Semakin tingginya pendapatan masyarakat menyebabkan jumlah uang yang beredar

Semakin tingginya pendapatan masyarakat menyebabkan jumlah uang yang beredar

BERNASNEWS.COM — Berdasarkan data Bank Indonesia (BI) jumlah uang beredar dalam arti luas (M2) atau likuiditas perekonomian meningkat pada Februari 2020 (www.bi.go.id). Posisi M2 pada Februari 2020 tercatat Rp6.116,5 triliun atau tumbuh 7,9 persen (year on year/yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan bulan Januari 2020 yang sebesar 7,1 persen (yoy). Peningkatan M2 ini disebabkan oleh peningkatan jumlah uang beredar (JUB) dalam arti sempit (M1), uang kuasi, maupun surat berharga selain saham.

Tercatat, uang beredar dalam arti sempit (M1) meningkat dari 7,9 persen menjadi 8,6 persen. Selanjutnya, uang kuasi tumbuh 7,5 persen dari sebelumnya 6,8 persen dan untuk surat berharga selain saham naik dari 31,8 persen mnejadi 34,7 persen. Peningkatan juga terjadi pada surat berharga selain saham, dari 31,8 persen pada bulan sebelumnya menjadi 34,7 persen (yoy) pada Februari 2020.

Artikel ini mencoba menjelaskan keterkaitan JUB dengan inflasi di Indonesia. Setelah pendahuluan, bagian kedua dan ketiga masing-masing menjelaskan konsep JUB dan inflasi. Bagian keempat menjelaskan hubungan antara JUB dan inflasi. Bagian terakhir merupakan catatan penutup untuk melengkapi tulisan ini.

Jumlah Uang Beredar (JUB)

JUB atau penawaran uang  (money supply) adalah seluruh persediaan uang dalam suatu perekonomian. Dalam salah satu buku teks disebutkan JUB adalah total persediaan uang yang beredar luas di masyarakat. JUB dapat mencakup uang kertas, uang logam dan saldo yang disimpan dalam rekening giro dan tabungan, dan pengganti uang lainnya.

Menurut BI, uang beredar adalah kewajiban sistem moneter (Bank Sentral, Bank Umum, dan Bank Perkreditan Rakyat/ BPR) terhadap sektor swasta domestik (tidak termasuk pemerintah pusat dan bukan penduduk). Kewajiban yang menjadi komponen Uang Beredar terdiri dari uang kartal yang dipegang masyarakat (di luar Bank Umum dan BPR), uang giral, uang kuasi yang dimiliki oleh sektor swasta domestik, dan surat berharga selain saham yang diterbitkan oleh sistem moneter yang dimiliki sektor swasta domestik dengan sisa jangka waktu sampai dengan satu tahun (www.bi.go.id).

Selanjutnya terdapat empat jenis JUB yaitu M0, M1, M2 dan M3. Penjelasan dari keempat JUB sebagai berikut (Rosyidi, 2009). Pertama, M0 hanya terdiri dari uang kertas dan uang logam yang kita pegang sehari-hari yang tidak dipegang oleh bank maupun pemerintah. Kedua, M1 adalah M0 ditambah simpanan dalam bentuk rekening koran (demand deposit). Pengertian demand deposit adalah tabungan yang kita  miliki di  bank yang dapat  kita carikan  sewaktu-waktu dan merupakan perhitungan jumlah uang beredar yang paling likuid.  Ketiga, M2 adalah M1 + tabungan + deposito berjangka (time deposit) dalam jumlah kecil pada bank-bank umum.

Definisi time deposit adalah tabungan, deposito dan sejenisnya yang memiliki waktu jatuh tempo atau tidak dapat dicairkan sewaktu-waktu. Keempat,  M3 adalah M2 + deposito berjangka panjang dalam jumlah besar pada lembaga-lembaga tabungan non bank, termasuk meliputi dana-dana institusional yang ada di pasar uang.

Kemudian BI mendefinisikan uang beredar arti sempit (M1) dan dalam arti luas (M2) (www.bi.go.id). M1 meliputi uang kartal yang dipegang masyarakat dan uang giral (giro berdenominasi Rupiah). M2 meliputi M1, uang kuasi (mencakup tabungan, simpanan berjangka dalam rupiah dan valas, serta giro dalam valuta asing), dan surat berharga yang diterbitkan oleh sistem moneter yang dimiliki sektor swasta domestik dengan sisa jangka waktu sampai dengan satu tahun.

Selanjutnya faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah uang yang beredar antara lain (Lestari, 2018; Ambarini, 2015): Pertama, kebijakan Bank Sentral berupa kebijakan moneter yang meliputi kebijakan diskonto, operasi pasar terbuka, giro wajib minimum, kredit selektif dalam mencetak dan mengedarkan uang kartal. Kedua, kebijakan Pemerintah  untuk menambah pengeluaran pemerintah (government spending) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Kondisi tersebut menjadikan jumlah program dan proyek pemerintah meningkat yang berujung meningkatnya JUB. Ketiga,  bank umum dapat menciptakan uang giral melalui pembelian saham dan surat berharga. Keempat, tingkat pendapatan masyarakat. Jika pendapatan masyarakat naik maka ada kecenderungan konsumsi juga meningkat sehingga mendorong JUB melonjak. Kelima, tingkat suku bunga bank (bank umum, bank syariah, dan BPR).

Jika suku bunga kredit perbankan menurun maka permintaan kredit untuk investasi dan konsumsi juga meningkat. Kondisi tersebut akan mendorong meningkatnya JUB. Keenam, selera konsumen terhadap suatu barang. Dalam hal ini semakin tinggi selera konsumen terhadap suatu barang maka harga barang tersebut akan terdorong naik, sehingga akan mendorong jumlah uang yang beredar semakin banyak, dan sebaliknya.

Menurut BI, faktor-faktor uang mempengaruhi uang beredar adalah Aktiva Luar Negeri Bersih (Net Foreign Assets / NFA) dan Aktiva Dalam Negeri Bersih (Net Domestic Assets / NDA) (www.bi.go.id). Aktiva Dalam Negeri Bersih antara lain terdiri dari Tagihan Bersih Kepada Pemerintah Pusat (Net Claims on Central Government / NCG) dan Tagihan kepada sektor lainnya (sektor swasta, pemeritah daerah, lembaga keuangan dan perusahaan bukan keuangan) terutama dalam bentuk pinjaman yang diberikan.

Inflasi

Secara umum pengertian inflasi adalah suatu keadaan dimana harga barang secara umum mengalami kenaikan secara terus menerus atau terjadi penurunan nilai uang dalam negeri. Sebaliknya, deflasi adalah suatu keadaan dimana terdapat peristiwa penurunan harga barang umum secara terus menerus atau terjadi peningkatan nilai uang. Berdasarkan referensi, inflasi merupakan fenomena moneter yang merupakan suatu proses kenaikan harga yaitu adanya kecenderungan  bahwa  harga meningkat  secara  terus  menerus (Agusmianata, Militina, dan Lestari, 2017).

Dari buku teks ekonomi moneter dijelaskan beberapa jenis inflasi atau macam berdasarkan penyebab, sumber, dan keparahan (Lestari, 2018; Ambarini, 2015). Jenis inflasi berdasarkan penyebabnya. Pertama, demand pull inflation yaitu inflasi yang terjadi karena permintaan akan barang atau jasa lebih tinggi jumlah pasokan dari produsen/penjual. Kedua, cost push inflation yaitu inflasi yang terjadi karena terjadi kenaikan biaya produksi sehingga harga barang/ jasa naik.

Kemudian jenis inflasi berdasarkan sumbernya. Pertama, domestic inflation yaitu inflasi yang bersumber dari dalam negeri, misalnya adanya gagal panen. Inflasi ini terjadi karena jumlah uang di masyarakat lebih banyak daripada yang dibutuhkan.  Kedua, imported inflation yaitu inflasi yang bersumber dari luar negeri, mislanya meningkat kurs dolar AS terhadap rupiah (IDR).

Berdasarkan jenis keparahan, inflasi dapat dikategorikan sebagai berikut. Pertama, inflasi ringan (creeping inflation) yang merupakan inflasi dengan tingkat pertumbuhan cukup rendah yaitu sekitar kurang dari 10 persen per tahun. Kedua, inflasi sedang (galloping inflation) yang merupakan inflasi dengan tingkat pertumbuhan tergolong ringan yaitu sekitar 10 – 30 persen per tahun.

Ketiga, inflasi berat (high inflation) yang dimana merupakan inflasi dengan tingkat pertumbuhan tergolong inflasi berat yaitu sekitar 30 – 100 persen per tahun. Keempat inflasi sangat berat (hyperinflation) yang dimana merupakan inflasi dengan tingkat pertumbuhan sangat berat yaitu lebih dari dari 100 persen per tahun.

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya inflasi antara lain penurunan nilai tukar mata uang (kurs), permintaan yang tinggi terhadap suatu barang dan bertambahnya uang yang beredar. Faktor yang lain adalah adanya kenaikan biaya produksi, ekspektasi dari masyarakat, dan karena faktor penyebab sifatnya campuran (mixed inflation). Menurut beberapa hasil studi penyebab inflasi di Indonesia berkisar pada faktor-faktor tersebut.

JUB dan Inflasi

Hubungan antara JUB dan inflasi dapat dijelaskan melalui Teori Kuantitas Uang (Lestari, 2018; Ambarini, 2015). Teori yang dikemukakan oleh Irving Fisher (2011) tersebut paling banyak digunakan sebagai referensi untuk memahami hubungan JUB dengan inflasi. Teori ini menyatakan terdapat hubungan langsung antara pertumbuhan JUB dengan kenaikan harga-harga umum atau inflasi.

Ditekankan juga bahwa pertumbuhan JUB merupakan penyebab utama terjadinya inflasi. Penjelasan ini relevan dengan pandangan Monetaris (Milton Friedman) bahwa inflasi, dimana dan kapanpun terjadinya, selalu merupakan sebuah fenomena moneter. Dalam sejarahnya, terdapat ekonom yang tidak setuju atau menentang teori tersebut. Penentangnya dari kelompok Keynesian dan ekonom Non-Monetaris. Menurut teori mereka inflasi lebih fokus terhadap kenaikan harga aktual, dengan atau tanpa pertimbangan JUB.

Menurut aliran Keynesian, inflasi terjadi karena tarikan permintaan (demand pull inflation) dan inflasi dorongan biaya (cost push inflation). Inflasi tarikan permintaan terjadi karena permintaan barang/jasa meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan produksi atau pasokan barang/jasa di pasar. Inflasi dorongan biaya terjadi karena harga input atau biaya produksi barang/jasa cenderung naik, sehingga harga produk barang/jasa juga meningkat. Kondisi tersebut bisa terjadi karena JUB meningkat lebih cepat dari perubahan preferensi konsumen.

Dalam teori disebutkan bahwa peningkatan JUB akan meningkatkan inflasi, namun juga terdapat kondisi peningkatan JUB tidak akan meningkatkan inflasi. Jika peningkatan JUB lebih cepat dari pertumbuhan produksi barang/jasa maka inflasi akan terjadi. Kondisi tersebut menjadikan lebih banyak JUB, namun jumlah pasokan atau stok barang/jasa relatif tetap.

Selanjutnya yang terjadinya peningkatan permintaan barang/jasa sehingga produsen/penjual menaikkan harga barang/jasa.  Di sisi lain, jika peningkatan JUB sama dengan peningkatan produksi/pasokan barang/jasa di pasar maka harga barang/jasa tidak berubah sehingga tidak mendorong terjadinya inflasi.

Berikut hasil studi pengaruh JUB terhadap inflasi di Indonesia. Kajian Sutawijaya dan Zulfahmi (2014) menyatakan variabel JUB (M1) dalam jangka pendek maupun jangka panjang mempunyai hubungan positif dan berpengaruh signifikan terhadap tingkat inflasi di Indonesia selama periode 1992-2012 (data tahunan).

Semakin tinggi JUB baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang akan semakin meningkatkan inflasi. Hasil studi sesuai dengan teori yang menyatakan JUB berpengaruh positif terhadap inflasi. Kenaikan JUB akan memicu kenaikan harga-harga atau inflasi, jika tidak diimbangi dengan peningkatan jumlah produksi/pasokan barang/jasa di pasar.

Hasil studi ini juga didukung oleh riset yang dilakukan oleh Prasasti (2014). Temuan studi tersebut menyatakan bahwa JUB (M1) berpengaruh positif dan signikan terhadap inflasi di Indonesia pada periode tahun 1973-2012.

Selanjutnya studi Agusmianata, Militina dan Lestari (2017) menyimpulkan bahwa JUB (M1 dan M2)  berpengaruh  positif  dan  signifikan  terhadap  inflasi  di  Indonesia periode 2006-2015 (data tahunan).  Pengaruh  positif tersebut disebabkan oleh demand pull inflation. Inflasi  yang  terjadi  karena  permintaan  masyarakat  terhadap berbagai  barang/jasa  terlalu  kuat  sehingga menaikkan harga–harga secara umum.

Permintaan barang/jasa yang terlalu kuat tersebut disebabkan oleh pendapatan masyrakat  yang  meningkat.  Meningkatnya  pendapatan  menjadikan uang beredar terlalu banyak  beredar  di  masyarakat. Kondisi tersebut menjadikan  masyarakat  dengan  mudahnya  untuk  berbelanja  barang/jasa sehingga  permintaan terhadap barang/jasa meningkat dan pada gilirannya terjadi inflasi.

Kemudian Afrizal (2017) melakukan uji kasusalitas antara JUB (M2) dan inflasi di Indonesia pada periode 2000.1-2014.4 (data kuartalan atau triwulan). Hasil  estimasi  uji Granger Causality dengan lag 6, menunjukkan bahwa JUB di Indonesia tidak berpengaruh terhadap tingkat  inflasi, namun tingkat inflasi di Indonesia berpengaruh terhadap JUB. Selanjutnya hasil  estimasi  uji Granger Causality dengan lag 12, menunjukkan bahwa  JUB  di  Indonesia  berpengaruh  terhadap    tingkat  inflasi  dan sebaliknya.

Kondisi  ini  menunjukkan  bahwa  terdapat  kausalitas  antara  jumlah  uang beredar dan inflasi selama periode 2000.1-20014.4. Hal tersebut menunjukkan bahwa JUB berpengaruh terhadap inflasi dan sebaliknya inflasi juga berpengaruh terhadap JUB.

Catatan Penutup

Mengacu pada  beberapa hasil studi di atas,  maka dalam  jangka  pendek sebaiknya kebijakan moneter yang dapat dilakukan BI adalah dengan mengendalikan JUB, sehingga tingkat inflasi dapat relatif stabil. Dalam beberapa periode tahun terakhir, BI telah berhasil mengendalikan inflasi.

Berdasarkan data BI, selama periode 2014 sampai tahun 2019 tingkat inflasi rata-rata hanya sebesar 4,68 persen. Selama periode tersebut inflasi cenderung mengalami penurunan. Jika pada tahun 2014 inflasi tahun mencapai 8,36 persen, kemudian pada tahun  2015 turun menjadi 7,26 persen. Selanjutnya pada tahun 2016 inflasi tahun sebesar 3,02 persen, menurun signifikan dibandingkan tahun sebelumnya.

Pada tahun 2017 inflasi tahun sedikit naik menjadi 3,61 persen. Kemudian pada tahun 2018 inflasi tahun menurun menjadi 3,13 persen. Data pada tahun 2019 inflasi tahunan hanya sebesar 2,72 persen. Jika mencermati data yang ada, maka inflasi tahun 2019 merupakan yang terendah setelah tahun 1999 yang sebesar 2,13 persen. Dengan demikian selama periode 2014-2019 inflasi tahun yang sebesar rata-rata 4,68 persen tersebut termasuk inflasi ringan (creeping inflation) karena besarnya masih di bawah 10 persen (single digit).

Pada tahun 2020 ini, tantangan BI untuk mengendalikan JUB “semakin berat”. Kondisi tersebut terkait dengan sejumlah kebijakan stimulus dan non fiskal serta jaring pengaman sosial (social safety net) yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk mencegah dan menanggulangi pandemi Covid-19. Kebijakan stimulus tersebut berupa kenaikan anggaran dalam APBN dan juga penerbitan recovery bond (R-Bond) yang pada gilirannya mendorong kenaikan JUB. (Dr. Y. Sri Susilo, SE, M.Si, Dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika UAJY (Atma Jogja) dan Sekretaris ISEI Cabang Yogyakarta)