Sebutkan jalur jalur yang digunakan dalam transmisi gagasan dan gerakan islam transnasional

Oleh: Istadiyantha

Situasi pemikiran Gerakan Islam Politik di Timur Tengah amat berpengaruh terhadap Gerakan Islam Politik di seluruh dunia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya.Di antara banyak negara di Timur Tengah, ada beberapa negara yang amat besar pengaruhnya bagi perkembangan Islam di dunia, terutama bagi gerakan Islam Politik.  Adapun Negara-negara tersebut adalah Arab Saudi karena sebagai pusat lahirnya agama Islam; Mesir karena banyaknya mahasiswa yang belajar pengetahuan agama Islam di sana; Palestina dan Afganistan karena pihak yang terlibat langsung dalam peperangan, Palestina dan sebagian negara Arab yang terlibat perang sepanjang abad dengan Israel dan Afganistan; perang antara negara itu dengan Rusia dan Amerika; serta Iran yang berhasil melakukan revolusi Islam pada tahun 1979.  Dari negara-negara ini ada dua negara yang amat dominan pengaruhnya bagi gerakan Islam politik di Indonesia, yaitu Arab Saudi dan Mesir.negara berikutnya yang juga berpengaruh bagi perkembangan Gerakan Islam Politik adalah Palestina, Afganistan,  Iran, Irak, dan Syria.

Sekitar periode 1980-an mahasiswa Indonesia yang berada di Mesir banyak yang menyerap gagasan Islam fundamentalisme seperti Ikhwanul Muslimin, dan juga pemikir Iran seperti Imam Khomeini dan Ali Syari’ati. Padahal periode sebelumnya, mereka banyak menyerap pengetahuan dari Barat (Rahmat, 2002: xiii).

Mahasiswa Indonesia juga menjalin hubungan intensif pada 1980-an dengan para aktivis Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Arab Saudi (Rahmat, 2002: 88-95). Jauh sebelum ini, ada hubungan antara Muhammad Rasyidi dan Kahar Muzakkir (salah satu penandatangan Piagam Jakarta) juga pernah menjalin hubungan dengan Sayyid Quthub Mesir, ia sebagai tokoh Ikhwanul Muslimin (Rahmat, 2002: 90). Muhammad Natsir secara lebih luas juga menjalin hubungan dengan berbagai negara Islam (Rahmat, 2002: 86). Di bawah kepemimpinan Natsir, Partai Masyumi mengelola pengiriman mahasiswa Indonesia ke Mesir pada tahun 1957 ada sejumlah 90 orang mahasiswa (Rahmat, 2002: 89). Periode selanjutnya, mahasiswa dan pelajar Indonesia yang studi di Mesir ada 4044 orang (Sangidu, dkk., 2009: 100).Samuel P. Huntington mengatakan bahwa, gerakan Islam yang terjadi di Timur Tengah amat berpengaruh bagi perkembangan ke berbagai Negara Islam di dunia Islam  (2000).

Hubungan Timur Tengah dengan Indonesia

Menurut Azra dalam The Transmission of Islamic Reformism to Indonesia: Networks of Middle Eastern and Malay-Indonesian Ulama in the Seventeenth and Eighteen Centuries. Disertasi (1992), New York: Columbia University, yang selanjutnya ditebitkan menjadi buku dengan judul Jaringan Ulama (1994 dan 2004) dikatakan bahwa, pada mulanya hubungan awal antara Timur Tengah dengan Nusantara didasarkan pada sumber-sumber China dan Arab. Azra mengatakan bahwa hubungan antara Timur Tengah sudah berlangsung sejak lama, yaitu sejak zaman Sriwijaya (293 – 904 M.), sumber China mengatakan bahwa ketika itu Kerajaan Sriwijaya  merupakan pusat keilmuan Budha yang amat penting di Nusantara (1994: 36-40).

Syafi’i Anwar dalam Genealogi Islam Radikal di Indonesdia: Gerakan, Pemikiran, dan Prospek Demokrasi(Mubarak:2007),mengatakan bahwa “Gerakan-gerakan militan di Indonesia  mempunyai intellectual rootsdi Timur Tengah”. Namun demikian dalam strategi pengembangan dan perjuangannya tidak dapat dipisahkan dari  konteks sejarah dan kehidupan politik umat Islam di Indonesia” (hal.  xxxvi).

Kehadiran orang Arab Hadhramaut ke Indonesia membawa ideologi baru yang telah mengubah konstelasi umat Islam Indonesia. Pada mulanya ideologi yang datang melalui Asia Tenggara adalah bermazhab Syafii yang lebih toleran, tetapi kemudian terdapat aliran yang lebih keras dan tidak mengenal toleransi itu banyak dipengaruhi oleh ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab dari kelompok Wahabi, yang saat ini menjadi ideologi Pemerintah Saudi Arabia (Shihab, 2004: 63).

Kecuali itu, dikatakan bahwa hubungan antara Nusantara dengan Timur Tengah sejak abad 17 bersifat keagamaan dan keilmuan. Meskipun juga tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan politik sudah dilakukan terutama dengan Dinasti Utsmani (Idem: 16-17). Hubungan antara kaum muslimin kawasan Melayu-Indonesia dengan Timur Tengah telah terjalin pada masa-masa awal Islam. Para pedagang Muslim dari Arab, Persia, dan anak Benua India yang mendatangi kepulauan Nusantara tidak hanya berdagang, tetapi dalam batas tertentu juga menyebarkan Islam kepada penduduk setempat (Azra, 1994: 17). Kemakmuran kerajaan-kerajaan muslim di Nusantara, terutama sebagai hasil perdagangan internasional, memberikan kesempatan kepada segmen-segmen tertentu dalam masyarakat muslim Melayu-Indonesia untuk melakukan perjalanan ke pusat-pusat keilmuan dan keagamaan di Timur Tengah. Upaya Dinasti Utsmani mengamankan jalur perjalanan haji juga membuat perjalanan ibadah haji dari Nusantara  semakin  baik. Tatkala hubungan ekonomi, politik, sosial-keagamaan, antarnegara-negara muslim di Nusantara  dengan Timur Tengah semakin meningkat sejak abad 14 dan 15. (Azra, 1994: 17).Maka kian banyak pulalah para penuntut ilmu dan jamaah haji dari dunia Melayu-Indonesia yang berkesempatan mendatangi pusat-pusat keilmuan Islam di sepanjang rute perjalanan haji.Hal ini mendorong timbulnya “Komunitas Nusantara” yang oleh orang Arab disebut sebagai Ashhābul Jāwiyyīn (saudara kita orang Jawa), komunitas ini di Mekah dan Madinah (Haramayn).Kehidupan dan pengalaman mereka menyajikan gambaran yang amat menarik tentang berbagai jaringan intelektual-keagamaan antara Melayu-Indonesia dengan Timur Tengah (Azra, 1994: 17). Orang yang bermukim di Haramayn sebagai imigran dan ulama internasional dapat dijelaskan di sini dengan apa sebagaimana oleh J.O. Voll disebut sebagai: 1) little immigrants (orang yang bermukim di Arab karena setelah ibadah haji, selanjutnya disebabkan oleh alasan tertentu yaitu ingin mengabdi di tempat suci atau kehabisan bekal sehingga mereka tidak pulang ke Nusantara); 2) grand immigrants (orang yang bermukim di Arab dan memiliki kemampuan intelektual yang bagus, sebagai alim ulama untuk menarik perhatian di seluruh penjuru dunia muslim; 3) Ulama dan murid biasa, ia sebagai pengembara yang menuntut ilmu dan beribadah haji, mereka bertemu dan belajar kepada beberapa orang guru, dan setelah itu mereka kembali ke negeri tempat asal mereka masing-masing  (Azra, 1994: 74). Pada saat itu jaringan intelektual-keagamaan yang amat mencolok adalah harmonisasi antara syariat dan tasawuf (Azra, 1994: 17).

Abdul Munip mengemukakan pendapat yang berbeda dengan apa yang pernah diteliti oleh Azyumardi Azra dan Van Bruinesssen(Munip, 2007: 6; Azra, 2000: 143-157), bahwa transmisi pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia sejak beberapa abad yang lalu melalui kontak keulamaan, kini dikemukakan adanya fenomena lain bahwa transformasi buku-buku berbahasa Arab dari Timur Tengah menjadi buku terjemahan, sebagai sesuatu hal yang menarik untuk dikaji. Menurut Munip beredarnya buku-buku terjemahan Arab ke dalam bahasa Indonesia memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positifnya adalah menambah ketersediaan buku-buku literatur yang mudah diakses oleh umat Islam, namun ada pula dampak negatifnya, yaitu: a. Buku-buku yang diterjemahkan tidak dapat dilepaskan dari setting waktu, dan kondisi sosial, kultural, serta historis Timur Tengah tempat penulis aslinya berada; b. Sering terjadi kesalahan dan ketidaktepatan dalam penerjemahan sehingga buku terjemahan tidak dapat mentransmisikan isi buku yang terdapat dalam buku aslinya. Akibat dari semua itu, amat dimungkinkan terjadinya transfer ajaran yang tidak dapat disesuaikan dengan karakter sosio-historiknya, dengan begitu dikhawatirkan bahwa transfer pengetahuan dari Timur Tengah dapat berubah menjadi Arabisasi. Sampai saat ini belum ada lembaga resmi pemerintah yang memantau kualitas terjemahan Arab ke Indonesia(Munip: 2007: 6-7). Abdul Munip juga menyoroti tentang situasi akhir-akhir ini, yang timbul penguatan semangat fundamentalisme di sebagian umat Islam Indonesia, indikatornya antara lain dengan munculnya gerakan-gerakan sosial-politik secara terbuka, dengan perspektif dan caranya sendiri yang agak radikal, menyerukan untuk beragama secara sempurna/ kaaffah dan penerapan syariat Islam secara formal di negara ini. Ideologi ini mirip dengan ideologi yang berkembang di Timur Tengah sebelumnya(Munip, 2007: 7-8).

Meski hampir dapat dipastikan bahwa kebanyakan ulama dalam jaringan mempunyai komitmen kepada pembaharuan Islam, tidak terdapat keseragaman di antara mereka dalam hal metode dan pendekatan dalam hal untuk mencapai tujuan ini. Kebanyakan mereka lebih banyak memilih dengan jalan damai dan evolusiner; tetapi sebagian kecil, yang paling terkenal di antara mereka adalah Muhammad  bin Abdul Wahhab di Semenanjung Arabia dan Utsman bin Fudi di Afrika Barat, lebih menyenangi pendekatan dan cara-cara radikal, yang pada gilirannya juga ditempuh sebagian ulama atau gerakan pembaharu Nusantara, semacam Gerakan Padri di Minangkabau (Azra, 1994: 18).Jadi model gerakan Islam Politik pada saat itu juga telah ditemukan di Sumatera.Perang Padri terjadi tahun 1821-1837.

Pada buku Negara Tuhan: The Thematic Encylopaedia (Abegebril dkk., 2004) dikemukakan pandangan dari The Indonesian Moslem Scholars Community (IMS.Com), bahwa: a) Jaringan radikalisme internasional yang bernama Alqaidah dan Al-Jama’ah Al-Islamiyah adalah hasil pemikiran skripturaslistik verbalis dari teks-teks keagamaan yang dipaksakan untuk melegitimasi violence actions dengan jihad menebar teror “atas nama Tuhan” dan “agenda Rasul”. Alqaidah memliki semboyan killing Americans civilian and military any where and any time; b) pemahaman terhadap teks agama Islam secara literalis skripturalistik bukan harus mngadopsi begitu saja tanpa mempertimbangkan korelasi historis/ asbābun nuzūl dan sosialnya; c) berdasarkan hasil riset dari Siyasa Research Institute (SR-Ins: penerbit buku ini, sebuah lembaga kajian dan riset politik Islam internasional) menunjukkan bahwa Al-Jama’ah Al-Islamiyah adalah jaringan internasional yang tidak dibatasi oleh wilayah teritorial sebuah negara, organisasi ini telah menyiapkan Nidhom Asasi atau Undang-undang Dasar; d) Pemahaman keagamaan secara literalis skripturalistik sering terjebak dalam ruang ideologis yang bercirikan subjektif, normatif, dan tertutup; e) dalam wilayah sosial-politik, pemahaman literalis terhadap teks-teks Alquran dan Assunnah berakibat pada simplikasi pada Islam, yang hal itu akan berujung pada fundamentalisme dan sering menjadi komoditas politik: doktrin-doktrin Islam sering dipakai untuk memperoleh bahkan melawan sesuatu kekuasaan. (Abegebril dkk., 2004: ix-xiv).

Awal abad XXI ini ada semangat umat Islam tentang keyakinan adanya kebangkitan Islam di seluruh dunia. Bahkan ada dugaan dari sekelompok orang, bahwa peta politik internasional di masa yang akan datang akan berubah. Seorang wakil ketua parlemen Rusia Michael Buriyev mengatakan bahwa kelak akan ada 5 negara besar baru, yaitu: Amerika, Rusia, Cina, Khilafah Islam, dan India (Al-Wa’ie, 2010: 67). Dituliskan oleh Al-Wa’ie selanjutnya, bahwa kemungkinan India dapat menjadi salah satu dari 5 Negara Besar itu jika India dapat mengatasi permasalahan negara yang mengurungnya, yaitu Pakistan, Afganistan, Kashmir, dan Bangladesh (Al-Wa’ie, 2010: 67). Di pihak lain, sejak 1952 di Al-Quds Palestina telah berdiri gerakan Islam dengan namaHizbut Tahrir oleh Syeh Taqiyud-din An-Nabhani (sekarang berpusat di Yordania) yang mengumandangkan berdirinya Khilafah Islamiyah (Pemerintahan Islam Internasional, pen.) (Azra, 2001: 45-46). Dikatakan oleh Abdurrahman Wahid, ekspansi transnasional gerakan Islam di Indonesia dilakukan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Hizbu Tahrir Indoneia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan FPI (Front Pembela Islam Indoneia (The Jakarta Post, 2009: 8). Selanjutnya, Hassan Hanafi (1989:7), dalam bukunya Al-Ushūliyah al-Islāmiyah mengatakan bahwa Islam fundamentalisme adalah ‘prototipe dari gerakan Salafiyah yang dikomandoi pertama kali oleh Ahmad bin Hanbal kemudian diteruskan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan Jamaludin al-Afghani (1989:7). Akhir-akhir ini, peran yang cukup mencolok dari gerakan Islam fundamentalis dilakukan oleh Jamaah Islamiyah (JI), JI melakukan kegiatannya secara gigih di Asia Tenggara pada khususnya, dan internasional pada umumnya.

Gerakan Islam Politik di Indonesia

Gerakan Islam Politik ini memiliki basis ideologi pemikiran dan strategi gerakan yang berbeda dengan ormas-ormas Islam yang ada sebelumnya. Mereka ditengarai berhaluan puritan, yang memiliki karakter militan, radikal, skripturalis, konservatif, dan eksklusif. Berbagai ormas baru ini memiliki platform yang beragam, tetapi pada umumnya memiliki kesamaan visi yaitu penerapan syariat Islam bagi seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam bernegara (Rahmat: 2002). Spektrum gerakan ini amat luas dan kompleks, tetapi secara ideologis, kelompok ini pada umumnya menganut “salafisme radikal”, yakni berorientasi pada “penciptaan kembali generasi salaf sebagaimana zaman Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya (Istadiyantha: 2014; Istadiyantha: 2016).

Dikatakan olehJamhari dan Jahroni (2002) Gerakan Salafy Radikal di Indonesia membahas tentang profil, akar sosio-historis gerakan militan Islam di Indonesia, dan prediksi tentang corak Islam Indonesia mendatang. Di sini dijelaskan fenomena gerakan Islam dalam bingkai  kehidupan sosial politik  masyarakat muslim Indonesia yang selama ini dikenal moderat dan toleran. Penulis berhasil memetakan empat kelompok radikal di Indonesia, yaitu Front Pembela Islam, Majelis Mujahidin Indonesia, Lasykar Jihad, dan Hizbut Tahrir Indonesia.

Pada disertasi Haidar Nashir dengan judul Gerakan Islam Syariat Reproduksi Salafiyah Ideologis di Indonesia (2006) dikatakan bahwa: Pada hakikatnya agama Islam adalah satu  Al-Islamu kullun laa yatajaza’ artinya, ‘Islam adalah tunggal dan tidak dapat dipecah-pecah’. Tetapi pada kenyataannya, di antara pemeluknya menunjukkan adanya ekspresi dan aktualisasi yang beragam. Dalam perkembangan Islam yang mutakhir, keragaman Islam itu ditunjukkan oleh dinamika dan ekspresi Islam kontemporer adalah (dengan keyakinan adanya) kebangkitan Islam. Di pihak lain, ada pula fenomena baru dari keragaman Islam yang kini muncul secara meluas di Indonesia, ialah penerapan syariat Islam secara formal dalam kehidupan bernegara.

Perjuangan mengusung kembali Piagam Jakarta untuk masuk ke dalam Amandemen UUD 1945 pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000, yang berakhir dengan kegagalan (lagi). Kegagalan itu disebabkan oleh tidak adanya dukungan mayoritas anggota parlemen. Gerakan sekelompok umat Islam di sejumlah daerah seperti di Sulawesi Selatan, Jawa Barat, Nangroe Aceh Darussalam (NAD), serta daerah-daerah lain yang telah memperoleh status Otonomi Khusus untuk menerapkan syariat Islam dalam segala aspek kehidupan. Gerakan ini cukup meluas dan dalam beberapa hal telah menghasilkan Perda (Peraturan Daerah) dan Surat Keputusan Bupati untuk menerapkan syariat Islam, seperti di Bulukumba, Cianjur, Tasikmalaya, (Gresik), dan sebagainya. Gerakan ini di Sulawesi Selatan hingga saat ini terus meluas ke daerah-daerah lain, termasuk memperjuangkan status Otonomi Khusus sebagaimana di NAD.KelompokIslam yang memperjuangkan penerapan syariat Islam secara gigih dan radikal adalah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Komite Persiapan Penerapan Syariat Islam Indonesia (KPPSI).  Adapun dari kelompok partai politik Islam ialah Partai Bulan Bintang (PBB). Tulisan Haidar Nashir menyoroti berbagai gerakan Fundamentalis yang berasal dari reproduksi salafy ideologis, sehingga belum dapat merepresentasikan gerakan Islam Politikyang ada di Indonesia, karena gerakan ini tidak khusus dari reproduksi salafy. Dan perlu ditambahkan bahwa masih ada gerakan Islam politik yang lain yaitu MTA (Majelis Tafsir Alquran), HTI, dan JAT yang belum dibahas di situ. Ada pihak yang mengatakan bahwa MTA adalah kelompok puritan, dan ada pula yang mengatakan dari kelompok Islam fundamentalisme (Istadiyantha: 2014; Istadiyantha: 2016).

Syafi’i Anwarmengatakan bahwa di era pemerintahan Presiden Habibie (1998 dst.) banyak gerakan Islam yang ingin mengambil momentum untuk memperjuangkan politik Islam, di bawah pemerintahan ini, gerakan Islam politik seperti mendapatkan kesempatan, dan tidak mungkin hal ini terjadi di zaman Presiden Soeharto (Anwar,2007: xii-xiii). Ideologi pasca Soeharto adalah gerakan Islam dengan bingkai GSM (Gerakan Salafy Militan). Istilah GSM ini pernah dipakai oleh M. Syafi’i Anwar, dalam artikelnya berjudul “Memecahkan Teologi Politik dan Anatomi Gerakan Salafy Militan (GSM) di Indonesia”  (Anwar, 2007: xii-xxxvii).

Karakteristik dari GSM (Laskar Jihad, MMI, FPI, Ikhwanul Muslimin, Hammas, Jundullah, HTI, dsb. adalah: a) Mempromosikan peradaban tekstual Islam; b) Setia pada Syariah Minded; c) Percaya kepada teori konspirasi, bahwa umat Islam adalah korbannya; d) Mengembangkan agenda anti pluralisme (Anwar,2007: xvii-xx).

Apabila pemerintah RI gagal dalam membangun masyarakat yang adil, demokratis, dan sejahtera, maka GSM dan gerakan-gerakan sejenis lainnya akan hidup subur dengan tuntutan pada pelaksanaan syariah. Sejarah menunjukkan bahwa ketidakadilan sosial, ketidak-menentuan politik, masyarakat tanpa hukum, adalah rentan dan saat empuk bagi kemunculan eksklusifisme, fanatisme, dan militansi agama (Anwar, 2007: xxxvi).

Peran Timur Tengah bagi Persemaian Gerakan Islam Politik di Yogyakarta dan surakarta

Pada penelitian ini dapat diketahui bahwa ada beberapa organisasi Islam di Timur Tengah, seperti Wahabi dan Salafy di Saudi Arabia, Al-Ikhwan di Mesir, dan Hizbut Tahrir di Yordania atau Palestina, yang berpengaruh terhadap gerakan Islam Politik di Yogyakarta dan Surakarta. misalnya seperti MMI, JAT, MTA, HTI di Yogyakarta dan Surakarta, yang memiliki beberapa kemiripan dan keunikan dengan gerakan yang ada sebelumnya. Walau gerakan-gerakan ini dapat dikatakan sebagai suatu yang serupa tapi tak sama, namun tetap menarik untuk dikaji. Karena organisasi-organisasi ini merupakan organisasi yang amat menarik perhatian dunia.Perdana Menteri Australia John Howard berkomentar terhadap salah satu tokoh gerakan ini, yaitu bahwa Ustaz Ba’asyir masuk daftar teroris bikinan Dewan Keamanan PBB, Howard meminta Presiden RI SBY mengawasi kegiatan Ba’asyir.

Gerakan Islam Politik di Yogyakarta dan Surakarta telah diteliti mendapat pengaruh dari Gerakan Salafiyah dan atau Wahabiyah, serta Al-Ikhwan.Al-Ikhwan pada mulanya bukan merupakan gerakan baru, karena gerakan Al-Ikhwan merupakan hasil penyempurnaan dari gerakan-gerakan yang sebelumnya muncul di Timur Tengah seperti Wahabiyah, Sanusiyah, dan Mahdiyah. Demikian pula gerakan Wahabiyah, ia bukan tiba-tiba muncul sebagai ajaran baru, tetapi hal ini merupakan upaya penguatan terhadap ideologi yang sebelumnya ada, yaitu Salafiyahdan juga merupakan penguatan dari mazhab Hanbaliyah. Pengaruh pemikiran ulama Timur Tengah terhadap gerakan Islam Politik itu disebabkan oleh beberapa hal, sebagai berikut(Istadiyantha: 2014; Istadiyantha: 2016):

1)  Hubungan antara Indonesia dengan Timur Tengah sudah berlangsung sejak lama, yaitu sejak zaman Sriwijaya (293 –904 M), sumber China mengatakan bahwa ketika itu Kerajaan Sriwijaya merupakan pusat keilmuan Budha yang amat penting di Nusantara.  Hubungan antara Nusantara dengan Timur Tengah sejak abad 17 bersifat keagamaan dan keilmuan.Meskipun juga tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan politik juga dilakukan terutama dengan Dinasti Utsmani. Kemakmuran kerajaan-kerajaan muslim di Nusantara, terutama sebagai hasil perdagangan internasional, memberikan kesempatan kepada segmen-segmen tertentu dalam masyarakat muslim Melayu-Indonesia untuk melakukan perjalanan ke pusat-pusat keilmuan dan keagamaan di Timur Tengah. Upaya Dinasti Utsmani mengamankan jalur perjalanan haji juga membuat perjalanan ibadah haji dari Nusantara semakin baik. Tatkala hubungan ekonomi, politik, sosial-keagamaan, antarnegara muslim di Nusantara dengan Timur Tengah semakin meningkat. Maka kian banyak pulalah para penuntut ilmu dan jamaah haji dari dunia Melayu-Indonesia yang berkunjung ke Arab.

2)  Kehadiran orang Arab Hadhramaut ke Indonesia membawa ideologi baru yang telah mengubah konstelasi umat Islam Indonesia. Pada mulanya ideologi yang datang melalui Asia Tenggara adalah bermazhab Syafii yang lebih toleran, tetapi kemudian terdapat aliran yang lebih keras dan tidak mengenal toleransi itu banyak dipengaruhi oleh ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab dari kelompok Wahabi, yang saat ini menjadi ideologi Pemerintah Saudi Arabia, yang model dakwahnya cenderung keras dan tidak toleran. Selanjutnya ideologi ini mempengaruhi gerakan pembaharu Nusantara, semacam Gerakan Padri di Minangkabau yang juga keras di awal abad ke-19.

3) Transmisi pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia sejak beberapa abad yang lalu melalui kontak keulamaan, kini ada fenomena lain bahwa transformasi buku-buku berbahasa Arab dari Timur Tengah menjadi buku terjemahan dapat dipandang sebagai media untuk menyalurkan pengaruh pemikiran Timur Tengah ke Indinesia.

4)  Pertemuan di Peshawar (Pakistan) antara Abdullah Sungkar dan Osamah Bin Ladin dalam bantuan perang di Afganistan.Abdullah Sungkar sudah mempunyai hubungan khusus sebelumnya dengan Abdurrasul Sayyaf di Pakistan.Para mujahidin yang berasal dari Indonesia dalam diskusi ideologisnya di Peshawar mengusung ide DI/TII pimpinan Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo.Di Peshawar, kontingen Indonesia mendiskusikan tentang Kanun Asasi (Undang-undang Dasar) NII.Semua kontingen berusaha untuk saling belajar dan berinteraksi ideologis untuk lebih mantap. Hadir dalam pertemuan itu adalah para tokoh gerakan Islam politik dari seluruh dunia, mulai dari Ikhwanul Muslimun; Jamaa’ah Al-Jihad; Al-Jama’ah Al-Islamiyyah baik dari Mesir, Maroko, Tunisia, dan Pakistan; Hamas dan Hizbut Tahrir dari Palestina; At-Takwir wal-Hijra atau Jama’at Muslimin; MILF Abu Sayyaf dari Filipina, dan DI/TII dari Indonesia, dan sebagainya.

5) Penyebaran ideologi Salafi ke Indonesia terjadi karena para alumnus LIPIA Jakarta tahun 1980-an memiliki peran yang sangat menonjol, karena lembaga ini merupakan cabang dari Universitas Islam Muhammad Ibnu Sa’ud Riyadh Arab Saudi ini, dimaksudkan untuk menyebarkan pemikiran Salafy (Wahabi) di Asia Tenggara khususnya Indonesia. Kurikulum pendidikan yang diterapkannya mengadopsi universitas induknya yang berbasis Wahabi.Para pengajarnya didatangkan dari Timur Tengah, khususnya dari Saudi Arabia.Maka tak heran jika mayoritas alumninya menjadi para penganut dan penganjur Wahabiyah-Salafiyah.

6) Alumni Mesir juga mengusung ideologi yang berkembang di Mesir untuk dibawa ke Indonesia oleh para mahasiswa Indonesia yang studi di Mesir, sejak 1980-an sampai sekarang ini ideologi yang dominan adalah Al-Ikhwan. Kecuali itu,  adanya kontak mahasiswa Indonesia dengan tokoh-tokoh Hizbu Tahrir di Yordania menjadikan hubungan ini sebagai media berkembangnya HT dari Timur Tengah ke Indonesia.

Naskah lengkap dapat ditinjau langsung dari Buku kumpulan disertasi S3 Kajian Timur Tengah yang berjudul:

Menggagas Formulasi Baru Tentang Bahasa, Sastra, dan Budaya Arab.

CP: 085602000448