Setelah amandemen UUD nri Tahun 1945 maka yang memilih Presiden adalah

Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul sama yang dibuat Ali Salmande, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 23 November 2010 dan pertama kali dimutakhirkan pada Jumat, 27 November 2015.

Sebelum menjawab pokok pertanyaan Anda, ada baiknya kita pahami terlebih dahulu dasar hukum, tugas dan wewenang MPR menurut hukum di Indonesia.

MPR: Dasar Hukum, Tugas, dan Wewenang

Majelis Permusyawaratan Rakyat (“MPR”) adalah salah satu lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. MPR terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) dan Dewan Perwakilan Daerah (“DPD”) yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.[1]

Dasar hukum MPR dapat dijumpai dalam Pasal 2 dan 3 UUD 1945.

Sebelumnya, tugas dan wewenang MPR menurut UUD 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945 terbatas pada menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan negara (“GBHN”).

Kini, wewenang MPR setelah Amandemen Ketiga UUD 1945 adalah:[2]

  1. Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.
  2. Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
  3. Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.

Dengan adanya Amandemen Ketiga UUD 1945, wewenang MPR kini terbatas pada hal-hal berikut di atas kecuali menetapkan GBHN.

Untuk itu, mari kita bahas tugas dan wewenang MPR setelah Amandemen UUD 1945 satu per satu.

Tugas dan Wewenang MPR Mengubah UUD 1945

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, salah satu tugas dan wewenang MPR adalah mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.  Lantas, kapan MPR dapat mengubah UUD 1945 dan bagaimana prosedurnya?

Secara yuridis, tak ada aturan yang mensyaratkan kapan sebuah peraturan perundang-undangan, termasuk konstitusi atau Undang-Undang Dasar, harus diubah. Namun, lazimnya, sebuah peraturan perundang-undangan akan diubah bila sudah tak dapat lagi mengikuti perkembangan zaman atau dianggap tidak mampu lagi melindungi hak-hak warga negaranya.

Khusus untuk UUD 1945, berdasarkan Buku Naskah Komprehensif Perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terbitan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi, aturan tersebut diubah karena adanya Reformasi 1998 yang salah satu tuntutannya adalah perubahan UUD 1945. Tuntutan rakyat inilah yang menjadi salah satu alasan MPR mengamandemen UUD 1945.

Prosedur Perubahan UUD 1945

Lalu, bagaimana prosedur perubahan UUD 1945? Dasar hukum prosedur perubahan UUD 1945 yang merupakan tugas dan wewenang MPR diatur dalam Pasal 37 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan:

Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Untuk mengubah pasal-pasal UUD, sidang MPR dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota MPR.[3] Putusan untuk mengubah pasal-pasal UUD dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50% ditambah satu anggota dari seluruh anggota MPR.[4]

Berapa Kali MPR Mengubah UUD 1945?

Hingga saat ini, MPR telah menjalankan tugas dan wewenang MPR untuk mengubah UUD 1945 sebanyak 4 kali atau tahap, yakni:

  1. Tahap pertama: 14-21 Oktober 1999.
  2. Tahap kedua: 7-18 Agustus 2000.
  3. Tahap ketiga: 1-9 Oktober 2001.
  4. Tahap keempat: 1-12 Agustus 2002.

Namun, perlu diketahui, Indonesia pernah menggunakan ‘konstitusi lain’ selain UUD 1945 sebagai dasar negara. Yakni, pada 1949 ketika Indonesia berbentuk negara federal, Indonesia menggunakan Konstitusi Republik Indonesia Serikat (“Konstitusi RIS”). Namun, berlakunya Konstitusi RIS ini tak menghapus UUD 1945, karena UUD 1945 masih berlaku di Negara Bagian RIS di Yogyakarta dengan Presiden Mr. Moh. Asaat.[5]

Lalu, pada 1950, Indonesia menggunakan UUD Sementara (UUDS 1950). ‘Konstitusi’ ini digunakan sementara untuk memberi waktu para anggota konstituante untuk membentuk UUD yang baru sama sekali. Namun, ‘proyek’ ini gagal, hingga akhirnya Presiden Soekarno menerbitkan dekrit presiden yang salah satu isinya adalah mengembalikan UUD 1945 sebagai dasar negara.

Tugas dan Wewenang MPR Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden

Selain mengubah UUD 1945, tugas dan wewenang MPR adalah memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Lantas, kapan MPR dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden?

Secara hukum, MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD 1945. Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”).[6]

Adapun tugas dan wewenang MPR untuk memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dilakukan setelah mendapat usul dari DPR melalui sidang paripurna. Usulan DPR ini harus berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (“MK”) yang menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa:[7]

  1. pengkhianatan terhadap negara;
  2. korupsi;
  3. penyuapan;
  4. tindakan pidana berat lainnya maupun perbuatan tercela; dan/atau
  5. Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat menduduki jabatannya.

MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk memutuskan usul DPR mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden pada masa jabatannya maksimal 30 hari sejak MPR menerima usul tersebut.[8]

Berikut prosedur memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya:

Apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga melakukan kejahatan atau tindak pidana, maka DPR dapat mengajukan permintaan kepada MK untuk mengadili pelanggaran hukum itu.[9]

Pengajuan permintaan ini hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.[10]

Atas permintaan tersebut, MK wajib memeriksa, mengadili, dan memutus maksimal 90 hari setelah permintaan dari DPR itu diterima.[11]

Jika terbukti terjadi pelanggaran hukum, setelah itu, DPR menggelar sidang paripurna untuk meneruskan hasil putusan itu ke MPR sebagai usul memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden.[12]

MPR wajib menyelenggarakan sidang untuk memutus usulan DPR itu maksimal 30 hari sejak MPR menerima usul itu.[13]

Pimpinan MPR mengundang Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk menyampaikan penjelasan yang berkaitan dengan usulan pemberhentiannya dalam sidang paripurna MPR. Apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak hadir untuk menyampaikan penjelasan, MPR tetap mengambil keputusan terhadap usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden.[14]

MPR menerbitkan keputusan terhadap usul pemberhentian itu dan harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh minimal 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui minimal 2/3 dari jumlah anggota yang hadir.[15]

Dalam hal MPR memutuskan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden atas usul DPR, Presiden dan/atau Wakil Presiden berhenti dari jabatannya.[16]

Tapi, dalam hal MPR memutuskan tidak memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden atas usul DPR, Presiden dan/atau Wakil Presiden melaksanakan tugas dan kewajibannya sampai berakhir masa jabatannya.[17]

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

Referensi:

Mahkamah Konstitusi. Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 Buku I: Latar Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan 1999-2002. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010.

[1] Pasal 2 ayat (1) UUD 1945

[3] Pasal 37 ayat (3) UUD 1945

[4] Pasal 37 ayat (4) UUD 1945

[5] Mahkamah Konstitusi. Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 Buku I: Latar Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan 1999-2002. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2010, hal 31

[8] Pasal 37 ayat (1) UU MD3

[9] Pasal 7B ayat (1) UUD 1945

[10] Pasal 7B ayat (3) UUD 1945

[11] Pasal 7B ayat (4) UUD 1945

[12] Pasal 7B ayat (5) UUD 1945

[13] Pasal 7B ayat (6) UUD 1945 dan Pasal 37 ayat (1) UU MD3

[14] Pasal 38 ayat (1) dan (2) UU MD3

[15] Pasal 7B ayat (7) UUD 1945 dan Pasal 38 ayat (3) UU MD3

[16] Pasal 39 ayat (1) UU MD3

[17] Pasal 39 ayat (2) UU MD3

Setelah amandemen UUD nri Tahun 1945 maka yang memilih Presiden adalah
Heryunanto

-

Pasca amandemen UUD 1945, konstitusi Indonesia mengalami perubahan total dan substansial. Perubahan itu bukan tanpa kritik, utamanya aspek partisipasi masyarakat yang dianggap sangat kecil dalam berbagai proses perubahan, sehingga dalam setiap aspek pentingnya tidak melewati proses perdebatan publik yang cukup memadai, melainkan hanya berdasarkan pada kehendak Badan Pekerja yang ada di Majelis Permusyawatan Rakyat (MPR).

Namun demikian, substansi perubahan ironinya, cukup menggambarkan kehendak rakyat indonesia. Artinya, UUD NRI 1945 sekalipun dibuat dengan proses yang tidak demokratis tetapi substansi perubahannya mengakomodir unsur-unsur negara demokratis. Diantara sekian banyak tema perubahan, yang cukup krusial keberadaannya salah satunya terkait purifikasi (pemurnian) sistem presidensial (Saldi Isra, 2020: 194), yaitu sebagai berikut:

Pertama, purifikasi pemilihan presiden dan wakil presiden. Memakai logika sistem presidensial, pemilihan langsung lebih dari sekadar memberikan kesempatan luas bagi rakyat untuk menentukan pilihan secara langsung, tetapi menjadi bukti adanya mandat langsung dan dukungan riil rakyat bagi presiden. Dikarenakan sama-sama mendapat mandat langsung rakyat, pemilihan langsung menciptakan perimbangan check and balances antara presiden dan lembaga perwakilan yang juga mendapatkan mandat langsung rakyat. Karena itu, konstitusi hasil perubahan mengatur secara eksplisit bahwa presiden dipilih secara langsung oleh rakyat.

Baca juga:Sistem Presidensial dan GBHN

Kedua, menata ulang MPR. Sebelum perubahan UUD 1945, MPR merupakan pemegang kedaulatan rakyat dengan penegasan bahwa kekuasaan tertinggi di tangan MPR (die gesamte Staatsgewalt liege allein bei in Majelis). Sebagai bagian dari purifikasi sistem presidensial, UUD NRI 1945 pasca amandemen menghilangkan atau menghapus MPR sebagai lembaga tertinggi negara, sebagai upaya logis keluar dari perangkap design ketatanegaraan yang rancu dalam menciptakan check and balances antar lembaga negara.

Penghapusan predikat pemegang kedaulatan rakyat diikuti dengan komposisi baru MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD, yang keanggotaanya dipilih langsung salam pemilu. Perubahan ini berdampak pada reposisi MPR dari lembaga negara tertinggi menjadi lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya. Oleh karena itu, adalah ironi sekaligus ahistoris sebetulnya, jika belakangan ini muncul ide untuk kembali menguatkan MPR dengan kewenangan membentuk GBHN dan memilih presiden/wakil presiden.

Oleh karena itu, adalah ironi sekaligus ahistoris sebetulnya, jika belakangan ini muncul ide untuk kembali menguatkan MPR dengan kewenangan membentuk GBHN dan memilih presiden/wakil presiden.

Ketiga, memperjelas syarat dan mekanisme pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden (pemakzulan) dalam masa jabatan. Dalam hal ini, Pasal 7A UUD NRI 1945 menyatakan bahwa presiden dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR dengan alasan apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa: penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Selain pelanggaran itu, pemakzulan presiden dapat dilakukan apabila terbukti presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden.

Setelah amandemen UUD nri Tahun 1945 maka yang memilih Presiden adalah

Iklan

Kelemahan

Tiga perubahan di atas cukup menunjukkan bahwa hasil amandemen UUD NRI 1945 menjadi lebih substantif dan demokratis. Karena mendapatkan legitimasi yang sama dari rakyat langsung maka kelembagaan presiden dan MPR menjadi sederajat, presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR melainkan kepada rakyat secara langsung. Selain itu, juga tidak akan ditemui lagi situasi dimana presiden diberhentikan oleh MPR hanya karena rendahnya dukungan politik terhadap presiden, karena proses pemberhentian harus melalui proses hukum di MK.

Namun demikian, tema seputar pemilihan presiden bukan tanpa kelemahan. Hampir 10 tahun pasca amandemen UUD, kita melihat muncul masalah baru dalam tema seputar pemilihan presiden ini. Kondisi ini adalah dinamika yang biasa dalam Hukum Tata Negara, sebagaimana jamak dipahami bahwa konsitusi adalah resultante (kesepakatan) politik para pembuatnya untuk menjawab kondisi aktual pada saat konstitusi itu dibuat atau diubah. Sehingga, perkembangan jaman sudah barang tentu berimplikasi pula pada perkembangan kondisi tersebut.

Baca juga:Poros Pemilihan Presiden 2024

Satu aspek yang cukup krusial seputar pemilihan presiden ini adalah mengenai syarat pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik. Pasal 6 ayat (2) UUD NRI 1945 pasca amandemen hanya membuka ruang pencalonan presiden dan wakil presiden melalui partai politik. Artinya, tidak ada ruang sama sekali bagi seseorang untuk menjadi calon presiden tanpa diusulkan oleh partai politik, partai politik adalah satu-satunya kendaraan bagi seseorang untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden. Maka, sebaik dan selayak apapun seseorang untuk menjadi presiden, jika tidak diusulkan oleh partai politik, maka tidak ada jalan baginya untuk mencalonkan diri.

UUD NRI 1945 mengatur bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, tetapi dengan mekanisme ini, kedaulatan itu didistorsi dengan kepentingan partai politik.

Dalam konteks ini, pengaturan demikian sebenarnya banyak bersinggungan dengan ketentuan lain dalam UUD NRI 1945 sendiri. Misalnya, UUD NRI 1945 mengatur bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, tetapi dengan mekanisme ini, kedaulatan itu didistorsi dengan kepentingan partai politik.

Hal lainnya juga, UUD NRI 1945 menjamin hak untuk dipilih dan memilih, tetapi lagi-lagi didistorsi oleh kewajiban untuk diajukan partai politik. Terlebih, ketentuan ini diperkuat pula dengan adanya pengaturan presidensial threshold yang mencapai 20 persen dalam UU.

Setelah amandemen UUD nri Tahun 1945 maka yang memilih Presiden adalah

Dengan demikian, opsi bagi rakyat untuk mengajukan calon presiden menjadi sangat sedikit. Kita, dalam dunia global, modern, dan demokratis seperti saat ini, hanya berhak memilih calon presiden dan wakil presiden yang diajukan oleh partai politik semata. Setuju tidak setuju, suka tidak suka, mau tidak mau, itulah pengaturan normatif dalam konstitusi kita.

Pengaturan dalam pemilihan kepala daerah, sebenarnya sudah selangkah lebih maju. Pemilihan kepala daerah (gubernur dan bupati/walikota), membuka ruang bagi majunya calon perseorangan yang tidak harus diajukan oleh partai politik, sekalipun masih dengan prosedur yang sangat menyulitkan. Oleh karena itu, opsi amandemen UUD NRI 1945 di masa depan adalah keniscayaan, utamanya untuk mengamandemen pasal-pasal “bermasalah” menjadi lebih substantif dan berkeadilan. Amandemen itu, tentu saja dengan niat dan komitmen yang baik agar tidak dibajak oleh kepentingan-kepentingan politik praktis yang brutal dan liar semata.

Setelah amandemen UUD nri Tahun 1945 maka yang memilih Presiden adalah

Despan Heryansyah,Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum UII Yogyakarta