Wariga Bali adalah pengetahuan yang mengajarkan sistem kalender/tarikh tradisional Bali, terutama dalam menentukan hari baik dan buruk dalam rangka memulai suatu pekerjaan. Wariga Bali berfungsi sebagai petunjuk jalan bagi manusia untuk mencapai yang terbaik. Salah satu koleksi Lontar Wariga milik Dinas Kebudayaan Provinsi BaliPengetahuan Wariga Bali terdiri atas lima kerangka, yaitu wuku, wewaran, pananggal-pangelong, sasih, dan dauh. Wuku terdiri atas 30 wuku (Sinta, Landep, Ukir, Kulantir, Tolu, Gumbreg, Wariga, Warigadean, Julungwangi, Sungsang, Dungulan, Kuningan, Langkir, Medangsia, Pujut, Pahang, Krulut, Mrakih, Tambir, Madangkungan, Matal, Uye, Manail, Perangbakat, Bala, Ugu, Wayang, Klawu, Dukut, Watugunung) dan setiap wuku terdiri atas 7 hari. Wewaran terdiri atas 10 wara (ekawara, dwiwara, triwara, caturwara, pancawara, sadwara, saptawara, astawara, sangawara, dasawara). Pananggal-Pangelong adalah perhitungan waktu berdasarkan peredaran bulan mengelilingi bumi. Pananggal juga disebut paroh terang yang terjadi pada hari-hari setelah bulan mati (Tilem) selama 15 hari. Pangelong juga disebut paroh gelap yang terjadi pada hari-hari setelah bulan purnama selama 15 hari. Sasih juga disebut masa atau bulan, terdiri atas 12 sasih (Kasa, Karo, Katiga, Kapat, Kalima, Kanem, Kapitu, Kawulu, Kasanga, Kadasa, Jyesta, Sada). Jenis sasih meliputi sasih wuku (mengikuti perputaran wuku 2 x 210 hari = 420 hari, dan tiap bulan berumur 35 hari); sasih candra (mengikuti peredaran bulan mengelilingi bumi dalam waktu 354/355 hari, dan tiap bulan berumur 29/30 hari; sasih surya (mengikuti peredaran bumi mengelilingi matahari dengan lama waktu 365/366 hari, serta tiap bulan berumur 30/31 hari dan sasih kawulu berumur 26/29 hari). Dauh merupakan pembagian waktu sejenis jam yang dihitung berdasarkan rotasi bumi pada sumbunya sehingga terjadi perubahan setiap saat. (WN) jelaskan kebijakan pemerintah Indonesia pada awal kemerdekaan dilihat dari bidang militer dan pendidikan.tolong bantuannya ya kak bagaimana peran para pemimpin dalam membangun kemajuan Daulah Ayyubiyah? mengapa kita perlu mengenal para pemimpin Daulah Ayyubiyah? D. Empat Kebenaran Mulia13. Masyarakat Buddhis dikelompokkan menjadi dua kelompok. Kitab yang menjelaskan dua kelompok masyarakat Buddhis adalah …. A … Selama menapaki dunia pemerintahan, Shalahuddin Al-Ayyubi terlibat jauh dalam berbagai perjuangan dan pertempuran mem negara dan agama la dimata musuh … Menurut aturan islam bolehkah anak dari pamanku aku peristeri Sebutkan tahap sehabis melaksanakan kritik sumber! tolong dibantu, terima kasih!! c) Kewujudan kerajaan-kerajaan silam memberikan kesan kepada kerajaan masa kini. Jelaskan pernyataan tersebut. Di saat ingin melanjutkan perjuangan untuk menaklukan konstantinopel yang dikuasai oleh Bizantium terjadi penurunan semangat dan daya juang pada saat …
PADEWASAN PETA KONSEP Renungan Aham ātmā guḍākeśa sarva-bhūtāśaya-sthitaḥ, Aham ādiś ca madhyaṁ ca bhūtām anta eva ca (Bhagavad Gita X.20) Terjemahan: Wahai Arjuna yang sudah mengalahkan rasa kantuk, sesungguhnya Aku adalah awal, pertengahan, dan akhir semua makhluk hidup. Dan Aku adalah roh yang bersemayam di dalam hati setiap makhluk hidup. Ida Sang Hyang Widhi adalah Waktu. Waktu adalah penguasa alam semesta, tidak ada seorangpun yang bisa menentang, melawan, bahkan menahan waktu agar tidak bergerak walaupun hanya sekejap. Waktu membuat semua yang ada di dunia ini bergerak, berubah, bahkan karena waktu pula semua ini menemui ajalnya. Waktu tidak nampak secara kasat mata, tidak bisa diraba, maupun disentuh. Tetapi dia ada dan semua manusia mengakui dan tunduk kepadanya. Itulah sebabnya Waktu adalah simbolisasi Tuhan di dunia ini. Umat Hindu sangat menghormati dan menghargai waktu, waktu adalah hal yang sacral, tidak ada yang berani menentang waktu. Semua ritus upacara dan aktivitas umat Hindu selalu didasari oleh pemilihan dan perhitungan waktu. Pemilihan waktu menentukan baik buruk, sukses dan gagalnya pelaksanaan upacara. Itulah sebabnya Weda mengatur tentang ilmu perbintangan, perhitungan waktu, dan berlanjut pada tradisi Weda di Indonesia. Hai para Sisya Sista! Ayo kita amati! Setiap kegiatan yang dilakukan oleh umat Hindu selalu memperhitungkan hari baik dalam melaksanakan upacara maupun aktivitas yang dilakukannya. Coba kamu amati kegiatan-kegiatan apa saja yang biasanya harus menentukan hari khusus atau hari baik? Coba kamu tanyakan apa tujuan pemilihan hari baik tersebut! Catatlah hasil pengamatan dan wawancaramu itu dalam buku kegiatanmu, kemudian diskusikan bersama teman-teman sekelasmu! Selamat Mengamati! Subhamastu! A. PENGERTIAN WARIGA PADEWASAN Kata wariga yang dalam bahasa Bali jika ditinjau dari segi sejarah bahasa, memiliki hubungan genetik dengan bahasa Sansekerta dan Jawa Kuno. Dalam bahasa Sansekerta dikenal sebuah kata ‘vara’ yang artinya terbaik, berharga, terbaik diantara, lebih baik dari pada. Kata vara dalam bahasa Sansekerta kemudian menjadi wara dalam bahasa Jawa Kuno, yang berati pilihan, harapan, anugrah, hadiah, kemurahan hati; terpilih, berharga, bernilai, terbaik paling unggul di antara. Dalam bahasa Jawa Kuno juga dikenal kata wara yang memakai ā dirgha (panjang) mempunyai arti waktu yang telah ditetap untuk sesuatu. Kata wariga sering dikaitkan dengan Padewasan. Padewasan berasal dari kata “dewasa” mendapat awalan pa– dan akhiran – an (padewasan). Dewasa artinya hari pilihan, hari baik. Padewasan berati ilmu tentang hari yang baik. Dewasa Ayu artinya hari yang baik untuk melaksanakan suatu. Selanjutnya kata “divesa” dalam bahasa Sansekerta berasal dari akar kata “div” yang artinya sinar. Dari kata div lalu menjadi divesa yang berati sorga, langit, hari. Dari uraian tersebut dapatlah diketahui bahwa kiranya kata divesa itulah mengalami peluluhan pengucapan menjadi kata “dewasa” yang berati hari pilihan atau hari yang baik. Berdasarkan dua konsep pengertian “dewasa” tersebut dapat disimpulkan bahwa dewasa adalah hari pilihan atau hari yang baik. Dalam teks Wariga Gemet dijelaskan tentang akar/urat kata wariga : ika pawaking sang wiku, wruhing wariga gemet, Wa nga, apadang; Ri, nga tung-tung; Ga, nga carira, ika carira tanpa carira ngaran, tanpa dwe buddhi, hala hayu, wang ring kasaman tasak ring padarta, diksita, blahaning lango buddhi. Terjemahan : Keberadaan sang wiku (pendeta) yang telah mengetahui ajaran wariga Gemet. Wa artinya terang, Ri artinya puncak, Ga artinya wadag. Inilah wadag yang tak nyata, tanpa memiliki kehendak, baik dan buruk, dari sesama manusia ia telah mumpuni dalam analisis, ia telah disucikan, terbebas dari cita-cita. Berdasarkan keterangan lontar Wariga Gemet kata wariga berati wa (terang), ri (puncak) dan ga artinya (wadag). Secara harfiah menurut teks Wariga Gemet, kata wariga berati wadag untuk mencapai puncak yang terang. Selanjutnya dalam Kamus Bahasa Bali Lumrah oleh J.Kersten S.V.D dikenal kata wara yang berati hari dan wariga yang berati ajaran tentang diwasa/dewasa yaitu baik atau buruknya hari untuk melakukan sesuatu. Jadi berdasarkan beberapa uraian dapat dijelaskan wariga dalam pengertian bahasa Bali adalah ajaran mengenai sistem kelender/tarikh tradisional Bali, terutama dalam menentukan diwasa/dewasa (baik-buruknya hari) terkait kepentingan masyarakat. B. UNSUR-UNSUR DALAM PADEWASAN Sebagaimana yang telah diuraikan bahwa ilmu wariga (padewasan) adalah merupakan bagian dari ilmu astronomi di dalam Agama Hindu termasuk bidang Vedangga. Sebagaimana halnya dengan cabang-cabang ilmu Veda lainnya fungsi Vedangga bertujuan untuk melengkapi Veda, maka jelas kalau penggunaan wariga dan dewasa bertujuan untuk melengkapi tata laksana agama. Jadi secara hakiki fungsi dari wariga adalah pelengkap dalam ilmu agama yang bertujuan untuk memberikan ukuran atau pedoman dalam mencari dewasa. Dewasa sebagai suatu kebutuhan dalam pelaksanaan aktifitas hidup umat Hindu bertujuan memberikan rambu-rambu kemungkinan-kemungkinan pengaruh baik-buruk hari terhadap berbagai usahamanusia. Baik buruk hari mempunyai akibat terhadap nilai hasil dan guna suatu perbuatan, misalnya : 1. Melihat cocok atau tidak cocoknya perjodohan oleh karena pembawaan dari pengaruh kelahiran yang membawa sifat tertentu kepada seseorang; 2. Melihat cocok atau tidaknya mulai membangun, membuat fondasi, mengatapi rumah, pindah rumah dan sebagainya. 3. Melihat baik atau tidaknya untuk melakukan upacara ngaben, atau atiwa-tiwa. 4. Melihat baik atau tidaknya untuk melakukan segala macam upacara kesucian yang ditujukan kepada Dewa-dewa. 5. Melihat baik tidaknya untuk melakukan kegiatan termasuk bidang pertaniandan lain-lainnya. Adanya gambaran tentang baik atau tidak baiknya suatu hari untuk melakukan suatu kegiatan orang diharapkan lebih bersifat hati-hati dan tidak boleh gegabah. Ini diharapkan tidak mempengaruhi keimanan terhadap Tuhan melainkan menjadi dasar pelaksanaan sradha dan bhakti (iman dan taqwa), sehingga apa yang diharapkan bisa tercapai dengan baik. Secara hakikat seperti yang dijelaskan pada maksud dan tujuan wariga dan dewasa adalah : 1) Memberi ukuran atau pedoman yang perlu dilakukan oleh orang yang akan melaksanakan suatu pekerjaan berdasarkan ajaran Agama Hindu dengan harapan bisa berhasil dengan baik. 2) Untuk memberi penjelasan tentang berbagai kemungkinan akibat yang timbul akibat pemilihan hari yang dipilih sehingga memberikan alternatif lain yang akan dipilih. 3) Sebagai suplemen dalam mempelajari Veda dan Agama Hindu sehingga dalam menjalankan ajarannya bisa dilaksanakan secara tepat sesuai pengaruh waktu dan planet-planet yang berpengaruh pada waktu-waktu tertentu. AYO AMATI Amatilah lingkungan yang ada disekitar tempat tinggalmu berkaitan dengan kebiasaaan yang dilakukan umat Hindu sebelum melaksanakan ritual keagamaan seperti; pernikahan, kegiatan pertanian, peternakan dan kegiatan lainnya. Tuliskan dalam bentuk narasi singkat dan buatlah kesimpulan dari tulisanmu! Presentasikanlah hasil pengamatanmu itu di depan kelas, Hal Pokok dalam Padewasan Ada lima pokok yang harus dipahami dalam menentukan wariga yaitu wewaran, wuku, penanggal panglong, sasih dan dauh. Berikut ini akan diuraikan mengenai penjelasan dari masing-masing pedoman pekok dalam menentukan wariga (padewasan) sebagai berikut: 1. WEWARAN Wewaran adalah bentuk jamak dari kata wara yang berati hari. Secara arti kata Wewaran berasal dari bahasa Sansekerta dari akar kata wara (diduplikasikan/\ dwipura) dan mendapat akhiran –an (we + wara + an) sehingga menjadi wewaran, yang berati istimewa, terpilih, terbaik, tercantik, mashur, utama, hari. Jadi wewaran adalah hari yang baik atau hari yang utama untuk melakukan suatu hal atau suatu pekerjaan. Dalam menentukan wariga, pengetahuan tentang wewaran menjadi dasar yang sangat penting. Dalam hubungannya dengan baikburuknya hari dalam menentukan wariga dewasa, wewaran mempunyai urip, nomor atau bilangan, yang disesuaikan dengan letak kedudukan arah mata angin, serta dewatanya Berikut ini akan diuraikan dalam bentuk tabel mengenai jenis wewaran, urip, tempat atau kedudukan, serta Dewatanya berdasarkan buku Kunci Wariga Dewasa sebagai berikut :
Menentukan wewaran dari Eka Wara hingga Dasa Wara pada sistem tahun wuku dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode yaitu bisa menggunakan rumus yang telah ditetapkan dalam menentukan wewaran, dan bisa pula menggunakan jari-jari tangan, dengan ruas di masing-masing jari sebagai “rumah/kolom” dari wewaran tersebut. Di bawah ini akan diuraikan beberapa contoh menentukan wewaran menggunakan rumus yang telah ditentukan dan menggunakan tangan beserta gambar, dengan harapan memperluas wawasan tentang pemahaman wariga, walaupun pada prinsipnya semua metode penentuan tersebut hasilnya adalah sama. a. Menentukan Wewaran dengan Rumus 1) Menentukan Eka Wara Ketentuan untuk menentukan Eka Wara adalah dengan menjumlahkan neptu atau urip dari Panca Wara dan Sapta Wara, dan apabila hasil penjumlahannya bilangan ganjil, maka Eka Waranya Lwang, Bila jumlahnya genap, Ekawaranya tidak ada (-). Contoh: Tentukanlah Eka Wara dari Soma Umanis Neptu Soma + Neptu Umanis (4 + 5) = 9 (ganjil) berati ekawaranya Lwang 2) Menentukan Dwi Wara Menentukan Dwi Wara berpedoman pada penjumlahan Neptu Panca Wara dan Sapta Wara. Apabila hasil dari penjumlahannya ganjil Dwi Waranya adalah Pepet dan apabila berjumlah genap dwi waranya Menga. Contoh : 1 Tentukanlah Dwi Wara dari Coma umanis Neptu Coma + Neptu Umanis (4 + 5) = 9 (ganjil) jadi Dwi Wara dari Coma Umanis adalah Pepet. 3) Menentukan Tri Wara sampai Dasa Wara Untuk Tri Wara sampai Dasa Wara dengan ketentuan rumus umumnya sebagai berikut : Wewaran yang dicari maksudnya adalah dari Tri Wara sampai Dasa Wara. Jika yang dicarai adalah Tri Wara maka dibagi tiga. Sisa dari hasil pembagiannya akan menunjukan nama wewaran yang akan dicari pada masing-masing wewaran. Contoh : Bila diketahui suatu hari adalah Buddha, Sungsang. Tentukanlah semua wewaran mulai dari Eka Wara sampai Dasa Waranya. Diketahui: Buddha nomor sapta waranya 3 Sungsang nomor wukunya 10 Jawab :
a. Tri Waranya : (10 x 7 + 3) : 3 = 24 sisa 1 adalah Pasah b. Catur Waranya : (10 x 7 + 3) : 4 = 18 Sisa 3 adalah Jaya c. Panca Wara : (10 x 7 + 3) : 5 = 14 Sisa 3 adalah Pon d. Sad Wara : (10 x 7 + 3) : 6 = 12 Sisa 1 adalah Tungleh e. Sapta Wara : (10 x 7 + 3) : 7 = 10 sisa 3 adalah Budha (Sudah diketahui) f. Asta Wara : (10 x 7 + 3) : 8 = 9 sisa 3 Guru g.Sanga Wara : (10 x 7 + 3) : 9 = 8 sisa 1 adalah Dangu Nomor Wuku x 7 + Nomor Sapta Wara Wewaran Yang dicari Nomor Wuku x 7 + Nomor Sapta Wara Wewaran Yang dicari 1. Dasa Wara : Rumus (Urip Sapta Wara + Urip Panca Wara + 1) : 10 (Budha + Pon +1) : 10 (7 + 7 + 1) : 10 = 15 : 10 = 1 sisa 5 adalah Cri b. Cara Menentukan Wewaran dengan Jari Tangan Wewaran yang bisa dicari menggunakan jari tangan adalah Tri Wara sampai Sanga Wara dan caranya juga berbeda-beda. Di sini akan dikemukakan satu macam cara saja sebagai berikut : Petunjuk : tengadahkan telapak tangan kiri, pergunakan tiga jari saja, yakni telunjuk, jari tengah dan jari manis. Ketiga jari itu mempunyai sembilan ruas sesuai dengan arah mata angin. Pergunakan ruas-ruas jari tangan itu sebagai rumah wuku dan wewaran, dan ujung jari tengah itu adalah Utara Cara mencari wewaran masing-masing : 1). Menentukan Tri Wara Kolom di bawah ini di sepadankan ruas-ruas jari Letakan wuku secara berturut-turut mulai dari selatan (pasah) ke utara (kajeng) dan seterusnya putar ke kiri. Setelah diketahui Reditenya untuk mencari Soma, Anggara dan seterusnya tetap putar ke kiri, dimana jatuhnya Sapta Wara yang dicari itulah Tri waranya. Contoh : Tentukan Tri Wara dari Budha Ukir Ukir jatuh pada Kajeng, Berati Redite Ukir = Kajeng. Terus putar ke kiri Budha-nya jatuh pada Kajeng lagi, berati Budha Ukir Tri Waranya Kajeng. 2). Menentukan Catur Wara Letakan wuku mulai dari Sinta di Timur Laut (Sri), putar ke kiri secara berturut-turut, kecuali dari Galungan (Wuku Dunggulan) ke Kuningan harus lompat dua kotak setelah itu terus berputar ke kiri biasa. Redite dari wuku tersebut bertepatan dengan Catur Wara di tempat jatuhnya itu. Setelah ketemu Reditenya, untuk mencari Catur Wara dari Soma, Anggara dan selanjutnya, putarlah ke kanan berurut sesuai dengan urutan wewaran itu seperti gambar. Contoh: Tentukanlah Catur Wara dari Anggara, Ukir Sri Laba Menala Jaya Catur wara dari Anggara Ukir jatuh pada Jaya (Redite Ukir adalah Jaya), putar ke kanan, Anggaranya jatuh pada Sri, jadi Anggara Ukir Catur Waranya adalah Sri 3). Menentukan Panca Wara Letakan wuku mulai dari Sinta di Selatan (Paing) diteruskan ke utara, timur, barat dan tengah dan begitu selanjutnya. Maka setiap wuku yang jatuh di selatan Reditenya = Pahing dan Budhanya Buda Kliwon. Setiap yang jatuh di Utara Reditenya = Wage. Dan Setiap yang jatuh di Timur Reditenya = Umanis dan Budanya Buda Cemeng (Buda Wage). Setiap yang jatuh di Barat Reditenya = Pon dan Anggar Kasih (Anggara Kliwon). Setiap yang jatuh di tengah Reditenya adalah Kliwon dan Sukra Kliwon. Setelah ketemu Reditenya untuk menentukan Panca Wara dari Soma, Anggara dan seterusnya putar atau jalankan sesuai dengan urutan Panca Wara itu, seperti gambar di bawah ini :
Contoh : Tentukanlah Panca Wara dari Wrhaspati, Ukir ! Ukir jatuh di Timur (Redite, Ukir Panca Waranya adalah Umanis) dan Budhanya adalah Wage. Jadi Wrhaspati Ukir Panca Waranya Kliwon. 4). Menentukan Sad Wara Letakan wuku mulai dari Sinta pada Tungleh, terus putar ke kanan sesuai dengan urutan Sad Wara. Setiap wuku yang jatuh pada Tungleh, Reditenya adalah Tungleh, yang jatuh pada Aryang Reditenya adalah Aryang dan seterusnya. Untuk mencari Sad Wara dari Soma, Anggara dan selanjutnya setelah ketemu Reditenya putar ke kanan sesuai dengan urutan Sad Wara itu, seperti gambar di bawah ini ; Utara
Selatan Contoh : Tentukan Sad Wara dari Budha Kliwon Dunggulan Dunggulan jatuhnya di Selatan (Redite Dunggulan adalah Was), putar ke kanan sehingga Budanya jatuh di Timur Laut. Jadi Budha Dunggulan Sad Waranya adalah Aryang 5) Menentukan Asta Wara Cara mencari Asta Wara sama dengan Catur Wara yaitu letakan wuku secara berturut-turut mulai dari Timur Laut (Sri) putar ke kiri. Dari Dunggulan ke Kuningan lompat dua kotak. Dimana wuku itu jatuh itulah Asta Wara dari Reditenya. Kemudian untuk mencari Soma, Anggara dan seterusnya putar ke kanan sesuai dengan urutan Asta Waranya itu seperti gambar di bawah ini :
Contoh mencari Asta Wara Tentukanlah Asta Wara dari Soma Julungwangi. Julungwangi jatuh pada Sri (Redite Julungwangi adalah Sri) putar ke kanan, Soma jatuh Indra. Jadi Soma Julungwangi Asta Waranya adalah Indra Selain dewasa yang ditentukan berdasarkan wewaran untuk melakukan suatu kegiatan atau upacara tertentu, ada beberapa hari suci yang didasarkan atas perhitungan wewaran, sebagai hari suci untuk umat Hindu melakukan upacara agama yang dilakukan secara berkala. Adapun hari suci umat Hindu yang berdasarkan perhitungan wewaran sebagai berikut : Pertemuan Tri Wara dan Panca Wara a) Hari Kliwon datangnya setiap lima hari sekali, sebagai hari suci pemujaan ke hadapan Sang Hyang Śiva. Pada hari Kliwon Bhatara Śiva beryoga di pusat Bumi, menciptakan air suci guna meruwat kotoran yang ada di Bumi. Sehingga pada saat ini umat Hindu mengadakan penyucian diri, dari berbagai kotoran. b) Kajeng Keliwon, diyakini sebagai hari yang sakral karena merupakan pertemuan hari terakhir dari Tri Wara dan Panca Wara. Kajeng Kliwon adalah simbol pikiran bersih dan suci, pelebur kepapaan, petaka, noda, bencana ataupun segala kotoran duniawi melalui dhyana semadhi. Pada hari ini Sang Hyang Mahadewa melakukan yoga semadi, sehingga pada sat ini umat Hindu melakukan persembahyangan memuja kebesaran Dewi Durga dengan menghaturkan segehan. Hari Suci yang Didasarkan Atas Pertemuan Sapta Wara dan Panca Wara a) Anggara Keliwon disebut pula Anggara Kasih, sebagai hari beryoganya Sang Hyang Rudra untuk melebur penderitaan, kejahatan, kotoran dunia. Hari ini merupakan hari yang baik untuk meruwat dan memusnahkan bencana yang dapat menimpa. b) Budha Wage, hari ini disebut pula Budha Céméng sebagai hari pemujaan kehadapan Sang Hyang Bhatari Sri atau Dewi Padi dan Bhatari Manik Galih atau Dewi Beras, sebagai manifestasi Tuhan yang memberikan kesuburan dan kemakmuran. c) Budha Kliwon, yang namanya disesuaikan dengan wukunya. Hari Budha Kliwon adalah hari pemujaan Sang Hyang Hayu atau memuja Hyang Mami Nirmalajati, dengan harapan memohon keselamatan ketiga dunia. d) Saniścara Kliwon, yang disebut dengan Tumpek, yang namanya disesuaikan dengan nama wukunya. Pemujaan ditujukan kehadapan Sang Hyang Paramawisesa atau Tuhan Yang Maha Kuasa. 2. WUKU Wuku dalam penentuan wariga menduduki peranan yang penting, sebab wewarannya baik, apabila wukunya tidak baik, dianggap dewasa tersebut kurang baik. Sistem tahun wuku, menggunakan sistem sendiri, tidak tergantung pada tahun surya atau tahun candra. Satu tahun wuku panjangnya 420 hari, yang terdiri dari 30 wuku. Setiap wuku (1wuku) lamanya 7 hari, terhitung dari Redite, Soma, Anggara, Budha, Wraspati, Sukra, dan Saniscara. Sebulan dalam tahun wuku lamanya 35 hari, didapat dari mengalikan 7 hari dengan 5 wuku. Satu peredaran wuku (30 wuku) lamanya 6 bulan dalam tahun wuku. 1 Tahun wuku terdiri dari 2 kali peredaran wuku, yakni 7 hari x 30 wuku x 2 = 420 hari. Berikut akan disajikan penomoran wuku, urip atau neptu-nya. Nomor wuku yang dapat dipergunakan dalam perhitungan untuk mencari wewaran seperti tabel di bawah ini :
Keterangan : Rt = Wuku Rangda Tiga merupakan hari yang kurang baik untuk melangsungkan perkawinan, barakibat perpisahan, Tp = Wuku Tan Peguru, hari-hari buruk untuk memulai pekerjaan penting/besar, berakibat tidak berhasil atau sukses. Selain dewasa yang ditentukan berdasarkan wuku untuk melakukan suatu kegiatan atau upacara agama tertentu, ada beberapa hari suci yang didasarkan atas perhitungan wuku, yang dirayakan oleh umat Hindu dengan melaksanakan upacara agama. Adapun hari suci umat Hindu yang berdasarkan perhitungan wuku seperti, Budha Kliwon, Tumpek, Buda Cemeng, Anggara Kasih. Cara menentukan perhitungan hari suci berdasarkan wuku ini dapat dilakukan dengan menggunakan tangan kiri seperti gambar berikut Keterangan : Perhitungan wuku dimulai dari wuku Sinta pada angka 1 (ibu jari), dan wuku yang lainnya dihitung berturut-turut ke angka 2, 3, 4, 5, kembali ke angka 1 dan seterusnya searah jarum jam. Hari suci yang jatuh pada hitungan ibu jari (1) Budha Kliwon, Telunjuk (2) hari suci Tumpek, Jari tengah (3) Budha Cemeng, Jari manis (4) Anggara Kasih, Kelingking (5) kosong/pengembang. Secara terperinci hari suci berdasarkan Pawukun sebagai berikut : a. SINTA 1) Soma Pon Sinta disebut Soma Ribék, pemujaan dan persembahan ditujuakan kehadapan Dewi Sri (Sang Hyang Sriamérta) manifestasi Tuhan sebagai Dewa Kesuburan atau Dewa Kemakmuran. 2) Anggara Wage, Sinta disebut Sabuh Mas, pemujaan ditujukan kehadapan Dewa Mahadewa. 3) Budha Kliwon Sinta disebut hari suci Pagérwési, merupakan hari merupakan payogan Sang Hyang Śiwa sebagai Sang Hyang Pramesti Guru disertai oleh para Dewata menciptakan dan mengembangkan kelestarian kehidupan di dunia. b. LANDÉP Saniscara Kliwon Landép disebut Tumpek Landép merupakan hari suci pemujaan kehadapan Bhatara Śiva dan Sang Hyang Paśupati. c. UKIR Redite Umanis Ukir merupakan hari suci untuk pemujaan kehadapan Bhatara Guru. Pada hari ini umat diharapkan memohon anugrah keselamatan dan kesejahteraan kehadapan Bhatara Guru yang pemujaannya dilakukan di Sanggar Kamulan. d. KULANTIR/KURANTIL Anggara Kliwon Kulantir disebut Anggara Kasih Kulantir, merupakan hari suci pemujaan kehadapan Tuhan dalam manifestasi sebagai Bhatara Mahadewa. e. WARIGA Sabtu Kliwon Wariga dinamakan Tumpék Penguduh, Tumpek Pengatag, Pengarah, Bubuh, merupakan hari suci pemujaan kehadapan Sang Hyang Sangkara, manifestasi dari Tuhan sebagai dewa penguasa kesuburan semua tumbuh-tumbuhan serta pepohonan. f. WARIGADIAN Soma Pahing Warigadian, merupakan hari suci pemujaan ditujukan kehadapan Bhatara Brahma manifestasi Tuhan sebagai Dewa Api atau Dewa Penerangan. g. SUNGSANG 1) Wrhaspati Wage Sungsang disebut dengan Parérébuan atau Sugihan Jawa. Pada hari ini diyakini para Dewa dan Roh Leluhur turun ke dunia membesarkan hati umat manusia sambil menikmati persembahan hingga hari suci Galungan tiba. pada hari ini dilakukan pula upacara pembersihan atau pesucian Bhuana Agung). 2) Sukra Kliwon disebut Sugihan Bali memohon pembersihan lahir dan batin kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa dengan cara mengheningkan pikiran, memohon air suci peruwatan dan pembersihan. h. DUNGGULAN 1) Redite (Minggu) pahing Dunggulan disebut Penyékéban. Pada hari ini diharapkan umat mengekang bhatin (mengendalikan diri) agar selalu dalam keadaaan hening dan suci sehingga tak dapat dikuasai oleh Sang Kala Tiga. 2) Soma (Senin) Pon Dunggulan disebut Penyajan, umat diharapkan secara bersungguh-sungguh, benar-benar sujud dan berbhakti kepada Tuhan, agar terhindari dari kekuatan negatif Sang Hyang Kala Tiga yang pada saat itu berwujud Bhuta Dungulan. 3) Anggara (Selasa) Wage Dunggulan disebut Panampahan, diyakini pada hari ini Sang Hyang Kala tiga turun ke dunia dalam wujud Bhuta Amengkurat, sehingga umat diharapkan melakukan mengendalian diriserta mempersembahkan upacara Bhuta Yajña. 4) Budha (Rabu) Kliwon Dunggulan dinamakan Galungan yang bermakna bangkitnya kesadaran, titik pemusatan batin yang terang benderang, melenyapkan segala bentuk kegalauan batin. Sekaligus peringatan atas terciptanya alam semesta beserta isinya serta kemangan Dharma melawan Adharma. Persembahan ditujukan kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa dengan segala manifestasi-Nya. Pada hari ini setiap rumah memasang penjor yang merupakan titah Bhatara Mahadewa yang berkedudukan di Gunung Agung sebagai lambang kemakmuran. Setelah upacara dilaksanakan pada pagi hari, lengkap dengan sarana persembahan lainnya, sesajen tetap dibiarkan berada di tempat pemujaan selama satu malam. Esok paginya, semua umat patut menyucikan diri lahir dan batin pada saat matahari terbit, mempersembahkan wewangian dan mehon air suci, serta menyuguhkan segehan di halaman rumah. Setelah selesai barulah sesajen-sesajen yang dipersembahkan kemarin itu dapat diambil dan kemudian di-ayab oleh sanak keluarga. i. KUNINGAN 1) Redite Wage Kuningan disebut dengan Pemaridan Guru atau Ulihan. Pada saat ini persembahan atas kembalinya para dewata ke kahyangan atau surga serta meninggalkan anugrah kehidupan (amérta) serta umur panjang kepada setiap makhluk. 2) Soma Kliwon Kuningan disebut Pemacekan Agung, mempersembahkan segehan agung kepada semua Bhūtakala. 3) Budha Pahing Kuningan merupakan beryoganya Bhatara Visnu dan memberikan anugrah berupa kesenangan, keagungan, keluwesan, daya tarik, memenuhi harapan, dan rasa simpatik kepada umat manusia (asung wilasa). 4) Sukra Wage Kuningan disebut Penampahan Kuningan umat diharapkan mengendalikan bhatin dan pikiran agar tetap jernih dan suci (pégéngén poh nirmala suksma). 5) Saniscara Kliwon Kuningan disebut Hari Raya Kuningan diperingati sebagai hari suci turunnya para dewa dan roh leluhur ke dunia untuk menyucikan diri sambil menikmati persembahan umat. Persembahan sebaiknya dilakukan pagi hari sebelum jam 12.00 (tajeg surya) sebab setelah itu para dewa, pitara, roh suci leluhur diyakini telah kembali ke khayangan. j. PAHANG Budha Kliwon Pahang disebut Pégatwakan, persembahan ditujukan kehadapan Sang Hyang Tunggal. k. MERAKIH Budha Wage Merakih disebut juga Budha Cemeng Merakih, yaitu hari suci pemujaan yang ditujukan ke hadapan Bhatara Rambut Sedhana, disebut juga Sang Hyang Rambut Kandhala atau Sang Hyang Kamajaya penguasa artha, mas, perak, dan permata. l. UYE Saniscara Kliwon Uye disebut Tumpek Kandang. Pemujaan dan persembahan di tujukan kehadapan Sang Hyang Rare Anggon sebagai dewanya ternak/binatang. m. WAYANG Saniscara Kliwon Wayang disebut tumpek Wayang, merupakan hari pemujaan kehadapan Bhatara Iswara, manifestasi Tuhan sebagai penguasa alat-alat kesenian. n. WATUGUNUNG Saniscara Umanis Watugunung disebut hari Saraswati merupakan hari Pemujaan kehadapan Dewi Saraswati manifestasi Tuhan sebagai penguasa ilmu pengetahuan. o. SINTA Redite Pahing Sinta disebut dengan Banyu Pinaruh, memohon anugrah kehadapan Dewi Sarasvati, berupa air suci pengetahuan. 3. PENANGGAL DAN PANGLONG Penanggal dan Panglong perhitungannya berdasarkan peredaran bulan satelit dari bumi. Penanggal (tanggal) disebut pula Suklapaksa yaitu perhitungan hari-harinya dimulai sesudah bulan mati (tilem) sampai dengan purnama (bulan sempurna). Lama penaggal 1 sampai dengan 15 lamanya 15 hari. Penanggal ke 14 atau sehari sebelum purnama disebut Purwani artinya bulan mulai akan sempurna nampak dari bumi. Sedangkan Penanggal ke 15 disebut purnama artinya bulan sempurna nampak dari bumi. Pada hari Purnama merupakan hari beryoganya Sang Hyang Candra (Wulan). Panglong disebut pula Krsnapaksa yaitu perhitungan hari dimulai sesudah purnama yang lamanya juga 15 hari dari panglong 1 sampai dengan pangglong 15. Panglong ke 14 sehari sebelum tilem disebut Purwaning Tilem artinya bulan mulai tidak akan nampak dari bumi. Sedangkan pangglong 15 disebut tilem artinya bulan sama sekali tidak nampak dari bumi. Pada hari tilem beryoganya Sang Hyang Surya.
Keterangan : Ayu : Baik, X : Jelek
(Sumber : Aryana,2009:83) Tabel 3.4 Baik Buruknya Pananggal Persefektif Teks Sundari
(Sumber : Aryana,2009:83) Tabel 3.5 Baik Buruknya Panglong Persefektif Teks Sundari 4. Berdasarkan Sasih Wariga berdasarkan sasih adalah hitungan baik buruknya bulan-bulan tertentu yang berpedoman pada letak matahari, apakah berada di Uttarayana (utara), Wiswayana (tengah) atau Daksinayana (selatan). Berikut akan diuraikan ala ayuning sasih berdasarkan teks Wariga Dewasa seperti tabel berikut ini: Tabel 3.6 Ala Ayuning Sasih berdasarkan Teks Wariga Dewasa
Agama Hindu mempergunakan panduan sasih antara sasih Candra dengan Sasih Surya sehingga ada perhitungan “pengrapetang sasih”. Hal ini dilakukan karena disadari betul bahwa bulan dan matahari mempunyai pengaruh besar terhadap bumi dan isinya. Selain penentuan Padewasan, hari suci Agama Hindu, yang berdasarkan sasih adalah : 1) Pada hari Purnama beryoga Sang Hynag Candra (wulan), Pada hari Tilem beryoga Sang Hynag Surya. Jadi pada hari Purnama-Tilem adalah hari penyucian Sang Hyang Rwa Bhineda, yaitu Sang Hyang Surya dan Sang Hyang Candra. Pada waktu Candra Graha (gerhana bulan) pujalah beliau dengan Candrastawa (Somastawa). Pada waktu Sūrya graham (gerhana matahari) pujalah beliau dengan Sūryacakra Bhuanasthawa. 2) Sasih Kapat atau Purnama Kapat merupakan beryoganya Bhatara Parameswara, beliau Sang hynag Purusangkara diiringi oleh Para Dewa, Widyadara-Widyadari dan para Rsigna. Selanjutnya pada Tilem Kapat dilakukan penyucian batin, persebahan kepada Widyadara-widyadari 3) Sasih Kepitu atau Purwaning Tilem Kepitu disebut hari Sivaratri, yaitu beryoganya Bhatara siva dalam rangka melebur kotoran alam semesta termasuk dosa manusia. Pada hari ini umat Hindu melakukan Bratha Sivaratri, yaitu Mona, Upawasa, dan Jagra 4) Sasih Kesanga/Tilem Kesanga adalah hari pesucian para dewata, dilakukan Bhuta yajna, yaitu tawur agung kesanga sebagai tutup tahun Saka. 5) Sasih Kedasa, Penanggal 1 (bulan terang pertama) sasih Kedasa disebut hari Suci Nyepi, yaitu tahun baru Saka. Pada saat ini turunlah Sang Hynag Darma. Purnama Kedasa beryoganya Sang Hyang Surya Amertha pada Sad Khayangan Wisesa. 6) Sasih Sada atau Purnama Sadha, patutlah umat Hindu memuja Bhatara Kawitan di Sanggah Kemulan. 5. DAUH Wariga menurut dauh merupakan ketetatap dalam menentukan waktu yang baik dalam sehari guna penyelenggaraan suatu upacara-upacara tertentu. Pentingnya dari dewasa dauh akan sangat diperlukan apabila upacara-upacara yang akan dilakukan sulit mendapatkan hari baik (dewasa ayu). Dauh jika dibandingkan mirip dengan pembagian waktu menurut jam, namun bedanya hanya penempatan panjangnya waktu. Hitungan jam dalam sehari di bagi 24, hingga sehari dalam hitungan jam panjangnya 24 jam. Dalam perhitungan dewasa dauh mengandung makna dalam waktu satu hari terdapat dauh (waktu-waktu tertentu) yang cocok untuk melakukan suatu kegiatan. Signifikasi dari dewasa dauh diperlukan apabila upacara-upacara yang dilakukan sulit mendapatkan hari baik (dewasa ayu). Dalam perhitungan dewasa berdasarkan dauh mempunyai beberapa hitungan, yakni berdasarkan Panca dauh dan Asta dauh. a. Sistem Panca Dauh (Sukaranti) adalah pembagian waktu (hari) dalam sehari menjadi 10 bagian, dengan hitungan 5 Dauh untuk menghitung panjangnya siang (setelah matahari terbit hingga menjelang terbenam) dan 5 dauh lagi untuk menghitung panjangnya malam/wengi (dari matahari tenggelam hingga terbit). DAUH PANCAWARA
Keterangan : Kr : Kerta : Ayu (baik) Pa : Pati : Ala (Jelek) Ke : Ketara : Ayu (baik) Catatan : Ala-Ayu dauh Sukaranti pada Pengelong dihitung terbalik (1 menjadi 5) b. Sistem Asta dauh yang memiliki konsep yang sama dengan Panca dauh, bedanya hanya pembagian waktunya menjadi 16, dengan perincian 8 dauh untuk menghitung panjang waktu mulai matahari terbit, hingga menjelang terbenam dan 8 dauh lagi untuk untuk menghitung panjangnya malam hari dari terbenamnya matahari hingga menjelang terbit. DAUH SAPTAWARA
Pe : Peta : Madya (menengah) Su : Sunia : Ala (buruk) Tabel 3.9 Perbandingan Asta Dauh dengan Jam Indonesia Tengah
Pelaksanaan dari perhitungan wewaran atau wariga yang sering dilakukan oleh umat Hindu yang ada di Indonesia adalah penentuan hari suci keagamaan, perhitungan pertanian, peternakan dan kebutuhan lainnya seperti mendidirikan rumah, bangunan sekolah dan lainnya. AYO BERDISKUSI a. Kerjakan pada lembaran lain b. Buatlah kelompok yang terdiri 3-4 orang siswa c. Setiap kelompok untuk melakukan wawancara kepada masing-masing 1 orang kepada: tokoh umat Hindu, tokoh masyarakat, rohaniawan, cendikiawan dan umat biasa, tentang penghitungan hari baik atau wariga dalam menentukan suatu ritual atau kepentingan kehidupan tertentu (pertanian, peternakan, pendirian bangunan, dst). d. Buatlah susunan hasil wawancara tersebut dari setiap orang yang diwawancarai dan buatlah kesimpulan akhir! e. Presentasikan di depan kelas! Upacara dalam agama Hindu memiliki dimensi yang luas tidak semata-mata mengandung dimensi relegius saja. Seperti arti kata upacara dalam bahasa Sansekerta yang berati mendekat. Mendekat dalam Upacara agama Hindu dilakukan dengan hati yang tulus dan keikhlasanmengabdi dan membangun keharmonisan dengan Tuhan sebagai Sang Pencipta, dengan sesama manusia serta dengan alam lingkungan, yang terakomulasi dalam konsep tri hita karana yaitu tiga hubungan yang menyebabkan kebahagiaan. Upacara agama menjadi suatu yang penting sebagai bagian dari tri kerangka dasar Agama Hindu. Seperti disebutkan dalam Manawa Dharmasastra VII, 10, ada lima dasar penerapan Dharma (termasuk upacara) yaitu Ikşa, Śakti, Deśa, Kāla dan Tattwa. Ikşa artinya, pandangan atau cita-cita seseorang, Śakti artinya kemampuan, Desa artinya ketentuan setempat (tempat) Kala artinya waktu dan tattwa artinya hakikat kebenaran Veda. Jadi dalam melaksanaakan suatu upacara penentuan waktu dewasa menjadi suatu yang sangat penting. Seperti contoh untuk mendapatkan Vitamin D dari Sinar matahari, maka sebaiknya berjemur dilakukan pada pagi hari, bukan pada siang hari, artinya mencari atau melakukan sesuatu pada waktu yang tepat bisa berhasil sesuai dengan tujuan. Hal senada terkaiat dengan ketepatan waktu juga disebutkan dalam kitab Sàrasamuccaya 183 sebagai berikut : “Ayanûu ca yaddattaý, ûadacìtimukheûu ca, candrasùryoparàge ca, viûuve ca tadakûawam” Terjemahan: Inilah perincian waktu yang baik, ada yang disebut daksinayana, waktu matahari bergerak ke arah selatan, ada yang disebut uttarayana, waktu matahari bergerak ke arah utara (dari khatulistiwa). Ada yang dinamakan sadacitimukha yaitu pada saat terjadinya gerhana bulan atau matahari, wisuwakala yaitu matahari tepat di khatulistiwa, adapun pemberian dana serupa benda pada waktu yang waktu yang ditentukan tersebut akan memberikan pahala yang sangat besar. Jadi untuk mendapatkan suatu hasil atau pahala yang baik dari suatu kegiatan (upacara agama) ditentukan oleh waktu yang tepat dari pelaksanaannya. Berangkat dari hal tersebut di bawah ini akan diberikan beberapa contoh wariga dewasa untuk melakukan upacara agama yang termasuk ke dalam upacara Panca Yajña. 1. Melakukan Upacara Dewa Yajña Selain upacara agama yang dilakukan pada hari-hari suci baik yang ditentukan berdasarkan atas wewaran, wuku, penanggal, panglong, sasih, yang dirayakan oleh umat Hindu secara berkala dan berkelanjutan, dalam kesempatan ini akan diberikan contoh-contoh wariga dewasa untuk nangun (memulai) upacara Dewa Yajña. a. Sasih yang baik untuk melakukan Dewa Yajña: kapat, kelima, kedasa. b. Amerta Bhuana: Dewasa Ayu untuk Dewa Yadnya, Pemujaan Tuhan Yang Maha Esa serta leluhur untuk mendapat kesejahteraan. c. Amerta Dewa: Hari baik melaksanakan dharma, Panca Yajña:, khususnya Dewa Yajña: juga hari yang baik digunakan untuk membangun khayangan/tempat-tempat suci d. Amerta Masa: Hari yang baik untuk melakukan Panca Yajña dalam rangka memohon kesejahteraan e. Ayu Nulus: Hari yang baik untuk melaksanakan Yajña, pekerjaan, usaha dan kegiatan yang berlandaskan dharma f. Dauh Ayu: Hari yang baik untuk melaksanakan Panca Yajña g. Dewa ngelayang: Dewasa yang baik memuja Ida Sanghyang Widi, membangun kahyangan, pura, maupun sanggah h. Dewa Werdi: Hari baik untuk melaksanakan Panca Yajña, khusunya Dewa Yajña. 2. Melakukan Upacara Bhuta Yajña Upacara Bhuta Yajña yang dilakukan oleh umat Hindu pada hari-hari suci yang telah ditentukan berdasarakan wewaran, wuku, sasih, penanggal panglong termasuk pada saat piodalan di pura-pura, mrajan atau tempat suci lainnya. Selain itu dilakukan pula nangun (membangun/memulai) Bhuta Yajña di luar ketetapan tersebut. Dewasa yang baik untuk a. Sasih baik untuk bhuta yadnya : keenem dan kesanga. b. Dewa Mentas : Hari yang cocok untuk melaksanakan Bhuta yajna dan upacara penyucian diri dalam dalam rangka pendidikan. 3. Melakukan Upacara Pitra Yajña Untuk upacara Pitra Yajña terkait dengan keputusan Kesatuan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu I s/d XV, terkait dengan Jenis-jenis wariga dewasa untuk upacara Pitra Yajña (atiwa-tiwa) dapat dibedakan menjadi tiga yaitu : Padewasan yang sifatnya amat segera atau dadakan, atiwa-atiwa segera bisa dilakukan dengan mengacu pada wariga, dewasa dan kekeran (aturan) desa. Adapun larangan atiwa-tiwa adalah Pasah, Anggara Kasih, Budha Wage, Budha Kliwon, Tumpek, Purwani Purnama, Tilem a. Pedewasan serahina (sehari-hari) adalah bila pelaksanaan atiwa-tiwa tersebut dilaksanakan lebih dari tujuh hari dan memperhatikan padewasan serahina yang perhitungannya berdasarkan wewaran, wuku dan dauh. b. Padewasan berjangka (berkala), adalah pelaksanaan atiwa-tiwa berdasarkan jangka waktu tertentu (berkala) yang perhitungannya berdasarkan wewaran, wuku, tanggal, panglong, sasih dan dauh. Dan disertai dengan sasih yang baik yaitu Kasa, Karo, Ketiga Selain itu di bawah ini di sebebutkan beberapa contoh waktu yang baik untuk melalukan pemujaan kepada leluhur atau Pitra Yajña yaitu : a) Sasih yang baik untuk memukur (atmawedana) : kedasa b) Sasih yang baik untuk pitra Yajña : kasa, karo, ketiga c) Amerta Akasa: Hari baik untuk pemujaan kepada leluhur guna memperoleh pengetahuan serta berwawasan yang lebih luas. d) Sedana Tiba: Dewasa Ayu mengadakan upacara terhadap leluhur di sanggah/ Merajan. Yang Harus dihindari : a. Kala Gotongan : adalah hari yang pantang untuk mengubur, kremasi, ngaben (atiwa-tiwa) karena berakibat kematian berturut-turut. Tapi hari ini baik untuk pekerjaan dengan cara memikul atau bergotong royong. b. Was Penganten : pantang untuk mengubur ataupun kremasi, karena bisa berakibat banyak orang sakit atau meninggal. 4. Upacara Manusa Yajña Jenis dari pelaksanaan upacara Manusa Yajña sangat banyak, yaitu mulai dari janin berada dalam kandungan hingga meninggal. Saat bayi lahir sesungguhnya ia telah mencari hari yang baik bagi kelahirannya. Pada tahap selanjutnya dilakukan rangkaian upacara hingga meningkat Dewasa melalui upacara Rajasewala atau Rajasinga. Pada tahap selanjutnya setelah masa Brahmacari dilanjutkan masa Grhastha Asrama yaitu masa berumah tangga. Memasuki masa berumah tangga didahului dengan proses upacara sarira samskara berupa upacara Pawiwahan. Penentuan hari yang baik dalam upacara wiwaha sangat diharapkan, karena hal ini akan memberikan pengaruh terhadap eksistensi rumah tangga. Sebelum terjadinya proses pewiwahan (perkawinan) dan dikukuhkan dengan melaksanakan upacara perkawinan dalam memilih pasangan hidup didasarkan atas bibit, bebet dan bobot. Dalam penentuan pilihan ini ada pertimbangan-pertimbangan yang digunakan untuk menentukan dasar pilihan, salah satunya didasarkan atas primbon perjodohan. Hal ini diyakini memberikan pengaruh terhadap perkawinan. Ada beberapa primbon perjodohan sebagai rambu-rambu dalam memilih pasangan hidup yang didasarkan dasar wewarigan. a. Perjodohan Berdasarkan Sapta Wara Kelahiran lanang (laki-laki) wadon (perempuan) Minggu-Minggu berakibat sering sakit-sakitan Senin-Senin berakibat buruk Selasa-Selasa berakibat buruk Rabu-Rabu berakibat buruk Kamis-Kamis berakibat yuana (awet), senang Jumat-Jumat berakibat melarat Sabtu-Sabtu berakibat yuana, senang Minggu-Senin berakibat banyak penyakit Minggu-Selasa berakibat melarat Minggu- Rabu berakibat yuana, senang Minggu-Kamis berakibat konflik Minggu-Jumat berakibat yuana, senang Minggu-Sabtu berakibat melarat Jumat-Sabtu berakibat celaka Senen-Selasa berakibat yuana (rupawan), senang Senen-Rabu berakibat beranak wadon (perempuan) Senen-Kamis berakibat disukai orang Senen-Jumat berakibat yuana, senang Senen-Sabtu berakibat rejekian Selasa-Rabu berakibat kaya Selasa-Kemis berakibat kaya Selasa-Jumat berakibat pisah/cerai Selasa-Sabtu berakibat sering konflik Rabu-Kamis berakibat yuana, senang Rabu-Jumat berakibat yuana, senang Rabu-Sabtu berakibat baik Kemis-Jumat berakibat yuana, senang Kemis-Sabtu berakibat pisah/cerai b. Jodoh berdasar Gabungan atau jumlah neptu (urip) Panca Wara dan Sapta Wara laki dan perempuan, kemudian dibagi 5. Dan sisa menujukan pengaruh yang ditimbulkan dari perjodohan Sisa 1 : SRI, berati rumah tangga beroleh rezeki Sisa 2 : DANA, berati rumah tangga keadaan keuangan baik Sisa 3 : LARA berati anggota rumah tangga dalam kesusahan atau kesakitan Sisa 4 : PATI berati kesengsaran, mungkin bisa menemui kematian atau kehilangan rejeki Sisa 0 : LUNGGUH, berati akan mendapatkan kedudukan c. Berdasarkan jumlah seluruh neptu dibagi empat, dan sisa menunjukan pengaruh yang ditimbulkan dari perjodohan : Sisa 1 : disebut GENTO berati jarang anak Sisa 2 : disebut PATI berati banyak anak Sisa 3 : disebut SUGIH berati banyak rejeki Sisa 0 : disebut PUNGGEL berati kehilangan rezeki, cerai atau mati d. Jodoh berdasarkan Pertemuan jumlah Neptu Jumlah Neptu Sapta Wara dan Panca Wara laki, jumlah neptu Sapta Wara dan Panca Wara si perempuan masing-masing di bagi 9 (Sembilan), kemudian sisanya masing-masing dipertemukan : 1 dengan 1 : saling mencintai 1 dengan 2 : Baik 1 dengan 3 : rukun, jauh amerta 1 dengan 4 : banyak celaka 1 dengan 5 : cerai 1 dengan 6 : jauh sandang pangan 1 dengan 7 : banyak musuh 1 dengan 8 : terombang-ambing 1 dengan 9 : jadi tumpuan orang susah 1 dengan 2 : dirgahayu, banyak rejeki 2 dengan 3 : salah satu cepat mati 2 dengan 4 : banyak godaan 2 dengan 5 : sering celaka 2 dengan 6 : cepat kaya 2 dengan 7 : anak-anak banyak mati 2 dengan 8 : pendek rejeki 2 dengan 9 : panjang rejeki 3 dengan 3 : melarat 3 dengan 4 : banyak cobaan/celaka 3 dengan 5 : cepat cerai 3 dengan 6 : mendapat nugraha 3 dengan 7 : banyak godaan 3 dengan 8 : salah satu cepat mati 3 dengan 9 : kaya rejeki 4 dengan 4 : sering sakit 4 dengan 5 : banyak rencana 4 dengan 6 : kaya, banyak rejeki 4 dengan 7 : melarat 4 dengan 8 : banyak rintangan 4 dengan 9 : salah satu kalah 5 dengan 5 : keberuntungan terus 5 dengan 6 : terbatas/pendek rejeki 5 dengan 7 : sandang pangan berkepanjangan 5 dengan 8 : banyak rintangan 5 dengan 9 : terbatas sandang pangan 6 dengan 6 : besar goadaannya 6 dengan 7 : rukun 6 dengan 8 : banyak musuh 6 dengan 9 : terombang-ambing 7 dengan 7 : dikuasai istri 7 dengan 8 : celaka akibat perbuatan sendiri 7 dengan 9 : panjang jodoh dan berpahala 8 dengan 8 : disenangi orang 8 dengan 9 : banyak celaka 9 dengan 9 : susah rejeki e. Jodoh Tri Premana Petemon (pertemuan) laki-perempuan yang bernama Tri Premana ini didasarkan atas perhitungan jumlah neptu Panca Wara ditambah Sad Wara ditambah Sapta Wara dari weton (kelahiran) di pihak laki dan perempuan lalu di bagi 16 (enam belas) dan sisa dari pembagian memiliki makna sebagai berikut : Sisa 1 : bermakna diliputi kebimbangan, dalam keadaan suka dan duka, baik buruk, sehingga dituntut ketabahan Sisa 2 : bermakna durlaba, rejeki seret, tapi suka melancong Sisa 3 : bermakna sering mendapat malu dan kecewa Sisa 4 : bermakna susah mendapatkan sentana (keturunan) Sisa 5 : bermakna merana, sering sakit Sisa 6 : bermakna merana sering sakit Sisa 7 : bermakna mengalami suka duka, baik buruk dalam perjalanan hidupnya menuju bahagia Sisa 8 : bermakna sukar untuk memenuhi hajat hidupnya sehari-hari, bahkan sampai kekurangan (terak) Sisa 9 : bermakna kurang hati-hati, kesakitan tak henti-hentinya mewarnai hidupnya, sampai menimbulkan kekecewaan dan penyesalan hidup Sisa 10 : bermakna mendapatkan wibawa serta disegani bagaikan raja/ratu yang berkuasa, sehingga dapat mengayomi keluarga Sisa 11 : bermakna mendapat sukses dalam perjalanan hidup, tercapai citacitanya penuh kepuasan (sidha serta sabita) Sisa 12 : bermakna sedana nulus, rejeki lancar/gampang Sisa 13 : bermakna dirgayusa, panjang umur, rejekinya berkepanjangan Sisa 14 : bermakna mendapatkan kebahagiaan/kesenangan selalu Sisa 15 : bermakna sering mengalami kesusahan, keadaan buruk serta banyak problem Sisa 16 : bermakna memperoleh kebahagiaan dan kesenangan Sebagai kelanjutan dari jenjang perjodohan yang telah dilakukan dengan memperhatikan beberapa pertimbangan tersebut di atas, sudah tentu diharapkan berlanjut pada jenjang perkawinan. Perkawinan yang dimaksud adalah perkawinan yang sah baik secara agama maupun secara hukum. Secara agama perkawinan adalah sakral. Sehingga dalam pelaksanaannya perlu memilih hari yang baik karena akan memberikan pengaruh pula dalam keharmonisan rumah tangga. Berikut ini akan diuraikan beberapa dewasa ayu untuk upacara Manusa Yajña (pewiwahan) : a. Mertha Yoga : Upacara untuk Manusa Yajña. Yang termasuk ke dalam Merta Yoga yaitu ; Soma Keliwon Landep, Soma Umanis Taulu, Soma Wage Medangsia, Soma Umanis Medangkungan, Soma Paing Menail, Soma Pon Ugu, Soma Wage Dukut. b. Baik Buruknya Sapta Wara untuk upacara Pewiwahan 1. Minggu : Buruk, sering terjadi pertengkaran, bisa berakibat pertengkaran 2. Senin : Baik mendapat keselamatan dan kesenangan 3. Selasa : Buruk, suka berbantah, masing-masing tidak mau mengalah 4. Rabu : Amat baik, berputra serta berbahagia 5. Kamis : Baik hidup rukun, senang dan disenangi orang 6. Jumat : Baik, tentram sentosa, tak kurang sandang pangan 7. Sabtu : Sangat buruk, senantiasa dalam kesusahan c. Baik Buruknya Penanggal /Tanggal untuk upacara Perkawinan Tanggal 1 : Dirgahayu, sejahtera Tanggal 2 : Sidha cita, Sidha karya, disayang keluarga Tanggal 3 : Memperoleh banyak anak, sentana Tanggal 4 : Suami sering sakit Tanggal 5 : Dirgahayu, dirgayusa, selamat, sejahtera dan panjang umur Tanggal 6 : Menemui kesusahan Tanggal 7 : Suka, rahayu, hidup bahagia Tanggal 8 : Sering sakit hampir meninggal Tanggal 9 : Senantiasa sengsara Tanggal 10 : Sidha karya, disegani orang (wirya guna) Tanggal 11 : Kurang ulet berkarya, penghasilan kurang Tanggal 12 : Mendapat kesusahan Tanggal 13 : labha bhukti, mendapat keberuntungan, terutama menyangkut pangan kinum Tanggal 14 : Sering berbantah, kemungkinan bisa sampai cerai Tanggal 15 : Sangat buruk, bisa menemui kesengsaraan d. Baik Buruknya Sasih hubungannya dengan upacara wiwaha (upacara pernikahan) 1. Kasa, (Srawana – Juli) : buruk anak-anaknya menderita 2. Karo, (Bhadrawada – Agustus) : buruk sangat miskin 3. Ketiga, (Asuji – September) : Sedang banyak anak-anak 4. Kapat, ( Kartika – Oktober) : baik, kaya dicintai orang 5. Kelima, (Marggasira – Nopember) : baik, tidak kurang makan dan minum 6. Keenem (Posya – Desember) : Buruk, janda 7. Kepitu (Magha – Januari) : baik, mendapat keselamatan,panjang umur 8. Kawolu (Palguna – Pebruhari) : buruk kurang makan dan minum 9. Kesanga (Citra- Maret) : buruk sekali, selalu sengsara sakit-sakitan 10. Kedasa (Waisaka – April) : baik sekali, kaya raya selalu gembira 11. Desta (Jyesta – Mei) : buruk, duka, sering bertengkar marah 12. Sada (Asadha – Juni) : buruk, sakit-sakitan. a. Baik buruknya Wuku hubungannya dengan upacara Manusa Yajña (Wiwaha) Rangda Tiga adalah wuku pantangan untuk melakukan upacara pernikahan (wiwaha), apabila ada orang yang melakukan pernikahan dalam wuku ini dinyatakan bisa menjanda atau menduda. Adapun kemunculannya pada wuku berikut ; wariga, warigadian, pujut, Pahang, menhil, parangbakat 1) Amerta Mukti adalah baik untuk melaksanakan upacara Manusa Yajña untuk memohon waranugraha kepada Tuhan Yang Maha Esa, dengan menyucikan diri, lahir dan batin 2) Dagdig krana adalah hari yang buruk untuk segala upacara, terutama untuk pertemuan asmara. 3) Dewa Werdi adalah hari baik untuk melaksanakan Manusa Yajña, metatah 4) Dirgayusa adalah sangat baik melakukan upacara Manusa Yajña, tapi sangatjarang ditemukan dewasa ini yang jatuh pada budha pon, penanggal 10 5) Panca Werdi adalah hari yang baik untuk melaksanakan Manusa Yajña antara lain mepetik, potong gigi, dan lain-lain, karena berpahala dirgayusa AYO BERKARYA Wahai para Sisya Sistha Ayo Berkarya! Buatlah TIKA, yaitu kalender tradisional untuk menghitung Padewasan. Buatlah Tika tersebut pada media yang baik dan menarik, kemudian pamerkan dan presentasikan hasil karya kalian tersebut! AYO UJI PEMAHAMANMU 1. Sebutkan baik buruknya wuku dalam hubungannya dengan pelaksanaan upacara Manusa Yajña! ———————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————— 2. Jelaskan apa yang menjadi dasar Jodoh Tri Premana! ————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————- 3. Wariga dewasa untuk upacara Pitra Yajña (atiwa-tiwa) dapat dibedakan menjadi tiga, sebutkan dan jelaskanlah hal itu? —————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————– E. Menganalisis manfaat ala ayuning dewasa (baik/buruknya hari) dalam kehidupan di Era Global Macam-macam Wariga/Pedewasa Sistem pertanian dalam ajaran Hindu bukanlah suatu hal yang baru, karena perkembangan Agama Hindu di Indonesia tidak lepas dari sejarah perkembangan Agama Hindu di daerah asalnya India. Sebelum pengaruh Agama Hindu dan Budha datang, kepercayaan tradisional masyarakat Indonesia telah mengenal pemujaan terhadap unsur-unsur alam termasuk benda-benda angkasa seperti matahari, bulan dan bintang. Sebagai masyarakat agraris yang relegius terbangun sebuah keyakinan bahwa keberhasilan yang diperoleh tidak lepas dari pengaruh-pengaruh di luar dirinya.Sehingga untuk mendapatkan hasil yang baik tidak lepas dari usaha realitas di luar dirinya. Mencari hari baik (dewasa ayu), serta melakukan kegiatan ritual sebagaisalah satu “resep” jitu untuk menopang keberhasilan dalam aktivitas kehidupan. Sebelum dikenalnya sistem penanggalan seperti dalam kelender yang ada saat ini, dalam menentukan hari baik mereka selalu berpatokan pada munculnya benda-benda lagit (bintang) serta posisi bumi, bulan dan matahari. Hal ini digunakan untuk menentukan hari yang baik dalam bercocok tanam, termasuk aktivitas religi. Jika bintang Wuluku/tenggala (orion) berada tepat di atas, dua dari bintangnya berada di posisi barat dari garis tengah Utara-Selatan jam 18.00-20.23 (dauh wengi) nanceb masa : petani mulai menanam padi yang berumur 4 sampai 5 bulan, seperti padi ijo gading (4 bulan), pokal (4,5 bulan). Jatuh berkisar sasih Palguna-Caitra/ Kaulu-Kesanga (8-9) atau Januari-Pebruhari. Jika Bintang Karawika (Taurus) mulai terlihat di timur berkisar pukul 03.36-05.59 (dauh wengi) mabyan sawah, petani mulai menanam bawang, semangka, dan lain-lain. Jatuh berkisar sasih Shrawana- Bhadrapada/Kasa-Karo (1-2)/Juni-Juli. Dasar pertimbangan dan landasan filosis relegius tersebut, hingga kini diwarisi wariga yang berkaiatan dalam bidang pertanian. Adapun beberapa contoh baikburuknya hari dalam kaitannya bidang pertanian sebagai berikut : Bercocok tanam sesuai Sapta Wara a. Redite menanam tanaman yang beruas (sarwa buku) b. Soma menanam tanaman yang berumbi (sarwa bungkah) c. Anggara tanaman yang daunnya yang berfungsi, (sarwa daun) d. Budha menanam segala yang berbunga (sarwa sekar) e. Wrhaspati menaman segala biji-bijian (sarwa wija) f. Sukra nenanam segala buah (sarwa phala) g. Saniscara menam tanaman merambat (sarwa melilit) Hari baik menanam padi berdasarkan Sapta Wara, Panca Wara dan Wuku a. Redite – Umanis – Merakih b. Coma – Umanis – Tolu c. Anggara – Umanis – Uye d. Budha – Umanis – Julungwangi e. Wraspati – Umanis – Ugu f. Sukra – Umanis – Langkir g. Saniscara – Umanis – Watugunung Pantangan menanam tanaman berdasarkan Sapta Wara, Panca Wara dan Wuku a. Wrhaspati – Pon – Landep b. Redite – Pon – Julungwangi c. Soma – Pon – Dunggulan d. Anggara – Pon – Langkir e. Budha – Pon – Pujut f. Wrhaspati – Pon – Krulut g. Wraspati – Pon – Tambir F. Dampak dari Wariga/Padewasan Agama adalah kebenaran dan kebaikan. Orang-orang yang berpegang teguh padanya akan terimbas oleh kebenaran dan kebaikan agama. Wariga dewasa adalah salah satu cara untuk menjalankan ajaran agama yang berkaitan dengan aktifitas keagamaan, termasuk kegiatan-kegiatan lain yang berhubungan dengan kehidupan. Sehingga pengaruh dari pemahaman terhadap padewan berdampak pada prilaku agama yang semakin konsisten serta pengamalan agama yang semakin intensif. Sehingga kekuatan agama terhadap diri manusia terlihat dari berbagai dimensi kehidupan manusia dalam membentuk sikap keagamaan. Ada beberapa dampak dari pemahaman wariga yang dapat membentuk sikap keagamaan antara lain : a. Dampak moral yaitu salah satu kencendrungan mengembangkan perasaan bersalah ketika manusia berprilaku menyimpang dari hal-hal yang tertuang dalam wariga dewasa. b. Dampak kognitif yaitu meningkatnya pemahaman dan keyakinan manusia, bahwa segala keberhasilan yang diraih oleh manusia tidak saja berasal dari dalam dirinya (usaha) tetapi ada suatu kekuatan yang berasal dari luar dirinya yang bersumber dari Tuhan, yang turut serta memberikan andil dalam keberhasilan tersebut. c. Dampak afektif yaitu pengalaman batin seseorang yang merupakan salah satu faktor yang ada dalam pengalaman setiap orang beragama. Sebagian orang mungkin mengganggap bahwa pelaksanaan upacara-upacara sesuai dengan wariga dewasa sekedar serimonial saja, namun sebagian yang dengan khusuk berlandaskan keyakinan mencurahkan emosinya akan merasakan ketenangan dan kedamaian. d. Dampak psikomotor yaitu adanya kehati-hatian manusia dalam bertindak dan berprilaku dalam kehidupan sehari-hari. e. Dampak sosial yaitu dengan adanya pemahaman wariga dewasa manusia selalu membangun hubungan sosial yang harmonis, bukan saja sesama manusia tetapi juga dengan Tuhan dan alam lingkungannya. UJI KOMPETENSI 1. Jelaskan pengertian wariga dan padewasan menurut arti katanya! ———————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————- 2. Sebutkan tujuan dari adanya wariga ! ———————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————- 3. Bagaimanakah cara menentukan wariga berdasarkan : a. Wewaran b. Wuku c. Penanggal/pangglong d. Sasih e. Dauh ———————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————- REFLEKSI DIRI Setelah Anda mempelajari bab ini, jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini sebagai bahan evaluasi dan refleksi diri Anda! 1. Apakah manfaat yang Anda rasakan secara langsung setelah mempelajari bab ini? 2. Apakah materi-materi yang telah Anda kuasai? 3. Apakah materi-materi yang sulit untuk Anda pahami? 4. Apakah kekurangan atau kelemahan yang ada dalam diri Anda, sehingga Anda sulit memahami materi tersebut? 5. Apakah harapan Anda setelah mempelajari bab ini? GLOSARIUM A aiswarya : kekuatan ilahi; sifat mulia Aksara dīrgā : huruf vokal dengan suara panjang Aksara hṛswa : huruf vokal dengan suara pendek Ardhanareswari : aspek kemahakuasaan Siwa dalam wujud setengah laki-laki dan setengah perempuan. astangga yoga : delapan tahapan/ tingkatan dalam yoga Atman : percikan terkecil dari Tuhan; jiwa awidya : kegelapan pikiran; kebodohan;ketidaksadaran B balian : orang suci yang bertugas untuk mengobati orang yang sakit bhakta : para pemuja Tuhan bhakti : sikap hormat; spiritualitas; pemujaan; taqwa bhāṭara : manifestasi Tuhan, yang memiliki kekuatan dan tugas tertentu bhuana agung : alam yang besar; alam semesta; jagat raya bhuana alit : alam kecil; tubuh manusia bhuta yajñā : upacara kurban suci yang ditujukan kepada alam dan kekuatan alam brahmacari : masa menuntut ilmu Brahman : Tuhan Yang Maha Esa; Ida Sang Hyang Widhi Wasa brata : pengekangan terhadap indria C catur warna : empat stastus sosial di masyarakat berdasarkan profesi/ keahlian cuntaka : rasa duka citta dewa yajñā : upacara kurban suci yang ditujukan kepada Tuhan dan segala manifestasi-Nya D dewa : sinar suci Tuhan; manifestasi Tuhan yang memiliki tugas tertentu Dewata Aṣṭadipalaka : delapan dewa yang menguasai delapan penjuru mata angin Dewata Nawa Sangga : sembilan dewa yang menduduki sembilan penjuru arah mata angin dharma gita : lagu kerohanian dharma tula : siraman rohani; kotbah dharma wacana : siraman rohani; kotbah dharma : kebenaran; kewajiban I iga–iga : bagian rangka dari atap bangunan tradisional Bali J jñāna : ilmu pengetahuan L leteh : kekotoran spiritual linggih : tempat berstana M manah : pikiran mandhir : tempat suci umat Hindu di dalam ruangan; kuil mantra : ucapan-ucapan suci, ucapan-ucapan magis, ucapan-ucapan untuk mengundang kekuatan suci Tuhan manusa yajñā : upacara kurban suci yang ditujukan kepada sesama manusia mapandes : upacara potong gigi māya : kepalsuan mokṣa : persatuan Atman dengan Brahman; kebebasan kekal abadi N nganteb : menghaturkan upakara; memimpin upacara bagi seorang Pamangku ngastawa : memuja, merapalkan doa-doa pujaan ngatelunin : upacara bayi berumur tiga bulan dalam perhitungan kalender Bali atau 105 hari kalender masehi ngenteg linggih : upacara peresmian bangunan suci secara spiritual nirguna brahman : Tuhan Yang Maha Esa tak berwujud, tak tergambarkan, tak terpikirkan niskala : tidak nyata, abstrak nunas bija : memohon beras suci nunas tirtha : memohon air suci O omkara : aksara suci Om (þ); aksara Ongkara (ý) P Panca Brahma : lima aksara suci; lima manifestasi Tuhan panca maha bhuta : lima unsur dasar pembentuk alam semeste, yaitu tanah, air, panas, udara, dan ether panca yajñā : lima macam kurban suci yang tulus ikhlas pandita : orang suci Hindu yang telah melakukan dwijati pangider bhuana : segala penjuru arah alam semesta, merujuk pada konsepsi Dewata Nawa Sangga Paramātman : atman yang tertinggi; Tuhan pasraman : lembaga pendidikan informal di masyarakat yang dijadikan pusat pendidikan agama dan seni keagamaan pawintenan : upacara penyucian bagi orang suci golongan ekajati/ pemangku pengabenan/ ngaben : upacara pembakaran jenazah yang bertujuan untuk mengembalikan unsur-unsur Panca Maha Bhuta kepada asalnya pinandita : orang suci Hindu yang telah melakukan ekajati; pamangku pitara : leluhur pitra yajñā : upacara kurban suci yang ditujukan kepada Tuhan dan segala manifestasi-Nya pradana : aspek feminim; perempuan pujawali : upacara selamatan di Pura; piodalan purāṇa : kisah mitologi Hindu; kisah kuno; salah satu zaman sejarah perkembangan agama Hindu di India purusa : aspek maskulin; laki-laki R rerajahan : gambar dan huruf-huruf magis yang dilukiskan pada suatu media (kertas, kain, batu, dan sebagainya) yang memiliki fungsi tertentu rsi yajñā : upacara kurban suci yang ditujukan kepada orang suci sad ripu : enam musuh dalam diri manusia Sadā Śiwa Tattwa : Hakekat Tuhan yang dapat digambarkan, berwujud, serta memiliki kekuatan dan fungsi tertentu; Saguna Brahman S Saguna brahman : Tuhan yang dapat digambarkan, telah berwujud, serta memiliki kekuatan dan fungsi tertentu sasana : aturan tingkah laku sekah : sesajen yang berupa rangkaian bunga di atas bungkak/ kelapa yang masih muda jenis Nyuh Gading, sebagai simbol roh manusia dalam upacara ngaben sradha : keimanan, kepercayaan sthana : tempat, tempat menetap, wilayah kekuasaan susila : perilaku yang baik swadharma : kewajiban individu T tamba : obat tapa : pengendalian diri tri hita karana : tiga hal yang menyebabkan kebahagiaan dalam hidup tugeh : tiang penyangga kecil pada bangunan tradisional Bali U upakara : sesajen; sarana-sarana pemujaan uttpeti : kemahakuasaan Tuhan untuk menciptakan alam semesta V varna : profesi sesuai keahlian veda : kitab suci agama Hindu vidya : pengetahuan Y yajñā : korban suci yang tulus ikhlas tanpa pamerih yoga : usaha untuk menyatukan diri dengan Tuhan yuga : zaman INDEKS A Ardhanareswari astangga yoga Atman awidya B balian bhakta bhakti bhāṭara bhuana agung bhuana alit bhuta yajñā brahmacari Brahman brata C catur warna cuntaka dewa yajñā D dewa Dewata Aṣṭadipalaka Dewata Nawa Sangga dharma gita dharma tula dharma wacana dharma I iga–iga J jñāna L leteh linggih M manah mandhir mantra manusa yajñā mapandes māya mokṣa N nganteb ngastawa ngenteg linggih nirguna brahman niskala nunas bija nunas tirtha O omkara otonan P Panca Brahma panca maha bhuta panca yajñā pandita pangider bhuana Paramātman pasraman pawintenan pengabenan/ ngaben pinandita pitara pitra yajñā pradana pujawali purāṇa purusa R rerajahan rsi yajñā sad ripu S Saguna brahman sasana sekah sradha sthana susila swadharma T tamba tapa tika tri hita karana tugeh U upakara uttpeti V varna veda vidya Y yajñā yoga yuga DAFTAR PUSTAKA Artadi, I Ketut. 2009. Kebudayaan Spiritualitas Nilai Makna dan Martababt Kebudayaan Dimensi Tubuh Akal Roh dan Jiwa. Denpasar: Pustaka Bali Post. Aryadharma, Ni Kadek Surpi. 2005. Melahirkan Generasi Berkarakter Dewata Kiat Sukses Siswa Menurut Hindu. Denpasar: Pustaka Bali Post. Darmayasa, I Made. 2014. Canakya Niti Sastra. Surabaya: Paramita Darmayasa. 2014. Bhagavad-gītā (Nyanyian Tuhan). Denpasar: Yayasan Dharma Sthapanam. Departemen Pendidikan Nasional. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Djuretna, A. Imam Muhni. 1994. Moral dan Religi Menurut Emile Durkheim dan Hendri Bergoson. Yogyakarta: Kanisius. Donder, I Ketut. 2005. Esensi Bunyi Gamelan Dalam Prosesi Ritual Hindu. Surabaya: Pāramita. Donder, I Ketut. 2006. Brahmavidyā: Teologi Kasih Semesta dan Kritik Terhadap Epistemologi Teologi, Klaim Kebenaran, Program Misi, Komparasi Teologi, dan Konversi. Surabaya: Pāramita. Donder, I Ketut. 2006. Sisya Sista Pedoman Menjadi Siswa Mulia Religiopsikososioedukatif. Surabaya: Paramita. Donder, I Ketut. 2008. Acarya Sista guru dan Dosen yang Bijaksana Perpsektif Hindu. Surabaya: Paramita. Donder, I Ketut. 2010. Teologi – Memasuki Gerbang Pengetahuan Ilmiah tentang Tuhan Paradigma Sanatana Dharma. Surabaya: Paramita. Donder, I Ketut. 2015 a. “Materi Diklat Pengampu Matakuliah Agama Hindu Undiksha Singaraja”. Pendahuluan Diklat Pengampu Matakuliah Agama Hindu Undiksha Singaraja, Universitas Pendidikan Ganesha, 15 Oktober 2015. Donder, I Ketut. 2015 b. “Sarasvati, Sains dan Teknologi (Tuhan adalah Sumber dan Objek Pengetahuan). Seminar Nasional dengan Tema Dewi Saraswati Ilmu Pengetahuan dan Sains, Universitas Negeri Mataram, 15 Nopember 2015. Dwaja, I Gusti Ngurah dan I Nengah Mudana. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti SMA/SMK Kelas XII. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Gautama, Wayan Budha. 2009. Kamus Bahasa Bali (Bali-Indonesia). Surabaya: Pāramita. Gautama, Wayan Budha. 2009. Tutur Aji Saraswati. Surabaya: Paramita. I Nengah Mudana dan I Gusti Ngurah Dwaja. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas XI. Kemeterian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Jendra, I Wayan. 2003. Gita Astawa (Nyanyian Untuk Mencapai Moksa). Denpasar: Krisna Raya. Kadjeng, I Nyoman. 1997. Sārasamuccaya. Surabaya: Pāramita. Kamisa. 1997. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Kartika. Madrasuta, Ngakan Made. 2014. Hindu Menjawab 1. Media Hindu Mantik, Agus S. 2007. Bhagavad Gīta. Surabaya: Pāramita. Mantik, Agus S. 2008. Upaniṣad- Upaniṣad Utama. Surabaya: Pāramita. Mirsha, I Gusti Ngurah Rai dkk. 1991. “Bhuana Kosa” (Alih Aksara dan Alih Bahasa). Denpasar: Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali. Mudana, I Gede. 1999. “Tutur Sang Hyang Widhi” (Alih Aksara Lontar). Denpasar: Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali. Nala, I Gusti Ngurah dan I Gusti Ketut Adia Wiratmadja. 2004. Murddha Agama Hindu. Denpasara: Upada Sastra. Nala, I Gusti Ngurah. 1994: Usada Bali. Denpasar: Upada Sastra. Pandit, Bansi. 2005. Pemikiran Hindu Pokok-pokok Pikiran Agama Hindu dan Filsafatnya. Surabaya: Paramita PGAHN 6 ThnAIngaraja. 1997. Niti Sastra dalam Bentuk Kekawin. Jakarta. Digandakan oleh Ditjen Bimas Hindu Budha Pudja, Gede dan Tjokorda Rai Sudharta. 1973. Mānava Dharmaśāstra (Manu Dharmaśāstra) atau Weda Smṛti Compendium Hukum Hindu. Surabaya: Pāramita. Pudja, Gede. 1982. Bhagawadgita (Pancama Weda). Jakarta: Maya Sari Pudja, M.A. G danTjokorda Rai Sudharta M. A. 2004. Manava Dharma Sastra. Surabaya: Paramita Punyatmadja, Drs. I. B. Oka. 1994. Dharma Sastra. Jakarta: Pesanan Proyek Sarana Keagamaan Hindu Putra. 1987. Cudamani Kumpulan Kuliah-Kuliah Agama Hindu. Surabaya: Pāramita. Raka Mas, Drs. A.A. Gede. 2013. Memekarkan Nuansa Spiritual Sebuah Upaya untuk Mencapai Kebahagiaan Hidup Dunia dan Akhirat Menurut Perpektif Hindu. Surabaya: Paramita Sharma, PT. Kinsalal. 2007. Mengapa Tradisidan Upacara Hindu Dilengkapi dengan Penjelasan-penjelasan Ilmiah. Surabaya: Paramita Simpen, I Wayan. 1982. Kamus Bahasa Kawi Indonesia. Denpasar: Mabhakti Offset. Soebadio, Haryati. tt. Jñānasiddhânta. Jakarta: Djambatan. Suartina, Gede, dkk. 2012. Widya Paramita Agama Hindu untuk SMA Kelas X. Surabaya. Paramita Suartina, Gede, dkk. 2012. Widya Paramita Agama Hindu untuk SMA Kelas XI. Surabaya. Paramita Suartina, Gede, dkk. 2012. Widya Paramita Agama Hindu untuk SMA Kelas XII. Surabaya. Paramita Subagiasta, I Ketut. 2006. Teologi, Filsafat dan Ritual dalam Susastra Hindu. Surabaya: Pāramita. Subagiasta, I Ketut. 2008. Pengantar Acara Agama Hindu. Surabaya: Pāramita. Subandia, I Made. 1990. “Sang Hyang Pancaksara” (Alih Aksara Lontar). Denpasar: Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali. Subandia, I Made. 2000. “Tatwa Akṣara” (Alih Aksara Lontar). Denpasar: Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali. Sudharta,M.A. Prof, Dr. Tjok. 2003. Slokantara. Surabaya: Paramita Sudirga, Ida Bagus dan I Nyoman Yoga Segara. Pendidikan Agama Hindu dan Budi Pekerti Kelas X. Kemeterian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Sudirga, Ida Bagus, dkk. 2007. Widya Dharma Agama Hindu Kelas X. Bandung: Ganesa Exact. Sudirga, Ida Bagus, dkk. 2010. Widya Dharma Agama Hindu Kelas XI. Bandung: Ganesa Exact. Suhardana, K.M. 2010. Wrhaspati Tattwa sebagai Filsafat Agama Hindu. Surabaya: Pāramita. Sujana, I Made dan I Nyoman Suwirta. 2007. Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu. Surabaya: Pāramita. Surada, I Made. 2006. Dharmagītā (Kidung Paña Yajña, Beberapa Wirama, Śloka, Phalawakya dan Macepat. Surabaya: Pāramita. Surada, I Made. 2007. Kamus Sansekerta-Indonesia. Surabaya: Pāramita. Surada, I Made. 2014. “Simbol Keagamaan yang Disakralkan dalam Hindu” dalam Jurnal Brahma Widya Volume 1 No.1 Hal. 13-18. Denpasar: Fakultas Brahma Widya Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar. Surayin, Ida Ayu Putu. 2002. Seri V Upakara Yajna. Surabaya: Pāramita. Teeuw, A. 1982. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Tim Peneliti WHP/WHC. 2015. Konsep dan Praktik Agama Hindu di Bali. Surabaya: Pāramita. Tim Penyusun. 2001. Upadeśa: Tentang Ajaran-ajaran Agama Hindu. Surabaya: Pāramita. Titib, I Made. 1996. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Pāramita. Titib, I Made. 2003. Menumbuhkan Pendidikan Budi Pekerti pada Anak. Jakarta: Ganeca Titib, I Made. 2003. Teologi dan Simbol-simbol dalam Agama Hindu. Surabaya: Pāramita. Vireśvarānanda, Svami. 2004. Brahma Sutra. Surabaya: Pāramita. Watra, I Wayan, dkk. 2008. Bunga Rampai; Babad dan Rerajahan Kajang di Bali. Surabaya: Pāramita. Watra, I Wayan, dkk. 2008. Ulap-Ulap dan Rerajahan dalam Agama Hindu di Bali. Surabaya: Pāramita. Watra, I Wayan. 2007. Pengantar Filsafat Hindu (Tattwa I). Surabaya: Pāramita. Wiana,M. Ag Drs. I Ketut. 2006. Sembahyang Menurut Hindu. Surabaya: Paramita
Was this article helpful? |