Anggota Badan Penyelidik Usaha persiapan kemerdekaan Indonesia sekaligus tokoh Muhammadiyah adalah

MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA— Hari Pahlawan yang rutin diperingati setiap 10 November didasari Keputusan Presiden No. 316 Tahun 1956 tentang Hari-hari Nasional yang “Bukan Hari Libur”, Keppres tersebut ditandatangani oleh Presiden Soekarno.

Muhammadiyah yang usianya lebih tua dari Republik Indonesia tentu memiliki sumbangsih terhadap perjalanan bangsa ini. Kader-kader Muhammadiyah banyak yang mewakafkan dirinya demi tercapainya kemerdekaan Indonesia.

Publik mungkin hanya mengenal KH. Ahmad Dahlan, Nyai Siti Walidah, Buya Hamka, Ir. Soekarno, Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Kasman Singodimejo, dan Jenderal Sudirman sebagai Pahlawan Nasional dari Muhammadiyah. Ternyata bukan mereka saja, berikut 6 Pahlawan Nasional dari Muhammadiyah yang jarang diketahui:

1.      Ar Baswedan

Ar Baswedan atau Abdurrahman Baswedan lahir pada tanggal 9 September 1908 di Surabaya dan meninggal dunia pada tanggal 16 Maret 1986 di Jakarta. Ia besar di kota kelahirannya yang pada saat itu menjadi salah satu pusat perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Ketokohan Abdurrahman Baswedan mendapat pengakuan dari pemerintah pendudukan Jepang dan pemimpin pergerakan nasional sehingga ia diangkat menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mewakili golongan Arab.

Di Muhammadiyah ia aktif sejak usia belia, tercatat sejak usia 17 tahun Ar Baswedan sudah aktif sebagai mubaligh Muhammadiyah. Bahkan, KH. Mas Mansoer kerap memintanya untuk bertabligh, menyebarluaskan kemuhammadiyahan serta keislaman di berbagai daerah.

2.      H. Adam Malik

Pria yang bernama lengkap Adam Malik Batubara ini lahir di Pematangsiantar 22 Juli 1917 ini mengawali karir perjuangannya sebagai anggota Kepanduan Hizbul Wathan di Pematang Siantar. Ia pada 1934, mendirikan dan sekaligus sebagai Ketua PARTINDO Cabang Pematang Siantar dengan basis massa terdiri dari para sopir.

Semangat kebebasan bersikap dalam pergaulan internasional tercermin dalam deklarasi Bangkok dengan prinsip dasar ASEAN tahun 1967. Sebagai Menteri Luar Negeri, Adam Malik juga berperan dalam proses perundingan Indonesia – Belanda tentang Irian Barat.

Kemampuannya tampak jelas saat berperan terus menerus sejak pra kemerdekaan, Orde Lama maupun Orde Baru, hingga mencapai puncaknya ketika menjabat Wakil Presiden RI (1978 – 1983).

3.      Ir. Djuanda Kartawidjaja

Ir. H. Djuanda Kartawidjaja merupakan Pahlawan Nasional yang berperan dalam integrasi daratan dan lautan Indonesia melalui Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957. Ia lahir pada 14 Januari 1911 dan meningeal pada 7 November 1963.

Pada tahun 1946 diangkat menjadi Menteri Muda Perhubungan merangkap Kepala Jawatan Kereta Api. Selama kariernya di pemerintahan RI duduk sebagai Menteri Muda satu kali, sebagai Menteri empat belas kali dan sebagai Menteri Pertama tiga kali.

Bukan hanya pada negara, pada Muhammadiyah Ir. Djuanda pernah memberikan sumbangsihnya sewaktu menjabat Direktur SMA Muhammadiyah Jakarta. Diceritakan, Djuanda ditawari menjadi asisten profesor di Technische Hoge School dengan gaji 275 Guiden. Namun tawaran itu ditolaknya. Ia lebih memilih mengabdikan diri menjadi pengajar di Muhammadiyah.

Djuanda dianugerahi gelar Pahlawan Nasional b erdasarkan: Keppres No. 244 Tahun 1963, 29 November 1963.

4.       Lafran Pane

Lafran Pane lahir pada 5 Februari 1922, ia merupakan anak dari Sutan Pangarubaan Pane, salah seorang Pendiri Muhammadiyah di Sipirok, ayahnya sekaligus aktif sebagai wartawan.

Jejak pendidikannya dimulai dari pendidikan pesantren Muhammadiyah di Sipirok, kemudian lanjut ke HIS Muhammadiyah di Kota Sibolga, lalu kemudian kembali ke Sipirok untuk melanjutkan belajarnya.

Pada tahun 1937 ke Batavia, di sana ia kembali melanjutkan sekolah di HIS Muhammadiyah, kemudian ke Mulo Muhammadiyah, AMS Muhammadiyah. Lalu ke Yogyakarta untuk melanjutkan belajarnya.

Lafran Pane merupakan pendiri organisasi mahasiswa berlabelkan islam pertama di Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam yang memiliki dua tujuan dasar, yakni mempertahankan negara Republik indonesia, dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia.

Berdasarkan: Keputusan Presiden RI Nomor 115/TK/TAHUN 2017 tanggal 6 November 2017, Lafran Pane dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.

5.      Dr. Sutomo

Soebroto yang kemudian berganti nama menjadi Soetomo, dan lebih dikenal dengan dokter Soetomo lahir 30 Juli 1888 di Nganjuk, dan meninggal pada 30 Mei 1938 di Surabaya. Ia dikenal sebagai dokter bumiputera yang kompeten, dirinya juga aktif di Organisasi Budi Utomo.

Di Muhammadiyah dr. Soetomo pernah menjabat sebagai Medisch Adviseur (Penasehat Kesehatan/Medis) H.B. PKO Muhammadiyah. Pada Ahad, 14 September 1924 saat Pembukaan Poliklinik Muhammadiyah Surabaya menyampaikan pidato di hadapan Haji Syudja’ dan Ki Bagus, sebagai PB Muhammadiyah.

Berdasarkan: Keppres No. 657 Tahun 1961, 27 Desember 1961 dr. Sutomo dianugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia.

6.      Teuku Muhammad Hasan

Teuku Sarong atau yang kemudian berganti nama Teuku Muhammad Hasan lahir di Pidie, Aceh pada 4 April 1906. Ia dikenal sebagai tokoh nasional dari Aceh yang berhasil menyatukan gejolak di Sumatera di bulan-bulan awal kemerdekaan.

ia juga tercatat sebagai anggota BPUPKI dan ikut merumuskan Pembukaan Undang Undang Dasar 1945. Di masa pasca kemerdekaan ia dikukuhkan menjadi gubernur pertama Sumatera dengan Ibu Kota Provinsi di Medan.

Di Muhammadiyah, ia turut aktif memajukan Muhammadiyah Cabang Aceh. Hingga pada tahun 1928 bersama dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah di sana, berhasil mendirikan Hizbul Wathan, serta gerakan putri Muhammadiyah.

Berdasarkan: Keppres No. 085/TK/TH. 2006, 3 November 2006 Teuku Muhammad Hasan dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.

Tags: Hari PahlawanKader MuhammadiyahpahlawanTokoh

Oleh: Afandi

Ki Bagus Hadikusuma (ejaan lama: Ki Bagoes Hadikoesoemo) adalah Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhamadiyah ke-5 antara tahun 1942 hingga 1953. Banyak orang mengenal Ki Bagus sebagai tokoh di balik rumusan Pancasila, UUD dan figur penting di dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) serta Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Tapi banyak juga yang belum mengerti bagaimana sepakterjang Ki Bagus selama menjadi aktivis sekaligus pimpinan Muhammadiyah.

Muhammad Hisyam dalam buku berjudul Caught Between Three Fires, The Javanese Pangulu Under the Dutch Colonial Administration 1882-1942 (2001) menyebutkan bahwa ketika KH. Ahmad Dahlan meninggal pada 1923, Ki Bagus menggantikan posisi gurunya tersebut di Dewan Tokoh Agama (Priestraad) Hindia Belanda. Aspirasi yang dibawa oleh Ki Bagus adalah penguatan posisi hukum Islam dan berusaha menaikkan kedudukan hukum Islam di dalam pemerintahan meskipun pada akhirnya Ki Bagus kecewa karena rekomendasi yang dia berikan kepada pemerintah malah tidak diacuhkan.

Pada buku berjudul Ki Bagus Hadikusumo dan Problem Relasi Agama-Negara (2011), Muhammad Hisyam memandang Ki Bagus berhasil mengawal bangsa Indonesia agar Indonesia tidak menjadi negara teokrasi ataupun negara sekuler. Sebagaimana yang sejak mula memang tidak dapat disepakati secara bulat oleh kaum Islam dan nasionalis dalam BPUPKI dan PPKI.

Gelar Pahlawan

Pada 5 November 2015 Presiden Joko Widodo melalui Keppres Nomor 116/TK/2015 memutuskan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Ki Bagus Hadikusumo setelah Muhammadiyah mendaftarkan pengajuan pada November 2012. Sembilan belas tahun sebelumnya pada 1993, Ki Bagus juga mendapatkan penghargaan Bintang Maha Putra dari mendiang Presiden Soeharto.

Ketua Tim Pengajuan Gelar, mendiang A.M Fatwa membawakan tiga alasan utama mengapa Ki Bagus Hadikusumo layak mendapatkan gelar pahlawan. Pertama, Ki Bagus merupakan pahlawan perintis kemerdekaan, Kedua, Ki Bagus tercatat sebagai salah satu perumus dasar negara Republik Indonesia. Ketiga, Ki Bagus memiliki visi kenegarawanan.

Berhasilnya gelar anugerah gelar kepahlawanan bagi Ki Bagus bukan berarti membuat generasi berikutnya teliti dalam mengkaji sosok Ki Bagus Hadikusumo. Hambatan utama justru datang dari pembaca sejarah yang menafsirkan kekukuhan Ki Bagus dalam mempertahankan tujuh kata di dalam Piagam Jakarta adalah sebagai upaya untuk mendirikan negara Islam. Menanggapi hal tersebut, cucu Ki Bagus Hadikusumo yakni Gunawan Budiyanto memandang bahwa persepsi tersebut sebagai hal yang menggelitik, demikian ditulis Hendra Kurniawan di harian Bernas pada 13 November 2015.

Gunawan meluruskan bahwa maksud kakeknya mempertahankan tujuh kata dalam Piagam Jakarta adalah sebagai bentuk penekanan pada prinsip agar menjadikan Islam sebagai pedoman etik bagi pemimpin negara tanpa sama sekali ada maksud untuk mendirikan negara Islam. Umat Islam sebagai konstituen mayoritas dalam Republik Indonesia berhak meminta negara menjadikan pemberlakuan hukum Islam sebagai perhatian utama negara, demikian yang dibawa oleh Ki Bagus dalam masa sidang BPUPKI hingga PPKI.

Kisah Sidang BPUPKI

Pada Sidang kedua BPUPKI 10-17 Juli 1945, salah satu hal yang menyita perhatian adalah upaya Ki Bagus untuk meminta Ketua Panitia UUD Ir. Soekarno mengubah frasa dalam bagian akhir naskah preambul Pernyataan Kemerdekaan yang berbunyi  “dengan berdasar kepada ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” untuk diperjelas menjadi “berdasar kepada Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam” atau dihilangkan sama sekali. Soekarno bergeming untuk menerima usulan Ki Bagus yang disampaikan beberapa kali.

Sambil menggebrak meja, anggota BPUPKI lainnya Abdul Kahar Muzakir mendukung pernyataan Ki Bagus agar potensi mudharat atas kalimat tersebut dipertimbangkan sebaik mungkin. Tujuan Ki Bagus semata demi menjaga rasa keadilan di antara umat beragama dan menjaga persatuan bangsa Indonesia, selain menghindari kesan yang tidak baik dan adanya infiltrasi dari agen-agen musuh meski pada akhirnya, usulan tersebut tidak diterima dan perdebatan diakhiri pada 16 Juli 1945, demikian yang tercatat dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945 (1995).

Bagaimanapun Ki Bagus tetaplah murid KH Ahmad Dahlan yang ingin memperjuangkan aspirasi hukum Islam di dalam negara sebagaimana yang telah dilakukannya dewan Priestraad Hindia-Belanda, meneruskan perjuangan gurunya. Dirasa tidak ada jalan lain untuk meninggikan kedudukan Hukum Islam, Ki Bagus akhirnya menerima tujuh kata yang pada awalnya tidak disepakatinya tersebut dan berusaha mempertahankannya. Konsekuensi yang tidak diinginkannya justru datang satu hari setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia menjelang penetapan UUD oleh PPKI pada 18 Agustus 1945.

Malam hari setelah proklamasi, proklamator Mohammad Hatta menyatakan bahwa seorang opsir Angkatan Laut Jepang dari armada wilayah timur Indonesia telah menemuinya dan menyampaikan pesan bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik berkeberatan dalam pembukaan UUD yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” demikian dalam otobiografi Mohammad Hatta Memoir (1979).

Toleransi Otentik Ki Bagus

Pernyataan tersebut dianggap menusuk hati orang non-muslim meskipun salah satu anggota Panitia Sembilan yang beragama Kristen, AA Maramis tidak merasa demikian dan mengganggap wajar bagi Indonesia yang 90 persen penduduknya adalah umat Islam. Tidak tanggung-tanggung, ancaman yang diberikan jika pemerintah tidak menghapus kalimat tersebut adalah lepasnya wilayah timur dari Republik Indonesia. Dalam suasana yang genting sehari setelah Kemerdekaan, kunci utama untuk memperbolehkan tujuh kata yang telah disepakati apakah boleh dihapus atau tidak adalah Ki Bagus Hadikusumo.

Soekarno yang telah memutuskan bagian untuk umat Islam dalam tujuh kata Piagam Jakarta itu malu untuk menyatakan berita ini kepada Ki Bagus. Dalam buku Hidup Itu Berjuang: Kasman Singodimedjo 75 Tahun (1982) Kasman Singodimedjo menyatakan bahwa Soekarno mengutus Hatta dan Mr. Teuku Mohammad Hasan untuk menemui Ki Bagus yang pada akhirnya pulang dengan tangan kosong, menyusul demikian KH Wahid Hasyim yang bernasib sama. Ki Bagus pada akhirnya luluh setelah Kasman Singodimedjo datang membujuk dalam bahasa Jawa halus dan tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu pun dihapus. Nur Hidayat Sardini dalam buku  60 Tahun Jimly Asshiddiqie: Sosok, Kiprah, dan Pemikiran (2016) menulis bahwa AM Fatwa melihat kerelaan Ki Bagus Hadikusumo dalam menghapus tujuh kata penting tersebut sebagai kebesaran hati demi menjaga kesatuan dan persatuan bangsa.

Ki Bagus Sangat Njawani

Ki Bagus Hadikusumo lahir di Kauman, Yogyakarta pada 11 Rabi’ul Akhir 1308 (24 November 1890) dengan nama Raden Hidayat bin Raden Kaji Lurah Hasyim. Kelak, kecintaan terhadap identitas Jawa membuat Raden Hidayat mengubah namanya yang berasal dari bahasa Arab kepada bahasa Jawa yang dianggapnya lebih membumi dan dekat menjadi Ki Bagus Hadikusumo.

Muhammad Hisyam dalam Ki Bagus Hadikusumo dan Problem Relasi Agama-Negara (2011) menyatakan bahwa Ki Bagus lebih sering memakai pakaian bergaya Jawa daripada memakai pakaian maupun simbol yang biasa dipakai oleh seorang kiai pada masa itu seperti sorban. Ki Bagus lebih memilih memakai memakai blangkon dan beskap, tetapi dengan kombinasi sarung, dan menulis beberapa buku dalam bahasa Jawa.

Meski hidup dalam lingkungan Islam taat di Kauman dan mendapatkan pendidikan Islam yang ketat, Ki Bagus merupakan sosok seorang muslim moderat yang adil dan pandai dalam memilah urusan akidah dan muamalah. Selain mendapatkan pengajaran Islam dibawah bimbingan ayahnya yang merupakan pejabat urusan agama Islam Kesultanan Yogyakarta, Ki Bagus juga turut menjadi murid pendiri Muhammadiyah Kyai Haji Ahmad Dahlan. Guna memperluas ilmu agama, Ki Bagus menjadi santri di Pesantren Wonokromo yang berada di selatan Yogyakarta, dan kemudian dilanjutkannya di Makkah selama enam cawu.

Dalam belajar ilmu umum, Ki Bagus yang merupakan priyayi tersebut memilih belajar di sekolah dasar bagi warga kelas dua ‘Ongko Loro’ atau Volkschool Gubernemen dengan pengantar bahasa Jawa yang kelak pada masa pendudukan Jepang diubah namanya menjadi Sekolah Rakyat. Tercatat, Ki Bagus menguasai lima bahasa yakni Jawa, Melayu, Belanda, Arab dan Inggris.

Menariknya, meskipun tegas dalam prinsip akidah Tauhid, Ki Bagus mampu membedakan mana masalah pokok yang tidak dapat ditawar dan masalah muamalah yang memiliki ruang untuk dikembangkan. Ki Bagus belajar bahasa Inggris dari seorang tokoh utama Ahmadiyah asal Pakistan di Yogyakarta, Mirza Wali Ahmad Ba’iq, kendati pada sisi yang lain dirinya tegas menolak kewajiban perintah Sei-Kerei pemerintah kolonial Jepang, yaitu membungkuk ke Tenno Haika dan Dewa Matahari setiap pagi.

Peran Ki Bagus pada Kemerdekaan Indonesia

Ketika berusia 32 tahun pada 1922, Ki Bagus menjadi ketua Majelis Tabligh Muhammadiyah dan selang empat tahun berikutnya menjadi Ketua Majelis Tarjih sekaligus menjadi anggota komisi pengurus utama (hoofdbestuur) Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Aktif dalam berbagai organisasi dan menjadi tokoh masyarakat, membuatnya bersama Soekarno dan Hatta pergi ke Tokyo pada Februari 1945 guna melakukan pembicaraan dengan Kaisar Hirohito terkait upaya menuju kemerdekaan Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka, Ki Bagus juga dikenal sebagai salah seorang pendiri Angkatan Perang Sabil (APS) yang dibentuk dalam upaya menghadapi Agresi Militer Belanda I Yogyakarta pada 21 Juli 1947. Angkatan Perang Sabil bermarkas di Masjid Taqwa di Kampung Suranatan dan didukung oleh sejumlah ulama Muhammadiyah, demikian dalam buku Muhammadiyah 100 Tahun Menyinari Negeri (2013).

Bagi Muhammadiyah sendiri, jasa utama Ki Bagus adalah menjaga dan mengembangkan Muhammadiyah di masa-masa sulit. Sebagai salah satu tokoh utama MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yang dibubarkan oleh pemerintah Jepang, Ki Bagus mengubah tujuan Muhammadiyah agar sesuai dengan misi pemerintah.

Syarifuddin Jurdi dalam Muhammadiyah dalam Dinamika Politik Indonesia 1966-2006 (2010) menyatakan bahwa sesuai dengan kepercayaan untuk mendirikan kemakmuran bersama di Asia Raya di bawah pimpimanan Dai Nippon, Muhammadiyah melalui Ki Bagus Hadikusumo merumuskan tujuan: a) hendak mengajarkan agama Islam serta melatih hidup yang selaras dengan tuntunannya, b) hendak melakukan pekerjaan perbaikan umum, c) hendak memajukan pengetahuan dan kepandaian serta budi pekerti yang baik kepada anggota-anggotanya.

Pemerintah militer Jepang pun memberi ijin atas berdirinya Muhammadiyah sehingga Muhammadiyah dapat kembali menyelenggarakan kegiatan dan membangun komunikasi dengan cabang-cabangnya yang telah terhenti selama dua tahun.

Penafsir Pemikiran KH. Ahmad Dahlan

Menghadapi tantangan berkembangnya Muhammadiyah, peran utama Ki Bagus Hadikusumo bagi Muhammadiyah adalah merumuskan pokok-pokok pikiran KH Ahmad Dahlan dalam Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah sebagai pijakan prinsip yang menjiwai dan mengarahkan gerak langkah Muhammadiyah. Perumusan pokok pikiran tersebut begitu penting sebagaimana Haedar Nashir dalam Memahami Ideologi Muhammadiyah (2017) menuliskan tantangan pada masa itu adalah terdesaknya pertumbuhan dan perkembangan jiwa Muhammadiyah oleh perkembangan lahiriyah dan masuknya pengaruh dari luar yang tidak sesuai dan telah menjadi lebih kuat.

Ki Bagus menunjukkan bahwa seorang santri, ulama, dan muslim yang mengikut kokoh pada ajaran Islam bukanlah ancaman terhadap keutuhan Bangsa, justru sebaliknya, santri, ulama dan umat muslim adalah sebagai pihak yang rela berkorban dan mengutamakan keutuhan negara dan bangsa. (Afandi)

Editor: Fauzan AS

Tags: headlineKi Bagus HadikusumonegarawanPiagam Jakarta

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA