Siapa pendorong gerakan pembaruan Islam yang terkenal

Rep: Nidia Zuraya Red: Chairul Akhmad

REPUBLIKA.CO.ID, Gerakan pembaruan yang diusung oleh Muhammadiyah tidak terlepas dari ide, gagasan, dan pemikiran sejumlah tokoh ternama yang menjadi pelopor gerakan kebangkitan Islam. Mereka antara lain Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha.


Ibnu Taimiyah

Dalam tulisannya yang berjudul "Muhammadiyah dan Matarantai Pembaruan Islam", Haedar Nashir memaparkan bahwa jatuhnya Kota Baghdad ke tangan pasukan Mongol pada 1258 telah menimbulkan dua kecenderungan. Pertama, masuknya praktik-praktik kehidupan dan keagamaan yang bersifat mistis dan kemudian mencemari akidah dan moral umat kala itu, yang banyak penyimpangan dari kemurnian Islam.Kedua, kejatuhan politik Islam, sehingga umat Islam menjadi lemah. Akibat dari dua hal tersebut kemudian umat Islam menjadi krisis secara akidah, merosot secara moral, lemah secara politik, dan jumud secara pemikiran dan kondisi kehidupan.Dalam kondisi yang demikian itulah, muncul gerakan untuk memurnikan kembali Islam dan melakukan pembaruan dalam kehidupan sebagaimana dipelopori oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (1263-1328 M) untuk memperbarui cara berpikir dan cara hidup umat Islam.Tema utama pemikiran Ibnu Taimiyah ialah gerakan al-ruju’ ila al-Qur'an wa As-Sunnah (kembali pada sumber ajaran Islam, yakni Alquran dan sunah). Dengan tekanan pada pemurnian akidah, gerakan ini sering disebut dengan muhyi atsar al-salaf (menghidupkan kembali ajaran ulama salaf yang saleh), yakni praktik ajaran Islam sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW dan tiga generasi sesudahnya, yakni generasi para sahabat, tabiin, dan tabiut tabiin.Gerakan pemurnian yang diusung Ibnu Taimiyah saat itu sejalan dengan pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal, yang menghidupkan ajaran salafiyah, tetapi sekaligus membuka pintu ijtihad. Keras dalam ajaran akidah, tetapi terbuka pada ijtihad. Karenanya, dalam perkembangan berikutnya, gerakan pemurnian tersebut menjadi bersenyawa dengan spirit ijtihad dan berorientasi pada bagaimana membangkitkan kembali kemajuan umat Islam dari kemunduran dan kejumudan.

  • islam nusantara
  • tajdid
  • tokoh pembaruan

Siapa pendorong gerakan pembaruan Islam yang terkenal

Red:

Kehidupan yang mengalir dinamis telah melahirkan pembaharuan-pembaharuan Islam baik secara pemikiran atau gerakan. Pembaruan di sini bukan penambahan ajaran baru dalam Islam. Namun, proses pengembalian Islam sesuai sumbernya dalam rentang zaman. Termasuk, penyelesaian permasalahan baru yang ditemui dikaitkan dengan rujukan Islam. Dalam Islam, istilah pembaruan dikenal dengan tajdid. Para mujaddid (pelaku pembaru) lahir sebagai reaksi atau tanggapan terhadap tantangan-tantangan internal maupun eksternal yang menyangkut keyakinan dan urusan sosial umat. Rasulullah SAW sendiri menjamin bahwa Allah SWT akan melahirkan seorang mujaddid dalam kurun waktu satu abad (seratus tahun). Fungsinya, sama seperti nabi yang diutus. Seorang mujaddid akan mengembalikan umat kepada tuntunannya Alquran dan sunah serta membawa umat Islam keluar dari kesesatan. Seperti ditegaskan Rasulullah SAW dalam sabdanya, "Sesungguhnya Allah akan mengutus kepada umat ini (umat Islam) pada permulaan setiap abad orang yang akan memperbarui (memperbaiki) urusan agamanya." (HR Abu Dawud). Jadi, istilah tajdid telah mendapatkan pengesahan dari Alquran dan hadis sendiri. Sepeninggal Rasulullah SAW akan ada seorang mujaddid yang tampil setiap seratus tahun sebagai mujaddid yang melakukan pembaruan. Ia akan menyelamatkan umat dari penyimpangan akidah. Istilah mujaddid baru terdengar nyaring setelah muncul gerakan dalam Islam sebagai kontak yang terjadi antara Islam yang dianggap mundur dan Barat yang dianggap maju. Seperti diterangkan dalam Ensiklopedi Hukum Islam, gerakan pembaruan dalam Islam memang terdapat pada periode modern. Namun, sebelum masa itu keinginan untuk mengadakan perubahan juga telah timbul. Misalnya, seperti apa yang dicetuskan Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1792). Gerakannya yang dikenal dengan nama Wahabi dilatarbelakangi oleh faktor internal Arab Saudi. Saat itu, paham tauhid kaum awam telah dirusak oleh kebiasaan-kebiasaan syirik dan bid’ah. Gerakan ini berhasil berkat bantuan kepala suku bernama Muhammad bin Sa’ud (wafat 1765) yang kemudian mendirikan kerajaan di bawah pimpinan keturunannya. Gerakan Wahabi dijadikan mazhab resmi kerajaan itu. Di samping mempunyai gerakan, Ibnu Abdul Wahhab juga mempunyai pendapat bahwa pintu ijtihad tetap terbuka dan ijtihad boleh dilakukan dengan jalan kembali kepada Alquran dan sunah Nabi Muhammad SAW. Gerakan Wahabi disusul oleh serentetan gerakan di Afrika. Gerakan yang bercorak sufistik itu akhirnya berhasil mendirikan negara-negara Islam. Di antara para pemimpinnya yang terkenal, yakni Usman dan Fonjo (1754-1817) di Nigeria, Muhammad Ali bin as-Sanusi (1787-1859) di Libya, dan Muhammad Ahmad bin Abdullah (1843-1885) di Sudan yang gerakannya disebut Mahdiyyah. Di India, pembaruan terutama dilakukan oleh Syekh Ahmad Sirhindi (1564-1624) dan Syah Waliyullah (1702-1762). Mereka melihat bahwa akidah umat Islam India telah dirusak oleh sinkretisme. Oleh sebab itu, mereka mengeluarkan seruan untuk kembali kepada Alquran dan sunah dalam segala lapangan kehidupan. Selanjutnya, Syah Waliyullah berpendapat, untuk memperbaiki masyarakat Muslim di India, mesti diadakan perombakan terhadap kekuasaan Moghul. Sumbangannya yang terutama bagi pemikiran modernis, yaitu kritiknya terhadap taklid (meniru) dan dibukanya kembali pintu ijtihad. Gerakan-gerakan pramodern telah mewariskan bagi Islam modern suatu interpretasi ideologis terhadap Islam dan metode-metode gerakan serta organisasi. Kalau gerakan pramodern, terutama dimotivasi oleh faktor internal, gerakan modern dimotivasi oleh faktor internal dan eksternal, baik oleh kelemahan internal maupun oleh ancaman politis dan religiokultural kolonialisme. Tanggapan para tokoh pembaruan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 terhadap dampak Barat bagi masyarakat Muslim terwujud dalam usaha sungguh-sungguh untuk menginterpretasi Islam dalam menghadapi perubahan kehidupan. Mereka menekankan sikap dinamis, luwes, dan dapat menyesuaikan diri yang menjadi ciri kemajuan Islam pada Zaman Klasik (650-1250), terutama kemajuan di bidang hukum, pendidikan, dan sains. Mereka juga menekankan pembaruan internal melalui proses reinterpretasi (ijtihad) dan adaptasi secara selektif (Islamisasi) terhadap ide-ide dan teknologi Barat. Sebab, pembaruan dalam Islam merupakan suatu proses kritik diri ke dalam dan perjuangan untuk menetapkan Islam kembali guna menunjukkan relevansinya dengan situasi-situasi baru yang dihadapi oleh masyarakat Islam. Beberapa belahan bumi telah melahirkan gerakan-gerakan pembaruan Islam yang tema dan aktivitasnya diilustrasikan di dalam beberapa figur utama, seperti di Timur Tengah Jamaluddin al-Afgani (1838-1897) dengan gerakan Pan-Islamisme serta para pengikutnya, seperti  Muhammad Abduh (1849-1905) dengan gerakan Salafiyah dan Muhammad Rasjid Rida (1865-1935). Selain itu, di Asia Selatan muncul seorang mujaddid, Sayyid Ahmad Khan (1817-1898) dan Muhammad Iqbal. Meskipun mereka tidak berhasil melahirkan reinterpretasi terhadap Islam secara sistematis, pandangan mereka telah menerobos ke dalam masyarakat Islam.

Di antara tokoh pembaruan generasi berikutnya, yaitu Hasan al-Banna (1906-1949) dari Mesir dengan gerakan Ikhwanul Muslimin dan Maulana Abu A’la al-Maududi (1903-1979) dari India dengan gerakan Jamiat al-Islam. Di Indonesia, gerakan pembaruan melahirkan organisasi pembaru, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persatuan Islam (PERSIS), dan lain-lain. n ed: hafidz muftisany

Siapa pendorong gerakan pembaruan Islam yang terkenal

Hal-hal yang mendorong lahirnya gerakan pembaharuan dan modernisasi Islam yaitu : 1.Adanya sifat jumud (stagnan) yang telah membuat umat Islam berhenti berpikir dan berusaha. Selama umat Islam masih bersifat jumud dan tidak mau berpikir (berijtihad) maka mereka tidak mungkin mengalami kemajuan. Kemajuan masyarakat hanya akan bisa tercapai melalui pengkajian ilmu pengetahuan yang terus menerus yang kemudian akan diaplikasikan dalam teknologi terapan dan kehidupan sosial yang nyata demi kemajuan masyarakat. Untuk itulah maka perlu diadakan upaya pembaharuan dengan memberantas sikap jumud dan menggerakkan kembali tradisi ijtihad di kalangan umat Islam.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Munculnya Gerakan Pembaruhan Islam

Dalam kosa kata “Islam”, term pembaruan digunakan kata tajdid, secara harfiah tajdîd berarti pembaharuan dan pelakunya disebut mujaddid. Kemudian muncul berbagai istilah yang dipandang memiliki relevansi makna dengan pembaruan, yaitu modernism, refermisme, puritanisme, revivalisme dan fundamentalisme. Di samping kata tajdid, ada istilah lain dalam kosa kata Islam tentang kebangkitan atau pembaruan, yaitu kata Islah. Kata tajdid biasa diterjemahkan sebagai “Pembaruan”, dan Islah sebagai “Perubahan”. Kedua kata tersebut secara bersama – sama mencerminkan suatu tradisi yang berlanjut, yaitu suatu upaya menghidupkan kembali keimanan Islam beserta praktek – prateknya dalam komunitas kaum muslimin. Berkaitan hal tersebut, maka pembaruan dalam islam bukan dalam hal yang menyangkut dengan dasar atau fundamental ajaran Islam artinya bahwa pembaruan Islam bukanlah dimaksudkan untuk mengubah, memodifikasi ataupun merevisi nilai – nilai dan prinsip – prinsip Islam supaya sesuai dengan selera jaman, melainkan lebih berkaitan dengan penafsiran atau interpretasi terhadap ajaran – ajaran dasar agar sesuai dengan kebutuhan perkembangan, serta merupakan aktualisasi ajaran tersebut dalam perkembangan social.

Pembaharuan Islam adalah upaya-upaya untuk menyesuaikan paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi madern. Sejak awal sejarahnya, Islam sebenarnya telah memiliki tradisi pembaharuan karena ketika menemukan masalah baru, kaum muslim segera memberikan jawaban yang didasarkan atas doktrin-doktrin dasar kitab dan sunnah. Rasulullah pernah mengisyaratkan bahwa “sesungguhnya Allah akan mengutus kepada umat ini (Islam) pada permulaan setiap abad orang-orang yang akan memperbaiki dan memperbaharui agamanya” (HR. Abu Daud). Meskipun demikian, istilah ini baru terkenal dan populer pada awal abad ke-18, tepatnya setelah munculnya pemikiran dan gerakan pembaharuan Islam, menyusul kontak politik dan intelektual dengan Barat. Pada waktu itu, baik secara politis maupun secara intelektual, Islam telah mengalami kemunduran, sedangkan Barat dianggap telah maju dan modern. Kondisi sosiologis seperti itu menyebabkan kaum elit muslim merasa perlu untuk melakukan pembaharuan. Hal ini karena agama doktrin yang bersifat absolut, kekal, tidak dapat diubah, dan mutlak benar, sementara pada saat yang sama perubahan dan perkembangan merupakan sifat dasar dan tuntutan modernitas atau lebih tepatnya lagi ilmu pengetahuan dan teknologi.

Beberapa pendapat para ahli yaitu :

a.         Din Syamsuddin

Bahwa pembaruan islam merupakan rasionalisasi pemahaman Islam kontekstualisas nilai- nilai Islam ke dalam kehidupan. Sebagai salah satu pendekatan pembaruan Islam, rasionalisasi mengandung arti sebagai upaya menemukan substansi dan penanggalan lambang – lambang, sedangkan kontekstualisasi mengandung arti sebagai upaya pengaitan substansi dengan peralatan social budaya tertentu dan penggunakan lambing – lambing tersebut untuk membungkus kembali substansi tertentu. Dengan ungkapan lain bahwa rasionalisasi dan kontekstualisasi dapat disebut sebagai proses subtansi (pemaknaan secara(pemaknaan secara hakiki, etika dan moralitas) Islam ke dalam proses kebudayaan dengan melakukan desimbolisasi ( penanggalan lambing – lambing) budaya asal (baca:arab), dan pengalokasian nilai – nilai tersebut ke dalam budaya baru (local). Sebagai proses substansiasi, pembaruan Islam melibatkan pendekatan substantivistik, bukan formalistic terhadap islam.

b.        Harun Nasution

Menganalogikan istilah “ Pembaruan” dengan “modernism” karena istilah terakhir ini dalam masyarakat Barat mengandung artipikiran, aliran, gerakan dan usaha mengubah paham – paham, adat istiadat, institusi lama, dan sebagainya untuk menyesuaiankan dengan suasana baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.

Gagasan ini muncul di barat dengan tujuan menyesuaikan ajaran – ajaran yang terdapat dalam agama politik dan protesta dengan ilmu pengetahuan modern. Karena konotasi dan perkembangan yang seperti itu, Harun Nasution keberatan menggunakan istilah modernisasi Islam dalam pengertian di atas ( Azra, Azyumardi :1996)

c.         Revivalisasi

Menurut paham ini, “Pembaharuan adalah “membangkitkan” kembali Islam yang “Murni” sebagaimana pernah dipraktekkan Nabi Muhammmad SAW dan kaum Salaf (Azra, Azyumardi : 1996)

d.        Kebangkitan Kembali (Resugence)

Dalam kamus Oxford, resurgence didefenisikan sebagai “kegiatan yang muncul kembali” ( the act of rising again). Pengertian ini mengandung 3 hal yaitu :

1)        Suatu pandangan dari dalam, suatu cara dalam mana kaum muslimim melihat bertambahnya dampak agama diantara para penganutnya. Islam menjadi penting kembali. Dalam artian, memperoleh kembali prestise dan kehormatan dirinya.

2)        “Kebangkitan kembali” menunjukkan bahwa keadaan tersebut telah terjadi sebelumnya. Jejak hidup Nabi SAW dan para pengikutnya memberikan pengaruh besar terhadap pemikiran orang – orang yang menaruh perhatian pada jalan hidup islam saat ini.

3)        Kebangkitan kembali sesuai suatu konsep, mengandung paham tentang suatu tangtangan, bahkan suatu ancaman terahadap pengikut pandangan – pandangan lain (Muzaffar, Chandra :1988)

Dalam usaha pembaruan ala barat (sekulerisme), usaha pembaruan malah menjadi usaha pendangkalan dan pemusnahan ajaran Islam. Sedangkan pembaruan dimaksud Islam adalah kembali kepada ajaran Islam yang murni dengan tetap menjaga esensi dan karakteristik ajaran Islam.

Periode modern (1800 M dan seterusnya) adalah zaman kebangkitan bagi umat islam. Ketika mesir jatuh ketangan barat (Perancis) serentak mengagetkan sekaligus mengingatkan umat islam bahwa ada peradaban yang maju di barat sana (eropa) dan merupakan ancaman bagi islam. Sehingga menimbulkan keharusan bagi raja-raja islam dan pemuka-pemuka islam itu untuk melakukan pembaharuan dalam islam.

Dalam kenyataanya (ironis memang) selain radiasi modernisasi  yang kuat dari luar, kekeroposan di dalam islam sendiri juga terjadi. Mengakibatkan gerakan-gerakan perlunya pembaharuan dalam islam. Namun, dalam perjalanannya di dalam islam terjadi perbedaan pandangan tentang bagaimana menyikapi dan menindaklanjuti pembaharuan atau modernisasi dalam islam.

Hal sedemikian itu menyebabkan munculnya istilah kaum medernis dan kaum tradisionalis. Basis Islam tradisional dan legitimasi masyarakat kaum Muslim perlahan-lahan berubah sejalan dengan makin disekularkannya ideologi, hukum dan lembaga-lembaga negara. Secara kasat mata terjadi dua sudut pandang yang berbeda, lambat laun terlihat adanya benang merah yang bisa ditarik (muncul titik temu) dari dua pandangan tersebut yang bisa ditarik (tentunya masih menyisakan pandangan yang berbeda pula), yang dimaksud dengan pembaharuan dalam islam, bukan mengubah Al-quran dan Al-hadis, tetapi justru kembali kepada Al-quran dan Al-hadis, sebagai sumber ajaran islam yang utama. Dengan pengamalan-pengamalan yang murni tanpa terkontaminasi paham-paham yang bertentangan dengan Al-quran dan Al-hadis itu sendiri.

Adapun ciri – ciri dari gerakan pembaruhan  dalam islam :

a)      Kepercayaan yang kuat bahwa masyarakat harus ditata atas dasar Al- Qur’an dan As- Sunnah/ Hadist Nabi.

b)      Kebudayaan barat harus ditolak. Meskipun ada yang mau menerima kemajuan – kemajuan barat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi (Muzaffar, Chandra :1988)

Tokoh-tokoh gerakan pembaharuan dalam Islam adalah:

1)        Mesir :

a. Muhammad Ali Pasya; Dengan usahanya menterjemahkan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab.

b. Al-Tahtawi; Berpendapat bahwa penterjemahan buku-buku Barat ke dalam bahasa Arab penting, agar umat Islam dapat mengetahui ilmu-ilmu yang membawa kemajuan Barat. Dia juga aktif mengarang dan menerbitkan surat kabar resmi " الوقا ئع المصرية" dan mendirikan majallah " روضة المدارس" yang bertujuan memajukan bahasa Arab dan menyebarkan ilmu-ilmu pengetahuan modern kepada khalayak ramai. Dia berpendapat bahwa ulama harus mengetahui ilmu-ilmu modern agar mereka dapat menyesuaikan syari’at dengan kebutuhan-kebutuhan modern. Ini mengisyaratkan bahwa pintu ijtihad masih terbuka, tapi dia belum berani mengatakan secara terang-terangan. Dia juga mencela paham fatalisme. Menurutnya, disamping orang harus percaya pada qadha dan kadar Tuhan, ia harus berusaha

c. Jamaluddin Al Afghani; Dengan usahanya mendirikan perkumpulan “Urwatul Wusqo” . Pemikirannya : Islam adalah sesuai untuk semua bangsa, semua zaman dan semua keadaan. Pintu ijtihad masih terbuka, kemunduran Islam karena meninggalkan ajaran Islam yang sebenarnya. Paham qadha dan kadar dirusak oleh  paham fatalisme yang membawa umat Islam pada keadaan statis, lemahnya rasa persaudaraan umat Islam.

d. Muhammad Abduh; Dengan pemikirannya bahwa, kemunduran-kemunduran disebabkan oleh  paham jumud di kalangan umat Islam yaitu keadaan membeku, statis, tidak ada perubahan, dan juga masuknya bid’ah dalam Islam yang membuat umat Islam lupa akan ajaran Islam yang sebenarnya, pintu ijtihad perlu dibuka kembali, memerangi taklid, merubah cara pandang/faham jumud/fatalisme menjadi faham dinamika (kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan).

e. Rasyid Ridha; Dengan usahanya menerbitkan majalah “ Al Manar” yang bertujuan mengadakan pembaharuan dalam bidang agama, sosial dan ekonomi, memberantas takhayul, bid’ah, menghilangkan paham fatalisme. Pemikirannya bahwa umat Islam mundur sebab tidak mengamalkan ajaran yang sebenarnya. Perlu dihidupkan paham jihad, persatuan umat Islam, ijtihad.

2)        Turki

a. Sultan Mahmud II; Dengan mengadakan perubahan : dalam organisasi pemerintahan, bidang pendidikan antara lain menambahkan pengetahuan umum ke dalam kurikulum madrasah, mendirikan sekolah militer, sekolah teknik, kedokteran dan sekolah pembedahan, mengirim siswa-siswa ke Eropa.

b. Tanzimat; Pembaharuan sebagai  lanjutan dari usaha-usaha sultan Mahmud II, dengan tokohnya Mustafa Rasyid Pasya.

c. Usmani muda; Yaitu golongan intelegensia kerajaan Usmani yang banyak menentang kekuasaan absolut Sultan, dengan tokohnya Ziya Pasya.

d.  Turki muda

e. Mustafa Kemal Pasya dengan ide westernisme, sekularisasi, nasionalisme.


3)      India-Pakistan

a. Gerakan mujahidin; Dengan tokohnya sayyid Ahmad Syahid dengan pemikirannya : bahwa umat Islam India mundur karena agama yang mereka anut tidak lagi murni, tetapi bercampur dengan faham dari Persia dan India, Animisme dan adat istiadat Hindu. Yang boleh disembah hanya Tuhan tanpa perantara dan tanpa upacara yang berlebihan, tidak boleh memberikan sifat yang berlebihan pada makhluk, sunnah yang diterima hanyalah sunnah Nabi dan sunnah Khalifah yang empat, dan larangan bid’ah, menentang taklid.

b. Sayyid Ahmad Khan; Dengan pandangan bahwa umat Islam India mundur karena mereka tidak mengikuti perkembangan zaman, harus menghargai kekuatan akal, menentang paham fatalisme, menolak taklid, pendidikan merupakan satu-satunya jalan bagi umat Islam India untuk mencapai kemajuan.

c. Gerakan Aligarh, Sayyid Amir Ali. Muhammad Iqbal, Muhammad Ali Jinnah, Abul Kalam Azad, dll.

4)      Indonesia

a. Salah satunya adalah Muhammadiyah, dengan pemimpinnya KH. Ahmad Dahlan.

 


B.  Tahapan atau Model pembaharuan Islam

Gerakan pembaharuan Islam telah melewati sejarah panjang. Secara historis, perkembangan pembaharuan Islam paling sedikit telah melewati empat tahap. Keempatnya menyajikan model gerakan yang berbeda. Meski demikian, antara satu dengan lainnya dapat dikatakan sebuah keberlangsungan (continuity) daripada pergeseran dan perubahan yang terputus-putus. Hal ini karena gerakan pembaharuan Islam muncul bersamaan dengan fase-fase kemoderenan yang telah cukup lama melanda dunia, yaitu sejak pencerahan pada abad ke-18 dan terus berekspansi hingga sekarang.

Tahap-tahap gerakan pembaharuan Islam itu, dapat dideskripsikan sebagai berikut:

Model pertama, adalah tahap gerakan yang disebut-sebut dengan revalisme pramodernis (premodernism revivalish) atau disebut juga revivalis awal (early revivalish). Model gerakan ini timbul sebagai reaksi atas merosotnya moralitas kakum muslim. Waktu itu masyarakat Islam diliputi oleh kebekuan pemikiran karena terperangkap dalam pola tradisi yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Ciri pertama yang menandai gerakan yang bercorak revivalisme pramodernis ini adalah perhatian yang lebih mendalam dan saksama untuk melakukan transormasi secara mendasar guna mengatasi kemunduran moral dan sosial masyarakat Islam. Transformasi ini tentu saja menuntut adanya dasar-dasar yang kuat, baik dari segi argumentasi maupun kultural. Dasar yang kelak juga dijadikan slogan gerakan adalah “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw”

Reorientasi semacam ini tentu saja tidak hanya menghendaki adanya keharusan untuk melakukan purifikasi atas berbagai pandangan keagamaan. Lebih dari itu, pemikiran dan praktek-praktek yang diduga dapat menyebabkan kemunduran umat juga harus ditinjau kembali. Upaya purifikasi ini tidak hanya membutuhkan keberanian kaum intelektual muslim, tetapi juga mengharuskan adanya ijtihad. Tak heran jika seruan untuk membuka embali pintu ijtihad yang selama ini diasumsikan tertutup diserukan dengan gegap gempita oleh kaum pembaharu. Ciri lain gerakan ini, adalah digunakannya konsep jihad dengan sangat bergairah. Wahhabiyah berangkali merupakan contoh yang paling refresentatif untuk menggambarkan model gerakan ini dalam realitas.

Model kedua, dikenal dengan istilah modernisme klasik. Di sini pembaharuan Islam termanifestasikan dalam pembaharuan lembaga-lembaga pendidikan. Pilihan ini tampaknya didasari argumentasi bahwa lembaga pendidikan merupakan media yang paling efektif untuk mensosialisasikan gagasan-gagasan baru. Pendidikan juga merupakan media untuk “mencetak” generasi baru yang berwawasan luas dan rasional dalam memahami agama sehingga mampu menghadapi tantangan zaman. Model gerakan ini muncul bersamaan dengan penyebaran kolonialisme dan imperialisme Barat yang melanda hampir seluruh dunia Islam. Implikasinya, kaum pembaharu pada tahap ini mempergunakan ide-ide Barat sebagai ukuran kemajuan. Meskipun demikian, bukan berarti pembaru mengabaikan sumber-sumber Islam dalam bentuk seruan yang makin senter untuk kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah Nabi.

Pada tahap ini juga populer ungkapan yang mengatakan bahwa Barat maju karena mengambil kekayaan yang dipancarkan oleh al-Qur’an, sedangkan kaum muslim mundur karena meniggalkan ajaran-ajarannya sendiri. Dalam hubungan ini, model gerakan melancarkan reformasi sosial melalui pendidikan, mempersoalkan kembali peran wanita dalam masyarakat, dan melakukan pembaharuan politik melalui bentuk pemerintahan konstitusional dan perwakilan. Jelas pada tahap kedua ini, terjadi kombinasi-kombinasi yang coba dibuat antara tradisi Islam dengan corak lembaga-lembaga Barat seperti demokrasi, pendidikan wanita dan sebagainya. Meski kombinasi yang dilakukan itu tidak sepenuhnya berhasil, terutama oleh hambatan kolonialisme dan imprealisme yang tidak sepenuhnya menghendaki kebebasan gerakan pembaharuan. Mereka ingin mempertahankan status quo masyarakat Islam pada masa itu agar tetap dengan mudah dapat dikendalikan.

Tahap ketiga, gerakan pembaharuan Islam disebut revivalisme pascamodernis (posmodernist revivalist), atau disebut juga neorevivalist (new revivalist). Pada tahap itu kombinasi-kombinasi tertentu antara Islam dan Barat masih dicobakan. Bahkan ide-ide Barat, terutama di bidang sosial politik, sistem politik, maupun ekonomi, dikemas dengan istilah-istilah Islam. Gerakan –gerakan sosial dan politik yang merupakan aksentusi utama dari tahap ini mulai dilansir dalam bentuk dan cara yang lebih terorganisir. Sekolah dan universitas yang dianggap sebagai lembaga pendidikan modern –untuk dibedakan dengan madrasah yang tradisional- juga dikembangkan. Kaum terpelajar yang mencoba mengikuti pendidikan universitas Barat juga mulai bermunculan. Tak heran jika dalam tahap ini, mulai bermunculan pemikiran-pemikiran sekularistik yang agaknya akan merupakan benih bagi munculnya tahap berikutnya.

Sejalan dengan itu, pada tahap ini muncul pandangan dikalangan muslim, bahwa Islam di samping merupakan agama yang bersifat total, juga mengandung wawasan-wawasan, nilai-nilai dan petunjuk yang bersifat langgeng dan komplit meliputi semua bidang kehidupan. Tampaknya, pandangan ini merupakan respons terhadap kuatnya arus “pemBaratan” di kalangan kaum muslim. Tak heran jika salah satu corak tahap ini adalah memperlihatkan sikap apologi yang berlebihan terhadap Islam dan ajaran-ajarannya.

Dalam ketiga tahap atau model itulah muncul gerakan Tahap keempat yang disebut neomodernisme. Tahap ini sebenarnya masih dalam proses pencarian bentuknya. Meskipun demikian, Fazlur Rahman sebagai “pengibar bendera” neomodernisme menegaskan bahwa  gerakan ini dilancarkan berdasarkan krtik terhadap gerakan-gerakan terdahulu. Menurut Fazlur Rahman, gerakan-gerakan terdahulu hanya mengatasi tantangan Barat secara ad hoc. Karena mengambil begitu saja istilah Barat dan kemudian mengemasnya dengan simbol-simbol Islam tanpa disertai sikap kritis terhadap Barat dan warisan Islam. Dengan sikap kritis, baik terhadap Barat maupun warisan Islam sendiri, maka kaum muslim akan menemukan solusi bagi masa depannya.

C.  Faktor Pendorong Munculnya Gerakan Pembaruhan Islam

Adapun faktor-faktor pendorong pembaharuan Islam diantaranya:

1. Kepercayaan terhadap Barat secara keseluruhan yang dialami oleh generasi baru muslim.

2. Gagalnya system social yang bertumpu pada kapitalisme dan sosialisme.

3. Gaya hidup elit sekuler di Negara – Negara Islam.

4. Hasrat untuk memperoleh kekuasaan diantara segmen kelas menengah yang semakin berkembang yang tidak dapat diakomodasi secara politik.

5. Pencarian keamanan psikologi diantara kaum pendatang baru di daerah perkotaan.

6. Ketahanan ekonomi Negara – Negara Islam tertentu akibat melonjaknya harga minyak.

7. Rasa percaya diri akan masa depan akibat kemenangan Mesir atas Israel tahun 1973, Revolusi Iran 1979, dan fajar kemunculan kembali peradaban Islam abad ke 15 Hijriah ( Mazaffar, Chandra ;1988 )

BAB III

PENUTUP

A.       KESIMPULAN

Islam sebenarnya telah memiliki tradisi pembaharuan karena ketika menemukan masalah baru, kaum muslim segera memberikan jawaban yang didasarkan atas doktrin-doktrin dasar kitab dan sunnah. Pembaharuan Islam bukanlah dimaksudkan untuk mengubah, memodifikasi ataupun merevisi nilai – nilai dan prinsip – prinsip Islam supaya sesuai dengan selera zaman, melainkan lebih berkaitan dengan penafsiran atau interpretasi terhadap ajaran – ajaran dasar agar sesuai dengan kebutuhan perkembangan, serta merupakan aktualisasi ajaran tersebut dalam perkembangan social.

Tahap-tahap gerakan pembaharuan Islam dibagi mejadi 4 model atau tahap: Model pertama, adalah revalisme pramodernis (premodernism revivalish), Model kedua, adalah modernisme klasik, Tahap ketiga, gerakan pembaharuan Islam disebut revivalisme pascamodernis (posmodernist revivalist), Tahap keempat yang disebut neomodernisme.

Adapun faktor-faktor pendorong pembaharuan Islam diantaranya:

1. Kepercayaan terhadap Barat secara keseluruhan yang dialami oleh generasi baru muslim.

2. Gagalnya sistem sosial yang bertumpu pada kapitalisme dan sosialisme.

3. Gaya hidup elit sekuler di Negara – Negara Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Asmui, Yusran. 2001. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan (Dirasah Islamiah III).  Jakarta:Rajawali Pers.

Rahman, Faslur. 2001. Kebangkitan dan Pembaharuan di dalam Islam. Bandung: Penerbit Pustaka.


Page 2