendalami semangat hidup Paulus yang akan dikaitkan dengan tema “Bersatu dengan Kristus”. Bagian pertama, kita akan melihat sekilas peristiwa mendasar tentang perubahan hidup Paulus yang mana menjadi titik balik dari hidup Paulus dari seorang militan Yahudi menjadi rasul Kristus yang tangguh. Bagian kedua, kita akan mendalami semangat Paulus dengan merungkan salah satu pernyataan Paulus yakni “bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan” dalam surat filipi. Dan yang ketiga, menutupnya dengan refleksi atas semangat Paulus untuk kehidupan Gereja “Bersatu dengan Kristus”. Peristiwa Damsyik Latar belakang seorang Paulus sebelum bertobat adalah seorang yang sangat memegang kuat tradisi ortodok Taurat. Peristiwa bangkitan dan kenaikkan Yesus ke surga yang diyakini oleh para pengikut Kristus memunculkan sebuah gerakan baru dalam menerapkan hukum Taurat. Hal tersebut membuat Paulus geram dan dipandang membahayakan bagi identitas Yahudi dan ortodoksi dari para leluhur, maka dari itu Saulus sangat intoleran dengan para pengikut Kristus bahkan secara terang-terangan ia mengejar dan menganiaya pengikut Kristus. Dari peristiwa tersebut sebenarnya karya Allah terjadi dalam hidup Paulus. Perjalanannya ke Damsyik merupakan sebuah titik balik hidupnya. Dalam Kisah Para Rasul kisah pertobatan Saulus digambarkan begitu hidup. Peristiwa iman yang dialami Saulus pada waktu itu bisa dikatakan secara tiba-tiba, Saulus melihat cahaya yang membuatnya buta sementara dan di situ Tuhan Yesus menampakkan diri kepada Saulus. Dari peristiwa tersebut ia secara yakin menyatakan bahwa Yesus yang bangkit dari mati dan dimuliakan sebagai Tuhan merupakan sebuah kebenaran iman. Kejadian di Damsyik menegaskan bahwa Paulus diubah, bukan oleh sebuah pemikiran, melainkan oleh sebuah peristiwa. Paulus tidak bisa meragukan lagi kehadiran Yesus. Peristiwa itu begitu kuatnya, perjumpaan itu. Ini merombak hidup Paulus secara radikal. Dalam beberapa tulisan memang tidak dikisahkan secara terperinci pertobatan Saulus seperti apa sehingga ia secara radikal menjadi pengikut dan pewarta Yesus secara militan. Namun titik balik hidup Saulus, ia akhirnya beberapa kali berbicara tentang peristiwa penting yang menegaskan bahwa dirinya adalah saksi kebangkitan Kristus, sebuah pewahyuan yang dia terima sendiri dari Yesus Kristus bersamaan dengan tugas perutusannya “Dan yang paling akhir dari semuanya Ia menampakkan diri juga kepadaku, sama seperti kepada anak yang lahir sebelum waktunya” (1Kor 15:8). Bukan “Pertobatan” Biasa Pertobatan dari Paulus memiliki makna tersendiri dalam kehidupannya dan bagi kehidupan orang Kristiani saat ini. Paulus tidak secara terang-terangan mengatakan bahwa peristiwa di Damsyik merupakan sebuah pertobatan hidupnya. Peristiwa di Damsyik bagi Paulus bukan merupakan sebuah peristiwa penyesalan dalam hidupnya karena pernah menganiaya pengikut Kristus, namun Paulus menemukan sebuah penemuan jalan hidup baru. Paulus tidak berpaling ke Allah yang lain; dia terus menyembah Allah Israel. Dia juga meneruskan kepercayaannya tentang pemilihan Israel (Rm 9:1-4), dan dia juga tetap percaya bahwa KS orang Yahudi berisi pewahyuan Allah. Pertobatan Paulus tidak bisa diartikan sebagai pertobatan dalam arti “berpaling dari” melainkan ‘berpaling kepada” artinya, Paulus berpaling kepada pewahyuan baru Allah Israel, sebagaimana dikatakannya: “Setiap kali mereka membaca kitab Musa, ada selubung yang menutupi hati mereka. Tetapi apabila hati mereka berbalik kepada Tuhan, maka selubung itu diambil daripadanya” (2 Kor 3:15-16). Paus Benediktus XVI menegaskan bahwa perubahan seluruh arah hidup Paulus tidak terjadi berkat sebuah perkembangan intelektual atau moral. Peristiwa pertobatan Paulus merupakan sebuah peristiwa yang berasal dari luar. Ini terjadi berkat perjumpaan dengan Kristus yang tersalib, yang selama ini dibencinya. Ini bukan sebuah pertobatan biasa, sebuah kesadaran baru, melainkan lebih berupa sebuah kematian dan kebangkitan bagi Paulus sendiri. Hanya perjumpaan yang dahsyat dengan Kristus yang bangkitlah yang menjadi kunci untuk memahami apa yang terjadi. Berkat perjumpaan itu, terjadi pembaruan sejati yang mengubah seluruh standar hidup Paulus. Lebih lanjut Paus mengatakan bahwa perjumpaan dengan Kristus, Sang Terang Sejati, membuat Paulus terbuka pada banyak hal. Ia tidak melepaskan semua yang baik dan benar dalam hidupnya, yang bernilai dari nenek moyangnya. Ia menjadi pribadi yang lebih mengerti mengenai kebijaksanaan, kebenaran, hukum dan para nabi dengan cara yang baru bahkan pada akhirnya ia mampu berdialog dengan siapa saja dengan baik dan membuat dirinya menjadi rasul bagi bangsa-bangsa lain. Paulus menganggap penampakan kebangkitan itu menjadi peneguh statusnya sebagai rasul (1 Kor 9:1; 15:8). Ia memiliki status yang sama dengan para rasul lainnya, namun dia diberi tugas khusus yakni mewartakan pertobatan bangsa-bangsa lain yang bukan Yahudi (Gal 1:16). Ia pun akhirnya terdorong untuk mewartakan Kabar Gembira ke Filipi dan menularkan semangat kepada mereka untuk melakukan hal yang sama. Latar Belakang Surat Filipi Ciri khas surat Paulus kepada Jemaat di Filipi adalah nada suratnya bersifat personal dan penuh kasih. Paulus seakan-akan menulis surat ini dengan hati di tangannya, tetapi tetap dengan kedalaman teologi seperti surat-surat lainnya. Surat ini mencerminkan karakter personal Paulus, pencerahan rohaninya, kesopanannya yang halus, penyerahan dirinya yang total untuk menjadi pelayan Sang Guru. Baik jemaat yang dilayani Paulus dan Paulus sendiri mengalami kondisi yang sama yakni sama-sama menjadi orang tahanan dan menunggu hasil persidangan. Di sini Paulus bersikap menjadi seorang yang meredakan kekhawatiran para jemaat, meluruskan kesalahpahaman mereka, membagikan sesuatu yang meneguhkan, sesuatu yang mengisi hatinya manakala dia merenungkan situasinya sendiri. Meskipun Paulus dalam keadaan sangat memperhatinkan di penjara, Paulus sama sekali tidak menfokuskan tulisannya tentang keadaan yang ia alami namun tulisannya lebih menonjolkan tentang kabar kemajuan Injil. Perhatiannya yang paling mendesak adalah menegaskan bahwa apa yang telah menimpanya itu baik untuk pewartaan Injil. Pemenjaraan memang sesuatu halangan (proskope), tetapi itu malah menjadi suatu kemajuan (prokope). Paulus dalam situasi di penjara, ia senantiasa menunjukkan kemajuan Injil antara lain ia menegaskan bahwa seluruh istana dan semua orang lain tahu bahwa dia dipenjarakan karena Kristus. Dia dibelenggo oleh kaisar karena dia ada dalam Kristus. Indikasi kemajuan injil juga ditunjukan dalam saudara-saudari seimannya sendiri. Ketika jemaat mendengar bahwa Paulus dengan gagah berani mewartakan Kristus kepada orang-orang di lingkup istana, hal itu menyemangati mereka untuk melakukan hal yang sama tanpa takut kepada mereka yang juga mencoba membungkam mereka. Di sisi lain Paulus juga memberitakan kabar buruk selain kabar baik dari saudara-saudari seiman. Beberapa orang mewartakan Kristus karena dengki dan persaingan (1:15). Yang lain mewartakan Kristus demi kepentingan sendiri dan dengan maksud yang tidak ikhlas (1:17). Bagi Paulus, orang-orang ini sebenarnya bukan musuh. Mereka bukan serigala berbulu domba. Mereka bukan jemaat palsu. Mereka adalah saudara-saudari seiman. Yang diwartakan pun sama juga, yakni kabar gembira Yesus Kristus. Yang membedakan hanyalah cara bersikap. Di tengah situasi yang tidak ideal semacam ini, Paulus masih sempat berpikir lebih jauh dan melihat nilai positifnya. Di sini, Paulus masih bisa bergembira karena Kristus diwartakan. Sumber Sukacita Sejati (Flp 1:21) Setelah menceritakan keadaan dan lingkungannya yang aktual, Paulus kemudian mengisahkan harapannya di masa depan. Paulus mengatakan bahwa ia akan tetap bersukacita. Dalam hal ini, sukacita Paulus bukanlah sukacita yang membabi-buta. Sukacita Paulus adalah sukacita yang alkitabiah artinya menghantarkannya pada sebuah keselamatan. Keselamatan macam apa yang sedang dinantikan Paulus? Para penafsir pada umumnya memiliki dua pendapat: keselamatan dari hukuman penjara atau keselamatan dalam kehidupan kekal. Ada pula yang menduga bahwa Paulus sedang memikirkan keduanya. Jadi ini bukan hanya “pelepasan” dari situasi sekarang, melainkan juga terutama pembenarannya dalam sidang surgawi, bagian dari “keselamatan” eskatologisnya. Alasan Paulus bersukacita meskipun dalam penderitaan karena sukacita adalah sesuatu yang sangat dirindukan dan diharapkan. Dia mengatakan apa yang “sangat kurindukan dan kuharapkan,” yaitu dalam segala hal dia tidak beroleh malu (1:20), baik di hadapan pengadilan orang yang memusuhinya sekarang ini, maupun kelak di hadapan pengadilan surgawi. Berkaitan dengan ini, Paulus sangat berharap bahwa “Kristus dengan nyata dimuliakan di dalam tubuhku, baik oleh hidupku, maupun oleh matiku” (1:20). “Tubuh” di sini berarti keseluruhan diri seseorang, bukan hanya dengan daging atau badan. Idenya adalah bahwa Kristuslah yang semakin besar berkat apa yang menimpa Paulus. Harapan dan keyakinan Paulus adalah bahwa sebagaimana di masa lalu, sekarang dan di masa depan hidup dan/atau kematiannya akan memuliakan Allah. Pernyataan akan kerinduan dan harapan Paulus sangat kuat dalam kata-katanya yakni “Bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan” (1:21). Hal tersebut juga menjadi pegangan hidupnya. Hidup – Kristus! Tiadanya sebuah kata kerja mungkin bisa diisi dengan aneka cara: hidup adalah Kristus; hidup berarti Kristus; hidup bergantung pada Kristus; hidup memuliakan Kristus. Dengan kata lain, dasar, pusat, tujuan, arah, daya, dan makna hidup Paulus adalah Kristus. Dengan kata lain, hidup dalam Kristus ini tidak melulu hidup batin atau hidup di dunia yang akan datang, tetapi juga hidup sehari-hari. Pernyataan “hidup adalah Kristus” menyatakan makna dan tujuan hidup Paulus. Hal ini memang belum terpenuhi. Karenanya, hidup bukanlah posisi yang statis, melainkan proses dinamis, proses “menjadi dan bertumbuh.” Bagi Paulus, tujuan hidupnya mendorongnya maju dan melayani Kristus setiap hari. Ketika tujuan hidupnya adalah Kristus, hidup berarti mengikuti jalan-jalan Kristus, jalan pemberian diri, jalan kerendahan hati, jalan pengurbanan. Jalan hidupnya tidak lari dari penderitaan. Selanjutnya “mati adalah keuntungan”. Paulus bukanlah orang pertamanya yang menyatakan pernyataan tersebut. Banyak filsof Yunani juga mengatakan salah satunya adalah Sophocles yang menyatakan serupa dengan Paulus “kematian adalah keuntungan sebab ini adalah akhir dari hidup yang penuh dengan kebencian atau kematian adalah keuntungan bagi mereka yang menganggap hidup ini sebagai sebuah beban”. Tentu saja ada perbedaan besar antara Paulus dan penulis-penulis kuno itu. Ada tiga kemungkinan utama tentang apa yang dianggap Paulus sebagai keuntungan. Pertama, mati adalah keuntungan karena dengan begitu dia “memperoleh Kristus” (bdk. 3:8). Dia “ingin pergi dan diam bersama-sama dengan Kristus,” yang dianggapnya jauh lebih baik (bdk. 1:23). Kedua, mati adalah keuntungan karena menjadi kesempatan bagi Kristus untuk lebih dimuliakan dalam tubuhnya, lewat pewartaan Kabar Gembira. Karena tujuan hidup adalah Kristus, kematian adalah keuntungan jika menjadi kesaksian akan Kristus. Yang ketiga adalah gabungan kedua hal tadi. “Keuntungan itu bukan hanya ganjaran surgawi di hadapan Sang Guru (ay. 23), melainkan juga pewartaan kabar gembira dalam bentuk kesaksian.” Sampai di sini tampak betapa perjumpaan dengan Kristus telah menjadi daya penggerak Paulus. Hidupnya benar-benar dipenuhi semangat untuk mewartakan Kristus. Kristuslah pusat seluruh hidupnya sekarang. Risiko apa pun akan dia tempuh asalkan Kristus semakin dimuliakan lewat hidupnya. Kalaupun dia tetap hidup di dunia ini, itu akan digunakannya untuk “bekerja memberi buah” (1:22). Hal ini mengandaikan kerja keras. Penutup Pengalaman Paulus ini mengingatkan kita bahwa kekristenan bukanlah sebuah filsafat atau moralitas baru. Demikian pula, menjadi seorang kristiani bukanlah hasil dari sebuah pilihan etis atau ide yang tinggi, melainkan perjumpaan dengan sebuah peristiwa, seorang pribadi, yang memberi hidup itu horizon baru dan arah yang tepat. Perjumpaan dengan Kristus yang bangkit membuat Paulus sanggup berkata “hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.” Ungkapan ini menyatakan makna baru bagi hidup dan eksistensi manusiawi, yang terdapat dalam persekutuan dengan Yesus Kristus yang hidup; bukan hanya dengan seorang sosok historis, seorang guru kebijaksanaan, seorang pemimpin agama, tetapi dengan seseorang yang di dalam Dia Allah tinggal. Paulus telah memberi teladan, juga kepada pembaca zaman sekarang, tentang apa artinya tinggal dalam Kristus. Ini akan memberikan sudut pandang yang jernih bagi umat beriman, termasuk juga para gembala. Manakala Kristus menjadi pedoman dan tujuan segala pelayanan, maka hal ini akan membuahkan hasil yang baik. Dan saat Kristus yang menjadi penggeraknya, orang akan sepenuh hati mewujudkannya dalam kehidupan nyata, tanpa kenal lelah.

Read More

MISTERI MESIAS DALAM WAFAT DAN KEBANGKITAN YESUS

Fransiskus Gilang Agcira Pradana Mahasiswa Institutum Theologicum Ioannis Mariae Vianney Surabaya [email protected] ![MISTERI MESIAS DALAM WAFAT DAN KEBANGKITAN YESUS ](//images.ctfassets.net/a1uad830l19w/6FWaVmRouKUjLTlydMY76u/15931af2c83d4053a6fa054e6f8a8ddf/download.jfif) Abstraksi Iman kristiani selalu berpangkal pada pewahyuan yang disampaikan Allah kepada manusia. Dalam pewahyuan tersebut, Allah tidak hanya memperkenalkan diri-Nya saja, melainkan juga ingin menyingkapkan rencana keselamatan-Nya kepada manusia. Puncak pewahyuan tersebut terpenuhi dalam diri Yesus Kristus yang mengalami peristiwa hidup, wafat dan kebangkitan-Nya. Peristiwa dan pengalaman hidup Yesus tersebut tertulis dalam keempat Injil, yakni Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Injil Markus merupakan Injil yang terpendek dari ketiga Injil lainnya. Secara garis besar, Injil Markus ingin menyingkap kebenaran misteri Mesias yang ada dalam diri Yesus melalui wafat dan kebangkitan-Nya. Yesus sebagai Mesias dimaknai sebagai pengorbanan Yesus untuk menyelamatkan orang benar dengan jalan penderitaan. Demikian juga dengan misteri kebangkitan-Nya yang harus diimani sebagai jalan Yesus untuk memenuhi panggilan Allah, kita pun sebagai orang yang beriman diajak untuk memenuhi panggilan Allah dengan mengikuti Kristus yang sudah mendahului kita. Kata kunci: Allah, Yesus, wafat, kebangkitan, Markus. PENDAHULUAN Iman kristiani selalu berpangkal pada pewahyuan Allah, yakni Wahyu yang menjadi bentuk pernyataan diri Allah kepada manusia; di mana Allah ingin menyapa, berbaur, dan mengundang setiap insan manusia untuk masuk ke dalam persekutuan dengan Diri-Nya (DV 2). Dalam pewahyuan tersebut, Allah tidak hanya memperkenalkan diri saja, melainkan juga ingin menyingkapkan rencana keselamatan-Nya kepada manusia. Pewahyuan ini tentu mempunyai sejarah yang cukup panjang, di mana dalam Perjanjian Lama pewahyuan dimulai dari perjanjian Allah kepada Abraham, hingga pada akhirnya pewahyuan tersebut terpenuhi dalam diri Putra-Nya yakni Yesus Kristus. Iman kristiani menyatakan bahwa Yesus Kristus tidak hanya menyampaikan wahyu Allah, tetapi juga mewujudkan wahyu itu dalam diri-Nya, dalam hidup, wafat dan kebangkitan-Nya. Pengalaman hidup, wafat dan kebangkitan Yesus ini telah tertulis dalam keempat Injil. Dalam Injil Markus yang akan penulis dalam ini merupakan Injil terpendek dari ketiga Injil lainnya. Dalam Injil ini pula, Markus menceritakan kisah hidup Yesus yang diawali dengan pelayanan Yohanes Pembaptis, berbeda dengan Injil Lukas dan Matius yang mengawali kisah hidup Yesus dengan menceritakan kelahiran-Nya. Kemudian bagaimana Injil Markus ini menceritakan peristiwa wafat dan kebangkitan Yesus? Dalam artikel ini penulis akan menjabarkan kisah sekaligus makna wafat dan kebangkitan Yesus dalam Injil tersebut. KARYA KESELAMATAN ALLAH (WAFAT KRISTUS) Pewahyuan Allah terletak dalam karya atau rencana keselamatan-Nya, yang terpenuhi dalam diri Yesus Kristus. Peristiwa wafat dan kebangkitan Yesus merupakan bentuk terlaksananya karya keselamatan Allah. Peristiwa wafat merupakan bentuk penyerahan diri Yesus untuk menebus dosa-dosa manusia. Dengan demikian, Dia bersedia menyerahkan diri demi melepaskan manusia dari dosa-dosa. Yesus mengalami nasib yang sama dengan manusia dalam kematian-Nya, begitu pula manusia, ia akan bersama dengan Yesus dalam kebangkitan. Sebagai orang beriman, kita hidup dan bersatu dengan Kristus, di mana bersatu dengan Kristus berarti kita senasib dengan Dia. Dengan demikian, kebangkitan Yesus juga akan menjadi kebangkitan kita, apabila kita bersatu dengan-Nya. Dalam Injil Markus, kisah wafat dan kebangkitan Yesus ini ditandai dengan pengungkapan tentang rahasia Yesus sebagai Mesias dan Anak Allah. Yesus seringkali disebut sebagai Mesias oleh para murid-Nya dan juga oleh masyarakat Yahudi. Pernyataan bahwa Yesus adalah Mesias menjadi harapan bagi mereka yang mendambakan keselamatan dalam hidup mereka (Martin Harun, 2015:254). Injil Markus juga menceritakan bagaimana para murid yang hidupnya selalu dekat dengan Yesus, masih belum mampu memahami rahasia Mesias dalam diri Yesus. Gelar Yesus sebagai Mesias ini masih menjadi misteri hingga wafat dan kebangkitan-Nya. Melalui peristiwa wafat-Nya Yesus, kita baru terpahami bahwa Yesus bukanlah Mesias seperti yang diharapkan dan dipahami oleh para murid-Nya dan masyarakat Yahudi pada umumnya, yakni sebagai Raja atau sesorang yang memiliki kuasa untuk menyelamatkan dan melindungi dan membebaskan bangsa Israel dari penindasan atau penjajahan bangsa Roma. Ketika Yesus disalib, Dia mendapat banyak olokan dari para serdadu, namun tanpa disadari olokan dari para salah satu serdadu tersebut telah menunjukkan jati diri Mesias yang sebenarnya dalam diri Yesus, “Orang lain Ia selamatkan, tetapi diri-Nya sendiri tidak dapat Ia selamarkan!” (Mrk. 15:31b). Melalui pernyataan tersebut dapat dimaknai bahwa gelar Yesus sebagai Mesias bukan semata-mata Dia dapat menyelamatkan banyak orang dengan kuasa-Nya. Keselamatan bagi banyak orang harus dijalani Yesus melalui jalan penderitaan, yakni dengan wafat disalib. Dalam hal ini, Mesias yang dimaksud adalah bahwa Yesus telah mengambil bagian dalam penderitaan orang-orang benar. Dengan mengambil bagian dalam penderitaan tersebut, Yesus telah menyelamatkan semua bangsa dari dosa-dosa dan membuka jalan bagi mereka untuk menuju Allah. KARYA KESELAMATAN ALLAH (KEBANGKITAN YESUS) Kisah keselamatan ini tidak hanya berhenti sampai pada peristiwa wafat-Nya Yesus. Injil Markus melanjutkan kisah tersebut dengan peristiwa kebangkitan Yesus yang diawali dengan kunjugan para perempuan ke makam Yesus. Merekalah yang menjadi saksi mata ketika melihat makam Yesus pada saat itu telah kosong. Seorang pemuda berjubah putih di dalam makam Yesus telah memberikan kabar baik mengenai hal tersebut, ia menyatakan bahwa Yesus sudah bangkit dan mendahului mereka pergi ke Galilea (Mrk. 14:28). Kabar baik ini belum dapat dipahami oleh para perempuan tersebut, mereka justru ketakutan akan berita tersebut. Mereka yang seharusnya memberitakan kabar baik kepada para murid justru tidak dilaksanakan karena ia takut akan kabar yang ia dapat. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa mereka seolah-olah tidak menerima kenyataan bahwa Yesus telah bangkit, hal ini dikarenakan perhatian mereka sendiri yang kuat akan kehidupan dan kematian Yesus yang disalib (Eko Riyadi, 2011:245). Peristiwa di atas menjadi tanda bahwa sisi manusiawi menjadi penghalang bagi kita dalam mengakui Yesus Kristus yang telah bangkit. Kita selalu menginginkan peristiwa-peristiwa indrawi atau fisik untuk memberi keyakinan kepada kita. Sebagai seorang kristiani, kita diajak oleh Markus untuk tidak mudah terpesona dengan ‘pengalaman indrawi atau fisik’ dalam kehidupan kita. Peristiwa kebangkitan Yesus harus kita imani sebagai bagian dari sejarah keselamatan Allah tanpa harus mengedepankan adanya ‘tanda fisik atau indrawi manusia’. Hal tersebut senada dengan Injil Markus yang ditutup dengan ‘open ended’, maksud dari Penginjil tersebut adalah mengajak para pembaca untuk menghayati serta merefleksikan sendiri ajakan Yesus melalui misteri kebangkitan-Nya dalam kehidupan para pembaca (Martin Harun, 2015: 260). Markus mengajak kita untuk mengimani peristiwa kebangkitan Yesus ini dengan meneruskan pesan pemuda itu, bahwa Yesus telah mendahului kita dan kita sebagai orang beriman diharapkan mau mengikuti dan meneladan hidup Kristus sebagai Mesias yang sejati. PENUTUP Dalam Injil Markus, pengenalan Yesus sebagai Mesias membuka pemahaman kita bahwa Yesus bukanlah Mesias seperti yang diangan-angan atau ditunggu-tunggu atau pemahaman oleh para murid dan orang-orang Yahudi pada umumnya. Para murid masih belum memahami bagaimana Yesus sebagai Mesias yang mengalami penderitaan terlebih dahulu hingga menuju maut sebelum menyelamatkan banyak orang. Keselamatan harus diselaraskan dengan karya Penebusan Allah bagi umat-Nya, yakni dengan mati di kayu salib untuk menebus dan menyelamatkan manusia dari dosa-dosa mereka. Kita sebagai umat beriman diajak untuk merefleksikan misteri keselamatan tersebut sebagai buah penebusan atas dosa-dosa kita. Kita hendaknya tidak mengenal Yesus menurut pandangan dan kemauan kita masing-masing seperti yang dilakukan oleh para murid. Identitas Yesus sebagai Mesias justru tampak atau terlihat dari tindakan-Nya yang rela menderita, mati dan bangkit. Tidak ada kebangkitan tanpa melalui penderitaan dan kematian. Dan melalui peristiwa tersebut, kita diperlihatkan akan kuasa dan cinta Allah yang begitu Agung yang menyelamatkan manusia dari penderitaan kekal akibat dosa-dosa yang dilakukan. Peristiwa penderitaan, kematian, dan kebangkitan Yesus, menghantar kita pada suatu pemahaman baru tentang Mesias yang selama ini ditunggu-tunggu dan diharapkan bangsa Israel atau orang Yahudi. Mesias bukanlah raja yang memiliki kuasa untuk membebaskan orang Yahudi dari perbudakan, raja yang tidak akan mati secara hina di kayu salib, namun Mesias adalah seorang yang membebaskan manusia dari belenggu dosa dan menghantar kembali kepada Allah Bapa dengan cara menanggung penderitaan yang sebenarnya tidak Dia tanggung sampai wafat dan bangkit. Singkat kata pewahyuan akan karya keselamatan Allah terjadi dalam peristiwa atau tindakan Yesus yang menderita, wafat, dan bangkit. Sumber Pustaka : Alkitab Deuterokanonika Konferensi Waligereja Indonesia, Iman Katolik (buku informasi dan referensi), Yogyakarta: Kanisius, 1996. Riyadi Pr., Eko, Markus (Engkau adalah Mesias), Yogyakarta: Kanisius, 2011. Harun, OFM., Martin, Markus (Injil yang belum selesai), Yogyakarta: Kanisius, 2015.

Read More

MUKJIZAT YESUS DAN MAKNANYA MENURUT INJIL MARKUS

Yehezkiel Divo Maretio Mahasiswa Institutum Theologicum Ioannis Mariae Vianney [email protected] ![MUKJIZAT YESUS DAN MAKNANYA MENURUT INJIL MARKUS](//images.ctfassets.net/a1uad830l19w/1p9wcOBM7A9NzgV0sgdvPa/cfea4f51a8ff4a583df2310e15f11ffc/miracles-of-jesus1.jpg) PENGANTAR Suatu kali, ada seorang yang sakit kusta datang kepada Yesus. Ia berlutut dan memohon bantuan Yesus, katanya “Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku.” Seketika itu pula, lenyaplah penyakit kusta yang dideritanya. Yesus telah mengulurkan tangan, menjamah si kusta, dan mentahirkannya. Perbuatan Yesus dengan menyembuhkan penyakit kusta itu dikenal sebagai salah satu mukjizat yang tertulis dalam Injil Markus 1:40-45, secara khusus mukjizat penyembuhan. Mukjizat memang telah dikenal secara luas oleh umat beriman. Mukjizat diyakini sebagai sesuatu yang berasal dari Allah sendiri, sebab sukar dijangkau oleh kemampuan akal budi manusia. Mukjizat kerapkali juga berkaitan dengan ketakjuban manusia akan kuasa Ilahi. Maka tak heran apabila pada zaman Yesus, banyak orang yang mencari mukjizat dan hendak mengalaminya sendiri sebagai pengalaman tanda kuasa Allah dalam diri sesorang. Banyak Orang berbondong-bondong mengikuti Dia, karena mereka melihat mukjizat-mukjizat penyembuhan, yang diadakan-Nya terhadap orang-orang sakit (Yoh 6:2). Oleh sebab itu, pada zaman-Nya, Yesus tidak hanya dikenal sebagai guru, tetapi juga sebagai pembuat mukjizat. Berangkat dari kisah mukjizat di atas, penulis akan sedikit menguraikan makna mukjizat menurut Injil Markus. PENGERTIAN MUKJIZAT Kata mukjizat dalam bahasa Inggris disebut dengan Miracle. Miracle adalah suatu peristiwa atau kejadian yang berlawanan dengan hukum alam, karena efeknya melampaui daya atau kemampuan makhluk ciptaan. Mukjizat merupakan peristiwa (ajaib) yang sukar dipahami oleh akal budi manusia. Mukjizat cenderung dapat dirasakan melalui indera, namun sukar untuk dipahami oleh pemahanan atau nalar manusia begitu saja. Mukjizat diyakini dikerjakan oleh Allah. Hal tersebut hendak menandaskan bahwa mukjizat sebagai suatu hal atau peristiwa adikodrati, sebab melibatkan campur tangan Ilahi. Mukjizat terjadi seturut dengan penyelenggaraan Ilahi. Dengan demikian, Tuhanlah yang menjadi penyebab mukjizat. MUKJIZAT YESUS Dikisahkan dalam Kitab Suci bahwa Yesus mengadakan banyak mukjizat. Ia melakukan berbagai mukjizat di depan banyak orang. Walaupun kebanyakan orang Farisi dan ahli-ahli taurat tidak memercayai mukjizat Yesus, masih banyak orang yang juga percaya akan kuasa-Nya. Kuasa Yesus sungguh terlihat dalam berbagai mukjizat yang Ia lakukan. Mukjizat yang dilaksanakan oleh Yesus terdiri dari berbagai jenis, misalnya mukjizat penyembuhan. Mukjizat penyembuhan nampaknya menjadi kisah mukjizat yang banyak diceritakan dalam Injil Sinoptik dan beberapa juga di Injil Yohanes. Beberapa contoh mukjizat penyembuhan yang dilakukan oleh Yesus ialah Yesus menyembuhkan ibu mertua Petrus dan orang-orang lain (Mat 8:14-17); Yesus menyembuhkan seorang yang sakit kusta (Mrk 1:40-45); Yesus menyembuhkan orang lumpuh (Mrk 2:1-12); Yesus menyembuhkan seorang perempuan yang sakit pendarahan (Luk 8:40-56); Yesus menyembuhkan anak seorang pegawai istana (Yoh 4:46-53); dan lainnya. Selian mukjizat penyembuhan, Yesus juga mengadakan mukjizat pengusiran roh jahat, pengendalian alam, dan kuasa atas kematian. Sebagai contoh, kisah pengusiran roh jahat dikisahkan dalam Mrk 1:23-28 (Yesus mengusir roh jahat di Kapernaum), kisah pengendalian alam dikisahkan dalam Mrk 4:35-41 (Yesus meredakan angin rebut), dan kisah kuasa atas kematian dikisahkan dalam Mrk 5:21-43 (Yesus membangkitkan anak Yairus dan menyembuhkan seorang perempuan yang sakit pendarahan). Beberapa kisah tersebut menunjukkan bagaimana kuasa Yesus dalam melaksanakan mukjizat. Akan tetapi, yang hendak dimaksudkan ialah bukan Yesus sebagi pembuat mukjizat, melainkan sebagai pewartaan akan Kerajaan Allah, dan Yesus yang senantiasa menaati kehendak Bapa-Nya. MAKNA MUKJIZAT YESUS Telah disebutkan dalam pernyataan dan keterangan di atas bahwa mukjizat Yesus tidak dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa Yesus sebagai pembuat mukjizat, melainkan sebagai pewartaan akan Kerajaan Allah. Yesus memperlihatkan melalui perbuatan, dengan mengerjakan mukjizat, dan melalui perkataan, bahwa kerajaan iblis telah berakhir dan Kerajaan Allah dimulai. Tanda-tanda itu juga menunjukkan kegenapan nubuat para nabi tentang kedatangan Mesias yang telah dijanjikan. Meskipun banyak orang yang mengikuti Dia untuk menyaksikan mukjizat-Nya, bukan berarti mereka semua benar-benar memahami maksud mukjizat Yesus. Lantas apa saja maksud atau makna dari mukjizat Yesus? Makna pertama dari mukjijzat Yesus ialah tentang pewartaan akan Kerajaan Allah. Sebagai contoh, dalam kisah mukjizat penyembuhan dan pengusiran roh jahat, Yesus hendak memaksudkan bahwa Ia telah mampu mengalahkan berbagai penyakit dan penderitaan yang menjadi tanda akan kuasa-kuasa jahat yang menghalangi ditegakkannya pemerintahan Allah (2 Tes 2:6-8). Dengan perbuatan itu, Yesus menyatakan bahwa Kerajaan Allah yang diberitakan Yesus telah hadir dan berkuasa mengalahkan kuasa jahat yang merajalela dalam dunia manusia. Dengan demikian, pemerintahan Allah yang berkuasa sudah memasuki dunia ini, sebab jika Ia bersabda: “Tetapi jika Aku mengusir setan dengan kuasa Allah, maka sesungguhnya Kerajaan Allah sudah datang kepadamu” (Luk 11:20). Makna kedua dari mukjizat Yesus ialah untuk menunjukkan Kemuliaan Tuhan. Kemuliaan dan kebesaran Tuhan sendiri dinyatakan dalam berbagai mukjizat, misalnya dalam kisah mukjizat Yesus di perkawinan di Kana (Yoh 2), kisah-kisah penyembuhan, dan kisah-kisah kuasa atas kematian. Ia melaksanakan berbagai mukjzat itu bukan untuk sebuah kekaguman, melainkan karena dorongan belas kasih terhadap manusia. Ia hendak menunjukkan bahwa Ia adalah Tuhan. Melalui mukjizat-Nya, nyatalah kuasa Allah yang berkarya dalam perbuatan Yesus. Selain dua makna di atas, mukjizat-mukjizat Yesus juga memiliki makna-makna lain. Beberapa makna lain dari mukjizat Yesus ialah makna akan keselamatan manusia yang datang dari Allah, makna kebenaran akan ajaran iman dan moral, makna kesaksian akan kekudusan hidup, dan berbagai makna lainnya. Mukjizat Yesus juga hendak menunjukkan tentang kebaikan hidup dan terbukanya pintu untuk bertobat melalui pengenalan dan percaya kepada-Nya. KESIMPULAN Yesus telah melaksanakan berbagai mukjizat. Ia telah menyembuhkan banyak orang, mengusir roh-roh jahat, mengendalikan alam, dan membangkitkan orang. Mukjizat, suatu peristiwa adikodrati yang sukar dipahami oleh akal budi, telah menjadi tanda yang nyata akan kuasa dan kemuliaan Allah, yang tertulis dalam Kitab Suci. Tindakan Yesus melalui mukjizat ingin menegaskan bahwa apa yang Dia lakukan baik perkataan ataupun perbuatannya adalah semata-mata menjadi tanda pewartaan akan Kerajaan Allah bukan untuk menunjukkan kehebatan diri Yesus sendiri supaya mendapat pujian dari banyak orang. Mukjizat menjadi sarana keselamatan manusia dan tanda cinta Allah yang selalu menyertai manusia sehingga manusia semakain mengenal dan percaya kepada Allah. Mukjizat juga bukan semata-mata hal-hal yang besar yang terjadi pada hidup manusia, namun dengan hal sederhana Allah juga menunjukkan kuasa dan cintanya dalam hidup manusia sehingga manusia semakin mengenal dan percaya kepada Allah, seperti kehidupan yang berlangsung sehari-hari, perjumpaan dengan orang yang kita cintai, perjumpaan dengan orang baik, peristiwa kita ditolong orang pada waktu kita sangat membutuhkan bantuan dan bingung meminta bantuan kepada siapa. Segala sesuatu berkaitan dengan kuasa Allah yang terjadi pada manusia dan mengubah hidup manusia menjadi bermakna bagi hidup manusia sehingga manusia semakin percaya dan mencintai karya Allah yang turut ambil bagian dalam hidupnya itulah mukjizat yang sesungguhnya. SUMBER PUSTAKA Kii, J Bili, Panduan Membaca Injil Markus: Yesus Utusan Allah, Yogyakarta: Kanisius, 1993. Konferensi Wali Gereja, Iman Katolik, Jakarta: Obor, Kanisius, 1996. Marsunu, YM Seto, Markus: Injil Yesus Kristus - Anak Allah, Yogyakarta: Kanisius, 2012.

Read More

MANUSIA DAN PENDERITAAN : BELAJAR DARI INJIL MARKUS 8:27-38

Gregorius Aldi Christyanto Mahasiswa Institutum Theologicum Ioannis Mariae Vianney [email protected] ![Santo Markus](//images.ctfassets.net/a1uad830l19w/5js0pNcEKeZzdGXLAojm6U/4d382836027f531cb350ae44e63d34d7/st__mark_the_evangelist_by_lordshadowblade-d62zolm.jpg) PENDAHULUAN Kehidupan manusia di dunia tidak dapat dilepaskan dari pengalaman akan penderitaan. Entah disadari atau tidak, manusia harus menghadapi realitas penderitaan selama perjalanannya di dunia. Terkadang penderitaan menjadi sebuah momok yang menakutkan bagi manusia. Bahkan seakan-akan manusia tidak dapat memiliki kekuatan dalam menghadapinya dan sekedar berpasrah dengan penderitaan yang mereka alami. Padahal dalam sebuah penderitaan, manusia diajak untuk menyadari makna salah satu bagian kehidupannya lebih mendalam. Pengalaman penderitaan orang Kristen harus diarahkan pada pengalaman personal dengan Kristus, sang Guru dan Tuhan yang sejati. Di masa pandemi ini, kita semua dihadapkan pada berbagai realitas penderitaan manusia yang tidak ada habisnya. Mulai dari kesulitan ekonomi hingga kematiaan orang-orang yang dikasihi mengajak kita untuk masuk lebih dalam mengenai makna penderitaan yang kita alami. Kita kerap kali bertanya, jika Allah adalah mahakuasa dan mencintai kita, maka seharusnya penderitaan di dunia ini tidak akan ada. Tidak jarang diantara kita ketika berada dalam situasi sulit, kita berpikir Allah hanya diam dalam setiap situasi penderitaan. Padahal sebenarnya kitalah yang kurang mendalami makna penderitaan tersebut dalam kehidupan kita. Dalam tulisan ini, kita akan melihat sejauh makna arti penderitaan dalam iman Kristiani. Dengan bantuan Injil Markus, kita akan melihat Allah yang tidak pernah meninggalkan umatnya dalam setiap penderitaan. Kita akan diajak menyadari bahwa realitas penderitaan adalah sebuah realitas keselamatan manusia bersama dengan penderitaan Kristus. “Kristus telah membuka penderitaanNya kepada manusia, karena Dia sendiri dalam penderitaannya yang menyelamatkan telah ikut ambil bagian dalam semua penderitaan manusia” (Yohanes Paulus II, 1993:20). YESUS KRISTUS DAN REALITAS PENDERITAAN Dalam Injil Markus 8 : 27-38, dikisahkan bahwa Yesus sedang mengajar para muridnya dan memberikan pengajaran bahwa seorang Mesias harus menanggung banyak penderitaan, disalibkan dan akan bangkit pada hari ketiga (Mrk. 8: 31). Namun disisi lain realitas penderitaan Yesus tidak dengan mudah diterima oleh para murid-Nya. Salah satu murid Yesus yakni Petrus bahkan dengan lantang menolak konsep Mesias Yesus yang berbeda dengan pemahaman Mesias tradisional. Mesias yang digambarkan Yesus adalah Mesias yang harus memenuhi panggilan mesianik melalui sengsara dan kebangkitan sedangkan pemahaman Mesias tradisional adalah mesias yang menerima kemuliaan dan kuasa untuk menyelamatkan orang-orang Yahudi (Eko Riyadi, 2011:136-137). Oleh karena sikap spontan Petrus menegor Yesus (Mrk. 8:32b) tersebut, membuat Yesus marah kepada Petrus dan berkata, “Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia" (Mrk. 8: 33). Petrus, sebagai seorang Yahudi memiliki kesamaan pemahaman dengan konsep Mesias tradisional Yahudi yang mana beranggapan bahwa seorang Mesias adalah seorang pemimpin penuh kuasa yang mampu membebaskan orang-orang Yahudi dari tekanan para penjajah. Jika Yesus adalah Sang Mesias berarti Yesus adalah seorang yang memiliki kuasa, maka Yesus tak layak untuk menderita apalagi mati di salib karena hal tersebut merupakan menghinaan bagi martabat keluhuran Mesias. Penderitaan dan mati secara di salib adalah suatu yang tak pantas diterima oleh Yesus sebagai Sang Mesias (Mrk. 1: 22). Namun rencana keselamatan Allah adalah rencana yang berbeda dengan apa yang dipikirkan oleh manusia. Dengan menjelma menjadi manusia, Ia ingin menampakkan kekuatan-Nya, dan dalam penghinaan, Ia menampakkan seluruh keagungan-Nya sebagai Mesias, Sang Juruselamat (Yohanes Paulus II, 1993:22). Keselamatan yang dijanjikan oleh Allah melalui Kristus, hanya dapat diperoleh melalui penderitaan: disalibkan, wafat dan bangkit. Yesus, sebagai Allah yang menjelma menjadi manusia, dengan segala kehendak-Nya memilih untuk memikul itu semua. Ia tidak lari dan dengan segala kelemahan sebagai manusia, ia menunjukkan daya-Nya yang sungguh menyelamatkan manusia dari dosa. Di bagian berikutnya dalam kisah tersebut, ia akan menjelaskan bahwa “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya” (Mrk. 8: 34-35). Sabda Yesus ini, seringkali dihubungkan dengan konsekuensi pilihan untuk menjadi orang Kristen. Realitas penderitaan tidak dapat dihindarkan dari kehidupan orang Kristiani. Kristus, sebagai teladan setiap orang beriman, menyongsong kesengsaraan-Nya sendiri, dengan kesadaran penuh akan daya-Nya yang menyelamatkan (Yohanes Paulus II, 1993:16). Yesus menyadari bahwa keselamatan yang dijanjikan Allah kepada manusia hanya dapat diperoleh melalui penderitaan yang ia alami. Ia harus sengsara, wafat dan dibangkitkan sebagai tebusan atas dosa-dosa manusia. Setiap orang kristiani dipanggil untuk mengikuti Kristus dengan memikul salib penderitaan-Nya masing-masing. Kristus memanggul salib untuk menebus dosa-dosa umat manusia. Salib adalah lambang penderitaan yang di alami umat manusia. Ketika orang kristiani memilih untuk mengikuti Kristus dan di baptis, sejak saat itu manusia dipanggil untuk bersama Kristus memanggul salib di dunia ini. Berkat salib Kristus, Ia telah mengangkat penderitaan manusia ke tingkat penebusan, sehingga setiap orang, dalam penderitaannya ikut serta dalam penderitaan Kristus yang menebus (Yohanes Paulus II, 1993:22). MANUSIA MENGHADAPI PENDERITAAN Sebagian besar dari manusia pada umumya tidak menghendaki adanya penderitaan dalam hidupnya, maka wajar bahwa setiap manusia akan berusaha sebisa mungkin untuk menghindari penderitaan. Penderitaan merupakan sesuatu yang tidak disukai oleh manusia pada umumnya. Berbagai kesulitan yang dialami manusia, terkadang membawa manusia untuk berhennti pada situasi yang ada atau bisa dikatakan menyerah, padahalnya bila manusia memaknai penderitaan yang di alami, manusia diajak untuk melihat realitas penderitaan sebagai sarana untuk bertumbuh dalam iman atau makna salib dalam kehidupan. Setiap pribadi manusia selalu memiliki situasi kehidupan yang berbeda-beda, namun tidak ada satupun manusia di dunia ini yang dapat menghindar dari situasi penderitaan. Penderitaan kerap kali membawa manusia pada situasi batas, sehingga menuntut manusia untuk masuk dalam refleksi yang lebih mendalam tentang apa itu penderitaan. Penderitaan manusia, dalam iman Kristen, akan lebih bermakna jika disatukan dalam penderitaan Kristus. Kristus telah memberikan syarat kepada setiap pengikut-Nya bahwa seorang Kristen harus mau menyangkal diri, memikul salib dan mengikuti Dia (Mrk. 8: 34). Manusia pada umumnya, secara alamiah, berusaha untuk mendapatkan apa yang mengenakkan bagi dirinya, seperti manusia tidak perlu bekerja keras terlebih dahulu untuk mendapatkan cita-citanya bila ada cara yang lebih mudah dan praktis untuk meraih cita-citanya, manusia tidak perlu melakukan pengorbanan bagi orang lain bila mana orang lain tidak menguntungkan bagi dirinya. Sikap tersebut jelas berbeda bila manusia tersebut memaknai pengorbanan atau kerja keras sebagai pengikut Kristus, setiap orang Kristen dipanggil untuk menyangkal diri. Penyangkalan diri ini dapat kita wujudkan, ketika kita berani untuk melewati situasi yang sulit dengan kesabaran dan ketabahan. Kita tidak menyalahkan orang-orang di sekitar situasi kita dan berusaha melihat pengalaman dalam terang iman akan penderitaan Kristus. Dengan menyangkal diri, manusia diajak untuk berani mengambil penderitaan dan berani menghadapi penderitaan tersebut sebagai berkat menuju kebahagiaan sejati yakni bersatu dengan Kristus. Memikul salib penderitaan adalah bentuk kesatuan penderitaan manusia dengan penderitaan Kristus. Setiap penderitaan yang dialami manusia pastilah memiliki makna hidup dan manusia bisa belajar dari hal tersebut. Kesatuan penderitaan Kristus dan penderitaan yang dialami manusia, seharusnya disadari sebagai tindakan Allah yang tidak pernah meninggalkan manusia dalam setiap penderitaan yang ia alami, layaknya seperti kisah penderitaan yang dialami Nabi Ayub. Allah selalu dengan berbagai cara mengambil bagian dalam penderitaan manusia. Manusia perlu membuka hati agar ia mampu untuk melihat campur tangan Allah dalam setiap kesulitan yang ia hadapi. Rasul Paulus sendiri telah mengatakan bahwa: “Segala perkara dapat kutanggung dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku” (Fil. 4: 13). Konsekuensi dengan menjadi pengikut Kristus adalah orang Kristen tidak dapat menghindarkan diri dari realitas penderitaan. Penderitaan yang dialami Kristus adalah jawaban dari penderitaan yang dialami manusia. Kristus rela menjadi manusia dan dapat dilihat oleh kita dan Ia rela menderita demi kita. Kristus sebagai Allah yang menjelma menjadi manusia, tidak menghindari realitas penderitaan yang dimiliki oleh setiap manusia. Padahal sebagai Allah, Ia dapat menghindarkan diri dari realitas penderitaan. Tetapi ia menyadari bahwa penderitaan adalah sebuah realitas kemanusiaan yang harus dihadapi oleh manusia. Sehingga sebagai manusia, ia dengan berani memilih jalan penderitaan sebagai jalan keselamatan. Jika seorang Kristiani menghindari penderitaan, ia telah menyangkal penderitaan Kristus di salib dan ia juga menyangkal karya keselamatan Allah yang hadir dalam penderitaan Kristus. Orang Kristiani dipanggil untuk menyadari bahwa penderitaan yang ada di dunia adalah bagian yang tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan. Dalam penderitaan, manusia dapat menemukan dirinya sendiri, kemanusiaannya, martabatnya dan perutusannya (Yohanes Paulus II, 1993:31). Kristus adalah teladan kesetiaan dalam menanggung setiap penderitaan. Kristus telah mengubah penderitaan dalam salib menjadi kemenangan mulia atas maut dan dosa. Manusia, dengan menanggung penderitaanya, dipanggil untuk ikut serta dalam salib Kristus agar dapat memperoleh ganjaran kebahagiaan kekal abadi di surga kelak. KESIMPULAN Injil Markus adalah injil yang dianggap memberikan fokus secara lebih terhadap penderitaan Kristus sebagai manusia. Hal inilah yang menjadikan injil ini sebagai salah satu sumber iman yang dapat digunakan dalam merefleksikan penderitaan dalam kehidupan manusia. Penderitaan perlu dilihat sebagai suatu realitas yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Dalam penderitaan, manusia diajak untuk memahami nilai tentang penderitaan dengan meneladan ketaatan Kristus dalam memanggul salib. Manusia sebagai citra Allah, dipanggil untuk berani semakin menyerupai Kristus dalam kehidupannya. Kristus telah memilih untuk menjadi manusia dan menderita demi keselamatan manusia. Orang Kristen yang dipanggil dalam karya keselamatan tersebut juga diajak untuk berani memanggul salibnya masing-masing, sehingga ia semakin menyerupai Kristus yang telah mengorbankan diri demi keselamatan manusia. Dengan begitu, manusia dan segala penderitaannya dapat disatukan dalam kurban Kristus di salib dan kelak dapat turut dalam kebahagiaan abadi di surga. Daftar Pustaka Konferensi Waligeraja Indonesia, Alkitab Deuterokanonika, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2018. Paulus II, Yohanes, Salvifici Doloris – Penderitaan yang Menyelamatkan, Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 1993. Riyadi, Eko, MARKUS: Engkau adalah Mesias, Yogyakarta: PT Kanisius, 2011.

Read More

YESUS ADALAH GURU DAN TUHAN: MENELADANI YESUS DALAM PERSPEKTIF YOHANES RASUL

Stefanus Sutrisno Mahasiswa Institutum Theologicum Ioannis Mariae Vianney [email protected] ![YESUS MENURUT INJIL YOHANES](//images.ctfassets.net/a1uad830l19w/4iODptSILymuOc9XfRW39C/7edd8b64fab58116cddca8e23fd58680/john.jpg) __Pengantar__ Dalam Prolog yang ditulis dalam Injil Yohanes sungguh jelas bahwa Yesus adalah Firman yang menjadi manusia (Yoh. 1:1). Dari sini kita tahu bahwa Yohanes ingin munjunjukkan keagungan Tuhan Yesus Kristus, terlebih peran Yesus sebagai seorang Guru. Pembahasan tentang gelar-gelar Yesus sudah tidak asing lagi bagi kita, seperti Yesus sang juru selamat, Yesus yang menyembuhkan di mana-mana. Namun peran Yesus sebagai Guru dalam injil Yohanes jarang dibicarakan. Padahal seperti yang kita tahu bahwa latarbelakang hidup Yohanes adalah orang Yahudi, di mana orang-orang Yahudi tidak asing lagi dengan pengajaran-pengajaran dari para ahli-ahli. Meskipun Yohanes bukanlah seorang ahli tetapi orang biasa yang hidup di pesisir pantai danau Genesaret. Dari keprihatinan tentang gelar Yesus sebagai Guru yang jarang dibahas, maka penulis ingin melihat peran Yesus sebagai Guru yang sejati yang patut kita teladani karena peran Yesus sebagai Guru lebih daripada seorang guru pada umumnya. Kekaguman dari seorang murid kepada gurunya tentu sudah tidak asing lagi dari kehidupan kita. Biasanya kita kagum melihat guru yang tahu akan segala sesuatu, yakni yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit, apalagi guru tersebut sudah terkenal di mana-mana. Berangkat dari kehidupan kita sehari-hari pun kita dapat meneladani Yesus sebagai Guru sejati. Yesus sebagai Guru melebihi guru pada umumnya karena ketika Yesus mengajar Ia tahu apa yang sedang murid pikirkan dan tahu apa yang sedang murid butuhkan. Oleh karena itu, dalam Injil Yohanes kita dapat melihat bahwa nama Yesus dipanggil sebagai Rabi atau Guru sudah tidak asing lagi. Rabi adalah kata Ibrani yang berarti guru atau guruku, yang sering digunakan untuk menyapa para ahli Taurat dan Farisi. __Yesus Sebagai Guru__ Guru adalah istilah panggilan yang tidak asing dalam kehidupan kita sehari-hari. Istilah guru pun tidak ada apabila tidak ada seorang murid. Oleh karena itu, istilah yang tidak asing ini menjadi pokok pembahasan yang menarik bagi kita karena guru yang akan kita bahas ini bukanlah guru biasa seperti guru pada umumnya. Namun Dia ini sangat istimewa karena gelarnya adalah Guru dan Tuhan (Yoh. 13:13). Kita meneladani Yesus melalui murid-Nya yaitu Rasul Yohanes. Yohanes adalah saudara Yakobus anak Zebedeus, teman Simon. Di mana perjumpaan Yohanes bersama dengan Yesus adalah ketika di pantai danau Genesaret, yakni ketika Yesus memanggil murid-Nya yang pertama (Luk. 5:10). Ketika Yohanes berjumpa dengan Yesus dan menyaksikan betapa besarnya mukjizat yang ditunjukkan oleh Yesus kepada murid-Nya yakni dengan memberikan jala mereka penuh dengan ikan setelah mereka seharian mencari ikan dan tidak kunjung memerolehnya. Dengan kehebatan itu, siapa yang tidak takjub dan tidak bersedia ikut dengan Yesus. Selain itu, Dia adalah seorang yang terkenal yang mengajar dan membuat mukjizat di mana-mana. Tentulah Yohanes langsung mengikuti-Nya dan meninggalkan segala kepunyaanya dan ingin bersama dengan Dia. Yesus sebagai Guru tentu berbeda dengan guru yang dimaksud sebagai ahli Taurat atau Farisi karena Yesus adalah Guru dan Tuhan. Selain itu, Yesus mengajar bukan kepada orang-orang tertentu tetapi kepada banyak orang dan metode pengajaran Yesus pun berbeda. Dalam Injil Yohanes kata rabi muncul beberapa kali (Yoh. 1:38,49; 3:2; 4;31; 6:25; 8:4; 9:2; 11:8). Panggilan Yesus sebagai rabi beberapa muncul dari para murid dan calon murid-murid-Nya. Yesus dipanggil dan diterima sebagai rabi bukan berasal dari murid-Nya saja, tetapi juga oleh Nikodemus “Rabi, kamu tahu, bahwa Engkau datang sebagai guru yang diutus Allah; sebab tidak ada seorang pun yang dapat mengadakan tanda-tanda yang Engkau adakan itu, jika Allah tidak menyertai-Nya” (Yoh. 3:2), para pemimpin Yahudi (Yoh. 8:4), dan banyak orang lainnya (Yoh. 6:25). Panggilan Rabi kepada Yesus tentu memiki perbedaan dengan rabi Yahudi karena Yesus sendiri adalah utusan Bapa. Ajaran yang disampaikan Yesus adalah berasal dari Bapa yang telah mengutus Dia (Yoh. 7:16). Oleh karena itu, pengajaran yang disampaikan oleh Yesus adalah pengajaran yang tulus bukan mencari hormat bagi diri-Nya sendiri, melainkan datang untuk menyatakan, menghormati, memuliakan, dan melaksanakan tugas Bapa yang harus Ia selesaikan lewat kematian dan kebangkitan-Nya. Keteladanan sebagai guru sejati tergambarkan dari Yesus yang secara gamblang mengajarakan kepada murid-Nya bagaimana menjadi guru yang tulus membasuh kaki murid-murid-Nya. Dengan demikian, hal yang harus kita teladani adalah sikap yang mau saling membasuh kaki seperti yang telah Yesus lakukan dan ajarkan kepada murid-Nya (Yoh. 13:13-14). Panggilan Rabi kepada diri Yesus adalah karena Dia mempunyai murid-murid yang mengikuti, mendengarkan pengajaran, dan teladan-Nya. Dalam pengajaran yang dilakukan Yesus memang memiliki kemiripan dengan para rabi Yahudi, seperti hubungan antara guru dan murid, metode pangajaran-Nya, Dia seringkali duduk di suatu tempat dan mengajar kepada banyak orang dan murid-murid-Nya (Yoh. 4:6; 6:3), dan memberikan perumpamaan (10:1-5). Meskipun memiliki kemiripan, namun Yesus bukanlah guru yang demikian, karena Yesus adalah Guru dan Tuhan, Anak yang diutus oleh Bapa untuk menjalankan pekerjaan Bapa, Dia adalah Mesias yang menyelamatkan, memberikan hidup kekal dan bersedia berkurban di kayu salib. Pengajaran Yesus pun tidak memandang siapa yang diajarnya dan tidak membedakan para pendengar-Nya. __Meneladani Yesus sebagai Guru dan Tuhan__ Peran Yesus sebagai guru dari injil Yohanes mengajak kita memperdalam kemuridan kita untuk melihat peran-peran Yesus yang luar biasa. Yesus sebagai Guru sejati tergambarkan dari otoritas pengajarannya yang sungguh bijaksana dan mengerti segala sesuatu, karena itulah dalam Injil Yohanes tertulis bahwa Yesus adalah Firman yang menjadi manusia “…diam di antara kita dan melihat kemulian-Nya yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Putra Tunggal Bapa”. Ia adalah “Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang, yang sedang datang ke dunia” (Purwa Hadiwardoyo, 2015:153). Penjelasan tentang Firman yang menjadi manusia adalah Tuhan Yesus sendiri, di mana Firman tersebut sudah ada bersama dengan Allah dari sejak awal mula (Yoh. 1:1-2), dan Firman tersebut berpartisipasi dalam karya penciptaan (Yoh. 1:3), serta Firman itu bagi dunia dan tujuan kedatangan-Nya (Eko Riyadi, 2011:57). Hal ini diperjelas lagi oleh peneliti analisis grammatikal dengan cara melakukan kajian terhadap kata dan frasa serta klausa di dalam teks untuk menemukan pengertian dan makna yang benar sesuai maksud penulis Kitab Suci dalam konteks aslinya. Menurut Yusuf L. M. Kata logos yang dimaksud sebagai Firman menurut Yohanes ini tidaklah logos yang berarti dalam Filsafat Hellenistic yang adalah ilmu atau pengetahuan. Namun lebih jauh lagi bahwa kata logos ini lebih dimaksud untuk diambil Yohanes dari Perjanjian Lama (Kej. 1:1) tentang karya penciptaan. Oleh karena itu, yang dimaksud Yohanes adalah “Dia ada dan sudah ada” sebelum Allah melakukan penciptaan atau keberadaan-Nya sudah ada sebelum penciptaan dan logos yang diartikan diartikan sebagai pribadi yang berdiri sendiri dan dalam keberadaanya itu logos sehakikat dengan Allah. Dengan demikian, logos bersama-sama dengan Allah dan Ia adalah Allah (Yusuf L. M., 2020:27-28). Kemudian sebagai “Terang”, Yesus sendirilah terang itu, gambaran terang adalah menerangi kegelapan dan membawa pada sukacita. Demikianlah bahwa Tuhan berperan sebagai Guru dan Tuhan, karena sebagai Guru ia tahu segala sesuatu dan sebagai Tuhan ia menyelamatkan. Dalam kekaguman Yohanes beserta teman-temannya yang melihat kewibawaan Yesus dan mukjizat yang dilakukan-Nya kepada mereka. Dari hal inilah kita mengakui bahwa Yesus memiliki peran sebagai Guru dan Tuhan. Oleh karena itu, dalam bulan Kitab Suci ini merupakan momen berharga bagi kita untuk mengenal Yesus lebih mendalam lagi. Kita sebagai anak-anak Allah yang telah menerima Sakramen Baptis memiliki ambil bagian dalam mewartakan kebenaran akan Tuhan. Setiap dari kita adalah calon pewarta, maka sebagai seorang murid-murid Yesus kita patut meneladani-Nya dan melakukan apa yang sudah Ia ajarakan kepada kita. Kita tentu pernah berpikir bahwa seorang guru adalah seorang yang sudah belajar banyak akan segala hal dan juga telah memiliki gelar yang tinggi. Namun pernahkan kita berpikir bagaimana Yesus bisa mengetahui banyak dan padahal Ia tidak pernah diceritakan belajar disuatu sekolah atau kepada guru tertentu. Meskipun demikian kemampun yang dimiliki Yesus jauh melebihi para ahli Taurat dan para Farisi. Dari apa yang telah Yesus ajarakan kepada banyak orang dan murid-murid-Nya telah menunjukan kepada kita bahwa kita adalah bagian dari rencana Tuhan. Oleh karena itu, dalam bulan Kitab Suci ini kita juga memiliki peran untuk mengajarkan apa yang Guru ajarkan kepada kita dan melakukan apa yang dilakukan Tuhan kepada kita. Dengan demikian, menjadi pewarta bukanlah soal kita ahli dalam bidang Kitab Suci saja atau karena jabatan-jabatan kita. Namun sebagai seorang kristiani kita sudah menjadi bagian untuk mengajarkan apa yang Tuhan ajarkan kepada kita. Berangkat dari meneladani Yusus sebagai guru melalu injil Yohanes, kita sadar bahwa dalah kehidupan kita sehari-hari pun kita merasakan ada peran dari seorang guru yang paling dekat dalam kehidupan kita yaitu orang tua. Di mana ia memiliki peran yang berharga dalam kehidupan kita sehingga kita bisa sampai sekarang ini. Gambaran guru dalam diri orang tua telah mengajarkan kepada kita bahwa tanpa gelar pun kita bisa asal kita dekat dengan Tuhan dan bertekun dalam mengajar. Dari pembahasan Yesus sebagai Guru dan Tuhan dalam Injil Yohanes kiranya menghatarkan kita untuk semakin memahami tema BKSN Keuskupan Surabaya tahun ini “Meneladani Yesus sebagai Guru dan Tuhan dalam Injil Markus. Selain itu, kita juga semakin disadarkan akan peran penting kita sebagai bagian dari pengajaran Yesus. Dengan begitu, bukan diri kita yang ingin kita wartakan, namun Tuhan sendirilah yang ingin kita wartakan, yang kita cari bukanlah kehormatan akan diri kita tetapi kemuliaan Tuhanlah yang ingi kita bagikan. __Kesimpulan__ Dalam Injil Yohanes nama Yesus sering dipanggil sebagai rabi oleh banyak orang dan para murid-Nya sendiri. Peran Yesus sebagai Guru pun melebihi para guru Yahudi karena kuasa yang buat-Nya adalah langsung berasal dari Allah. Yesus yang adalah Guru dan Tuhan memberikan pengajaran dengan bahasa manusia, terlebih dalam Injil Yohanes Dia mengajar dengan menggunakan dialog, penekanan, dan metafora yang terkadang sulit dipahami oleh murid-murid-Nya. Namun Yesus mengajar dengan tulus, Ia menyampaikan apa yang diinginkan oleh Allah. Maka dari itu Ia sama sekali tidak mencari hormat atas diri-Nya sehingga ia mengajar kepada semua orang tanpa memandang latar belakang hidup mereka. Dengan demikian, Yesus sebagai Guru dan Tuhan menurut Injil Yohanes ini mengajarkan kita banyak hal dan sekaligus membawa kita pada keselamatan karena firman itu sendiri adalah Tuhan yang menjadi manusia. __Daftar Pustaka__ Hadiwardoyo, Al. Purwa, Intisari Keempat Injil, Yogyakarta: Kanisius, 2015. Konferensi Waligeraja Indonesia, Alkitab Deuterokanonika, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2018. Riyadi, St. Eko, Yohanes “firman Menjadi Manusia", Yogyakarta: Kanisius, 2011. Yusuf, L.M., INTERPRETASI KATA LOGOS DAN THEOS DALAM YOHANES 1:1, dalam BONAFIDE: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristen, Volume 1/Nomor 1/Juni 2020.

Read More

HAKIKAT PERKAWINAN GEREJA KATOLIK (Tinjauan akan Kasus Pisah Ranjang dalam Perkawinan Gereja Katolik)

HAKIKAT PERKAWINAN GEREJA KATOLIK (Tinjauan akan Kasus Pisah Ranjang dalam Perkawinan Gereja Katolik) Oleh : Fransisca Putri Andita Mahasiswa STKIP Widya Yuwana Madiun Email: [email protected] ![PERKAWINAN TAK TERCERAIKAN TAPI BOLEH BERPISAH (?)](//images.ctfassets.net/a1uad830l19w/2RzAg61OfSsaM6JE9CZO5O/9449c4e6597622631e6df09163e13a20/images.png) ABSTRAK Hidup berkeluarga merupakan salah satu bentuk panggilan hidup dalam Gereja Katolik. Untuk menjadi keluarga Katolik, kedua mempelai hendaknya melangsungkan perkawinan secara Katolik di Gereja Katolik. Perkawinan Katolik menuntut kesatuan dari kedua mempelai baik secara badani maupun jiwa mereka, karena mereka tidak lagi dua melainkan satu dalam ikatan kudus. Perkawinan Katolik menjadi lambang dari cinta sejati Allah kepada manusia. Membina ikatan perkawinan Katolik tidaklah mudah, kadang oleh karena kelemahan manusia, manusia terjerumus dalam kesalahan atau dosa. Perkawinan Katolik pada dasarnya tidak menghendaki untuk tindakan perceraian, namun terkadang salah satu pasangan terkadang tidak tahan atau tidak kuat menjalankan kehidupan bersama dalam ikatan perkawinan yang suci karena sering menahan atau korban dari tanggungan dosa salah satu atau keduanya. Jika dalam keadaan demikian, apakah boleh pangsangan Katolik melakukan perpisahan dalam ikatan perkawinan Katolik? Kata kunci : Perkawinan, Gereja Katolik, Unitas, Indisolubilitas, Perpisahan Hidup Perkawinan. PENDAHULUAN Gereja Katolik memiliki beberapa pilihan bentuk panggilan hidup. Selain menjadi kaum selibat atau tertahbis, hidup berkeluarga juga merupakan sebuah panggilan. Untuk bisa menjadi keluarga Katolik, terlebih dahulu haruslah melangsungkan perkawinan di Gereja Katolik, baik sesama Katolik, beda Gereja, maupun beda agama. Perkawinan yang berlangsung dalam Gereja Katolik menuntut kesatuan utuh suami-istri. Kesatuan tersebut bersifat tak terceraikan dan kesetiaan dari suami istri seumur hidup. Namun dalam kenyataan ada beberapa kasus yang dijumpai bahwa beberapa pasutri yang melakukan perceraian secara sipil atau memilih untuk pisah ranjang dengan pasangannya. Ada banyak fakfor yang menyebabkan hal tersebut terjadi, mulai dari ekonomi, perselingkuhan, hingga kurangnya komunikasi yang kurang baik antara pasutri. Lalu bagaimana Gereja melihat permasalahan tersebut? Apakah dengan kasus tersebut, makna perkawinan dalam Gereja Katolik telah berubah dan tidak lagi berlaku bagi Gereja sendiri? Artikel ini dibuat untuk membahas tentang makna perkawinan dalam Gereja Katolik serta mengulas sedikit bagaimana Gereja melihat permasalahan yang terjadi dalam hidup berkeluarga, yang tidak jarang mengancam keberlangsungan dari perkawinan tersebut. ISI Bagaimana Perkawinan dalam Gereja Katolik? Pengertian perkawinan Katolik dapat ditemukan dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) Kan. 1055 § 1 yang berbunyi, “Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup...” Perjanjian tersebut bukanlah seperti sebuah kontrak kerja yang dibuat dalam perkawinan tersebut, melainkan janji untuk sehidup semati seperti janji yang pasangan ucapkan di depan altar. Janji tersebut kurang lebih berbunyi, “Di hadapan imam dan para saksi, saya … menyatakan dengan tulus ikhlas, bahwa … yang hadir di sini sejak saat ini menjadi istri/suami saya. Saya berjanji akan tetap setia kepadanya dalam untung dan malang, dan saya mau mencintai dan menghormatinya seumur hidup. Demikianlah janji saya demi Allah dan Injil Suci ini.” Seperti yang telah diungkapkan di atas, bahwa janji yang diucapkan oleh mempelai bukanlah sebuah kontrak kerja atau kontrak kawin, maka pernikahan yang berlangsung dengan mengadakan pernjanjian lainnya, contoh perjanjiannya seperti membuat perjanjian bahwa kelak harus memiliki anak berjumlah 10, maka pernikahan tersebut tidaklah sah. Mengapa menjadi tidak sah? Karena manusia tidak bisa mengetahui apa yang akan terjadi dimasa depan. Bagaimana jika pasangan tersebut hanya memiliki 5 anak atau bahkan tidak mempunyai anak sama sekali? Apakah mereka akan bercerai karena kenyataan tidak sesuai dengan janji yang telah mereka buat dimasa lampau, padahal Gereja Katolik sendiri menentang adanya perceraian? Maka pernikahan berdasarkan perjanjian yang menyangkut kehidupan masa depan tidaklah sah, dan hal ini diatur dalam KHK Kan. 1102 § 1. “Perkawinan tidak dapat dilangsungkan secara sah dengan syarat mengenai sesuatu yang akan datang.” Selain itu ada beberapa halangan yang menggagalkan perkawinan seperti impotensi, berada satu garis lurus dalam keturunan (contoh: kakek yang menikahi cucunya), berada di bawah tahbisan atau kaul kekal (imam dan kaum religius), serta halangan-halangan lainnya. Dalam Katekismus Gereja Katolik (KGK) 1604 dituliskan bahwa, “Tuhan yang telah menciptakan manusia karena cinta, juga memanggil dia (manusia) untuk mencinta, satu panggilan kodrati dan mendasar setiap manusia. Manusia telah diciptakan menurut citra Allah, yang sendirinya adalah cinta. Oleh karena Allah telah menciptakannya sebagai pria dan wanita, maka cinta di antara mereka menjadi gambar dari cinta yang tak tergoyangkan dan absolut, yang dengannya Allah mencintai manusia. Cinta ini di mata Pencipta adalah baik, bahkan sangat baik.” Perkawinan dalam Gereja Katolik dipandang sebagai lambang cinta Allah kepada manusia. Walau berkali-kali manusia berusaha menjauh dari Allah, melukai hati Allah, namun Allah tetap setia mencintai manusia. Hal ini digambarkan dalam kitab Hosea yang memperlihatkan Gomer (istri Hosea) berkali-kali berselingkuh, namun Hosea tetap mau menerima Gomer dan mencintainya. Maka perkawinan dalam Gereja Katolik, bukan sebuah kegiatan yang hanya memperlihatkan pasturi saja, melainkan menjadi lambang cinta Allah kepada manusia yang kekal. Oleh sebab itu, umat Katolik perlu mengetahui bahwa pernikahan dalam Gereja Katolik berciri unitas dan indisolubilitas. Apa itu unitas (kesatuan) dan indisolubilitas (tak terceraikan)? Istilah tersebut sebenarnya sudah tidak asing lagi bagi umat Katolik, bahkan sudah menjadi kekhasan Gereja Katolik, sehingga umat di luar Gereja Katolik pun mengetahui bahwa pernikahan dalam Gereja Katolik itu satu dan tak terceraikan. Istilah tersebut dapat kita temukan dalam Katekismus Gereja Katolik no 1644 yang berbunyi, “Cinta suami isteri dari kodratnya menuntut kesatuan dan sifat yang tidak terceraikan dari persekutan pribadi mereka, yang mencakup seluruh hidup mereka: "mereka bukan lagi dua, melainkan satu" (Mat 19:6)”, dalam Dokumen Familiaris Consortio art 19 "Mereka dipanggil untuk tetap bertumbuh dalam kesatuan mereka melalui kesetiaan dari hari ke hari terhadap janji Perkawinannya untuk saling menyerahkan diri seutuhnya", dan dalam YOUCAT no 263 “Dengan unitas dan indisolubilitas adalah dasar utama untuk menentang poligami, yang secara kristiani dipandang sebagai pelanggaran dasar terhadap kasih dan hak asasi manusia ... kesetiaan perkawinan memerlukan kesediaan untuk memasuki kesatuan seumur hidup, yang tidak mencakup hubungan di luar perkawinan ...” Sebagaimana kesatuan yang dimaksud dalam perkawinan, bukan hanya kesatuan secara badani saja, melainkan kesatuan yang mengantar pada pembentukan satu hati dan satu jiwa, kesatuan tersebut mengandung sifat tak terceraikan dan kesetiaan yang terjadi dalam hubungan suami-istri, yang pada akhirnya terjadi timbal-balik dan terbuka pada kesuburan (terbuka pada kelahiran anak). Suami secara rela memberikan dirinya bagi istrinya, dan istrinya secara rela memberikan dirinya untuk suaminya, dengan demikian suami-istri saling memberi diri dan menyadari bahwa mereka menjadi milik pasangannya dan rasa saling memiliki diantara pasutri semakin kuat. Untuk dapat menjaga kesetiaan antara suami-istri seumur hidup memang bukanlah hal yang mudah, oleh sebab itu, pasangan suami-istri hendaknya senantisa melibatkan Allah dalam hidup perkawinan. Sebagaimana perkawinan merupakan pralambang dari cinta Allah kepada manusia, maka setiap perkawinan Katolik tidak dapat dipisahkan dari Sang Sumber Cinta, yaitu Allah. Meskipun demikian, dalam kenyataan tidak jarang diketahui ada beberapa pasutri yang mengalami permasalahan dalam perkawinannya, bahkan beberapa kasus sampai harus dibawa kepada pengadilan negeri untuk bercerai secara sipil. Lalu apa saja permasalahan yang sering mengancam perkawinan? Dikutip dari YOUCAT 264, terdapat beberapa ancaman dalam perkawinan berasal dari realitas dosa, antara lain: iri hati, cinta kekuasaan, kecenderungan untuk bertengkar, nafsu, perselingkuhan, dan kecenderungan unruk merusak lainnya. Dengan masuknya dosa dalam perkawinan yang suci, bagi sebagian pasangan menjadi sebuah ‘neraka’ yang sulit untuk mereka jalani. Oleh sebab itu, Gereja telah mempertimbangkan situasi-situasi sulit tersebut. Dalam KGK 1649 dituliskan bahwa, “Tetapi ada situasi, di mana hidup bersama dalam keluarga, karena alasan-alasan yang sangat bervariasi, praktis tidak mungkin lagi. Dalam keadaan semacam ini Gereja mengizinkan, bahwa suami isteri secara badani berpisah dan tidak perlu lagi tinggal bersama. Tetapi Perkawinan dari suami isteri yang berpisah ini tetap sah di hadirat Allah; mereka tidak bebas untuk mengadakan Perkawinan baru. Dalam situasi yang berat ini perdamaian merupakan penyelesaian yang terbaik, jika mungkin. Jemaat Kristen harus membantu orang-orang ini, agar dapat menanggulangi situasi hidup mereka ini secara Kristen dan dalam kesetiaan kepada ikatan Perkawinannya yang tak terpisahkan.” Secara sederhana hal yang diizinkan oleh Gereja adalah melakukan pisah ranjang yang diatur dalam KHK Kan. 1151-1155, bukan bercerai, sehingga perkawinan mereka tetaplah sah dimata Gereja. Walau demikian, Gereja tetap mengharapkan bahwa pihak yang tidak bersalah memberikan pengampunan dan berkenan menerima kembali pihak yang bersalah untuk hidup bersama kembali. Lalu bagaimana dengan umat Katolik yang bercerai secara sipil? Gereja tetap tidak mengakui perceraian yang telah dilakukan di luar Gereja dalam hal ini adalah perceraian sipil. Walau bagaimana pun apa yang telah dipersatukan oleh Allah tidak dapat dipisahkan oleh apapun dan siapapun, kecuali oleh kematian. Sehingga, walau pasutri tersebut telah melakukan perceraian secara sipil dan dimata negara bukan lagi pasangan yang sah, bagi Gereja perceraian tersebut tidak dianggap dan tetap mengakui bahwa perkawinan mereka tetaplah sah. Apabila pasutri yang telah melakukan bercerai secara sipil dan menikah kembali dengan orang yang berbeda secara sipil, mereka berada dalam situasi yang bertentangan dengan hukum Allah, “Barangsiapa menceraikan isterinya lalu kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu. Dan jika si isteri menceraikan suaminya dan kawin dengan laki-laki lain, ia berbuat zinah” (Mrk 10:11-12). Dan akibat dari dosa tersebut adalah tidak diizinkannya menerima komuni kudus selama pernikahan yang kedua tetap berlangsung, dan jalan satu-satunya untuk bisa menerima komuni dengan rekonsiliasi dalam Sakramen Tobat ketika pelaku benar-benar menyesal dan bertobat. PEMBAHASAN Perkawinan dalam Gereja Katolik bukan hanya sebuah kewajiban atau suatu keharusan bagi umat Katolik, melainkan sebuah panggil untuk membangun Keluarga Katolik dengan spiritual Katolik. Dengan perkawinan yang dilangsungkan diantara pria dan wanita, menghadirkan Allah ditengah-tengah perkawinan tersebut. Perkawinan menjadi tanda atau lambang bahwa Allah sungguh-sungguh mencintai manusia. Oleh sebab itu, perkawinan dipandang sebagai suatu hal yang kudus, yang suci, dan membantu menjauhkan diri dari dosa, terlebih dosa nafsu birahi, haruslah mengikutisertakan Allah disetiap perjalanan berumah tangga. Bahkan dalam kitab Tobit, diceritakan bahwa Tobia dan Sara berdoa bersama meminta kepada Allah belas kasih-Nya dan perlindungan dari-Nya. Doa tersebut bebunyi demikian: “Terpujilah Engkau, ya Allah nenek moyang kami, dan terpujilah nama-Mu sepanjang sekalian abad. Hendaknya sekalian langit memuji Engkau dan juga segenap ciptaan-Mu untuk selama-lamanya. Engkaulah yang telah menjadikan Adam dan baginya telah Kaubuat Hawa isterinya sebagai pembantu serta penopang; dari mereka berdua lahirlah umat manusia seluruhnya. Engkau pun bersabda pula: Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja, mari Kita menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia. Bukan karena nafsu berahi sekarang kuambil saudariku ini, melainkan dengan hati benar. Sudilah kiranya mengasihani aku ini dan dia dan membuat kami menjadi tua bersama. Amin! Amin!” (Tob 8: 5-8). Oleh sebab itu, perlulah pasutri meneruskan kebiasaan baik tersebut, yaitu berdoa sebelum melakukan hubungan suami istri. Dengan berdoa, pasutri dapat melibatkan Allah dalam kehidupan perkawinan mereka. Namun tidak sedikit perkawinan yang terjerumus dalam kuasa dosa yang merusak kesucian dari pernikahan itu sendiri. Dalam realita kehidupan dosa yang paling sulit untuk mendapatkan ampun dari pasangan selama masa perkawinan adalah dosa akibat perselingkuhan atau perzinahan, sedangkan seperti yang diketahui bersama, bahwa perzinahan sendiri bertentangan dengan hukum Allah. Dengan adanya perselingkuhan dalam perkawinan tidak hanya merusak kesucian dari perkawinan, namun juga menimbulkan dosa-dosa lainnya seperti pertengkaran antara suami-istri, ketidakjujuran diantara mereka, serta menyakiti hati orang lain (pasangan dan bisa jadi menyakiti hati keluarganya). Oleh sebab itu, rekonsiliasi perlu dilakukan dalam kasus-kasus seperti ini. Namun, tidak bisa menutup mata bahwa kasus-kasus seperti ini membawa luka yang begitu dalam terhadap pasangan dan bahkan kepada anak-anak, jika sudah memiliki anak. Apabila pihak yang tidak bersalah merasa terlalu berat untuk bisa hidup bersama, ia boleh mengajukan pisah ranjang kepada otoritas setempat, namun Gereja tetap memiliki harapan agar pihak yang tidak bersalah mampu memberikan pengampunan terhadap pihak yang bersalah. Pasutri yang telah menikah dalam Gereja Katolik dan pernikahannya sah dimata Gereja akan tetap sah walaupun telah melakukan perceraian secara sipil (negara), dan pernikahan yang terjadi setelah perceraian secara sipil tidaklah sah dimata Gereja. Pernikahan dalam Gereja Katolik tidak dapat diceraikan kecuali oleh kematian (cerai mati). KESIMPULAN Perkawinan Katolik bukanlah sebuah kontrak kawin melainkan sebuah pernjanjian yang diucapkan oleh pasutri di depan Altar untuk sehidup semati dalam segala situasi. Perkawinan sendiri menjadi lambang cinta Allah kepada manusia yang tidak pernah ada habisnya. Perkawinan menuntut kesatuan antara suami dan istri, dengan membutuhkan sifat tak terceraikan dan kesetiaan dari pasutri yang pada akhirnya terbuka pada kesuburan pasutri. Namun, tidak jarang perkawinan terkontaminasi oleh dosa dan mengakibatkan perkawinan tersebut terancam keutuhannya, hingga menyebabkan pihak yang tidak bersalah meminta untuk hidup secara terpisah dengan pasangannya karena beratnya masalah yang dialami. Walau demikian, perkawinan mereka yang tetap sah tidak dapat diceraikan oleh apapun. Hal ini dikarenakan apa yang telah dipersatukan oleh Allah tidak dapat dipisahkan oleh manusia, kecuali oleh kematian. Daftar pustaka Konferensi Waligereja, Katekismus Gereja Katolik, Flores: Nusa Indah, 2014. Konferensi Waligeraja, Kitab Hukum Katolik, Jakarta: Obor, 2003. Konferensi Waligeraja Indonesia, Alkitab Deuterokanonika, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia, 2018. Konferensi Waligereja Indonesia, familiaris Consortio (Keluarga), Jakarta: Departemen Dokumentasi KWI, 2019 ________________, Youcat Indonesia Katekismus Populer. Jogjakarta: Kanisius, 2017. Suwito, Yohanes Benny, Kisah Perselingkuhan Gomer , 2019, URL: hidupkatolik.com/2019/11/11/41117/kisah-perselingkuhan-gomer.php, diakses pada 19 Agustus 2021 pukul 20.03 WIB.

Read More

PEWARTAAN : PANGGILAN AWAM

JUDUL PEWARTAAN: PANGGILAN AWAM oleh Galan Suswardana, S.S., M.Fil [RESUME KELAS TERBUKA "PEWARTAAN : PANGGILAN AWAM"](https://docs.google.com/document/d/1UMUXpFLL3yFk_gHGR-k2ze6FAgSFuFOg/edit?usp=sharing&ouid=117166527469326931765&rtpof=true&sd=true "PEWARTAAN : PANGGILAN AWAM") ![Kelas Terbuka "Pewataan : Panggilan Awam"](//images.ctfassets.net/a1uad830l19w/2LcPK95sIH7yxCCFifUw8k/bc320a8019b63d1f2751734618da0a1f/WhatsApp_Image_2021-08-12_at_14.20.49.jpeg) PENDAHULUAN Kamis, 19 Agustus 2021, Centrum Ivan Merz secara terbuka membuka kelas terbuka bersama Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono, Uskup Surabaya sebagai awal dari permulaan atau dimulainya program kursus Centrum Ivan Merz Keuskupan Surabaya. Acara ini dibagi dengan bebarapa sessi. Pada sessi pembukaan dipandu oleh Bapak Kiong. Beliau membuka acara dengan menyapa para peserta kelas terbuka sejumlah 220 perserta dan memimpin doa pembukaan. Setelah doa pembukaan, acara dipandu oleh Bapak Tenoyo sebagai moderator kelas terbuka. Beliau memandu jalannya acara bersama uskup dalam sessi presentasi dan tanya jawab. Selanjutnya presentasi kelas terbuka “Pewartaan: Panggilan Awam” dibawakan langsung oleh Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono. Acara ini juga kerjasasama dengan kelompok-kelompok pastoral kategorial keuskupan Surabaya seperti pastoral difabel, dll dengan harapan semakin banyak umat yang tergerak dan mengikuti kelas terbuka dan ikut menjadi bagian keluarga besar Centrum Ivan Merz Keuskupan Surabaya dengan mengikuti program kursus teologi Katolik di Centrum Ivan Merz Keuskupan Surabaya. ISI Pada awal presentasi Bapak Uskup dengan tegas menyatakan bahwa setiap orang yang sudah dibaptis adalah orang yang terpanggil “Ikutilah Aku” (Mat 4:19; Mrk 1:17). Panggilan Tuhan dijawab oleh manusia dengan kata amin. Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus (Rm 10:17). Bapak Uskup disini juga mensharingkan kehidupan beliau saat awal merasa terpanggil menjadi orang katolik dan keinginan untuk menjadi imam. Bapak Uskup melanjutkan presentasinya dengan menyatakan bahwa mereka yang dipanggil menjadi murid Tuhan akan menjalankan tugas perutusan dari Tuhan seperti tri tugas Kristus di dunia yakni menjadi nabi, imam, dan gembala. Mereka yang terpanggil harus berbuat, tidak diam saja menjadi penonton. Iman sejati adalah terwujud dalam suatu tindakan “Jika iman itu tidak disertai dengan perbuatan, maka iman itu pada hakikatnya adalah mati” (Yak 2:17). Jadi entah itu orang yang tertahbis atau awam biasa sama-sama mengemban tugas yang sama dengan pengahayatan cara hidup khas masing-masing. Kata awam kerap kali dikaitkan dengan konotasi negatif namun Gereja secara istimewa ingin menyadarkan bahwa kebenaran akan keberadaan awam harus diungkapkan. Panggilan kekudusan bukan milik para kaum religus semata namun awam biasa juga memiliki panggilan kekudusan dalam penghanyatan hidup duniawi sebagai ciri khas hidup awam. Mereka yang terpanggil harus memiliki Roh yang sama yakni Kristus dan oleh Roh tersebut akan menjadi penolong baginya “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku. Aku akan meminta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya, yaitu Roh Kebenaran” (Yoh14:15-16). Panggilan tersebut semakin nampak dalam penghayatan sakramen-sakramen yang diterimanya. Di dalam sakramen Baptis ditegaskan bahwa setiap orang kristiani menerima anugerah panggilan menjadi anak-anak Allah dan memiliki panggilan menjalankan Tri Tugas Gereja yakni Imam, Nabi, dan Gembala. Sebuah kekeliruan atau gagal paham sebagian umat kristen menyatakan bahwa hanya seorang Romo yang menjalankan Tri Tugas Kristus, hanya seorang Romo yang paham sekali kitab suci, hanya seorang Romo atau calon Romo yang boleh belajar teologi, hanya seorang Romo yang bisa ahli doa atau pendoa yang baik, hanya seorang Romo yang hanya boleh memberikan renungan. Di dalam sakramen Krisma, panggilan Tuhan sangat jelas dengan ditandai materai Roh Kudus. Maka konsekuensinya adalah Roh Kudus memberikan karunia-karunia penerimanya (tujuh karunia Roh Kudus) dan membuat orang yang menerimanya menjadi saksi Kristus yang berani dan tidak merasa malu karena salib (bdk. KGK 1303). Sebuah nasehat baik dari St. Ambrosius tentang sakramen Krisma “Karena itu, engkau harus ingat bahwa engkau telah menerima pemateraian oleh Roh; Roh Kebijaksaan dan pengetahuan, Roh nasehat dan kekuatan, Roh pengertian dan kesalehan, Roh takut akan Allah; dan peliharalah apa yang telah engkau terima. Allah Bapa telah memateraikan engkau, Kristus Tuhan telah menguatkan engkau dan memberikan jaminan Roh ke dalam hatimu. St. Aquinas juga menegaskan bahwa orang yang menerima penguatan memperoleh kuasa untuk mengakui imannya kepada Kristus secara publik dengan kata-katanya, seakan-akan sebagai jabatannya (quasi ex officio). Dalam sakramen Ekaristi sangat jelas bahwa seseorang awam dipanggil untuk mewartakan. Hidup dalam Ekaristi yang berbuah yaitu ketika seseorang Katolik “mewartakan Kirstus”. Dalam dokumen Eucharisticum Myterium, 6 menyatakan bahwa keikutsertaan dalam kehidupan ilahi dan kesatuan umat Allah membuat Gereja menjadi Gereja; keduanya ditandai dengan penuh arti dan keberhasilan secara mengagumkan oleh Ekaristi. Di dalamnya memuncak tindakan, yang olehnya Allah telah menguduskan dunia di dalam Kristus, demikan pula penghormatan, yang manusia sampaikan kepada Kristus dan bersama Dia kepada Bapa dalam Roh Kudus. Tubuh Kristus dipecah-pecah untuk banyak orang, maka setiap orang Katolik juga membagikan dirinya untuk semua orang karena menyatukan diri dalam Kristus. Setiap orang yang menerima Komuni Kudus dan menjadi satu dengan Tuhan maka menjalankan perutusan Tuhan Yesus, sebagai Sang Kepala “Barang siapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal dalam Aku dan Aku di dalam dia” (Yoh.6:56). Dalam sakramen Pernikahan, panggilan seorang awam tampak sangat jelas karena pernikahan Katolik berarti perutusan hidup di dunia dalam hidup keluarga. Hidup pernikahan tidaklah mudah dan memiliki konsekuensi besar. Hidup bukan dimiliki seorang namun berdua seumur hidup, meninggalkan ego untuk bersama selamanya. Hidup keluarga juga tidak boleh memiliki tujuan mencari keuntungan bagi seseorang saja. Keluarga adalah sel dasar masyarakat. Keluarga Katolik sejati telihat dalam kesetiaan, perwartaan, dan kesaksian akan Kristus. Setia pada ajaran Gereja, pewarta pada anak-anak dan sesama, saksi hidup di tengah masyarakat. Saat ini masih banyak kekeliruan atau gagal paham tentang pendidikan anak dalam keluarga Kristiani yakni tugas mendidik iman (doa-doa, pemahaman akan Iman Katolik) adalah tugas dari guru Agama, BIAK, para Romo atau kaum religus, maka orang tua tidak perlu belajar “teologi”. Selanjutnya, Mgr. menampilkan tokoh-tokoh awam Katolik yang menghayati iman secara baik dan benar karena merasa mereka menjadi pribadi yang dipanggil oleh Allah sebagai pewarta. Tokoh-tokoh tersebut menjadi inspirasi kita saat ini yang rindu akan kasih Allah, rindu akan iman keselamatan, dll dan menyadarkan diri kita sebagai umat awam yang terpanggil dan bertanggungjawab akan panggilan yang diberikan oleh Allah kepada kita sebagai awam dalam hidup duniawi. Dalam dokumen Apostolicam Actuositatem 2 menyatakan bahwa dalam Gereja terdapat keanekaan pelayanan, tetapi kesatuan perutusan. Para Rasul serta para pengganti mereka oleh Kristus diserahi tugas mengajar, menyucikan, dan memimpin atas nama dan kuasa-Nya. Sedangkan kaum awam ikut serta mengemban tugas imamat, kenabian, dan rajawi Kristus, menunaikan bagian mereka dalam perutusan segenap umat Allah dalam Gereja dan di dunia. Paus Paulus VI dalam dokumen Evangeli Nuntiandi menuliskan bahwa kaum awam dapat juga merasa bahwa diri mereka dipanggil, atau harus dipanggil, untuk bekerja dengan pastor-pastor mereka dalam melayani jemaat gerejani, demi untuk perkembangan dan hidup Gereja, dengan melaksanakan bermacam-macam pelayanan, sesuai dengan rahmat dan karisma-karisma yang telah diberikan oleh Tuhan kepada mereka. Lanjut bapak Uskup menjelaskan tentang bagaimana awam mewartakan hidup panggilannya, yakni melalui pewartaan sebagai pribadi dalam kehidupan sehari-hari, bisa menjadi katekis volunteer atau katekis profesional sesuai seruan dalam dokumen misi Ad Gentes, 17. Bapak Uskup kemudian memberikan contoh tokoh-tokoh awam katolik yang luar biasa dalam memberikan kesaksian iman yang dihayati dalam dunia. Tokoh pertama yakni Beato Ivan Merz yang menjadi nama pelindung dari kursus teologi Katolik awam Centrum Ivan Merz. Ivan Merz merupakan seorang pemuda yang pandai namun sangat taat pada kekatolikannya, ia tidak menyombongkan kemampuan dirinya, ia memandang semua yang diterimanya adalah anugerah Tuhan dan untuk mewartakan karya-Nya yang sangat Agung. Ivan Merz bukanlah seorang teolog namun seorang filosof. Ia mewartakan sabda Allah dengan keahliannya dalam ilmu filsafat. Ia menjadi seorang yang taat pada Paus dan Gereja. Ivan Merz memiliki sebuah motto hidup yang ia hanyati dalam hidupnya “Sacrifice Eucharist Apostolate” dan membuat sebuah gerakan anak muda Katolik yang dinamakan dengan “The Croatian Union of the Eagles” yang fokus pada gerakan promosi pembaharuan liturgi bagi kaum muda di Kroasia. Alasan mengapa ia sangat mencintai Gereja dan Paus karena di dalam Gereja, ia melihat wajah asli Sang penyelamat dan Yesus Tuhan dalam kesempurnaan-Nya, dan dalam pribadi Paus, ia melihat gambar Allah dan Tuhan. Ia meninggal damai dalam iman Katolik. Tokoh yang kedua adalah Beato Carlos Acutis, dia adalah seorang pemuda Italia. Ia adalah orang kudus di abad modern. Ia memiliki kedekatan pada Gereja. Ia juga sangat mencintai Ekaristi. Kecintaannya pada Ekaristi ia ungkapkan dalam kalimat berikut “Semakin sering kita menerima Ekaristi, kita akan semakin menjadi seperti Yesus, sehingga di bumi ini kita akan merasakan surga”. Ia memiliki keahlian dalam bidang teknologi khususnya dalam internet. Ia membuat banyak katolog tentang mujizat-mujizat ekaristi. Pewartaannya melalui bidangnya membuatnya semakin mencintai Kristus dan ingin mewartakan Kristus bagi banyak orang. Tokoh selanjutnya yang dipaparkan oleh bapak Uskup adalah seorang teolog awam yakni Scott Hahn. Ia seorang Katolik sejati yang diperolehnya dari pencarian kebenaran iman dari studi ajaran Gereja terutama Ekaristi. Berkat pencariannya, ia akhirnya kembali ke “Roma” dan menuliskannya dalam bukunya yang terkenal yaknni “Rome Sweet Home”. Ia pun menjadi seorang teolog yang profesional yang mengajar Kitab Suci, menjadi ketua lembaga St. Paul Center for Biblical Theology dan mengajar di Franciscan University of Steubenville. Selanjutnya bapak Uskup mengatakan bahwa menjadi pewarta dibutuhkan suatu pembinaan khusus atau formatio. Pewartaan yang baik selalu melalui formatio yang baik. Paus Paulus VI dalam dokumen Evangelii Nuntiandi menyatakan bahwa suatu persiapan serius diperlukan untuk semua pekerjaan evangelisasi. Persiapan semacam itu semakin lebih perlu lagi untuk mereka yang membaktikan diri mereka bagi pelayanan Sabda. Dijiwai oleh keyakinan, yang terus menerus diperdalam, akan kebenaran dan kekayaan Sabda Allah, maka mereka yang mempunyai perutusan menyampaikannya, harus memberikan perhatian yang sepenuh-penuhnya pada martabat, ketepatan, dan kesesuaian bahasa yang mereka pakai. Setiap orang tahu bahwa seni bicara zaman sekarang ini sangatlah penting. Bagaimana para pengkhotbah dan para katekis dapat mengabaikan hal ini? Bapak Uskup menjelaskan bahwa Keuskupan Surabaya dengan semangat kerasulannya yang tinggi, tidak jemu-jemu senantiasa mengembangkan pelayanan dalam bidang pewartaan. Hal tersebut adalah sebuah langkah keseriusan yang diambil Keuskupan, mengingat bahwa pewartaan dari awam sangat penting bagi perkembangan Gereja kedepannya. Paus Paulus VI menengaskan bahwa “Kami dengan sungguh-sungguh menginginkan bahwa dalam setiap Gereja setempat para Uskup hendaknya menaruh perhatian terhadap pendidikan yang selayaknya dari semua pelayan Sabda. Persiapan yang serius akan meningkatkan dalam diri mereka keyakinan yang tak dapat tergantikan dan juga kegairahan untuk mewartakan Yesus Kristus pada zaman sekarang ini”. Secara umum Keuskupan Surabaya, khususnya paroki-paroki didalamnya melakukan sebuah peminaan iman dengan cara katekese hari Minggu dan kateke umat. Keuskupan juga memiliki sebuah wadah khusus untuk pembinaan bagi calon pewarta yakni IMAVI, STKIP Widaya Yuwana Madiun, Centrum Ivan Merz. IMAVI adalah tempat pembelajaran bagi calon imam dan awam yang serius untuk memasuki teologi prefesional. STKIP Widya Yuwana adalah tempat pembelajaran bagi para guru agama dan calon katekis secara profesional. Sekolah ini memiliki asrama mahasiswa bagi mahasiswa tahun pertama. Centrum Ivan Merz adalah tempat pembelajaran teologi awam yang lebih mendalam dan dipersiapkan untuk membantu pewartaan di paroki masing-masing. Kursus Teologi Katolik Centrum Ivan Merz memiliki sebuah program-program studi dan penelitian seperti teologi dasar, pembelajaran skill dalam pastoral katekese dan kitab suci dan webinar-webinar. Dan yang terakhir bapak Uskup memberikan sebuah kesimpulan untuk menyelesaikan presentasinya sebelum ruang tanya-jawab. Bapak Uskup menegaskan bahwa melalui sakramen yang diterima, seorang awam hendaknya menjadi pewarta Sabda Allah kepada semua orang. Seorang awam memiliki keharusan untuk belajar akan imannya dengan baik karena awam bukanlah pasif mendengar, tetapi mendengarkan. Perwartaan tidak sekedar menyampaikan Injil, tetapi memiliki pemahaman yang baik sesuai dengan yang Gereja ajarkan. Pemahaman yang baik merupakan jalan bagi semua awam dan pembinaan/formasi menjadi jalan pembelajaran itu. Pembinaan bisa dilakukan kapan dan di mana saja kalau mau dan berniat dengan sungguh-sungguh, misalnya pembinaan yang dilakukan oleh para Romo Paroki dan bisa melalui lembaga belajar yang disediakan oleh Keuskupan atau tarekat. Dalam sesi tanya-jawab banyak diskusi mengenai kedudukan katekis volunteer dan katekis profesional, pembinaan lanjutan bagi para awam setelah menerima sakramen Krisma dan kedudukan imamat jabatan dengan imamat umum. Bapa Uskup pada umumnya ingin menegaskan bahwa tenaga pastoral sangat dibutuhkan di dunia sekarang, melalui awamlah pewartaan semakin luas dan dikenal karena para tenaga imam sangat terbatas, maka dibutuhkan tenaga-tenaga lain seperti katekis volunteer dan katekis profesional, kenapa dibutuhkan katekis volunteer karena tidak setiap paroki memiliki tenanga katekis profesional. Para awam juga berhak mendapat pembinaan lanjutan dan bersifat wajib karena itu adalah kebutuhan. Para imam dan awam hendaknya bekerjasama dengan baik. Mereka tidak berbeda dalam martabat, mereka sama-sama menjalankan tugas perutusan Kristus berdasarkan cara hidup mereka masing-masing. Para awam memiliki tugas perutusan yang berat karena mewartakan dalam cara duniawi yang lebih kompleks permasalahannya, misalnya hidup perkawinan, perokonomian dll. Hidup pernikahan kalau dipikir menyatukan dua pribadi itu tidak mudah, lebih enak kalau memang hidup dengan kemauannya sendiri namun dalam pernikahan Katolik tidak bisa seperti itu, banyak hal juga yang diatur dalam pernikahan Katolik supaya ciri hidup Kristus tetap tumbuh dalam cara hidup perkawinan yang dekat dengan urusan duniawi dan itulah perwataannya. Keluarga haruslah menjadi tempat pembinaan iman awal. PENUTUP Acara ditutup dengan menarik benang merah dari proses kelas terbuka oleh moderator. Moderator ingin menegaskan apa yang sudah dikatakan oleh bapak Uskup bahwa semua orang beriman dalam Kristus merukan orang-orang yang terpanggil dan wajib menjalankan tugas perutusan sebagai murid-murid Tuhan. Para awam juga wajib terus melakukan pembinaan-pembinaan iman supaya bertumbuh dalam kasih Tuhan dan melakukan pewartaan yang baik dan benar dalam kehidupan Gereja dan masyarakat. Moderator juga mengingatkan pentingnya melakukan pembinaan-pembinaan seperti yang dikatakan oleh Bapak Uskup. Di keuskupan Surabaya ada beberapa tempat pembinaan/formasi yang bisa dijadikan rujukan umat untuk menjadi tenaga katekis volunteer dan katekis profesional. Bapak Uskup juga menghimbau bagi para umat hendaknya umat bisa bekerjasama dengan para imam dalam pewartaan kabar keselamatan dan silahkan umat mengikuti pembinaan/formasi yang telah disediakan keuskupan seperti IMAVI, STKIP Widya Yuwana, dan Centrum Ivan Merz, jangan menjadi umat yang pasif, jadilah umat yang proaktif. Keselamatan dan Gereja masa depan adalah tanggungjawab bersama tidak tanggungjawab kaum tertabhis atau religius semata. Mari bersama-sama menyebarluaskan kabar keselamatan Allah, agar semakin banyak orang merasakan keselamatan dan suka cita sebagai umat kristiani.

Read More

SAKRAMEN TAHBISAN : IDENTITAS KEPEMIMPINAN SEORANG IMAM

SAKRAMEN TAHBISAN : IDENTITAS KEPEMPINAN SEORANG IMAM (Galan Suswardana, S.S., M.Fil) [email protected] ![TAHBISAN IMAM](//images.ctfassets.net/a1uad830l19w/3Rg7NCjOMyPKxNPXf1iNdX/e912e0101cd84179ebcc46db2fdcec70/Yakobis-Vinsensian-1.jpg) [SAKRAMEN TAHBISAN : IDENTITAS KEPEMIMPINAN SEORANG IMAM](https://drive.google.com/file/d/1OjsuDpQsvc7yfJmf0Sk2Dic42oTWygRm/view?usp=sharing "SAKRAMEN TAHBISAN") Pengantar Identitas yang melekat pada diri seorang imam dalam Gereja Katolik salah satunya adalah sebagai pemimpin. Identitas pemimpin yang melekat pada diri seorang imam tidak dapat dilepaskan dari dua hal pokok yang menjadi tanggungjawab kepemimpinannya dalam Gereja. Pertama, seorang imam adalah pemimpin dalam peribadatan Gereja. Dalam hal ini, identitas itu berkaitan dengan tugas pelayanan misteri-misteri Allah atau yang lebih dikenal dengan pelayan Sakramen dan menjadi pewarta Sabda Allah. Kedua, seorang imam adalah pemimpin dalam struktur organisasi Gereja. Dalam hal ini, identitas itu berkaitan dengan tugas kepemimpinannya dalam penggembalaan umat yang dipercayakan kepadanya. Singkat kata, seorang imam dalam kepemimpinannya mengemban jabatan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain yakni, menjadi seorang pelayan sekaligus menjadi seorang pemimpin. Hal tersebut serupa dengan jabatan tugas Kristus di dunia “Sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Matius 20:28). Kepemimpinan para imam diperoleh dari rahmat Allah melalui sakramen imamat atau tahbisan. Melalui sakramen Imamat, para imam ditahbiskan menjadi citra Kristus, Imam Agung Abadi untuk mewartakan Injil serta mengembalakan umat beriman dan untuk merayakan ibadat ilahi. Dengan kata lain, lewat sakramen imamat yang diterimanya, para imam secara langsung telah ditempatkan dalam jabatan suci untuk mengajar, menyucikan, dan memimpin dalam wewenang Kristus. Lebih lanjut, seluruh hidup imam bertitik tolak dari Kristus sendiri, artinya seorang imam harus mempunyai relasi yang mendasar dengan Kristus, Kepala dan Gembala. Selanjutnya, dalam hal ini, seorang imam secara istimewa ambil bagian dan berwibawa ikut serta dalam misi Kristus di dunia. Ikatan relasi seorang imam tertahbis dengan Kristus tidak bisa dipisahkan dengan relasi-Nya dengan Gereja. Relasi yang terjalin antara imam dengan Gereja adalah relasi yang terpadu secara batiniah dan saling meresapi. Hal ini seperti yang dicontohkan oleh Kristus sendiri. Oleh karena itu, seorang imam berperan untuk menghadirkan Kristus secara sakramental sebagai dasar dan sumber inspirasi bagi hubungannya dengan Gereja. Hidup seorang imam harus senantiasa menggali lebih dalam pengalaman bersama Allah. Pengalaman akan Allah hanya bisa dirasakan persis oleh orang yang memiliki-Nya seperti halnya relasi Kristus dengan Allah sendiri. Para imam ditahbiskan atau menerima sakramen imamat untuk memberikan diri sepenuhnya pada pelayanan. Tugas pelayanan yang diembannya diharapkan agar lebih merasakan pengalaman akan Allah. Hidup para imam selanjutnya menghantar para imam menjadi otentik sejauh para imam mencerminkan Kristus, sejauh para imam menjadi alter Kristus. Singkat kata bahwa seorang imam tidak bisa berdiri sendiri dan bahwa seluruh hidupnya harus bertitik tolak pada Kristus. Berangkat dari titik tolak di atas, tulisan berikut akan membahas tentang identitas kepemimpinan seorang imam dalam tahbisan tahbisan. Imam Gereja Katolik Ada beberapa sebutan imam dalam Gereja Katolik berdasarkan bahasa dan budaya setempat. Di dalam Gereja Katolik Indonesia sendiri ada beberapa sebutan bagi imam Katolik yang sering digunakan yakni “romo”, “pater”, “pastor”, dan “bapa”. Meskipun nama sebutan imam Katolik yang digunakan berbeda-beda namun memiliki kesatuan makna yang sama satu sama lain. Kesatuan makna nama seorang imam berasal dari karakter kewibawaan dan keluhuran yang melekat pada fungi imamatnya yakni menjadi fungsionaris dalam umat beriman demi nama Yesus Kristus akan Allah dan Bapa yang menjalankan fungsinya demi kepentingan seluruh Gereja. Seorang imam katolik diandaikan sebagai sosok yang mengetahui banyak hal teristimewa pengetahuan tentang Kitab Suci dan Teologi. Imam juga adalah sosok yang dihormati. Yang lebih dalam lagi, pastor atau gembala adalah alter christus, man of God dan pakar rohani dalam pikiran umat. Menjadi imam adalah sebuah panggilan dari Allah sendiri. Mereka yang menerima sakramen tahbisan menerima Roh Kudus yang membuat dirinya serupa dengan Kristus, menjadi alat Kristus dalam melayani Gereja-Nya. Dengan sakramen tahbisan yang didapatkan seseorang tertahbis mendapat kuasa agar bertindak sebagai wakil Kristus, Kepala, dalam ketiga fungsi-Nya sebagai Imam, Nabi, dan Raja. (KGK, no.1581). Sakramen Tahbisan memberi tanda rohani yang tidak terhapus dan tidak dapat diulangi atau dikembalikan (KGK, no. 1582). Kristus sendiri yang mendatangkan keselamatan kepada umat manusia dengan pelayanan seorang tertahbis. Ketidaklayakan seorang tertahbis tidak dapat menghalangi-halangi Kristus untuk bertindak. Mereka yang menerima sakramen Tahbisan juga mendapat karunia Roh Kudus, di mana dirinya menyerupai Kristus, Imam, Guru, dan Gembala, yang harus dia layani (KGK, no.1585). Tampak bahwa pelayanan sebagai kaum tertahbis berdasarkan panggilan Allah untuk merasul atau melayani. Orang-orang tertahbis adalah wakil Kristus dan bertindak atas nama-Nya. Dalam arti menjadi sarana yang merujuk kepada Kristus. Difinisi Imam Hampir seluruh pemimpin Agama disebut imam. Kata imam dalam Gereja Katolik merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu priest. Namun, kata priest tersebut berasal dari Bahasa Yunani presuteros yang mempunyai arti penatua. Dalam tradisi Yudaisme, para penatua adalah orang-orang awam dan tidak dianggap sebagai imam. Atas hal tersebut, kata priest dalam bahasa Inggris lebih tepat dengan padanan kata koben yang berasal dari Bahasa Ibrani atau heirus dalam Bahasa Yunani atau sacerdos dalam Bahasa Latin. Lebih lanjut, definisi imam diuraikan secara lebih mendalam dalam kalimat pembuka Anjuran Apostolik Pastores Dabo Vobis, Paus Yohanes Paulus II mengutip Kitab Nabi Yeremia; “Gembala-gembala akan Kuangkat bagimu sesuai dengan hati-Ku” (Yer 3:15). Kutipan tersebut hendak menyatakan bahwa Allah menjanjikan kepada umat-Nya, bahwa Ia tidak akan meninggalkan mereka tanpa gembal-gembala untuk menghimpun dan membimbing mereka. Janji Allah tersebut terpenuhi dengan mengutus Yesus Kristus, Sang Gembala yang baik (Yoh. 10:11) dan Gembala agung bagi domba-domba-Nya (Ibr 13:20). Tugas penggembalan Kristus tidak berhenti ketika Yesus naik ke surga atau peralihan-Nya dari dunia ke surga, namun tetap berlangsung hingga sekarang lewat para pengganti-Nya di dunia. Seperti Kritus yang dikuduskan dan diutus oleh Bapa-Nya, begitu pula Kristus mengutus para rasul dan para pengganti mereka, yaitu para Uskup, dalam kekudusan dan perutusan-Nya. Dalam perkembangannya, tugas pelayanan para uskup, pada tingkat terbawah kepadanya, diserahkan kepada para imam. Secara Hierarki para imam memang wewenangnya di bawah kuasa para uskup. Para imam tidak menerima puncak imamat seperti para uskup. Namun mereka tetap sama-sama imam seperti uskup dan berdasarkan sakramen tahbisan, mereka ditahbiskan menurut citra Kristus, Imam Agung abadi untuk mewartakan Injil, menggembalakan umat beriman dan merayakan ibadat ilahi, sebagai imam sejati Perjanjian Baru. Atas dasar inilah setelah ditahbiskan, para imam menjadi rekan kerja para uskup untuk melaksanakan misi kerasulan yang mereka terima dari Kristus. Para imam menerima berkat pengurapan Roh Kudus yang ditandai dengan materai istimewa untuk menjadi serupa dengan Kristus sang Imam, sehingga mereka mampu bertindak dalam pribadi Kristus Kepala. Seorang imam pada dasarnya adalah umat beriman, namun berkat rahmat sakramen imamat yang menjadikannya istimewa sebagai manusia pilihan Allah. Dengan kata lain, imam dalam Gereja Katolik adalah umat beriman yang tetap mempunyai imamat umum, namun dipilih dan ikut serta dalam imamat ministerial, yaitu menerima anugerah untuk berpartisipasi secara tak terhapuskan dalam satu dan satu-satunya imamat Kristus. Melalui imamat ministerial tersebut, para imam menampilkan secara nyata karya aktual Kristus Kepala dan memberi kesaksian akan kenyataan, bahwa Kristus tidak memisahkan Diri dari Gereja. Dalam hal ini, Kristus tetap menghidupkannya melalui imamatnya yang lestari selamanya. Oleh karena itu, Gereja memandang imamat ministerial sebagai kurnia yang dianugerahkan kepada sejumlah umat beriman untuk melanjutkan karya misi penyelamatan Yesus sendiri. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa para imam adalah seorang perantara Allah dengan manusia. Identitas Imam Para imam mempunyai identitas yang khas dan dapat membedakan dari yang lain. Kesadaran akan identitas tersebut akan membantu mereka untuk hidup dan menjalankan panggilannya yang tercermin dalam cara pikir, sikap, tutur kata, dan perilaku. Identitas Imamat dalam tulisan-tulisan Yohanes Paulus II menegaskan kembali bahwa imam bertindak in persona Christi (dalam pribadi Yesus), ciri khas identitas imam yang menentukan. Para imam adalah bagian dari Hierarki Gereja. Sebagai anggota Hierarki para imam diangkat dalam jabatan suci mengajar, menyucikan, dan memimpin mereka dengan menggembalakan Keluarga Allah dengan kekuasaan Kristus sedemikian, sehingga perintah baru cinta kasih dipenuhi oleh semua. Fungsi kepemimpinan Hierarki seorang imam telah ditegaskan oleh konsili yang artinya kepemimpinan imam merupakan tugas pengabdian, yang di dalam Kitab Suci dibahasakan dengan sangat indah yakni “diakonia” atau pelayan. Para imam diutus oleh Bapa dengan perantaraan Yesus Kristus, secara khas imam diserupakan dengan-Nya sebagai Kepala dan Gembala umat-Nya, untuk hidup dan berkarya atas kekuatan Roh Kudus, dalam pengabdian kepada Gereja dan demi penyelamatan dunia. Identitas imam harus dilihat dalam konteks kehendak ilahi yang mau menyelamatkan, karena ia adalah buah tindakan sakramental Roh Kudus, partisipasi dalam karya penyelamatan Kristus dan karena ia seutuhnya diarahkan kepada pelayanan tindakan dalam Gereja, dalam perkembangannya dalam peradaban sejarah. Imamat Yesus Kristus Tugas-tugas imamat Perjanjian Baru berakar pada pribadi Yesus Kristus sendiri. Dalam Dia, tugas-tugas itu telah diwahyukan secara sempurna dan definitif. Tugas-tugas hakiki imamat Kristus diwahyukan dalam peranan-Nya sebagai perantara yang mempunyai dua gerakan, yaitu ke bawah dan ke atas. Sebagai Pengantara, Yesus mewahyukan kebenaran, kasih, pengampunan penuh belaskasih dan hidup Allah sendiri, serta Misi penebusan-Nya. Demikian pula, sebagai Perantara, Yesus sekaligus menyatakan ketaatan, penghormatan, dan pemberian diri-Nya kepada Allah. Imamat Yesus ditandai oleh pemberian diri dan korban diri-Nya yang menebus dan sekaligus menyatakan menyatakan kasih Bapa kepada manusia. Gambaran Gembala yang baik yang mencuci kaki para murid-Nya adalah model pelayanan ini, pelayanan tanpa pamprih. Inilah tolak ukur dari pelayanan imamat. Imamat Ministerial Konsili Vatikan II menegaskan bahwa imamat ministerial dan imamat umum saling terarah satu sama lain. Keduanya berbeda dalam hal hakikat bukan hanya dalam gradasi. Imamat ministerial perlu dimengerti dalam kaitan dengan dalam perbedaan dari imamat umum. Lumen Gentium 10 menunjukkan bukan hanya relasi antara keduanya, tetapi juga perbedaan antara kedua cara imamat itu, yaitu bahwa imamat ministerial, dengan kuasa suci yang diterimanya, membentuk dan memerintah umat imami. Dengan bertindak atas nama pribadi Kristus, imamat ministerial mempersembahkan Korban Ekaristi, dan mempersembahkan kepada Allah atas nama seluruh umat. Lumen Gentium 10 mengindikasikan bahwa imamat ministerial meliputi juga dimensi pelayanan kepemimpinan. Perbedaan ini bukan semata-mata dalam arti yuridis tetapi sakramental. Perbedaan itu bukan soal besar-kecil, hak atau kuasa, dominasi atau taat, tetapi pada tatanan simbol efektif dan signifikan. Kehadiran dan pelayanan imamat ministerial menandakan secara efektif bahwa Kristus adalah tuan/Tuhan atas Gereja. Perbedaan di atas juga menunjukkan bahwa kepemimpinan imamat ministerial ditujukan kepada perwujudan dan pelaksanaan imamat umum. Artinya, adanya imamat ministerial dimaksudkan untuk mengaktualkan imamat Gereja sesuai tritugas Kristus. Pengertian imamat yang demikian bukanlah pengertian yang statis tetapi pengertian dinamis dan utuh sekaligus memperjelas dasar bahwa kepemimpinan imamat ministerial bukanlah sekedar fungsi melainkan bagian dari hakikat imamat ministerial. Melalui penumpangan tangan, imam menerima anugerah Roh dan bisa melanjutkan “pelayanan rekonsiliasi, pengembalaan domba Allah dan pengajaran” dari Kristus. Alasan keberadaan imamat ministerial ialah “demi mewartakan Injil kepada dunia dan untuk membangun Gereja dalam nama dan pribadi Yesus Kristus Kepala dan Gembala”. In Persona Christi Capitis et Pastoris Berdasarkan pelayanan yang dipercayakan kepada para imam yang adalah kudus, penyerupaan sakramental dengan Yesus Kristus mempunyai alasan lebih lanjut baginya untuk kekudusan. Hal ini tidak berarti bahwa kekudusan imam subyektif lebih besar daripada kekudusan kaum beriman berdasarkan baptis. Kekudusan selalu sama, meskipun ungkapannya berbeda-beda tetapi imam karena alasan baru harus mengejarnya: agar ia menanggapi rahmat baru yang membentuknya, untuk mementaskan pribadi Kristus, kepala dan Gembala, dan dengan demikian menjadi sarana hidup dalam karya keselamatan. Pengertian tradisional bahwa Imam adalah alter Christus dan bertindak in persona Christi, menimbulkan masalah karena dengan pengertian imamat umum, ungkapan yang sama bisa diterapkan untuk setiap orang yang dibaptis. Kaum awam juga harus menjadi alter Christus dan harus bertindak in persona Christi. Konsep-konsep tersebut tidak memadai untuk menunjukkan perbedaan antara imam dan kaum awam. Dengan mengikuti jejak Vatikan II, PDV merinci bahwa imam bertindak in persona Christi dan menambahkan kata-kata Kepala dan Gembala yang artinya bahwa imam bertindak demi pewartaan Injil kepada dunia dan untuk membangun Gereja dalam nama pribadi Kristus Kepada dan Gembala. Hal tersebut ingin menegaskan bahwa perpedaan antara imamat umum dan imamat jabatan yang terletak pada partisipasinya. Seorang imam memiliki mempunyai partisipasi yang terletak pada keserupaan imamat misterial sebagai Kepala dan Gembala. Seorang imam digambarkan sebagai wakil Kristus Sang Mempelai Gereja. Dalam kualitas sebagai Kepala, Gembala, dan mempelai inilah imamat misterial harus dipahami. Perbedaan itu bukan hanya perbedaan fungsional, karena para imam yang tertahbis juga menerima “ikatan ontologis khusus yang menyatukan mereka dengan imamat Kristus Sang Imam Agung dan Gembala yang baik” berdasarkan sakramen tahbisan. Tahbisan itu ditunjukan untuk misi, sehingga hakekat ontologis imamat yang ditekankan oleh PDV tidak boleh dipahami melulu sebagai realitas statis, melainkan dinamis. Fungsi kepemimpinan imam bukanlah sekedar fungsional, tetapi being dari para imam disatukan dengan Kristus. Dalam arti inilah imam merupakan penjabaran, kelanjutan, dan tanda kelihatan dari kehadiran Kristus yang menyelamatkan. Dalam memenuhi jabatannya haruslah ia yang adalah “sacerdos in aeternum” berusaha dalam segala hal mengikuti teladan Tuhan, dengan menyatukan diri dengan-Nya “dalam menemukan Kehendak Bapa dan penyerahan diri kepada kawanan” . Atas dasar kasih akan kehendak ilahi dan kasih kegembalaan ini dibangunlah kesatuan hidup artinya kesatuan batin antara hidup rohani dan aktivitas imam. Perkembangan kesatuan ini berdasarkan kasih pastoral, yang dipupuk dengan hidup doa yang mendalam, sehingga imam secara tidak terpisahkan menjadi saksi kasih dan ahli hidup rohani. Tugas Imam Setiap imam dalam Gereja Katolik telah memperoleh martabat luhur sebagai imam, nabi, dan raja yang diterimanya melalui sakramen baptis. Selanjutnya melalui tahbisan suci yang diterima para imam, mereka memperoleh anugerah berupa panggilan untuk mengajar, menguduskan, dan mengembalakan umat. Atas hal tersebut dapat diketahui bahwa sekian banyak tugas imam dapat dikelompokan ke dalam tiga tugas pokok tersebut, yaitu mengajar, menguduskan, dan mengembalakan umat. Para imam pertama-tama wajib mewartakan Injil Allah kepada semua orang. Itulah perintah Yesus kepada para murid sebelum Yesus tarangkat ke Surga (bdk. Mrk 16:20). Tugas pewartaan Sabda Allah diperlukan karena umat Allah pertama-tama dihimpun oleh Sabda Allah yang hidup dan hal ini diharapkan dari mulut para imam. Dalam melaksanakan tugas ini, para imam diharapkan mempunyai cara hidup yang baik di tengah-tengah bangsa-bangsa dan mengajak mereka memuliakan Allah. Selain itu, dapat juga melalui pewartaan yang terbuka dalam menyiarkan misteri Kristus kepada kaum tak beriman, memberikan katekese Kristiani, menguraikan ajaran Gereja, dan mengkaji masalah-persoalan aktual dalam terang Kristus. Dengan kata lain, para imam mengajarkan Sabda Allah dalam situasi hidup yang konkrit dan tidak pernah jemu untuk mengundang semua orang bertobat dan menuju kepada kesucian. Dalam melaksanakan tugas pewartaan dan pengajaran tersebut, para imam hendaknya dapat bertindak sebagai saksi dan misionaris Kristus. Peran sebagai saksi Kristus didasarkan pada kesaksian iman yang lahir dari kedalaman cinta dan kejujuran hati dalam hidup menggereja bersama umat, sehingga para imam dapat menjadi sahabat bagi sesama. Maka dari itu, para imam diharapkan dapat memberikan kesaksian iman perihal kehadiran Allah yang dapat meneguhkan umat. Sedangkan peran sebagai misionaris Kristus didasarkan perutusan Kristus untuk memberitakan Injil kepada semua makluk. Hal ini bertujuan untuk membangun persaudaraan sejati antar manusia karena Allah menciptakan manusia bukan untuk hidup sendiri, tetapi membentuk persekutuan sosial, yang tercermin dalam kepekaan, kepedulian, keterlibatan atas masalah-masalah hidup menggereja dan penafsiran yang tepat atas tanda-tanda zaman. Tugas para imam berikutnya adalah menjadi pelayan sakramen-sakramen dan Ekaristi. Dalam hal ini, para imam diikutsertakan dalam karya pengudusan. Para imam hendaknya mengajar umat untuk mempersembahkan Korban Ilahi kepada Allah dalam Korban Ekaristi dan bersama dengan-Nya mengorbankan hidup mereka sendiri. Selain itu, para imam juga mengajar umat untuk berperan serta dalam perayaan liturgi suci, sehingga umat dapat mencapai doa dengan tulus. Dalam hal ini, para imam menuntun umat beriman untuk menghayati semangat doa yang semakin sempurna sesuai dengan kebutuhan mereka dan mengajak mereka untuk melaksanakan tugas-kewajibannya, serta mengundang umat beriman untuk menghayati nasehat Injili sesuai dengan cara mereka sendiri. Para imam juga hendaknya mengajar umat beriman untuk bernyanyi bagi Tuhan sambil senantiasa mengucap syukur kepada Allah atas segala sesuatu demi nama Tuhan Yesus Kristus. Dalam melaksanakan tugas pengudusan ini, para imam akan bertindak sebagai pribadi sakramental dan pendoa. Selaku pribadi yang bersifat sakramental, para imam menjadi tanda yang menghadirkan Kristus dalam dan melalui tindakan-tindakan kenabiannya. Panggilan untuk menghayati hidup yang berciri sakramental ini mengungkapkan misteri keagungan Tuhan Yesus di tengah-tengah dunia. Oleh karena itu, setiap imam tidak hanya merayakan sakramen-sakramen gerejawi, tetapi juga berkat rahmat Allah menjadikan cara hidupnya sebagai sakramen bagi sesama. Sedangkan sebagai seorang pendoa, para imam diingatkan akan tugas mereka sebagai pendoa bagi segenap ciptaan. Dalam hal ini, doa bagi para imam adalah senjata andalan dalam pelbagai peristiwa. Tanpa doa yang tekun dan tulus, maka hidup rohani para imam akan dangkal dan kandas. Oleh karena itu, para imam hendaknya mewujudkan semangat mereka melalui kata dan tindakan yang selaras dengan doa-doanya. Tugas pokok yang ketiga para imam adalah memimpin umat Allah. Para imam sesuai dengan tingkat partisipasi mereka dalam kewibawaan menunaikan tugas Kristus sebagai Kepala dan Gembala untuk menghimpun keluarga Allah sebagai rukun persaudaraan yang sejati dan sejiwa dan melalui Kritus menghantarnya dalam Roh menghadap Allah Bapa. Untuk itu para imam harus berelasi dengan semua orang dengan penuh perikemanusiaan dan bertindak menurut tuntunan-tuntunan ajaran dan hidup Kristen dengan mengajar dan memperingatkan umat beriman sebagai putera-puteri yang terkasih. Untuk melaksanakan tugas kepemimpinan ini, para imam hendaknya bertindak sebagai gembala dan pemersatu. Tugas sebagai gembala dilaksanakan seturut teladan Yesus sendiri yang adalah Sang Gembala yang baik (Yoh. 10:10). Tugas penggembalaan ini terkait dengan kuasa yang digunakan untuk menyalurkan kekuatan ilahi demi kesejahteraan rohani dan merangkul semua domba dalam kawanan yang sama. Dalam hal ini, para imam mengemban tugas pelayanan pastoral yang merangkul semua golongan tanpa pilih-pilih dan tanpa batas, secara khusus mereka yang miskin, dipinggirkan, dan diskriminasi, serta mampu mengembangkan pewartaan Injil di mana pun dan kapan pun. Selanjutnya, terkait dengan kepemimpinan, para imam bertindak sebagai pemersatu. Dalam hal ini, para imam dipanggil untuk mempersatukan umat dengan menghidupi kharismanya sebagai imam, memberi teladan keutamaan, mengajar, dan meneguhkan semua orang beriman. Dengan kata lain, para imam juga bertindak sebagai pembina iman, pengayom, penunjuk arah kebijaksanaan, dan jalan yang mengantar umat sampai kepada tujuan, yaitu persatuan dengan Kristus, kepala. Kualitas dan Nilai Kepemimpinan Imam Kehidupan dan karya imam yang meliputi pribadinya yang dikuduskan dan pelayanannya adalah realitas secara teologis tak terpisahkan dan bertujuan dalam perutusan Gereja yakni keselamatan abadi semua orang. Dalam misteri Gereja diwahyukan sebagai Tubuh Mistik Kristus dan Umat Allah, yang dalam perjalanan melalui sejarah dan ditetapkan menjadi keselamatan universal , orang mendapatkan dan menemukan dasar mendalam imamat jabatan. “Komunitas gerejawi amat membutuhkan jabatan imam agar di dalamnya hadir Kristus Kepala dan Gembala. Dewasa ini, tugas imam sebagai pemimpin adalah menghadirkan Kristus bukan saja di dalam Gereja tetapi berada di garis depan Gereja, menghadirkan Kristus di tengah masyarakat. Berdasarkan dekrit Presbyterium Ordinis No. 10 menegaskan bahwa imamat ministerial bukan hanya terarah pada Gereja lokal melainkan Gereja universal. Maka kepemimpinan imam dan pelayanan seorang imam menjadi tanpa batas karena pengaruh zaman yang modern. Oleh karena itu, usaha pembinaan para imam hendaknya mengacu pada bagaimana imam-imam zaman ini menjadi pemersatu Gereja dan berperan utama dalam membangun masyarakat yang lebih baik (Bonum Publicum) serta bagaimana seorang imam menjadi pemimpin di era modern ini. Menurut Prof Bernadette Setiadi, ada tiga kualitas kempemimpinan imam di zaman modern ini adalah yang pertama, kualitas integritas yang erat kaitannya dengan sifat jujur dan dapat dipercaya. Kualitas yang kedua adalah inspiratif dalam pengertian mampu menjadi motivator, suporti dan memperhatikan serta memberi kepercayaan dan kesempatan kepada rekan kerja. Kualitas yang ketiga adalah visioner yang diuraikan sebagai melihat ke depan, memiliki visi dan mampu menterjemahkannya dalam strategi. Bila dilihat dari ketiga kualitas ini, intergritas menyangkut kualitas yang melekat pada diri seorang pemimpin, sedangkan inspiratif dan visioner lebih berkaitan dengan bagaimana seorang pemimpin akan membawa orang yang dipimpinnya mencapai tujuan yang dikehendaki yang secara teologis tujuannya adalah keselamatan abadi. Satu hal yang tidak terlihat secara kasat mata dalam berbagai hasil penelitian yaitu nilai (values). Secara umum nilai dapat diartikan sebagai kecenderungan seseorang untuk lebih menginginkan suatu keadaan dibandingkan kedaan lain sehingga mempengaruhi pilihan-pilihannya dalam bertindak. Dengan perkataan lain nilai bersifat umum dan karenanya tidak terkait dengan suatu perilaku yang spesifik tetapi menjadi pedoman umum dalam bertindak. Dalam pengertian ini nilai-nilai yang dimiliki seseorang pemimpin akan menjadi pegangannya dalam bertindak dalam berbagai situasi. Ada setidaknya dua nilai besar yang harus dihidupi seorang pemimpin dalam zaman modern yakni menghargai martabat manusia dan mendahulukan kepentingan yang lebih besar. Bagi para imam dalam ranah kepemimpinan selain memiliki dua nilai menghargai martabat manusia dan mendahulukan kepentingan yang lebih besar perlu juga ditambahkan nilai-nilai sikap terbuka, mau berubah, kemauan terus belajar dengan sikap rendah hati, reflektif (berkaitan dengan kemampuan mengkontekskan Injil dengan tanda-tanda zaman), tekun dalam berdoa dan mengolah kerohanian, hidup sederhana, mementingkan Gereja dalam semangat pelayanan tanpa batas. Nilai-nilai kepemimpinan imam tersebut terangkum dalam penghayatan akan nilai cintakasih pastoral. Kesimpulan Para imam adalah sekelompok orang tertahbis yang wewenangnya di bawah kuasa para uskup. Para imam tidak menerima puncak imamat seperti para uskup. Namun mereka tetap sama-sama imam seperti uskup dan berdasarkan sakramen tahbisan, mereka ditahbiskan menurut citra Kristus, Imam Agung abadi untuk mewartakan Injil, menggembalakan umat beriman dan merayakan ibadat ilahi, sebagai imam sejati Perjanjian Baru. Atas dasar tersebut, para imam memiliki identitas yang ditinjau dari tiga konsep imamat yaitu, imamat Yesus Kristus, imamat ministerial, dan In Persona Christi Capitis et Pastoris yang menjadi ciri khas mereka dalam menjalankan tugas perutusan di dunia. Dalam perkembangan selanjutnya, kepemimpinan para imam tidak dapat dipisahkan dari kedua bidang pelayanan yang dilakukannya, yaitu pemimpin peribadatan dan penggembalaan umat beriman. Oleh karena itu, imam dalam Gereja Katolik tidak bisa dilepaskan dari Gereja, sebagai persekutuan umat beriman. Dalam hal ini. Kristus menjadi Kepala Gereja dan Gereja menjadi tubuh-Nya. Atas dasar inilah, maka para imam yang oleh sakramen tahbisan menghadirkan Kristus Sang Kepala dan Gembala yang baik untuk menjalankan peran kepemimpinan di dalam Gereja dan masyarakat.

Read More

RESUME WEBINAR "SOLIDARITAS GEREJA BAGI SESAMA DI MASA PANDEMI COVID-19"

JUDUL : SOLIDARITAS GEREJA BAGI SESAMA DI MASA PANDEMI COVID-19 (Aksi Konkret Gereja bagi Sesama yang Terdampak Covid-19) Galan Suswardana, S.S., M.Fil ![SOLIDARITAS GEREJA BAGI SESAMA DI MASA PENDEMI COVID-19](//images.ctfassets.net/a1uad830l19w/70aNEiTIdwvNgURnaVrqVc/11164baca03a04b66604590f7d91e5d7/Screenshot__281_.png) [RESUME WEBINAR BULAN JULI 2021](https://drive.google.com/file/d/1ctCCqJfvn0qB9cy40ZX8N3rGvBy6OLbO/view?usp=sharing "RESUME WEBINAR") PENDAHULUAN Tepat pada hari Rabu, 28 Juli 2021, pukul 18.00-20.00 WIB, Centrum Ivan Merz Keuskupan Surabaya mengadakan seminar daring atau lebih dikenal dengan webinar yang bertema “SOLIDARITAS GEREJA BAGI SESAMA DI MASA PANDEMI COVID-19 (Aksi Konkret Gereja Bagi Sesama yang Terdampak Covid-19)”. Acara webinar kali ini dimoderatori oleh RD. Agustinus Tri Budi Utomo atau lebih dikenal dengan @modik atau Rm. Didik dan dua narasumber yang terlibat langsung dalam pelayanan masyarakat terutam mereka yang tertimpa musibah Covid-19 yakni RP. Ign. Priyambodo, CM (seorang imam dari Kongregasi Misi dan sekretaris CMCARE) dan Ibu Birgitta (aktivis Gereja dan Ketua PSE paroki Kristus Raja Keuskupan Surabaya). Acara webinar malam hari ini bekerjasama dengan kelompok pastoral difabel keuskupan Surabaya yang akan dikoordinatori oleh saudari Melani, S.Pd dan dibantu oleh saudari Marceline. Acara dibuka dan dipandu oleh MC yakni pak Kiong, setelah itu dibuka dengan doa pembuka oleh salah satu perserta webinar. Setalah doa, acara webinar dilanjutkan dengan pengantar singkat oleh moderator untuk membacakan dan memperkenalkan curriculum vitae dari kedua narasumber dan rundown acara webinar. Setelah pengantar dan pengarahan singkat dari moderator, dilanjutkan dengan presentasi dari kedua narasumber yang sudah siap mempersentasikan pokok pembicaraan tema webinar. Berikut ringkasan dari pembahasan webinar “SOLIDARITAS GEREJA BAGI SESAMA DI MASA PANDEMI COVID-19 (Aksi Konkret Gereja Bagi Sesama yang Terdampak Covid-19)”. ISI Pada sesi pertama presentasi webinar dibawakan oleh RP. Ign. Priyambodo, CM. Pertama-tama, saat beliau akan memulai presentasinya, beliau mengajak segenap peserta webinar untuk hening sejenak, bersyukur, dan berterima kasih atas anugerah Tuhan dan kerja keras dari semua elemen masyarakat terutama tenaga kesehatan yang berjuang mati-matian untuk menolong sesame khususnya mereka yang terkena Covid-19, bahkan tidak sedikit tenaga medis mengorbankan nyawanya demi keselamatan banyak orang. Romo juga mengajak untuk berdoa bagi mereka yang sudah meninggal akibat Covid-19. Setelah itu Romo Priyambodo mengawali presentasinya dengan memaparkan keadaan realitas saat ini berdasarkan data-data yang diperoleh dari berbagai sumber. Data yang dimaksud di sini adalah data angka manusia yang terpapar Covid-19 di dunia. Setelah memaparkan data, beliau mengajak segenap peserta untuk merenungkan ungkapan hati Paus Fransiskus melihat keadaan saat ini dalam katekesenya yang bertemakan memulihkan dunia. Inti dari pesan Paus adalah umat kristiani harus setia mengarahkan perhatiannya pada Yesus Kristus sumber keselamatan, “kita dipanggil untuk meneruskan karya-Nya, karya penyembuhan dan penyelamatan” (KGK 1421). Setalah itu beliau memamparkan ketentuan-ketentuan pastoral di masa pandemic sebagai wujud nyata bahwa gereja mendukung dan membantu pemerintah untuk mengatasi Covid-19 yang merajerala dan guna untuk keselamatan bagi semua orang. Beliua juga menampilkan berberapa kegiatan konkret yang dilakukan oleh umat dan Kongregasi Misi semenjak awal pandemic tahun 2020 dan akhirnya melahirkan CMCARE berdasarkan keputusan rapat domus CM dan perhatian Romo Provinsial, sebagai wadah para Romo dan umat yang tergerak membantu sesama yang terdampak Covid-19. CMCARE beranggotakan para Imam CM dan para awam beriman yang tergerak hatinya untuk saudara yang tertimpa musibah Covid-19 dan bekerjasama dengan sukarelawan dan tenaga kesehatan. CMCARE tidak hanya mencangkau di wilayah Surabaya namun seluruh wilayah yang membutuhkan termasuk di luar pulau Jawa. Setelah mempresentasikan beberapa aksi kongkret yang dilakukan CMCARE, Rm. Priyambodo mengajak peserta untuk memaknai segala usaha yang dilakukan demi saudara yang terdampak COvid-19 dengan sebuah kalimat “Solidaritas Ilahi dan Solidaritas Insani”. Artinya Yesus menjadi manusia, Solidaritas Allah: Allah menjadi manusia, Hati Yesus yang tergerak oleh belas kasihan, maka kita melanjutkan dan membagi solidaritas, hati yang tergerak oleh belas kasihan kepada orang yang terdampak, berpartisipasi dalam kebaikan dan solidaritas Ilahi, St. Vinsensius mengajarkan “Tuhan Yesus, jika Engkau ada di sini apa yang akan Engkau lakukan, perbuat?” Iman yang begitu indah, bukan saya, bukan anda, cukan CMCARE. Semua karena iman yang kita miliki karena Kristus.. ini semua kita jalankan karena kita mengenal Kristus, mengimani Kristus. Pada sesi kedua presentasi dibawakan oleh Ibu Birgitta. Pertama-tama beliau mempersentasikan mengenai profil paroki dan profil PSE paroki Kristus Raja Keuskupan Surabaya. Ibu Birgitta dengan penuh semangat memaparkan bidang-bidang pelayanan yang dikerjakan PSE selama pandemi Covid-19, yakni bantuan sembako, layanan memandikan jenazah, warung murah yang menjual makanan, membantu menjualkan produk-produk kreatif. Setelah itu ibu Birgitta masuk lebih dalam presentasinya dengan menampilkan data umat yang terkena Covid-19. Beliau mempaparkan bahwa sudah ada 259 yang terkena dan sudah 22 meninggal. Beliau sangat merasa prihatin dan sangat sedih berharap masa pandemi ini cepat berlalu, banyak orang menderita dan bahkan pandemic Covid juga telah mengorbankan salah satu gembala yang dicintai dan baik yakni Rm. Dodik, CM. Tergerak oleh situasi seperti ini, ibu Birgitta dan teman-temannya tidak jatuh dalam suasana keputusaan namun bergerak cepat membentuk sebuah tim tanggap cepat Covid dengan menyediakan kebutuhan umat yang terdampat Covid-19 antara lain beliau dan tim menyediakan tenaga medis, obat dan vitamin, fogging, bantuan pangan, kebutuhan rohani, layanan kematian, plasma konvalesen, dan ambulance. Setelah mempaparkan dengan berapi-api karena beliau merasa masih terbawa suasana bagaimana situasi yang mencekam ini, menyusahkan banyak orang sehingga banyak orang yang menderita, beliau pada intinya ingin menegaskan bahwa PSE akan selalu hadir dalam umat yang berkesusahan, maka PSE dalam situasi pandemi memiliki peran yang sangat penting yaitu membuat sistem pelayanan yang terorganisir, peka terhadap kebutuhan umat, subsidiaritas, aksi nyata cepat. Ibu Birgitta menutup presentasinya dengan sebuah kutipan dari St. Vinsensius yakni “Jika Allah menunjukkan sesuatu kebutuhan, dan kita mau menanggapi dengan serius, Ia akan menunjukkan jalan dan orang, yang siap melaksanakan”. PENUTUP Acara webinar ini ditutup dengan sebuah kesimpulan dari moderator. Pada intinya moderator menyampaikan bahwa tidak cukup hanya pemikiran apapun itu lakukan demi sesama yang sedang menderita. Moderator juga mengutip dari perkataan dan semangat dari Santo Vinsensius (bapa kaum miskin) yang menjadi spiritualitas para imam Kongregasi Misi dan umat di paroki-paroki yang digembalakan oleh imam CM “Totum Opus Nostrum In Operatione Consistit” yang artinya seluruh tugas perutusan kita terletak pada PERBUATAN. Kita kerap kali sibuk dengan ide-ide atau gagasan-gagasan dan ketakutan-ketakutan sebelum bertindak. Kita kerap kali terbelenggu pada ego kita dalam melakukan sesuatu untuk orang lain. Sikap inilah yang menghalangi kita untuk berbuat solider kepada sesame. Maka kita bisa solider sekaligus subsidier jika kita tidak takut ketularan, tidak bingung untuk bertindak secara cepat dan efesien (kita butuh tindakan cepat bukan sekedar ide-ide cemerlang yang tidak ada hasil konkretnya), tidak apatis, dan tidak sibuk dengan institusi. Terakhir moderator mengajak kita untuk merenungkan sebuah ungkapan dalam Gaudium et Spes 1 “KEGEMBIRAAN DAN HARAPAN, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutarna kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga. Tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi, yang tak bergema di hati mereka. Sebab persekutuan mereka terdiri dari orang-orang, yang dipersatukan dalam Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam peziarahan mereka menuju Kerajaan Bapa, dan telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang. Maka persekutuan mereka itu mengalami dirinya sungguh erat berhubungan dengan umat manusia serta sejarahnya”. Acara selanjutnya dikembalikan kepada MC untuk menutup rangkaian acara. Sebelum ditutup MC mengumumkan beberapa hal yang penting berikatan Centum Ivan Merz yakni pendaftaran kelas baru Centrum Ivan Merz. Silahkan bagi para peserta yang tertarik, segera daftarkan diri di https://bit.ly/daftarktk. Mc juga menyampaikan banyak terima kasih kepada para narasumber dan moderator yang bersedia mengisi acara webinar pada hari Rabu, 28 Juli 2021 yang bertema “SOLIDARITAS GEREJA BAGI SESAMA DI MASA PANDEMI COVID-19 (Aksi Konkret Gereja Bagi Sesama yang Terdampak Covid-19)”. Terima kasih juga diucapakan bagi para peserta yang mengikuti webinar, para panitia, dan semua orang yang terlibat. MC juga tidak lupa menyampaikan permintaan maaf bila mana ada kesalahan yang telah dibuat. Setelah itu, dilanjutkan dengan doa penutup oleh salah satu peserta dan acara selesai, terima kasih, Berkah Dalem.

Read More

PROFIL BEATO IVAN MERZ

![Beato Ivan Merz](//images.ctfassets.net/a1uad830l19w/4c4EIeDETiiDgJiTIz18yD/0a4c705b3baac24d89cc22f80251043c/merz-002.jpg) Beato Ivan Merz merupakan seorang akademisi awam Kroasia , dibeatifikasi oleh Paus Yohanes Paulus II dalam sebuah kunjungan di Banja Luka , Bosnia dan Herzegovina pada 22 Juni 2003. Ivan Merz mempromosikan gerakan liturgi di Kroasia dan bersama-sama dengan Ivo Protulipac menciptakan sebuah gerakan untuk kaum muda, “Persatuan Elang Kroasia” atau “Hrvatski orlovski savez”, yang diilhami oleh “Perang Salib Ekaristi” yang ia temui di Prancis. Ia lahir di Banja Luka, Bosnia, pada 16 Desember 1896 dan dibaptis pada 2 Februari 1897. Ia dibesarkan dalam lingkungan liberal. Dia bersekolah di Grammar School di kota kelahirannya.Setelah menyelesaikan pendidikan pada tahun 1914 di Grammar School, ia bergabung dalam Akademi Militer selama tiga bulan dan memulai studi lanjutnya di Vienna. Ia sangat merasakan situasi Perang di Front Italia dan perang tersebut membuat studinya terganggu. Selain studinya terganggu, ia melihat kengerian yang luar biasa dari perang tersebut. Setelah perang usai, ia melanjutkan dan menyelesaikan studinya di Vienna. Pada tahun 1922, ia tiba di Zagreb dan diangkat menjadi professor bahasa dan sastra Prancis. Ia menerima gelar Ph.D di Falkutas Filsafat Universitas Zagreb. Permenungan, belajar, dan pengalaman buruk yang dialami selama perang yakni pertumpahan darah yang luar biasa menjadi titik balik hidupnya untuk sadar dan mengakui kebenaran iman Kristen serta memberikan kontribusi besar untuknya, pertumbuhan rohani dll. Ia pun terdorong menyerahkan dirinya secara penuh kepada Kristus, bahkan mengambil sumpah selibat sebagai awam dan berjuang sekuat tenaga menuju tujuan kesempurnaan Kristen. Ia memusatkan dan mencurahkan seluruh waktu luangnya untuk belajar filsafat-teologi dan memperdalam pengetahuan tentang dokumen-dokumen Magisterium Gereja. Ia secara khusus terkenal karena minatnya pendidikan kaum muda dan Organisasi Katolik di Kroasia yang disebut dengan “Association of Croatian Eagles” atau persatuan Elang Kroasia dengan slogan “Pengorbanan-Ekaristi-Kerasulan”. Ia melakukan upaya khusus untuk menjaga kegiatan organisasi Katolik di luar jalan politik. Sebagai intelektual katolik, ia memiliki kemampuan yang membuat banyak kaum muda dan dewasa antusias untuk mengikuti Kristus dan Gereja, baik dalam kata-kata dan tulisan. Ivan merupakan salah satu tokoh kebangkitan liturgi diantara orang-orang Kroasia. Secara sistematis, ia memperkenalkan aksi Katolik Paus Pius XI ke Kroasia. Pikiran utama dari Ivan adalah cinta dan dedikasinya kepada Gereja Roma dan Paus. Ia mencoba menanamkan cinta yang sama (kepada Gereja dan Paus) dan dedikasi kepada semua orang yang berhubungan dengannya. Meskipun ia merupakan seorang awam muda namun ia dianggap sebagai pilar Gereja di Kroasia. Dengan tindakan kerasulan dan tulisan-tulisannya di Catholic Press, ia telah meninggalkan warisan yang berharga yakni inspirasi spiritual untuk generasi mendatang. Ivan bermaksud untuk mendirikan sebuah lembaga sekuler di mana komunitas awam akan bekerja untuk Kristus dan Gereja. Baginya tujuan dari lembaga atau komunitas yang dibentuknya adalah untuk membentuk sekelompok rasul garis depan yang tujuannya adalah kekudusan. Setelah kematiannya, niatnya sebagian diwujudkan oleh Marica Stankovic, sang pendiri dari Komunitas Kolaborator Kristus Raja. Ivan adalah seorang pria dengan iman yang hidup, doa yang tulus, penyangkalan diri, menyambut komuni setiap hari, adorasi, setia akan penderitaan, terpelajar; dia dekat dengan orang-orang yang memberikan kasih Kristen kepada semua orang. Ivan meninggal di Zagreb, pada 10 Mei 1928, pada usia 32 tahun, dengan reputasi sebagai orang suci. Pada tahun 1958, proses dimulai pada tingkat keuskupan untuk menyatakan dia "Diberkati". Pada 16 Desember 1977 jenazahnya dipindahkan dari pemakaman dan dimakamkan di kapel Hati Kudus di Zagreb. Kapel tersebut adalah gereja tempat ia menerima komuni Kudus, berdoa, dan menghabiskan waktu dalam adorasi selama 6 tahun akhir hidupnya. Dalam sebuah percakapan di Roma, di Kongregasi untuk Pekerjaan Orang-Orang Suci, setelahnya tentang beatifikasi Ivan, Mgr. Franjo Komarica diberitahu bahwa Ivan Merz adalah orang suci yang lebih besar daripada banyak orang secara resmi yang dipromosikan menjadi orang kudus dan buku harian Ivan Merz menjadi sumber yang sangat kaya di mana gerakan-gerakan yang ia lakukan berlandaskan kasih karunia Allah dan kerja sama manusia. Pada 22 Juni 2003 saat pelaksanaan beatifikasi di Banja Luka. Paus Yohanes Paulus II datang ke Banja Luka dan mengangkat Ivan Merz sebagai Beato Gereja Katolik. Dalam pidatonya, Paus mengatakan, antara lain: “Hari ini saya memberi Anda Ivan Merz sebagai saksi Kristus dan pelindung, tetapi pada saat yang sama waktu pendamping dalam perjalanan dalam sejarah Anda... Mulai hari ini, dia akan menjadi model untuk pemuda, contoh bagi orang percaya sekuler… Nama Ivan Merz berarti untuk keseluruhangenerasi muda Katolik program hidup dan kerja. Itu harus sama hari ini!” Paus Benediktus XVI dalam pengakuannya sendiri, sangat menghargai kepribadian unik Ivan. Sudah di tahun kedua kepausannya, pada tahun 2007, ia mendaftar Beato Ivan Merz di antara 18 santo besar yang “memberikan kesaksian hidup yang otentik berkat penghormatan Ekaristi Kudus” (Seruan Apostolik Sacramentum caritatis, No. 94). Dengan tindakan ini, sekali lagi menegaskan kesucian Ivan yang dia miliki meningkat secara progresif, dengan langkah tegas, seperti yang bisa kita telusuri melalui Diary-nya. Rahmat Tuhan telah memimpin Beato Ivan Merz, memperbaharui dan memperkuat imannya dan membangun hidupnya di atas nilai-nilai ilahi. Beberapa Pemikiran Ivan Merz 1. Ilmu dan pengalaman selama situasi perang menghantarkan dirinya kepada keyakinan penuh tentang kebenaran iman katolik dan mempersembahkan seluruh hidupnya kepada Kristus. 2. Baginya Katolik adalah satu-satunya iman yang benar. 3. Iman Katolik adalah panggilan hidupnya. 4. Kehidupan spiritual adalah permenungan tentang Tuhan dan firman-Nya, serta partisipasi dalam kehidupan batin Tuhan. 5. Alasan fundamental Ivan Merz sangat mencintai Gereja adalah karena di dalam Gereja, ia melihat gambaran yang jelas tentang Juruselamat yang terkasih dan Yesus Kristus dalam segela kesempurnaan-Nya, dan di dalam Bapa Suci, ia melihat gambar manusia dari Tuhan. 6. Liturgi katolik adalah refleksi seni dari kehidupan internal Allah. 7. Rosario menjadi sahabat terbaik selain Ekaristi Kudus yang dicintainya sampai mati. 8. Dalam surat wasiatnya menyatakan bahwa meninggal dalam kedamaian iman Katolik. Hidupku adalah Kristus dan kematian adalah keberuntungan. Saya mengharapkan belas kasihan Tuhan dan tidak terbagi, kepemilikan yang lengkap dan kekal dari Hati Kudus Yesus yang Mahakudus. Bahagia dalam damai dan sukacita. Jiwaku menuju tujuan kesempurnaan Kristen.

Read More

Resume Webinar “APAKAH VAKSIN COVID-19 DAPAT MENJAMIN KEBERLANGSUNGAN HIDUP MANUSIA SAAT INI? (Fakta-Fakta Menarik tentang Vaksin Covid-19).

[Resume webinar https://drive.google.com/file/d/1SIwDAhyb5SuRDPc3h6_xQPHazTSX4jM-/view?usp=sharing](https://drive.google.com/file/d/1SIwDAhyb5SuRDPc3h6_xQPHazTSX4jM-/view?usp=sharing "APAKAH VAKSIN COVID-19 DAPAT MENJAMIN KEBERLANGSUNGAN HIDUP MANUSIA SAAT INI? (Fakta-Fakta Menarik tentang Vaksin Covid-19)") JUDUL : APAKAH VAKSIN COVID-19 DAPAT MENJAMIN KEBERLANGSUNGAN HIDUP MANUSIA SAAT INI? (Fakta-Fakta Menarik tentang Vaksin Covid-19) Galan Suswardana, S.S., M.Fil PENDAHULUAN Pada 30 Juni 2021 pukul 18.00 – 20.00 WIB, Centrum Ivan Merz Keuskupan Surabaya mengadakan sebuah webinar yang berjudul “APAKAH VAKSIN COVID-19 DAPAT MENJAMIN KEBERLANGSUNGAN HIDUP MANUSIA SAAT INI? (Fakta-Fakta Menarik tentang Vaksin Covid-19). Acara webinar ini dimoderatori oleh saudara Galan Suswardana, S.S., M.Fil dan mendatangkan dua narasumber yang ahli dalam bidangnya yakni dr. Sugiharto Tanto, MARS (direktur Rumah Sakit RKZ Surabaya) dan Dr. C.B. Kusmaryanto, SCJ (seorang iman katolik dari Serikat Hati Kudus Yesus sekaligus pakar bioetika di Indonesia dan dosen diberbagai Universitas). Acara dibuka dengan doa pembukaan dan pengantar singkat dari moderator dan membacakan rundwond acara webinar, setelah itu lanjut presentasi dari kedua narasumber yang di tengah-tengahnya ada sesi pertanyaan. Acara webinar ini juga bekerjasama dengan berbagai kelompok yakni yang pertama, KomSos Keuskupan Surabaya yang membantu dalam penyiaran secara live streaming. Tim KomSos Keuskupan Surabaya dikoordinatori oleh saudara Louis. Yang kedua, kelompok pastoral difabel Keuskupan Surabaya yang membantu dalam juru bicara isyarat bagi peserta istimewa. Tim pastoral difabel Keuskupan Surabaya dikoordinatori oleh saudari Melani, S.Pd. Ada sejumlah 218 peserta yang ikut dalam webinar kali ini dari berbagai macam daerah, keuskupan, negara, dan agama. Berikut ringakasan dari pembahasan webinar “APAKAH VAKSIN COVID-19 DAPAT MENJAMIN KEBERLANGSUNGAN HIDUP MANUSIA SAAT INI? (Fakta-Fakta Menarik tentang Vaksin Covid-19). ISI Pada sesi pertama dari pembahasan webinar ini dikupas oleh dr. Sugiaharto Tanto, MARS yang menjelaskan tentang fakta-fakta vaksin covid-19 baik kebenaran dan hoax yang terjadi di kalangan masyarakat Indonesia saat ini. Dokter Sugiharto menjelaskan fakta-fakta menarik tentang vaksin covid-19 berangkat dari pemahaman yang benar tentang pengertian vaksin. Beliau mengatakan bahwa sekarang banyak jenis vaksin covid-19 yang sudah beredar di masyakat dan banyak hal pemahaman-pemahaman yang berkembang di tengah masalah tentang vaksin covid-19. Ada pemahaman yang kiranya perlu diluruskan karena ada salah dalam mengartikan vaksin. Dokter menyatakan bahwa tidak ada vaksin yang 100 persen ampuh menyembuhkan covid-19. Vaksin bukanlah obat seperti obat elergi meskipun cara kerjanya sama. Maka dari tidak salah kalau ada beberapa orang mengalami efek samping sesuai ketahanan tubuh setiap orang. Dokter juga mengatakan kondisi orang Asia juga berbeda dengan orang di luar Asia, maka juga dijumpai efek samping yang berbeda meskipun dengan vaksin yang sama seperti kasus di Australia. Vaksin pada intinya adalah imunisasi buatan yang artinya pemberian antigen (buatan), merangsang tubuh membuat antibodi. Antigen yang masuk ini disebut dengan vaksin. Vaksin Covid-19 bukanlah obat. Vaksin mendorong pembentukan kekebalan spesifik pada penyakit Covid-19 agar terhindar dari tertular ataupun kemungkinan sakit berat. Di Indonesia sudah beberapa jenis vaksin yang diedarkan pemerintah untuk menanggulani persebaran Covid-19 yang merajarela akhir-akhir ini. Vaksin juga memiliki efek samping baik ringan maupun berat, maka dari itu bila dirasa efek sampingnya mengakibatkan elergi utrikaria dll dihimbau segera memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan terdekat. Vaksin Covid-19 yang beredar di tengah masyarakat ini sampai sekarang belum dketahui sampai kapan memberikan respon kekebalan bagi manusia, maka tetap menerapkan 6 M. Dokter sekali lagi menegaskan bahwa vaksin bukanlah suatu obat yang mengobati penyakit, “Tidak ada satupun vaksin di dunia yang memiliki daya lindung 100%. Vaksin-vaksin (non Covid) yang beredar selama ini umumnya mempunyai daya lindung di atas 90% tapi tetap tidak 100%. Pada sesi terakhir presentasi dokter Sugiharto memberikan sebuah fakta dan hoax seputar vaksin yang terjadi dalam masyarakat. Fakta pertama adalah prinsip vaksin. Prinsip vaksin adalah memasukan virus mati atau komponen virus yang tidak bisa berkembang biak tetapi dapat menstimulasi terbentuknya antibodi. Kedua, saat vaksin Covid-19 ada yang virus dimatikan, mRNA virus, subunit protein, viral vector. Ketiga, bila ada yang setelah divaksin kemudian dinyatakan terkena Covid-19 dapat disebabkan oleh dua hal yakni saat vaksin sedang dalam masa inkubasi dan setelah vaksin terpapar Corona. Keempat, obat yang dihindari sebelum vaksin adalah obat menurunkan daya tahan tubuh seperti (kemoterapi, steroid dosis tinggi). Kelima, bagi orang yang memiliki penyakit penyerta bukan kontra indikasi absolut untuk vaksin Covid-19. Kontra indikasi absolut bila terjadi alergi berat terhadap vaksin Covid sebelumnya atau salah satu komponen vaksin Covid. Keeman, kondisi komorbid/penyakit penyerta yang belum layak untuk divaksin adalah memiliki penyakit autoimun sistemik, sedang infeksi akut, sedang menjalani kemoterapi, radioterapi, memiliki penyakit kronis (diabet, gagal ginjal, PPOK, asma), kelainan dua darah. Setalah dokter Sugiaharto memberikan beberapa kebenaran seputar vaksin, berikutnya dokter memberikan beberapa isu atau hoax tentang vaksin dalam masyarakat. Pertama, vaksin tidak diperlukan karena yakin bahwa covid-19 akan hilang dengan sendirinya. Kedua, vaksin Covid-19 berbahaya. Ketiga, vaksin belum selesai diuji, dan kita adalah kelinci percobaan. Keempat, vaksin membuat orang yang nantinya tertular semakin sakit. Kelima, vaksin hanya menguntungkan negara maju, Bill Gates, dan perusahan besar. Dokter menghimbau masyarakat untuk jeli melihat, membaca, mendengar, segala informasi berkaitan vaksin jangan sampai kita dalam kondisi semakin buruk dibuat semakin kaau dengan informasi-informasi yang sesat, maka tak kenal maka tak kebal artinya vaksin melatih tubuh untuk kenal, lawan, dan kebal penyebab penyakit, seperti virus dan bakteri. Setelah sesi presentasi disambung dengan sesi tanya jawab dari peserta, banyak peserta yang bertanya dan memberi apresiasi kepada dokter karena memberikan pemahaman yang benar dan mudah dimengerti berkaitan dengan vaksin covid-19. Pada intinya dalam sesi tanya jawab dan diskusi banyak mempertanyakan tentang efek samping dari vaksin, penyebab antibodi tidak terbentuk setelah vaksin ke dua, boleh atau tidaknya mengikuti vaksin yang berbeda antara vaksin pertama dan kedua dll. Pada sesi kedua, Romo Kus mencoba untuk mengupas tema webinar kali ini dalam sudut pandang Gereja dan sudut pandang moral katolik atau pendekatan ajaran Gereja tentang vaksin. Pertama-tama beliau mengajak untuk melihat kondisi saat ini dalam kaca mata iman Katolik. Pada intinya setiap manusia punya dan kewajiban untuk memelihara hidup dan kesehatannya dengan mempergunakan sarana yang perlu bila diserang penyakit. Romo menjelaskan bahwa penggunaan obat dan vaksin adalah hak yang boleh dipakai atau tidak. Intinya setiap orang bebas tidak ada paksaan, namun dalam situasi pandemic Covid-19, situasinya berubah total. Vaksin diwajibkan bagi setiap orang, karena “sakitku mengancam kesehatan dan hidup orang lain atau kebodohanku (tidak mau vaksin) akan mengancam hidup dan kesehatan orang lain”. Vaksin menjadi kewajiban moral. Di dalam sejarah ilmu kedokteran, vaksin memang diciptakan oleh manusia untuk membentuk antibodi dalam tubuh sehingga mengurangi resiko buruk pada manusia ketika virus masuk menyerang tubuh manusia. Namun disisi lain akan penemuan vaksin ternyata ada jenis yang dilarang keras oleh Gereja yakni pada tahun 2005 dalam dekrit Pontifika Academia Pro Vita dalam bab “Moral Reflections On Vaccines Prepared From Cells Derived From Aborted Human Foutuses” Inti dari dekrit tersebut adalah Gereja melarang vaksin yang memakai bahan dari janin yang diaborsi. Romo Kus menyatakan bahwa kita harus bersyukur vaksin yang sekarang beredar di Indonesia adalah vaksin baik artinya tidak berasal dari janin yang dahulu pernah terjadi dan dilakukan. Dan Gereja secara otomatis akan sejalan dan setuju dengan pemerintah untuk menerapkan percepatan vaksin covid-19. Gereja akan melarang apabila bertentangan dengan kehidupan. Romo Kus menyatakan bahwa Gereja sampai saat ini belum mengeluarkan sebuah ajaran berkaitan dengan vaksin covid-19 namun Gereja akan mendukung kegiatan vaksinasi sejauh itu merupakan pilihan terbaik untuk menyelamatkan manusia dan Gereja tatap melarang saindainya vaksin yang berasal dari janin itu beredar, karena masih ada vaksin-vaksin yang jauh lebih baik menyelamatkan manusia. Pada sesi terakhir presentasi Romo Kus memaparkan data terkini mengenai penyebaran covid-19. Romo Kus setuju akan pendapat dr. Sugiharjo yang menyatakan bahwa vaksin bukanlah obat namun perlindungan dan menghimbau kepada peserta untuk senantiasa menjaga kesehatan dengan mematuhi protocol kesehatan dan memperbanyak doa. Dalam sesi tanya jawab bagian kedua, juga Romo Kus dibanjiri dengan berbagai pertanyaan dan apresiasi termasuk salah satunya mengenai kebijakan pemerintah dalam dunia pendidikan yang rencananya akan kembali seperti semula dengan tatap muka sedangakan melihat data belum semua masyarakat sudah mendapat vaksin dan keadaan sekarang semakin parah, belum terkendali dengan baik dan jumlah anak-anak yang mulai tertular covid-19 juga semakin meningkat. Garis merah atau kesimpulan dari webinar “APAKAH VAKSIN COVID-19 DAPAT MENJAMIN KEBERLANGSUNGAN HIDUP MANUSIA SAAT INI? (Fakta-Fakta Menarik tentang Vaksin Covid-19) adalah vaksin akan menjadi sebuah perlindungan yang efektif bagi hidup manusia bila mana orang juga mematuhi protocol kesehatan yang sudah ditetapkan. Steatmen tersebut menjawab pertanyaan besar dari tema webinar “Apakah vaksin Covid-19 dapat menjamin keberlangsungan hidup manusia saat ini? Jawabannya adalah bisa namun tidak 100 persen, hal ini mengandaikan bahwa sejauh orang yang sudah vaksin juga mematuhi protocol kesehatan. Vaksin bukanlah obat atau perlidungan 100 persen sempurna, hal ini berarti orang yang sudah vaksi pun bisa saja tertular Covid-19 namun mengurangi resiko sakit berat bahkan kematian akibat virus tersebut. Demikian kesimpulan yang dapat diberikan dalam webinar “APAKAH VAKSIN COVID-19 DAPAT MENJAMIN KEBERLANGSUNGAN HIDUP MANUSIA SAAT INI? (Fakta-Fakta Menarik tentang Vaksin Covid-19), semoga bermanfaat bagi semua orang dan kita tidak perlu terlalu takut akan kondisi sekarang meskipun terlihat menyeramkan, tatap jaga kesehatan, yang belum vaksin segera untuk mendaftarkan diri vaksin, dan lebih giat berdoa agar mendapat perlindungan dari Tuhan dan diberi kesembuhan kepada diri kita atau saudara-saudara kita yang saat ini sedang terkena Covid-19. PENUTUP Acara webinar ini ditutup dengan menarik sebuah kesimpulan dari pembahasan narasumber dan pertanyaan-pertanyaan. Acara juga mendapat apresiasi dari para peserta yang secara besar dan umum menyatakan bahwa acara sangat menarik namun sayang waktunya sangat terbatas karena sebagaian besar pertanyaan masih belum dijawab semua. Namun pada umum peserta merasa terbantu dalam menankap pemahaman yang benar tentang vaksin covid-19 dan sudut pandang gereja mengenai vaksin dan refleksi iman yang benar dalam menyikapi keadaan saat ini. Terima kasih kami ucapkan kepada narasumber yang bersedia meluangkan waktu, pikiran, ilmu dan segalanya dalam webinar ini. Banyak hal yang didapatkan dari peserta. Terima kasih juga kepada para panita dan orang-orang yang terlibat dalam melancarkan dan menyukseskan acara webinar kali ini. Mohon maaf kami ucapkan bila mana selama webinar terjadi sesuatu kesalahan yang kurang berekenan di hati para peserta dan narasumber. Semoga kedepannya webinar-webinar yang akan diselenggaran oleh Centrum Ivan Mers benar-benar bisa menjawab kebutuhan umat yang rindu akan kebenaran iman dan keadaan-keadaan sosial yang terjadi dalam masyarakat sehingga umat mampu membaca dan tanggap pada tanda-tanda zaman dan merefleksikannya dalam terang iman yang benar. Sekian dan terima kasih. Berkah dalem.

Read More

Artikel Bulan Juni 2021 (Minggu Pertama)

[Mengenal Sakramen Baptis secara lebih dalam](https://drive.google.com/file/d/1LEDMx9LJlnv2oHEysIa1zlmrUgKFRKFH/view?usp=sharing "Sakramen Baptis : Inkorporasi Penuh Pada Kristus") Sakramen Baptis : Inkorporasi Penuh Pada Kristus Galan Suswardana, S.S., M.Fil [email protected] Pengantar Bagi seorang yang ingin mengikuti iman pada Kristus tentunya harus melalui tahapan-tahapan. Tahap pertama bagi seseorang yang mengikuti Kristus ditandai dengan menyerahkan dirinya untuk dibaptis. Sakramen Baptis merupakan gerbang bagi seseorang untuk menerima sakramen-sakramen yang lain. Di dalam Gereja Katolik ada tujuh Sakramen dan sakramen Baptis ditempatkan pertama dijajaran sakramen-sakramen yang lainnya. Bagi orang Kristen pada umumnya, peristiwa Baptis merupakan peristiwa penting, namun tidak sedikit juga sebagian orang Kristen memandang peristiwa Baptis seperti peristiwa biasa-biasa saja karena mungkin hanya ikut-ikutan atau terpaksa atau motivasi-motivasi yang lain yang sebenarnya tidak seutuhnya ingin mengikuti Kristus. Singkat kata, banyak motivasi dalam menanggapi panggilan menjadi seorang Kristen. Ketika orang setia akan iman pada Kristus membutuhkan pemurnian hidup terus menerus. Pemurnian-pemurnian hidup hanya didapatkan apabila seseorang mau membina dirinya. Sakramen baptis merupakan suatu bentuk pemurnian awal, maka seharusnya ketika seseorang akan menerima baptisan, orang tersebut akan mengikuti pembinaan, baik di awal sebelum dibaptis (prakatekumenat, katekumenat, dan persiapan akhir) maupun pembinaan setelah baptisan (Mistagogi). Di dalam masa pembinaan tersebut hendaknya seseorang terbuka akan karya Allah untuk bersedia diformat atau dibentuk sehingga nantinya seseorang melebur menjadi satu dalam Kristus atau bersatu penuh pada Kristus. Proses persatuan penuh pada Kristus inilah yang disebut proses inkorporasi. Dalam proses inkorporasi, banyak hal yang dapat kita pelajari sehingga kita mengerti tugas perutusan kita sebagai bagian anggota Tubuh Kristus dan Misi-Nya di dunia. Berikut adalah sedikit pengulasan fakta menarik proses inkorporasi dalam sakramen Baptis yang bisa dipelajari bagi para calon baptisan ataupun orang yang sudah baptis sebagai pembinaan lanjutan. Landasan Fundamental Sakramen Baptis sebagai Inkorporasi Pemahaman akan makna inkorporasi sebenarnya berangkat dari pemahaman teologi St. Paulus. Paulus mengatakan bahwa rahmat yang diterima melalui iman tidak cukup dan karena itu diperlukan Baptis. St. Paulus merefleksikan Baptis dengan kerangka utama misteri sengsara, wafat, pemakaman dan kebangkitan Yesus Kristus. Rasul Paulus melihat bahwa sakramen Baptis dimaknai sebagai kelahiran kembali, penciptaan baru, pembaharuan hidup, pencerahan, pemurnian, dan pengudusan. Bagi St. Paulus, Baptis merupakan peristiwa iman yang ditandai oleh unsur hakiki yaitu seseorang disatukan (inkorporasikan) secara riil dengan misteri peristiwa Yesus, dalam misteri sengsara, wafat, pemakaman, dan kebangkitan. Inkorporasi riil dengan Yesus ini berarti persatuan nyata (bukan hanya secara rohani atau moral) dengan Kristus dalam seluruh tujuan hidup-Nya (hidup, penyaliban, pemakaman, dan kebangkitan Yesus) yang melampaui ruang dan waktu dan sangat menentukan dalam hidup kristiani. Penyatuan ini berarti juga dikonformasikan, diserupakan, dengan wafat dan kebangkitan Kristus. Dalam pemikiran St. Paulus ada 3 tingkatan dalam persatuan dengan Kristus, yakni Persatuan dengan Kristus sebagai anggota umat manusia karena peristiwa Kalvari. Dalam tingkatan ini, St. Paulus melihat bahwa peristiwa wafat dan kebangkitan Yesus Kristus mempunyai dampak pada semua manusia, bukan pertama-tama dengan mereka percaya dan dibaptis. Persatuan dengan Kristus karena iman. Dalam tingkatan ini, St. Paulus perpandangan bahwa persatuan dengan Kristus secara subjektif mulai terjadi ketika baptisan mulai mengimani Kristus. St. Paulus bisa berkata bahwa “kita” telah mati di salib bersama Yesus Kristus bahkan sebelum pembaptisan. Dalam iman yang sama, orang disatukan dengan kebangkitan Kristus, dan menandai awal hidup baru dalam diri orang tersebut. Persatuan dalam iman inilah yang kemudian diwujudkan dengan tindakan simbolis dan praksis orang-orang kristiani. Persatuan dengan Kristus karena Baptis. Dalam tingkatan ini, St. Paulus melihat bahwa Baptis mewakili suatu waktu tertentu dalam kematian Yesus, yaitu kesatuan dengan pemakaman Yesus, yang artinya baptisan sungguh-sungguh dikuburkan bersama Kristus. Dimakamkan berarti bahwa melalui sakramen Baptis, orang yang sudah mati di salib bersama Kristus lama sebelum upacara pembaptisan tersebut. St. Paulus tidak mempertentangkan antara tingkatan persatuan dengan Kristus karena iman dan peratuan dengan Kristus karena Baptis. Pembaptisan didahului oleh tindakan mengimani Yesus Kristus (keselamatan karena iman). Sakramen Baptis menyatakan secara publik bahwa orang itu dikuburkan bersama Kristus dan ingin tetap mempertahankan bersama Dia dalam hidup baru. Dengan kata lain, iman orang itulah yang menjadi isi dari tindakan simbolis sakramen Baptis. Dalam arti ini, Baptis menjadi ungkapan yang kelihatan dari kenyataan bahwa kekuasaan dosa sudah dihancurkan dan dunia didamaikan dengan Allah, sebelum pertobatan individual dalam iman. Makna Baptis sebagai Inkorporasi Penuh Pada Kristus Kristus telah memberikan rahmat atau karunia penebusan kepada semua manusia berkat sengsara, wafat, dan kebangkitan-Nya. Karunia yang diterima manusia diharapkan menghantar manusia untuk beriman kepada Allah Bapa dan percaya akan rencana karya keselamatan Allah Bapa lewat karya Putra-Nya yakni Yesus Kristus di dunia. Namun seperti halnya kutipan St. Paulus bahwa rahmat yang diterima malalui iman tidaklah cukup dan karena itu diperlukan Sakramen Baptis. Sakramen Baptis dimaknai sebagai Inkorporasi penuh pada Kristus berarti bahwa orang yang dibaptis bersatu dengan Tubuh Mistik Kristus dan Misi-Nya. Baptis merupakan perwujudan tanda dari ziarah batiniah dari baptisan sekaligus ungkapan lengkap dari manusia yang utuh. Seperti halnya tidak cukup hanya mencintai secara batiniah, dan karena itu perlu diwujudkan secara lahiriah sesuai dengan kodrat manusia yang adalah makhluk korporal, lahiriah, kelihatan. Penyempurnaan rahmat awali terjadi karena sakramen bukan hanya tanda, tetapi juga adalah sarana rahmat. Pengungkapan persatuan pada Kristus melalui Baptis sama halnya dengan inkarnasi yang artinya pernyataan (revelasi) Allah secara kelihatan dalam publik masyarakat dan persekutuan. Singkat kata, baptisan menyatakan sepenuhnya mengikuti Yesus Kristus dan karya-Nya di dunia. Baptis merupakan suatu bentuk penyatuan riil dengan Kristus. Baptis sekaligus merupakan tanda dan sarana partisipasi penuh pada seluruh hidup Yesus, terutama karya penyelamatanNya di dunia melalui Tubuh MistikNya, Gereja. Dengan dibaptis, baptisan menyatakan diri secara kelihatan dan publik keputusannya untuk ikut ambil bagian misi keselamatan Yesus dan Gerejanya di dunia ini. Perlunya sakramen Baptis harus dilihat dalam kaitan dengan persatuan penuh (lengkap) dengan Yesus Kristus, termasuk pada misiNya. Untuk mengerti perlunya sakramen Baptis, orang harus memiliki keinginan untuk mencapai kesempurnaan keselamatan yang penuh (dinamis), yaitu melalui partisipasi penuh pada misi Yesus Kristus yang dilanjutkan oleh Gereja. Kesimpulan Sakramen Baptis memiliki makna yang begitu dalam. Dalam pemahaman St. Paulus baptis merupakan sebuah wujud inkorporasi penuh pada Kristus. Kesadaran akan persatuan penuh dengan Kristus hendaknya terus digali dalam kehidupan seorang kristiani baik yang sudah dibaptis atau calon baptisan. Kesadaran akan persatuan dengan Kristus membawa kita semakin yakin akan karya keselamatan Allah dalam diri Kristus di dunia dan sadar akan tugas perutusan kita sebagai orang yang beriman pada Kristus. Hal tersebut, tentunya tidak mudah, maka perlunya kita sadar dan terbuka akan karya Allah dan Roh Kudus dalam diri kita untuk membentuk kita sesuai rencana Allah, sehingga kita semakin setia akan iman pada Kristus dan perutusan sampai akhir hanyat. Sumber : Dr. Petrus Maria Handoko. Diktat Sakramentologi 2. Malang: Sekolah Tinggi Filsafat Teologi. 2013. https://id.wikipedia.org/wiki/Revelasi, diakses pada tanggal 22 Juni 2021.

Read More

Artikel Bulan Juni 2021 (Minggu kedua)

[Pemaknaan Ekaristi dalam Kehidupan (Sharing Iman)](https://drive.google.com/file/d/1oNcsifATCOlezWpVUUoUeWWXhFN88Th2/view?usp=sharing "Sakramen Ekaristi, Kerinduan Berjumpa dengan Tuhan Ekaristi, Kerinduan Berjumpa dengan Tuhan Yosef Paskah Wahyutomo Baskoro Mahasiswa Sarjana Widya Mandala Falkutas Filsafat Pengantar Suatu hari saya masih duduk di bangku SMP, guru saya bertanya kepada kami “sudah berapa kilo, kamu makan hosti kudus tetapi sama saja kelakuanmu dari hari ke hari?”. Pernyataan tersebut membuat saya termenung sejenak dan berpikir dalam batin “Sudah berapa kilo saya memakan hosti kudus mulai dari komuni pertama hingga saat ini? Bilamana hosti kudus yang saya makan tidak berpengaruh di dalam kehidupan saya, percuma dong, saya tiap hari ke gereja tetapi saya tidak berdampak baik bagi kehidupan rohani saya!.” Pertanyaan-pertanyaan inilah yang terucap di dalam hati saya, setelah guru saya bertanya demikian. Hingga saat ini pun, saya pun masih bertanya-tanya “Apakah benar hosti kudus yang di konsekerir oleh imam adalah tubuh kristus yang sesungguhnya?” Mukjizat Ekaristi Ketika saya menjalani studi filsafat dan teologi, pertanyaan-pertanyaan yang simpan dalam hati semenjak dahulu akhirnya mulai terjawab satu persatu. Sekarang jika saya ditanya “Apakah hosti kudus sungguh-sungguh tubuh kristus?” Saya akan menjawab dengan berani dan pasti “YA”. Hosti adalah tubuh kristus. Ada beberapa kisah mukjizat ekaristi yang terjadi di dunia yang menguatkan diri saya untuk mengambil sebuah kesimpulan bahwa hosti adalah tubuh Kristus. Salah satu contoh mukjizat ekaristi terjadi di dunia yakni kejadian di San Mauro La Bruca, Italia pada tanggal 25 juli 1969. Pada saat itu, ada pencuri dengan sengaja mengambil hosti kudus dari tabernakel. Pencuri hosti tersebut, mengambil seluruh hosti kudus di dalam sibori lalu di buang dalam perjalanan. Suatu ketika ada seorang anak yang melihat setumpuk hosti pada persimpangan jalan. Dia mengumpulkan hosti kudus tersebut dan segera menyerahkannya kepada imam. Dua puluh lima tahun di teliti Mgr. Biagio mengakui hosti tersebut tidak membusuk. Biasanya setelah enam bulan hosti akan membusuk, rusak, dan beberapa tahun menjadi berlendir dan kemudian akan menjadi debu. Tetapi, hosti yang di buang dengan sengaja tidak membusuk. Di dalam perayaan ekaristi sebenarnya ada kerinduan umat untuk bertemu dengan Tuhan. St. Thomas Aquinas menyebut kerinduan yang selalu melekat pada kodrat setiap manusia. St Thomas menyebutnya dengan istilah potential obedientialis. Potential obedientalis yang merupakan desiderium naturale (keinginan kodrat) ioni adalah sikap dasar manusia yang secara kodrati berasal dari Allah. Tuhan Allah mengundang manusia untuk tinggal kepada-Nya lewat perayaan ekaristi. Bila kita pergi ke misa kudus, hati kita sebenarnya digerakkan oleh roh kudus sendiri yang membawa kita kepada Allah Bapa melalui Kristus. Sedangkan Roh Kudus sendiri menggerakkan hati kita dengan aneka kemungkinan cara dan bentuk. Sekarang saya sadar bahwa alasan guru saya bertanya demikian, karena guru saya merasa pada saat itu saya tidak mengalami ada kerinduan berjumpa dengan Tuhan. Saat itu saya merasa kehidupan saya biasa-biasa saja tidak ada masalah apapun di dalam hidup. Namun, ketika saya beranjak dewasa, permasalahan-permasalahan bermunculan dan mulai untuk mencari Tuhan di dalam hidup. Di masa sekarang ini, kerinduan akan Tuhan hanya datang ketika kita ada masalah. Alhasil, ketika kita rindu akan Tuhan di saat kita ada masalah, dan bila mana kita gagal untuk menyelesaikan masalah, kerap kali kita menyalahkan Tuhan. Refleksi Mukjizat ekaristi membuktikan bahwa sebenarnya Tuhan selalu ada bagi manusia. Namun kerap kali kita sebagai manusia tidak merasakan bahwa Tuhan sungguh hadir, nyata di dalam perayaan ekaristi. Dengan demikian, kita harus menjadi pribadi yang mempunyai kerinduan berjumpa dengan Tuhan. Walaupun kita dalam keadaaan nyaman, tidak ada masalah, kerinduan tetap di perlukan karena Tuhan adalah Allah yang sungguh hidup. Dengan kita datang kepada Allah tanpa ada masalah, kita dapat mengucapkan syukur kepada Allah atas nikmat-Nya yang Tuhan berikan kepada kita semua. Sehingga ketika kita datang kepada Tuhan saat kita jatuh, atau tertimpa masalah Tuhan akan mengundang kita untuk menyelesaikan satu persatu masalah hidup kita. Percaya kepada Tuhan itu menjadi keharusan. Akhir kata ingatlah pesan ini “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (Mat 11:28). Sumber Bacaan Benedictus Giuseppe-Maria, dkk (penyunting), Mukjizat Ekaristi, Jakarta, Obor, 2012. Martasudjita, Emanuel, Ekaristi Makna dan Kedalamannya bagi perutusan di tengah dunia, Jakarta, Kanisius, 2012.

Read More

Transformasi KTK menjadi CIM

Latar Belakang Kehidupan awam di Keuskupan Surabaya yang penuh semangat untuk belajar dan memperdalam iman Katolik menggerakkan pribadi Eddy Gunawan untuk belajar Teologi. Dia memulai studinya di sebuah Kursus Teologi yang diadakan di Universitas Katolik Dharma Cendika (UKDC) sebagai wujud gerak hatinya untuk mengenal lebih baik ajaran Gereja Katolik. Setelah melewati 6 (enam) semester, tepatnya pada tahun 2016, mulai tumbuhlah suatu keinginan dalam dirinya yang digerakkan oleh kegelisahan jiwanya bahwa orang awam perlu mengenal ajaran Katolik dengan benar – sedangkan memang jarak itu bisa menjadi hambatan bagi umat awam yang tinggal di Surabaya Barat untuk mengikuti kelas yang dia ikuti yang letaknya di Surabaya Timur. Maka dari itu, Bapak Eddy memberanikan diri menghadap Pastor Paroki tempat beliau berdomisili - Paroki St Yakobus Citraland, yang saat itu dijabat oleh RD. Prima Novianto supaya kesempatan belajar yang sama dapat dinikmati juga oleh umat awam lainnya di Kevikepan Surabaya Barat. RD. Prima Novianto menyambut baik usulan itu dan memberikan kesempatan kepada Bapak Eddy untuk memulainya di Paroki St. Yakobus, Citraland. Namun, Bapak Eddy, yang sejak awal memiliki cita-cita bahwa Kursus Teologi Katolik yang baru itu bukan hanya untuk Paroki St. Yakobus saja, selanjutnya memutuskan untuk bersama-sama dengan Ibu Anita Lie, Bapak Soegiharto Widodo, Bapak Irwan Sentosa, dan Ibu M. Elizabeth Elly Setiowati menghadap RD. Agustinus Tri Budi Utomo dan RD. Yosef Eko Budi Susilo untuk menyampaikan aspirasi itu. Sebagai buah dari pertemuan tersebut, Keuskupan Surabaya memberikan ijin untuk menyelenggarakan Kursus Teologi Katolik bagi seluruh umat awam di Kevikepan Surabaya Barat. Sambutan ini kemudian berlanjut dengan RD. Laurensius Rony sebagai Ketua Komisi Kateketik Keuskupan Surabaya, meminta Bapak Eddy untuk berkoordinasi lebih lanjut dengan RD. Edi Laksito di Seminari Tinggi Providentia Dei (STPD) yang selama ini sudah menjalankan Program Teologi bagi para calon imam. Setelah itu, Bapak Eddy dan RD. Edi Laksito bersama-sama menyusun program Kursus Teologi Awam ini dengan menentukan Visi-Misi dan kurikulum Kursus Teologi yang baru ini, dan kemudian ditetapkan pada 18 Juni 2017. Rumusan Visi-Misi dan Kurikulum tersebut mendapatkan persetujuan dari Bapak Uskup pada tanggal 22 Juli 2017. Maka, Kursus Teologi Katolik dibuka pertama kali dengan Misa Pembukaan oleh RD. Edi Laksito di Gereja St. Yakobus Citraland pada tanggal 3 Agustus 2017. Dua tahun setelah Kursus Teologi Katolik berjalan, dengan didirikannya IMAVI, yaitu Institutum Theologicum Ioannis Mariae Vianney Keuskupan Surabaya, RD. Benny Suwito selaku praeses (pimpinan), memberikan arahan baru bagi Kursus Teologi ini untuk juga memberikan kontribusi bagi Pembinaan Asisten Katekis di Paroki. Kemudian pada tahun 2019 dimulailah Program Pastoral Katekese yang bertujuan membina para umat awam di Paroki agar bisa secara aktif terlibat dalam karya katekese di Paroki masing-masing. Pada tahun yang sama, Kursus Teologi di Universitas Katolik Dharma Cendika dilebur menjadi satu di bawah satu payung Kursus Teologi Katolik Keuskupan Surabaya ini. Pada 6 Juni 2021, Kursus Teologi Katolik Keuskupan Surabaya yang sudah berjalan selama 4 tahun itu, mendapat pembaharuan misi untuk lebih baik mengembangkan upaya ini, agar bukan hanya bergerak sebagai sebuah lembaga Kursus Teologi Katolik saja, melainkan bertransformasi menjadi sebuah pusat studi teologi khusus, untuk umat awam terutama di Keuskupan Surabaya. Penyegaran ini juga ditandai dengan perubahan nama dari Kursus Teologi Katolik menjadi Centrum Ivan Merz. Nama Ivan Merz diambil dari Beato Ivan Merz, seorang akademisi awam muda Kroasia yang mencintai iman Katolik secara luar biasa dan membawa perubahan besar dalam gerakan liturgi Katolik dan gerakan untuk kaum muda di negaranya di tengah masa-masa pelik pasca perang dunia. Diharapkan dengan perubahan nama tersebut, semakin banyak umat awam akan mencintai dan mendalami iman Katolik yang begitu kaya dan indah seperti Beato Ivan Merz. Observasi setelah berjalan kurang lebih 4 tahun ini, kami melihat semakin banyak umat yang ingin bergabung dan belajar mengenai iman kristiani yang lebih dalam yang bersumber pada Kitab Suci, Tradisi, dan Ajaran Gereja. Antusias dari umat yang mengikuti kursus teologi mendorong Kursus Teologi Katolik untuk lebih semangat dan berkembang dalam ilmu dan pengajarannya. Menimbang Semakin banyak umat tertarik belajar dan memperdalam iman pada Kristus. Demi kebutuhan, kerinduan dan semangat umat dalam belajar iman pada Kristus yang bersumber pada Kitab Suci, Tradisi, dan Ajaran Gereja. Maka diputuskanlah bertransformasi dari Kursus Teologi Katolik menjadi Centrum Ivan Merz, guna menumbuhkan semangat yang lebih dalam mengembangkan ilmu dan pengajaran iman Katolik seperti Beato Ivan Merz. Sehingga dengan transformasi ini, diharapkan bisa membawa warna dan perubahan baru bagi Kursus Teologi Katolik dalam ilmu dan pengajaran iman akan Kristus yang bersumber dari Kitab Suci, Tradisi, dan Ajaran Gereja dan mengajak umat untuk semakin mencintai Gereja dan panggilan sebagai umat awam. Umat sebagai bagian anggota Gereja diajak dan sadar untuk memandang Gereja adalah bagian tubuh Mistik Kristus yang mewartakan kabar suka cita dan karya keselamatan Allah kepada semua bangsa. Centrum Ivan Merz Keuskupan Surabaya terus senantiasa mengembangkan diri dari lembaga kursus teologi menjadi pusat studi teologi untuk awam. Tentunya hal ini tidak mudah karena menjadi pusat studi jangkauannya akan lebih kompleks dari pada lembaga kursus. Pusat studi teologi berarti menjadi suatu wadah yang berguna sebagai media pembelajaran dan pendidikan yang memberikan bekal pengetahuan, nilai-nilai, serta pemahaman teologi yang benar bagi awam untuk menanggapi dan merespon hal-hal yang sudah dan akan terjadi kedepannya dalam dunia dan medan pastoral. Sedang lembaga kursus teologi merupakan salah satu pendidikan nonformal yang bertujuan agar awam dapat mengembangkan diri, mengembangkan profesi usaha mandiri, atau melanjutkan pendidikan teologi ke jenjang yang lebih tinggi. Kursus Teologi Katolik menekankan lebih pada satu produk kursus, sedangkan menjadi Centrum Ivan Merz menjadi pusat studi teologi, ingin lebih mengembangkan lebih dari sekedar satu produk kursus, dengan demikian cakupannya lebih luas dengan berbagai hal seperti webinar, pelatihan, pengembangan teologi, dll. Kursus Teologi memberikan produk kursus sesuai yang dipelajari sedangkan pusat studi memberikan Pendidikan, pengajaran, penelitian, pengembangan, dan pengabdian atau pelayanan kepada umat. Dengan bentuk formasi baru ini dimaksudkan menjawab kebutuhan umat yang ingin benar-benar mendalami ilmu teologi dan membantu mempersiapkan tenaga pastoral yang handal dan profesional yang dapat bekerjasama dengan para pastor paroki dalam bidang pelayanan umat. Dampak pengajaran iman melalui kursus teologi yang sudah dilakukan bagi umat Katolik Keuskupan Surabaya adalah : 1. Umat semakin mencintai panggilannya sebagai kaum awam 2. Umat memiliki semangat dedikasi dan disiplin yang tinggi akan tugas perutusannya sebagai umat kristen. 3.Umat memiliki semangat kerja sama yang baik dalam pelayanan di Gereja maupun di masyarakat. 4. Umat semakin memahami pengetahuan tentang teologi dasar, yang meliputi Kitab Suci, tradisi, dan ajaran Katolik. 5. Umat memiliki pengetahuan dan keterampilan pengajaran yang memadai dalam berkatekese di lingkungan masing-masing.

Read More

ASPEK TRINITARIS, KRISTOLOGIS DAN EKLESIAL DARI DEVOSI KEPADA SANTA PERAWAN MARIA DALAM DOKUMEN MARIALIS CULTUS NO. 25-27

![4b64920bc4640dbcf6d5de784fa0139d](//images.ctfassets.net/a1uad830l19w/4hYnu1SUy2xqN8jl0WTuQS/7224ab28035c5983e29e20942134a459/4b64920bc4640dbcf6d5de784fa0139d.jpg) Pengantar Tulisan ini hendak melihat aspek trinitaris, kristologis, dan eklesial dari devosi kepada Santa Perawan dalam dokumen Marialis Cultus no. 25-27. Marialis Cultus merupakan sebuah himabauan apostolik dari Paus Paulus VI berkenaan dengan devosi kepada Bunda Maria. Dokumen ini dikeluarkan pada tanggal 2 Februari 1974. Dalam dokumen ini disampaikan bagaimana Gereja Katolik merayakan liturgi dan hal-hal yang berkaitan dengan devosi kepada Bunda Maria. Dokumen ini terdiri dari tiga bagian besar dan 58 nomor. Isi Dokumen Konsili Vatikan II menghimbau Gereja untuk mempromosikan bentuk-bentuk olah kesalehan yang lain terutama yang direkomendasikan oleh Magisterium. Akan tetapi, devosi kepada Bunda Maria telah mengambil banyak bentuk sesuai dengan keadaan waktu dan tempat serta perbedaan kultur di mana hal itu berkembang. Oleh karena itu, devosi kepada Bunda Maria perlu untuk diperbaharui dengan mengganti unsur-unsur yang bersifat sementara dan menekankan unsur-unsur. Selain itu, buah refleksi teologis dan apa yang diajukan oleh Magisterium juga hendak dimasukkan sebagai unsur-unsur pembaharuan. Walaupun terdapat pembaharuan, ada beberapa aspek yang harus ada dalam devosi kepada Bunda Maria. Aspek-aspek tersebut adalah 1) Trinitaris, 2) Kristologis, dan 3) Eklesial. Aspek Trinitaris Pertama-tama harus disadari bahwa setiap ibadat kristiani harus mengungkapkan ciri Trinitaris yakni diarahkan kepada Bapa melalui Yesus Kristus dalam Roh Kudus. Demikian halnya devosi kepada Bunda Maria harus secara jelas mengungkapkan ciri ini. Segala hal yang ada pada Bunda berhubungan dengan Kristus dan bergantung pada-Nya. Hal ini terjadi sebab rencana Allah dalam diri Bunda Maria yang dipilih untuk menjadi bunda Kristus dan melengkapinya dengan karunia Roh Kudus yang tidak diberikan kepada siapa pun. Dalam devosi kepada Bunda Maria, ia dihormati bukan karena dirinya sendiri melainkan karena karya agung Allah dalam diri Bunda Maria yang dilaksanakan oleh Yesus Kristus dalam persatuan dengan Roh Kudus. Devosi kepada Bunda Maria harus mencerminkan rencana Allah sehingga devosi tersebut dapat menjadi instrumen yang efektif untuk mencapai ‘kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus’ (Ef. 4:13). Selain itu, devosi tersebut akan membuat Yesus Kristus semakin dimuliakan. Aspek Kristologis Devosi kepada Bunda Maria sebagai sebuah bentuk penghormatan kepada Maria tidak dapat dilepaskan dari Yesus Kristus. Devosi kepada Bunda Maria harus memiliki orientasi kristologis agar devosi tersebut memperlihatkan salah satu fakta esensial dari iman: Pribadi dan karya Roh Kudus. Refleksi teologi dan liturgi sebenarnya telah mencatat bahwa pengudusan Bunda Maria oleh Roh Kudus adalah momen puncak dari tindakan Roh dalam sejarah keselamatan. Pengudusan Bunda Maria mengubahnya menjadi ‘Tempat Tinggal Raja’ atau ‘Kamar Pengantin Sabda’ atau ‘Bait Suci’ atau ‘Tabernakel Tuhan’. Singkat kata, berkat pengudusan yang diterimanya, Bunda Maria menjadi tempat kediaman Roh Allah. Roh Kuduslah yang menghidupkan hati Bunda Maria dengan iman, harapa dan kasih. Roh Kudus juga memberinya kekuatan yang memampukannya menerima kehendak Allah dan kekuatan yang menopangnya dalam penderitaan di kaki salib. Dengan melihat bahwa Bunda Maria menjadi tempat kediaman Roh Kudus di mana Yesus Kristus hadir, umat Allah dapat memohon pengantaraannya untuk memperoleh dari Roh Kudus kemampuan untuk membangkitkan Yesus Kristus dalam jiwa mereka. Aspek Eklesial Dalam usaha pembaharuan devosi kepada Bunda Maria, perlu diperhatikan kedudukan Maria di dalam Gereja. Bunda Maria menduduki tempat tertinggi di bawah Kristus dan di atas segala ciptaan dan malaikat. Oleh karena peran Bunda Maria dalam tata keselamatan, maka Gereja mendudukan Maria dalam tempat yang istimewa. Lumen Gentium art. 54 menyatakan bahwa Bunda Maria adalah yang setelah Kristus menduduki tempat yang tertinggi, tetapi amat dekat dengan kita. Keistimewaan Bunda Maria dalam Gereja dapat dilihat dari Dokumen Konsili Vatikan II (khususnya konsep-konsep fundamental dari hakikat Gereja sebagai keluarga Allah, umat Allah, Kerajaan Allah, dan Tubuh Mistik Kristus). Meskipun mendapat tempat yang istimewa dalam Gereja, ibadat kesalehan umat kepada Bunda Maria perlu menempatkan kedudukan Maria yang wajar dalam Gereja. Dengan demikian, kaum beriman dimungkinkan untuk lebih mudah menghargai perutusan Bunda Maria dalam misteri Gereja dan kedudukannya yang menonjol dalam persekutuan para Kudus. Berangkat dari hakikat Gereja, maka dapat dikatakan bahwa kaum beriman adalah anak-anak Bunda Maria. Ia membantu kita pada “kelahiran kembali” dan pendidikan rohani dalam kasih keibuan. Kita lahir dari rahim(rohani)nya, diberi makan dengan susunya, dan dihidupkan dengan Rohnya. Bersama dengan Gereja, Bunda Maria melahirkan Tubuh Mistik Kristus. Kedua hal tersebut tak dapat dipisahkan sebab tak satu pihak pun dari keduanya yang melahirkan Tubuh Mistik Kristus tanpa pihak yang lain. Dapat dikatakan bahwa Gereja tidak dapat disebut Gereja apabila tidak mengikutsertakan Bunda Maria, ibu Tuhan. Sumber Referensi Paulus VI. Marialis Cultus. Diakses pada 5 Mei 2021. Vatican.va Konsili Vatikan II. Lumen Gentium. Dalam Konsili Vatikan II, diterjemahkan oleh R. Hardawiryana. Jakarta: Obor, 1993.

Read More

MARIA DAN PERANANNYA DI DALAM SEJARAH KESELAMATAN

![download](//images.ctfassets.net/a1uad830l19w/3aIpirYxsV4hVedZ2ocdgw/6600c8c86402e0335c03283cb5824ff2/download.jpg) Maria diakui dan diyakini sebagai teladan dalam hidup iman kita. Beriman berarti menyambut tindakan Allah yang memiliki kekuatan untuk mengubah orang, dan berbuah dalam tindakan-tindakan. Hal inilah yang menjadi visi iman yang dapat mengubah cara pandang seseorang ketika berhadapan dengan kenyataan, peristiwa hidup dan diri sendiri dalam terang tindakan Allah. Kekuatan ini juga menarik seseorang untuk terlibat dalam karya Allah. Dengan mengalami Allah di dalam hidupnya, ia melihat petunjuk bagaimana Allah mengunjungi umatnya dan bertindak untuk mengubah keadaan umat-Nya. Sapaan malaikat kepada Maria, merupakan petunjuk bahwa sejak saat itu tahun rahmat Allah telah datang dan menyentuh mereka yang menderita, terbuang, tersisih dan lemah. Kehadiran Allah dilihat oleh Maria dalam iman, baik di dalam kehidupan pribadinya maupun di dalam kehidupan bersama di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian hidup akan dikembalikan bagaikan suatu perjamuan yang ditandai oleh sikap saling melayani satu sama lain. Sejak saat itulah, sebagaimana dialami oleh Maria, orang-orang yang menderita dan sengsara akan diangkat oleh Allah sendiri oleh karena Allah akan memberikan diri dan menyatukan diri dalam derita dan kematian orang-orang yang sengsara untuk kemudian memberikan kelegaan kepada mereka, yakni kehidupan kekal bersama dengan-Nya. Hal inilah yang menjadi dasar keseluruhan hidup Maria sebagai seorang hamba, seorang ibu sekaligus seorang nabi yang memiliki peranan di dalam sejarah keselamatan. Keteladanan Maria Di dalam Kitab Suci Maria digambarkan sebagai seorang wanita yang sangat berperan dalam hidup Yesus anaknya dan di dalam sejarah keselamatan manusia. Bunda Maria menjadi sosok yang sunguh-sungguh menjadi teladan hidup yang menunjukan sikap hati dan perilaku yang rendah hati dan penuh kepercayaan kepada kehendak Allah Bapa di surga. Maria sebagai seorang manusia biasa, seorang hamba Allah yang tidak sempurna ingin mengajak kita untuk senantiasa setia dalam mengikuti Kristus dan melaksanakan kehendak-Nya, di mana itu semua ia tunjukan melalui sikap serta perilakunya setiap hari. Dari sikap yang dihayati oleh Bunda Maria inilah, kita sebagai murid-murid Kristus diajak untuk melihat kembali kehidupan Bunda Maria dan kemudian meneladaninya, serta melaksanakannya di dalam hidup kita sehari-hari. Maria adalah sosok wanita yang penuh iman. Pernyataan imannya ia tunjukkan lewat kesanggupannya dalam menjawabi panggilan tuhan yang disampaikan melalui perantaraan Malaikat Gabriel secara tulus hati. Paulus Yohanen Paulus II dalam ensikliknya Redemtoris Mater membandingkan iman Abraham dengan iman Maria, di mana keduanya menampakkan suatu disposisi batin yang sepenuhnya bergantung pada pengaharapan dan kepercayaan akan kuasa Allah. Jawaban Maria atas panggilan Allah merupakan tanggapan yang dipenuhi oleh iman. Hal ini pulalah yang menjadi tonggak dari keseluruhan perjalanan iman Maria, sampai pada puncak pengujiannya ketika melihat Puteranya di salibkan. Maria Sebagai Wanita dan Hamba Allah, Maria sebagai tokoh wanita mendapatkan suatu anugerah yang luar biasa, dimana dirinya sebagai seorang manusia biasa menerima rahmat yang berlimpah dan hatinya sungguh dipenuhi oleh Roh Allah sendiri. Di sini dapat dilihat bahwa Maria sungguh manusia biasa sekaligus manusia yang beriman, yang dikuasai Roh Allah. Peristiwa kedatangan Malaikat Gabriel mengunjungi Maria, kunjungan Maria kepada Elisabeth, dan nyanyian pujian Maria menggambarkan situasi yang dihadapi Maria saat itu, di mana ia dihadapkan dengan panggilan Allah dengan segala kesulitannya itu. Peristiwa yang dialami oleh Maria ini sungguh merupakan pengalaman yang datang secara tak terduga sebelumnya, di mana ia dipilih oleh Allah untuk menjadi bunda Yesus, bunda mesias yang dijanjikan. Hal ini menjadi suatu pengalaman yang tidak bisa ia bayangkan, sebab Maria itu hanyalah wanita biasa, wanita dengan tugas sederhana sehari-hari dan sama dengan wanita pada umumnya. Hal yang membedakan ialah bahwa Maria diplih dan dinyatan berbahagia karena rahmat Allah sendiri. Hal ini merupakan sebuah anugerah, kebahagiaan, bahkan beban bagi Maria. Maria menyadari bahwa panggilannya ini sebagai suatu rahasia yang sulit untuk dipahami. Kesanggupan dan kerjasamanya untuk menjadi perantara kasih Allah sungguh menjadi beban bagi dirinya, sebab ia merasakan ketakutan untuk menjelaskan peristiwa ini kepada Yusuf tunangannya. Tetapi Allah dengan segala kuasanya memberikan sebuah penyelesaian yang datang melalui perantaraan para malaikatn-Nya. Berkat keterbukaan dan penyerahan Maria, ia memperoleh penyelesaian tersebut. Selain menerima peneguhan dari pihak Allah sendiri, secara manusiawi Maria menerima peneguhan dari Elisabeth. Maria merasakan ketenangan sebab ia dimengerti dan rahasia hatinya telah dimengerti oleh Elisabeth. “Dan ketika Elisabet mendengar salam Maria, melonjaklah anak yang di dalam rahimnya dan Elisabet pun penuh dengan Roh Kudus, lalu berseru dengan suara nyaring: "Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu.”(Luk. 1:41-42) Inilah yang merupakan sebuah peneguhan dan dukungan secara manusiawi. Dalam ayat lain juga ditunjukkan bagaimana sisi kemanusiawian Maria nampak ketika ia merasa cemas dan gelisah ketika Yesus terpisah dari rombongan mereka “Dan ketika orang tua-Nya melihat Dia, tercenganglah mereka, lalu kata ibu-Nya kepada-Nya: "Nak, mengapakah Engkau berbuat demikian terhadap kami? Bapa-Mu dan aku dengan cemas mencari Engkau.” (Luk. 2:48) Pengalaman yang dirasakan oleh Maria menunjukan sikapnya yang senantiasa percaya pada apa yang terbaik bagi dirinya. Sebagai seorang wanita biasa dan hamba Allah, berbagai persoalan ia hadapi, namun dari sikapnya tersebut ia memperoleh penyelesaiannya sendiri baik dari sesama, sahabat dan rekan, namun yang terpenting adalah campur tangan dari Allah sendiri. Maria Sebagai Ibu, Setelah mendapat gambaran mengenai peran Maria dan pengalaman panggilannya sebagai seorang wanita dan hamba Allah yang dikuasi oleh Roh Kudus, kini kita ingin melihat secara khusus pengalaman Maria sebagai ibu dalam sikapnya yang kontemplatif atau sikapnya yang menerima dan menyimpan semua perasaannya di dalam hati. Maria dalam pengalaman hidupnya tidak dapat dipisahkan dari hidup Yesus sendiri dan betapa pentingnya peran Maria bagi hidup dan karya Yesus. Sebagai seorang ibu, Maria lebih bersikap diam dan tetap menyertai seluruh karya pelayanan Yesus. Dalam keseluruhan hidupnya Maria lebih memilih menyimpan segala perkara dan merenungkan di dalam hatinya sendiri “Tetapi Maria menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya.” (Luk. 2:19) Hal ini ingin menunjukan bahwa Maria tidak secara khusus menunjukan reaksinya terhadap segala peristiwa penting yang diselenggarakan oleh Yesus puteranya dan ia lebih bersikap menerima dan menyimpannya di dalam hati. Mengapa Maria bersikap demikian? itu semua karena Maria kagum akan karya Tuhan yang terselenggara bagi dirinya. Untuk memahami karya ilahi yang terselenggara itu sungguh tidak mudah, tetapi sebagai orang beriman Maria mengambil sikap ini agar dirinya sungguh dapat menumbuhkannya di dalam diri sendiri buah permenungannya serta kuasa ilahi yang senantiasa menunntunnya untuk dapat memahami arti dari penyelenggaraan ilahi ini. Sikap Maria sebagai wanita dengan menyimpan dan merenungkan di dalam hati semua yang terjadi, merupakan suatu alternatif yang penting dalam hidup beriman dan juga dalam kehidupan manusia pada umumnya. Sebaliknya sikap menerima ini ingin menunjukan keseganan terhadap kuasa Tuhan yang tidak dengan mudah untuk dipahami, sehingga dengan sikap yang demikian kita semua dapat masuk ke dalam diri kita sendiri dan biarlah kuasa ilahi yang berbicara di dalam hati kita dan pada akhirnya kita memahami kehendak Allah sendiri. Maria Sebagai Seorang Nabi, Selain melihat sosok Maria sebagai seorang hamba, juga ibu yang sederhana kita juga akan melihat bahwa Maria juga adalah seorang nabi, karena dia adalah seorang pribadi yang kuat. Sebagai seorang wanita biasa, di dalam kehidupan yang ia alami tentu merasakan suatu kegelisahan dalam hidup, di mana ia memperoleh rahmat yang sungguh luar biasa. Ia dipilih oleh Allah sebagai perantara keselamatan Allah bagi seluruh umat yang percaya kepadanya. Karena itulah terhadap rencana Tuhan yang sungguh agung ini, sebagai manusia biasa ia mengajukan pertanyaan, keberatan, dan meminta penjelasan dari Tuhan. Di sini ia ingin mengemukakan kesulitannya kepada Tuhan sendiri sebagai seorang wanita yang biasa. Segala bentuk kecemasan, ketakutan, sukacita, kesedihan ia haturkan kepada Allah di dalam kidung yang kita kenal sebagai Magnificat; "Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya. Sesungguhnya, .... Ia menolong Israel, hamba-Nya, karena Ia mengingat rahmat-Nya, seperti yang dijanjikan-Nya kepada nenek moyang kita, kepada Abraham dan keturunannya untuk selama-lamanya. (Luk. 2:46-55) Dari sikap Maria ini sesungguhnya ingin ditunjukkan bahwa menerima kehendak Tuhan, rencana Tuhan bukan berarti kita tidak boleh berbicara, tak boleh protes, tak boleh bertanya, tetapi berangkat dari situ bagaimana kita dapat menaruh sikap kepercayaan kita kepada Tuhan yang senantiasa merencanakan suatu hal yang baik bagi kita. Maria dalam hubungannya dalam sejarah keselamatan sungguh ingin menunjukan sebuah pandangan yang luas berkaitan dengan masa lampau dan masa depan, yang itu semua dialami oleh bangsa israel sendiri. Sikap Maria inilah yang menunjukan sosok kenabiaannya, dimana ia menjadi perantara keselamatan bagi bangsa israel kala itu. Dengan kata lain Maria menempatkan dirinya dalam rangkaian sejarah bangsa Israel. Di sinilah nampak keluhuran pribadi Maria. Maria adalah seorang nabi yang mampu membaca dan menafsirkan sebuah peristiwa dalam hidupnya. Maria tahu menangkap tanda-tanda zaman. REFLEKSI Meneladan kehidupan Maria, kita sebagai murid-murid Kristus diundang untuk menjadi pewarta kabar keselamatan kepada semua orang. Kita disadarkan melalui kehidupan Maria untuk tetap setia dalam menggulati iman kita. Di tengah segala tantangan yang kita hadapi dalam hidup, situasi ketidakpastian dan perjuangan kita dalam beriman, kita diajarkan untuk memiliki hati seperti Maria. Seperti halnya Maria, tidak semua karya Allah dapat kita mengerti dan kita pahami dengan pikiran kita, hanya iman kepercayaan kitalah yang dapat mendorong kita untuk bisa sampai pada pengenalan akan misteri Allah. Betapa kita sangat bersyukur berkat perantaraan Maria kita banyak belajar bagaimana kita bergulat dengan hidup kita. Sebagai seorang manusia, dengan segala kelemahan dan kekurangan kita diajak untuk senantiasa percaya pada penyelenggaraan Allah. Merefleksikan kehidupan Maria juga bagaimana perjuangan imannya sebagai murid-murid Kristus menjadi semangat baru bagi kita dalam menapaki peziarahan hidup di dunia ini. Sebagai seorang manusia biasa, sebagai seorang ibu, bahkan sebagai nabi patutlah kita meneladan sikap hidup Maria untuk menjadi bekal bagi kita untuk turut serta menyebarkan warta keselamatan kepada banyak orang. Melihat realitas dunia yang kita hadapi saat ini, tentu sikap batin Maria menjadi contoh bagaimana kita juga hendaknya mampu mendisposisikan batin kita. Hal ini penting agar kita dapat dengan bijaksana bersikap, terlebih mampu menjawabi kehendak Allah yang terlaksana dalam diri kita. Itu semua dapat kita upayakan dengan sikap yang senantiasa terbuka terhadap Allah sendiri yang berkarya atas hidup kita. Lebih dari itu, kita juga diajak untuk senantiasa memiliki relasi yang sungguh intim dengan Allah, sehingga seluruh pekerjaan dan karya kita ialah semata-mata demi melakuan kehendak Allah.

Read More

BULAN MARIA

Mengapa bulan Mei disebut sebagai bulan Maria? Ini adalah pertanyaan yang sederhana. Kendati demikian, pertanyaan tersebut juga menggugah rasa ingin tahu dalam benak umat beriman untuk semakin memperdalam imannya. Melalui tulisan sederhana ini, pembaca yang budiman diajak untuk mendalami tradisi bulan Maria dalam Gereja Katolik. Gereja Katolik memiliki tradisi untuk mendedikasikan bulan-bulan tertentu bagi devosi tertentu. Salah satu bulan yang didedikasikan oleh Gereja untuk kepentingan devosional umat beriman ialah bulan Mei. Secara khusus, Gereja mendedikasikan bulan Mei sebagai bulan Maria. Melalui momentum ini, Gereja mendorong umat beriman untuk memupuk relasi yang mendalam dengan Bunda Maria. Pemilihan bulan Mei sebagai bulan Maria tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sehari-hari. Umumnya, di negara-negara empat musim, bulan Mei identik dengan musim semi. Ketika musim semi, aneka kembang bermekaran. Boleh dikata, bulan Mei (musim semi) adalah permulaan kehidupan. Kalau dihubungkan dengan Maria, peristiwa tersebut memiliki arti yang bermakna. Maria adalah Hawa yang Baru. “Hawa” artinya ibu dari semua yang hidup (bdk. Kej 3:20). Kehadiran Maria sebagai Hawa yang Baru membawa kehidupan dan keselamatan. Hal ini tentunya kontras dengan kejatuhan hawa yang lama akibat jerat dosa (Kej 3:6). Kiranya, hal ini membuat kita mengerti mengapa Gereja mendedikasikan bulan Mei sebagai bulan Maria. Di bulan Mei, kembang-kembang bermekaran. Aneka kembang itu seakan “lahir” dari kandungan Ibunya dan Ibu itu adalah Ibu kita, Maria. Maria adalah Ibu dari semua yang hidup. Selain itu, untuk mengetahui sejarah dari tradisi bulan Maria, kita bisa sejenak menoleh ke masa lalu. Sejatinya, tradisi devosi kepada Maria (di bulan Mei) mulai diperkenalkan sejak akhir abad ke XIII. Akan tetapi, tradisi tersebut belum populer di kalangan umat beriman seperti sekarang. Tradisi ini baru “mendunia” setelah adanya rangkaian peristiwa penting yang menandai lahirnya bulan Mei sebagai bulan Maria. Ceritanya begini, pada akhir tahun 1700, seorang imam Jesuit di Roma memiliki keprihatinan akan kehidupan iman Gereja. Kala itu, tidak sedikit dari putra-putri Gereja yang kehidupannya jauh dari ajaran iman. Mereka juga menaruh sikap tidak percaya kepada Gereja. Oleh karena itu, imam Jesuit tersebut tergerak hatinya untuk menetralkan “imoralitas” yang terjadi dengan memohonkan pertolongan Bunda Maria. Sang imam kemudian bersumpah kepada Bunda Maria untuk menjadikan bulan Mei sebagai bulan yang didedikasikan untuk Maria. Praktik devosi ini kemudian menyebar ke komunitas imam Jesuit yang lain dan gereja-gereja Katolik yang ada di Eropa. Ini adalah awal di mana bulan Mei dijadikan sebagai bulan Maria. Selain cerita di atas, ada peristiwa penting lain yang menandai lahirnya bulan Maria. Pada tahun 1809, Paus Pius VII ditangkap oleh para tentara Napoleon Bonaparte. Napoleon sendiri adalah pemimpin yang disegani dan memiliki pengaruh yang besar di Perancis dan negara-negara di sekitarnya (termasuk negara-negara jajahan Perancis yang lain). Kemungkinan, peristiwa ditangkapnya Paus Pius VII ada kaitannya dengan konfrontasi yang terjadi antara sang Paus dengan Napoleon. Oleh para tentara Napoleon, Paus Pius VII dikurung dalam penjara. Dalam tahun-tahun di penjara, Paus Pius VII secara khusus berdoa kepada Bunda Maria. Paus Pius VII memohonkan rahmat agar Bunda Maria berkenan membantunya untuk bebas dari penjara. Untuk itu, Paus Pius VII menjanjikan kepada Bunda Maria suatu perayaan yang didedikasikan secara khusus untuk menghormatinya. Lima tahun kemudian, pada tanggal 24 Mei, doa Paus Pius VII dijawab. Paus Pius VII dibebaskan dari kurungan penjara. Setelah itu, Paus Pius VII kembali ke Roma. Di sana, Paus Pius VII secara khusus mendedikasikan perayaan Maria Pertolongan Umat Kristiani untuk menghormati Bunda Maria. Sejak saat itu, devosi kepada Bunda Maria (di bulan Mei) menjadi dikenal secara universal dan populer di kalangan umat beriman. Bulan Mei sebagai bulan Maria semakin diteguhkan melalui melalui surat ensiklik Paus Paulus VI yang berjudul Mense Maio (The Month of May). Di sana, Paus Paulus VI menyerukan pesan penting kepada umat beriman. Bunyinya begini, “Bulan Mei adalah bulan di mana devosi umat beriman didedikasikan kepada Bunda Maria yang terberkati, dan bulan Mei adalah kesempatan untuk penghormatan iman dan kasih yang diberikan oleh umat Katolik di setiap bagian dunia kepada Sang Ratu Surga. Sepanjang bulan ini, umat Kristen, baik di gereja maupun secara pribadi di rumah, mempersembahkan penghormatan dan doa dengan penuh kasih kepada Maria dari hati mereka. Pada bulan ini, rahmat Tuhan turun atas kita … dalam kelimpahan (Paus Paulus VI, Mense Maio, 1).” Pembaca yang budiman, Gereja secara khusus mendedikasikan bulan Mei sebagai bulan Maria bukan tanpa alasan. Bunda Maria, dengan caranya yang istimewa, banyak berperan penting dalam kehidupan Gereja. Di saat-saat yang sulit, Bunda Maria senantiasa hadir untuk mengulurkan tangannya dan membantu anak-anaknya yang mengalami susah dan derita. Mungkin, kita termasuk salah satu di antara mereka yang pernah mengalami pertolongan Bunda Maria. Mungkin juga, kita sekarang sedang membutuhkan pertolongan Sang Bunda. Oleh karena itu, di bulan Maria ini, mari kita bersama mengarahkan hati kita untuk menghormati dan berdoa bersama Bunda Maria. Semoga, pertolongan dan penyertaan Bunda Maria selalu meneguhkan perjuangan dan peziarahan kita di dunia. Referensi: Alkitab Deuterokanonika (LAI, 2011). “Mei dan Oktober sebagai Bulan Maria“, katolisitas.org, https://www.katolisitas.org/mei-dan-oktober-sebagai-bulan-maria/. “(Tau Ga?) Mengapa Bulan Mei Disebut Bulan Maria?, gerejasantoambrosius, https://gereja.santoambrosius.org/2019/04/tau-ga-mengapa-bulan-mei-disebut-bulan.html.

Read More

HARAPAN AKHIRNYA MENANG!

![ilustrasi-link-live-streaming-misa-malam-paskah-keuskupan-denpasar-pukul-1730-wita](//images.ctfassets.net/a1uad830l19w/1CtBdwznsknmEE3KJtszNq/340a219ee3c91285e7d6d521d72f95c0/ilustrasi-link-live-streaming-misa-malam-paskah-keuskupan-denpasar-pukul-1730-wita.jpg) Beberapa waktu lalu, sebuah media sosial Instagram diramaikan dengan berita mengenai seorang gadis yang tertekan akibat pandemi yang tak kunjung berhenti. Gadis itu mencurahkan isi hatinya yang amat tertekan sehingga memutuskan untuk bunuh diri. Ia mengisahkan bahwa usahanya yang baru dirintis telah bangkrut dan ia kini terlilit pada hutang. Belum lagi, ia harus menanggung kenyataan pahit kepegian ayahnya akibat terpapar virus covid-19. Namun, beberapa saat kemudian, ia kembali muncul di media sosial dan kembali curhat bahwa ia berusaha menyemangati diri sendiri untuk bangkit dari keterpurukan, meski amat sulit. Seketika, unggahannya itu mendapat banyak reaksi positif dari warga net. Harapan Paskah “Pada hari inilah, Tuhan bertindak. Mari kita rayakan dengan gembira, alleluya!”. Kutipan ini ada dalam lagu singkat di Ibadat Harian/brevir selama masa paskah. Ketika seruan ini diucapkan dengan penuh penghayatan, kita akan merasakan kekaguman yang bercampur dengan rasa takut sebab paskah menjadi bukti bahwa Allah sungguh-sungguh bekerja atas hidup kita. Empat puluh hari penantian dalam masa prapaskah yang kita jalani dengan tertatih dan sulit, akhirnya terbayar lunas pada hari paskah. Seruan alleluya yang kita simpan selama masa prapaskah, akhirnya hari ini kita gaungkan dengan amat lantang, “Alleluya!”. Ya, kita patut bergembira karena hari ini Tuhan telah bangkit. Kegembiraan paskah adalah hadiah atas harapan semua orang beriman. Bangsa Israel telah mengalami kegembiraan itu lebih dulu daripada kita. Mereka lebih dulu berharap daripada kita. Harapan mereka pada Tuhan Allah tidak sia-sia sebab hari ini Tuhan telah bertindak atas hidup mereka. Lihatlah, Allah tengah bekerja atas bangsa Israel dengan membinasakan anak sulung orang Mesir dan segala ternaknya. Darah anak domba yang dioleskan di pintu menjadi tanda keberadaan bangsa Israel yang berharap pada Tuhan sehingga mereka diselamatkan (Keluaran 12:13). Dengan kematian anak-anak sulung orang Mesir beserta ternaknya, bangsa Israel semakin yakin bahwa janji Allah lewat Abraham telah digenapi dan iman mereka tidak sia-sia. Bangsa Israel juga tak akan pernah lupa bahwa berharap pada Allah tak akan sia-sia. “Sebab haruslah kauingat, bahwa engkau pun dahulu budak di tanah Mesir dan engkau dibawa keluar dari sana oleh Tuhan” (Ulangan 5:15). Mereka ingat betul bahwa berharap itu bukan sesuatu yang mudah. Bayangkan saja, empat puluh tahun perjalanan di padang gurun yang tandus, mereka (masih) berharap kepada Allah. Ada kalanya mereka lelah berharap pada Allah dengan membuat berhala. Ada kalanya pula mereka berharap dengan amat teguh sehingga Allah menunjukkan kuasa-Nya, seperti melalui tiang awan. Berharap memang menjadi sesuatu yang melelahkan, sekaligus menguatkan. Setelah mengalami banyak jatuh bangun berharap, akhirnya bangsa Israel tiba di tanah terjanji. Kisah inilah yang selalu dibacakan saat Vigili Paskah. Artinya, ini menjadi sesuatu yang amat penting untuk dikenang selalu. Paskah bangsa Israel semakin disempurnakan oleh kebangkitan Kristus. Peristiwa penting yang tak akan dilupakan para murid adalah ketika pagi-pagi buta Yesus menampakkan diri kepada Maria Magdalena (Markus 16:9) dan Maria Magdalena menyampaikan kabar bahwa “Yesus telah bangkit” kepada para murid (Yohanes 20:18). Harapan Maria Magdalena kini berujung pada sukacita yang amat mendalam. Meskipun para murid masih menganggap harapan Maria Magdalena akan kebangkitan Yesus sebagai omong kosong (Lukas 24:11), Toh akhirnya, mereka semua percaya bahwa Yesus sungguh bangkit. Itu sebabnya, seorang Bapa Gereja, Santo Yohanes Krisostomus mengajarkan bahwa dasar harapan para pengikut Kristus tidak lain tidak bukan adalah kebangkitan Kristus. Kebangkitan Tuhan Rasul Paulus menyebut, “Jika Tuhan tidak bangkit, maka sia-sialah pemberitaan dan kepercayaan kita” (1 Korintus 15:14). Kebangkitan Tuhan sungguh menjadi dasar keyakinan para murid yang dengan gigih mewartakan Kristus. Banyak orang kala itu menganggap bahwa para pengikut Kristus tengah mengalami halusinasi yang berat. Bisa dibayangkan, betapa terpukulnya mereka kala harapan pada Yesus begitu besar, tetapi Yesus malah wafat dengan cara yang mengenaskan. Benarkah mereka berhalusinasi? Tidak sama sekali sebab kebangkitan Tuhan betul-betul menjadi penyemangat mereka mewartakan Kristus. Bahkan, orang Kristen awali rela menjadi martir: dimakan binatang buas, disalib, dibakar, dipenggal, dsb. Apa yang membuat mereka begitu berani? Ya, itu karena mereka tahu benar-benar bahwa Kristus sungguh bangkit dari antara orang mati. Apa yang membuat Rasul Paulus rela melakukan perjalanan jauh dan berat untuk mewartakan Kristus? Padahal, ia dulu dikenal paling kejam menyiksa orang-orang Kristen. Sekali lagi, itu terjadi karena mereka paham betul bahwa Kristus bangkit dan memberi harapan yang besar. Harapan itu tak pernah sia-sia. Kebangkitan Kristus adalah inti iman paling penting yang telah diwartakan oleh rasul Paulus (1 Korintus 15:3). Inilah “bensin” bagi harapan orang-orang beriman yang membuat mereka kuat menjalani siksaan dan cemoohan orang-orang. Gereja pun mengajarkan bahwa kebangkitan Tuhan telah menegaskan keallahan Yesus (KGK 653). Kini, mereka semakin yakin bahwa harapan pada Yesus tak akan sia-sia. Bisa dibayangkan, orang-orang lemah saat itu mengalami banyak kepedihan, seperti situasi sosial, penjajahan dan kasta religius yang menyudutkan posisi mereka. Belum lagi, beban pajak harus ditanggung mereka. Itu sebabnya, kebangkitan Tuhan membawa semangat harapan hidup bagi mereka karena mereka percaya Yesus akan menyelamatkan hidup mereka. Harapan Baru Kita hidup dalam iman ini, “Yesus telah mati dan telah bangkit” (KGK 649). Iman kita menjadi dasar kita berharap di dalam segala situasi, bahkan sesulit apapun. Di saat segala sesuatu menjadi sulit di masa pandemi, hanya iman yang membuat kita kuat. Di tengah segala ketidakpastian dan kekecewaan hidup, hanya iman yang membuat kita kembali optimis. Itu sebabnya, ketika seorang katekumen hendak dibaptis, imam akan bertanya padanya, “Apa yang kamu minta dari Gereja?”. Ia akan menjawab, “Iman”. Tentang ini, Rasul Paulus menegaskan, “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat” (Ibrani 11:1). Berikutnya adalah harapan karena paskah adalah peringatan akan menangnya harapan. Di tengah pesimisme pandemi, harapan paskah membawa optimisme. Adanya vaksin menjadi salah satu bukti bahwa harapan paskah itu sungguh ada. Ya, kita hidup dalam harapan paskah kebangkitan Tuhan untuk hidup baru (KGK 654). Terakhir, iman dan harapan paskah itu melahirkan kasih. Lihatlah, betapa banyak aksi solidaritas kasih di tengah pandemi ini. Tepatlah Santa Teresa Avila berujar, “Amor vicit omnia” atau kasih menang atas segalanya. Jadi, apa yang membuat kita optimis berharap dalam menghadapi masa pandemi ini? Ya, itu karena kebangkitan Kristus. Akhirukallam, proficiat kepada kita semua yang merayakan paskah karena harapan akhirnya menang dan akan selalu menang!

Read More

VIGILI PASKAH

![Burial](//images.ctfassets.net/a1uad830l19w/3BGHezjvGsUNHE5XrnjmU1/fec77861eaa7e7e3cbc1f04f8f0b4341/Burial.jpg) Vigili Paskah adalah bagian yang tak dapat dipisahkan dari perayaan Trihari Suci. Memang, Vigili Paskah belum merupakan puncak dari misteri perayaan Paskah. Akan tetapi, perayaan Vigili Paskah, jika dibandingkan dengan rangkaian perayaan Trihari Suci yang lain, terkesan istimewa. Hal ini ditekankan dalam Direttorio Omiletico (Pedoman Homili), “Vigili Paskah, sebagaimana ditunjukkan oleh Missale Romawi, adalah yang paling penting dan paling luhur di antara semua Hari Raya (DO, 48)”. Melalui tulisan ini, kita hendak diajak untuk memahami dan merefleksikan arti vigili paskah bagi kehidupan kita. Sabtu Suci vs Vigili Paskah Dalam kehidupan sehari-hari, tidak sedikit orang yang dibingungkan dengan istilah Sabtu Suci dan Vigili Paskah. Beberapa di antara mereka bahkan menganggap keduanya sama saja, “Sabtu Suci dan Vigili Paskah itu sama saja. Toh, keduanya sama-sama dirayakan di hari Sabtu”. Benarkah pemahaman ini? Sejatinya, Sabtu Suci dan Vigili Paskah bukanlah perayaan yang sama. Perbedaannya terletak pada misteri yang dirayakan. Secara sederhana hal ini bisa dijelaskan demikian. Sabtu Suci berlangsung mulai dari Sabtu pagi hingga menjelang sore hari. Di sini, Gereja, secara khusus, diajak untuk “nyepi” merenungkan misteri Yesus yang kini terbaring dalam kubur (Dokumen Perayaan Paskah dan Persiapannya, 73). Di sisi lain, Vigili Paskah berlangsung pada waktu malam hari menjelang pagi hari. Di sini, Gereja, secara khusus, diajak untuk menantikan, dalam doa, kebangkitan Kristus dan merayakannya dengan sakramen inisiasi (Dokumen Perayaan Paskah dan Persiapannya, 73). Makna Teologis Vigili Paskah Vigili Paskah atau Malam Paskah memiliki makna teologis yang mendalam. Dalam Vigili Paskah, kita diajak untuk mengenangkan karya-karya ilahi yang dikerjakan Allah dalam sejarah keselamatan – mulai dari Perjanjian Lama hingga mencapai penggenapannya dalam Perjanjian Baru, yakni dalam peristiwa sengsara, wafat dan kebangkitan Tuhan kita Yesus Kristus. Inilah yang membuat perayaan Vigili Paskah, sebagaimana yang dikutip dalam Direttorio Omiletico, menjadi penting bagi Gereja Katolik. Semua bermula dari kejatuhan manusia pertama, yakni Adam dan hawa, ke dalam jerat dosa (Kej 3). Sejak saat itu, manusia hidup dalam penderitaan dan belenggu dosa. Melihat hal tersebut, Allah tidak tinggal diam. Allah begitu mengasihi manusia dan menghendaki keselamatan bagi umat manusia. Dalam Perjanjian Lama, Allah memakai perantaraan para bapa bangsa dan nabi untuk menyampaikan rencana keselamatan-Nya. Melalui perantaraan para nabi pula, Allah menubuatkan datangnya Mesias yang akan menyelamatkan umat pilihan-Nya, “Suatu tunas akan keluar dari tunggul Isai, dan taruk yang akan tumbuh dari pangkalnya akan berbuah (Yes 11:1)”. Kemudian, nubuat tentang kedatangan Mesias yang sejak lama dinantikan dalam Perjanjian Lama tergenapi di Perjanjian Baru. Di sini, Allah tidak memakai perantaraan para nabi untuk mewahyukan Diri-Nya dan rencana keselamatan-Nya. Dalam Perjanjian Baru, Allah benar-benar menggenapi pewahyuan dan rencana keselamatan-Nya dalam diri Yesus Kristus. Boleh dikata, kini, Allah-lah yang berjuang demi keselamatan manusia. Karena cinta-Nya yang begitu besar kepada manusia, Allah mengambil rupa seorang hamba dan menanggung dosa-dosa manusia. “…….Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia (Flp 2:5-7)”. Cinta Allah yang begitu besar mendorong manusia untuk memandang pancaran keselamatan yang dinyatakan melalui Paskah Kristus: sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus. Yesus telah menempatkan tumpukan dosa manusia tepat di atas bahunya dan memanggulnya ke bukit Golgota. Di bukit Golgota, Yesus disalibkan oleh karena dosa-dosa manusia hingga wafat. Di sini, kematian Yesus bukanlah akhir dari segalanya. Yesus belum kalah. Gereja Katolik mengimani bahwasanya berkat sengsara dan kematian-Nya, Yesus turun ke dunia orang mati (sheol). Di sana, Yesus juga datang membawa terang keselamatan, “Dengan demikian Kristus turun ke dunia orang-orang mati, agar orang-orang mati mendengar suara Anak Allah… dan mereka yang mendengar-Nya akan hidup (KGK, 635). Yesus adalah pemimpin kehidupan. Dengan turun ke dunia orang mati, Yesus menuntaskan misi keselamatan yang diakhiri dengan menebus jiwa-jiwa di dunia orang-orang mati dan mengalahkan kuasa maut. Butir-butir permenungan teologis di atas nampak dalam perayaan Vigili Paskah. Lilin Paskah yang terang benderang melambangkan terang Kristus yang jaya atas kegelapan maut. Cahaya Kehidupan memenangkan jiwa-jiwa dari perhambaan kuasa maut. Di sisi lain, Gereja, dalam Pedoman Perayaan Paskah dan Persiapannya, meminta anak-anaknya untuk merayakan Vigili Paskah dengan sakramen inisiasi. Hal ini mengingatkankan kita akan pembaptisan. Bagi para katekumen, misteri penebusan Kristus sungguhlah nyata dalam pembaptisan. Ketika dikucuri atau dibenamkan dalam air, para katekumen menanggalkan “manusia lama” mereka. Ketika keluar dari air, para katekumen lahir dan mengenakan “manusia baru” karena melihat terang dan mendengar suara Yesus yang mendatangkan kehidupan. Di sisi lain, misteri penebusan Kristus juga nyata bagi umat beriman yang memperbaharui janji baptis. Dengan memperbaharui janji baptisnya, umat beriman menolak dan menanggalkan kuasa kegelapan. Janji baptis yang diperbaharui memberikan mereka kekuatan untuk senantiasa menjadikan Kristus sebagai satu-satunya terang keselamatan dalam kehidupan sehari-hari. Sampai dengan perayaan Vigili Paskah ini, Gereja menantikan kebangkitan Kristus. Dalam penantian ini, Gereja merenungkan karya keselamatan Allah dari awal penciptaan hingga berpuncak pada sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus. Menarik untuk digarisbawahi, Vigili Paskah mengingatkan kepada kita bahwa kematian Yesus bukan akhir dari segalanya. Yesus yang telah wafat itu – saat Vigili Paskah ini – turun ke alam penantian membawa terang keselamatan dan mengalahkan kuasa maut. Berkat penebusan-Nya, kita, manusia yang hina ini, dilahirkan kembali dalam Roh dan diangkat menjadi anak-anak Allah. Inilah yang patut kita syukuri dan renungkan sembari menyongsong hari kebangkitan Kristus pada Minggu Paskah. Renungan Tidak salah memang jika Gereja memandang Vigili Paskah sebagai perayaan yang penting. Kita bisa melihat bagaimana seluruh misteri rencana keselamatan Allah disingkapkan dan direnungkan dalam Vigili Paskah. Tentunya, kita bisa merasakan bagaimana besarnya kuasa Allah atas kehidupan manusia. Berkat kuasa penebusan-Nya, Kristus membebaskan manusia dari jerat maut dan mengangkat manusia menjadi anak-anak Allah. Dalam permenungan ini, penulis tertarik untuk mengajak pembaca sekalian memetik inspirasi dari kekayaan Vigili Paskah. Sekurang-kurangnya, kita bisa merenungkan soal pembaptisan. Pembaptisan adalah salah satu momen yang tidak bisa dilepaskan dari perayaan Vigili Paskah. Melalui pembaptisan, seorang katekumen diterima untuk masuk menjadi anggota Gereja. Kalau mau direnungkan lebih dalam lagi, pembaptisan sesungguhnya bukan sekadar “formalitas” yang harus dilakukan supaya menjadi Katolik. Lebih daripada itu, pembaptisan membawa suatu kehidupan baru. Pembaptisan erat kaitannya dengan kehidupan. Dengan dibaptis, orang dianugerahi hidup yang baru, yang tidak dapat direnggut oleh manusia, yakni hidup sebagai anak-anak Allah. Oleh karena itu, baptis diberikan sekali seumur hidup dan memiliki daya meterai kekal (KGK, 1272). Meterai kekal pembaptisan ini kemudian mendorong orang yang telah dibaptis untuk mengambil bagian secara aktif dalam menjalankan imamat umum (imam, nabi dan raja) melalui kesaksian hidup kudus dan cinta penuh semangat (KGK, 1273). Kepada orang-orang yang telah menerima rahmat pembaptisan ini, Gereja meminta mereka supaya sungguh-sungguh menghidupinya dalam kehidupan sehari-hari. Sekarang, mari kita jujur. Dalam kehidupan sehari-hari, kita banyak menemukan kenyataan yang bertolakbelakang. Seringkali, orang begitu mudah melalaikan apa yang diminta Bunda Gereja kepada anak-anaknya, yakni supaya mereka yang telah dibaptis benar-benar menghidupi rahmat pembaptisan yang diterima. Seakan ingatan di mana orang menggebu-gebu dan bersemangat mengatakan “ya” untuk dibaptis berlalu begitu saja seiring dengan dinamika suka dan duka kehidupan. Orang mulai lesu dalam menghidupi imannya. Tak jarang, ada yang sampai berpikir ekstrim, hidup beriman itu tidak penting karena tidak bisa menyelesaikan aneka persoalan hidup sehari-hari. Lihat, betapa orang dewasa ini mudah jatuh pada keputusasaan dan kekecewaan! Memang, usaha untuk menghidupi rahmat pembaptisan yang telah kita terima dalam kehidupan sehari-hari tidaklah mudah. Kita pun tak jarang harus menghadapi aneka tantangan yang berat dan dilematis. Kita bingung. Kita cemas. Kita tak tahu harus berbuat apa. Namun, janganlah semua ini mengecilkan hati kita. Jika kita mengalami pengalaman semacam ini, ingatlah tentang apa yang membuat pembaptisan kita bernilai harganya. Ingatlah akan Dia yang bertaruh nyawa demi menebus dosa-dosa kita dan membebaskan kita dari kuasa maut. Ingatlah akan Kristus! Apa yang kita mengerti tentang Yesus dan apa yang telah dilakukan-Nya bagi kita manusia – yang secara indah disingkapkan dalam Vigili Paskah – adalah alasan yang lebih dari cukup untuk melihat rahmat pembaptisan kita sebagai sesuatu yang bernilai dan layak untuk dihidupi. Pengurbanan dan penebusan Yesus telah mendatangkan kehidupan yang baru, yang sayang untuk disia-siakan. Melalui perayaan Vigili Paskah, kita senantiasa diingatkan tentang betapa mahal dan berharganya nilai keselamatan yang kita peroleh dengan “cuma-cuma”, yang semuanya hanya mungkin berkat penebusan Kristus. Sejatinya, daya kekuatan yang kita butuhkan untuk menghidupi rahmat pembaptisan dalam kehidupan sehari-hari bersumber dari Sang Pemberi Hidup, yakni Yesus sendiri. Kita tidak mungkin menghidupi, bahkan memperbaharui iman kita tanpa memiliki kedekatan rohani dengan Yesus. Oleh karena itu, bersama Vigili Paskah yang kita rayakan ini, kita diajak untuk kembali kepada Sang Sumber Kehidupan. Yesus adalah pemimpin kehidupan (KGK, 635). Bersama dengan Yesus, kita akan dimampukan untuk menghidupi rahmat pembaptisan kita. Kita juga akan dimampukan untuk mengubah kehidupan iman kita menjadi terang paskah yang membawa secercah harapan di tengah perjuangan melawan pandemi Covid-19. Semoga, hidup kekudusan dan cinta kasih kita yang berkobar-kobar menjadi kesaksian iman akan Kristus yang bangkit dan memperbaharui kehidupan kita. Referensi Alkitab Dueterokanonika. Jakarta: LAI, 2010. Katekismus Gereja Katolik. Ende: Nusa Indah, 2014. Kongregasi untuk Ibadat Ilahi dan Tata Tertib Sakramen-Sakramen, Pedoman Homili (Direttorio Omiletico). terj. Andreas Suparman, SCJ. Jakarta: Departemen Penerangan dan Dokumentasi KWI, 2020. Kongregasi untuk Ibadat Ilahi, Perayaan Paskah dan Persiapannya (Litterae Circulares De Festis Paschalibus Praeparandis et Celebrandis). terj. Piet Go, O.Carm. Jakarta: Departemen Penerangan dan Dokumentasi KWI, 2005.

Read More

SENGSARA DAN WAFAT KRISTUS

![jumat-agung-paskah 20180330 061742](//images.ctfassets.net/a1uad830l19w/4TqmVCcoFwf2BQBqTzaevt/051943fcb4724ea2e14634314cba1fe3/jumat-agung-paskah_20180330_061742.jpg) Pengantar Selama pekan ini umat Katolik sedunia melaksanakan perayaan peribadatan Tri Hari Suci, yaitu dari mulai Kamis Putih, Jumat Agung, dan Sabtu Suci, serta sebagai puncak perayaan iman akan Kristus, yakni pada Hari Minggu Paskah. Selama Tri Hari Suci ini, Gereja merayakan misteri terbesar karya penebusan, yaitu sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus Kristus. Hari ini tanggal 02 April 2021 Gereja Katolik melaksanakan peribadatan Jumat Agung yang merupakan hari kedua setelah kamis putih yang merupakan serangkaian dari Tri Hari Suci. Jumat Agung diperingati sebagai sengsara dan wafat Yesus yang merupakan bentuk cinta diri-Nya terhadap Bapa dan umat manusia. Sebuah kasih yang begitu besar diberikan kepada manusia dengan cuma-cuma namun dengan karya sangat besar. Penulis teringat akan pada awal penciptaan, yakni manusia dan Allah memiliki relasi intim dalam Taman Eden. Akan tetapi relasi tersebut terputus ketika manusia mengarahkan kehendak bebasnya kepada sesuatu yang jahat, yakni dengan makan buah pohon pengetahuan supaya mengetahui baik dan jahat. Sehingga manusia jatuh ke dalam dosa dan jauh dari Allah. Maka, Jumat Agung merupakan sebuah peristiwa di mana seluruh ciptaan, terutama manusia sebagai puncak dan pusat ciptaan, memperoleh keselamatan dari Allah melalui kisah sengsara putra-Nya yang tunggal, Yesus Kristus. Penulis memberikan beberapa pertanyaan untuk membantu para pembaca merefleksikan Jumat Agung, sebuah karya keselamatan dan besar dari Allah bagi manusia, yakni apa makna dan arti Jumat Agung? Buah-buah refleksi teologis apa yang dapat dipetik dan menjadi sebuah tindakan dalam kehidupan sehari-hari? Sejarah Singkat Dan Arti Pada hari Jumat Agung, ketika Kristus, Domba Kurban kita dikurbankan (1 Kor 5:7), Gereja merenungkan sengsara Tuhan, Mempelainya, dan menyembah salib-Nya; pada saat itu, Gereja merenungkan asal-usulnya dari luka lambung Kristus yang wafat pada salib dan berdoa bagi keselamatan seluruh dunia (bdk. PPP No. 58). Tanpa hari penderitaan, kesedihan, dan penumpahan darah yang mengerikan itu di kayu salib, tidak akan ada keselamatan. Melalui apa yang dianggap kebodohan oleh dunia itu, Tuhan ingin memperlihatkan kasih-Nya yang sungguh besar (bdk. Fides et Ratio, art. 23). Dari sebab itu, pada hari Jumat Agung tidak dirayakan Ekaristi, tetapi perayaan Sabda dan sekaligus merupakan hari pantang dan puasa. Sejak Awal mulanya pada hari Jumat Agung tidak pernah diadakan perayaan Ekaristi, sebab hendak ditampilkan keikutsertaan Gereja pada detik-detik sengsara dan wafat Kristus. Gereja hendak mengungkapkan cintanya yang mendalam kepada Kristus yang tersalib dengan mengadakan Upacara Penyembahan Salib. Kesaksian Santo Yustinus dari Abad II perlu kita perhatikan dengan baik, yakni bahwa pada Jumat Agung tersebut diadakan pula “Doa Umat Meriah” dan diakhiri dengan menyambut Hosti Kudus (bdk. Apologia, Abad II). Pada Abad Pertengahan, yang boleh menyambut hosti suci hanyalah imam. Hal ini di kemudian hari lebih dipertegas lagi dalam Konsili Trente. Namun demikian, pada tahun 1955 Paus Pius XII tanpa banyak diskusi, memberi izin komuni bagi seluruh umat beriman. Peribadatan Jumat Agung pada tahun ini sesuai dengan Kalender Liturgi Gereja Katolik, bacaan Injil diambil dari Injil Yohanes 18:1-19:42. Pada hari ini, Gereja Katolik tidak merayakan perayaan Ekaristi, namun hanya beribadat saja. Karena Gereja Katolik mengajak semua umat beriman mengalami dan merasakan bersama-sama bagaimana karya Allah demi keselamatan umat manusia yang tergenapi dan terpenuhi dalam diri Yesus Kristus yang menderita, sengsara dan wafat diatas kayu Salib. Hal itu dapat dirasakan ketika umat beriman mendengarkan dan menyimak baik-baik bagaimana passio atau kisah sengsara dan wafat Kristus didaraskan atau dibacakan dalam peribadatan. Jumat Agung merupakan suatu karya awal Allah secara nyata bagaimana Dia sangat mencintai umat-Nya dengan menebus dosa-dosa manusia, melalui mengorbankan anak-Nya Tunggal. Kisah ini dapat juga membawa umat beriman merefleksikan kembali bagaimana peristiwa kejatuhan umat akibat dosa dan terlepasnya relasi intim dengan Allah. Melalui perisitiwa Jumat Agung ini, seluruh umat manusia dikembalikan atau dibawa oleh Tuhan Yesus Kristus, melalui sengsara dan wafatnya, kepada relasi intim dengan Allah seperti di Taman Eden. Makna Jumat Agung diwarnai oleh kisah sengsara menurut Injil Yohanes. Hari ini bukan merupakan hari dukacita, tetapi hari kontemplasi penuh akan cinta Kristus yang telah mengurbankan diri untuk menyelamatkan umat manusia; mendamaikan surga dan bumi. Jumat Agung sangat kaya akan teologi salib yang terungkap bukan saja dalam rumusan doa, tetapi juga dalam tata bacaan Sabda Tuhan. Itulah alasan mengapa warna liturgi yang dipakai saat Jumat Agung bukan ungu, melainkan merah; karena hendak melambangkan dan memaknai cinta Kristus yang penuh keberanian sampai wafat di kayu Salib. Maka, sengsara dan wafat Kristus yang dirayakan pada Jumat Agung melambangkan kemenangan Kristus. Keempat Injil menceritakan secara terperinci, langkah demi langkah, apa yang terjadi pada hari terakhir hidup Yesus, sejak Perjamuan Malam sampai Ia disalibkan. Peristiwa sengsara dan wafatnya sudah dinubuatkan oleh Nabi Yesaya dalam Kidung Hamba Yahwe yakni dari Yesaya 52: 13-53:12. Teks tersebut paling banyak dipakai oleh Gereja Purba dan Perjanjian Baru, serta paling jelas menubuatkan baik kesengsaraan Yesus maupun makna penyelamatan dan kemuliaan yang diberikan Allah kepada hamba-Nya yang setia. Peristiwa sengsara dan wafat Yesus itulah penggenapan dari nubuat tersebut (bdk. Heijden: 53). Lebih lanjut, ada makna-makna lain yang bisa kita petik melalui peristiwa sengsara dan wafat Tuhan Yesus, antara lain: Sejarah Penindasan: Kematian Yesus merupakan salah satu peristiwa penindasan yang paling dramatis. Ini menampakkan sejarah umat manusia yang penuh penindasan. Tapi melalui penindasan itu, muncullah kasih Yesus yang mendalam bagi dunia. Yesus menyelesaikan perutusan-Nya: Yesus yang berjalan dan memanggul salib memberikan kesaksian mengenai kebenaran: kebenaran kasih Allah dan Sang Kasih. Jika kejahatan berteriak-teriak, maka kebenaran itu adalah cahaya yang bersinar dalam gelap serta diam; yang dari padanya memunculkan sesuatu yang berharga dari dalam dirinya. Maka pada akhirnya, Yesus memberikan hidup-Nya untuk orang-orang yang Ia kasihi, dan kesatuan umat manusia. Ia menyongsong kematian-Nya dengan bebas, bebas memberikan hidup-Nya kepada kita. Yesus Raja seluruh dunia: Yesus adalah raja yang menunjukkan jalan menuju kasih dan damai. Kerajaan Sang Kasih yang tersalib inilah yang dinyatakan ke seluruh dunia. Yesus menyerahkan ibu-Nya kepada murid yang dikasihi: Ketika Yesus tergantung di atas salib, Ia menyerahkan ibu-Nya kepada murid-Nya (Yoh 19:26-27). Di sini, Yesus menyerahkan Bunda Maria kepada murid-Nya (Gereja) dan murid-Nya (Gereja). kepada Bunda Maria. Maka, Gereja senantiasa bernaung dalam lindungan Bunda Maria; inilah kesatuan dan persekutuan kasih yang sempurna. Seberkas Harapan: Kisah kekejaman yakni sengsara dan wafat-Nya bukanlah akhir dari segalanya. Kekejaman dan kekejian diubah menjadi kelembutan dan pengampunan. Kasih Tuhan mengalir dan membasuh luka-luka manusia akibat dosa. Sebagaimana hidup mengalir dari hati Yesus yang tertombak, hidup juga mengalir dari hati orang-orang yang akan menderita dalam nama Yesus. Para murid yang menderita dalam nama Yesus (misalnya: para martir) menjadi sumber hidup bagi Gereja dan bagi dunia, dengan kata lain mereka adalah saksi pemakluman kasih Yesus. (bdk. Vanier: 426-443) Refleksi Teologis Pekan pra paskah selama 40 hari telah kita lewati dengan penuh pemaknaan yang mendalam untuk mempersiapkan keagungan misteri Yesus Kristus yang mempersembahkan diri-Nya sebagai kurban penebus dosa manusia. Kita dapat merefleksikan, bahwa bentuk cinta Tuhan nyata, bukan sebuah harapan yang semu dengan memberikan janji palsu. Bentuk cinta dan kasih membutuhkan sebuah pengorbanan, sebab kemenangan sejati bukan milik mereka yang menginginkan dunia yang penuh fana, melainkan mereka yang menginginkan dirinya sebagai alat Tuhan untuk menyebarkan cinta dan kasih yang kekal. Memang tidak mudah menjadi pengikut Kristus dibutuhkan pengorbanan dan kekuatan iman yang kuat menghadapi cobaan dan rintangan, sebab sebagai pengikut Yesus harus dapat memikul salib yang tentunya tidak mudah bagi mereka yang melaksanakan, namun bagi mereka yang beriman kepada Yesus Kristus suatu percobaan dan rintangan menjadi lebih mudah bagi mereka, karena mereka yakin bahwa ada Tuhan selalu bersamanya. Pada dasarnya cobaan dan rintangan hanya bersifat sementara tetapi Tuhan tetap kekal dan abadi. Melalui ajaran Kasih Kristus pada perayaan Jumat Agung dapat kita maknai dalam kehidupan sehari-hari, yaitu dengan sikap kerendahan hati dan saling mengampuni kepada orang lain, seperti yang tertulis pada Alkitab disurat Efesus 4 ayat 32 “Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu”. Cobaan dan rintangan melalui orang yang mencobai kita, hendaknya kita dapat memaafkan dan bersikap rendah hati untuk menyelesaikan permasalahan. Jangan arogan dan pendendam, sebab mereka itu akan semakin jauh dari Tuhan. Dengan demikian melalui ajaran Kasih dan kerendahatian kepada orang lain, identitas kita sebagai umat Kristiani dipandang baik dan mereka akan mengakui ajaran Yesus Kristus memang benar adanya, bukan melainkan ajaran yang mengharapkan sebuah balasan setelah melakukan kebaikan atau keburukan, tetapi ajaran yang penuh Kasih dengan sesuatu yang dikerjakan TULUS hanya dilakukan untuk Tuhan Kristus yang Agung tanpa meminta balasan apa pun. Melalu Jumat Agung, kita dapat memaknainya lebih mendalam bahwa penderitaan dan cobaan dapat membentuk kepribadian kita lebih baik. Sikap kedewasaan dan kebijaksanaan akan tumbuh melalui perjalanan kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan, kemalangan, kesuksesan, kesulitan, kesedihan, dan lain sebagainya, karena Tuhan tidak menjanjikan langis selalu biru, bunga selalu mekar dan mentari selalu bersinar, tetapi ketahuilah bahwa Tuhan selalu setia bersama kita dan Tuhan tidak akan meninggalkan kita dalam keadaan terpuruk. Hendaklah kita untuk datang kepada Allah dengan kerendahan hatian kita mengharap bahwa selalu diberikan keimanan yang kuat untuk melangkah dalam kehidupan selanjutnya. Sebab sejatimya tanpa iman kita akan kehilangan arah dan semangat hidup. Dengan ketika mereka mendapatkan permasalahan, maka mereka mengakhiri hidupnya sendiri yang merupakan satu-satunya jalan keluar. Maka dari itu hendaknya kita selalu datang kepada Tuhan melalui doa pribadi maupun misa untuk memperkuat iman kita, apalagi momentum pekan suci yang sangat pas untuk kita hadir kepada Tuhan dan merefleksikan kehidupan kita selama satu tahun, agar dapat membentuk pribadi yang lebih baik lagi. Sumber Kitab Suci Deuterokanonika Bert van der Heijden, Menghayati Liturgi Pekan Suci, Yogyakarta: Kanisius, 2002. Jean Vanier, Tenggelam ke Dalam Misteri Yesus, Yogyakarta: Kanisius, 2009. Pedoman Perayaan Paskah dan Persiapannya, (judul asli: Paschale Solemnitatis) Surat Edaran dari Kongregasi untuk Ibadat Ilahi, 1988. Yohanes Paulus II, Ensiklik Fides et Ratio. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2015. Yustinus, Apologia, Abad II. Kitab Suci Deuterokanonika Bert van der Heijden, Menghayati Liturgi Pekan Suci, Yogyakarta: Kanisius, 2002. Jean Vanier, Tenggelam ke Dalam Misteri Yesus, Yogyakarta: Kanisius, 2009. Pedoman Perayaan Paskah dan Persiapannya, (judul asli: Paschale Solemnitatis) Surat Edaran dari Kongregasi untuk Ibadat Ilahi, 1988. Yohanes Paulus II, Ensiklik Fides et Ratio. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2015. Yustinus, Apologia, Abad II.

Read More

YESUS PAHLAWAN KASIH YANG SEJATI

![1124](//images.ctfassets.net/a1uad830l19w/6C4Rq4naGBSDuF26b8LsY2/c92ac36f2c80104bf6650750ba671c60/1124.jfif) Pahlawan adalah orang yang berjasa. Pahlawan sendiri merupakan seseorang yang selalu memberikan keteladanan yang luar biasa dalam melakukan pengorbanannya. Pahlawan pun berani memperjuangkan suatu hal yang sungguh bermakna baginya. Misalnya, pahlawan di Indonesia yang berjuang demi Bangsa Indonesia. Tak bisa dipungkiri bahwa banyak pahlawan di Indonesia yang senantiasa berjuang dengan senjata dan mempertaruhkan nyawanya demi Bangsa dan Negara. Pada hari ini, kita telah memasuki Tri Hari Suci yang dimulai sejak kamis sore nantinya. Kita harus bersyukur dengan adanya liturgi dalam perayaan Ekaristi yang kaya akan makna. Peristiwa yang kita peringati dalam Kamis Putih nantinya bukanlah Perayaan Ekaristi yang biasa, karena Kamis Putih merupakan tradisi umat Kristen untuk memperingati perjamuan malam terakhir yang dipimpin oleh Yesus (Bdk, Mat 26:17-30, Mrk 14:12-31, Luk. 22:7-24, dan Yoh 13:1-3). Satu hal yang dirasa sangat penting untuk dilihat ialah keteladanan Yesus yang begitu mengesankan, dan luar biasa cinta-Nya kepada umat-Nya. Yakni, seperti yang telah kita lihat dalam judul artikel ini “Yesus Pahlawan Kasih yang Sejati”, apa wujud kepahlawanan Yesus? Bagaimana Yesus berjuang? Yesus membasuh kaki murid-murid-Nya “Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamu pun wajib saling membasuh kakimu. Sebab, Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya, ataupun seorang utusan dari pada dia yang mengutusnya. Jikalau kamu tahu semua ini, maka berbahagialah kamu, jika kamu melakukannya.” (Yoh 13:14-17) Peristiwa Pembasuhan Kaki menjadi peringatan yang menjadi pembeda dalam Perayaan Kamis Putih. Memanglah bahwa pembasuhan kaki merupakan tradisi yang telah ada bagi orang Yahudi pada zaman Yesus. Akan tetapi, Pembasuhan Kaki hanya dilakukan oleh seorang budak kepada atasannya (Robert E. Webber, Sacred action in the Life of Worshiping community. 1994). Akan tetapi, hal tersebut berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Yesus. Yesus yang adalah Tuhan kini mau membasuh kaki murid-murid-Nya. Yesus yang turun ke dunia dan menjadi manusia “Firman itu telah menjadi manusia dan diam diantara kita” (Bdk, Yoh 1:14) merupakan wujud kasih Allah kepada manusia. Ia datang ke dunia untuk menebus dosa manusia, dan dengan rendah hati turun ke dunia. Ternyata, kasih-Nya tak berhenti di situ saja. Yesus kembali membuktikan betapa besar kasih-Nya kepada manusia, terutama lewat pembasuhan kaki para murid-Nya. Bagaimana perasaan kita ketika melihat kenyataan yang demikian? Yesus yang adalah Tuhan kita, sungguh merendahkan diri-Nya menjadi sama seperti manusia sampai-sampai Ia mau membungkukkan badan dan membasuh kaki manusia. Mampukah kita sebagai manusia melakukan hal demikian? Membungkukkan badan dan tidak merasa lebih dari orang lain yang adalah sesama manusia? “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya, ataupun seorang utusan dari pada dia yang mengutusnya. Jikalau kamu tahu semua ini, maka berbahagialah kamu, jika kamu melakukannya.” (Bdk. Yoh 13:16-17). Sungguh kasih yang tak bisa kita bayangkan. Kita sebagai manusia terkadang sulit untuk melakukan hal demikian, namun Tuhan yang melebihi manusia mampu, dan mau untuk melakukannya oleh karena kasih-Nya kepada kita. Dialah Yesus, teladan kasih yang Sejati. Sebagai manusia, mungkin saja kita bertindak sama seperti Simon Petrus yang pada akhirnya bertanya kepada Yesus : “Tuhan, Engkau hendak membasuh kakiku?”, “Engkau tidak akan membasuh kakiku sampai selama-lamanya” (Yoh 13:6,8). Kita akan merasa tak layak oleh karena dosa yang telah kita perbuat. Kita berdosa berat, namun Yesus yang adalah Tuhan, Anak Allah yang Hidup, yang telah membungkukkan badan dan membasuh kaki. Apa sebenarnya yang dipikirkan oleh Yesus? Apa maksud Yesus? “Apa yang Kuperbuat, engkau tidak tahu sekarang, tetapi engkau akan mengertinya kelak”(Bdk. Yoh 13:7). Itulah jawaban Yesus kepada Simon Petrus, yang juga menjawab pertanyaan kita bersama. Pada akhirnya, jawaban akan pertanyaan tersebut terdapat pada KASIH. “Kasihilah Tuhan, Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu” dan “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” itulah hukum yang terutama dan utama (Mat 22:37-39). Yesus sendirilah yang memberikan teladan Kasih itu kepada kita. Kasih-Nya yang terbesar ialah ketika Yesus Tuhan menjadi pahlawan yang menebus dosa umat manusia, dan membawa senjata kasih dengan kerelaan-Nya untuk mati di Salib. Yesus tidak menebus dosa umat manusia dengan berperang ataupun menggunakan senjata tajam. Ia menebus dosa umat manusia dengan kasih-Nya, yaitu kasih kepada manusia. Jadi, jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamupun wajib saling membasuh kakimu (Bdk. Yoh 13:14). Maka apakah kita adalah murid Kristus? Apakah kita dengan rela hati menawarkan untuk menjadi murid Kristus? Jikalau demikian, sudahkah kita melayani dengan tulus hati seperti yang telah dilakukan Yesus yang adalah Tuhan kita? Yesus yang adalah Tuhan dengan kerendahan hati dan kasih-Nya mau melayani manusia, apakah justru kita manusia tidak pernah melayani Tuhan lewat sesama kita secara tulus? Keteladanan yang sungguh indah dan besar dari Tuhan. Itulah Yesus, Pahlawan kasih yang sejati. “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; Tinggalah di dalam kasih-Ku itu.” (Bdk. Yoh 15:9) Peristiwa di Taman Getsmani Peristiwa yang dialami Yesus dan para murid-Nya mengajarkan banyak hal kepada kita. Setelah perayaan Kamis Putih, tentulah kita mengenal akan apa yang biasa kita sebut sebagai tuguran. Memang, tuguran mengajak kita untuk berdoa bersama Yesus di taman Getsmani. Akan tetapi, ada juga makna lain dari peristiwa di taman Getsmani yang perlu kita lihat dan renungkan kembali. Pada Perayaan Kamis Putih, kita diajak juga untuk mengenang Yesus yang mendekati masa-masa kematian-Nya (Diane S. George Mayer., Resources for Holy week). Di taman Getsmani inilah setidaknya ada dua peristiwa yang dapat menjadi refleksi yang penuh makna bagi kita. Pertama, peristiwa Yudas Iskariot yang mengkhianati Yesus. “Waktu Yesus masih berbicara, muncullah Yudas, salah seorang dari kedua belas murid itu, dan bersama-sama dia serombongan orang yang membawa pedang dan pentung, disuruh oleh imam-imam kepala dan ahli-ahli taurat. Orang (Yudas) yang menyerahkan Dia telah memberitahukan tanda ini kepada mereka: orang yang kucium, itulah Dia, tangkaplah Dia dan bawalah Dia dengan selamat” (Bdk. Mrk 14:43-44) Yudas seorang murid Yesus sendiri melakukan pengkhianatan kepada Yesus. Selama ini mungkin kita berpikir bahwa apa yang dilakukan oleh Yudas ialah hal yang salah dan kejam. Akan tetapi, pernahkah kita melihat dan mendapati diri kita seperti Yudas? Ketika kita berbuat dosa, sebenarnya apa yang kita lakukan tak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Yudas, mengkhianati Yesus. Yesus telah mengetahui apa yang telah diperbuat oleh manusia. Manusia mengetahui bahwa Yesus Mahatahu. Akan tetapi, mengapa manusia tetap berbuat dosa? Bukankah ini berarti manusia mengkhianati Yesus di dipan mata Yesus sendiri? Pernahkah kita menyadari hal ini? Inilah makna yang dapat kita petik dengan melihat peristiwa pengkhianatan Yudas di taman Getsmani. Kedua, peristiwa penyerahan diri yang telah dilakukan oleh Yesus. “Lalu Simon Petrus, yang membawa pedang, menghunuskan pedang itu, menetakkannya kepada hamba Imam besar dan memutuskan telinga kanannya” (Bdk. Yoh 18:10). Akan tetapi, Yesus justru memarahi Petrus dan berkata: Sarungkan pedangmu itu; Bukankah Aku harus minum cawan yang diberikan Bapa Kepada-Ku?” (Bdk. Yoh 18:11). Maka, pasukan prajurit serta perwiranya dan penjaga-penjaga yang disuruh orang Yahudi itu menangkap Yesus dan membelenggu-Nya (Bdk. Yoh 18:12). Itulah Yesus, Pahlawan Kasih yang Sejati. Ia mengorbankan Diri-Nya untuk umat manusia. Ia berkorban dengan kasih, di mana Ia tidak melawan orang-orang yang ingin membunuh Yesus dengan menyalibkannya. Sungguh kasih yang sempurna telah diajarkan Yesus kepada kita. Benarlah apa yang dikatakan oleh Yesus: “Sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna”(Bdk. 2 Kor 12:9). Kedua peristiwa inilah yang kiranya juga penting untuk kita renungkan kembali. Terlebih ketika Yesus melawan orang-orang yang hendak menangkapnya dengan senjata kasih, yakni merendahkan diri-Nya dan menyerahkan diri-Nya sebagai jalan penebusan bagi dosa umat manusia. Itulah kasih yang begitu sempurna. Yesus, Yang adalah Guru dan Tuhan, sendiri yang mengajarkan hal tersebut kepada kita. Itulah Yesus, Pahlawan Kasih yang sejati.

Read More

BUAH MINGGU PALMA: CINTA KASIH DAN KERENDAHAN HATI

![papa domingo de ramos](//images.ctfassets.net/a1uad830l19w/71ED8usfUDgmDgHz6mDDpq/6466ad9073a82a66877dbbcd40056844/papa_domingo_de_ramos.jpg) Kita telah menghidupi dan menghayati Masa Prapaskah. Kita telah melalui dan merayakan Rabu Abu dengan melakukan pantang dan puasa selama empat puluh hari. Masa Prapaskah dan Rabu Abu bagi umat Katolik pada umumnya memiliki makna, yakni masa pertobatan untuk mempersiapkan diri dalam menyambut Hari Raya Paskah Kristus. Namun, sebelum merayakan hari tersebut, tentunya kita tidak asing lagi dengan Minggu Palma; Hari Minggu sebelum Minggu Paskah, awal dari pekan suci, Perayaan misa sengsara yang berpusat pada kisah sengsara Yesus Kristus, maka minggu ini juga disebut sebagai Hari Minggu Sengsara (Ernest Maryanto, Kamus Liturgi Sederhana, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hlm. 130). Pada tahun 2021 ini, terdapat perbedaan dan ciri khas tersendiri dengan tahun-tahun sebelumnya. Seluruh umat Katolik merayakan dan menyambut Hari Minggu Palma dalam suasana menghadapi covid-19, di mana persekutuan umat beriman memiliki perbedaan tersendiri, yakni tidak setiap umat dapat merayakan Hari Minggu Palma dalam gereja. Terdapat dua jenis persekutuan yang tercipta pada masa pandemi covid-19, yaitu persekutuan luring dan daring. Meskipun demikian, persekutuan tidak akan mengalami pergeseran makna atau bahkan kehilangan arti dan makna sejatinya. Karena, ketika kita merayakan perayaan Ekaristi bersama, baik secara luring maupun daring, seluruh umat Katolik dipersatukan dalam ruang dan waktu yang sama, yakni melalui peristiwa sengsara, wafat dan kebangkit Tuhan Yesus Kristus, yang merupakan inti dan puncak dari Perayaan Ekaristi. Oleh karena itu, penulis memberikan beberapa pertanyaan; Bagaimana sejarah singkat perayaan Minggu Palma? Apa maknanya? Dan nilai-nilai teologis apa yang dapat dipetik dalam Merayakan Minggu Palma pada masa pandemi covid-19? Tiga pertanyaan tersebut untuk menuntun setiap pembaca dapat berefleksi bersama ketika membaca, merenungkan dan berefleksi mengenai tulisan Hari Minggu Palma. Sejarah Singkat Perayaan Hari Minggu Palma merujuk pada kisah dalam empat Injil, yakni Matius, Markus, Lukas dan Yohanes. Akan tetapi, keempat Injil tersebut memiliki perbedaan satu sama lain, namun inti ceritanya sama, yakni menceritakan Yesus yang datang dan masuk ke dalam Yerusalem dengan menunggangi seekor keledai dengan diiringi sorak-sorai yang meriah oleh para murid-Nya dan warga kota Yerusalem. Selain itu, ketika Yesus memasuki gerbang Yerusalem, para murid dan warga kota membentangkan jubah dan pakaian mereka. Istilahnya mereka mempersiapkan jalan bagi seseorang yang begitu spesial. Injil Matius (Bdk Mat 21:1-17) menceritakan bahwa Yesus disambut sebagai Raja Keturunan Daud. Ia datang sebagai Raja Damai serta Penyelamat yang datang ke kota-Nya sendiri (karena di dalam Kota Yerusalem terdapat Bait Allah; tempat Allah bersemayam dan tinggal bersama umat pilihan-Nya). Hal tersebut merupakan tanda penggenapan akhir zaman yang sudah dinubuatkan oleh para nabi. Akan tetapi, Yesus datang ke Yerusalem tidak datang atas nama dan kekuasaan-Nya sendiri, melainkan dalam nama Bapa-Nya, yang mengutus-Nya ke dunia manusia untuk menyelamatkan umat manusia dari kebinasaan akibat dosa (Bdk., Martin Harun, OFM., Matius Injil Segala Bangsa, Yogyakarta: PT. Kanisius, 2016, hlm. 277). Sedangkan Injil Markus (Bdk. Mat 11:1-11) menceritakan bahwa kedatangan (dalam bahasa Latin; adventus) Yesus ke Yerusalem dan Bait Allah sebagai Raja Mesias. Sebelum Dia memasuki gerbang Yerusalem, lebih tepatnya masih berada di bukit Zaitun, di dekat Betfage dan Betani, Dia mengutus dua orang murid-Nya memasuki kota Yerusalem untuk menemukan seekor keledai muda tertambat, supaya dijadikan kendaraan bagi-Nya untuk memasuki kota Yerusalem sebagai seorang Mesias, yang membawa kedamaian antara Allah dengan manusia, sehingga manusia kembali dipersatukan dengan Allah melalui dan di dalam Dia. Yesus datang tidak sebagai seorang Raja adil dan damai dalam arti politisi melainkan sebagai seorang Raja Damai yang rela menderita dan akan menyerahkan nyawan-Nya untuk keselamatan semua manusia, yang Dia cintai dan kasihi (Bdk.,Martin Harun, OFM., Markus Injil Yang Belum Selesai, Yogyakarta: PT. Kanisius, 2015, hlm. 209-210). Injil Lukas (Bdk. Luk 19:28-40) menggambarkan bahwa kedatangan Yesus ke Yerusalem merupakan visitasi dari Allah. Kedatangan-Nya bukan untuk memulihkan keadaan politik dan merebut kembali Kerajaan Daud dari pasukan Romawi dan tentara pemberontak Yahudi, melainkan menghadirkan kembali Kerajaan Allah yang penuh dengan damai dan sejahtera, yang terpenuhi dalam peristiwa kisah sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus. Dia datang ke Yerusalem bukan datang sebagai Raja Yahudi atau Israel hanya dalam tataran politik, ekonomi, sosial sedia kala, tetapi memulihkan lagi hubungan manusia dengan Allah, yaitu keselamatan manusia dari kebinasaan akibat dosa (Bdk., Martin Harun, OFM, Lukas Injil Kaum Marginal, Yogyakarta: PT Kanisius, 2018, hlm. 339-340). Sejarah tentang Minggu Palma yang merujuk pada Injil Sinoptik (Matius, Markus, Lukas) berbeda dengan Injil Yohanes. Sebelum Yesus memasuki kota Yerusalem, di mana Bait Allah terletak di sana, Maria mengurapi Yesus di Betania, bukit Zaitun. Barulah Yesus memasuki Yerusalem dan berjalan menyongsong penderitaan dan kematian-Nya. Ketika Yesus berjalan masuk ke dalam kota, hari itu bertepatan dengan orang-orang merayakan pesta Paskah. Akan tetapi, para warga kota juga telah mendengar berita bahwa Yesus akan memasuki Yerusalem. Sehingga, ketika Dia datang dengan menunggangi keledai muda, mereka (warga kota dan para murid-Nya) menebarkan daun-daun palma, baju, dan jubah sebagai pijakan keledai Yesus untuk berjalan. Disertai juga nyanyian dan seruan; “Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, Raja Israel” (Mazmur 118:25). Sehingga pernyataan dalam kitab Zakaria (Lih. Zak 9:9) ini tergenapi. Tak hanya itu, Yesus menunggang keledai untuk memasuki Yerusalem telah menggenapi nubuat Zakharia tentang raja damai (Bdk., St. Eko Riyadi, Pr. Yohanes “Firman Menjadi Manusia”, Yogyakarta: PT Kanisius, 2011, hlm. 275-277). Makna Injil Sinoptik dan Yohanes memiliki ciri khas masing-masing dalam menceritakan Yesus yang memasuki Yerusalem. Ini merupakan bagian dari sejarah Perayaan Hari Minggu Palma bagi umat Kristiani. Lantas, apa makna dari Perayaan ini dengan simbol-simbol khusus yang menggambarkan betapa pentingnya Perayaan Hari Minggu Palma ini? Di dalam sejarah yang diceritakan oleh keempat Injil tersebut, terdapat simbol-simbol khusus, yakni; daun palma, keledai, seruan Hosanna, menebar baju serta jubah. Juga tidak lupa terdapat makna-makna liturgi dalam Perayaan Ekaristi Hari Minggu Palam yaitu; warna merah yang memiliki dua arti yakni suasana gembira dan sedih. Setiap umat Kristiani tentunya sangat akrab dengan daun Palma yang digunakan ketika perarakan untuk memasuki gedung gereja. Dalam Perayaan ini, daun palma sendiri menyimbolkan para pemimpin yang jaya dan pemberi berkat bagi semua orang. Daun Palma tersebut digunakan dengan disertai seruan; “Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, Raja Israel” (Mazmur 118:25). Hal itu merupakan simbol dari Yesus yang disambut oleh semua orang sebagai Raja Israel, yang diberkati oleh Allah, seperti Raja Daud yang telah diurapi oleh Allah untuk menjadi raja atas bangsa Israel. Akan tetapi perbedaan dari keduanya adalah Yesus disambut sebagai Dia yang datang dalam nama Tuhan dan yang akan memulihkan hubungan manusia dengan Allah melalui sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya bagi keselamatan manusia. Sedangkan, Yesus yang menunggangi keledai merupakan tanda kerendahan hati, kelemahlembutan dan keselamatan. Seorang raja yang seperti itu akan membawa damai sejahtera dan kemakmuran. Serta juga menggambarkan identitas rajawi Yesus pada telah menang dengan membawa kerendahanhati, ketaatan dan kesetiaan-Nya pada Allah yang menjadi asal-Nya sampai Ia mati di kayu salib. Sehingga tidak heran bahwa dari simbol tersebut, Yesus disebut sebagai Raja orang Yahudi, yang juga merupakan tema sentral kisah sengsara Yesus. Dia adalah Mesias, raja orang Yahudi karena Ia sungguh datang sebagai utusan Allah, hidup dalam ketaatan kepada-Nya sampai akhir. Raja seperti inilah yang sungguh-sungguh dapat disebut raja orang Israel (Bdk., St. Eko Riyadi, Pr. Yohanes “Firman Menjadi Manusia”, Yogyakarta: PT Kanisius, 2011, hlm. 276-278). Tindakan warga kota dan para murid-Nya menebar baju dan jubah merupakan simbol dari penghormatan kepada seseorang yang akan membawa damai dan kemakmuran. Dalam perayaan Hari Minggu Palma terdapat tiga simbol yang mencolok yakni, warnah merah dan dua suasana yang terbangun (gembira dan sedih). Dalam Kalender Liturgi, perayaan ini selalu menggunakan warna merah yang dapat dilihat pada kasula dan pakaian misdinar pada saat perayaan Minggu Palma. Warna tersebut merupakan tanda dari api dan darah. Keduanya dihubungkan dengan penumpahan darah para martir sebagai saksi iman, sebagaimana Yesus Kristus sendiri menumpahkan darah bagi seluruh kehidupan dunia (Jacobus Taringan, Pr. Memahami Liturgi, Jakarta: Cahaya Pineleng, 2011, hlm. 125). Selain itu, warna merah juga merupakan lambang dari kuasa tertinggi (Emanuel Martasudjita, Pr. Liturgi Pengantar Studi dan Praksis Liturgi, Yogyakarta: PT Kanisius, 2011, hlm. 153). Suasama dalam Perayaan Hari Minggu Palma pertama adalah sukacita dan gembira, karena ketika Yesus memasuki kota Yerusalem, Ia disambut dengan begitu meriah oleh warga kota dan para murid-Nya dengan menebarkan daun palma, serta baju dan jubah sebagai pakaian Yesus yang sedang menunggangi keledai. Tidak hanya itu, Yesus juga diiringi dengan seruan “Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, Raja Israel” (Mazmur 118:25)”. Keduanya sebagai tanda bahwa Raja Damai, Penyelamat dan Mesias telah datang untuk memulihkan kehidupan dengan membawa keselamatan bagi seluruh kehidupan di dunia. Akan tetapi, suasana sukacita dan gembira tersebut tidak bertahan lama, karena Perayaan Hari Minggu Palma juga merupakan sebuah pembuka dari kisah sengsara dan wafat Kristus. Oleh karena itu, setiap umat Kristiani harus mengambil dua sikap sekaligus dalam perayaan ini. Pada awalnya, kita sangat bergembira dan bersukacita karena Firman telah menjadi daging, melalui perantaraan Yesus sebagai Juruselamat datang ke dunia. Ia datang ke dunia dengan kehendak Bapa-Nya untuk menyelamatkan umat manusia melalui sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya. Refleksi Teologis Seluruh umat Katolik memiliki persoalan masing-masing yang perlu diselesaikan dalam kehidupan, terutama pada masa pandemi covid-19. Akan tetapi, Yesus mengajak setiap pribadi umat Katolik untuk menjadi sempurna seperti Bapa di Sorga adalah sempurna (Matius 5:48). Hal itu jika dikatakan memang sangatlah mudah. Namun, dalam menjalankannya penuh dengan kesulitan dan tantangan, baik secara pskologis, pemikiran, tindakan, kata-kata maupun hati nurani. Arti dari ajakan Yesus Kristus adalah menjalankan, menghidupi dan menghayati hukum kasih yang diberikan oleh Dia. Hukum tersebut ada bersama dan dalam Yesus Kristus yang kekal dan abadi. Bukti dari hukum kasih tersebut, yakni peristiwa sengsara, wafat dan bangkit-Nya. Dia mengasihi Bapa-Nya dengan melakukan kehendak-Nya, bukan kehendak diri-Nya. Dia mengasihi umat manusia, Dia rela menderita dan wafat demi keselamatan manusia dari kebinasaan akibat dosa. Perayaan Hari Minggu Palma ditandai dengan tanda sukacita, yaitu menyambut Raja Damai, yang akan membawa pada keselamatan. Akan tetapi, dalam perayaan ini juga menghadirkan dukacita. Kedua hal tersebut merupakan wujud konkret sebuah kehadiran Kerajaan Allah turun atas dunia. Bahwa manusia, sebagai murid-murid Yesus Kristus sendiri, dalam menghadapi persoalan yang ada haruslah bersukacita dalam dukacita. Karena Yesus Kristus sendirilah yang mengajarkan kepada setiap orang beriman bahwa mereka harus memikul salibnya. Artinya, setiap pribadi diajak untuk menjadi seorang manusia yang memiliki kerendahan hati di tengah dunia yang penuh dengan tantangan, budaya yang kejam dan sebagainya. Dalam memasuki pekan suci pada masa pandemi Covid-19 saat ini, hendaknya kita senantiasa memelihara perdamaian dalam diri untuk menghadapi masa sulit dan ancaman bahaya kehidupan, seperti yang dikatakan oleh Paus Fransiskus bahwa “Yesus mengajak kepada kita cara menghadapi saat-saat sulit dan paling berbahaya dalam percobaan, yakni dengan memelihara dalam hati kita perdamaian bukan pendirian teguh atau ketenangan luar biasa, tetapi penyerahan diri sepenuhnya kepada Bapa dan kepada kehendak-Nya yang menyelamatkan dan menganugerahkan kehidupan dan belas kasih”. Kristus mengajak kita untuk mengedepankan hukum kasih Allah dan berani memikul serta menyangkal diri untuk menghidupi iman kita ditengah hiruk pikuk dunia. Hal demikian dapat dilakukan jika manusia tidak egois, mencari “enaknya” sendiri, yang hanya diam dalam zona nyaman atau hidup dalam sukacita di atas penderitaan orang lain. Justru inilah waktu yang tepat bagi umat Katolik untuk menampilkan ajaran Kristus yang dihidupi dan dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Dalam duka cita yang mendalam, yang dirasakan setiap manusia dalam situasi pandemi saat ini, Tuhan memberikan Gerejanya sebagai tempat berkumpulnya umat beriman untuk saling berbagi suka cita. Berbagai bentuk bakti sosial telah dilakukan umat Katolik untuk senantiasa saling memikul beban saudara seiman yang terdampak, seperti aksi dalam pemberian kebutuhan pokok, menumbuhkan UMKM, pelayanan kesehatan yang terjamin, dan juga fasilitas misa dan peribadatan yang telah satu tahun dalam kondisi keterbatasan. Rasa kepedulian seperti inilah yang diajarkan oleh Tuhan melalui perayaan minggu Palma, yaitu penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah Bapa untuk saling memikul penderitaan saudara seiman. Yesus Kristus telah datang sebagai Raja Damai bagi bangsa Israel dan seluruh umat manusia yang beriman, sebagai Juruselamat dan Mesias yang datang ke Yerusalem, yang akan membawa pada keselamatan melalui peristiwa; sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya. Makna kedatangan-Nya bukan pada tataran sosial, politik dan ekonomi, yang merupakan harta duniawi, melainkan pada tataran harta surgawi, yakni hubungan intim antara Allah dan manusia dipersatukan lagi oleh Dia. Maka, setiap pribadi umat Katolik sebagai anak-anak-Nya juga harus menampilkan wajah Kristus dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi sehari-hari. Menampilkan wajah kasih Kristus dan kerendahan hati. Supaya setiap orang dapat melihat, merasakan dan mengalami kehadiran cinta kasih Kristus dalam kehidupan (Yudas 1:22) dan menjadi sempurna seperti Bapa di sorga adalah sempurna (Matius 5:48). Kita tidaklah sendirian tetapi berjalan bersama-sama dalam mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan sejati, yakni berelasi dengan Allah secara intim dan mesra. Sumber Pustaka Alkitab Deuterokanonika Ernest Maryanto, Kamus Liturgi Sederhana, Yogyakarta: Kanisius, 2004. Martin Harun, OFM., Matius Injil Segala Bangsa, Yogyakarta: PT. Kanisius, 2016. _________________, Markus Injil Yang Belum Selesai, Yogyakarta: PT. Kanisius, 2015. _________________, Lukas Injil Kaum Marginal, Yogyakarta: PT Kanisius, 2018. St. Eko Riyadi, Pr. Yohanes “Firman Menjadi Manusia”, Yogyakarta: PT Kanisius, 2011. Jacobus Taringan, Pr. Memahami Liturgi, Jakarta: Cahaya Pineleng, 2011. Emanuel Martasudjita, Pr. Liturgi Pengantar Studi dan Praksis Liturgi, Yogyakarta: PT Kanisius, 2011. https://penakatolik.com/2019/04/15/paus-di-minggu-palma-yesus-tunjukkan-cara-hadapi-saat-sulit-dengan-serahan-diri-kepada-bapa/, “Paus di Minggu Palma: Yesus Tunjukkan Cara Hadapi Saat Sulit Dengan Serahan Diri Kepada Bapa”, diunduh pada tanggal 12 Maret 2021, pukul 18.00 WIB.

Read More

HIDUP TANPA KASIH ALLAH, KITA BISA APA?

Pengantar Dalam kehidupan sehari-hari, terkadang kita mudah membuang barang-barang yang hanya rusak sedikit saja. Kita jarang mau memperbaikinya lagi, tetapi lebih memilih untuk membeli yang baru. Gambaran tersebut tidak berlaku bagi Allah yang sungguh memperhatikan setiap pribadi. Bagi Allah, kita ini sungguh bernilai dan berharga meskipun diri kita telah rusak oleh dosa-dosa yang kita perbuat. Maka dari itu, Allah mempunyai inisiatif untuk menyelamatkan kita yang mengalir dari kasih-Nya. Kasih sebagai Motif Penebusan Kasih ini menjadi motif Allah menyelamatkan manusia dengan mengaruniakan Anak-Nya yang Tunggal untuk menebus dosa manusia. Hal ini diungkapkan oleh Yesus dalam percakapannya dengan Nikodemus (bdk. Yoh. 3: 1-21). Yesus mengatakan, ”Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yoh. 3: 16).” Dari percakapan Yesus ini, kita bisa menangkap bahwa Allah menebus dosa-dosa manusia, karena Allah sungguh mencintai kita. Ia tidak memandang seberapa besar dosa yang kita lakukan. Ia sungguh memandang kita dengan penuh kasih. Paus Yohanes Paulus II merenungkan bahwa “Allah yang kaya dengan rahmat,” itulah yang diwahyukan Yesus Kristus kepada kita tentang Bapa: Putra-Nya yang tunggal, yang dalam diri-Nya, telah menyatakan Dia dan menjadikan Dia kita kenal (DM, 1). Dari refleksi Paus Yohanes Paulus II ini, kita semakin diteguhkan bahwa kehadiran Yesus di dunia menganugerahkan rahmat kasih Allah yang begitu besar. Rahmat kasih Allah ini diwujudkan melalui karya-Nya di dunia ini dan semakin nyata diwujudkan dalam Misteri Paskah-Nya melalui sengsara, wafat, dan kebangkitan-Nya. Melalui perbuatan, perkataan dan akhirnya dalam Misteri Paskah, hanya di dalam Kristus dan melalui Kristus, Allah juga menjadi bisa dilihat secara khusus dalam belas kasih-Nya. Dalam hal ini, Yesus menghadirkan kerahiman Allah (DM, 2). Kita sesungguhnya tidak layak untuk mendapatkan keselamatan karena dosa-dosa yang menjauhkan kita dari Allah. Kedosaan yang kita lakukan sungguh membawa keterpisahan kita dari Allah. Kedosaan kita juga menyebabkan kita kehilangan kodrat ilahi kita (bdk. Kej. 3: 3. 23). Namun demikian, kasih Allah yang luar biasa besar pada manusia menghapus semua ketidaklayakan itu. Allah tidak membuang kita seperti barang yang sudah rusak. Justru, Allah mengalirkan kerahiman-Nya untuk memperbaiki diri kita yang telah rusak oleh dosa-dosa yang telah kita lakukan. Tuhan Yesus memang tidak datang untuk menghakimi, melainkan Ia datang menawarkan keselamatan bagi kita. Namun demikian, kita masing-masing memiliki peran penting untuk menentukan apakah diri kita mau diselamatkan atau tidak. Orang yang tidak mau diselamatkan tentu akan memilih untuk hidup dalam kedosaan dan hidupnya terpisah dari Allah. Ia bisa terus menumpuk dosa, dan enggan untuk bertobat. Orang demikian hanya memperparah “luka-luka” yang didera Yesus. Sebaliknya, orang yang mau diselamatkan tentu akan memilih untuk mengurangi dosa itu, bahkan menyembuhkan dosa itu dengan membawanya untuk dibersihkan dengan rahmat Kristus dalam Sakramen Tobat. Tuhan Yesus selalu ingin supaya kita menjadi orang yang mau diselamatkan dan kelak bangkit bersama Dia. Ia tidak ingin kita berada di bawah penghakiman, seperti bangsa Israel yang dibuang sebagai akibat dari ketidaksetiaannya pada Allah (bdk. 2Taw. 36: 14-16. 19-23). Maka dari itu, masa Prapaskah menjadi kesempatan bagi kita untuk merefleksikan perjalanan iman, apakah kita mau menerima keselamatan yang ditawarkan oleh Kristus? Pantang, puasa, dan amal kasih melatih kita untuk memiliki sikap tobat. Dengan begitu, pantang dan puasa kita arahkan sebagai bentuk cinta kita kepada Allah yang telah menyelamatkan kita melalui diri Kristus yang sengsara, wafat, dan bangkit. Sikap tobat kita semakin nampak dengan amal kasih, sebagai bentuk partisipasi kita dalam karya penyelamatan Kristus di dunia dan menghadirkan kasih Allah kepada sesama. Hidup dalam Terang: Hidup dalam Kristus Kedosaan membuat kita hidup dalam kegelapan. Kalau kita hidup dalam kegelapan, maka kita akan jatuh pada kebinasaan, karena kita mengalami keterpisahan dari Allah. Dalam masa Prapaskah ini pula, kita sebagai murid-murid Kristus diundang untuk hidup dalam terang, yaitu hidup dalam Kristus. Yesus mengerti bahwa manusia tidak mampu hidup dalam kegelapan. Manusia membutuhkan terang; dan terang itu adalah Yesus sendiri. Tinggal di dalam terang berarti tinggal di dalam Yesus. Tinggal di dalam Yesus berarti menuruti semua perintah Yesus. Semua perintah Yesus itu baik dan benar. Yesus sendiri mengatakan, “...barangsiapa melakukan yang benar, ia datang kepada terang, supaya menjadi nyata, bahwa perbuatan-perbuatannya dilakukan dalam Allah (Yoh. 3: 21).“ Lawan dari terang itu adalah gelap. Kalau terang itu adalah Yesus, maka gelap itu adalah dosa. Dosa itu membuat dunia gelap, misalnya sikap serakah, iri hati, egois. Kalau orang sudah bersikap serakah, maka sudah pasti gelap mata, pada akhirnya ia akan berbuat korupsi. Kalau orang sudah menunjukkan sikap iri hati, maka ia sudah pasti gelap mata, akhirnya mudah membuat gosip akan sesamanya. Kalau orang sudah menunjukkan sikap egois, maka ia sudah pasti gelap mata, akhirnya tidak peduli dengan sesamanya. Pada intinya, dosa akan membawa kita kepada kegelapan; dan kegelapan membawa kita kepada kebinasaan. Undangan untuk tinggal di dalam Yesus akan membuat dunia ini terang. Orang yang tinggal di dalam Kristus selalu mendatangkan sukacita bagi banyak orang. Kita tidak mudah marah, bahkan menunjukkan sikap yang sungguh sabar. Kalau kita memperoleh rejeki, maka kita mudah berbagi kepada mereka yang membutuhkan. Kita menjadi suka membantu sesama, terlebih mereka yang miskin dan tersingkirkan. Keluarga kita pun menjadi damai dan tentram. Kalau kita memiliki masalah, kita lari menuju Yesus, bukan malah ke judi atau dukun. Orang yang tinggal di dalam Yesus sungguh terlihat menentramkan hati. Terang atau Yesus ini sebenarnya sudah kita terima sejak kita dibaptis. Akan tetapi, kita seringkali menolak terang dengan berbuat sesuatu yang jahat di hadapan Allah. Hidup dalam kegelapan akan mendatangkan hukuman. Hidup dalam terang mendatangkan keselamatan. Yesus selalu mengundang kita untuk meninggalkan kegelapan dan hidup dalam terang. Oleh karena itu, pada kesempatan yang amat baik ini, pada masa prapaskah ke IV, kita diundang untuk kembali tinggal di dalam terang, yakni Yesus sendiri. Dengan bertobat dan menyesali dosa-dosa, kita akan beroleh pengampunan dari Allah dan kembali hidup di dalam terang. Masa Prapaskah sungguh masa yang penuh kerahiman Allah. Paus Fransiskus merenungkan bahwa kerahiman menggambarkan sikap Allah terhadap pendosa. Kepada pendosa Ia menawarkan suatu kesempatan baru memandang dirinya, bertobat, dan percaya. Tawaran ini terwujud dalam diri Kristus. Ia menunjukkan keadilan-Nya dengan menganugerahkan kepada setiap orang sebagai rahmat yang mengalir dari wafat dan kebangkitan Yesus Kristus. Dengan demikian, salib Kristus adalah penghakiman Allah terhadap kita semua dan seluruh dunia, karena melaluinya Ia menawarkan kepada kita kepastian kasih dan hidup baru. (MV, 21). Masa Prapaskah IV ini juga disebut sebagai Minggu Laetare atau Minggu Sukacita. Kita diajak untuk bersukacita, karena Allah menunjukkan kerahiman-Nya kepada kita. Meskipun kita telah berbuat dosa yang begitu besar, namun Allah tetap mengasihi dan menyelamatkan kita. Kita juga diajak untuk bersukacita, karena penebusan Allah ini sungguh nyata dalam diri Yesus melalu sengsara, wafat, dan kebangkitan-Nya. Secara liturgis, Minggu Laetare mengajak kita untuk bersukacita, karena Misteri Penebusan itu akan kita rayakan dalam perayaan Paskah, yaitu sengsara, wafat, dan kebangkitan Yesus dalam Tri Hari Suci. Penutup Sungguh, betapa bahagianya kita sebagai murid-murid Kristus atas keselamatan yang kita terima dari Yesus sendiri. Ia sungguh mengorbankan diri-Nya untuk kita yang telah rusak oleh dosa ini. Meskipun kita seringkali mengkhianati kasih-Nya, namun Ia tetap mengasihi kita. Ia juga senantiasa menantikan pertobatan kita. Dengan bertobat, kita menunjukkan bahwa kita mau diselamatkan. Dengan bertobat, kita menanggapi rahmat pengampunan yang Allah berikan sabagai wujud kasih-Nya yang begitu mendalam kepada kita. Oleh sebab itu, pertobatan tidak hanya dilakukan dalam masa Prapaskah ini saja, melainkan juga perlu dilakukan setiap saat. Undangan hidup dalam Kristus adalah panggilan semua orang Kristiani yang mau diselamatkan. Maka dari itu, pertobatan kita arahkan bukan sekadar perkataan saja, melainkan benar-benar dengan tindakan baik yang berpusat dalam diri Yesus.

Read More

PERTOBATAN: KEMBALI DALAM PELUKAN HANGAT ALLAH

Makna Prapaskah Kita telah mengetahui bahwa masa Prapaskah merupakan masa persiapan sebelum memasuki hari Paskah. Secara etimologi, Prapaskah adalah gabungan dari dua kata: pra (=sebelum) dan “Paskah”. Masa Prapaskah juga dikenal sebagai masa puasa dan pantang. Kita perlu mengingat bahwa semangat dasar Prapaskah adalah pertobatan. Melalui semangat ini, semua umat kristiani diajak untuk melakukan laku tobat dengan berpantang dan berpuasa. Masa Prapaskah dijalani selama 40 hari, dimulai sejak Rabu Abu. Semangat Prapaskah adalah pertobatan. Pertobatan yang dibangun dalam masa Prapaskah ini tidak boleh dibatasi hanya pada aspek individual dan rohani saja. Semangat pertobatan yang diusung dalam masa Prapaskah juga mengandung aspek sosial, sehingga pertobatan yang rohani itu diwujudkan dalam tindakan-tindakan yang membangun sisi positif dari hidup bersama dan memperbaiki akibat-akibat negatif dari dosa manusia. Dalam himbauan apostolik yang berjudul Reconciliatio et paenitentia, St. Yohanes Paulus II mengajar bahwa perbuatan dosa manusia tidak hanya merusak hubungan manusia dengan Allah, tetapi juga merusak relasi manusia dengan sesamanya (Gereja) dan alam semesta. Bertobat berarti memulihkan kembali keretakan yang diakibatkan oleh dosa, maka pertobatan yang harus diwujudkan dalam relasi dengan Allah, sesama manusia , diri sendiri dan alam. Rekonsiliasi antara Allah dengan manusia dapat memulihkan kembali keretakan manusia dengan Allah (2 Kor 5:18-20). Wujud pertobatan dengan sesama juga dapat dilakukan tidak hanya dalam lingkup Gereja, tetapi dapat mencakup seluruh umat manusia. Dalam Gaudium et Spes art 76 juga menegaskan bahwa pemulihan atas dosa sosial, akan mengembalikan pengakuan akan nilai transenden dari manusia. Rekonsiliasi dengan alam semesta dapat dilakukan pembersihan sampah, penamaman pohon, dsb. Tindakan-tindakan ini merupakan perwujudan konkrit dari pertobatan di masa Prapaskah. Refleksi atas Injil Masa Prapaskah III (Yohanes 2:13-25) “Ketika hari raya Paskah orang Yahudi sudah dekat, Yesus berangkat ke Yerusalem. Dalam Bait Suci didapati-Nya pedagang-pedagang lembu, kambing domba dan merpati, dan penukar-penukar uang duduk di situ. Ia membuat cambuk dari tali lalu mengusir mereka semua dari Bait Suci dengan semua kambing domba dan lembu mereka; uang penukar-penukar dihamburkan-Nya ke tanah dan meja-meja mereka dibalikkan-Nya. Kepada pedagang-pedagang merpati Ia berkata: "Ambil semuanya ini dari sini, jangan kamu membuat rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan." Maka teringatlah murid-murid-Nya, bahwa ada tertulis: "Cinta untuk rumah-Mu menghanguskan Aku." Orang-orang Yahudi menantang Yesus, katanya: "Tanda apakah dapat Engkau tunjukkan kepada kami, bahwa Engkau berhak bertindak demikian?" Jawab Yesus kepada mereka: "Rombak Bait Allah ini, dan dalam tiga hari Aku akan mendirikannya kembali." Lalu kata orang Yahudi kepada-Nya: "Empat puluh enam tahun orang mendirikan Bait Allah ini dan Engkau dapat membangunnya dalam tiga hari?" Tetapi yang dimaksudkan-Nya dengan Bait Allah ialah tubuh-Nya sendiri. Kemudian, sesudah Ia bangkit dari antara orang mati, barulah teringat oleh murid-murid-Nya bahwa hal itu telah dikatakan-Nya, dan mereka pun percayalah akan Kitab Suci dan akan perkataan yang telah diucapkan Yesus. Dan sementara Ia di Yerusalem selama hari raya Paskah, banyak orang percaya dalam nama-Nya, karena mereka telah melihat tanda-tanda yang diadakan-Nya. Tetapi Yesus sendiri tidak mempercayakan diri-Nya kepada mereka, karena Ia mengenal mereka semua, dan karena tidak perlu seorang pun memberi kesaksian kepada-Nya tentang manusia, sebab Ia tahu apa yang ada di dalam hati manusia.” Yohanes 2:13-25 Injil pada hari Minggu Prapaskah III menceritakan kembali kisah dimana Yesus mengusir para pedagang yang berjualan di Bait Allah. Yesus marah karena melihat Rumah Bapa-Nya digunakan sebagai tempat berjualan, tempat dimana orang mencari keuntungan demi kepentingan diri sendiri. Bait Allah yang sebenarnya digunakan untuk berdoa, menyucikan diri dari semua dosa dan tempat untuk berjumpa dengan Allah, kini digunakan untuk mencari kesempatan untuk memperkaya diri, memperkaya dosa sendiri. Sebelum merefleksikan Injil ini, saya ingin mengajak pembaca untuk melihat situasi bait Allah pada waktu itu. Pada jaman Yesus, Hari paskah merupakan perayaan peribadatan yang dirayakan secara meriah. Menurut tradisi Yahudi, semua orang Yahudi diaspora atau orang Yahudi yang tidak tinggal di Palestina datang jauh-jauh dan melakukan perjalanan panjang menuju ke Bait Allah untuk merayakan Paskah dan mempersembahkan kurban. Kita perlu mengingat kejadian Yesus pada umur 12 tahun yang hilang di Bait Allah untuk merayakan hari raya Paskah (Lukas 2:41). Oleh karena banyak orang Yahudi diaspora melakukan perjalanan panjang, mereka tidak mungkin membawa kurban persembahan berupa hewan yang dibawa dari tempat asal mereka. Maka untuk dapat mempersembahkan kurban bakaran, orang-orang Yahudi membeli hewan kurban di dekat Bait Allah. Tujuan orang berjualan hewan kurban di Bait Allah merupakan tujuan yang baik. Mereka menyediiakan jasa penjualan hewan kurban bagi orang Yahudi diaspora, agar mereka dapat merayakan hari raya Paskah juga. Akan tetapi, alasan praktis ini juga menghilangkan kesucian yang ada di dalam Bait Allah dan membuat Bait Allah menjadi tempat berjualan, sehingga dapat memperoleh keuntungan yang banyak untuk orang-orang yang berjualan hewan kurban. Kemarahan yang dilakukan oleh Yesus kepada orang-orang yang berjualan di Bait Allah sebenarnya kemarahan atas keabaian orang-orang terhadap Bait Allah sebagai tempat berjumpa dengan Allah. Mereka malah mencari keuntungan diri sendiri dan menghilangkan kesucian Bait Allah sebagai tempat yang suci. Yesus marah, karena manusia hidup terlalu nyaman dengan dosa yang dimiliki dan tidak mau berbalik kepada Allah yang selalu menantikan pertobatan manusia. Perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang yang berjualan di Bait Allah adalah orang-orang yang berdoasa, karena mereka mengabaikan kepentingan diri sendiri dan abai terhadap kesucian Bait Allah. Abai itu dosa, karena melalui kesadarannya, ia membiarkan perbuatan negatif itu terjadi. Mungkin selama ini, kita abai terhadap orang-orang di sekitar kita. Kita hanya melihat penderitaan orang lain dan tidak membantu orang yang kesusahan. Kita hanya merasa prihatin dengan kondisinya tetap tidak menolong. Padahal orang yang menderita itu membutuhkan uluran tangan kita, namun kita hanya diam dan kasihan. Dalam Injil banyak sekali dikatakan bahwa Yesus terdorong oleh belas kasihan. Belas kasih Yesus mendorongnya untuk membantu orang lain. Kita juga dipanggil oleh Yesus untuk kembali melakukan apa yang telah dilakukan Yesus kepada orang yang menderita. Dengan memperhatikan orang yang menderita dan merawat alam, kita dapat kembali kepada Allah. kita menjalin hubungan kembali dengan Allah. Dalam masa Prapaskah, kita diajak untuk kembali kepada Allah, kembali ke dalam pelukan hangat Allah yang selalu menanti-nantikan kita. Rekonsiliasi yang dapat memulihkan hubungan dengan Allah dapat dilakukan dengan puasa dan pantang. Puasa dan patang ini merupakan oleh kesalehan pribadi, karena puasa dapat membuka belenggu-belenggu kelaliman dan melepaskan tali-tali kuk. Dengan berpuasa, kita dapat memerdekakan orang yang teraniaya, mau berbagi rejeki kepada orang yang miskin dan kelaparan. Dengan oleh kasalehan ini kita dapat membantu orang yang menderita, mampu merawat alam yang mulai rusak dan menjalani hubungan yang baik dengan Allah. Sumber Pustaka: Handoko, Petrus Maria, Dari Pra sampai Paskah, Malang: Dioma, 2014. Windhu, Marsana, Memahami Rabu Abu, Prapaskah dan Minggu Palma, Yogjakarta: Kanisius, 2017.

Read More

PERTOBATAN: PEMBERSIHAN DIRI DARI DOSA

![forgiveness](//images.ctfassets.net/a1uad830l19w/32AR50YDQV0XCvwim19OYy/f48fcdec18e985749a5ec824b2f1596c/istockphoto-137993587-612x612.jpg) Sebagaimana kita ketahui, minggu ini kita memasuki Minggu Prapaskah yang kedua. Melalui bacaan Injil hari ini (Mrk 9: 2-10), kiranya semangat dan makna pertobatan yang kita lakukan akan menjadi semakin jelas dan mendalam. Hal yang dapat memperdalam pemaknaan kita pada pertobatan adalah dengan menjadikan diri kita semakin bersih dan terang. Diri kita ini merupakan ibarat sebuah cermin. Upaya pertobatan kita itu seperti usaha seseorang yang membersihkan cermin dari kotoran. Cermin yang adalah diri harus senantiasa dibersihkan sehingga cermin itu dapat memantulkan wujud diri kita secara jelas. Perubahan rupa Yesus menjadi putih terang bersinar adalah gambaran dari diri Allah yang sesungguhnya. Perubahan rupa Yesus itu disebut sebagai transfigurasi yang artinya perubahan dari yang materi (tubuh manusia Yesus) menjadi transenden (yang Ilahi yaitu Allah). Tentunya perubahan ini tidak bisa dianggap hal biasa oleh manusia sehingga akan menimbulkan tanggapan yang beragam. Demikianlah gambaran tanggapan yang ditampilkan para murid Yesus yaitu Petrus, Yakobus dan Yohanes saat melihat Yesus berubah rupa. Mereka ketakutan dan juga bergembira karena bisa melihat hal yang luar biasa dalam hidup mereka. Maka perubahan rupa Yesus ini memiliki makna yang mendalam yakni menampilkan tujuan hidup setiap manusia bahwa dirinya dipanggil untuk menjadi seperti Yesus Kristus. Itulah yang ditampilkan dalam kisah Yesus di mana Allah Bapa menyatakan Putera-Nya kepada manusia. Allah mengatakan “Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia” supaya murid-murid Yesus menyadari siapakah guru yang mereka ikuti dan menjadi jelas apa tujuan mereka dengan mengikuti Yesus. Tujuan Yesus mengajak Petrus, Yakobus dan Yohanes supaya mereka tahu tujuan hidup dan perjalanan mengikuti Yesus adalah menjadi seperti diri-Nya. Allah Bapa dalam wujud awan telah berpesan untuk “dengarkanlah Dia.” Maka mereka diminta untuk memurnikan dan membersihkan diri dari segala dosa untuk menjadi serupa dengan-Nya. Mengikuti Yesus berarti harus siap menderita dan berkorban. Penderitaan menjadi pengikuti Yesus telah disampaikan-Nya sebagai akibat yang harus ditanggung-Nya untuk menyelamatkan umat manusia. Allah telah mengutus Putera-Nya untuk mengundang setiap manusia yang berdosa agar bisa bersatu dan kembali kepada Allah (DV 3). Oleh karenanya setiap orang yang mengakui dan mengikuti Kristus harus siap menderita dan berkorban demi keselamatan diri sendiri dan sesama. Tetapi Allah tidak membiarkan manusia berjalan dan berusaha sendiri, sehingga Allah telah berinisiatif hadir bersama umat-Nya untuk menyelamatkan mereka melalui diri Putera-Nya. Melalui laku tobat yang kita jalani dalam masa prapaskah ini, Yesus mengundang kita untuk menjadi serupa dengan-Nya. Menjadi serupa dengan-Nya berarti menjadi bersih seutuhnya sehingga dapat memantulkan pribadi Allah. Perlu kita sadari bahwa diri kita sejak semula telah diciptakan secitra dengan Allah. Maka pada mulanya diri kita itu suci dan bersih seperti Allah. Namun karena dosa telah menjadikan diri kita jauh dan terpisah dengan Allah. Dari situ manusia tidak bisa menampilkan rupa Allah dalam dirinya karena dosa. Dari sini manusia membutuhkan jalan untuk kembali dan menjadi serupa dengan Allah. Jalannya itu melalui pertobatan. Dengan demikian masa pertobatan yang kita lakukan menjadi jalan dan kesempatan untuk kembali bersatu seperti Yesus Kristus. Ada dua poin yang bisa saya lihat dan bagikan dalam mendalami dan memperjelas makna pertobatan. Pertama, Pertobatan yang akan kita jalani adalah untuk bersatu dengan Allah. Hal ini dapat dicapai dengan mampu mendengarkan suara Allah. Manusia seringkali abai terhadap suara hatinya yang adalah suara Allah. Karena dorongan nafsu diri sendiri, manusia sering jatuh ke dalam dosa. Inilah yang menyebabkan manusia tidak bisa mendengar suara Allah. Di sisi lain karena dosa manusia menjadi kotor dan tidak suci serta bersih seperti Allah. Oleh karenanya manusia diajak untuk mampu mengedepankan suara Allah agar bisa menghindari dari dosa-dosa. Mendengarkan sabda Allah dapat melalui beragam cara dan media. Salah satunya ada dalam kegiatan meditasi kristiani. Dalam meditasi tersebut ada salah satu sikap yang dinamakan kontemplasi. Dalam sikap kontemplasi ini, manusia diajak fokus merenungkan dan menyadari kehidupan mereka selama ini. Tindakan kontemplasi selain menyadari diri sendiri juga dikaitkan dengan kehadiran Allah dalam diri mereka. Kehadiran Allah ini menjadi tujuan yang harus diperjelas dan dimantapkan dalam kesadaran mereka, bahwa hidupku adalah untuk bersatu dengan Allah. Maka melalui kontemplasi yang penuh kesadaran manusia akan dapat mengadirkan Allah sehingga suara Allah akan dapat masuk dalam dirinya. Dengan mampu mendengarkan kehendak Allah, kita akan mampu membangun Makna yang baru dalam rangka pertobatan. Makna yang baru akan menjadikan diri kita semakin tahu apa tujuan hidup kita di dunia, yaitu kembali kembali kepada Allah. Suara Allah yang disampaikan kepada para murid di gunung juga menunjukkan sikap yang harus kita lakuka yaitu ketaatan iman. Seperti tertulis dalam konsititusi dogmatis bahwa “Kepada Allah yang menyampaikan wahyu manusia waji menyatakan ketaatan iman. Demikianlah manusia dengan bebas menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan kepatuhan akal budi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan” (DV 5). Ketaatan itu tidak bisa sepenuhnya dilakukan manusia tanpa bantuan Allah karena kelemahan diri manusia dalam dosa. Oleh karenanya Allah telah mengutus Putera-Nya untuk memberi teladan dan menolong mansia dalam hal ketaatan yang sejati. Perjalanan hidup Yesus dalam karya-Nya menjadi bukti bagaimana Ia setia terhadap kehendak Allah dan tidak menghindar apapun yang terjadi, bahkan hingga wafat di kayu salib. Namun pada akhirnya Allah menyelamatkan-Nya dengan membangkitkan-Nya dari kematian. Di situlah janji keselamatan Allah akan kita terima bagi siapa yang setia mengikuti kehendak-Nya. Kedua, Saudara saudari terkasih, diri kita seperti cermin yang memantulkan wajah Allah. Sebagai pantulan wajah Allah kiranya diri kita harus senantiasa bersih dan bercahaya. Pertobatan menjadi usaha kita untuk membersihkan kotoran-kotoran yang menempel pada cermin yaitu dosa yang menempel pada diri kita. Usaha membersihkan cermin yaitu diri kita tidak bisa hanya dilakukan sekali. Cermin dapat menjadi kotor seperti terkena debu, noda sabun, noda pasta gigi, noda bedak, dan lain-lain. Maka cermin supaya dapat memantulkan gambaran diri kita secara bersih dan terang harus selalu dibersihkan. Dengan demikian cermin yang adalah diri kita dapat menampilkan wujud diri kita yang sesungguhnya. Artinya kita dapat menampilkan citra Allah melalui penampakan diri kita yang bersih dan terang. Upaya membersihkan diri dari dosa harus terus dilakukan karena manusia mudah jatuh dalam dosa. Usaha pertobatan yang kita lakukan dapat untuk membersihkan diri kita yaitu seperti berpantang dan berpuasa, berdoa, mengasihi sesama, menghindari kebiasaan-kebiasaan buruk, dan sebagainya. Dengan demikian pantulan diri kita dari cermin yang selalu kita bersihkan akan dapat menampakkan wujud Allah. Akhirnya usaha kita untuk bertobat dapat kita satukan dengan penderitaan Kristus untuk menjadi pribadi baru yang ber-transfigurasi. Dari upaya-upaya tersebut kiranya dapat menjadikan diri kita sadar bahwa Allah sungguh mencintai kita. Pertobatan di masa prapaskah setiap tahun memang sama dalam hal peraturan-peraturan yang ditetapkan. Namun di sana terdapat nilai yang mendalam apabila kita renungkan bersama dengan penderitaan Kristus. Setiap upaya pertobatan kita dapat menjadi jalan untuk semakin dekat dengan Allah dan dapat bersatu kembali dengan-Nya. Allah telah menganugerahkan Putera-Nya bagi kita untuk menebus dosa-dosa kita sehingga umat manusia dapat diperdamaikan dengan Allah dan dapat kembali kepada-Nya. Maka mempersatukan upaya pertobatan kita dengan Kristus berarti menjadi sama dengan Yesus yang menapaki perjalanan misi-Nya dengan menderita sengsara, wafat dan bangkit. Inilah panggilan bagi kita sebagai pengikut Kristus. Oleh karena itu, pertobatan bukanlah suatu peraturan yang hanya dilaksanakan pada waktu tertentu saja, seperti masa Prapaskah ini. Pertobatan haruslah menjadi semangat hidup kita untuk selalu membersihkan dan menghidari diri dari dosa. Dengan demikian menjadikan diri kita bersih dan mengkilap seperti sebuah cermin dapat kita wujudkan. Diri kita yang bersih dan mengkilap akan mampu menghadirkan wajah Allah, sehingga keselamatan itu tidak hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi sesama yang menatap kita. Semoga di masa Prapaskah dalam suasana pertobatan, kita sungguh bisa memaknai tujuan pertobatan kita. Sehingga pertobatan itu bisa membersihkan diri dan siap menanggung penderitaan bersama Kristus dengan suka cita. Tuhan memberkati.

Read More

PRAPASKAH: UNDANGAN TUHAN UNTUK MENUJU PERTOBATAN

![pertobatan dan memaafkan](//images.ctfassets.net/a1uad830l19w/1KOmttrbU3YNNvsGHb9qB4/5cd7929dde7f30a17f80e2b2d0d4fb70/forgiven-greg-olsen.jpg) Setiap orang pasti pernah mengalami jatuh bangun di dalam hidupnya. Tidak ada satu pun orang yang hidupnya selalu enak saja bahkan orang *crazy rich* (kaya raya) pasti pernah mengalami masa-masa sulit di dalam hidupnya. Tetapi, apakah seluruh hidup manusia selalu menderita terus-menerus? Tentu tidak. Salah satu pengusaha di Perusahaan *Tan Corp*, yang bernama Robert Tanoko, ia pernah lahir di kandang ayam, hidupnya di masa kecil susah dan kini ia menjadi pengusaha sukses bersama keluraganya. Begitu pula dengan seorang pengusa satu lagi yang bergerak di bidang kesehatan dan kecantikan yang bernama Pak Candra Putra Negara. Pada awalnya ia seorang guru les, dan ketika itu keluarganya terlilit hutang. Suatu ketika ia bertemu dengan kawan yang menjadi rekan kerja bisnisnya, mereka berjuang bersama dan pada akhirnya ia sukses menjadi salah satu *crazy rich* di Surabaya. Dua kisah itu menggambarkan seorang yang mau membagikan masa-masa sulit dan mau bangkit dari segala kesulitannya. Kedua kisah itu memberi suatu pelajaran dari kisah hidupnya. Akan tetapi masih terdapat satu kisah lagi, yakni ada seorang pemuda yang berusia dua puluh lima tahun ia sudah mengenal seks bebas dan narkoba. Ia selalu menggunakan uang dari pinjaman online untuk menyewa perempuan dan membeli ganja. Hidupnya penuh ketakutan karena di satu sisi ia menjadi buronan polisi karena telah memakai narkoba dan di sisi lain ia juga di kejar oleh debt collector karena ia tidak membayar hutang. Dia pun sempat ingin bunuh diri karena tidak kuat lagi menanggung beban yang ditanggungnya. Ia juga tidak memiliki orang tua karena kedua orang tuanya telah meninggal dunia. Suatu ketika, ia melintas di depan gereja dan di panggil oleh seorang romo. Romo itu mengajaknya masuk ke dalam gereja. Dia melihat pemuda itu seperti pemuda yang “gila”. Pada akhirnya, pemuda itu menceritakan semua masalahnya dan berkat bantuan seorang romo ia perlahan bisa membangun hidupnya kembali. Apa yang dapat di petik dari tiga kisah itu? Pada saat ini, kita mulai masuk ke dalam Masa Prapaskah Pekan I. Masa Prapaskah identik dengan pertobatan. Belajar dari tiga kisah di atas, kita tentu mengharapkan suatu pertobatan sejati. Bila dua kisah itu mereka berjuang mati-matian untuk hidup, maka berbeda dengan kisah ketiga, yakni keinginannya menerima tawaran Tuhan untuk berubah. Pada masa prapaskah ini sebenarnya kita diundang Tuhan untuk ikut dalam karya penebusan Tuhan pada hari paskah. Sebagaiimana kita ketahui, Rabu Abu adalah hari pembuka masa prapaskah yang di tandai dengan upacara penerimaan abu oleh seluruh umat beriman. Sudah sejak masa Perjanjian Lama, telah dikenal ungkapan pertobatan dengan mengenakan pakaian karung dan siraman abu tanda penyesalan atas dosa-dosa. Kebiasaan ini bahkan dari kebiasaan kafir. Yesus mengingatkan kita mengenai simbolisme ini (Bdk. Mat. 11:21). Pada masa gereja purba sudah mempraktikkan kebiasaan ini sampai awal abad X. Ritus resmi berlaku untuk seluruh gereja di tetapkan pada 1091 oleh Paus Urbanus II dalam suatu sinode di Benevento dengan tata cara berikut : dengan abu ditaburkan di atas kepala bagi kaum klerus dan awam laki-laki. Tetapi, bagi kaum perempuan dibuatkan tanda salib pada dahi. Cara tersebut dimaksudkan sebagai ungkapan tobat atas dosa-dosa yang telah dibuat. Dalam perkembangan selanjutnya terutama dewasa ini lebih dimaksudkan sebagai awal perjalanan rohani di damasa prapaskah agar semua orang dengan mantap memperbaharuhinya diri untuk merayakan paskah. Pertobatan adalah pintu penyegaran iman (Bdk, Bosco Da Cunha,O.carm, 2011: 56). Prapaskah merupakan suatu masa yang dipersembahkan khusus untuk menghidupi peran serta gereja pada miteri paskah Kristus. Intinya pada masa prapaskah ini, Kristus membenahi gereja, mempelai-Nya tercinta (Ef. 5:25-27). Masa prapaskah merupakan himbauan bagi seluruh umat Allah untuk bersama membuka diri bagi Tuhan, sang penyelamat, yang hendak membersihkan dosa-dosa kita dan menguduskan kita. Oleh karena itu, Dosa dapat diartikan menentang Allah; dosa membawa konsekuensi sosial; sikap bertobat merupaka juga tanggung jawab Gereja dan kita semua memiliki kewajiban moral untuk mendoakan kaum pendosa (Bdk, Bosco Da Cunha,O.carm, 2011: 56). Refleksi : Beberapa paroki memiliki kebiasaan pada hari jumat sebelum perayaan ekaristi dalam masa prapaskah melaksanakan ibadat jalan salib. Pada perhentian kesembilan mengisahkan Yesus jatuh ketiga kalinya. Pada saat itu kita dapat merefleksikan bahwa Tuhan Yesus pun dalam menanggung beban salib tidak mudah. Ia sampai jatuh untuk ketiga kalinya. Hal ini dapat diartikan bahwa; pertama, manusia juga memiliki kelemahan di dalam hidupnya. Kedua, di dalam hidup kita ini tidak selalu berjalan lancar saja. Selalu ada masalah atau bahkan jatuh di dalam hidup seperti kisahnya Pak Candra, Pak Tan, dan seorang pemuda yang kecanduan narkoba dan seks bebas. Di dalam hidup tentu kita pernah jatuh, entah jatuh akibat dosa-dosa atau pun yang lain. Disinilah kita perlu pertolongan Tuhan. Sebenarnya, Yesus bisa saja tidak mau disalib dan mengalami penderitaan, tetapi Yesus pun tetap mengikuti kehendak Bapa-Nya untuk melakukan hal itu demi umat manusia. Dari sini saya dapat belajar banyak dari kisah sengsara Yesus. Dia adalah manusia dan Tuhan tetapi Ia mau sungguh-sungguh melayani umat-Nya bahkan Ia menanggung dosa-dosa manusia dengan cara pada waktu itu hukuman paling keji dengan disalib. Pada masa Prapaskah ini sebenarnya kita mau diundang Tuhan kembali untuk melihat siapa diri kita, jika tidak ada Tuhan di samping kita? Saya pribadi tidak berarti bila tidak ada Tuhan di sisi saya. Apalagi dalam masa Prapaskah ini kita hendak juga berpuasa dan berpantang selama 40 hari. Puasa dan pantang merupakan wujud nyata untuk bertobat, menantang diri untuk menahan segala hawa nafsu dan godaan. Tujuannya adalah satu yakni pertobatan sejati. Pada masa Prapakah ini dunia sedang di landa pandemi covid-19. Tentu, hal ini menjadi suatu kesulitan di dalam hidup. Banyak di antara saudara kita yang harus menutup perusahaannya, para buruh banyak yang PHK, serta kebutuhan yang terus meningkat. Pada masa ini tentu kita harus melihat bahwa diri kita tidak ada artinya seperti abu bila tidak ada Tuhan. Mungkin, Tuhan masih menguji iman manusia, mungkin Tuhan masih bertanya “siapa yang dapat bertahan di masa ini? Siapa saja yang masih setia kepada-Ku? Siapa saja yang masih mau datang kepada-Ku?” pertanyaan-pertanyaan terus menjadi bahan refleksi saya terlebih lebih saat masuk ke dalam masa Prapaskah. Pada akhirnya, kita pun harus mengerti bahwa semuanya tidak selalu hidup dalam kenyamanan tanpa masalah. Pada masa prapaskah ini kita diajak untuk kembali melihat diri kita, untuk bertobat kembali melihat siapa kita jika tidak ada Tuhan? Sebagai murid Kristus di zaman sekarang pun, kita harus bertobat, kembali kepada Tuhan. Bila saat ini karena pandemi Covid-19, semua orang berada di titik terbawah, percayalah bahwa Tuhan selalu menolong kita. Beberapa kisah yang saya bagikan diatas menunjukkan bahwa Tuhan tidak pernah tinggal diam, Tuhan selalu hadir menemani hidup kita di kala kita senang maupun kita sedih. Semoga dalam masa Prapaskah 2021 ini, kita semua mau membuka hati dan menerima undangan Tuhan untuk mengikuti-Nya. __Sumber Pustaka__ Bosco Da Cunha,O.carm, memaknai perayaan Liturgi Sepanjang Tahun, Jakarta: Obor, 2011.

Read More

FRATELLI TUTTI: PERSAUDARAAN DAN PERSAHABATAN

![Kelas Terbuka Fratelli Tutti](//images.ctfassets.net/a1uad830l19w/4nUYxuAK1vrT0D38SdhXJQ/964c9ba42b9752a9b5260d11e5ee8f77/Kelas_Terbuka_Fratelli_Tutti_V1-02.jpg) __Pendahuluan__ Pembicaraan maupun pembahasan mengenai persaudaraan dan persahabatan masih menjadi tema atau topik yang tetap hangat untuk direfleksikan dan direnungkan hingga saat ini. Persaudaraan dan persahabatan bukan hanya sekedar tema atau topik pembicaraan, melainkan satu tujuan dalam hidup bersama, yakni kehidupan bersama yang damai, tentram, dan aman. Di beberapa belahan dunia, persaudaraan dan persahabatan menjadi suatu kerinduan yang luar biasa, terutama bagi mereka yang harus hidup di tengah medan konflik berkepanjangan serta perang. Berangkat dari fenomena semacam ini, Paus Fransiskus menulis Ensiklik (Surat Edaran bagi Gereja Universal) berjudul *Fratelli Tutti* (Semua Bersaudara). Ensiklik ini dipublikasikan bagi Gereja Universal pada tahun 2020. Meski telah dipublikasikan pada tahun 2020, banyak umat masih belum mengenal *Fratelli Tutti*. Menanggapi kebutuhan umat Katolik untuk mengenal Ensiklik tersebut, Kursus Teologi Katolik Keuskupan Surabaya (KTK) mengadakan Kelas Terbuka untuk mengupas Ensiklik Paus Fransiskus, *Fratelli Tutti*, dengan tema khusus, yakni Menjalin Persaudaraan Tanpa Batas. Kelas terbuka itu, dinarasumberi langsung oleh Bapak Uskup Keuskupan Surabaya, Mgr. Vincentius Soetikno Wisaksono dan dimoderatori oleh Ketua KTK Keuskupan Surabaya, Soegiharto Widodo. Tertarik dengan tema pembahasan dan refleksi Bapak Uskup Keuskupan Surabaya atas Ensiklik Paus Fransiskus, *Fratelli Tutti*, penulis hendak membuat sebuah artikel populer yang memuat ulasan-ulasan sederhana mengenai persaudaraan dan persahabatan dalam Ensiklik tersebut. Adapun beberapa pertanyaan yang akan diulas secara sederhana dalam tulisan ini, diantaranya sebagai berikut: (1) Apa itu *Fratelli Tutti*? (2) Apa pesan Bapak Uskup Keuskupan Surabaya bagi umat Katolik atas refleksinya terhadap *Fratelli Tutti*? __*Fratelli Tutti*__ *Fratelli Tutti* merupakan ungkapan hakikat dari keterbukaan persaudaraan yang memungkinkan kita untuk mengakui, menghargai dan mencintai setiap pribadi, tanpa tergantung pada kedekatan fisik, tanpa memperhatikan di mana dia dilahirkan atau berada. Ensiklik tersebut dipublikasikan pada tanggal 4 Oktober 2020, tepat pada Peringatan Wajib Santo Fransiskus dari Asisi. Untuk mengenal lebih dalam, Mgr. Vincentius Soetikno Wisaksono mengajak para peserta Kuliah Terbuka tersebut merefleksikan dan merenungkan delapan bab yang ada di dalam Ensiklik *Fratelli Tutti. * Pada bab I, yakni awan gelap di atas dunia yang tertutup, Paus Fransiskus menyoroti beberapa persoalan di zaman ini seperti nasionalisme eksklusif, ekonomi individual, hasutan-hasutan di tengah masyarakat, rasisme, kemiskinan, hak asasi kemanusiaan yang tidak terpenuhi, perang, pandemi, dan masih banyak lagi. Berhadapan dengan itu, Paus Fransiskus menyatakan bahwa persoalan-persoalan yang ada perlu dihadapi dengan “pengharapan”. Harapan membawa kita pada kehausan, beraspirasi, mendambakan sesuatu yang besar dan menuju pada kepenuhan hidup. Harapan, membuka pada kehidupan yang lebih berarti. Pada bab II, yakni seorang asing di jalan, Paus Fransiskus mengajak seluruh umat Katolik untuk merefleksikan kembali kisah orang Samaria yang baik hati (Lukas 10 : 25 - 37). Dalam kisah tersebut nampak bahwa seorang Samaria yang juga memiliki kepentingan tetap membantu bahkan berkorban bagi seorang yang dirampok dan terkulai di jalan. Lebih lanjut, Paus Fransiskus mengutip beberapa ayat Kitab Suci, baik dari Kitab Suci Perjanjian Lama dan Kitab Suci Perjanjian Baru, diantaranya dari Keluaran 22 : 21, Keluaran 23 : 9, Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Galatia 5 : 14, dan Surat Pertama Rasul Yohanes 4 : 20. Melalui kutipan-kutipan tersebut, Paus Fransiskus mengajarkan kepada umat Katolik untuk mau peduli terhadap orang asing. Pada bab III, yakni membayangkan dan membangun dunia yang terbuka, Paus Fransiskus menekankan satu prinsip dari Tuhan Yesus sendiri dalam berelasi dengan sesama, yakni cinta kasih: kasih membuat diri orang semakin terbuka pada orang di luar dirinya; kasih tidak membuat manusia semakin menutup diri; kasih sejati membuat manusia semakin berbuat untuk kebaikan orang lain; kasih membuat orang untuk bersatu secara universal. Pada bab IV, yakni hati yang terbuka pada seluruh dunia, Paus Fransiskus mengundang semua orang untuk menghargai para migran dan sekaligus meminta para migran untuk menyatu dengan kehidupan warga di tempat mereka tinggal. Paus Fransiskus menyadari bahwa akan selalu ada tegangan-tegangan antara yang mayoritas dan minoritas. Oleh karena itu, Paus Fransiskus mengingatkan hendaknya yang mayoritas dan minoritas mampu bersatu, sehingga bisa saling melengkapi satu sama lain. Pada bab V, yakni suatu bentuk politik yang lebih baik, Paus Fransiskus mengajak semua orang untuk membangun suatu politik yang lebih baik dalam semangat persaudaraan dan persahabatan global. Menurutnya, politik tanpa cinta kasih tidak akan membangun persaudaraan dan persahabatan yang baik. Maka, politik perlu memperhatikan cinta kasih, “Kasih akan sesama secara politis lahir dari kesadaran sosial yang mengatasi kerangka pandang individualistik, kasih sosial memungkinkan kita mencintai kepentingan umum, hal itu menjadikan kita secara efektif mencari kebaikan dari semua orang, yang diakui tidak saja sebagai pribadi individual atau privat, namun juga dimensi sosial yang menyatukan mereka” (FT, 182). Pada bab VI, yakni dialog dan persahabatan dengan masyarakat, Paus Fransiskus melihat pentingnya berdialog untuk mewujudkan dunia yang baik, dunia yang hidup dalam persaudaraan. Pada bab ini, Paus Fransiskus menunjukkan bahwa dialog merupakan basis dari konsensus, “Dialog menjadi basis konsensus karena dialog merupakan cara yang terbaik untuk mewujudkan apa yang harus senantiasa ditegaskan dan dihargai”. Pada bab VII, yakni tapak jalan perjumpaan yang diperbaharui, Paus Fransiskus menegaskan semua orang bahwa pembaharuan perjumpaan dengan sesama bukan kembali ke masa sebelum konflik, tetapi perlu memegang prinsip utama, yaitu “kebenaran”. Pasalnya, kebenaran merupakan pasangan yang tak terpisahkan dari keadilan dan belas-kasih. Ketiganya-tiganya sangat penting untuk membangun perdamaian. Kebenaran tidak mengarah pada belas dendam, namun lebih pada rekonsiliasi serta pengampunan” (FT 227). Pada bab VIII, yakni agama-agama dalam pelayanan bagi persaudaraan dan persahabatan di dunia, Paus Fransiskus menegaskan tentang hakikat agama yang juga mengarah pada pembangunan persaudaraan. Persaudaraan yang sejati dalam agama dibangun dengan dialog agama yang bukan sekedar diplomasi tetapi membangun persahabatan. Lebih tegas, Paus Fransiskus mengutuk aksi terorisme, karena keyakinan akan agama tidak membawa membawa pada kekerasan, tetapi pada nilai-nilai kemanusiaan. __Pesan Bapak Uskup Keuskupan Surabaya bagi Umat Katolik atas Refleksinya terhadap Fratelli Tutti__ Berdasarkan bab-bab di atas, Mgr. Vincentius Soetikno Wisaksono mengundang seluruh umat Katolik di manapun mereka berada untuk tidak hanya merenungkan, akan tetapi juga mengaktualisasikan pesan-pesan Paus Fransiskus mengenai persaudaraan dan persahabatan dalam Ensikliknya, Fratelli Tutti. Beliau mengajak seluruh umat Katolik agar dari ke hari semakin terbuka terhadap persaudaran dan persabatan antar umat beragama. Di penghujung acara, Bapak Uskup Keuskupan Surabaya tidak lupa menyampaikan pesan bahwa masa pandemi Covid-19 harusnya bukan menjadi penghalang untuk berbuat kasih, melainkan menjadi satu kesempatan untuk mewujudkan cinta kasih persaudaraan dan persahabatan. Harapan-harapan Bapak Uskup Keuskupan Surabaya bagi umat Katolik dalam mewujudkan cinta kasih persaudaraan dan persahabatan kemudian disempurnakan dalam doa penutup dan berkat dari Mgr. Vincentius Soetikno Wisaksono, Bapak Uskup Keuskupan Surabaya. Laus tibi Christe!

Read More

PENAMPAKAN TUHAN SEBAGAI TERANG IMAN

![Penampakan Tuhan](//images.ctfassets.net/a1uad830l19w/40NaXV3IwWqwQu0ThbTzfP/8c11ed66f707ba142a536541e7d53f54/800px-The_visit_of_the_wise-men.jpg) __Sebuah Pengantar__ Sukacita menyambut kelahiran Tuhan menggema di seluruh dunia. Harapan dan doa terpanjatkan di setiap manusia atas kelahiran Juru Selamat Yesus Kristus. Banyak yang beranggapan bahwa perayaan datangnya Tuhan di dunia hanya berhenti pada tanggal 25 Desember. Hal ini sangat disayangkan jika sebagian besar umat Katolik tidak mengetahui perayaan yang sangat bermakna seperti ini. Perayaan yang bermakna ini sering disebut sebagai penampakan Tuhan (Epifani). Penampakan Tuhan (Epifani) merupakan hari di mana Kristus menampakan diri-Nya sebagai Tuhan di hadapan ketiga majus yang telah mencari keberadaan Yesus dengan mengikuti arah bintang. Perayaan Epifani bagi Gereja Kristen dirayakan bertepatan dengan Natal, namun berbeda dengan Gereja Katolik Roma diperingati setiap tanggal 6 Januari. Banyak umat Katolik tidak mengetahui sejumlah perayaan yang bermakna ini. Maka, bisa jadi kata dan makna Epifani menjadi sesuatu yang baru bagi umat. Perayaan Epifani menggambarkan suatu bentuk kesederhanaan dan kesetiaan dalam mengikuti Kristus. Makna terang menghantarkan umat manusia yang sedang berjalan menuju Yesus yang kekal dan abadi. Sebagai pengikut Kristus, hendaknya umat dapat menjadi terang atas kegelapan, apalagi dengan kondisi pandemi Covid-19 untuk menemukan terang di antara rasa kecemasan, ketakutan, kesedihan, kemalangan dan kesusahan. Demikian, artikel ini ditulis agar umat Katolik dapat mengetahui kata dan makna peringatann Hari Raya Penampakan Tuhan (Epifani) sebagai terang iman. __Arti dan Makna Epifani__ Epifani berasal dari bahasa Yunani; Ephiphaneia, berarti penampakan yang nyata. Dalam Perjanjian Lama, kata Epifani digunakan untuk melambangkan pernyataan diri Allah (2 Mak 15:27) seperti dalam peristiwa Musa berbicara dengan Allah, yang berupa semak belukar yang terbakar (Kel 3:23-22;4:1-17). Sedangkan dalam Perjanjian Baru, dipakai merujuk kelahiran Kristus, penampakan-Nya sesudah bangkit dari antara orang mati dan kedatangan-Nya yang kedua (2 Tim 1:10). Oleh karena itu, Epifani selalu menggambarkan penampakan Allah kepada manusia di muka bumi. Melalui Hari Raya Penampakan Tuhan, Gereja hendak merayakan penampakan martabat ilahi Yesus sebagai Putera Allah dan Penebus dunia (Pdf., KGK art. 528, hlm. 84). Tuhan menampakkan diri-Nya sebagai terang atas kegelapan. Sebagai umat beriman tentunya dapat memaknai penampakan Tuhan melalui perjalanan para Majus dari Timur untuk menemukan cahaya keabadian melalui iman. Orang-orang Majus dari Timur bukanlah orang-orang Yahudi, tetapi menerima pewahyuan Kabar Gembira tentang kelahiran raja orang Yahudi dan Penebus dunia melalui tuntunan bintang Timur (Mat 2:2). Dalam perjalanan yang dilakukan para Majus untuk menemukan kehadiran Tuhan tentu tidaklah mudah. Mereka mengikuti arah bintang sebagai petunjuk untuk menemukan Tuhan yang tentunya tidak semua orang bisa melihat tanda tersebut. Atas kerahiman Allah, mereka menyaksikan penampakan Mesias yang telah datang ke dunia yang kita kenal sebagai Juruselamat Tuhan kita (Mat 2:2-6). Paus Leo Agung I menjelaskan bahwa setelah merayakan di mana keperawanan yang tak bernoda melahirkan Juru selamat umat manusia, pesta Epifani yang terhormat, yang terkasih, memberi kita kegembiraan yang berkelanjutan, agar kekuatan kegembiraan kita dan semangat iman kita mungkin tidak tumbuh dingin. Karena ini menyangkut keselamatan semua manusia, bahwa masa kecil Perantara antara Tuhan dan manusia sudah terwujud ke seluruh dunia, sementara Dia masih ditahan di kota kecil. Karena meskipun Dia telah memilih bangsa Israel, dan satu keluarga dari bangsa itu - yang darinya Dia mengambil hakikat seluruh umat manusia - namun Dia tidak mau bahwa hari-hari awal kelahiran-Nya harus disembunyikan di dalam batas sempit rumah ibu-Nya: tetapi ingin segera dikenali oleh semua, karena Dia berkenan dilahirkan untuk semua. Oleh karena itu, bagi tiga orang bijak, yakni para Majus muncul sebuah bintang kemegahan baru di wilayah Timur, yang lebih terang dari bintang-bintang lain, dapat dengan mudah menarik mata dan pikiran orang-orang yang melihatnya, karena itu Dia yang memberi tanda, memberikan pemahaman kepada yang melihatnya, dan menyebabkan penyelidikan dibuat tentang itu, yang karenanya Dia telah menyebabkan pemahaman, dan setelah penyelidikan dilakukan, menawarkan diri-Nya untuk ditemukan (Pope Leo the Great, Sermon 31, I). Seusai perjumpaan dengan Tuhan, para Majus memberikan persembahan sebagai simbol dalam diri Kristus, yaitu berupa (1) Emas, melambangkan bahwa kepribadian Yesus sangat berharga yakni sebagai Sang Raja, (2) Kemenyan melambangkan kedatangan Tuhan Yesus Kristus ke dunia sebagai Imam Agung bagi manusia untuk menuju kemuliaan Allah Bapa yang ada di surga, (3) Mur melambangkan misteri sengsara dan wafatnya Yesus Kristus (Suara Borsak Mangatasi Nababan dalam https://nababan.wordpress.com/2012/12/16/orang-majus-membawa-emas-kemenyan-dan-mur/, “Orang Majus Membawa Emas, Kemenyan dan Mur”, diunduh pada tanggal 28 Desember 2020, pukul 17:15 WIB). Penampakan kemuliaan Tuhan tidak hanya ditampakan kepada golongan tertentu melainkan semua dapat menyaksikan melalui para majus yang telah mewartakan kelahiran Yesus Kristus. __Refleksi Atas Epifani__ Yesus telah datang ke dunia dengan membawa terang bagi umat manusia dan menampakkan diri-Nya sebagai Mesias Yang Agung penuh kasih. Penampakan Tuhan harus dimaknai dengan segenap keimanan. Artinya, perlu merefleksikan dalam diri atas perjalanan para Majus dalam menemukan terang Allah dengan penuh keimanan, yaitu tidak perlu takut untuk mengimani dan mengikuti Tuhan Yesus di setiap perkembangan zaman, baik dalam situasi ancaman, penindasan, keterpurukan, kesulitan dan lainnya, sebab Tuhan telah menampakan diri-Nya untuk menyelamatkan umat manusia dari kegelapan. Dalam situasi tersebut sebagai umat beriman harus percaya dan yakin bahwa terang Tuhan berserta kita. Untuk menemukan terang, hendaknya selalu berdoa dengan penuh keimanan, sebab melalui doa, kita memiliki kerendahan hati untuk menemukan Tuhan, seperti halnya para majus yang memiliki kerendahan hati untuk menemukan penampakan dan menyembah-Nya. Janganlah seperti raja Herodes karena kedudukan, jabatan, dan kekuasaan dia telah dibutakan. Dengan kesombongannya, raja Herodes tidak dapat menemukan datangnya terang di tanah Israel itu sendiri. Sangat disayangkan jika hati diselimut oleh kegelapan yang akan menjadi kebinasaan seperti halnya raja Herodes. Sebagai anak Allah tentunya tidak mau seperti raja Herodes, bukan? Maka dari itu hendaknya selalu berdoa, sebab doa sebagai senjata untuk memerangi kegelapan yang tentunya dengan segenap penuh keimanan dan kerendahan hati, sebab sejatinya manusia dilahirkan dalam dunia untuk menyembah dalam peribadatan kepada Tuhan dengan keagungan nama-Nya. Tahun ini Hari Raya Penampakan Tuhan (Epifani) berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Dunia sedang dilanda pandemi Covid-19. Pandemi tersebut menyebabkan kerugian yang sangat besar di berbagai sektor. Tentu kondisi ini membuat sebagian besar manusia di dunia mengalami kesulitan, ketakutan, keterpurukan, ancaman, dan sebagainya. Tidak menutup kemungkinan mereka kehilangan keluarga tercinta, harta, kestabilan, bahkan terganggunya aktivitas peribadatan. Dalam kondisi tersebut, kita dapat meneladani para Majus, mereka tetap berusaha menemukan Tuhan di tengah kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi. Maka diperlukan kesabaran, ketabahan, kerendahan hati, kepenuhan iman di tengah situasi dan kondisi pandemi ini. Demikian, bagi saya secara personal, Hari Raya Penampakan Tuhan (Epifani) tahun ini meminta umat agar lebih dekat kepada-Nya. Para Majus menjadi teladan untuk semakin mengimani Tuhan Yesus Kristus. Memang tidak mudah untuk mengikuti-Nya, diperlukan pengorbanan untuk menemukan terang. Namun, bukankah hidup Kristen memang untuk berjalan menuju Kristus? Hidup merupakan sebuah perjalanan menuju Kristus yang tentunya tidak dapat mengandalkan diri sendiri dalam prosesnya. Kristus-lah yang memberikan dan mendirikan Gereja untuk menuntun kita melalui Sakramen-Sakramen agar bersatu dalam Dia, Yesus Kristus. Mari tetap bersukacita dalam menyambut perayaan Epifani di tengah pandemi Covid-19 agar kita pun mampu menemukan Sang Terang itu sendiri layaknya para Majus yang mengikuti dan menemukan Sang Terang, Tuhan Yesus Kristus. __Kesimpulan__ Epifani menggambarkan perjalanan orang beriman untuk menemukan Tuhan dalam keserhanaan dan kerendahan hati. Bintang sebagai petunjuk dalam perjalanannya menuju terang keabadian. Para majus dalam menemukan Tuhan diperlukan pengorbanan yang tidak mudah hanya dengan keimanan mereka rela melakukannya hanya untuk menemui dan menyaksikan bahwa bayi yang bernama Imanuel telah lahir membawa terang atas kegelapan. Di ujung pencarian terang itu sudah tampak di hadapannya. Terang bagi semua bangsa umat manusia yang kekal dan abadi. Sudah sepantasnya kita bersyukur karena melalui kisah para Majus, kita bisa belajar bagaimana mencari hingga menemukan Tuhan dengan penuh kerendahan hati. Sekarang, kerendahan hati untuk menemukan Tuhan tetap bisa kita lakukan, salah satunya dengan berdoa. Dengan berdoa, kita akan bertemu dengan Sang Terang itu sendiri, Dialah Tuhan Yesus Kristus! Setiap tanggal 6 Januari, Gereja Katolik memperingati Hari Raya Epifani - Kata Epifani sendiri berasal dari bahasa Yunani "Epiphaneia" yang berarti manifestasi atau penampakan jelas - hari di mana Yesus Kristus menampakkan Diri-Nya sebagai Tuhan di hadapan ketiga majus yang mencari keberadaan-Nya dengan mengikuti arah bintang. __Sumber Pustaka__ Alkitab Deuterokanonika __Referensi Internet__ Pdf., KGK art. 528, hlm. 84. https://www.newadvent.org/fathers/360331.htm, “Leo the Great, Pope (c. 395-461), Sermons 31 art. I”, diunduh pada tanggal 10 Desember 2020, pukul. 15.00 WIB. Fr. Budhi P, Carolus, dalam https://www.parokicikarang.or.id/detailpost/epifani-tuhan-menampakkan-kemuliaan-nya, “Epifani – Tuhan Menampakkan Kemuliaan-Nya”, diunduh pada tanggal 10 Desember 2020, pukul. 16.00 WIB. Suara Borsak Mangatasi Nababan dalam https://nababan.wordpress.com/2012/12/16/orang-majus-membawa-emas-kemenyan-dan-mur/, “Orang Majus Membawa Emas, Kemenyan dan Mur”, diunduh pada tanggal 28 Desember 2020, pukul 17:15 WIB.

Read More

AVE MARIA, AVE MATER DEI!

![Hari Raya Santa Maria Bunda Allah](//images.ctfassets.net/a1uad830l19w/1OTf79LrK8f9yRRxuUbdkd/d63bb7d0d59e37bb57236734eecca431/maria-bunda-allah-696x522.jpg) __Sebuah Pengantar__ “Orang Katolik itu menyimpang dari ajaran Yesus sebab mereka menyembah Bunda Maria”, demikian salah satu tuduhan yang menjamur di media sosial untuk menyudutkan umat Katolik. Tuduhan itu klasik karena sudah ada sejak reformasi Luther di Jerman. Padahal, orang Katolik tidak menyembah Maria, melainkan menghormatinya sebagai Bunda Allah karena telah melahirkan Yesus Kristus yang adalah Allah itu sendiri. Tak heran, orang Katolik menjunjung tinggi penghormatan dan devosi kepada Santa Perawan Maria, sehingga menjadikannya pula sebagai sosok teladan dalam beriman karena ia adalah Bunda Allah (Mater Dei). Berikut ini adalah sebuah esai ringkas sebagai buah pemikiran penulis dalam merenungkan Maria sebagai Bunda Allah. __Pada Mulanya__ Adalah Nestorius (384-451 M), seorang uskup Konstantinopel yang mengajarkan kepada para pengikutnya bahwa Maria hanyalah ibu Yesus secara manusiawi, alih-alih ibu Allah. Nestorius menolak menerima kenyataan dogmatis bahwa Ibu Maria sungguh-sungguh melahirkan Yesus yang adalah Anak Allah. Menurutnya, Yesus yang dilahirkan Maria adalah sekadar pribadi yang dengan segala kedagingan-Nya hadir dalam misteri inkarnasi sebagai manusia. Maka, cara pandang Kristologi Nestorius menolak pribadi ilahi dalam diri Yesus. Dengan kata lain, semua yang dilakukan dan diucapkan Yesus adalah sebuah tindakan manusiawi belaka. Oleh sebab itu, peristiwa inkarnasi Yesus pun tak lebih dari sekadar kelahiran seorang putera manusia biasa dari rahim seorang wanita biasa pula. Gereja pun menanggapi pandangan Nestorius tersebut dengan mempromulgasikan Konsili Efesus pada tahun 431 M. Konsili Efesus melalui mulut Santo Sirilus dari Yerusalem menegaskan bahwa Yesus adalah sungguh-sungguh Allah dan sungguh-sungguh manusia sehingga kelahiran-Nya ke dunia adalah sebuah misteri inkarnasi Allah yang menjelma menjadi manusia. Lewat rahim seorang perawan bersahaja, Yesus dilahirkan ke dunia sebagai bagian dari rencana keselamatan Allah bagi umat manusia. Santo Sirilus juga menekankan bahwa Maria telah melahirkan seorang Anak Manusia yang juga sekaligus Anak Allah, yakni Yesus yang disebut Kristus. Santo Sirilus bersama para apologet lainnya memberikan pendasaran biblis dari kisah Maria yang datang mengunjungi Elisabeth dalam Lukas 1:43. Dikisahkan dalam keadaan hamil tua, Elisabeth menerima kunjungan dari saudarinya, Maria sehingga bayi yang ada dalam kandungannya turut bersorak kegirangan. Dialah Yohanes Pembaptis yang ada dalam kandungan Elisabeth tersebut sebab Yohanes adalah dia yang menyiapkan jalan bagi Dia yang adalah Anak Allah. Dengan dipenuhi Roh Kudus, Elisabeth berseru, “Siapakah aku ini, sampai Ibu Tuhanku datang mengunjungi aku?”. Pernyataan Elisabeth ini bukanlah pernyataan seorang yang tengah melantur, sebab dikatakan di ayat sebelumnya “Dan ketika Elisabet mendengar salam Maria, melonjaklah anak yang di dalam rahimnya dan Elisabet pun penuh dengan Roh Kudus”, Lukas 1:41. Maka, semua yang diucapkan Elisabeth saat itu berasal dari Roh Kudus, yang adalah Allah Tritunggal itu sendiri. Tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa pengakuan “Ibu Tuhanku” dari Elisabeth adalah sebuah Credo awali yang menyatakan kuasa ilahi Yesus sebagai Allah. Ungkapan penuh daya Roh Kudus dari mulut Elisabeth ini seakan mengamini perkataan malaikat kepada Maria, “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah”, Lukas 1:35. Malaikat pun menutup keraguan Maria yang belum bersuami itu dengan penegasan bahwa Anak itu adalah Kudus, Anak Allah. Ini adalah sebuah intervensi ilahi yang mengatasi keraguan manusiawi dengan validasi bahwa Yesus sungguh-sungguh Allah dan manusia. Oleh sebab itu, Maria yang melahirkan Tuhan pun layak disebut sebagai Ibu Allah. Kenyataan akan dogma Maria Bunda Allah juga merupakan khazanah Kristologi yang dalam. Ajaran iman tersebut membawa implikasi bagi sebuah pemahaman Gereja akan Kristus, bahwa Ia adalah Anak Manusia sekaligus Anak Allah sebab Ia adalah Allah. Misteri inkarnasi sangat jelas tergambarkan dalam ajaran Maria Bunda Allah. Artinya, semua ajaran iman Gereja Katolik selalu merupakan usaha penyingkapan misteri agung Gereja, yakni inkarnasi Allah yang menjelma menjadi manusia. Dengan kata lain, pemahaman akan ajaran ini adalah sebuah jalan setapak agar Gereja boleh semakin mengenal mempelainya, yakni Dia yang dilahirkan oleh Ibu Maria. Maka, Gereja yang menyelami dan diselami oleh misteri tersebut berhak menerima janji kehidupan kekal sebagai buah iman Gereja. __Konsekuensi Kristiani__ Menelisik hal di atas nyatanya membawa konsekuensi dogmatis, yakni iman Gereja pada Maria Bunda Allah. Adalah keliru bila menyebutkan bahwa Gereja menyembah pula Maria, sebagaimana tuduhan-tuduhan kepada Gereja yang beredar selama ini di media sosial. Sebaliknya, inilah konsekuensi atas ajaran iman di atas, yakni termakhtub dalam doa “Salam Maria” pada kalimat, “Sancta Maria, Mater Dei, Ora pro nobis peccatoribus nunc et in hora mortis nostrae”. Gereja senantiasa meminta pertolongan kepada Bunda Maria sebagai pengantara doa sebab ia dekat kepada Puteranya yang terkasih. Bagaimana Gereja bisa meyakini kharisma Bunda Maria yang dekat dengan Yesus? Nyatanya, Maria “meminta” kepada Yesus untuk berbuat sesuatu saat sebuah pesta kawin di Kana tengah kehabisan anggur. Uniknya, Yesus berbuat seperti yang diharapkan oleh ibu-Nya dengan mengatakan kepada para pelayan, “Apapun yang dikatakannya, buatlah itu!” (bdk. Yoh. 2:1-5). Maka, mintalah pertolongan doa dari Bunda Maria yang lebih mengenal Yesus dan mintalah doanya sampai waktu ajal tiba! Konsekuensi berikutnya adalah kenyataan bahwa setiap anggota Gereja hidup sebagai anak Allah. Hidup sebagai anak Allah juga berarti taat dan setia pada proses hidup menggereja, salah satunya adalah dimensi eklesiologis. Mengimani iman Gereja berarti ada dan hidup bersama Gereja, yakni dalam persekutuan. Maria sebagai Bunda Yesus sepanjang hidupnya pun ada dalam persekutuan para rasul. Bahkan, jalan salib dilalui Maria tidak dengan seorang diri, melainkan bersama Yohanes yang adalah rasul Kristus. Ucapan penyerahan murid-murid kepada Maria saat di kaki salib menyiratkan persekutuan yang diharapkan oleh-Nya, “Ibu, inilah anakmu”, demikian kepada Yohanes, “Inilah ibumu” (bdk. Yoh. 19:25-27). Maka, setiap putera dan puteri Gereja dipanggil untuk hidup dalam persekutuan, bukan iman yang soliter dan privat. Konsekuensi tersebut menarik untuk dihayati sebab dewasa ini banyak orang merasa sudah cukup beriman secara mandiri dan privat. Kenyataan ini memang perlu dipahami secara dalam karena sebagian orang masih menganggap bahwa iman adalah urusan ruang privat, sehingga tak perlu diketahui oleh orang lain. Dengan alibi ini, orang bisa menghindar dari kegiatan Gereja sebab merasa misa saja cukup. Ulah laku kesalehan yang demikian agaknya masih dangkal karena terkesan terlalu sibuk membangun diri sendiri. Sebaliknya, Paus Fransiskus malah mengingatkan bahwa Gereja harus berani keluar dari diri sendiri dan saling membangun dunia dalam persekutuan. Dari pemahaman di atas lahirlah permenungan bahwa iman Gereja tak pernah bersifat soliter, melainkan ada dalam persekutuan, sebagaimana hakikat Gereja sendiri yang adalah persekutuan. __Sebuah Refleksi__ Demikian besar peran Maria dalam hidup beriman orang Kristiani. Bagi saya secara personal, hal ini membawa refleksi yang kian dalam pada sosok perawan asal Nazareth ini, yakni penghormatan kepada Maria. Itulah alasan, Gereja menghormati Maria sebagai Bunda Allah karena perannya dalam karya keselamatan Allah bagi umat manusia. Itulah alasan pula, orang-orang Kristiani sangat kuat dalam berdevosi kepada Maria, baik melalui doa Novena, doa Rosario, dsb. Refleksi ini pun membawa umat sampai pada pengharapan akan adanya pertolongan Maria. Demikian pula, saya merenungkan bahwa selama ini saya banyak mengandalkan pertolongan Ibu Maria, khususnya dalam masa-masa sukar. Penghayatan iman yang demikianlah yang seyogianya terus disuburkan dalam hidup beriman, sebab melalui pertolongan Maria, kita semua sampai pada Kristus, Puteranya yang terpuji itu. Refleksi kedua yang saya renungkan adalah bahwa iman pada Maria tengah menampakkan sisi keibuan Gereja melalui sosok Ibu Maria. Paus Fransiskus pun telah menampakkan hal ini melalui sikap yang mengejutkan banyak orang, seperti membawa beberapa imigran muslim datang ke Vatikan, membasuh kaki para narapidana, memberikan perhatian pada kaum LGBT, dan lain sebagainya. Sosok keibuan inilah yang ditimbah dari Ibu Maria, yakni kelembutan dan kasih sayang yang menerima siapapun dengan tangan terbuka. Refleksi ini pula membawa wacana baru bahwa wajah Gereja tengah berbenah sehingga tidak nampak keras, kejam dan kaku, melainkan memberikan tangan layaknya seorang ibu yang memeluk setiap anak yang rindu datang ke pangkuannya. Tentang ini, Yesus pun pernah menunjukkan kerinduan-Nya demikian, “Yerusalem, Yerusalem…berkali-kali Aku rindu mengumpulkan anak-anakmu seperti induk ayam mengumpulkan anak-anaknya di bawah sayapnya” (bdk. Mat. 23:37). Maka, kita tak akan pernah ragu untuk datang kepada Bunda Allah sebab tangannya selalu terbuka untuk menghantar doa-doa kita pada Allah. Ave Maria, Ave Mater Dei! __Sumber Pustaka__ Mary Fulkerson, Places of Redemption: Theology for a Worldly Church - Oxford: Humpers Press, 2007. Daniel Rancour, Imagining Mary: A Psychoanalytic Perspective on Devotion to the Virgin Mother of God, London: Routledge, 2017 Krisna Setiawan, "Allah Tritunggal Sebagai Dasar Hidup Kristiani", (tugas paper mata kuliah Allah Esa dan Tritunggal), Surabaya: Imavi, 2020

Read More