Sultan sultan dari kerajaan Samudera Pasai yang mendukung pendidikan agama Islam adalah

tirto.id - Sejarah mencatat, Kesultanan Samudera Pasai merupakan kerajaan Islam pertama di Nusantara yang eksis sejak abad ke-13 hingga abad ke-16 Masehi. Berdiri tahun 1267 dan berakhir pada 1521, Samudera Pasai telah merasakan masa kejayaan serta meninggalkan jejak melalui beberapa peninggalan.

Samudera Pasai terletak di pesisir utara Sumatera, dekat Lhokseumawe, Aceh, tak jauh dari Selat Malaka. Menurut Hasan Muarif Ambary melalui tulisan “Peranan Beberapa Bandar Utama di Sumatera Abad 7-16 M dalam Jalur Sutera Melalui Lautan” terhimpun dalam Kalpataru: Majalah Arkeologi, Selat Malaka adalah jalur perdagangan ke Persia, Arab, India, dan Cina.

Dari kondisi lingkungan yang dekat dengan laut, maka Kerajaan Samudera Pasai memenuhi kebutuhan ekonomi dengan menjadi pusat dagang. Banyak saudagar dari berbagai negeri, baik di wilayah Nusantara maupun bangsa-bangsa asing, yang singgah untuk berniaga.

Pendiri Kerajaan Samudera Pasai

Beberapa referensi menyebut Nazimuddin al-Kamil sebagai penggagas awal berdirinya Kerajaan Samudera Pasai pada abad ke-13 M. Dikutip dari Sejarah 8: Kerajaan Terbesar di Indonesia (2021) yang disusun Siti Nur Aidah, Nazimuddin Al Kamil merupakan seorang laksamana laut dari Mesir. Tahun 1238 M, Nazimuddin al-Kamil diperintahkan oleh Kesultanan Mamluk yang berpusat di Kairo untuk merebut pelabuhan Kambayat di Gujarat (India) untuk dijadikan sebagai tempat pemasaran barang-barang perdagangan dari timur.Konon, Nazimuddin al-Kamil inilah yang kemudian mengangkat Marah Silu (Meurah Silu) sebagai pemimpin pertama Kerajaan Samudera Pasai di Aceh yang kemudian bergelar Sultan Malik al-Saleh atau Sultan Malikussaleh (1267-1297 M).

Meski demikian, Marah Silu yang tetap diakui sebagai pendiri sekaligus penguasa pertama Kerajaan Samudera Pasai.

Dikutip dari Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh (2006) karya Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo, kesultanan ini pernah menguasai perdagangan di Selat Malaka dan menjadi sentrum penyebaran Islam di Nusantara.


Masa Kejayaan

Kesultanan Samudera Pasai mencapai masa kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Al-Malik az-Zahir II yang bertakhta hingga tahun 1349 Masehi. Dikutip dari situs resmi Pemerintah Provinsi Aceh, Ibnu Bathutah pernah mengunjungi Samudera Pasai pada era ini.Samudera Pasai berdagang lada sebagai komoditas utamanya dan berperan sebagai bandar dagang besar saat itu. Bahkan, kerajaan Islam ini mengeluarkan bentuk alat tukar berupa koin emas (dirham) dengan komposisi emas murni 70 persen. Selain jaya karena perdagangan, kerajaan maritim ini juga menjadi pusat penyebaran agama Islam karena letaknya yang strategis dan mudah dikunjungi orang-orang dari berbagai tempat.Sempat mendapat serangan dari Kerajaan Majapahit, Samudera Pasai kembali merengkuh masa keemasan pada era pemerintahan sosok pemimpin perempuan bergelar Sultanah Malikah Nahrasyiyah (1406-1428).Sultan perempuan pertama di tanah Aceh ini mampu membangkitkan Samudera Pasai dari trauma akibat serangan Majapahit pada pertengahan abad ke-14 atau sebelum Mahapatih Gajah Mada tutup usia.

Dalam buku Wali Songo dengan Perkembangan Islam di Nusantara (1993) karya Abdul Halim Bashah, disebutkan, SultanahNahrasyiyah berperan besar dalam memajukan Samudera Pasai, termasuk menjadikannya sebagai pusat perkembangan agama Islam yang besar dan kuat.


Jejak Peninggalan

Menurut R.S. Wick dalam Money, Markets, and Trade in Early Southeast Asia (1992), Kerajaan Samudera Pasai meninggalkan jejak sejarah melalui penemuan beberapa makam bertuliskan nama sultan, juga koin dengan bahan emas serta perak sebagai alat transaksi pada zamannya. Sejalan dengan pendapat itu, terdapat beberapa bukti arkeologis yang bisa menjelaskan keberadaan Samudera Pasai, salah satunya makam raja-raja Pasai di Desa Geudong, Aceh Utara. Nama-nama raja yang tercantum di makam yang dekat dengan bekas runtuhan kerajaan Islam ini adalah Sultan Malik al-Shaleh, Sultan Malik az-Zahir, Teungku Sidi Abdullah Tajul Nillah, Teungku Peuet Ploh, dan Ratu Al-Aqla.

Masih ada peninggalan Kerajaan Samudera Pasai lainnya seperti lonceng Cakra Donya, stempel khas kerajaan, serta karya tulis seperti Hikayat Raja Pasai dan buku Tasawuf Durru al-Manzum.


Daftar Penguasa Samudera Pasai

  • Sultan Malik al-Saleh/Marah Silu (1267-1297)
  • Sultan Malik az-Zahir I/Muhammad I (1297-1326)
  • Sultan Ahmad I (Sejak 1326)
  • Sultan Al-Malik az-Zahir II (Hingga 1349)
  • Sultan Zainal Abidin I (1349-1406)
  • Sultanah Malikah Nahrasiyah (1406-1428)
  • Sultan Zainal Abidin II (1428-1438)
  • Sultan Shalahuddin (1438-1462)
  • Sultan Ahmad II (1462-1464)
  • Sultan Abu Zaid Ahmad III (1464-1466)
  • Sultan Ahmad IV (1466-1466)
  • Sultan Mahmud (1466-1468)
  • Sultan Zainal Abidin III (1468-1474)
  • Sultan Muhammad Syah II (1474-1495)
  • Sultan Al-Kamil (1495-1495)
  • Sultan Adlullah (1495-1506)
  • Sultan Muhammad Syah III (1506-1507)
  • Sultan Abdullah (1507-1509)
  • Sultan Ahmad V (1509-1514)
  • Sultan Zainal Abidin IV (1514-1517)

Sultan MalikussalehSultan Samudera PasaiLahirMeurah Silu
?Wafat1297Anak{{{children}}}AgamaIslam

Sultan Malikussaleh adalah sultan pertama Kesultanan Samudera Pasai. Ia memerintah mulai tahun 1267. Sultan Malikussaleh satu-satunya raja yang bisa membaca Al-quran pada abad 13 dahulu. Maka, beliau mulanya bernama Meurah Silu akhirnya bergelar Malikkussaleh yang artinya Malik yang saleh. Ia adalah keturunan dari Sukee Imeum Peuet. Sukee Imeum Peuet adalah sebutan untuk keturunan empat maharaja/meurah bersaudara yang berasal dari Mon Khmer (Champa) yang merupakan pendiri pertama kerajaan-kerajaan di Aceh pra-Islam, diantaranya Maharaja Syahir Po-He-La yang mendirikan Kerajaan Peureulak di Aceh Timur, Syahir Tanwi yang mendirikan Kerajaan Jeumpa di Bireuen, Syahir Poli (Pau-Ling) yang mendirikan Kerajaan Sama Indra di Pidie dan Syahir Nuwi yang mendirikan Kerajaan Indra Purba di Banda Aceh dan Aceh Besar. Nama Malikussaleh kini diabadikan sebagai Bandar Udara Malikus Saleh dan Universitas Malikussaleh (UNIMAL) di Kota Lhokseumawe.[1]

Sejarah Kepemimpinan

Kerajaan Samudera Pasai didirikan oleh Nazimuddin Al Kamil pada abad ke-13. Nazimuddin Al Kamil adalah seorang laksamana laut dari Mesir. Beliau diperintahkan pada tahun 1238 M untuk merebut pelabuhan kambayat di Gujarat yang tujuannya untuk  dijadikan tempat pemasaran barang-barang perdagangan dari timur. Nazimuddin al-Kamil juga mendirikan satu kerajaan di Pulau Sumatera bagian utara. Tujuan utamanya adalah untuk dapat menguasai hasil perdagangan rempah-rempah dan lada. Beliau mengangkat Meurah Silu sebagai Raja Pasai pertama. Setelah naik tahta Marah Silu berganti nama dan bergelar Sultan Malik As-Saleh. Masa akhir pemerintahan Sultan Malik As-Saleh sampai beliau wafat pada tahun 696 Hijriah atau 1297 Masehi.

Berdasarkan catatan ekspedisi Marco Polo (1292) dan Ibnu Batutah (abad 13). Pada tahun 1267 telah berdiri kerajaan Islam pertama di Indonesia, yaitu kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga dibuktikan dengan adanya Batu nisan makam Sultan Malik Al Saleh (th 1297) Raja pertama Samudra Pasai. Kesultanan Samudera Pasai, juga dikenal dengan Samudera, Pasai, atau Samudera Darussalam, adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe, Aceh Utara sekarang. Ibnu Battutah, musafir Islam terkenal asal Maroko, mencatat hal yang sangat berkesan bagi dirinya saat mengunjungi sebuah kerajaan di pesisir pantai timur Sumatera sekitar tahun 1345 Masehi. Setelah berlayar selama 25 hari dari Barhnakar (sekarang masuk wilayah Myanmar),

Sultan sultan dari kerajaan Samudera Pasai yang mendukung pendidikan agama Islam adalah

Makam Sultan Malikussaleh

Battutah mendarat di sebuah tempat yang sangat subur. Perdagangan di daerah itu sangat maju, ditandai dengan penggunaan mata uang emas. Ia semakin takjub karena ketika turun ke kota ia mendapati sebuah kota besar yang sangat indah dengan dikelilingi dinding dan menara kayu. Kota perdagangan di pesisir itu adalah ibu kota Kerajaan Samudera Pasai. Samudera Pasai (atau Pase jika mengikuti sebutan masyarakat setempat) bukan hanya tercatat sebagai kerajaan yang sangat berpengaruh dalam pengembangan Islam di Nusantara. Pada masa pemerintahan Sultan Malikul Dhahir, Samudera Pasai berkembang menjadi pusat perdagangan internasional. Pelabuhannya diramaikan oleh pedagang-pedagang dari Asia, Afrika, Cina, dan Eropa.

Ibnu Bathutah juga menceritakan bahwa, ketika ia di Cina, ia melihat adanya kapal Sultan Pasai di negeri Cina. Memang, sumber-sumber Cina ada menyebutkan bahwa utusan Pasai secara rutin datang ke Cina untuk menyerahkan upeti. Informasi lain juga menyebutkan bahwa, Sultan Pasai mengirimkan utusan ke Quilon, India Barat pada tahun 1282 M. Ini membuktikan bahwa Pasai memiliki relasi yang cukup luas dengan kerajaan luar.

Berdasarkan cerita-cerita kunjungan negara lain. Ada perbedaan pendapat mengenai kerajaan ini. Hal ini disebabkan karena ada yang memisahkan antara nama Pasai dan Samudera. Tapi catatan Tiongkok tidak memisahkan nama kerajaan ini dan meyakini ini adalah satu kerajaan. Sedangkan Marco Polo dalam catatan perjalanannya menulis daftar kerajaan yang ada di pantai timur Pulau Sumatera waktu itu, dari selatan ke utara terdapat nama Ferlec (Perlak), Basma dan Samara (Samudera).

Selama masa pemerintahan Sultan Malik As-Saleh. Sultan menikah dengan putri dari Kerajaan Perlak yaitu Gangang Sari. Dari pernikahan tersebut lahirlah Sultan Malik Az-Zahir I. Pada Masa Pemerintahan Sultan Malik Az-Zahir ini Kerajaan mengalami masa keemasan. Sultan Malik Az-Zahir I memperkenalkan pertama kali penggunaan emas di lingkungan kerajaan. Hal inilah yang mengakibatkan Kerajaan Samudera Pasai menjadi pusat perdagangan terbesar di Sumatera pada saat itu. Kerajaan juga menjadi terkenal sebagai tempat penyebaran agama Islam.

Setelah masa pemerintahan Sultan Malik Az-Zahir I digantikan oleh anaknya Sultan Ahmad I. Namun tidak berlangsung lama karena suatu hal maka digantikan oleh anak dari Sultan Ahmad I yaitu Sultan Malik Az-Zahir II. Pada masa pemerintahan Sultan Malik Az-Zahir II, Kerajaan Samudera Pasai di datangi oleh musafir Maroko terkenal dunia yaitu Ibn Batuthah. Ibn Batuthah menulis dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) sekembalinya ke jazirah arab menceritakan bahwa salah satu Raja di daerah Samatrah (Sumatera) menyambutnya dengan ramah. Beliau juga mengungkapkan bahwa pengikutnya bermazhab Syafii. Sayangnya pada masa pemerintahan Sultan Malik Az-Zahir II pada tahun 1345. Kerajaan Samudera Pasai diserang oleh Kerajaan Majapahit kemudian serangan kedua pada tahun 1350 sehingga membuat keluarga Kerajaan harus mengungsi.

Kejayaan Samudera Pasai yang berada di daerah Samudera Geudong, Aceh Utara, diawali dengan penyatuan sejumlah kerajaan kecil di daerah Peurelak, seperti Rimba Jreum dan Seumerlang. Sultan Malikussaleh adalah salah seorang keturunan kerajaan itu yang menaklukkan beberapa kerajaan kecil dan mendirikan Kerajaan Samudera pada tahun 1270 Masehi. Makam Abdullah ibnu Muhammad ibnu Abdul Kadir Ia menikah dengan Ganggang Sari, seorang putri dari kerajaan Islam Peureulak. Dari pernikahan itu, lahirlah dua putranya yang bernama Malikul Dhahir dan Malikul Mansyur. Setelah keduanya beranjak dewasa, Malikussaleh menyerahkan takhta kepada anak sulungnya Malikul Dhahir. Ia mendirikan kerajaan baru bernama Pasai. Ketika Malikussaleh mangkat, Malikul Dhahir menggabungkan kedua kerajaan itu menjadi Samudera Pasai..[2]

Saat itu Pasai diperkirakan mengekspor lada sekitar 8.000- 10.000 bahara setiap tahunnya, selain komoditas lain seperti sutra, kapur barus, dan emas yang didatangkan dari daerah pedalaman. Bukan hanya perdagangan ekspor impor yang maju. Sebagai bandar dagang yang maju, Samudera Pasai mengeluarkan mata uang sebagai alat pembayaran. Salah satunya yang terbuat dari emas dikenal sebagai uang dirham.

Hubungan dagang dengan pedagang-pedagang Pulau Jawa juga terjalin. Produksi beras dari Jawa ditukar dengan lada. Pedagang-pedagang Jawa mendapat kedudukan yang istimewa di pelabuhan Samudera Pasai. Mereka dibebaskan dari pembayaran cukai. Perdagangan Selain sebagai pusat perdagangan, Pasai juga menjadi pusat perkembangan Islam di Nusantara. Kebanyakan mubalig Islam yang datang ke Jawa dan daerah lain berasal dari Pasai.

Eratnya pengaruh Kerajaan Samudera Pasai dengan perkembangan Islam di Jawa juga terlihat dari sejarah dan latar belakang para Wali Songo. Sunan Kalijaga memperistri Dewi Saroh anak dari Maulana Ishaq dengan putri Sultan Pasai, dan Dewi Saroh dikaruniai anak bernama Sunan Muria. Sunan Gunung Jati alias Fatahillah yang gigih melawan penjajahan Portugis lahir dan besar di Pasai. Laksamana Cheng Ho tercatat juga pernah berkunjung ke Pasai. Situs Kerajaan Islam Samudera Pasai ini sempat sangat terkenal pada tahun 1980-an, sebelum konflik di Aceh semakin memanas dan menyurutkan para peziarah. Menurut Yakub, juru kunci makam Sultan Malikussaleh, nama besar sang sultan turut mengundang rasa keingintahuan para peziarah dari Malaysia, India, sampai Pakistan. Negara-negara itu dulunya menjalin hubungan dagang dengan Pasai.

Sejarah Pasai yang begitu panjang masih bisa ditelusuri lewat sejumlah situs makam para pendiri kerajaan dan keturunannya di makam raja-raja Pasai itu. Makam itu menjadi saksi satu-satunya karena peninggalan lain seperti istana sudah tidak ada. Makam Sultan Malikussaleh dan cucunya, Ratu Nahrisyah, adalah dua kompleks situs yang tergolong masih terawat. Makam Malikul Zahir Menurut Christiaan Snouck Hurgronje, hubungan langsung Arab dengan Indonesia baru berlangsung abad 17 pada masa kerajaan Samudra Pasai, Banten, Demak dan Mataram Baru. Samudra Pasai sebelum menjadi kerajaan Islam merupakan kota pelabuhan yang berada dalam kekuasaan Majapahit, yang pada masa itu sedang mengalami kemunduran. Setelah dikuasai oleh pembesar Islam, para pedagang dari Tuban, Palembang, malaka, India, Cina dan lain-lain datang berdagang di Samudra Pasai. Menurut Ibnu Batutah: Samudera Pasai merupakan pelabuhan terpenting dan Istana Raja telah disusun dan diatur secara indah berdasarkan pola budaya Indonesia dan Islam.[3]

Silsilah

1. Sultan Malikul Saleh (1267-1297 M)

2. Sultan Muhammad Malikul Zahir (1297-1326 M)

3. Sultan Mahmud Malik Az-Zahir (1326 ± 1345)

4. Sultan Malik Az-Zahir (?- 1346)

5. Sultan Ahmad Malik Az-Zahir yang memerintah (ca. 1346-1383)

6. Sultan Zain Al-Abidin Malik Az-Zahir yang memerintah (1383-1405)

7. Sultanah Nahrasiyah, yang memerintah (1405-1412)

8. Sultan Sallah Ad-Din yang memerintah (ca.1402-?)

9. Sultan yang kesembilan yaitu Abu Zaid Malik Az-Zahir (?-1455)

10.Sultan Mahmud Malik Az-Zahir, memerintah (ca.1455-ca. 1477)

11.Sultan Zain Al-‘Abidin, memerintah (ca.1477-ca.1500)

12.Sultan Abdullah Malik Az-Zahir, yang memerintah (ca.1501-1513)

13.Sultan Zain Al’Abidin, yang memerintah tahun 1513-1524[4]

Penghargaan

Untuk mengenang dan menghargai jasa Sultan Samudera Pasai Pertama, maka nama Sultan Malikussaleh di abadikan dalam beberapa nama tempat atau institusi penting di Aceh, antara lain ;

  • Bandar Udara Malikus Saleh
  • Universitas Malikussaleh
  • Institut Agama Islam Negeri Lhokseumawe (IAIN Malikussaleh)

Referensi

  1. ^ Molana, Datuk Haris. "Kisah Juru Kunci Makam Raja Islam Pertama di Nusantara". detikcom. Diakses tanggal 2019-11-02. 
  2. ^ "Rindu Sosok Sultan Al-Malik Ash-Shalih - PORTALSATU.com". portalsatu.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-11-02. Diakses tanggal 2019-11-02. 
  3. ^ "Pemerintah Aceh | Kerajaan Samudera Pasai". www.acehprov.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-11-02. Diakses tanggal 2019-11-02. 
  4. ^ Aceh, Asmawy. "ACEH". Diakses tanggal 2019-11-02. 

Lihat pula

  • Daftar Penguasa Aceh
  • Kesultanan Samudera Pasai
  • Hikayat Raja-raja Pasai
  • Kesultanan Aceh

Pranala luar

  • Aceh heritage and places Diarsipkan 2015-11-08 di Wayback Machine.
  • The Travels Of Marco Polo
  • Islam chronology Diarsipkan 2018-10-27 di Wayback Machine.

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Malikussaleh_dari_Samudera_Pasai&oldid=21930202"