Sebutkan secara garis besarnya kewajiban-kewajiban suami istri menurut uu.no.1 tahun 1974

Perkawinan merupakan kesepakatan bersama antara suami dan istri untuk melakukan suatu perjanjian perikatan sebagai suami dan istri. Dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan di jelaskan bahwa Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam hal mewujudkan tujuan dari suatu perkawinan sangat diperlukan kerja sama yang baik antara suami dan istri dalam hal menjalankan hak dan kewajiban masing-masing pihak.
Yang dimaksud dengan hak adalah sesuatu yang seharusnya diterima seseorang setelah ia memenuhi kewajibannya. Sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang seharusnya dilaksanakan oleh seseorang untuk mendapatkan hak. Dalam hal ini apa yang dinamakan hak istri merupakan kewajiban dari suami, begitupula sebaliknya.

Secara umum menurut pasal 33 dan pasal 34 Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, suami-istri wajib saling setia dan mencintai, hormat-menghormati, dan saling memberi bantuan secara lahir dan batin. Suami wajib melindungi dan memenuhi keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Begitu pula sang istri, istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.

Berbicara mengenai hak dan kewajiban istri-suami maka hak dan kewajiban tersebut dapat dipisahkan menjadi dua kelompok, Pertama hak dan kewajiban yang berupa kebendaan, yaitu mahar dan nafkah. Kedua hak dan kewajiban yang bukan kebendaan.

Yang merupakan hak dan kewajiban yang berupa kebendaan antara lain adalah Pertama, suami wajib memberikan nafkah pada istrinya. Maksudnya adalah suami memenuhi kebutuhan istri meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal dan kebutuhan rumah tangga pada umumnya.

Kedua, suami sebagai kepala rumah tangga. Dalam hubungan suami-istri maka suami sebagai kepala rumah tangga dan istri berkewajiban untuk mengurus rumah tangga sehari-hari dan pendidikan anak. Akan tetapi, ini tidak berarti sang suami boleh bertindak semaunya tanpa memperdulikan hak-hak istri. Apabila hal ini terjadi maka istri berhak untuk mengabaikannaya. Ketiga, istri wajib mengatur rumah tangga sebaik mungkin.

Adapun hak dan kewajiban suami-istri yang bukan kebendaan adalah pertama, suami wajib memperlakukan istri dengan baik. Maksudnya suami harus menghormati istri, memperlakukannya dengan semestinya dan bergaul bersamanya secara baik.

Kedua, suami wajib menjaga istri dengan baik. Maksudnya suami wajib menjaga istri termasuk menjaga harga diri istri, menjunjung kemuliaan istri dan menjauhkannya dari fitnah.

Ketiga, suami wajib memberikan nafkah batin kepada istri. Keempat, suami wajib bersikap sabar dan selalu membina ahlak istri. Maksudnya suami wajib untuk bersikap lemah lembut terhadap istrinya dan harus bersikap tegas ketika melihat istrinya melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan agama. Sikap tegas di sini dimaksudkan untuk mendidik dan membina ahlak istri.

Keempat, istri wajib melayani suami dengan baik. Maksudnya seorang istri wajib mentaati keinginan suaminya selama keinginan tersebut tidak bertentangan dengan syariat agama.

Kelima, istri wajib memelihara diri dan harta suami. Maksudnya istri harus benar-benar menjaga diri jangan sampai menjadi perhatian orang yang mengakibatkan fitnah. Seorang istri juga wajib menjaga harta milik suami, dengan tidak membelanjakannya untuk hal-hal yang tidak penting. Keenam, istri wajib untuk tidak menolak ajakan suami ke tempat tidur.

Selain hak dan kewajiban suami-istri, dalam suatu perkawinan juga terdapat kedudukan suami-istri. Secara garis besar kedudukan suami-istri dalam pasal 31 ayat (1) Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan adalah sama. Baik kedudukannya sebagai manusia maupun dalam kedudukanya dalam fungsi keluarga.

Tujuan dari pasal 31 ayat (1) Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan adalah agar tidak ada dominasi dalam rumah tangga diantara suami-istri, baik dalam membina rumah tangga ataupun dalam membina dan membentuk keturunan.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa untuk dapat menciptakan sebuah keluarga yang harmonis diharapkan bagi suami-istri untuk menelaah lebih dalam dan mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari makna dari sebuah perkawinan, termasuk hak dan kewajiban suami-istri tentunya.

Sumber :

Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan

“Bimbingan Perkawinan” Drs. Dedi Junaidi

“Bunga Rampai Hukum Perkawinan Islam” Mulati, SH.MH

Oleh: SN

Apabila aqad nikah telah sah dan berlaku, maka ia akan menimbulkan akibat hukum dan dengan demikian akan menimbulkan pula hak serta kewajiban kepada kedua belah pihak selaku suami-istri. Jika masing-masing suami-istri menjalankan kewajibannya dan memperhatikan tanggung jawabnya akan terwujudlah ketenteraman dan ketenangan hati sehingga sempurnalah kebahagiaan suami-istri tersebut.

Pertanyaanya adalah apakah hak dan kewajiban suami istri dalam dua perspektif yaitu syariat islam dan menurut UU Perkawinan.?

Adapaun hak dan keawajiban suami istri dalam perspektif Islam ialah sebagai berikut:

  1. Hak mengenai harta yaitu mahar atau mas kawin dan nafkah.
  2. Hak mendapat perlakuan baik dari suami. Allah berfirman:

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

Artinya: “Dan bergaullah dengan mereka (istri) secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An Nisa:19).

  1. Ketaatan istri kepada suami dalam melaksanakan urusan rumah tangga termasuk di dalamnya memelihara dan mendidik anak, selama suami menjalankan ketentuan-ketentuan Allah SWT yang berhubungan dengan kehidupan suami istri.
  1. Hormat dan patuh pada suami dalam batas-batas yang ditentukan oleh norma dan susila.
  2. Mengatur dan mengurus rumah tangga, menjaga keselamatan dan mewujudkan kesejahteraan keluarga.
  1. Memelihara, memimpin dan membimbing keluarga lahir dan batin, serta menjaga dan bertanggungjawab atas keselamatan dan kesejahteraannya.
  2. Memberi nafkah sesuai kemampuan serta mengusahakan keperluan keluarga terutama sandang, pangan dan papan.

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI MENURUT UU PERKAWINAN

Hak dan kewajiban suami istri menurut UU No. 1 Tahun 1974 tercantum dalam Bab VI Pasal 30 sampai Pasal 34.

Dalam Pasal 30 dinyatakan bahwa: Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

Syahrudin

Penghulu Madya/Kepala KUA Kecamatan Muncang

A. Hak Dan Kewajiban Suami Istri

Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam), masalah hak dan kewajiban suami istri diatur dalam Bab XII pasal 77 s.d. pasal 84. Dalam UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan diatur pasal 30 s.d. pasal 34.

Menurut A. Rofiq, pengaturan ketentuan tentang hak dan kewajiban suami istri dalam Kompilasi lebih sistematis dibanding dalam Undang-undang Perkawinan. Hal ini tentu dapat dimaklumi karena Kompilasi dirumuskan belakangan, setelah 17 tahun sejak Undang-undang Perkawinan dikeluarkan. Sementara dalam Undang-undang Perkawinan bersifat umum (A. Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, 1995: 185).

Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat. Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya. Suami istri wajib memelihara kehormatannya. Jika suami istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama (ps.77).

Ketentuan tersebut didasarkan kepada firman Allah SWT., QS. Ar-Rum/30:21).

(Lihat, ps. 34 UU No.1 Tahun 1974).

Selanjutnya, suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap yang ditentukan bersama oleh suami istri (ps.78).

(Lihat, ps 32 UU No.1 Tahun 1974).

Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup dalam masyarakat. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum (ps.79).

Ketentuan tersebut didasarkan kepada firman Allah, QS. An-Nisa/4: 32).

1. Kewajiban Suami

Pasal 80 mengatur kewajiban suami terhadap istri dan keluarganya. Pasal ini terdiri dari 7 ayat, sebagai berikut :

(1) Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri bersama

(2) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya

(3) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istrinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa

(4) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung : a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri ; b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak ; c. biaya pendidikan bagi anak.

(5) Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya

(6) Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b

(7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri Nusyuz.

Ketentuan tersebut didasarkan kepada firman Allah QS. An-Nisa/4:34 ; QS. At-Talaq/65:7.

Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya atau bekas istri yang masih dalam idah talak atau idah wafat. Tempat kediaman disediakan untuk melindungi istri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga. Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya (ps.81).

Pasal 81 tersebut sesuai dengan firman Allah QS. At-Talaq/65:4.

Demikianlah beberapa kewajiban suami terhadap istri dan keluarganya. Lalu, apa kewajiban istri terhadap suaminya.

2. Kewajiban Istri

Adapun kewajiban istri, diatur secara rinci dalam pasal 83 dan pasal 84.

(Lihat, ps.34 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974).

Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum Islam. Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya (ps.83)

Pasal 84 :

(1) Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah

(2) Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya

(3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah istri tidak nusyuz

(4) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan atas bukti yang sah.

B. Istri Nusyuz

Berdasarkan paparan di atas, istilah istri nusyuz ditemukan dalam pasal 80 ayat (7), dan pasal 84.

Menurut ketentuan pasal 84 ayat (1) istri dianggap nusyuz apabila sesuai yang dimaksud pasal 83 ayat (1) yaitu tidak berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum Islam. Adapun bentuk-bentuk tindakan istri yang dapat dikatagorikan nusyuz antara lain adalah, istri membangkang terhadap suami, tidak mematuhi ajakan atau perintah suami, menolak berhubungan suami istri tanpa ada alasan yang jelas dan sah, atau istri keluar rumah, meninggalkan rumah tanpa seizin suami (Sayyid Sabiq (Moh. Tholib), Fikih Sunnah 7, 1981: 145).

Bagaimana teknik penyelesaian istri yang nusyuz

C. "Teknik" Penyelesaian Menghadapi Istri Nusyuz

Mengenai teknik penyelesaian ditempuh suami apabila istrinya nusyuz dijelaskan dalam QS. An-Nisa/4: 34:"Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasehat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha tinggi, Mahabesar."(Depag RI., Al-Quran dan Tafsirnya, jilid 2, 2009:161).

Menurut Sulaiman Rasjid, dalam buku: Fiqh Islam (1994:399), penjelasan tersebut apabila dirinci, sebagai berikut,  pertama, istri yang nusyuz tersebut diberi nasihat secara baik-baik.

Kedua, dengan cara berpisah tidur darinya.

Ketiga, sesudah dua pelajaran tersebut (nasihat dan pisah tidur/pisah ranjang), kalau masih terus juga durhaka, suami berhak memukulnya.

Terkait dengan memukul istri yang nusyuz, suami tidak boleh memukul seenaknya sendiri, melainkan syari'at Islam sudah mengaturnya, sebagai berikut, pertama, tidak memukul dengan pukulan yang keras dan meninggalkan bekas sampai patah tulang atau mengakibatkan bagian tubuh rusak atau bengkak dan semacamnya. Karena maksud dari memukul tersebut adalah untuk mendidik bukan melukai fisik sang istri (HR. Muslim, No. 1218).

Kedua, diantara "etika" memukul istri yang durhaka adalah, tidak memukul di area wajah dan area-area yang bisa mematikan fungsinya (HR. Abu Daud (VI/180 No.2128); Ibnu Majah,(1/593 No.1850); dan Ahmad (IV/447), dari Muawiyah bin Hairah ra.)

Al-Bahuty menjelaskan alasan kenapa tidak diperbolehkan suami memukul wajah istrinya adalah sebagai bentuk penghormatan dan memuliakan wanita,  karena wajah adalah salah satu tolok ukur dari keindahan wanita.

Ketiga, suami harus memiliki keyakinan yang kuat bahwa pukulannya terhadap sang istri dapat membuat istrinya jera. Karena pukulan tersebut hanyalah merupakan sarana untuk mendidik dan memperbaiki akhlak istri. Sebaliknya, pukulan ini tidaklah disyariatkan ketika suami berkeyakinan bahwa tujuan untuk mendidik dan memperbaiki akhlak istri tidak akan bisa tercapai dengan cara ini.

Imam ar-Ramly, dalam kitabnya: Nihayatul Muhtaj menjelaskan:"Jika diketahui bahwa pukulannya tersebut tidak memberikan efek maka hal tersebut haram untuk dilakukan. Karena, hukuman tersebut tidak berfaedah sedangkan adanya pukulan itu bertujuan untuk efek jera secara mutlak."

Keempat, jika istri berhenti berbuat nusyuz dan telah mentaati suaminya, maka tidak boleh suami memukulnya lagi. Karena esensi dari memukul adalah sebagai wasilah saja, bukan sebagai tujuan. Kalau sampai masih memukul istri padahal ia sudah tidak berbuat nusyuz maka ini adalah tindakan dzalim. Allah SWT., berfirman:"Dan pukullah mereka, kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar."(QS. An-Nisa/4:34).

Imam al-Qurtubi menjelaskan tentang tafsir dari ayat di atas, bahwa ketika istri tidak lagi berbuat nusyuz maka hendaknya sang suami tidaklah menganiaya istrinya baik dengan perkataan maupun perbuatan (Syafi'i M. Noor, Ketika Istri Berbuat Nusyuz, Desember, 2018).

Wallahu a'lam.