Tujuan apa yang dimaksud di dalam Kyoto Protocol?

Kyoto Protocol to the United Nation Framework Convention on Climate Change atau yang biasa disebut dengan Protokol Kyoto merupakan amandemen terhadap konvensi kerangka kerja PBB mengenai perubahan iklim. Kegiatan ini diikuti oleh 160 negara dan dilaksanakan di Jepang pada tahun 1997. Protokol Kyoto mulai berlaku pada 16 Februari 2005.

Protokol Kyoto memiliki tujuan untuk mengurangi emisi gas karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrogen oksida (NO), sulfur heksafluorida (SF6), HFC, dan PFC 5,2% di bawah emisi pada tahun 1990. Protokol ini ditujukan pada 38 negara industri penghasil gas rumah kaca terbesar.

Target nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia. 

environesia.co.id – “Protokol Kyoto itu kesepakatan dunia yang menyadari bahwa perubahan iklim disebabkan oleh manusia. Itu penting sekali. Sebelumnya, tidak tahu masalah dari perubahan iklim dan tidak dipedulikan jadi negara-negara itu tidak sepakat. Ada suatu perundingan internasional yang berkesimpulan perubahan iklim terjadi karena manusia.” ungkap Menteri Lingkungan Hidup periode 2004-2009, Rachmat Witoelar, yang juga menjadi Delegasi Indonesia untuk Protokol Kyoto.

Protokol Kyoto sendiri merupakan perubahan amandemen dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) atau Konvensi Rangka Kerja PBB tentang perubahan iklim yang dislenggarakan di Kyoto, Jepang, pada Desember 1997 oleh karena itu disebut sebagai Protokol Kyoto dinegosiasikan

Pada Kerangka Konvensi UNFCCC, dibentuk badan pengambilan keputusan tertinggi yaitu Conference of the Parties  (COP) untuk mencapai tujuan dari UNFCCC tersebut. COP memiliki peran dalam mengkaji, memantau pelaksanaan Konvensi dan kewajiban bagi negara-negara angita. COP juga mempromosikan dan memfasilitasi pertukaran informasi, menyusun rekomendasi kepada partisipan, dan mendirikan badan badan pendukung jika dipandang perlu.

Pengambilan keputusan dan kebijakan tertinggi di bawah otoritas UNFCCC dilaksanakan melalui COP/CMP yang merupakan pertemuan tahunan partisipan UNFCCC,  dan Conferences of the Parties serving as meeting of parties to the Protokol Kyoto (COP/CMP).

COP/CMP didukung oleh 2 (dua) badan yaitu Badan Pendukung terkait dengan aspek ilmiah dan teknologi atau Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) dan Badan Pendukung Untuk Pelaksanaan Konvensi atau Subsidiary Body for Implementation (SBI). SBSTA memberikan informasi dan rekomendasi ilmiah serta teknologis secara tepat waktu kepada COP, sedangkan SBI membantu COP mengkaji pelaksanaan dari Konvensi.

Protokol Kyoto

Pertemuan Peserta COP / CCMP ke-3 (Third Session of the Conference of Parties, COP-3) yang diselenggrakan di Kyoto pada tahun 1997 menghasilkan keputusan adopsi (Decision 1/CP.3). Protokol Kyoto untuk Perjanjian Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim. Protokol Kyoto memberikan dasar bagi negara-negara maju untuk mengurangi total emisi gas rumah kaca  setidaknya  5 persen dari tingkat  tahun 1990, antara 2008 dan 2012. Komitmen ini mengikat secara hukum dan membebani negara maju atas dasar tanggung jawab bersama tetapi berbeda (common but differentiated responsibilities).

Protokol Kyoto mengatur mekanisme penurunan emisi GRK (Gas Rumah Kaca) yang dilaksanakan negara-negara maju, yakni:(1) Implementasi Bersama (Joint Implementation), (2) Perdagangan Emisi (Emission Trading); dan (3) Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism, CDM).

Joint Implementation (JI) sendiri merupakan mekanisme pengurangan emisi yang memungkinkan negara-negara Annex I untuk mentransfer pengurangan emisi melalui proyek bersama dengan tujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Emission Trading (ET) adalah mekanisme perdagangan emisi antara negara maju yang memungkinkan negara maju dengan emisi GRK yang lebih rendah untuk menjual kelebihan  emisinya ke negara maju lain yang tidak dapat memenuhi kewajibannya. Clean Development Mechanism (CDM) merupakan mekanisme pengurangan emisi gas rumah kaca dalam kerangka kerja sama antara negara maju dan negara berkembang. Mekanisme ini bertujuan agar  Annex I dapat memenuhi target penurunan emisinya melalui program pengurangan emisi gas rumah kaca di negara berkembang.

Ref:

//ditjenppi.menlhk.go.id/

//tirto.id/

//etd.repository.ugm.ac.id/

Protokol Kyoto adalah amendemen dari Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), yaitu sebuah persetujuan internasional dari negara-negara dunia tentang pemanasan global. Ratifikasi protokol ini dilakukan oleh berbagai negara anggota sebagai wujud komitmen dalam upaya mengurangi emisi atau pengeluaran karbondioksida dan lima gas rumah kaca lainnya.

Protokol ini juga membuka kemungkinan adanya kerja sama dalam perdagangan emisi terkait jumlah emisi gas yang telah dikaitkan dengan pemanasan global.

Sejarah Protokol Kyoto

Sejarah Protokol Kyoto berawal dari Konferensi Iklim Dunia pertama pada tahun 1979. Konferensi Iklim Dunia tersebut membahas beberapa kegiatan manusia yang dinilai telah memicu terjadinya perubahan iklim. Seluruh anggota konferensi berupaya mencari solusi dalam mengatasi masalah tersebut.

Hasilnya, para peserta konferensi sepakat untuk lebih serius dan berkomitmen dalam melakukan penelitian dan aksi lainnya sebagai upaya dalam mengatasi masalah perubahan iklim.

Namun, isu pemanasan global mencuat pada sekitar tahun 1985-an di Amerika Serikat. Tak hanya Amerika, Perdana Menteri Inggris, Margaret Thatcher pun sempat menginformasikan isu pemanasan global ini kepada rakyatnya. Isu menggelinding bak bola salju, sampai pada tahun 1990 telah menggema di berbagai belahan dunia.

nasa.gov

Dunia Internasional tak bisa berpangku tangan. Pada Desember 1990, Majelis Umum PBB sepakat untuk membentuk perjanjian dalam upaya menangani perubahan iklim. Mereka pun membentuk The Intergovernmental Negotiating Committee for a Framework Convention on Climate Change (INC/FCCC). INC/ FCCC menjadi jembatan dalam proses negosiasi antar pemerintah di bawah naungan Majelis Umum PBB.

Komite ini mengadakan empat kali pertemuan, dimulai dari Februari 1991 sampai dengan Mei 1992 guna menyusun kerangka kerja perubahan iklim yang akan dibawa ke dalam Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (KTT Bumi) di Rio de Janeiro, Brasil, pada 1992.

baca juga:  Hari Perdamaian Internasional - 21 September

Pada Mei 1992, INC/FCCC mengajukan draft akhir untuk diadopsi di New York. Satu minggu setelahnya, draft dibuka untuk penandatanganan para pihak dalam KTT Bumi. Terdapat 154 negara yang menandatangi kerangka kerja perubahan iklim yang disebut The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Selanjutnya, pada Maret 1994 Konvensi Perubahan Iklim pun mulai berlaku.

Seluruh negara yang menandatangani UNFCCC rutin menggelar pertemuan tahunan guna membahas strategi menghadapi perubahan iklim atau disebut dengan Conference of the Parties (COP).

UNFCCC merupakan respon atas diskusi demi diskusi dan penelitian demi penelitian tentang perubahan iklim yang telah dibahas selama lebih dari 10 tahun. Dari konvensi ini, negara peserta sepakat untuk mengumpulkan dan berbagi informasi tentang emisi gas rumah kaca.

Mereka juga berkomitmen untuk berpartisipasi dalam rencana tindakan pencegahan emisi gas rumah kaca secara global, sekaligus aktif dalam upaya meminimalisirnya. Ketika itu, target ditetapkan tahun 2000. Hasil konvensi ini telah disetujui oleh KTT Bumi (Earth Summit).

Untuk lebih merinci hasil konvensi tersebut, pada tahun 1997 sebuah konferensi kembali diadakan oleh negara-negara peserta. Kali ini Kyoto, Jepang dipilih sebagai lokasi konferensi. Konferensi inilah yang melahirkan apa yang kita kenal dengan Protokol Kyoto yang ditetapkan secara resmi pada 12 Desember 1997.

Hasil Protokol Kyoto

Protokol Kyoto bisa disebut perangkat peraturan yang diadopsi sebagai pendekatan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Kepentingannya jelas untuk mengatur pengurangan emisi gas rumah kaca dari negara-negara yang meratifikasi.

Semua negara peserta Protokol Kyoto terikat secara hukum untuk mengurangi emisi karbondioksida, metana, nitrogen oksida, sulfur hexaflourida, senyawa hidro fluoro (HFC), dan perfluorokarbon (PFC).

Ketentuannya, semua negara peserta harus mengurangi emisi tersebut mulai dari tahun 2008 sampai 2012 dengan berbagai metode.

Acuan dasar dari Protokol Kyoto ini adalah tahun 1990. Sehingga semua kesepakatan yang diambil pasti diperhitungkan dari masa tersebut. Termasuk kesepakatan bahwa seluruh negara ANNEX I wajib menurunkan emisi gas rumah kaca mereka rata-rata sebesar 5.2% dari tingkat emisi di tahun 1990.

baca juga:  Infografis - Negara Penghasil Emisi dan Negara Terdampak

Negara ANNEX I adalah negara-negara (baik negara maju maupun negara industri) yang telah mengkontribusikan emisi gas rumah kaca sejak tahun 1850-an, atau sejak masa revolusi industri. Negara ANNEX I berjumlah 40 negara di Amerika, Eropa, dan Australia.

Sedangkan untuk negara NON ANNEX I tidak diwajibkan melakukan penurunan emisi gas rumah kaca, tetapi mekanisme partisipasi untuk penurunan emisi tetap terdapat di dalamnya, atau disebut dengan tanggung jawab bersama dengan porsi yang berbeda (common but differentiated responsbility).

Mekanisme Protokol Kyoto

Beberapa mekanisme dalam Protokol Kyoto adalah sebagai berikut:

a. Joint Implementation (JI)

Mekanisme ini memungkinkan negara-negara maju untuk melakukan proyek bersama yang dapat menghasilkan penyerapan emisi gas rumah kaca atau kredit penurunan.

b. Emission Trading (ET)

Mekanisme yang memungkinkan satu negara maju untuk menjual kredit penurunan emisi gas rumah kaca mereka kepada negara maju lainnya. Hal ini dapat dilakukan ketika negara maju yang menjual kredit penurunan emisi gas rumah kaca memiliki kredit penurunan emisi yang melebihi target negaranya.

c. Clean Development Mechanism (CDM).

Sebuah mekanisme yang memungkinkan negara non-ANNEX I atau negara-negara berkembang untuk aktif dalam membantu penurunan emisi gas rumah kaca. Keaktifan tersebut dapat dilakuakn melalui proyek yang diimplementasikan oleh salah satu negara maju. Kredit penurunan emisi yang dihasilkan dari proyek ini dapat dimiliki oleh negara maju tersebut.

Mekanisme CDM ini bertujuan agar negara berkembang dapat mendukung pembangunan berkelanjutan. Hal ini merupakan satu-satunya mekanisme yang memberikan jalan kepada negara berkembang untuk berpartisipasi dalam Protokol Kyoto.

erwinedwar.com

Agar memiliki kekuatan hukum, Protokol Kyoto harus diratifikasi oleh sekurang-kurangnya 55 negara peratifikasi Konvensi Perubahan Iklim. Kedua, jumlah emisi total dari negara-negara ANNEX I peratifikasi protokol minimal 55% dari total emisi mereka di tahun 1990.

Syarat pertama terpenuhi setelah pada tanggal 23 Mei 2002, Islandia menandatangani protokol tersebut. Kemudian disusul oleh Rusia yang meratifikasi Protokol Kyoto pada 18 November 2004. Bergabungnya Rusia menggenapi jumlah emisi total dari negara ANNEX I menjadi sebesar 61.79%, yang artinya semua syarat telah dipenuhi.

baca juga:  Infografis - 23% Kematian Berkaitan Dengan Kondisi Lingkungan

Pada 16 Februari 2005, atau 8 tahun setelah Protokol Kyoto lahir dan 90 hari setelah ratifikasi Rusia, Protokol Kyoto resmi memiliki kekuatan hukum yang mengikat para negara pesertanya.

Penolakan Terhadap Protokol Kyoto

Jika dilihat dari tujuannya, kesepakatan Kyoto memiliki tujuan yang luhut, tapi pelaksanaannya tidak semudah yang diharapkan. Amerika Serikat, Australia, Italia, Tiongkok, India dan negara-negara berkembang lain sempat bersatu untuk melawan kemungkinan adanya Protokol Kyoto II atau persetujuan lainnya yang bersifat mengekang.

Tetapi, awal Desember 2007, Australia bersedia meratifikasi protokol tersebut setelah terjadi pergantian pemimpin di negaranya.

Protokol Kyoto menghadapi penolakan ratifikasi dari Amerika Serikat dan Kazakstan pada tahun 2007. Point penolakan Amerika Serikat adalah mengenai tingkat emisi yang ditoleransi untuk negara-negara berkembang.

Mereka khawatir Protokol Kyoto yang bersifat sangat mengikat ini akan berdampak pada melambatnya pertumbuhan ekonomi. Seperti diketahui, pembangunan di negara-negara maju tidak dapat lepas dari konsumsi energi dari sektor kelistrikan, transportasi, dan industri.

Meski menolak ratifikasi, kedua negara tersebut pada akhirnya bersedia menandatangani Protokol Kyoto.

Protokol Kyoto di Indonesia

Indonesia adalah salah satu negara yang ikut meratifikasi Protokol Kyoto. Oleh sebab itu, aturan dalam Protokol Kyoto turut menjadi hukum positif di neagra kita. Implikasi dari Protokol Kyoto di Indonesia tersebut mengakibatkan pelaksanaan pembangunan secara berkelanjutan dengan landasan wawasan lingkungan di seluruh daerah di Indonesia.

Akan tetapi ada pendapat lain, meski ikut meratifikasi namun Indonesia dinilai masih abai terhadap kesepakatan global tersebut. Fakta di lapangan membuktikan jika tingkat emisi di Indonesia sebagai negara berkembang cenderung tinggi. Selain itu, adanya berbagai konflik kepentingan sehingga menjadi penghambat kebijakan.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA