1 Tantangan Pembangunan berbasis Maritim1 (Tinjauan Ekonomi, Pertahanan dan Pendidikan) Winata Wira, SE., M. Ec2 I. Pendahuluan Posisi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia seharusnya menjadi kekuatan penting yang dapat dimaksimalkan dalam pembangunan. Limpahan kekayaan yang terkandung di laut secara utuh---dalam, di dasar maupun di atas permukaan laut--- merupakan potensi ekonomi yang mampu memberikan kontribusi nyata bagi perekonomian nasional. Berbagai kekayaan laut ini sebenarnya telah dieksploitasi dan dimanfaatkan sejak dahulu hingga sekarang baik melalui metode produksi yang tradisional bahkan berbasis teknologi dewasa ini. Sekelompok kalangan meyakini bahwa nilai ekonomis kekayaan sumber daya alam laut melebihi dari kekayaan serupa yang ada di daratan. Bahkan ada yang mengatakan kekayaan yang ada di laut dianggap tidak akan pernah ada habisnya. Tentu saja kalau pendapat ini benar maka paling tidak dapat menepis kekhawatiran kita akan kelangkaan atau hampir punahnya sumber daya yang ada di daratan. Pertanyaannya apakah kekayaan laut tersebut telah mampu didayagunakan sebagai modal pembangunan untuk mencapai kesejahteraan bangsa, atau kalaupun sudah didayagunakan, sudahkah ia berimplikasi positif terhadap kemajuan ekonomi masyarakatnya. Perspektif ekonomi paling sederhana memberikan tuntunan tentang bagaimana suatu ekonomi bekerja dari tiga kondisi dasar yaitu, apa yang harus diproduksi, bagaimana berproduksi dan untuk siapa produksi tersebut. Jawaban dari kombinasi ketiga pertanyaan tersebut dapat dikaitkan dengan kemampuan Indonesia sebagai negara kepulauan, terutama membahas apakah pembangunan hari ini telah menempatkan sektor kelautan sebagai modal pembangunan yang unggul. Dalam istilah lain, memampukan bidang kelautan menjadi sektor pemimpin (leading sector) dalam kegiatan perekonomian nasional. 1 Presentasi dalam rangka menerima kunjungan delegasi Universitas Pertahanan Indonesia di Aula Fakultas Ekonomi UMRAH Kampus Senggarang, Tanjungpinang-KEPRI, 15 November 2011. 2 Alumnus Fakulti Ekonomi dan Perniagaan Universiti Kebangsaan Malaysia, kini mengabdi sebagai salah satu staf pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Maritim Raja Ali Haji (UMRAH) sejak September 2009.
2 Pembangunan identik dengan bagaimana suatu negara dapat menggunakan kapasitas sumber dayanya secara optimal dalam berproduksi, atau paling tidak dalam menyediakan iklim yang kondusif bagi kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif. Produksi sektor kelautan secara kuantitatif barangkali tidak mengalami masalah walaupun kerap ada kesenjangan antara potensi dan realisasi. Namun, apabila ditelaah lebih seksama pada isu peruntukan manfaat, maka sektor kelautan kelihatan mengalami gangguan terutama pada tataran bagaimana dan siapa yang berproduksi. Hal ini sedikitnya dapat menjelaskan kenyataan tentang ketimpangan sosial ekonomi antara penduduk di wilayah daratan dengan kepulauan, atau secara makro mengapa kontribusi sektor kelautan masih kurang signifikan dibandingkan dengan sektor-sektor lain dalam pembentukan PDB. 3 Dalam skala yang lebih luas, isu peruntukan manfaat ini juga berkaitan dengan faktor-faktor lain seperti daya saing domestik dan kapasitas sumber daya manusia (SDM) bidang kelautan yang rendah. Kalau harus membuat perbandingan, maka barangkali Indonesia boleh jadi salah satu dari sedikit negara di dunia yang sangat beruntung karena warisan kekayaan alamnya yang berlimpah ruah, di darat maupun di laut. Kita juga patut bersyukur berkat warisan perjuangan para diplomat ulung Indonesia, maka konsepsi negara kepulauan Indonesia diakui secara luas di dunia internasional melalui Konvensi Hukum Laut Internasional (UNCLOS)4. Deklarasi UNCLOS III yang mengukuhkan eksistensi Indonesia sebagai negara Kepulauan patut disyukuri karena hal tersebut secara substansial berdampak pada semakin luasnya klaim wilayah laut yang dimiliki oleh Indonesia. Saat ini Indonesia memiliki luas laut sebesar 5,8 Juta km² yang terdiri dari Laut Territorial dengan luas 0.8 juta km2, Laut Nusantara seluas 2.3 juta km2 dan Zona Ekonomi Eksklusif seluas 2,7 juta km2. Di samping itu, Indonesia memiliki pulau sebanyak kurang lebih 17.480 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km. Dengan keunggulan sebagai negara kepulauan, wajar sekali jika pembangunan ekonomi yang diharapkan dapat bertumpu pada sektor kelautan. 3 Laporan Workshop National Ocean Summit (Departemen Kelautan dan Perikanan : 2007) menyebutkan kontribusi tiga sub-sektor utama kelautan terhadap PBD diantaranya, pelayaran sebesar 1, 64 %, perikanan 2,7 % dan pariwisata bahari 2,16 %. Laode amaluddin (2005) mencatat hanya 3 % dari total PDB atau senilai Rp. 47 triliun dari sumbangan sektor maritim pada tahun 2002. 4 Konvensi Hukum Laut 1982 atau lebih dikenal sebagai sebagai UNCLOS III (United Nations Convention on the Law of the Sea) karena dihasilkan melalui Konferensi Hukum Laut III yang diselenggarakan oleh PBB sejak 1973-1982. UNCLOS III dinyatakan berlaku sejak tahun 1995 karena telah ditandatangai oleh 100 dari 125 negara peserta Konferensi.
3 Dengan kekayaan laut yang sangat melimpah, ironisnya pembangunan ekonomi nasional masih belum mampu memberikan dampak positif yang kuat terhadap kesejahteraan masyarakat. Gambaran nyata kondisi ini sejalan dengan pendapat bahwa pengelolaan sektor kelautan belum digarap dengan penuh perhatian dan kemauan. Ironisme paling kentara terlihat pada potret sebagian besar nelayan Indonesia yang masih bergelut dengan kemiskinan padahal produksi perikanan terus mengalami peningkatan. Daya saing domestik lemah menyebabkan kegiatan pengangkutan (transportasi laut) maupun eksploitasi sumber daya mineral di wilayah perairan nasional masih lebih banyak dilakukan oleh pihak asing. Kekalahan dalam kompetisi ekonomi berbasis maritim juga terjadi di sektor industri dan jasa kelautan mulai dari hulu (upstream) maupun hilir (downstream). Laode (2005) mencatat adanya beberapa faktor yang melemahkan pembangunan sektor maritim (kelautan) di Indonesia. Diantaranya, pertama, belum adanya terobosan kebijakan yang mampu mengikat dan memayungi instrumen ekonomi maritim, seperti sektor perikanan, pertambangan dan energi lepas pantai, pariwisata bahari, transportasi laut dan kepelabuhanan, serta sumber daya manusia di sektor maritim. Dampaknya, persepsi tentang ekonomi maritim secara kelembagaan masih sangat parsial, sehingga tolok ukur ekonomi maritim dilihat hanya dari satu organisasi departemen saja yaitu Departemen (Kementerian) Perikanan. Padahal dari segi tupoksi dan kewenangan, kapabilitas departemen ini sangat terbatas untuk mengakomodir urusan lintas sektoral dan instansi kelembagaan pemerintah lainnya dalam mengembangkan ekonomi maritim. Kedua, kebijakan maritim tidak menjadi payung politik bagi pembangunan ekonomi sehingga kelembagaan yang terlibat dalam sektor maritim juga akan mengalami disorientasi. Padahal kepentingan kolektif maritim perlu diorganisir secara terpadu. Untuk itu, negara perlu berani menegaskan kebijakan maritim sebagai platform pembangunan ekonomi. Ketiga, terjadinya backwash effect secara massive yang menempatkan sektor maritim khususnya perikanan sebagai sektor pengurasan sebagai akibat dari tingkat kebocoran sektoral (sectoral leakages) yang terjadi sehingga menyebabkan sektor perikanan menjadi kerdil dan marjinal. Kebocoran sektoral ini dimaknai dalam dua hal : (1) hubungan antara pemilik kapal dengan nelayan, yang cenderung menempatkan pemilik kapal sebagai pihak yang menikmati benefit lebih banyak dari pada nelayan yang hanya memenuhi standar hidup minimum kebutuhannya; dan (2)
4 feedback nilai ekonomi perikanan terhadap perbaikan infrastruktur publik di komunitas nelayan sulit terjadi. Keempat, faktor Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diharapkan menjadi saluran membagi kemakmuran secara adil nampaknya masih sulit diwujudkan karena wajah APBN yang continental oriented, dan selalu menempatkan sektor maritim termasuk provinsi berbasis maritim dan pulau-pulau kecilnya, termarjinalisasi dalam pembagian sarana dan prasarana pembangunan. Kepemimpinan dengan visi yang kuat kepada pembangunan berbasis maritim diyakini dapat menjadi jalan keluar untuk mempercepat kemajuan ekonomi nasional. Hal ini sejalan dengan realitas yang mendera sektor sumber daya daratan yang dari waktu ke waktu dapat mengalami penurunan nilai ekonomi. Fenomena kompetisi yang semakin padat terhadap perburuan rente ekonomi di daratan cenderung semakin meningkat seiring dengan adanya pertambahan penduduk. Konflik kepentingan yang eksesif terhadap penguasaan sumber daya di daratan juga telah menyebabkan ketidakseimbangan ekologis yang mengkhawatirkan, yang berujung pada tingginya intensitas bencana alam di daratan seperti banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan, polusi udara dan wabah penyakit (Laode, ibid). Oleh karena itu, tersedianya potensi ekonomi laut yang belum digarap dengan maksimal menjadi tantangan strategis yang harus dijawab. II. Pembangunan Ekonomi Maritim (Kelautan) Keprihatinan terhadap sektor kelautan nasional mengharuskan adanya kebijakan strategis untuk mempercepat pengembangan keunggulan di berbagai sub- sektor kelautan. Kesadaran terhadap pergeseran paradigma pembangunan yang berorientasi kontinental (land-based development) kepada orientasi laut (ocean-based development) semestinya dapat diwujudkan dalam bentuk dukungan kebijakan yang bersifat komprehensif dan konkrit, sistematis, tidak parsial apalagi sporadis. Ekonomi kelautan atau berbasis kemaritiman tidak lagi dijadikan sektor pinggiran, melainkan sebagai arus utama dalam kebijakan pembangunan. Pola pikir pembangunan yang selama ini terlalu dominan secara kontinental nyata-nyata tidak mampu membawa kesejahteraan oleh karena itu diperlukan kepemimpinan yang berani untuk mengaktualisasikan reorientasi semangat kelautan dalam kebijakan-kebijakan strategis
5 pembangunan. Dengan demikian, kebangkitan ekonomi maritim tidak lagi menjadi sekedar jargon di setiap pergantian pemerintahan. 5 Menurut Sadono Sukirno (2006), pembangunan ekonomi diartikan sebagai serangkaian usaha dalam suatu perekonomian untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak tersedia, perusahaan semakin banyak dan semakin berkembang, taraf pendidikan semakin tinggi dan teknologi semakin meningkat. Sebagai implikasi dari perkembangan ini, diharapkan kesempatan kerja akan bertambah, tingkat pendidikan meningkat, dan kemakmuran masyarakat menjadi semakin tinggi. Pembangunan ekonomi maritim dapat dimaknai secara paralel dengan tinjauan perspektif yang diberikan di atas. Dalam definisi yang lebih kontekstual, pembangunan ekonomi maritim ingin menjadikan kekayaan potensi kemaritiman sebagai landasan untuk mengadakan ketersediaan infrastruktur yang berkualitas terutama di sektor kemaritiman sehingga iklim bisnis dan investasi maritim yang baik akan berkembang. Dengan sendirinya, pembangunan ekonomi maritim juga akan membawa industri pada kebutuhan akan sumber daya manusia kemaritiman dan inovasi teknologi yang berbasis pada pendidikan kemaritiman yang unggul dan modern. Jika proses ini dapat berlangsung, maka pembangunan ekonomi maritim dipastikan akan dapat membawa masyarakat ke arah kemakmuran. Sejalan dengan itu, institusi pendidikan di tanah air hari ini diharapkan menjadi garda terdepan dalam menjawab tantangan pembangunan ekonomi di bidang kemaritiman. Rokhmin Dahuri dalam Potensi Ekonomi Kelautan (Republika, 13 Desember 2005) , menambahkan pembangunan kelautan hendaknya diarahkan untuk meraih empat tujuan secara seimbang, yakni: (1) pertumbuhan ekonomi tinggi secara berkelanjutan; (2) peningkatan kesejahteraan seluruh pelaku usaha, khususnya para nelayan, pembudidaya ikan, dan masyarakat kelautan lainnya yang berskala kecil; (3) terpeliharanya kelestarian lingkungan dan sumberdaya kelautan; (4) menjadikan laut sebagai pemersatu dan tegaknya kedaulatan bangsa. 5 Kesadaran kembali ke laut (maritime spirit) dimaknai sebagai bagian dari reformasi dimana pemerintahan secara transisi yang diemban oleh Presiden BJ Habibie menyatakan Deklarasi Bunaken sebagai momentum dimulainya visi pembangunan nasional yang berorintasi ke laut. Presiden berikutnya K.H. Abdurrahman Wahid untuk pertama kalinya dalam sejarah kabinet membentuk Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan dan melantik perwira tinggi TNI-AL Laksamana Widodo AS sebagai Panglima TNI untuk pertama kalinya dalam sejarah militer sejak berkuasanya Orde Baru selama 32 tahun. Tahun 2001, dilanjutkan oleh Megawati Soekarnopoetri dengan Seruan Sunda Kelapa dan dicanangkannya Program Gerbang Mina Bahari di Gorontalo. Terakhir SBY melalui Program Revitalisasi Pertanian dimana sektor perikanan dimasukkan sebagai salah satu sub-sektor Pertanian unggulan untuk mempercepat pembangunan ekonomi.
6 Secara normatif, penulis ingin menambahkan bahwa pembangunan ekonomi maritim harus pula diartikulasikan sebagai pendekatan kebijakan pembangunan yang di-implementasikan oleh negara secara sistematis dan komprehensif dengan mendayagunakan seluruh potensi laut baik dengan kekayaan sumber daya hayati, sumber daya non hayati , energi kelautan maupun jasa lingkungan yang dimilikinya. Menempatkan ekonomi maritim sebagai arus utama dalam kegiatan ekonomi pembangunan juga mengharuskan kepemimpinan negara ini berani melakukan terobosan walaupun boleh jadi membawa tensi perubahan yang drastis, progresif , dan jika perlu radikal. Apridar (2011) mengindikasikan paling tidak salah satu tantangan substansial dalam upaya menjadikan ekonomi maritim (kelautan) sebagai basis pembangunan nasional dengan implikasinya pada pelbagai nomenklatur , kebijakan politik anggaran, maupun peraturan perundangan di Indonesia. Membangun ekonomi maritim dalam format yang berani sebagaimana yang penulis ajukan di atas sebenarnya bukanlah tantangan sulit yang harus dihindari jika bangsa ini mau berangkat dari visi (keyakinan) maritim yang kuat. Bukankah sejarah bangsa ini adalah bangsa bahari ? Warisan kultural sebagai bangsa bahari merupakan entitas penting dalam mewujudkan pembangunan ekonomi maritim yang unggul dan berdaya saing. Namun , tanpa keberanian aksi yang nyata, bukan tidak mungkin warisan kultural sebagai bangsa bahari pun bisa jadi hanya tinggal kenangan di masa- masa mendatang. Bak lagu : “Nenek Moyangku Seorang Pelaut”. Padahal, pembangunan maritim Indonesia sebenarnya merupakan pengulangan sejarah dari kejayaan maritim nusantara yang terhenti akibat pembangunan yang terlalu ber-visi kontinental (Laode, ibid). Sebagai perbandingan, negara-negara yang berhasil menjadikan sektor maritimnya sebagai tulang punggung ekonomi nasional kini justru berhasil menjadi negara yang (mendekati) maju. Contoh terdekat adalah Singapura, Malaysia dan banyak negara Eropa yang unggul dalam memanfaatkan sektor kelautan sebagai basis perekonomiannya. Referensi lain tentang pendekatan kebijakan maritim yang progresif bahkan radikal ditempuh oleh Korea Selatan. Negara ini diakui sebagai salah satu negara maritim terkuat di Asia hari ini karena berani melakukan terobosan kebijakan kemaritimannya terutama pada tataran kelembagaan yang dianggap sebagai faktor
7 elementer pembangunan. Dalam Seung-Jun Kwak,. et al (2004)6, Korea Selatan sejak tahun 1996 telah melebur berbagai fungsi di sektor kemaritiman yang selama ini terpencar di tiga belas kementerian di bawah satu lembaga kementerian yang diberi nama Kementerian Urusan Maritim dan Perikanan (the Korean Ministry of Maritime Affairs and Fisheries (MOMAF). Hasilnya, sejak tahun 1998, industri maritim Korea telah menjadi yang terbaik ke-10 di dunia, dengan prestasi terbaik di dunia dalam hal volume kapasitas pesanan pada industri galangan kapal, tercatat sebagai yang ke-6 di dunia dalam perdagangan kargo di laut, dan kapasitas kapal terbesar ke-8 serta produsen perikanan terbesar ke-11 di dunia. Pencapaian ini tentu saja berangkat dari visi (keyakinan) yang kuat. Bagaimana dengan Indonesia ? Laporan dari Workshop National Ocean Summit 2007 berikut ini dapat disimak. Pertama, dari sektor pelayaran. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, industri pelayaran merupakan infrastruktur dan tulang punggung (backbone) kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun demikian, industri pelayaran nasional saat ini dalam kondisi terpuruk. Kontribusi sektor industri pelayaran terhadap PDB baru sekitar 1,64 %. Selain itu sebesar 96,6 % muatan angkatan laut asing dan 46,8 % muatan angkutan laut dalam negeri dikuasai oleh kapal berbendera asing. Akibatnya setiap tahun Indonesia membayar kapal asing Rp. 100 Triliun dan menghasilkan defisit pada transaksi berjalan, yaitu membayar jasa kepada kapal luar negeri lebih besar ketimbang mendapat penerimaan dari komoditi yang diekspor. Ditinjau dari segi daya saing, pangsa muatan armada kapal nasional sangat rendah, yaitu sekitar 5 % untuk internasional dan 46 % untuk dalam negeri. Industri galangan kapal, yang sebenarnya sangat strategis karena mempunyai rantai hulu-hilir yang panjang, hingga saat ini belum berkembang. Sistem pelabuhan, saat ini hanya berperan sebagai cabang atau ranting dari Singapura atau pelabuhan luar negeri lainnya serta pelayanannya masih tidak efisien, tidak aman, dan tidak produktif. Daya saing sumberdaya manusia pelayaran, baik pelaut maupun sumberdaya manusia di industri pelayaran masih relatif rendah. Kedua, dari sektor perikanan. Potensi industri perikanan Indonesia sangat besar, dan sepatutnya Indonesia menjadi negara industri perikanan terbesar di Asia. Namun demikian kontribusi sektor perikanan terhadap PDB masih belum berarti, hanya sekitar 2,7%. Nelayan dan pembudidaya ikan masih merupakan kelompok termiskin. 6 Dalam The Role of the Maritime Industry in the Korean National Economy : an input-output analysis (2004), Marine Policy.
8 Armada kapal ikan bermotor yang dapat mencapai ZEEI juga masih sedikit, dan pertambahan kapal ikan sangat kurang berarti dibandingkan dengan ribuan kapal asing yang diduga melakukan illegal fishing di perairan dan yurisdiksi Indonesia. Pertambahan kawasan budidaya perikananpun masih sangat kurang dan tidak signifikan. Demikian pula kawasan-kawasan industri pengelolaan ikan belum terbangun. Bahkan lebih dari separuh sarana dan prasarana pelabuhan perikanan tidak difungsikan. Ketiga, dari sektor pariwisata bahari. Pengembangan pariwisata bahari diyakini dapat mempunyai efek berganda (multiplier effect) yang dapat menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, mendatangkan devisa bagi negara, dan dapat mendorong konservasi lingkungan. Selain itu pengembangan pariwisata bahari sebenarnya mempunyai dampak positif untuk tumbuh-bangkitnya jiwa dan budaya bahari yang dengan itu dapat memberikan efek berganda dalam mendorong terwujudnya negara maritim yang tangguh. Namun demikian hingga saat ini pariwisata kelautan nasional belum berkembang yang ditunjukan oleh kontribusi terhadap PDB masih sangat kecil, yaitu sebesar 2,16 % (2002). Rangkaian calendar event dan object (kawasan tujuan) pariwisata kelautan nusantara belum terbangun. Industri hulu-hilir pariwisata kelautan termasuk multimoda transportasi dan jasa hospitality juga belum berkembang. III. Pengembangan Sumber Daya Manusia Maritim Sumberdaya manusia adalah merupakan bagian terpenting dalam pembangunan, sehingga peningkatan kemampuan sumberdaya manusia dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut mutlak diprioritaskan oleh setiap daerah yang menjadikan pesisir dan laut sebagai tumpuan pertumbuhan daerah. Oleh karena itu, salah satu faktor penting menggerakkan roda ekonomi yang bersumber dari laut bagi suatu negara adalah ketersediaan sumber daya manusia yang andal dan profesional di sektor maritim (Laode, 2002). Di era global seperti sekarang ini, persaingan semakin kompetitif dank arena itu dukungan profesionalisme sangat dibutuhkan. Di samping demi perkembangan industri di sektor maritim, profesionalisme juga akan memberikan keunggulan tersendiri bagi individu yang bekerja pada sektor tersebut, dan di sektor manapun, karena individu tersebut akan lebih dihargai dan secara langsung akan meningkatkan pendapatan. Pendapatan yang tinggi ini akan berefek ganda, karena
9 pertama, adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat; dan kedua, pada skala ekonomi luas akan mendorong peningkatan daya beli masyarakat secara nasional (Laode, ibid). Lemahnya kapasitas sumber daya manusia Indonesia di bidang maritim diduga berkaitan dengan sistem pendidikan yang yang diterapkan selema ini. Secara terminologis, seluruh rakyat Indonesia dapat dikatakan sebagai SDM Maritim, namun SDM Maritim yang perlu di bentuk dan dirubah paradigmanya (cara pandangnya dari land based sosio economic development menjadi marine sosio economic development). Untuk itu, pemerintah melalui para aparaturnya diharapkan mampu merumuskan kebijakan tentang manajemen kelautan dan kemaritiman yang tepat guna menghasilkan SDM maritim yang memenuhi kualifikasi (Laporan Akhir Perumusan Kebijakan SDM Maritim, Departemen Kelautan dan Perikanan, 2006). Berdasarkan data olahan sebagaimana dikutip dari Laode Kamalauddin (Pembangunan Ekonomi Maritim di Indonesia, 2002) , para naker yang bekerja di sektor maritim dapat dikelompokkan menjadi tujuh kategori, diantaranya : (1) sebagai pelaut kapal niaga domestik maupun asing; (2) sebagai penangkap ikan di kapal domestik maupun asing; (3) sebagai pelaut pada pelayaran rakyat; dan (4) nelayan; (5) tenaga kerja pada eksplorasi laut lepas pantai; (6) karyawan yang bekerja di ekoturisme; dan (7) karyawan di bidang kepelabuhanan. Data Laode menyebutkan paling total pendapatan yang diperoleh dari seluruh kegiatan ini dapat mencapai sebesar Rp. 12, 7 triliun. Namun, sebenarnya pendapatan yang dihasilkan oleh SDM ini masih akan terus meningkat dengan asumsi pertama, apabila jumlah naker profesional bertambah melalui pendidikan kepelautan dan pendidikan kemampuan tenaga ahli dalam negeri pada eksplorasi laut. Kedua, adanya penambahan jumlah kapal penangkapan, kapal penumpang maupun kargo laut. Ketiga, pengurangan tenaga kerja asing. Keempat, peningkatan kemampuan dan modernisasi peralatan nelayan dan pelayaran rakyat. Kelima , pendidikan kepelautan yang profesional seperti penyiapan nakhoda yang andal (Laode, ibid). Indonesia bukan tidak mungkin dapat berkembang sebagai bangsa maritim yang besar jika ditinjau dari segi SDM-nya. Data hasil olahan tahun 2001 dari statistik International Seafarers Suppliers, sebagaimana dikutip oleh Laode dari PT. Multi Kreasi
10 Senalaut Services menempatkan Indonesia pada urutan ketiga dalam sepuluh negara penyedia pelaut dunia. Ditopang oleh asumsi pasar kerja di bidang maritim yang terus berkembang, mengingat sektor maritim memiliki keterkaitan multi sektoral yang sangat kuat maka potensi pengembangan SDM di bidang kemaritiman diharapkan dapat berjalan lebih maksimal. Keterkaitan sektor maritim yang kuat dengan sektor-sektor lainnya, misalkan selain sebagai salah satu produsen SDA hayati, juga sebagai moda transportasi yang menunjang produktivitas industri lainnya yang berbasis di daratan. Hal ini dikarenakan perkembangan padat industri di daratan juga bergantung pada efisiensi transportasi laut (kargo) sebagai jalur distribusi barang yang masih paling banyak dipakai di dunia hingga saat ini. Secara tidak langsung, pesatnya industri yang berbasis di darat juga berakibat pada tingginya permintaan pengangkutan kargo melalui laut dan pasar kerja di bidang pelayaran niaga juga ikut berkembang. IV. Perspektif Pertahanan dan Keamanan (Hankam) dalam Menunjang Ekonomi Maritim Isu lain yang tidak kalah penting dalam membincangkan permasalahan ekonomi maritim dalam ruang geografis suatu negara adalah tersedianya infrastruktur dan suprastruktur pertahanan dan keamanan maritim yang memadai. Kekuatan pertahanan dan keamanan maritim dapat dijadikan sebagai salah satu kata kunci yang perlu diadakan, bahkan ditingkatkan dari waktu ke waktu mengingat kompetisi sumber daya ekonomi di laut kini bukan saja melibatkan antar negara, namun juga berpotensi berhadapan dengan agen-agen ekonomi informal yang memiliki potensi fisik menganggu sistem pertahanan dan keamanan di Indonesia. Menurut Connie Rahakundini (2010), pertahanan negara adalah segala usaha untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan, bangsa dan negara. Belakangan, tekanan untuk meningkatkan kapasitas pertahanan dan keamanan maritim kian berkembang dengan bertambahnya kasus-kasus kerawanan keamanan di laut seperti terorisme, pencurian ikan melalui kapal yang dilengkapi dengan persenjataan, maupun juga kasus-kasus pembajakan yang sering terjadi di luar yurisdiksi maritim Indonesia. Pengembangan ekonomi maritim tidak dapat terpisah dari penguatan kapasitas institusi pertahanan dan keamanan maritim di laut. Sederhananya, pembangunan ekonomi maritim bisa berjalan lebih optimal jika pemanfaatan sumber daya laut dibarengi dengan kapasitas pengamanannya. Dua kata
11 kunci ini saling terkait antara satu dengan lainnya. Tidak mungkin potensi ekonomi maritim dapat dimanfaatkan apabila di lain pihak ia tidak mampu diberikan pengamanan yang memadai. Sistem pertahanan dan keamanan di laut sangat penting dan menjadi perhatian kita bersama, karena dua hal yang sangat mendasarinya. Pertama, karena laut berkaitan dengan kedaulatan negara Indonesia, maka batas-batas wilayah laut dengan negara lain yang tercakup dalam ZEE Indonesia harus secara tegas dipertahankan dan diamankan oleh segenap komponen bangsa Indonesia sendiri. Kedua, karena di dalam lautan yang luas itu terdapat berbagai kejayaan maritim yang diperkirakan dapat menjadi bagian masa depan bangsa. Karena itu, kita semua wajib mengamankan dan menjaganya secara ketat dari gangguan dan kerusakan. (Laode, ibid). Tantangan penanganan isu keamanan maritim di laut sesungguhnya lebih kompleks. Menurut SM Darodjatim (2009), hal ini tidak lain dikarenakan adanya persinggungan rezim hukum laut nasional dan hukum internasional yang membuat harus dibedakan menurut rezim hukum yang berlaku. Laut tidak dapat diduduki secara peremane atau dikuasai secara mutlak, namun hanya dapat dikendalikan dalam jangka waktu tertentu. Terdapat dua dimensi pemahaman dalam penegakan kedaulatan di laut, yaitu dimensi kedaulatan negara (sovereignty) dan dimensi hak berdaulat (sovereign rigt). Menurut UNCLOS 1982 , definisi kedaulatan negara dapat dijelaskan sebagai kekuasaan tertinggi pada negara untuk melakukan suatu tindakan yang dianggap perlu demi kepentingan nasional negara berdasarkan hukum nasional dengan memperhatikan hukum laut internasional. Kedaulatan negara meliputi kedaulatan atas wilayah, kedaulatan atas kepentingan nasional lainnya serta kedaulatan atas pengawasan terhadap kegiatan di dalam wilayah negara. Oleh karena itu, negara memiliki hak/wewenang mengatur/membuat peraturan hukum (legislation), mengawasi berlakunya peraturan (control) dan menegakkan peraturan/hukum yang berlaku (law enforcement) demi kepentingan bangsa dan negara. Selain itu, perlu pula difahami bahwa keamanan laut bukan hanya penegakan hukum di laut atau lebih tegasnya lagi keamanan laut tidak sama dengan penegakan hukum di laut karena keamanan laut memiliki dimensi yang jauh lebih luas dari pada aspek aplikasi hukum semata. Dimensi keamanan laut mengandung pengertian bahwa laut aman digunakan dan bebas dari ancaman atau gangguan terhadap aktivitas penggunaan atau pemanfaatan laut yang mencakupi : (1) laut bebas dari ancaman
12 kekerasan (free from violence); (2) laut bebas dari ancaman navigasi (free from navigational hazard); (3) laut bebas dari ancaman terhadap lingkungan dan sumber daya laut (free from natural resources tribulation); dan (4) laut bebas dari ancaman pelanggaran hukum (free from criminal act). Karakteristik kebutuhan akan profil pertahanan di laut semestinya diperlakukan secara berbeda dengan di daratan. Pembangunan yang bervisi maritim dengan sendirinya juga akan menuntut pengembangan infrastruktur dan suprastruktur pertahanan laut yang memadai (berkualitas). Dengan didominasi oleh hampir 75 % wilayah lautan, adalah wajar jika negara menempatkan perhatian pada organisasi pertahanan di laut lebih besar dari pada pertahanan di darat. Dalam konteks pembangunan bervisi maritim sudah pasti profil organisasi pertahanan negara juga harus lebih didominasi oleh karakteristik kemaritiman. Secara anggaran, perlakuan negara terhadap organisasi aparatur militer di laut sudah semestinya lebih baik. Menurut data APBN pada tahun 2005 dan 20067, anggaran pertahanan yang diperuntukkan bagi TNI-AL berada di urutan kedua setelah TNI-AD. Padahal kebutuhan anggaran pertahanan militer di laut sebenarnya jauh lebih besar dibandingkan dengan di darat. Menurut Connie (2010), justru kekuatan TNI-AL secara prinsip berbasis pada kekuatan alat utama sistem pertahanan (alutsista) bukan pada kekuatan personel seperti halnya Angkatan Darat. Karakteristik AL yang sangat bergantung pada teknologi identik dengan basis kekuatan Angkatan Udara. Ditambahkan Connie, dengan grand strategy sebagai negeri berwawasan maritim akan berdampak pada penekanan postur TNI AL yang kuat secara internasional, maka nilai rata-rata Asia Pasifik digunakan sebagai patokan jumlah kebutuhan kapal pendukung yang harus dimiliki oleh TNI AL. *Sekian. BAHAN BACAAN Kamaluddin, Laode. (2005); Indonesia sebagai Negara Maritim dari Sudut Pandang Ekonomi, UMM Press, Malang. 7 Data olahan dari Yuddy Chrisnandi, mantan anggota DPR-RI, bidang Hukum dan Pertahanan dalam DISKUSI “Dilema Politik Anggaran Pertahanan” , di Hotel Santika Jakarta , 4 September 2007. Tahun 2005 anggaran TNI-AL sebesar 3, 2 triliun dibandingkan dengan TNI-AD yang mencapai 9,08 triliun. Tahun 2006 anggaran TNI-AL senilai 4, 3 triliun , masih lebih kecil dibandingkan dengan TNI-AD yang berjumlah 10,92 triliun.
13 Kamaluddin, Laode. (2002); Pembangunan Ekonomi Maritim di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Sukirno, Sadono, (2007); Ekonomi Pembangunan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Darodjatim, S.M (2009); Ketertiban dan Keamanan Laut di Provinsi Kepulauan Riau, dalam Pendidikan dan Pembangunan Berbasis Maritim, UR Press, Pekanbaru. Rahakundini, Connie (2010); Strategi Pertahanan Negeri Maritim dan Tegaknya Kedaulatan NKRI, presentasi untuk Universitas Indonesia-Indonesia Maritime Institute, Balai Kartini, Jakarta. |