Sebutkan perubahan-perubahan yang terjadi pada masa awal reformasi

Sebutkan perubahan-perubahan yang terjadi pada masa awal reformasi

Sebutkan perubahan-perubahan yang terjadi pada masa awal reformasi
   
Sebutkan perubahan-perubahan yang terjadi pada masa awal reformasi
   
Sebutkan perubahan-perubahan yang terjadi pada masa awal reformasi
   
Sebutkan perubahan-perubahan yang terjadi pada masa awal reformasi
   
Sebutkan perubahan-perubahan yang terjadi pada masa awal reformasi

Admin LapasLhoknga Berita Utama 26 Maret 2021 Dilihat: 49645

Sebutkan perubahan-perubahan yang terjadi pada masa awal reformasi

Reformasi secara umum berarti perubahan terhadap suatu sistem yang telah ada pada suatu masa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengertian reformasi adalah suatu perubahan yang terjadi secara drastis dimana tujuannya adalah untuk perbaikan di bidang sosial, politik, agama, dan ekonomi, dalam suatu masyarakat atau negara. Reformasi tidak terjadi begitu saja, ada beberapa syarat terjadinya suatu reformasi. Berikut ini adalah beberapa syarat terjadinya reformasi:

  1. Adanya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam penyelenggaraan negara atau dalam masyarakat.
  2. Adanya harapan dan cita-cita positif yang ingin dicapai oleh masyarakat di masa depan.
  3. Adanya moral dan etika dalam mencapai cita-cita yang ingin dicapai.

Secara bahasa, istilah birokrasi berasal dari bahasa prancis ‘bureau’ yang berarti kantor atau meja tulis dan dari bahasa yunani ‘createin’ yang berarti mengatur. Birokrasi memiliki dua elemen utama yang dapat membentuk pengertian, yaitu peraturan atau norma formal dan hierarki. Jadi, dapat dikatakan pengertian birokrasi adalah kekuasaan yang bersifat formal yang didasarkan pada peraturan atau undang-undang dan prinsip-prinsip ideal bekerjanya suatu organisasi. Birokrasi merupakan instrumen penting dalam masyarakat yang kehadirannya tidak mungkin terelakkan. Dalam dunia pemerintahan konsep birokrasi dimaknai sebagai proses dan sistem yang diciptakan secara rasional untuk menjamin mekanisme dan sistem kerja yang teratur, pasti dan mudah dikendalikan.

Reformasi birokrasi adalah perubahan pola pikir (mindset) dan budaya kerja (culture set) aparatur negara dan merupakan suatu upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business process) dan sumber daya manusia aparatur. Reformasi Birokrasi adalah penyelenggaraan pelayanan publik yang merupakan suatu proses yang bertujuan untuk memberikan berbagai jenis layanan yang mengurusi segala hal yang diperlukan oleh masyarakat baik itu pemenuhan hak-hak sipil dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Dalam penyelenggaraan pelayanan publik tentunya banyak kendala yang dihadapi pemerintah, baik itu menyangkut aspek sumber daya manusia, kebijakan tentang pelayanan serta ketersediaan fasilitas yang masih kurang untuk menunjang terselenggaranya proses pelayanan publik kepada masyarakat. Untuk itulah dilakukan berbagai strategi maupun upaya untuk mengatasi permasalahan itu sekaligus mampu menciptakan kepemerintahan yang baik dan bersih.

Penyelenggaraan pelayanan publik juga tidak semata-mata ditujukan pada pemenuhan hak-hak sipil warga negara dan pemenuhan kebutuhan dasarnya, akan tetapi juga dilakukan dengan seoptimal mungkin untuk mewujudkan tata kepemerintahan yang baik, yang memberikan pelayanan secara efektif, efeisien dan akuntabel kepada masyarakat sebagai bagian dari paradigma baru administrasi publik.

Program Reformasi Birokrasi di kementerian Hukum dan HAM telah dicanangkan sejak reformasi bergulir dengan mempedomani pada ketentuan/peraturan/juklak yang dikeluarkan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MENPAN- RB). Reformasi birokrasi di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM pada hakikatnya adalah perubahan besar dalam paradigma dan tata kelola pemerintahan untuk menciptakan birokrasi pemerintah yang profesional dengan karakteristik adaptif, berintegritas, bersih dari perilaku korupsi kolusi dan nepotisme, mampu melayani publik secara akuntabel, serta memegang teguh tata nilai Kami PASTI dan kode etik perilaku pegawai di lingkungan Kementerian Hukum dan HAM. Reformasi birokrasi Kementerian Hukum dan HAM diarahkan untuk memperbaiki kapasitas lembaga birokrasi, dimana dalam konteksnya harus mampu menghasilkan sebuah lembaga birokrasi yang dapat mengakomodasi tuntutan masyarakat. Agar pelaksanaan reformasi birokrasi dapat berjalan sesuai dengan arah yang telah ditetapkan, maka perlu dilakukan monitoring dan evaluasi berkala terhadap 8 area perubahan terdiri dari:

  1. Organisasi (Hasil yang diharapkan: Organisasi yang tepat fungsi dan tepat ukuran),
  2. Tatalaksana (Hasil yang diharapkan: Sistem, proses dan prosedur kerja yang jelas, efektif, efisien, terukur dan, sesuai prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik (good governance),
  3. Peraturan Perundang-undangan (Hasil yang diharapkan: Regulasi yang lebih tertib, tidak tumpang tindih dan kondusif,
  4. Sumber Daya Manusia Aparatur (Hasil yang diharapkan: SDM aparatur yang berintegritas, netral, kompeten, capable, profesional, berkinerja tinggi dan sejahtera.),
  5. Pengawasan (Hasil yang diharapkan: Meningkatnya penyelenggaraan pemerintahan yang bebas KKN),
  6. Akuntabilitas (Hasil yang diharapkan: Meningkatnya kapasitas dan kapabilitas kinerja birokrasi),
  7. Pelayanan publik (Hasil yang diharapkan: Pelayanan prima sesuai kebutuhan dan harapan masyarakat)
  8. Mindset dan cultural Set Aparatur (Hasil yang diharapkan: Birokrasi dengan integritas dan kinerja yang tinggi).

Untuk mengetahui sejauh mana kemajuan dari hasil pelaksanaannya, hasil pengkajian menunjukan bahwa pelaksanaan reformasi birokrasi di Kementerian Hukum dan HAM dicapai melalui pelaksanaan tugas dan fungsi yang terintegrasi melalui 8 area perubahan sebagaimana yang telah disampaikan dengan pemanfaatan Teknologi Informasi serta melakukan inovasi untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dengan membentuk sumber daya manusia aparatur yang mempunyai inovasi dan kreativitas perubahan.

Sumber:

Modul 1 Pelatihan Reformasi Birokrasi Metode e-learning, Hakikat Reformasi Birokrasi

Gerakan reformasi yang muncul pada awal 1998, kini genap berumur 10 tahun. Pada mulanya, agenda yang diusung cukup beragam, dari tuntutan untuk mengakhiri praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN); Soeharto harus lengser; re-demokratisasi dari sistem otoriter, pencabutan dwifungsi ABRI, pemulihan krisis politik-ekonomi, serta sejumlah agenda politik lainnya.

Lantas, setelah 10 tahun berjalan, kemajuan dan kemunduran apa yang patut kita catat Dan pelajaran apakah yang dapat kita ambil

Anomali dan Kemunafikan Politik

Politik di Indonesia pasca jatuhnya Soeharto terjadi dalam suasana change to change, yang sifatnya bukan lagi transisional, tetapi dapat disebut sebagai transaksional.

Transisi yang merupakan kerangka waktu untuk menandai suatu pergantian dari rezim otoritarian ke rezim demokrasi terjadi dalam suasana transaksional, suatu ciri dan tanda-tanda berkuasanya kroni-kroni rezim lama dalam format politik baru. Transaksional yang dimaksud adalah perilaku-perilaku politik rezim "baru, " berkompromi dengan kekuatan kroni-kroni Soeharto yang mengubah wajah politiknya dalam suasana reformasi.

Kekuatan politik (partai politik dan tokoh-tokohnya) yang lahir di masa reformasi, apakah itu PAN, PDIP, PKB, PKS, serta sejumlah partai dan tokohnya yang lain, kurang mampu mendorong gerbong perubahan yang lebih terarah. Wajah politik Indonesia justru terjerembab dari sifat perubahan demi perubahan.

Ciri ini mirip dengan anomali politik, di mana sistem politik yang dibangun kurang memiliki arah, tujuan, dan sasaran yang jelas, khususnya dalam konsolidasi demokrasi dan merampungkan sejumlah agenda reformasi yang melahirkan transisi.

Dampaknya, sejumlah agenda reformasi yang diusung sebagai suatu momentum bersama untuk melangkah dalam kehidupan politik yang lebih baik tidak terjadi. Sebaliknya, anomali demi anomali sering kita saksikan dalam praktik politik.

Kita dapat mencatat sejumlah hal, pertama, amandemen konstitusi mengalami "penyebaran, " yang justru melahirkan kontradiksi hukum. Kita menganut sistem presidensial di satu sisi, tetapi dalam amandemen UUD 1945 praktik-praktik parlementer terjadi. Kedua, terjadi kontradiksi aturan main antara pusat dan daerah, kepastian hukum yang dihasilkan oleh kebijakan pusat dan daerah saling bertabrakan.

Ketiga, agenda penghapusan KKN yang dituntut mahasiswa sebagai akar masalah yang menyebabkan krisis politik dan ekonomi sulit diubah dari wajah perpolitikan Indonesia. Bedanya, bila di masa Orde Baru, KKN terpusat pada sosok dan keluarga Soeharto sebagai patron, kini KKN menyebar dalam diri rezim-rezim penguasa mulai dari tingkat pusat hingga ke tingkat daerah. KKN sebagai agenda utama yang harus diberantas justru mengalami metamorfosis.

Bentuk-bentuknya berimpit pada diri rezim-rezim yang berkuasa. Bangsa kita menjadi bangsa yang munafik karena dalam praktiknya, KKN justru semakin terjadi secara transparan. Padahal, isu penghapusan KKN adalah isu utama gelombang reformasi sejak akhir 1997 dan awal 1998.

Keempat, kita menyaksikan fenomena umum terjadinya korupsi "berjamaah " di mana-mana, dari tingkat pusat hingga tingkat daerah. Kita menyaksikan drama kolosal para koruptor menjadi "pahlawan " di televisi dan tidak punya rasa malu. Padahal, persoalan korupsi adalah persoalan awal yang dianggap telah merongrong bangsa ini sehingga mengalami krisis ekonomi dan politik yang sangat parah.

Tetapi, mengapa para elite yang berkuasa lupa diri akan situasi krisis yang baru saja berlalu. Aji mumpung menjadi fenomena umum karena di mana ada kesempatan berkuasa, ternyata sifat kekuasaan identik dengan praktik-praktik korupsi. Berapa banyak penguasa di daerah, gubernur, bupati, dan wali kota yang terseret masalah itu.

Kelima, agenda pengusutan harta dan kekayaan Soeharto juga mengalami kebuntuan, bahkan kini muncul wacana "dibebaskan " dari segala tuntutan. Sikap dan perilaku elite yang berkuasa memang "ambivalen, " di satu sisi menghendaki kasus Soeharto terus dilanjutkan, di sisi lain, perkara itu dapat dihentikan dengan pemberian maaf. Inilah makna transaksional yang dimenangkan kelompok kroni-kroni Soeharto dalam perjalanan 10 tahun reformasi.

Tidak heran bila kita mengatakan reformasi telah mati suri sejak Pemilu 1999 menghasilkan susunan kabinet dan menteri serta anggota legislatif. Kita menyaksikan elite politik yang "lupa diri " atas permasalahan yang dihadapi masyarakat secara umum dan agenda utama politik yang diusung reformator di masa-masa awal penjatuhan Soeharto tidak dijalankan.

Para elite yang berkuasa yang dibelit persoalan harga yang tinggi, krisis yang berkelanjutan, pengangguran dan nilai tukar rupiah yang tidak stabil, serta sejumlah fenomena ekonomi-politik lainnya, menjadi gagap dan ketakutan. Risiko politik yang tinggi menyebabkan penguasa yang lahir di masa reformasi mencari jurus selamat. Jurus itu adalah transaksional yang ujung-ujungnya adalah kompromi dengan kroni-kroni kekuatan lama (Orde Baru).

Penulis : Moch. Nurhasim (Pusat Penelitian Politik LIPI) Sumber : Jawa Pos (23 Januari 2008)