Tahapan peran serta masyarakat dalam upaya peningkatan mutu di sekolah

Efektifitas Peran Serta Masyarakat

Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan

oleh.

Prof. Dr. Masrukhi, M.Pd

  1. Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pendidikan

Kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat dalam tanggung jawabnya terhadap pendidikan, sesungguhnya merupakan suatu keniscayaan. Masyarakat sama sekali tidak bisa terlepas dari proses-proses pendidikan. Pertama, proses pendidikan itu terjadi di masyarakat yang oleh karena itu dinamikanya harus mengikuti irama kebutuhan kehidupan masyarakat. Kedua, potensi masyarakat yang sangat besar harus diberdayakan untuk kepentingan pengembangan dunia pendidikan. Itulah sebabnya pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat.

Pada tataran regulasi, pasal 56 UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menegaskan bahwa masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah. Selain itu juga ditegaskan bahwa dewan pendidikan sebagai lembaga mandiri dibentuk dan berperan dalam meningkatkan mutu pelayanan pendidikan dengan memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis.

Peran masyarakat yang diamanahkan dalam Undang-Undang dapat diartikan pemerintah sadar betul bahwa mitra terbaik dalam melaksanakan pendidikan adalah masyarakat. Masyarakat merupakan obyek sekaligus subyek dari pendidikan sehingga peran aktif masyarakat akan sangat menentukan kualitas pendidikan. Peran yang bisa dijalankan mulai dari perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan, namun selama ini peran masyarakat masih terbatas pada dukungan fisik saja, yakni untuk iuran pembangunan, perbaikan, dan perawatan gedung. Seharusnya sudah mulai dikembangkan peran  masyarakat dalam bidang teknis edukatif antara lain menjadi guru bantu, sumber informasi lain, guru pengganti, mengajar kebudayaan setempat, ketrampilan tertentu, atau sebagai pengajar tradisi tertentu.

Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan memberdayakan dan meningkatkan peran masyarakat, sekolah harus dapat membina kerjasama dengan orangtua dan masyarakat, menciptakan suasa kondusif dan menyenangkan bagi peserta didik dan warga sekolah. Itulah sebabnya maka paradigma Menajemen Berbasis Sekolah (MBS) mengandung makna sebagai manajemen partisipatif yang melibatkan peran serta masyarakat, sehingga semua kebijakan dan keputusan yang diambil adalah kebijakan dan keputusan bersama, untuk mencapai keberhasilan bersama. Dengan demikian, prinsip kemandirian dalam MBS adalah kemandirian dalam nuansa kebersamaan, dan hal ini merupakan aplikasi dari prinsip-prinsip yang disebut sebagai total quality management, melalui suatu mekanisme yang menekankan pada mobilisasi kekuatan secara sinergis yang mengarah pada satu tujuan, yaitu peningkatan mutu dan kesesuaian pendidikan dengan pengembangan masyarakat.

Melihat realitas yang saat ini terjadi sudah seharusnya komite sekolah yang merupakan representasi partisipasi masyarakat dalam praktik pendidikan dapat dikembangkan secara khas dan berakar dari budaya , demografis, ekologis, nilai kesepakatan, serta kepercayaan yang dibangun sesuai potensi masyarakat setempat. Oleh karena itu komite sekolah yang dibangun harus merupakan pengembangan kekayaan filosofis masyarakat secara kolektif. Artinya, komite sekolah mengembangkan konsep yang berorientasi kepada penggunaan (client model), berbagi kewenangan (power sharing and advocacy) dan kemitraan (patnership model) yang difokuskan pada peningkatan mutu pelayanan pendidikan.

  1. Pendidikan Gratis dan Masyarakat

Salah satu paradigma yang berkembang di masyarakat adalah pendidikan merupakan tanggungjawab pemerintah sehingga segala hal yang terkait dengan pendidikan, terutama pembiaayan adalah tugas pemerintah. Meskipun memang merupakan bagian tugas dari pemerintah yang diamatkan dalam Undang-Undang Dasar, bukan berarti masyarakat tidak bisa berpartisipasi dalam pendanaan pendidikan.

Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar dan Nomor 48 Tahun 2008 Tentang Pendanaan Pendidikan, maka semua pihak perlu memahami secara komprehensif dan menyeluruh atas pasal-pasal yang tertuang dalam memahami kehadiran kedua Peraturan Pemerintah (PP) tersebut agar tidak lagi terjadi kesimpangsiuran dalam pelaksanaannya, seperti ungkapan yang kurang tepat dari hampir semua pemimpin dari mulai gubernur hingga kepala kantor kementerian pendidikan kabupaten/kota dengan mengkampanyekan slogan pendidikan gratis yang melahirkan kebijakan “ dilarang melakukan pungutan sepeserpun dari orang tua murid dengan dalih apapun” dengan dalil Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar, Pasal 9 ayat (1) yang menyatakan : Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya program wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”. Melihat fenomena ini kita perlu memperhatikan pasal 10 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 yang menyatakan, ketentuan mengenai investasi dan biaya operasional diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pendanaan pendidikan. Selanjutnya, Pasal 11 ayat (2) menegaskan,”Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin tersedianya pendidik, tenaga kependidikan, dan biaya operasi untuk setiap satuan pendidikan pelaksana program wajib belajar dengan pembagian beban tanggungjawab sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pendanaan pendidikan”.

Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2008 pasal 9 sudah menjelaskan tidak boleh memungut biaya. Akan tetapi bukan berarti ruang partisipasi masyarakat ditutup. Aturan pembiayaan pendidikan merujuk kepada Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, pasal 51 ayat (1) menyatakan” Pendanaan Pendidikan bersumber dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat”, selanjutnya dijelaskan dalam ayat (4) menyatakan : dana Pendidikan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dapat bersumber dari : a. anggaran pemerintah; b. bantuan pemerintah daerah; c. pungutan dari peserta didik atau orangtua/walinya yang dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan; d. bantuan dari pemangku kepentingan satuan pendidikan diluar peserta didik atau orangtua/walinya; e. bantuan dari pihak asing yang tidak mengikat; dan atau f. sumber lainnya yang sah. Selanjutnya dalam pasal 13 peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 selengkapnya menyatakan “(1) masyarakat berhak: a. berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi terhadap penyelenggaraan porgram wajib belajar, serta b. mendapat data dan informasi tentang penyelenggaraan program wajib belajar. (2) Masyarakat berkewajiban mendukung penyelenggaraan Program wajib belajar. (3) Hak dan Kewajiban masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan.

Pemerintah memang berkewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan dasar, akan tetapi masyarakat atau dalam hal ini adalah orang tua harus sadar bahwa pendidikan merupakan bentuk investasi masa depan sehingga tidak usah ragu jika harus mengeluarkan biaya untuk investasi tersebut. Pemerintah dengan segala upaya telah berusaha untuk dapat melaksanakan penyelenggaraan pendidikan secara gratis, namun tidak semua bisa bisa ter-cover dikarenakan luas wilayah dan jumlah peserta didik yang sangat banyak di Indonesia. Memperhatikan hal tersebut maka permasalahan mutu serta kualitas pendidikan sulit untuk dicapai tanpa partisipasi dari masyarakat.

  1. Persoalan Mutu Pendidikan

Persoalan mutu dan kualitas pendidikan menjadi perdebatan yang tidak pernah sepi untuk dibicarakan. Selama ini persoalan mutu dan kualitas pendidikan selalu dihubungkan dengan perangkat kurikulum, sarana dan prasarana, serta kinerja guru, peran masyarakat jarang untuk disentuh. Padalah jika dikaji lebih jauh maka masyarakat secara umum ataupun dalam bentuk representasi seperti Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah juga bisa memberikan kontribusi positif dalam meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan.

Peran masyarakat dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan selama ini kurang maksimal dikarenakan dua faktor utama. Pertama adalah tingkat pemahaman sebagian dewan pendidikan dan anggota komite sekolah yang masih kurang tentang tugas pokok, fungsi, dan peran dalam posisi masing-masing. Hal tersebut terlihat ketika banyak kegiatan yang dilakukan masih terbatas pada masalah teknis seperti pembangunan, iuran membayar ujian/buku, dan pengumuman kelulusan. Padahal jika dipamahami peran dewan pendidikan dan komite sekolah dimulai sejak persiapan, proses, dan evaluasi. Selain persoalan tugas pokok, dan fungsi, pemahaman tentang paradigma pendidikan juga belum sama dan merata. Persoalan ini akan berakibat pada ketidakpekaan dewan pendidikan dan komite sekolah untuk merespon perubahan yang terjadi dalam dunia pendidikan.

Problem kedua adalah hambatan psikologis yang muncul dari sekolah. Hambatan psikologis ini nampak pada tingkat keterbukaan sekolah terhadap perubahan yang ada diluar sangat kecil. Sekolah seolah-olah menjadi lembaga tersendiri yang terpisah dari masyarakat, padahal output dari pendidikan sekolah akan kembali ke masyarakat. Sekolah merasa memiliki sistem tersediri yang hanya bisa dijalankan oleh mereka sendiri. Dampak dari hal ini adalah ketika ada rapat sekolah dengan para wali murid atau komite sekolah lebih bersifat mekanis, sekolah menyampaikan keputusan yang sudah jadi kepada wali murid atau komite. Padahal mengacu pada peraturan yang ada, seharusnya forum rapat sekolah dengan wali murid atau komite sekolah adalah forum musyawarah untuk mendiskusikan berbagai hal tentang peningkatan kualitas pendidikan.

Permasalahan yang muncul dari dewan pendidikan, komite sekolah, maupun sekolah harus segara diatasi agar persoalan mutu dan kualitas pendidikan bisa ditingkatkan. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan sosialisasi dan memberikan pemahaman tentang peran dan posisi masing-masing sehingga alur kerja jelas dan hasil kerja bisa optimal. Selain memberikan pemahaman, pendampingan terhadap masing-masing lembaga juga penting. Dalam hal ini Dinas Pendidikan dan atau LPTK bisa berperan sebagai penghubung atau fasilitator antara sekolah dengan komite sekolah.

Bentuk kerjasama yang efektif dan efisien antara sekolah dan masyarakat bisa dikembangkan dalam pelaksanaan pembelajaran. Misalnya, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dipakai di sekolah sudah disiapkan oleh pemerintah pusat, namun dalam KTSP sangat dimungkinkan untuk menyertakan kearifan local serta “life skills”. sekolah dapat menyusun program pendidikan life skills yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan pada masyarakat sekitar. Dalam penyusunan program pendidikan “life skills”, Komite Sekolah dapat membantu sekolah untuk mengumpulkan fakta-fakta mengenai kebutuhan serta potensi sumberdaya yang tersedia di dalam masyarakat untuk diterjemahkan ke dalam program pendidikan “life skills” yang dapat dilaksanakan oleh sekolah.

Tingkat keaktifan dan peran serta dewan pendidikan dan komite sekolah terhadap proses-proses pendidikan di sekolah, sangat lah variatif. Penelitian yang dilakukan oleh penulis di tahun 2010  terahadap peran dewan pendidikan dan komite sekolah di jawa tengah menunjukkan masih berkadar kurang. Untuk kasus Jawa Tengah, keaktifan dewan pendidikan pada 35 kabupaten dan kota di jawa tengah baru menunjukkan angka 35%, sedangkan komite sekolah sedikit di atasnya yaitu 47%. Dari penelitian ini juga ditemukan bahwa factor utama belum maksimalnya peran dewan pendidikan dan komite sekolah adalah kesibukan dari para anggota dewan pendidikan dan komite sekolah.

Di luar dewan pendidikan dan komite sekolah, belum ditunjukkan peran-peran yang bermakna dari masyarakat bagi kepentingan peningkatan mutu pendidikan. Jika pun peran itu ada hanyalah pada sebatas hibah, sumbangan, dan sejenisnya.

Kendatipun demikian masyarakat melalui berbagai yayasan memiliki kepedulian untuk menjadi mitra pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, melalui penyelenggaran lembaga-lembaga pendidikan, sejak TK sampai perguruan tinggi. Bahkan  kepedulian ini dilakukan jauh sebelum Indonesia merdeka.

Persoalan yang perlu memperoleh kajian secara serius adalah  bagaimana pemikiran tentang kualitas pendidikan itu menjadi semacam collective consciousness di kalangan masyarakat secara luas.

Collective consciousness adalah  kesadaran bersama di kalangan masyarakat yang digerakkan oleh rasa simpati bahwa mereka harus bersatu-padu. Jika hal ini bisa ditumbuhkembangkan secara efektif pada masyarakat, maka akan menjadi energi besar yang sangat bermanfaat.

Dalam konteks demikian Smelser melihat adanya kondisi obyektif bagi tergeraknya kekuatan collective consciousness masyarakat. Kondisi obyektif dimaksud meliputi struktur yang kondusif  (conducive structural), ketegangan struktural (structural strain), opini dan pandangan publik sebagai faktor pemercepat (accelerator factors), mobilisasi tindakan (mobilization for action), dan pelaksanaan kontrol sosial (operation of social control).

Analisis Smelser tersebut menunjukan bahwa sebuah aksi kolektif tidaklah muncul sendirian. Dia harus ditopang oleh berbagai faktor eksternal yang terkait. Faktor-faktor tersebut adalah berupa dukungan opini masyarakat luas, keinginan mencari solusi dari kondisi yang tidak ideal yang dirasakan sebagai sebuah ketegangan, alasan faktual dan rasional, adanya peristiwa pemicu dari kehidupan sosial, serta adanya mobilisasi.

Jadi dalam pandangan Smelser, collective consciousness akan lahir manakala kelima kondisi obyektif tersebut berada di tengah masyarakat.

Pada era demokrasi dan partisipasi, akuntabilitas pendidikan tidak hanya terletak pada pemerintah, tetapi bahkan harus lebih banyak pada masyarakat sebagai stakeholder pendidikan. Bentuk partisipasi masyarakat dalam pendidikan  terlihat dengan adanya Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Agar partisipasi masyarakat bisa optimal dalam meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan, maka sekolah, dewan pendidikan, dan komite sekolah harus bisa memahami dan mengerti tugas pokok dan fungsi masing-masing. Dewan Pendidikan pada tingkat Kabupaten/Kota perlu menempatkan fungsinya sebagai wakil dari masyarakat untuk meminta pertanggungjawaban atas hasil-hasil pendidikan dalam mencapai prestasi belajar murid-murid pada setiap jenis dan jenjang pendidikan.

Dewan Pendidikan perlu diberikan kesempatan untuk menyampaikan masukan kepada Dinas Pendidikan jika hasil-hasil pendidikannya tidak memuaskan masyarakat sebagai klien pendidikan.  Sama halnya, Komite Sekolah dapat menyampaikan ketidakpuasan para orangtua murid akan rendahnya prestasi yang dicapai oleh suatu sekolah.

  1. Rujukan
  2. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
  3. Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar
  4. Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2008 Tentang Pendanaan Pendidikan
  5. Smelser .2002. Citizenship for the 21st century : An International perspective on Education, London : Kogan Page