Salah satu urusan yang bukan menjadi kewenangan pemerintah pusat adalah

JAKARTA - Ada bidang-bidang yang masih tetap ditangani oleh pemerintah pusat dalam melaksanakan tugasnya. Seperti diketahui, pemerintah pusat dalam menyelenggarakan tugasnya menggunakan asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Menurut Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014, urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum.

BACA JUGA: Apa Saja Wewenang Pemerintah Pusat?

Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat.

Sedangkan, urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud adalah urusan Pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dan daerah. Sedangkan, urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke daerah menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah.

Lalu, urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud adalah urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan.

BACA JUGA: 6 Kewenangan Pemerintah Pusat, Apa Saja?

Berikut bidang-bidang yang masih tetap ditangani oleh pemerintah pusat berdasarkan urusan pemerintah absolut :

1. Politik luar negeri

Pemerintah Pusat memiliki wewenang untuk mengatur urusan atau kebijakan yang menyangkut politik luar negeri dalam menjaga hubungan kerjasama Internasional.

2. Pertahanan

Dalam mengamankan pertahanan, pemerintah pusat bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk mewujudkan pertahanan negara yang kuat dan solid. Sebab, menjaga pertahanan negara berkaitan dengan menjaga kedaulatan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

3. Keamanan

Saat ini, bidang-bidang yang masih tetap ditangani oleh pemerintah pusat yakni keamanan di darat, laut, maupun udara. Dalam pelaksanaannya, Pemerintah Pusat bekerjasama dengan Pemerintah Daerah agar keamanan nasional dapat tercapai secara maksimal.

4. Yustisi

Pemerintah Pusat membuat dan sistem hukum maupun menentukan pihak yang bertanggung jawab pada lembaga hukum terkait.

Seperti contoh lembaga peradilan, mengangkat hakim dan jaksa, memberikan grasi, dll.

5. Moneter dan fiskal nasional

Mengatur kebijakan moneter dan kebijakan fiskal merupakan kewenangan pemerintah pusat. Kebijakan moneter mencakup kebijakan pengaturan uang Kestabilan Rupiah yang dimaksud mempunyai dua dimensi. Dimensi pertama kestabilan nilai Rupiah adalah kestabilan terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin dari perkembangan laju inflasi. Sementara kebijakan fiskal bertujuan untuk menstabilkan ekonomi negara melalui pajak dan suku bunga.

6. Agama

Pemerintah pusat membebaskan masyarakat Indonesia memiliki hak untuk memeluk agamanya sesuai dengan keyakinannya masing-masing.

  • #Bidang yang ditangani Pemerintah Pusat
  • #Pemerintah Pusat

Kewenangan Pusat dan Daerah

Oleh:  Farouk Muhammad

PEMBAHASAN RUU Perubahan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sedang dilakukan oleh Panitia Khusus DPR bersama pemerintah dan DPD RI. DPD menjadi mitra strategis dalam pembahasan karena RUU ini merupakan jantung pemerintahan daerah yang menjadi basis representasi DPD. RUU ini menyangkut masa depan daerah yang sejatinya menjadi tulang punggung pemerintahan nasional.

Hubungan pemerintah dan pemda diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 Bab VIII tentang Pemerintah Daerah, khususnya Pasal 18 Ayat (1) dan Ayat (2). Pada Ayat (1) disebutkan, ”Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.” Lalu diperjelas pada Ayat (2), ”Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.”

UUD menjabarkan esensi pembagian kewenangan daerah dalam dua istilah, yaitu kewenangan ”mengatur” dan kewenangan ”mengurus”. Dalam terminologi akademik, istilah ”mengatur” merujuk pada hak membuat kebijakan (policy making) sekaligus melaksanakannya, sementara istilah ”mengurus” merujuk pelaksana kebijakan yang dibuat pemerintah.

Mandat UUD tersebut selanjutnya diatur dengan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang disahkan pada 18 Oktober 2004. UU ini membagi urusan pemerintah pusat dan pemda menjadi dua. Pertama, urusan yang mutlak menjadi kewenangan pemerintah pusat meliputi enam urusan: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama. Kedua, di luar keenam urusan di atas pada dasarnya merupakan urusan yang menjadi kewenangan pemda. Hal ini ditegaskan pada Pasal 10 Ayat (1) yang menyatakan bahwa pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh UU ini ditentukan menjadi urusan pemerintah.

Dengan konstruksi di atas, UU No 32/2004 sebenarnya menganut prinsip general competence di mana urusan pemerintahan yang dirinci di dalam UU adalah urusan yang menjadi kewenangan pemerintah, sementara di luar urusan pemerintah yang disebutkan merupakan urusan daerah otonom (residual power). Kebalikan dari prinsip ini adalah prinsip ultra vires doctrine di mana UU merinci urusan pemerintah yang menjadi kompetensi daerah otonom. Penerapan prinsip tersebut menandai perubahan radikal dalam perkembangan otonomi daerah sejak kemerdekaan republik. Hal ini sejalan dengan tuntutan reformasi yang mengoreksi sistem pemerintahan kita dari sentralistik di masa Orde Baru menjadi desentralistik.

Meski demikian, pada saat yang sama UU No 32/2004 juga mengatur bagian urusan pemerintahan yang bersifat concurrent, yaitu urusan pemerintahan yang penanganan dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah dan pemda yang tergantung pada tiga kriteria: eksternalitas (pertimbangan dampak/akibat), akuntabilitas (pertimbangan siapa yang paling dekat dengan akibat/dampak), dan efisiensi (pertimbangan sumber daya untuk melaksanakan suatu urusan).
Politik desentralisasi

Menurut penulis, pembagian urusan dalam UU No 32/2004 menyebabkan tidak jelasnya politik desentralisasi sebagaimana mandat Pasal 18 UUD 1945. Bahkan, UU No 32/2004 cenderung tidak sejalan dan tidak konsisten dengan UUD yang telah memberikan arahan jelas bahwa pemda mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

UU No 32/2004 mengindikasikan penganutan politik desentralisasi yang rancu bahkan melahirkan praktik kepemerintahan yang tumpang tindih, jauh dari prinsip good governance. Pengaturan dalam UU ini melahirkan tanda tanya tentang apa sesungguhnya yang menjadi kewenangan pemerintah dan pemda. Di satu pihak UU menganut prinsip general competence dan residual power, tetapi di lain pihak menggunakan lagi prinsip concurrent yang mengaburkan implementasi prinsip yang disebut terdahulu. Konsekuensinya, porsi terbesar dalam pembagian anggaran justru dialokasikan untuk pemerintah. Lagi pula UU itu lebih menekankan pembagian kewenangan dari segi urusan (fungsional) daripada segi strata kewenangan (struktural) seperti dianut UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.

Lebih dari itu, dalam pengelolaan dana, pemerintah menggunakan lagi platform dana dekonsentrasi dan tugas perbantuan kepada pemda untuk penyelenggaraan urusan-urusan yang justru menjadi kewenangannya. Oleh karena itu, dalam pembahasan RUU Desa yang akhirnya menetapkan pengalokasian dana alokasi desa sebesar 10 persen dari dan di luar dana transfer kepada menteri dalam negeri dan pejabat yang mewakili menteri keuangan pada waktu itu penulis—sebagai senator yang secara spesifik dan eksplisit ditugaskan oleh konstitusi untuk ikut mengatur hubungan pusat dan daerah-- menuntut pemerintah—bukan untuk mengasihani, melainkan mengembalikan kewenangan pemda beserta dana yang melekat dengannya.
Kewenangan mutlak pemerintah

Kritik penulis selanjutnya menyangkut enam urusan yang disebutkan merupakan urusan mutlak pemerintah. Pada praktiknya, pelaksanaan urusan tersebut membutuhkan kerja sama dan dukungan pemda. Lalu, apa sesungguhnya makna penyebutannya sebagai kewenangan mutlak atau absolut?

Menyangkut urusan pertahanan, pemda sangat penting perannya dalam ikut mempersiapkan sumber daya manusia (SDM). Misalnya, penjagaan daerah-daerah perbatasan dalam konteks pertahanan akan bernilai strategis bagi daerah terkait jika mereka ikut dilibatkan. Jika pemda dibebaskan dari urusan ini, yang terjadi bisa saja sikap tak acuh serta tidak ada rasa memiliki dan rasa bertanggung jawab dalam upaya pertahanan negara.

Menyangkut urusan keamanan, keamanan nasional menjadi kewenangan pusat, tetapi keamanan lokal jelas merupakan kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurusnya. UU Nomor 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Konflik Sosial juga telah mengangkat konsep keamanan lokal dan menjabarkan kewenangan daerah dalam menjaga keamanan serta mengembangkan kewaspadaan (intelijen). Pada praktiknya ada program perpolisian masyarakat (polmas) dan lain sebagainya yang melibatkan partisipasi pemda, terutama dalam kerja sama dan pendanaan.

Menyangkut urusan yustisi, penulis berpendapat istilah yustisi kurang tepat dalam konteks pembagian kewenangan pemerintah (eksekutif) karena yustisi menyangkut kewenangan yudikatif. Mungkin lebih tepat menggunakan istilah kewenangan (manajemen) penegakan hukum. Dalam hal-hal tertentu, dari aspek manajemen penegakan hukum (nonmateri hukumnya) nyatanya tidak bisa berjalan efektif tanpa dukungan pemda. Oleh karena itu, pemda perlu dilibatkan dalam upaya-upaya penegakan hukum (baca: dukungan administratif) yang terkait dengan pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam (penambangan/pembalakan liar), perdagangan manusia, penanggulangan narkotika, dan lain-lain.

Menyangkut urusan agama, manajemen keagamaan harus dilaksanakan secara cermat dengan melibatkan peran pemda sehingga bukan hanya monopoli pemerintah pusat, yang dalam praktiknya justru menjadi sumber masalah bagi kemajuan pembangunan. Kasus yang pernah mengemuka adalah polemik bantuan pemda kepada madrasah yang notabene di bawah naungan Kementerian Agama sebagai instansi vertikal. Atas dasar paham tersebut, pemda tidak dapat menganggarkan bantuan bagi madrasah-madrasah di seluruh Indonesia. Hal ini melanggengkan keterpurukan kondisi madrasah yang tertinggal dari sekolah-sekolah umum di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang notabene telah di”dekonsentrasi”-kan ke pemda.

Hal serupa juga terkait kebijakan pemberian dukungan anggaran oleh pemda bagi aparat keamanan dan penegak hukum. Sejumlah temuan Badan Pemeriksa Keuangan masih menyalahkan kebijakan demikian karena bertentangan ketentuan UU No 32/2004. Sementara itu, daerah sangat berkepentingan untuk ikut membangun dan mendukung pelaksanaan fungsi-fungsi itu karena berpengaruh pada penciptaan kondisi yang kondusif bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.

Realitas di atas menggambarkan dan menegaskan bahwa sejatinya tidak ada urusan yang benar-benar mutlak/absolut dan tidak tepat jika manajemen atau tata kelolanya dilaksanakan secara mutlak/absolut (hanya) oleh pemerintah. Bahkan, dalam UU No 39/2008 tentang Kementerian Negara ditegaskan bahwa dalam melaksanakan urusan seperti agama, hukum, dan keamanan, pemerintah sebatas membuat kebijakan atau melaksanakan kegiatan teknis yang berskala nasional. Adapun pelaksanaan urusan tersebut di daerah menjadi kewenangan masing-masing daerah, sedangkan pemerintah hanya memberikan bimbingan teknis dan supervisi dalam pelaksanaannya (vide: Pasal 5 Ayat (2) dan Pasal 8 Ayat (2)). Oleh karena itu, UU Pemerintah Daerah yang akan datang sebenarnya cukup merujuk pada UU Kementerian Negara yang saat ini telah berlaku.

Berdasarkan argumentasi di atas, penulis mengambil satu benang merah yang diharapkan dapat menjadi dasar pijak bagi kita semua untuk menjernihkan konsep pembagian kewenangan antara pusat dan daerah dalam rangka pembahasan RUU Pemerintahan Daerah. Dalam hal ini model pengaturan yang dianut UU No 39/2008 dalam hal-hal tertentu dapat dirujuki.

Pertama, tidak ada kewenangan yang bersifat absolut atau mutlak, tetapi ada kewenangan yang pada dasarnya menjadi dominasi pemerintah (negara), seperti urusan luar negeri, pertahanan, keamanan nasional, manajemen penegakan hukum, urusan agama yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta moneter dan fiskal nasional. Namun, pada pelaksanaannya kewenangan tersebut  perlu kerja sama dan dukungan dari pemda.

Kedua, sifat kewenangan yang pada dasarnya jadi dominasi pemda sehingga bisa ”diatur” dan ”diurus” berdasarkan otonomi, tetapi dalam pelaksanaannya tetap harus memperhatikan arah dan kebijakan pemerintah sesuai karakter negara kesatuan. Inilah letak politik desentralisasi sebagaimana dimandatkan oleh konstitusi yang harus diperjelas dan diperkuat.

Ketiga, urusan pemerintahan umum di mana pemerintah menggariskan arah, kebijakan, dan pengaturan, sementara pelaksananya adalah pemda. Dengan ulasan di atas, penulis ingin menegaskan perlu rekonseptualisasi kewenangan sentralisasi dan desentralisasi dalam kerangka regulasi tentang pemda. Hal ini penting dalam rangka penguatan penyelenggaraan pembangunan daerah dalam kerangka otonomi yang secara agregat merupakan pilar pembangunan nasional.Farouk Muhammad

Anggota Komite I DPD RI;Tim Kerja RUU Pemda