Ancaman di bidang Ideologi yang berkembang mengatasnamakan kebebasan individu adalah

Liberalisme adalah sebuah istilah yang mudah disalahpahami. Kesalahan memahami liberalisme bermula dari kesalahan penjelasan yang kerap disengaja atas alasan-alasan yang kurang lebih ideologis untuk menampilkan liberalisme dalam citra yang negatif. Jelas ini adalah sebuah ironi mengingat liberalisme, sebagai seperangkat gagasan sosial politik dan ekonomi, mengusung nilai yang esensial dalam kehidupan manusia dan akan selalu relevan: kebebasan.

Bermaksud antara lain meluruskan kesalahpahaman atas liberalisme tersebut, kantor perwakilan Indonesia dari sebuah yayasan politik yang berpusat di Jerman, Friedrich Naumann Foundation for Freedom (FNF), berinisiatif untuk menerbitkan sebuah buku berjudul Liberalisme Klasik: Perkenalan Singkat (2019). Buku ini diterjemahkan dari buku berjudul Classical Liberalism: A Primer, yang ditulis oleh Eamonn Butler, Direktur Adam Smith Institute, sebuah think tank terkemuka di Inggris.

Seperti ditulis Sinta Suryani, Program Officer FNF Indonesia, dalam pengantar penerbit untuk buku karya Butler tersebut, “kata ‘Liberalisme’ sering kali dikaitkan dengan kebebasan tanpa aturan.” Di Indonesia, “seiring dengan 20 tahun era Reformasi,” tulis Sinta, “demokrasi saat ini acapkali dikatakan terlalu ‘liberal’ dengan berkaca pada berbagai kebebasan yang berkembang.”

Demikian dalam benak awam di Indonesia, kebebasan dikesankan sebagai kurangnya tanggung jawab, seolah kehidupan yang bebas adalah kehidupan semau gue yang tanpa batas, kekacauan dalam kehidupan sosial yang rentan konflik, merusak tata ekonomi yang berkeadilan sosial, dan berbagai kesan negatif lainnya. Masalahnya: apakah seburuk itu arti kebebasan dan liberalisme? Setelah membaca buku karya Butler ini, pikiran awam yang cenderung mencitrakan kebebasan secara negatif boleh jadi akan berbalik 180 derajat!

Konstruksi Buku

Didahului dengan sebuah bab tentang karakteristik pemikiran liberalisme klasik, pembahasan dalam buku ini dilanjutkan dengan sebuah ulasan geneaologis tentang akar-akar pemikiran liberalisme klasik sejak era Anglo Saxon hingga perkembangannya dalam bentuk yang modern. Bagian selanjutnya dari buku ini membahas isu-isu pokok yang didiskusikan oleh para pemikir liberal klasik seperti argumen untuk kebebasan, moralitas, politik, kehidupan bermasyarakat, dan ekonomi.

Pembahasan dilanjutkan dengan kondisi liberalisme klasik dewasa ini, yang mengulas seputar impian dan prospek liberalisme klasik, juga tantangan yang harus direspons oleh para pendukung liberalisme klasik.

Tidak lupa Butler juga menyajikan sebuah bab yang mengulas pokok-pokok pemikiran sejumlah tokoh utama liberalisme klasik mulai dari John Locke (1632-1704), Adam Smith (1723-1790), Immanuel Kant (1724-1804), Thomas Jefferson (1743-1826), Frédéric Bastiat (1801-1850), hingga para pemikir “abad kita” seperti F.A. Hayek (1899-1902), Ayn Rand (1905-1982), Milton Friedman (1912-2006), dan Robert Nozick (1938-2002). Selain itu, buku ini juga dilengkapi dengan kutipan tentang isu-isu yang didiskusikan oleh beberapa pemikir liberalisme klasik yang dibahas.

Moral, Politik, dan Ekonomi Kebebasan

Sejak bagian awal bukunya, Butler menggarisbawahi liberalisme klasik bukan sebagai ide yang bersifat tetap, tetapi sebagai spektrum cara pandang yang dinamis tentang berbagai permasalahan sosial, politik. dan ekonomi, yang didasarkan pada kepercayaan terhadap kebebasan individu dan bahwa penggunaan paksaan pada individu oleh pihak lain harus dikurangi.

Menurut Butler, meski terentang sebagai sebuah spektrum, cara pandang liberalisme klasik bisa dikenali dalam sepuluh prinsip yang menjadi kesepakatan bersama para pengusungnya. Prinsip-prinsip itu adalah (1) praduga kebebasan, (2) keutamaan individu. (3) minimalisasi paksaan, (4) toleransi, (5) pemerintahan perwakilan dan terbatas, (6) supremasi hukum, (7) keteraturan spontan, (8) kepemilikan, perdagangan, dan pasar, (9) masyarakat sipil, dan (10) nilai bersama manusia. (h. 4-15).

Bagi liberal klasik, kebebasan individu harus diasumsikan lebih dulu, meskipun mereka memiliki alasan yang beragam tentang praduga kebebasan ini. Sebagian mengaitkannya dengan hakikat kebebasan yang baik pada dirinya sendiri. Sejumlah tokoh liberal klasik mengaitkan kebebasan dengan hak-hak alami manusia, tetapi ada juga tokoh yang menempatkannya dalam kerangka kontrak sosial yang dibuat manusia dalam kondisi alaminya. Bagi sebagian liberal klasik, kebebasan dipandang sebagai prasyarat manusia, sementara bagi sebagian lain kebebasan adalah cara terbaik untuk memaksimalkan kesejahteraan manusia secara luas.

Apa yang disetujui bersama oleh liberal klasik adalah bahwa beban pembuktian haruslah pada mereka yang ingin mengintervensi kebebasan. Penggunaan paksaan untuk mengekang kebebasan tidak boleh digunakan kecuali jika telah bisa dibenarkan secara jelas dan rasional.

Praduga kebebasan yang diajukan liberal klasik, betapapun berbeda pada alasan pendasarannya, berada dalam kerangka individualisme. Artinya, kebebasan individu harus didahulukan daripada keuntungan kolektif. Pendirian liberal klasik ini didasarkan pada sebuah individualisme yang metodologis ketimbang metafisis, yang memandang individu-individu sebagai unit analisis sosial yang teramati dalam pikiran, tindakan, dan relasinya satu sama lain. Masyarakat dibentuk oleh individu-individu, bukan sebaliknya.

Para pemikir liberal klasik, pada prinsipnya, menolak keteraturan lewat pemaksaan individu. Ini terkait dengan pandangan liberal klasik tentang kebebasan sebagai kebebasan negatif, yakni kebebasan dari kekangan lewat paksaan atau campur tangan pihak lain. Liberal klasik kuatir bahwa pendekatan kebebasan positif menaruh terlalu banyak kepercayaan pada otoritas manusia, seolah sekelompok manusia tertentu memiliki rasionalitas dan objektivitas yang lebih baik untuk mengatur hidup orang lain. Karena itu, sebisa mungkin dihindari, tidak peduli apakah paksaan itu dilakukan oleh individu, kelompok, atau pemerintah.

Prinsip meminimalkan paksaan ini mengkarakterisir prinsip lain yang dianut liberal klasik, yaitu toleransi. Liberal klasik memahami individu-individu sebagai subyek moral yang meniscayakan pluralisme moral dalam masyarakat, di mana setiap orang bisa berbeda pandangan tentang nilai dan hal-hal yang mereka anggap baik dan penting. Toleransi berarti menghindari penggunaan kekerasan untuk mengubah kepercayaan, pandangan, dan gaya hidup berdasarkan standar moral oleh satu pihak terhadap pihak lain.

Perbedaan opini harus ditoleransi dalam sebuah masyarakat yang bebas sejauh suatu opini tidak menyerukan tindakan yang mengakibatkan terciderainya kebebasan pihak lain. Intervensi kebebasan hanya bisa dibenarkan untuk mencegah aksi kekerasan yang menciderai kebebasan orang lain. Toleransi, bagi liberal klasik, adalah fondasi bagi kerja sama damai dalam sebuah masyarakat yang bebas.

Liberal klasik percaya bahwa alasan yang sah untuk keberadaan negara adalah untuk melindungi hak orang-orang. Alih-alih mengambil kebebasan, pemerintah bertugas memperluas kesempatan dan kebebasan dengan melindungi hak setiap anggota masyarakat dan mendorong relasi yang damai di antara para anggota masyarakat.

Liberal klasik adalah demokrat yang skeptis. Mereka menerima demokrasi dengan mengakui bahwa beberapa fungsi minimum dalam kehidupan bernegara membutuhkan kegiatan kolektif. Namun, karena setiap individu adalah subyek moral, tidak satupun di antara kita memegang kewenangan natural untuk menguasai orang lain. Jika kewenangan semacam itu harus ada, maka ia harus didasarkan pada persetujuan bersama. Pemerintahan harus didasarkan oleh konstitusi yang dibuat untuk pada satu sisi membatasi kekuasaan, tapi juga pada sisi lain memberikan kekuasaan yang tidak bisa dibatalkan dengan mudah oleh mereka yang menjadi mayoritas atau berkuasa.

Banyak liberal klasik membatasi kewenangan pemerintah hanya pada jaminan keamanan dan sistem peradilan. Tetapi sebagian lain, seperti Adam Smith, berpandangan bahwa pemerintah juga seharusnya menyediakan fasilitas umum seperti jembatan dan pelabuhan, dan memberi bantuan untuk pendidikan masyarakat.

Karena liberal klasik sangat mewaspadai kekuasaan pemerintah, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana masyarakat akan diatur? Sebenarnya, liberal klasik punya penjelasan lengkap tentang bagaimana masyarakat mengatur dirinya sendiri, tanpa memerlukan kekuasaan terpusat–ide keteraturan spontan.

Keteraturan sosial berevolusi. Bahasa, Common Law, moral, adat istiadat dan pasar berubah dan beradaptasi berdasarkan kebutuhan zaman. Liberal klasik percaya bahwa keteraturan sosial yang spontan tetapi bisa diprediksi, kooperatif, tanpa kekerasan, stabil, dan adil, muncul hanya dengan mengikuti sedikit aturan yang bersifat umum (tanpa pengecualian yang membingungkan), universal (berlaku bagi semua orang) dan stabil (tidak sering berubah sampai orang menjadi bingung tentang aturan tersebut).

Bersama dengan kebebasan sosial dan politik, liberal klasik juga membela kebebasan ekonomi. Setiap orang harus bebas menemukan, menciptakan, menabung, memiliki properti, dan bertukar properti secara sukarela dengan orang lain. Hak atas kepemilikan properti menjadi fundamental demi beroperasinya keteraturan yang menguntungkan ini. Seseorang dengan pemilikan yang dilindungi bisa menukarkan sesuatu dari propertinya dengan orang lain yang menilainya secara lebih tinggi—yang berarti menguntungkan kedua belah pihak.

Kunci keberhasilan kebebasan ekonomi terletak pada fakta bahwa satu-satunya cara bagi setiap orang untuk memuaskan kepentingannya adalah dengan memenuhi kebutuhan dan kepentingan orang lain. Persaingan terbuka adalah penggerak utamanya. Ketika seorang pelanggan memiliki pilihan dari beragam pemasok untuk produk-produk yang dia akan pilih, pemasok akan saling bersaing untuk melayani kebutuhan tersebut dengan cara yang memakan biaya paling efektif.

Ekonomi bebas membawa perdamaian kepada orang-orang dengan berbagai nilai kepercayaan yang berbeda. Pembeli dan penjual bisa bebas bekerjasama satu dengan yang lain persis karena mereka berbeda dalam cara mereka menilai suatu barang atau jasa tertentu. Liberal klasik bersikukuh bahwa perdagangan internasional harus sebebas perdagangan dalam negeri. Hal ini memungkinkan terjadinya spesialisasi keunggulan di antara negara-negara, yang membuat para pelanggan bisa menikmati aneka barang dari berbagai penjuru dunia.

Kebebasan dan Masa Depan Liberalisme Klasik

Liberalisme klasik berjaya pada abad ke-17 dan ke-18. Inilah yang menyebabkan perdagangan bebas dan pertumbuhan ekonomi mengalami kemajuan yang pesat pada abad ke-19. Namun, masyarakat industri yang terbentuk seiring kemajuan ekonomi itu, bagaimanapun, melahirkan permasalahan: keretakan keluarga, urbanisasi yang cepat, dan perasaan akan ketimpangan karena orang-orang dengan kondisi-kondisi yang berbeda tinggal dalam jarak yang semakin dekat dari sebelumnya.

Harus diakui, masyarakat industri baru yang sarat persoalan menyuburkan lahan bagi tumbuhnya ideologi-ideologi anti-kebebasan pada abad ke-20: sosialisme, komunisme, dan pada puncaknya nasionalisme-sosialisme. Didukung dengan militerisme yang memaksakan sentralisasi, ideologi-ideologi anti-kebebasan membawa masyarakat dunia kepada konflik kemanusiaan yang dahsyat, Perang Dunia I.

Alih-alih merestorasi kebebasan, kebijakan ekonomi pasca-perang yang diambil pihak pemenang memperkuat sentralisasi. Ekonom Inggris Jhon Maynard Keynes (1883-1946) mengenalkan sebuah ekonomi perencanaan yang tersentralisasi, yang sebetulnya dirancang hanya untuk masa depresi. Sejak ini, keuntungan yang baru saja tercipta oleh perdamaian pasca-perang tersia-sia untuk memperbesar pemerintah dan belanja negara, yang akhirnya mendorong inflasi bersamaan dengan pengangguran dan stagnansi ekonomi.

Di mata para tokoh liberalisme klasik abad ke-20, masalah-masalah yang muncul dari ekonomi Keynesian bukanlah hal yang mengejutkan. Adalah sebuah kesombongan yang berbahaya, kata Hayek, jika kita membayangkan dapat memanipulasi keteraturan spontan dalam kehidupan sosial dan ekonomi semau kita.

Bermula dari pertemuan sejumlah tokoh liberal klasik dari Eropa dan Amereka di tepi Danau Jenewa pada April 1947, liberalisme klasik bangkit kembali dengan tawaran gagasan-gagasan yang lebih segar dan relevan dengan masalah-masalah yang dihadapi. Pasca-pertemuan, berbagai think tank liberalisme klasik berdiri, dan beberapa ekonomnya—Hayek, George Stigler, Milton Friedman, dan Gary Becker—mendapatkan Hadiah Nobel atas kontribusi pemikiran mereka dalam bidang ekonomi. Sampai akhir abad ke-20, gagasan-gagasan liberalisme klasik menjadi rujukan utama para pemimpin dunia.

Memang, masih banyak tantangan yang dihadapi oleh liberalisme klasik, sebagaimana tantangan terhadap wacana kebebasan itu sendiri. Bagaimanapun, para penguasa politik tidak akan pernah sungguh-sungguh merelakan kekuasaan mereka dibatasi meskipun pembatasan itu didasarkan pada argumen-argumen moral yang sulit digugat. Mereka selalu punya alasan untuk membatasi kebebasan individu dalam kehidupan personal dan sosial politik maupun ekonomi, sambil terus-menerus mempropagandakan permusuhan terhadap ide-ide liberalisme.

Tantangan lain juga datang dari mereka—khususnya di Amerika Serikat—yang menyebut diri mereka liberal namun tidak menerima ide-ide liberalisme klasik dengan utuh. Kaum liberal di Amerika Serikat memang menerima ide-ide kebebasan sipil, hal yang membedakan mereka dari kaum konservatif. Tapi pada saat yang sama, kecurigaan mereka yang besar terhadap prinsip kepemilikan pribadi dan pertukaran sukarela mendorong mereka memberikan kepercayaan yang sangat besar pada negara untuk mengintervensi ekonomi, sikap yang jelas bertentangan dengan liberalisme klasik.

Di banyak negara, ide-ide liberalisme klasik dalam bidang ekonomi ditantang oleh nasionalisme ekonomi yang menutup diri dari keuntungan pasar bebas internasional atas nama kepentingan domestik, juga oleh berbagai varian sosialisme yang mengatasnamakan keadilan sosial sebagai dalih proteksi untuk kepentingan kelompok-kelompok privat tertentu yang berkongsi dengan elit-elit politik. Dalam kehidupan sosial politik, ide-ide liberalisme klasik juga mendapat tantangan dari ultranasionalisme dan fundamentalisme agama yang mengkampanyekan ide-ide intoleransi atas alasan rasial, kebangsaan, dan agama.

Tidak ada manusia yang sempurna, dan dunia tidak bisa dijelaskan hanya dengan prinsip atau diatur dengan perhitungan sederhana. Sebuah kejadian merupakan hasil dari berbagai tindakan yang biasanya tidak selalu bisa diprediksi, dan sering tidak sengaja dirancang, oleh manusia-manusia yang sering kali tidak rasional dan jauh dari menguntungkan.

Tetapi, satu hal yang tidak diragukan, pasar, baik dalam pertukaran ide maupun barang dan jasa, punya cara tersendiri untuk mengoreksi semua kekeliruan dari tantangan-tantangan tersebut. Berkat kemajuan teknologi transportasi dan telekomunikasi yang meningkatkan interaksi individu antar-bangsa, dukungan terhadap kebebasan individu dalam kehidupan sipil dan politik serta ekonomi terus menyebar ke segala penjuru dunia di tengah berbagai upaya pembatasan yang tak kunjung henti.

Penutup

Sesuai judulnya, Liberalisme Klasik menyajikan pembahasan yang ringkas namun komprehensif dan mudah dipahami tentang liberalisme klasik, sebuah filsafat politik yang berpengaruh kuat terhadap perkembangan wacana kebebasan sejak akhir abad ke-17 hingga sekarang. Sebagai sebuah perkenalan singkat, buku ini lebih dari sekadar memadai dalam membantu pembacanya untuk memahami gagasan-gagasan inti liberalisme klasik dan mengenal tokoh-tokoh utamanya, dan bagaimana gagasan klasik ini berkontribusi besar dalam pembentukan dunia kita sekarang dan bahkan di masa depan.

INFORMASI BUKU

Ancaman di bidang Ideologi yang berkembang mengatasnamakan kebebasan individu adalah
 
Judul : Liberalisme Klasik: Perkenalan Singkat
Pengarang : Eamonn Butler
Penerjemah : Juan Mahaganti
Editor : Muhamad Iksan
ISBN : 978-979-1157-50-6
Penerbit : Friedrich Naumann Foudation Indonesia, bekerjasasama dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Edisi Cetakan : Cetakan Pertama, Maret 2019