PENGHORMATAN TERHADAP HAK-HAK INDIVIDU OLEH PEMERINTAH PENDAHULUAN Sebagaimana kita ketahui, pada zaman orde baru selama 32 tahun hak seseorang terutama dalam kebebasan bersuara, berpendapat mengenai sesuatu yang berbeda dengan pandangan pemerintah maka akan langsung ditindak bahkan dijebloskan dalam tahanan. Akan tetapi pada zaman reformasi ini, pelanggaran terhadap hak-hak individu masih saja terjadi apalagi zaman informasi teknologi yang maju dan modern sehingga arus informasi akan cepat tersebar dan diketahui oleh publik serta dibarengi munculnya berbagai aplikasi sosial media seperti facebook, tweeter dan lain-lain. Kebutuhan akan perangkat aturan hukum yang bisa mengimbangi kemajuan teknologi media tersebut semakin mendesak sejak awal zaman reformasi. Aneka ragam bentuk pelanggaran terhadap hak-hak individu pun semakin banyak muncul menjadi problem tersendiri apabila tidak ada aturan hukum tertulis yang bisa mengakomodir perlindungan bagi hak-hak individu. Sehingga penghormatan terhadap hak individu dalam bidang apapun merupakan suatu hal yang mesti diwujudkan pada era reformasi ini oleh pemerintah. Hal ini bisa dikontritkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan untuk menjamin kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan atas hak-hak individu. TINJAUAN PUSTAKA Hak individu (perseorangan) sangat berkaitan erat dengan hak asasi manusia. Dan pada tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menerima dan memproklamirkan Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Manusia yang terkenal dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Diantara Pasal-pasal dalam Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Manusia ini adalah sebagai berikut:
Sebelum Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Manusia dari PBB ini lahir, Presiden Amerika Serikat yaitu Franklin Delano Roosevelt pada tanggal 6 Januari 1941 pada amanat tahunannya kepada Kongres Amerika Serikat mencantumkan empat kebebasan yaitu:
Kemudian pemerintah Indonesia mengadopsi beberapa Pasal di Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Manusia dari PBB ini dan menyesuaikannya dengan budaya, agama dan karakter bangsa Indonesia dalam amandemen Kedua Undang-Undang Dasar 1945 pada Bab XA Hak Asasi Manusia yang terdiri dari Pasal 28A sampai Pasal 28J yang menerangkan tentang hak-hak individu yang diperoleh oleh warga negara Indonesia sebagai berikut diantaranya:
Akan tetapi sebelum amandemen UUD 1945 tersebut disahkan, telah lahir Undang-Undang Dasar Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada tanggal 23 September 1999 yang disahkan oleh Presiden Bacharudin Jusuf Habibie. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ini terdiri dari 106 Pasal dan dari Undang-Undang ini terbentuklah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sebagai lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya. Diantara hak-hak yang termuat dalam Undang-Undang ini adalah:
Dalam Undang-Undang ini juga memuat pasal yang berkaitan dengan hak wanita dan anak, sehingga ada perlindungan hukum terhadap wanita dan anak sebagai wujud penegakan hak asasi manusia. PEMBAHASAN
Ada 3 implikasi dari definisi tentang hak yaitu[1]:
Berkenaan dengan hak yang dihubungan dengan hukum merupakan suatu hal yang saling berkaitan. Sehingga produk hukum berupa peraturan tertulis yang dimuat dalam berbagai peraturan perundangan-undangan akan memberikan rasa keadilan, kemanfaatan dan jaminan kepastian hukum bagi hak-hak individu. Hak individu atau perseorangan (private rights) merupakan bagian dari jenis-jenis hak seperti hak untuk memiliki suatu benda tertentu. Akan tetapi sesuatu disebut hak harus memiliki unsur-unsur sebagai berikut[1]:
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, hak individu tidak bisa dilepaskan dari bagian hak asasi manusia. Sedangkan yang dimaksud dengan hak asasi manusia berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Pemerintah dalam arti luas mencangkup legislatif, eksekutif dan yudikatif. Oleh karena itu, kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak legislatif, eksekutif dan yudikatif harus mengedepankan penghormatan terhadap hak-hak individu sebagai wujud penegakan hak asasi manusia. Sejumlah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penghormatan terhadap hak-hak individu telah disahkan. Mulai dari Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta telah dibentuknya lembaga negara Komisi Nasional Hak Asasi Manusia bahkan Indonesia yang merupakan salah satu anggota PBB telah mengakui dan menghormati Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh PBB. Setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maka pemerintah mensahkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), inisiatif hadirnya Pengadilan HAM sebagai pengadilan khusus untuk mengadili perkara pidana yang berkaitan dengan HAM sangat didukung ketika itu, pelanggaran-pelanggaran atas HAM memang dibutuhkan pengadilan khusus dengan hakim khusus sehingga hak mendapatkan keadilan bagi korban pelanggaran HAM bisa terwujud. Apalagi Presiden Susilo Bambang Yudoyono selama 2 periode jabatan membentuk kementerian negara Pemberdayaan Perempuan dan Anak sebagai wujud penghormatan, pemberian perlindungan, dan meningkatkan harkat dan martabat perempuan serta anak di Indonesia. Selain itu, untuk pemenuhan hak individu terutama wanita dan anak, disahkan juga Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, serta Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, sehingga ada payung hukum untuk melindungi wanita dan anak dari kekerasan, apalagi dibentuk juga lembaga independen yaitu KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) sebagai wujud penghormatan negara atas hak anak. Peraturan yang berkaitan dengan hak anak pun diperkuat dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Pengadilan Anak, bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh anak pun diperlukan pengadilan khusus untuk anak serta ruang sidang khusus anak agar anak mendapatkan hak rasa aman, nyaman, tidak terintimidasi serta dalam suasana sidang tertutup untuk umum walaupun posisi anak tersebut sebagai terdakwa atas suatu tindakan pidana akan tetapi hak-hak individu anak tersebut harus dipenuhi. Kemudian, disahkan juga Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta dibentuk Lembaga independen yaitu LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) sebagai wujud pemenuhan hak bagi saksi dan korban dari ancaman maupun teror dari pihak-pihak yang punya kepentingan tidak baik. Dalam bentuk implementasinya, pihak kepolisian yang merupakan aparatur penegak hukum telah menbentuk bagian/unit khusus perempuan dan anak di setiap Polres untuk menerima pengaduan/laporan masyarakat serta penindakan atas pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak sehingga hak rasa aman, hak mendapat perlindungan hukum bisa terwujud dengan baik. Dalam struktur pemerintahan daerah ditingkat Provinsi dibentuk juga Badan Pemberdayaan Perempuan sebagai perpanjangan tangan dari kementerian Pemberdayaan Perempuan dan anak, hal ini merupakan wujud perhatian Pemerintah Provinsi dalam meningkatkan harkat dan martabat perempuan serta perlindungan akan hak-hak perempuan dari kekerasan. Selain itu, keterlibatan organisasi masyarakat serta LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan LBH (Lembaga Bantuan Hukum) yang bergerak dalam bidang hak asasi manusia ikut membantu pemerintah dalam mengatasi dan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM baik lewat jalur mediasi maupun litigasi. Perlindungan terhadap warga negara Indonesia di luar negeri yang terlibat kasus-kasus pidana pun telah dilakukan oleh pemerintah SBY dengan berusaha memberikan bantuan hukum dan mendampingi selama proses hukum agar hak-haknya tidak terzalimi. Dengan demikian perbuatan-perbuatan seseorang atau kelompok, termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan/atau mencabut hak asasi manusia baik hak perorangan maupun hak kolektif yang dijamin oleh undang-undang, akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku[1]. PENUTUP Dari pembahasan ini, penulis dapat simpulkan sebagai berikut:
DAFTAR PUSTAKA
|