Tipologi pelaku KEJAHATAN yang DILAKUKAN oleh seorang psikopat

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Reska Brasiliana

Rizki Rosalinda

Venny Virgiana T

A. Pendahuluan

Media massa pada akhir-akhir ini diramaikan dengan berita penangkapan pelaku kasus pembunuhan yang disertai dengan tindakan mutilasi (aksi yang menyebabkan satu atau beberapa bagian tubuh (manusia) tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya1) pada jenazah korbannya. Pada tahun 2008, Very Idham Henyansyah, atau dikenal dengan panggilan Ryan (lahir di Jombang, 1 Februari 1978; umur 34 tahun) menjadi seorang tersangka pembunuhan berantai di Jakarta dan Jombang. Kasusnya mulai terungkap setelah penemuan mayat termutilasi di Jakarta. Setelah pemeriksaan lebih lanjut, terungkap pula bahwa Ryan telah melakukan beberapa pembunuhan lainnya dan dia mengubur para korban di halaman belakang rumahnya di Jombang.

Pada tahun 2010, terjadi kasus yang semakin membelalakkan mata publik. Kasus ini dilakukan oleh Babeh, pelaku pembunuhan 6 anak jalanan di Jakarta.Berikut ini merupakan ilustrasi kasus Babeh, seorang pembunuh yang memutilasi korbannya adalah anak-anak (sumber: detektifromantika.wordpress.com):

Hasil penyidikan polisi sampai saat ini terungkap, 14 anak di berbagai wilayah dibunuh oleh Baekuni (48) alias Babeh, yang delapan di antaranya dimutilasi. Jumlah korban ini jauh lebih besar dibandingkan kasus Robot Gedek maupun Very Idam Henyansyah alias Ryan.

Demikian diungkapkan Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal Wahyono, yang didampingi Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi, psikolog Sarlito Wirawan Sarwono, dan kriminolog Universitas Indonesia Adrianus Meliala di Polda Metro Jaya, Senin (1/2).

”Jumlah korban dalam kasus Babeh jauh lebih besar daripada kasus Robot Gedek dan Ryan yang ditangani Polda Metro Jaya,” kata Wahyono.

Korban mutilasi Robot Gedek (1994-1996) dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tahun 1997 disebutkan enam orang, sementara korban Ryan (2006-2008) 11 orang. Dari hasil pemeriksaan polisi, korban pembunuhan dan mutilasi Babeh sampai saat ini sudah mencapai 14 orang. Babeh membunuh sejak tahun 1993.

Korban Babeh yang sudah terungkap adalah Adi, Rio, Arif Abdullah alias Arif ”Kecil”, Ardiansyah, Teguh, dan Irwan Imran yang dimutilasi, serta Aris, Riki, dan Yusuf Maulana. Empat korban terakhir yang terungkap juga dimutilasi adalah Feri, Doli, Adit, dan Kiki. Rata-rata usia mereka 10-12 tahun, kecuali Arif yang masih berusia 7 tahun.

Data yang dihimpun Kompas menunjukkan, dalam pengadilan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tahun 1997, di depan majelis hakim yang dipimpin hakim Sartono, Babeh mengaku melihat Robot Gedek menggandeng seorang anak laki-laki di Pasar Jiung, Kemayoran. Anak tersebut dibawa Robot Gedek ke semak-semak.

Sementara itu, Babeh menunggu giliran mendapat kesempatan untuk menyodomi bocah lelaki yang dibawa Robot Gedek. Babeh mengaku menunggu satu jam dan setelah itu mendekati lokasi Robot Gedek. Di lokasi itu, dia menyaksikan Robot Gedek memutilasi korbannya.

Akhirnya Robot Gedek (42) divonis pengadilan dengan hukuman mati pada 21 Mei 1997. Namun sehari sebelum dilakukan eksekusi diketahui bahwa Robot Gedek telah meninggal dunia di RSUD Cilacap karena serangan jantung.

Banyaknya kasus mengenai pembunuhan dengan pelaku sebagai seorang yang mengalami gangguan kejiwaan tentu saja membuat resah masyarakat. Pasalnya, mereka yang mengalami gangguan kejiwaan tentu membutuhkan perawatan medis dengan perlindungan sebagai pasien. Namun, disisi lain mereka juga merupakan pelaku tindak kejahatan yang bahkan memakan korban nyawa yang seharusnya dikenakan sanksi pidana atas kejahatannya. Hal ini tentu saja menjadi sorotan khususnya untuk kepolisian bagian psikologi forensik, karena di Indonesia undang-undang mengenai pelaku tindak kejahatan dengan gangguan kejiwaan masih belum jelas.

B. Kajian Teoritis

Menurut Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono Psikopat adalah suatu gejala kelainan kepribadian yang sejak dulu dianggap berbahaya dan mengganggu masyarakat. Dr. Hervey Cleckley, psikiater yang dianggap salah satu peneliti perintis tentang Psikopat, menulis dalam bukunya “The Mask of Sanity” (1947, dalam Hare, 1993)2, menggambarkan Psikopat sebagai pribadi yang “likeable, charming, intelligent, alert, impressive, confidence-inspiring, an a great success with the ledies”, tetapi sekaligus juga “irresponsible, self destructive, and the like”. Demikian pula Dr. Robert Hare, dalam bukunya “Without Conscience: The disturbing world of the Psychopaths among us“ (1993) masih bergelut dengan isu yang sama, yaitu kepribadian psikopat yang nampaknya baik hati, tetapi sangat merugikan masyarakat3 (The Human Sabtu, 26 November 2011).

Berikut ini adalah gejala-gejala psikopat4:


  1. Sering berbohong, fasih dan dangkal. Psikopat seringkali pandai melucu dan pintar bicara, secara khas berusaha tampil dengan pengetahuan di bidang sosiologi, psikiatri, kedokteran, psikologi, filsafat, puisi, sastra, dan lain-lain. Seringkali pandai mengarang cerita yang membuatnya positif, dan bila ketahuan berbohong mereka tak peduli dan akan menutupinya dengan mengarang kebohongan lainnya dan mengolahnya seakan-akan itu fakta.
  2. Egosentris dan menganggap dirinya hebat.
  3. Tidak punya rasa sesal dan rasa bersalah. Meski kadang psikopat mengakui perbuatannya namun ia sangat meremehkan atau menyangkal akibat tindakannya dan tidak memiliki alasan untuk peduli.
  4. Senang melakukan pelanggaran dan bermasalah perilaku di masa kecil.
  5. Sikap psikopat di usia dewasa.
  6. Kurang empati. Bagi psikopat memotong kepala ayam dan memotong kepala orang, tidak ada bedanya.
  7. Psikopat juga teguh dalam bertindak agresif, menantang nyali dan perkelahian, jam tidur larut dan sering keluar rumah.
  8. Impulsif dan sulit mengendalikan diri. Untuk psikopat tidak ada waktu untuk menimbang baik-buruknya tindakan yang akan mereka lakukan dan mereka tidak peduli pada apa yang telah diperbuatnya atau memikirkan tentang masa depan. Pengidap juga mudah terpicu amarahnya akan hal-hal kecil, mudah bereaksi terhadap kekecewaan, kegagalan, kritik, dan mudah menyerang orang hanya karena hal sepele.
  9. Tidak mampu bertanggung jawab dan melakukan hal-hal demi kesenangan belaka.
  10. Manipulatif dan curang. Psikopat juga sering menunjukkan emosi dramatis walaupun sebenarnya mereka tidak sungguh-sungguh. Mereka juga tidak memiliki respon fisiologis yang secara normal diasosiasikan dengan rasa takut seperti tangan berkeringat, jantung berdebar, mulut kering, tegang, gemetar -- bagi psikopat hal ini tidak berlaku. Karena itu psikopat seringkali disebut dengan istilah "dingin".
  11. Hidup sebagai parasit karena memanfaatkan orang lain untuk kesenangan dan kepuasan dirinya.

Istilah psikopat tidak ditemukan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) IV. Artinya, psikopat tidak tercantum dalam daftar penyakit, gangguan atau kelainan jiwa di lingkungan ahli kedokteran jiwa dan psikolog Amerika Serikat. Psikopat dimasukkan dalam klasifikasi gangguan kepribadian dissosial dalam kedokteran jiwa.

Jika dikaitkan dengan teori psikologi, yakni dengan melihat aspek psikologis pelakunya, sesuai dengan teori psikoanalisis Freud, para pelaku ini memiliki konflik yang tidak terselesaikan yang dihasilkan oleh trauma masa lalu sejak masa kanak-kanak sehingga mengakibatkan ketidakteraturan kepribadian atau gangguan mental yang dimanifestasikan melalui perilaku agresif kepada orang lain. Menurut Freud, dorongan agresif ini merupakan salah satu derivatif penting insting-insting mati.5

Penanganan kasus-kasus pembunuhan dengan masalah kejiwaan seperti ini memerlukan kerja sama dari berbagai pihak untuk menyelesaikannya, terutama antara aparat hukum, psikolog, dan psikiater.

Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sebagai aparat penegak hukum seperti diamanahkan dalam Undang-Undang (UU) 2/2002 diharapkan dapat menegakkan hukum sebagaimana mestinya secara adil.Polri  khususnya penyidik dibekali dengan kemampuan dan keterampilan penyidikan tindak, pidana baik dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun di luar KUHPdalam melakukan tugasnya itu.

Dengan adanya kerja sama antara pihak-pihak ini, keputusan yang diambil akan lebih bijaksana karena memberikan perhatian pada kondisi psikis atau kejiwaan pelakunya sehingga latar belakang atau penyebab pelaku melakukan tindak kejahatannya dapat diinvestigasi secara mendalam.Aplikasi metode, teori, dan konsep-konsep psikologi dalam sistem hukum ini disebut sebagai psikologi forensik.

Psikolog forensik dapat membantu polisi melacak pelaku dengan menyusun profil kriminal pelaku. Psikolog forensik juga dapat membantu polisi dengan melakukan asesmen untuk memberikan gambaran tentang kondisi mental pelaku. Seorang psikolog dapat menyusun otopsi psikologis berdasarkan sumber bukti tidak langsung yaitu catatan yang ditinggalkan oleh almarhum, data yang diperoleh dari teman, keluarga korban atau teman kerja.

Kembali ke pembahasan mengenai kasus pembunuhan dan mutilasi, pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel berpendapat bahwa pembunuhan berantai atau sadis (mutilasi), bagi pelakunya adalah untuk mendapatkan fantasi atau sensasi yang luar biasa dengan melihat korbannya meninggal atau detik-detik terakhir korban mengembuskan nafasnya (mati perlahan-lahan).

Menurut Reza apabila dikaitkan dengan ilmu psikologi forensik, kasus mutilasi dengan tersangka Ryan misalnya, tidak ada kaitannya dengan orientasi seksual. Masyarakat awam dianggap terlalu berlebihan dalam menilai bila mengaitkan pelaku dengan homoseksual seorang Ryan. Psikopat, adalah sebutan dari masyarakat awam untuk pelaku mutilasi seperti Ryan itu.Dari segi fisik, memang sosok Ryan tidak terlihat psikopat, karena sikap/tingkah laku yang ditampilkannya di masyarakat menunjukkan pribadi yang santun, biasa, dan cerdas. Hal tersebut membuat masyarakat terkecoh.

Menurut hipotesis atau dugaan Reza, tindakan sadis dengan mutilasi tersebut dilakukan dengan tahapan-tahapan untuk mencari tingkat fantasi yang maksimal (terpuaskan). Kalau merasa belum puas dengan tindakannya, pelaku akan mencari cara yang lebih sadis dan spektakuler (canggih).

Menurut pakar psikologi forensik dari AS, Dr Heirr, penelitian tentang sifat psikopat yang ada sangat minim sekali, sangat sulit, dan mustahil, karena pengidap psikopat dapat memiliki sifat itu dengan tindakan hubungan yang manipulatif dan tidak mudah dideteksi.Hal tersebut disebabkan oleh karena sifat pengidap psikopat secara lahiriah atau fisik tidak tampak dari sikap yang hangat, cerdas, dan biasa tersebut. Indonesia sebagai negara yang mengalami krisis di semua bidang kehidupan, sangat kondusif memunculkan pemain-pemain tunggal pelaku psikopat, baik dengan kadar rendah maupun dengan kadar yang tinggi.

Adapun tugas psikologi forensik di dalam penyidikan, menurut psikolog Yusti Probowati, adalah mengetahui kondisi psikologis tersangka melalui proses asesmen mental tersangka. Yaitu, mendeteksi ada tidaknya keterbatasan intelektual terdakwa. Psikolog mendeteksi kondisi intelektualitas tersangka tindak pidana, dalam rangka memperlancar prosespenyidikan kepolisian.Psikolog juga melakukan asesmen kondisi berisiko dan berbahaya dari tersangka, agar psikolog mendapatkan gambaran kemungkinan adanya kondisi berisiko dan berbahaya dari tersangka selama dalam proses penyidikan kepolisian.
Melakukan asesmen kompetensi mental tersangka
(competency/insanity), dengan tujuan untuk mendeteksiapakah tersangka memiliki kompetensi mental (sakit jiwa) atau tidak.Mendeteksi kondisi sobriety (uji ini untuk mendukung kecurigaan polisi saat interogasi, apakah pelaku dipengaruhi oleh obat-obatan atau tidak; dan apa pun hasil pemeriksaannya tidak dihentikan. Selain itu,membantu mendapatkan keterangan tentang motivasi tersangka yang sebenarnya. Mendeteksi adanya malingering padat tersangka.

Di Indonesia, jika terdakwa dinyatakan waras pada saat melakukan kejahatannya, maka dia akan diganjar dengan kurungan, denda atau masa percobaan (probation). Tetapi jika terdakwa dinyatakan tidak waras (Insanity Plea) pada saat melakukan kejahatan, dia akan dipandang sebagai tidak bertanggung jawab atas perbuatanya itu, dan akan ditahan untuk mendapat treatment, bukan hukuman. Akan tetapi, dalih ketidakwarasan ini sering tidak berhasil.

Berikut ini merupakan kutipan Pasal 44 ayat 1 KUHP:

Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

Ketidakwarasan adalah istilah hukum, bukan istilah kedokteran, psikiatri ataupun psikologi. Sistem hukum berasumsi bahwa orang membuat pilihan-pilihan yang rasional dan dipikirkan sebelumnya. Oleh karena itu, berperilaku irrasional merupakan bukti ketidakwarasan. Tetapi psikolog pada umumnya tidak akan sepakat bahwa semua perilaku normal itu dipilih secara rasional.

Terdapat tiga standar untuk menetapkan apakah seorang terdakwa waras atau tidak.

Standar tertua adalah the M'Naghten rule, diundangkan di England pada tahun 1843. Peraturan ini menyatakan bahwa suatu pembelaan insanitas dapat diterima jika dapat dibuktikan bahwa orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum itu "melakukannya dalam keadaan terganggu nalarnya, akibat penyakit jiwa, seperti tidak mengetahui hakikat dan kualitas perbuatan yang dilakukannya; atau, kalaupun dia mengetahuinya, dia tidak mengetahui bahwa yang dilakukannya itu salah."

Standar yang kedua adalah the Durham standard. Standar ini dikembangkan oleh Hakim David Brazelton dari U.S. Court of Appeals karena memandang bahwa the M'Naghten rule itu sudah kuno dan perlu direvisi. Standar Durham menyatakan bahwa "seorang terdakwa tidak bertanggung jawab atas kejahatannya kalau perbuatannya yang melanggar hukum itu merupakan akibat dari penyakit mental atau ganguan mental." Akan tetapi, hakim dan pengacara tidak puas dengan standar ini karena menurut pandangan mereka, kesaksian ahli dari profesi kesehatan terlalu banyak memperngaruhi keputusan.

Standar ketiga disebut ALI standard dari the American Law Institute. Standar ini menyatakan bahwa terdakwa tidak bertanggung jawab untuk suatu perbuatan kriminal kalau merupakan akibat dari penyakit atau gangguan mental yang sedemikian rupa sehingga sangat berkurang kapasitasnya untuk memahami kriminalitas perbuatan tersebut atau untuk mematuhi hukum. Standar ALI dipandang sebagai yang paling liberal karena perbuatan kriminal dapat dimaafkan kalau penyakit mental mengakibatkan sangat berkurangnya kapasitas untuk memahami apa yang sedang dilakukan (cognitive deficit) atau tidak mampu mengontrol perilaku (volitional deficit).

C. Kesimpulan

Jadi, psikopat adalah suatu gejala kelainan kepribadian yang sejak dulu dianggap berbahaya dan mengganggu masyarakat.Meskipun demikian, istilah psikopat tidak ditemukan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) IV. Penyebab seorang menjadi psikopat dari berbagai faktor seperti faktor biologis, faktor psikis, sosial, dan spiritualnya. Tugas psikologi forensicdalam mengungkap suatu kasus dalam penyelidikan dan penyidikan, tidak bisa dipisahkan.

Terkait dengan kasus mutilasi tersebut, psikolog forensik dapat membantu dalam melakukan identifikasi pelakunya: apakah mengidap kelainan kepribadian (psikopat) atau tidak. Juga memberikan gambaran tentang profil pelaku kejahatan sadis (mutilasi) sehingga polisi dapat lebih memfokuskan usaha pencarian pelaku tindak kejahatan tersebut apabila belum tertangkap.

Referensi:

1http://id.wikipedia.org/wiki/Mutilasi

2,3Hare, Robert. 1993. Without Conscience: The disturbing world of the Psychopaths among us. The Guilford

4 http://pormadi.wordpress.com/2008/07/26/psikopat-di-antara-kita-kenali-11-gejala-psikopat/5

5 Hall, Calvin S. & Gardner Lindzey. 2005. Psikologi Kepribadian 1: Teori-Teori Psikodinamik (Klinis). Yogyakarta: Kanisius