Apa kata pemerintah tentang ujian semester 2

Jakarta, Kemendikbud --- Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim, secara resmi menyampaikan pembatalan Ujian Nasional (UN) tahun pelajaran 2019/2020. Peniadaan UN berlaku untuk satuan pendidikan jenjang SMP/sederajat dan SMA/SMK/sederajat di Indonesia dengan mempertimbangkan keamanan dan kesehatan peserta didik di tengah pandemi Covid-19. Ketetapan ini tertuang dalam Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Coronavirus Disease.Mendikbud menyebutkan, dalam masa darurat penyebaran Covid-19 syarat penentu kelulusan siswa bisa dengan mengadakan ujian sekolah (US), dengan syarat US tidak mengumpulkan siswa secara fisik atau US bisa dilakukan secara daring. Jika sekolah tidak siap mengadakan US daring, US dilakukan dalam bentuk portofolio nilai rapor dan prestasi yang diperoleh sebelumnya, penugasan, dan/atau bentuk asesmen jarak jauh lainnya.“Jadinya yang dilaksanakan masing-masing sekolah adalah US, dan US ini ada beberapa opsi yang kita berikan, tapi itu adalah haknya sekolah,” kata Mendikbud dalam konferensi video daring bersama media pada kegiatan Bincang Sore, Selasa (24/3/2020).Menurut Pelaksana Tugas Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan (Plt Kabalitbang) Totok Suprayitno, US tidak hanya mengacu pada ujian tertulis, tetapi juga mencakup nilai rapor dan prestasi yang dimiliki siswa selama menempuh pendidikan. Untuk ujian tertulis (daring), materi yang akan tertuang dalam US merupakan kewenangan guru yang bersangkutan. Sekolah kini berperan sebagai penentu kelulusan siswa dengan berdasarkan evaluasi yang dilakukan guru. Sehingga penguasaan materi sangat bergantung dari cara siswa dan guru dalam memaksimalkan pembelajaran daring selama situasi darurat. Totok juga menyampaikan siswa akan tetap menerima ijazah tanpa mencantumkan nilai UN, karena sejak tahun 2015 UN lagi menjadi penentu kelulusan.Sekolah yang telah melaksanakan US dapat menggunakan nilai US untuk menentukan kelulusan siswa. Namun bagi sekolah yang belum melaksanakan US ada beberapa ketentuan. Kelulusan SD/sederajat ditentukan berdasarkan nilai lima semester terakhir (kelas 4, 5, dan 6 semester gasal), sementara nilai semester genap kelas 6 dapat digunakan sebagai tambahan nilai kelulusan. Kelulusan SMP/sederajat atau SMA/sederajat juga ditentukan berdasarkan berdasarkan nilai lima semester terakhir dan nilai semester genap kelas 9 dan kelas 12 dapat digunakan sebagai tambahan nilai kelulusan. Sementara itu untuk kelulusan SMK/sederajat ditentukan berdasarkan nilai rapor, praktik kerja lapangan, portofolio, dan nilai praktik selama lima semester terakhir. Kemudian nilai semester genap tahun terakhir dapat digunakan sebagai tambahan nilai kelulusan.Mengacu pada prinsip Merdeka Belajar, Mendikbud menyebut peniadaan UN tidak akan berdampak pada Proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) karena akan tetap menggunakan sistem zonasi seperti tahun lalu. “UN tahun ini adalah sekedar pemetaan dari segi pendidikan, bukan ada dampaknya kepada siswa, dan juga seleksi untuk PPDB juga tidak tergantung pada UN,” ujar Mendikbud. Hanya saja, peniadaan UN tahun 2020 di tengah situasi darurat akan mengakibatkan tidak optimalnya pemetaan pendidikan.Pelaksanaan UN SMK pada 28 provinsi yang sudah melaksanakkan UN di tahun 2020 ini juga tidak cukup menjadi tolok ukur dan pemetaan bagi pemerintah. Tolok ukur secara nasional di tahun 2020 dinilai tidak optimal, sehingga akan ditingkatkan  dengan pendekatan internasional, yaitu PISA (Programme for International Student Assessment). Di awal tahun, Kemendikbud sudah memperoleh data dari PISA yang dapat menjadi tolok ukur. Data PISA dirilis setiap tiga tahun sekali. Menurut Mendikbud, PISA dinilai lebih akurat karena sudah berstandar internasional. Pertimbangan ini menjadi salah satu alasan mengapa mulai tahun 2021 UN akan diganti dengan Asesmen Kompetensi dan Survei Karakter karena metode pengukurannya lebih mendekati PISA.Bagi siswa SMK yang telah melaksanakan UN, Mendikbud tidak lupa menyampaikan permohonan maaf dan apresiasi atas perjuangan para siswa SMK selama mengikuti UN. “Saya sangat mengapresiasi anak SMK yang telah melakukannya dan mohon maaf kalau kecewa,” ujar Mendikbud. Ia mengatakan, keputusan untuk meniadakan pelaksanaan UN pada tahun ini karena melihat lonjakan jumlah kasus Covid-19 yang terjadi setiap hari. Pasien dan korban yang terus bertambah membuat pemerintah harus mengambil keputusan dalam situasi darurat. (Nur Yulita Ardadi/Desliana Maulipaksi)Sumber :

 

Penulis : pengelola web kemdikbudEditor :

Dilihat 144694 kali


Sekolah tatap muka: Semester genap dimulai, sejumlah daerah memutuskan terus gelar pembelajaran daring

Sumber gambar, Antara Foto

Keterangan gambar,

Siswa SD Negeri Cemara 2 Solo mengerjakan ujian asesmen kompetensi minimal numerasi di sekolah setempat, Solo, Jawa Tengah, Rabu (16/12/2020). Kegiatan yang digelar Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Tengah tersebut sebagai uji coba pengembangan instrumen Asesmen Kompetensi Minimal (AKM), Survey Karakter (SK) dan Survey Lingkungan Belajar.

Sejumlah daerah memutuskan untuk menunda pelaksanaan sekolah tatap muka pada 4 Januari seiring dengan dimulainya semester genap tahun ajaran 2020/2021, walau pemerintah pusat telah memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah daerah untuk kembali membuka sekolah dan melakukan proses pembelajaran tatap muka.

Di DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta memutuskan tetap menerapkan pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau belajar dari rumah.

Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, Nahdiana, mengatakan keputusan itu dilakukan guna memastikan kesehatan dan keamanan siswa, guru, dan tenaga kependidikan menjadi prioritas di masa pandemi Covid-19.

"Pemprov DKI Jakarta sangat berhati-hati dalam mengambil kebijakan belajar tatap muka di semester genap TA 2020/2021. Prioritas utama adalah kesehatan dan keamanan, jadi tetap belajar dari rumah," ungkap Nahdiana melalui siaran pers pada Sabtu (2/1).

Iklan

Keputusan tersebut juga ditempuh Pemerintah Kota Depok melalui Surat Edaran Wali Kota Depok Nomor 420/621-Huk/Dinkes yang diterbitkan Selasa (29/12).

Keputusan Pemkot Depok, disambut gembira warganya. Salah satunya, Rinna Purnama.

"Merasa bahagia dengan pembatalan tatap muka karena sangat berisiko jika anak dibiarkan masuk kelas offline dalam kondisi seperti ini. Apalagi setelah liburan.

"Banyak orang tua siswa saya lihat di status WA dan medsos ternyata membawa anak-anak berlibur ke Bali, Bandung, Puncak dan pusat-pusat keramaian yang kita tidak bisa hindarkan," kata ibu dari anak kelas 3 SD ini.

  • Sekolah tatap muka dibuka Januari 2021 'tidak realistis' karena tingkat penularan Covid-19 di atas 10%
  • Pemda diizinkan buka sekolah pada Januari, peta zonasi kasus Covid-19 'tidak lagi menentukan'
  • Tahun ajaran baru dan skenario kembali ke sekolah, mengapa ada penolakan dari orang tua siswa?

Lewati Podcast dan lanjutkan membaca

Podcast

Investigasi: Skandal Adopsi

Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu

Episode

Akhir dari Podcast

Dinas Pendidikan (Disdik) Jawa Barat menyebut ada 785 SMA, SMK dan SLB yang siap menyelenggarakan sekolah tatap muka.

Kesiapan sekolah ini dilihat dari kemampuan menyediakan sarana pendukung pencegahan Covid-19.

Meski begitu, Kepala Disdik Jawa Barat, Dedi Supandi, mengatakan penyelenggaraan sekolah tatap muka tetap memerlukan izin orangtua dan pemerintah daerah.

"Pembukaan sekolah tergantung pada izin dari kepala daerah setempat, sebab kepala kepala daerah yang paling mengetahui kondisi penyebaran Covid-19," kata Dedi kepada media.

Selain memberikan izin, pemerintah juga berhak menghentikan sekolah tatap muka apabila di sekolah muncul kasus Covid-19.

Pada konferensi pers yang digelar 20 November 2020, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, menyatakan walau keputusan membuka sekolah berada di tangan pemerintah daerah, tapi pembukaan sekolah juga harus disetujui kepala sekolah dan perwakilan orang tua murid.

"Kalau tiga pihak ini tidak mengizinkan, maka sekolah tidak diperkenankan dibuka," kata Nadiem.

Kalaupun sekolah nantinya kembali dibuka, Nadiem menyebut orang tua tetap berhak menentukan apakah anak mereka akan mengikuti proses pembelajaran tatap muka di sekolah atau tidak.

"Orang tua masih bisa tidak memperkenankan anaknya untuk datang ke sekolah untuk melakukan tatap muka. Hak terakhir dari siswa individu, walau sekolahnya sudah tatap muka, masih ada di orang tua," kata Nadiem.

Sumber gambar, EPA

Keterangan gambar,

Sejumlah murid menjalani kegiatan belajar-mengajar di sebuah sekolah di Tangerang Selatan, Provinsi Banten, pada November 2020.

Di Kota Bandung, pemerintah belum secara resmi mengeluarkan keputusan mengenai pembelajaran tatap muka lantaran semester genap baru akan dimulai pada 11 Januari 2021 mendatang.

"Pemerintah Kota Bandung akan mengeluarkan keputusan sebelum tanggal 11 itu, tentu keputusannya dalam bentuk peraturan wali kota," kata Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Bandung, Cucu Saputra, saat diwawancara wartawan di Bandung, Yuli Saputra, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Senin (04/01).

Namun, Disdik Kota Bandung sendiri telah melakukan kajian dengan melibatkan sejumlah ahli kesehatan dan pendidikan, termasuk SKPD Kota Bandung dan organisasi pendidikan.

"Hasil FGD (focus group discussion) direkomendasikan 100 persen PJJ [pembelajaran jarak jauh] diperpanjang," ungkap Cucu.

Iman Zaidir, ayah dari dua anak kelas 4 SD dan 2 SMP, meminta Pemkot Bandung tidak melaksanakan pembelajaran tatap muka, minimal sampai seluruh warga Bandung dapat vaksin Covid 19.

"Saya lihat perilaku warga Bandung juga masih abai terhadap protokol kesehatan. Kalau sekolah mulai tatap muka, seperti menyemplungkan anak ke dalam perangkap Covid. Memangnya kalau terjadi klaster di sekolah, pihak sekolah mau tanggung jawab?" ujar Iman

Sampai saat ini, Kota Bandung masih kategori zona oranye, bahkan beberapa kecamatan berzona merah.

DIY dan Jawa Tengah menunda sekolah tatap muka

Sekolah-sekolah di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) belum akan memulai sekolah tatap muka pada Januari ini, sesuai dengan Surat Edaran (SE) Gubernur DIY.

Alasannya, perkembangan Covid di DIY masih mengkhawatirkan.

"Jadi paling cepat Februari," kata Didik Wardaya, Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY, kepada wartawan di DIY, Furqon Ulya Himawan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Menurut Didik, beberapa perguruan tinggi sudah ada yang menyiapkan pertemuan tatap muka dengan protokol kesehatan, seperti UGM, UNY dan kampus lainnya.

"Namun jika perguruan tinggi belum tatap muka, maka jenjang di bawahnya mundur lagi," imbih Didik.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo juga ikut memutuskan menunda pelaksanaan sekolah tatap muka.

Keputusan itu tertuang dalam surat edaran bernomor 445/0017480 yang ditujukan kepada Bupati/Wali Kota terkait antisipasi peningkatan COVID-19 di daerah-daerah di Jawa Tengah.

"Ya kita tunda dulu karena semuanya belum pasti," kata Ganjar dalam keterangan tertulisnya.

"Kalau kemudian kondisi di daerah itu ternyata peningkatan Covid-nya tinggi ya jangan dulu, nggak boleh, tunda semuanya, rak sah kesusu (tidak usah terburu-buru)," tegas Ganjar.

  • Siswa sekolah 'tertinggal' secara akademik karena pandemi, orang tua: 'Saya pilih anak selamat'
  • 'Saya tidak bisa menjadi guru yang baik bagi anak saya' - Kisah ibu tunanetra dampingi anak bersekolah daring selama pandemi
  • Rencana pemerintah buka sekolah di zona kuning, dilema 'desakan orang tua' dan tudingan 'bermain api'

Di Kabupaten Semarang, Sukaton Purtomo Priyatmo selaku Kepala Dinas Pendidikan Kebudayaan, Kepemudaan dan Olahraga setempat, mengaku sejak semester lalu memberlakukan "buka tutup".

"Buka artinya di sekitar sekolah atau warga sekitar sekolah aman-aman saja ya kami buka. Tutup jika di sekitar sekolah ada yang positif, itu kami tutup. Kuncinya adalah izin orangtua dalam melaksanakan SKB 4 menteri," kata Sukaton kepada wartawan di Semarang, Nonie Arnee, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Sumber gambar, ANTARA FOTO

Keterangan gambar,

Sejumlah siswa SD Negeri 2 Tlogolele membeli makanan saat istirahat di Tlogolele, Selo, Boyolali, Jawa Tengah, Senin (16/11/2020).

Data jumlah sekolah di Kabupaten Semarang untuk tingkat SD sejumlah 405 dan SMP sebanyak 51 sekolah. Menurut Sukaton, dari jumlah itu, sebanyak 75% SD dan SMP sudah melakukan tatap muka pada semester ganjil.

"Tatap muka sudah mulai sejak tahun ajaran baru (semester lalu). Semua tergantung orangtua. Harapannya, untuk semester genap ini sekolah memanfaatkan kesempatan dari pemerintah," papar Sukaton.

Meski demikian, Aik Manuhoro, selaku orangtua siswa SMP Negeri 2 Ungaran, Kabupaten Semarang, menyatakan tidak mau anaknya bersekolah tatap muka.

"Alasan saya sebagai orangtua tidak bersedia kalau pembelajaran tatap muka, tidak ada jaminan bahwa anak-anak yang masuk itu tidak terpapar. Jangan-jangan pada OTG [orang tanpa gejala]. Jadi selaku orangtua, saya was-was.

"Daripada khawatir dan sesuai perintah gubenur ya baiknya sekolah daring saja," tutur Aik.

Ada pula pihak sekolah dan orang tua yang mengambil jalan tengah.

Di Kabupaten Magelang, orangtua meminta para guru menjumpai anak-anak mereka di rumah secara berkala.

"Karena kalau online kendala dengan sinyal. Alasan kedua, orangtua stres," kata Andri Novantino, guru kelas 1 SD Negeri Jogonayan, Ngablak, Kabupaten Magelang.

"Makanya setelah ujian tengah semester lalu diberlakukan guru visit. Semester genap ini kemungkinan masih berlanjut seperti sebelumnya. Hari Senin masih akan dirapatkan untuk mencari solusi terbaik," imbuhnya.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra

Keterangan gambar,

Guru memeriksa suhu tubuh murid saat hari pertama masuk sekolah di SDN 11 Marunggi, Pariaman, Sumatera Barat, Juli 2020 lalu.

Pembelajaran tatap muka sekolah di Jayapura belum ada kepastian

Di Papua, para orang tua murid dari sejumlah sekolah di Kota dan Kabupaten Jayapura belum menerima kepastian terkait aktivitas belajar anak-anaknya pada semester genap.

Pada Senin (04/10) pagi, pintu gerbang SD YPK Yoka Waena, SD dan SMP Advent Abepura, dan SMP YPPK Santo Paulus Abepura hanya dibuka setengah. Halaman sekolah dan pinggiran jalan dari sekolah-sekolah yang biasanya ramai dengan kendaraan orang tua murid yang biasanya mengantar tampak sepi. Hanya tiga-empat motor yang terparkir milik guru.

Antara pukul 07.30-08.45 WIT di SD dan SMP Advent Abepura, dan SMP YPPK Santo Paulus Abepura hanya didatangi oleh para guru. Namun, di SD YPK Yoka, nampak sejumlah orang tua murid bersama anak-anaknya sedang menunggu di halaman sekolah.

"Kami juga tidak tahu ini, apakah belajar atau tidak karena sudah jam begini tidak ada guru, tidak ada informasi juga ke kami kalau ada perubahan. Karena, kemarin waktu terima raport anak, gurunya bilang hari ini masuk sekolah tatap muka," ujar seorang ibu yang mengantarkan anaknya yang masih duduk di kelas 1 SD YPK Yoka.

Ada juga seorang murid kelas VI di sekolah itu, dengan seragam merah-putihnya. "Tidak ada informasi [tentang perubahan] jadi saya datang saja sekolah," ujarnya.

Sementara Kepala SMP YPPK Santo Paulus Abepura, Ferdinando Lase mengatakan berdasarkan arahan Direktur Yayasan YPPK se-Kota dan Kabupaten Jayapura, semua sekolah Yayasan Katolik di dua daerah ini akan tetap melangsungkan proses pembelajaran secara daring. Hal tersebut dikarenakan tingkat penyebaran Covid-19 yang tinggi di Kota dan Kabupaten Jayapura.

"Direktur Yayasan kami, YPPK, telah memutuskan bahwa sekolah-sekolah YPPK belum melaksanakan tatap muka. Alasannya, berdasarkan pengamatan YPPK, penyebaran ini masih cukup tinggi di Kota Jayapura. Jadi jangan sampai sekolah nanti menjadi klaster baru lagi," katanya.

Lagipula, pihaknya belum siap menggelar aktivitas belajar-mengajar tatap muka.

"Kami di SMP Paulus ini belum siap. Secara infrastruktur sudah lengkap semua, sudah ada ya, seperti tempat cuci tangan cuma kendala kami adalah ketersediaan air. Kami hanya mengharapkan dari PDAM dan PDAM ini tidak setiap hari mengalir jadi agak sulit buat kami. Jadi kami belum siap," ucapnya.

Sumber gambar, Yuliana Lantipo

Keterangan gambar,

SD Advent Abepura belum menggelar aktivitas belajar-mengajar tatap muka pada Senin (04/10).

Para orang tua merespons berbeda terkait pembelajaran tatap muka mulai Januari 2021.

Hanny Nahuway, orang tua dari murid SMP YPPK Bonaventura Sentani dan murid SMA Lentera Harapan Sentani di Kabupaten Jayapura, menyambut baik rencana pembelajaran tatap muka di sekolah. Menurutnya, meski anak-anaknya bisa belajar secara online, hal tersebut dipandangnya belum cukup.

"Saya terima saja pemerintah punya usulan bahwa sekarang [sekolah] tatap muka, karena di sekolah dikasih surat pernyataan kalau ada orang tua yang tidak setuju, ya tidak usah [ke sekolah], nanti ikut lewat online saja.

"Tapi, saya [memilih] kasih masuk saja ke sekolah. Karena kalau dipikir, [sekolah] pakai sistem online itu anak-anak cari jawaban di google, jawabannya cari disitu. Terus habis sudah. Mulai [main] pegang HP lagi.

"Jadi, saya pikir wawasan anak-anak ini tidak berkembang. Jadi lebih baik anak ke sekolah. Yang penting anak-anak saya kasih vitamin lengkap, makan teratur, pakai masker, sudah ke sekolah, nanti saya antar," ujar Hanny.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra

Keterangan gambar,

Pemerintah pusat memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah daerah untuk kembali membuka sekolah dan melakukan proses pembelajaran tatap muka pada semester genap tahun ajaran 2020/2021.

Adapun Karolina Marselina Onim, yang menyekolahkan anak-anaknya di SD Advent Abepura, SMP YPPK Santo Paulus Abepura, dan SMA Negeri 1 Abepura, memilih agar keenam anaknya tetap menjalani pembelajaran secara online dari rumah selama masa pandemi Covid-19. Menurutnya, minim fasilitas kesehatan menjadi alasan utamanya.

"Iya, saya belum berani karena saya sendiri berpikir bahwa ini menyangkut kesehatan mereka. Jadi, karena itu saya berpikir sudah lebih baik [anak-anak belajar] di rumah," katanya.

Menanggapi Surat Keputusan Bersama Empat Menteri, Kepala Dinas Pendidikan, Perpustakaan dan Arsip Daerah Papua, Christian Sohilait kepada wartawan di Kota Jayapura, pada Rabu [30/12/2020] mengatakan perlu adanya pertimbangan kembali pembelajaran tatap muka pada Januari 2021.

Salah satu pertimbangannya adalah evolusi virus Covid-19 dengan gejala baru.

"Yang menjadi soal berikutnya sebelum proses belajar mengajar secara tatap muka dilakukan adalah adanya virus corona jenis baru sehingga ini menjadi pertimbangan penting apakah sekolah akan tetap dibuka," katanya.

Pihaknya berencana mendorong pemerintah Provinsi Papua untuk menerbitkan peraturan yang mengatur proses belajar mengajar secara tatap muka sesuai SKB Empat Menteri.

"Karena kebijakan di Papua tidak bisa disamaratakan bahwa sekolah semua harus dibuka atau ditutup," katanya.

Dia menambahkan hal ini disebabkan di salah satu sisi angka penularan Covid-19 di Papua terus meningkat.

Berdasarkan data hingga 27 Desember 2020, ada 74 daerah zona merah, lebih tinggi dari periode sebelumnya yang dilaporkan mencapai 60. Kota Jayapura satu di antaranya.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA