Apa saja kerugian sistem sewa tanah bagi rakyat?

Apa saja kerugian sistem sewa tanah bagi rakyat?

Apa saja kerugian sistem sewa tanah bagi rakyat?
Lihat Foto

npg.org.uk

Sir Thomas Stamford Raffles.

KOMPAS.com – Thomas Stamford Raffles, selaku gubernur jenderal saat itu, menerapkan sistem tanam paksa di Indonesia. Namun, dalam penerapannya sistem ini mengalami kegagalan.

Inggris menguasai Indonesia pada 1811. Tepatnya setelah melakukan penyerangan lewat jalur darat dan laut terhadap wilayah kekuasaan Belanda di Pulau Jawa.

Keberhasilan Inggris dalam melakukan serangan tersebut membuat Belanda menyerah tanpa syarat dan kemudian menandatangani Perjanjian Tuntang pada 11 September 1811.

Secara garis besar, isi Perjanjian Tuntang memaksa Belanda untuk menyerahkan Pulau Jawa, Madura serta seluruh pangkalan Belanda di luar Pulau Jawa menjadi milik Inggris.

Mengutip dari Encyclopaedia Britannica, Raffles menggunakan prinsip administrasi Inggris dan prinsip ekonomi liberal, saat ia menjabat sebagai gubernur jenderal.

Baca juga: Cultuurstelsel, Sistem Tanam Paksa yang Sengsarakan Rakyat Pribumi

Selain itu, Raffles juga menghentikan penanaman wajib yang pernah diterapkan Belanda dan turut memperluas produksi pertanian Jawa. Ia meyakini jika hal tersebut bisa meningkatkan pendapatan serta menjadikan Pulau Jawa sebagai pasar barang Inggris.

Dilansir dari situs Universitas Negeri Yogyakarta, dijelaskan jika ada empat kebijakan penting yang dibuat Thomas Stamford Raffles, yakni:

  1. Raffles membagi daerah Pulau Jawa menjadi 16 wilayah keresidenan, agar mempermudah pengaturan dan pengawasan.
  2. Raffles menghapus sistem kerja rodi.
  3. Raffles menghapus seluruh kebijakan yang sebelumnya telah dibuat oleh Herman Willem Daendels.
  4. Raffles membuat sistem sewa tanah atau landelijk stelsel.

Raffles menerapkan landelijk stelsel atau sistem sewa tanah untuk menggantikan sistem tanam paksa yang diterapkan oleh VOC.

Dalam jurnal yang berjudul Kelas Sosial dalam Sistem Landeliijk Stelsel Masa Raffles (1811-1816) (2018) karangan Aah Syafaah, disebutkan jika sistem sewa tanah tersebut dilakukan dengan menetapkan pajak tanah kepada petani, sehingga mereka memiliki kebebasan untuk menentukan jenis tanaman yang diinginkan.

Seorang penyewa atau ryot dibebaskan untuk memilih jenis tanaman apa yang akan ditanam selama masa jangka waktu sewa tanah diberlakukan. Penyewa membayar kepada tuan tanah atau zemindar sebagai bentuk sewa tanah. Kemudian tuan tanah berkewajiban untuk membayar pajak ke pemerintah.

Dalam sistem sewa tanah, Raffles membagi tanah menjadi tiga kelas, yakni:

  1. Kelas I untuk tanah yang subuh. Pajak tanahnya setengah dari hasil bruto.
  2. Kelas II untuk tanah yang agak subur. Pajak tanahnya 2/5 dari hasil bruto.
  3. Kelas III untuk tanah tandus. Pajak tanahnya 1/3 dari hasil bruto.

Baca juga: Palaksanaan Tanam Paksa di Indonesia

Namun, penerapan sistem sewa tanah ini mengalami kegagalan. Salah satunya karena sistem landelijk stelsel ini belum banyak diketahui masyarakat Pulau Jawa, contohnya Sunda.

Selain itu, sebagian besar Pulau Jawa khususnya distrik timur dan tengah belum mengenal sistem perjanjian tanah antara penguasa lokal dengan petani.

Bentuk kegagalan lainnya adalah banyak petani yang tidak membayar sewa kepada zemindar. Bahkan banyak tanah yang justru dikuasai oleh para penguasa lokal.

Oleh karena Raffles melihat adanya kegagalan dalam penerapan sistem ini, ia membuat sistem baru yang dianggap lebih memihak petani.

Raffles mengubah status petani menjadi penyewa tanah melalui perjanjian kontrak antara petani dengan pemilik lahan. Sistem sewa tanah oleh Raffles ini berlaku hingga 1830.

Jika dirangkum, berikut beberapa faktor penyebab kegagalan penerapan sistem tanam paksa atau sistem sewa tanah oleh Raffles, yakni:

  1. Masih ada banyak masyarakat Indonesia, khususnya Pulau Jawa yang belum mengenal sistem sewa tanah melalui perjanjian.
  2. Banyak masyarakat Indonesia yang belum mengenal uang.
  3. Ukuran tanah belum bisa diukur dengan tepat.
  4. Sulit untuk menentukan tingkat kesuburan tanah serta tingkatan pajak tanah.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Apa saja kerugian sistem sewa tanah bagi rakyat?

Apa saja kerugian sistem sewa tanah bagi rakyat?
Lihat Foto

Wikimedia Commons/Desmond Davis

Masa penjajahan Inggris di Jawa

KOMPAS.com - Inggris menduduki Indonesia pada 1811 hingga 1816.

Inggris menunjuk Thomas Stamford Raffles sebagai letnan gubernur untuk menjalankan pemerintahan di Indonesia.

Tugas utamanya adalah mengatur pemerintahan dan meningkatkan perdagangan serta keuangan.

Sebagai tokoh dari golongan liberal, Raffles menginginkan adanya perubahan dalam berbagai bidang.

Perubahan tersebut diwujudkan melalui berbagai kebijakan, salah satunya dengan memberlakukan Land Rent System (landelijk stelsel) atau sistem sewa tanah.

Pengertian Land Rent System

Land Rent System adalah sistem sewa tanah atau pajak tanah yang dicetuskan oleh Thomas Stamford Raffles.

Kebijakan dan program yang dicanangkan Raffles ini terkait erat dengan pandangannya mengenai status tanah sebagai faktor produksi.

Menurut Raffles, pemerintah adalah satu-satunya pemilik tanah yang sah.

Oleh karena itu, sudah selayaknya apabila penduduk Jawa menjadi penyewa dengan membayar pajak sewa tanah yang diolahnya.

Baca juga: Faktor Kegagalan Sistem Tanam Paksa oleh Raffles

Ketentuan sistem sewa tanah pada masa pemerintahan Letnan Gubernur Raffles adalah sebagai berikut.

  1. Petani harus menyewa tanah meskipun ia adalah pemilik tanah tersebut
  2. Harga sewa tanah bergantung pada kondisi tanah
  3. Pembayaran sewa tanag dilakukan dengan uang tunai
  4. Penduduk yang tidak memiliki tanah dikenakan pajak kepala

Land Rent System seharusnya mengharuskan pajak dipungut secara perorangan, tetapi karena kesulitan teknis, kemudian dipungut per desa.

Jumlah pungutannya disesuaikan dengan jenis dan produktivitas tanah.

Hasil sawah kelas satu dibebani pajak 50 persen, kelas dua 40 persen, dan kelas tiga 33 persen.

Sementara untuk tegalan kelas satu 40 persen, kelas dua 33 persen, dan kelas tiga 25 persen.

Beban pajak ini tentu saja sangat memberatkan rakyat.

Pajak yang dibayarkan diharapkan berupa uang, tetapi jika terpaksa maka boleh dibayar dengan barang, misalnya beras.

Baca juga: Dampak Tanam Paksa bagi Rakyat Indonesia

Pajak yang dibayar dengan uang diserahkan ke kepala desa untuk kemudian disetorkan ke kantor residen.

Sedangkan pajak yang berupa beras dikirim ke kantor residen setempat oleh yang bersangkutan atas biaya sendiri.

Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi ulah pimpinan setempat yang sering memotong penyerahan hasil panen.

Kegagalan Sistem Sewa Tanah

Pelaksanaan sistem sewa tanah diharapkan dapat lebih mengembangkan sistem ekonomi di Hindia Belanda.

Namun dalam pelaksanaannya, terdapat berbagai kendala yang menyebabkan pemerintah Inggris tidak mendapatkan keuntungan berarti sementara rakyat tetap menderita.

Berikut faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan Land Rent System.

  1. Budaya dan kebiasaan petani yang sulit diubah
  2. Kurangnya pengawasan pemerintah
  3. Peran kepala desa dan bupati lebih kuat daripada asisten residen yang berasal dari orang-orang Eropa
  4. Rafless sulit melepaskan kultur sebagai penjajah
  5. Kerja rodi, perbudakan, dan monopoli masih dilaksanakan

Referensi:

  • Makfi, Samsudar. (2019). Masa Penjajahan Kolonial. Singkawang: Maraga Borneo Tarigas.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Apa saja kerugian sistem sewa tanah bagi rakyat?

Loading Preview

Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.

Latar belakang pelaksanaan sistem sewa tanah di Jawa oleh Thomas Stamford Raffles berawal dari Kedatangan Inggris ke pulau Jawa tahun 1811. Pemerintah kolonial masa Raffles membuat pembaharuan sistem pemerintahan dengan prinsip kebebasan dan kepastian hukum. Raffles ingin menghapuskan sistem penyerahan paksa dan kerja wajib, mengubah administrasi negara dalam bentuk modern [Barat], dan memberikan kebebasan berusaha pada rakyat Jawa. Permasalahan yang dikaji adalah [1] mengapa Raffles membuat kebijakan sistem sewa tanah di Jawa [2] bagaimana implementasi sistem penguasaan tanah di Jawa pada masa Raffles [3] bagaimana dampak penerapan sistem penguasaan tanah pada masa Raffles tahun 1811-1816 terhadap sosial ekonomi masyarakat di Jawa. Tujuan kajian ini adalah [1] menganalisis latar belakang Raffles membuat kebijakan sistem sewa tanah di Jawa [2] menganalisis implementasi sistem penguasaan tanah di Jawa pada masa Raffles [3] menganalisis dampak penerapan sistem penguasaan tanah pada masa Raffles tahun 1811-1816 terhadap sosial ekonomi masyarakat di Jawa. Teori ini menggunakan teori ketergantungan Paul Baran dan pendekatan ekonomi politik. Metode yang digunakan dalam kajian ini adalah metode penelitian sejarah yang meliputi heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Sistem sewa tanah pada masa pemerintah Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles tahun 1811-1816 telah menimbulkan pengaruh dalam segi ekonomi, politik, dan sosial budaya bagi kehidupan masyarakat Jawa.

"Dampak Positif dan Negatif Tanam Paksa Bagi Indonesia" merupakan tema menarik yang akan kita bahas pada artikel ini secara rinci dan lengkap. Sistem tanam paksa adalah salah satu kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda pada masa penjajahan Belanda di Indonesia. Kebijakan sistem tanam paksa memaksa petani yang mempunyai tanah untuk menanam 20% tanaman wajib yang menjadi komoditas ekspor pemerintah Hindia Belanda, seperti kopi, teh, dan tebu.

Sistem tanam paksa yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda terhadap pemilik tanah atau petani di Indonesia ternyata menimbulkan berbagai dampak, baik positif maupun negatif. Tanam paksa berdampak sangat merugikan bagi masyarakat pribumi, oleh karena itu dalam pembahasan kali ini kita sama-sama akan menganalisis mengenai dampak positif dan negatif tanam paksa bagi Indonesia.

Baca Juga : 7 Tokoh Penentang Sistem Tanam Paksa

Tanam paksa ternyata tidak hanya menimbulkan atau mengakibatkan dampak negatif bagi masyarakat, ada beberapa dampak positif yang dapat diambil dari kebijakan sistem tanam paksa. Namun dampak positifnya sangat tidak sebanding dengan dampak negatif yang diderita oleh masyarakat pribumi.

Apa saja dampak positif tanam paksa bagi Indonesia? Berikut ini 4 dampak positifnya, meliputi :

  1. Rakyat mengenal sistem uang dalam kegiatan perdagangan, karena sebelumnya menggunakan sistem tradisional, seperti barter.
  2. Jaringan jalan raya menjadi sangat luas, karena pemerintah Hindia Belanda membangun jalan demi kepentingan tanam paksa.
  3. Rakyat mulai mengenal teknologi-teknologi yang digunakan dalam pengolahan pertanian.
  4. Selain teknologi, rakyat juga mengenal jenis-jenis tanaman baru yang laku di pasar perdagangan internasional, seperti : tebu, kopi dan lada.

Pertama, adanya sistem tanam paksa membuat masyarakat khususnya petani mengenal sistem uang ketika berdagang. Perlu kalian ketahui, sebelumnya mereka [petani/pedagang] mengandalkan barter [tukar menukar barang]. Adanya tanam paksa juga meningkatkan infrastruktur, berupa jalan raja yang khusus digunakan untuk kegiatan tenam paksa, pada periode selanjutnya dapat digunakan untuk kepentingan petani.

Pihak pemerintah Hindia Belanda ternyata tidak melepas begitu saja petani untuk menanam apa yang mereka perintahkan, tapi ada proses di mana para petani diajarkan untuk menanam tanaman tertentu, sehingga mereka mengenal teknologi yang sebelumnya belum diketahui secara umum.

Selain teknologi, jenis-jenis tanaman yang laku keras di pasaran eropa kemudian dapat dikenal [ketahui] oleh petani semenjak adanya Sistem Tanam Paksa. 

Berikut ini dampak negatif sistem tanam paksa bagi Indonesia, antara lain:

  1. Produksi padi yang dihasilkan petani turun, hal ini karena beberapa tanahnya digunakan untuk menanam tanaman wajib.
  2. Dengan produksi padi menurun maka rakyat banyak yang kelaparan, sehingga menimbulkan berbagai penyakit.
  3. Rakyat hidup sangat menderita dan menyengsarakan, hal ini terjadi karena banyak aturan / ketentuan yang dilanggar oleh Belanda.
  4. Kemiskinan semakin meluas hal ini disebabkan karena kesejahteraan masyarakat turun, sementara di lain pihak pemerintah Belanda mendapat keuntungan yang besar.
  5. Berkurangnya jumlah tanah yang diproduksi demi kepentingan petani/pemilik tanah.
  6. Jumlah penduduk menurun, hal ini karena banyak kematian akibat kelaparan.
  7. Masyarakat yang tidak memiliki tanah sangat dirugikan dan menderita, hal ini karena ia harus bekerja selama 20% hari dalam setahun.
  8. Masyarakat mengalami banyak penderitaan karena mengalami kerja terlalu berlebihan, selain itu mereka juga menderita secara mental.
  9. Pajak yang dibebani pemilik tanah sangat tinggi.

Apakah dampak negatif tersebut sebanding dengan dampak positif yang sudah disebutkan diatas? Tentu saja tidak! Adanya tanam paksa bisa dikatakan membuat rakyat semakin menderita, apalagi kebijakan yang sudah di tentukan ternyata dilanggar oleh para penguasa penjajahan kolonial Belanda saat itu.

Demikian pembahasan terkait dengan "Dampak Positif dan Negatif Tanam Paksa Bagi Indonesia". Semoga artikel ini bermanfaat dan berguna bagi pembaca.

Share ke teman kamu:

Tags : Masa Penjajahan

MAKALAH

SISTEM SEWA TANAH DI INDONESIA

diajukan guna memenuhi tugas

Bahasa Indonesia Kelas B

Dosen Pengampu: Furoidatul Husniah, S.S.,M.Pd.

Oleh

Bidayatul Hidayah

NIM 150210302062

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS JEMBER

2016



PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memeberikan ridho dan karuniaNya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sistem Sewa Tanah di Indonesia”. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas individu matakuliah Bahasa Indonesia kelas B Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember.

Penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu kami mengucapkan terimakasih kepada:

1.      Fuuroidatul Husniah, S.S., M.Pd., selaku Dosen Pengampu matakuliah Bahasa Indonesia Kelas B Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember yang telah memberi kami tugas.

2.      Rekan-rekan yang telah sumbangsih pemikiran dalam penyelesaian makalah ini.

Penyusun juga menerima segala kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya, penyusun berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi khasanah keilmuan.

Jember,  Mei 2016

Penyusun



DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ..........................................................................         i

PRAKATA ..........................................................................................         ii

DAFTAR ISI .......................................................................................         iii

BAB 1. PENDAHULUAN ..................................................................        1

1.1  Latar Belakang ..........................................................................         1

1.2  Rumusan Masalah.......................................................................        2

1.3  Tujuan Penulisan.........................................................................        2

1.4  Manfaat......................................................................................         2

BAB 2. PEMBAHASAN .....................................................................        3

2.1  Sistem Pemerintahan Pada Masa Raffles di Indonesia...............       4

2.2  Pelaksanaan Sistem Sewa Tanah.................................................       6

2.3  Dampak Sewa Tanah...................................................................       9

2.4  Faktor Penyebab Kegagalan Sistem Sewa Tanah.......................        10

BAB 3. PENUTUP ...............................................................................       13

3.1 Kesimpulan..................................................................................       13

3.2 Saran............................................................................................       14

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................      15



BAB 1. PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah

Setelah VOC dibubarkan pada tahun 1799 dikarenakan beberapa hal, seperti adanya peperangan Perancis dan Inggris, korupsi yang dilakukan oleh sebagian besar pegawai VOC, serta besarnya anggaran pengeluaran terutama biaya perang. Dengan jatuhnya VOC, Belanda membentuk pemerintahan baru yang disebut dengan Hindia Belanda [Nederlands Indies] guna mempertahankan Nusantara [Indonesia sekarang] sebagai negara atau wilayah kekuasaannya. Perlu diketahui, pada periode yang sama Belanda berada di tangan Perancis. Dengan kata lain, suatu negara yang menjajah Nusantara [Belanda] disatu sisi dijajah oleh negara lain [Perancis].

Pada tahun 1808, Raja Napoleon Bonaparte sebagai penguasa Perancis memilih Daendels sebagai Gubernur Jenderal di Nusantara, namun tetap dibawah kekuasaan Perancis. Perancis mengirim Daendels ke Nusantara untuk melaksanakan politik maupun sistem yang dapat memberikan hasil, terutama perekonomian bagi Belanda dan Perancis. Namun tahun 1811, Inggris dapat menguasai Nusantara dan mengambil alihnya dari Belanda melalui Perjanjian Tuntang tanggal 18 September 1811 [Masa Prasejarah Sampai Masa Proklamasi Kemerdekaan, 2010: 70].

Untuk menjalankan pemerintahan di Indonesia, Lord Minto menugaskan Sir Thomas Stamford Raffles sebagai gubernur EIC di Indonesia. Di dalam menjalankan pemerintahannya, Raffles berusaha mengadakan berbagai pembaharuan, baik di bidang pemerintahan [politik] maupun ekonomi. Pemerintahannya didasarkan pada prinsip-prinsip politik liberal yang diperjuangkan dalam Revolusi Prancis. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan Raffles yaitu sistem sewa tanah [Land Rent] yang menggantikan sistem penyerahan hasil panen dari pribumi kepada pemerintah yang di jalankan oleh Daendels sebelumnya.



1.2  Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang kami jadikan permasalahan adalah sebagai berikut:

1.      Bagaimana sistem pemerintahan pada masa Rafles di Indonesia?

2.      Bagaimana pelaksanaan sistem sewa tanah di Indonesia?

3.      Bagaimana dampak dari sewa tanah di Indonesia?

4.      Apa saja faktor penyebab kegagalan sistem sewa tanah?

1.3  Tujuan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini:

Untuk memenuhi tugas matakuliah Sejarah Indonesia II Kelas B Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember.

1.4  Manfaat

Adapun manfaat dari pembuatan makalah sebagai berikut :

1.      Untuk memberi pengetahuan baru bagi kami sebagai penyusun tentang sistem sewa tanah.

2.      Untuk memberi pengetahuan bagi mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember.



BAB 2. PEMBAHASAN

2.1  Sistem Pemerintahan Pada Masa Raffles di Indonesia

Kemenangan Inggris dalam perang melawan Belanda-Prancis, menandai berakhirnya kekuasaan Belanda di Nusantara. Bergantilah Inggris yang menguasai Indonesia. Kekuasaan Inggris di Indonesia mencakup wilayah Jawa, Palembang, Banjarmasin, Makassar, Madura, dan Sunda Kecil. Pusat pemerintahan Inggris atas Indonesia berkedudukan di Madras, India dengan Lord Minto sebagai gubernur jenderal. Daerah bekas jajahan Belanda dipimpin oleh seorang letnan gubernur yang bernama Stamford Raffles [1811-1816].

Selama pemerintahannya Raffles banyak melakukan pembaharuan yang bersifat liberal di Indonesia. Pembaharuan yang dilakukan Raffles di Indonesia secara teoritis mirip dengan pemikiran Dirk van Hogendorp pada tahun 1799. Inti dari pemikiran kedua orang tersebut adalah kebebasan berusaha bagi setiap orang, dan pemerintah hanya berhak menarik pajak tanah dari penggarap. Pemerintahan dijalankan untuk mencapai kesejahteraan umum, dan kesadaran baru bahwa baik serikat dagang, terlebih kekuasaan negara tidak mungkin bertahan hidup dengan memeras masyarakatnya.

Gagasan Raffles mengenai sewa tanah ini dilatar belakangi oleh keadaan Jawa yang tidak memuaskan dan tidak adanya kebebasan berusaha. Gagasan dan cita-cita Raffles merupakan pengaruh dari Revolusi Perancis yaitu prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan yang semula tidak ada pada masa Belanda. Pada masa pemerintahan Belanda, para pedagang pribumi dan Eropa mengalami kesulitan dalam hal berdagang. Hal ini disebabkan oleh adanya sistem monopoli yang diterapkan pemerintah Belanda. Sistem monopoli yang diterapkan oleh pemerintahan Belanda ini pada masa Raffles diganti dengan perdagangan bebas.

Selain itu adanya paksaan dari pemerintah Belanda kepada para petani untuk menyediakan barang dan jasa sesuai kebutuhan Belanda, mengakibatkan matinya daya usaha rakyat. Oleh karena itu, pada masa Raffles inilah masyarakat diberi kebebasan bekerja, bertanam, dan penggunaan hasil usahanya sendiri. Pada masa Raffles para petani diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman apa yang akan ditanam.

Tidak adanya kepastian hukum pada masa pemerintahan Belanda, telah mengakibatkan terjadinya kekacauan di berbagai daerah. Tidak adanya perlindungan hukum untuk para para penduduk mengakibatkan adanya sikap sewenang-wenang para penguasa pribumi. Tidak adanya jaminan bagi para petani mengakibatkan hilangnya dorongan untuk maju. Sesuai pernyataan Hogendorf, ia tidak percaya pendapat orang-orang Eropa tentang kemalasan orang Jawa, karena apabila diberi kebebasan menanam dan menjual hasilnya, petani-petani Jawa akan terdorong untuk menghasilkan lebih banyak dari pada yang dicapai dibawah masa Belanda.

Jika kebebasan dan kepastian hukum dapat diwujudkan, untuk mencapai kemakmuran orang-orang Jawa yang dahulunya tertindas akan dapat berkembang. Masyarakat pun dengan keinginannya sendiri akan menanam tanaman-tanaman yang diperlukan oleh perdagangan di Eropa. Semua ini pada akhirnya juga akan menguntungkan bagi perekonomian pihak Inggris.

Stelsel yang diterapkan pemerintah Belanda sangat ditentang oleh Raffles, hal ini dikarenakan munculnya penindasan dan menghilangkan dorongan untuk mengembangkan kerajinan. Secara makro kondisi ini akan menyebabkan rendahnya pendapatan negara atau negara mengalami kerugian. Pada hakikatnya pemerintahan Raffles menginginkan terciptanya suatu sistem ekonomi di Jawa yang bebas dari segala unsur paksaan yang dahulu melekat pada sistem penyerahan paksa dan pekerjaan rodi yang dijalankan pemerintah Belanda.

Dalam pemerintahannya, Raffles menghendaki adanya sitem sewa tanah atau dikenal juga dengan sistem pajak bumi dengan istilah landrente.

2.2  Pelaksanaan Sistem Sewa Tanah

Thomas Stamford Raffles menyebut Sistem Sewa tanah dengan istilah landrente. Tanah disewakan kepada kepala-kepala desa di seluruh Jawa yang pada gilirannya bertanggung jawab membagi tanah dan memungut sewa tanah tersebut. Sistem sewa tanah ini pada mulanya dapat dibayar dengan uang atau barang, tetapi selanjutnya pembayarannya menggunakan uang. Gubernur Jenderal Stamford Raffles ingin menciptakan suatu sistem ekonomi di Jawa yang bebas dari segala unsur paksaan, dan dalam rangka kerjasama dengan raja-raja dan para bupati.

Kepada para petani, Gubernur Jenderal Stamford Raffles ingin memberikan kepastian hukum dan kebebasan berusaha melalui sistem sewa tanah tersebut. Kebijakan Gubernur Jenderal Stamford Raffles ini, pada dasarnya dipengaruhi oleh semboyan revolusi Perancis dengan semboyannya mengenai “Libertie [kebebasan], Egaliie [persamaan], dan Franternitie [persaudaraan]”. Hal tersebut membuat sistem liberal diterapkan dalam sewa tanah, di mana unsur-unsur kerjasama dengan raja-raja dan para bupati mulai diminimalisir keberadaannya.

Sehingga hal tersebut berpengaruh pada perangkat pelaksana dalam sewa tanah, di mana Gubernur Jenderal Stamford Raffles banyak memanfaatkan colonial [Inggris] sebagai perangkat [struktur pelaksana] sewa tanah, dari pemungutan sampai pada pengadministrasian sewa tanah. Meskipun keberadaan dari para bupati sebagai pemungut pajak telah dihapuskan, namun sebagai penggantinya mereka dijadikan bagian integral [struktur] dari pemerintahan colonial, dengan melaksanakan proyek-proyek pekerjaan umum untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk.

Dalam pelaksanaan Sistem Sewa Tanah yang dijalankan oleh Raffles, ia memegang pada azas-azas sebagai berikut:

  1. Segala bentuk dan jenis penyerahan wajib maupun pekerjaan rodi perlu dihapuskan dan rakyat tidak dipaksa untuk menanam satu jenis tanaman, melainkan mereka diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman apa yang akan ditanam.
  2. Pengawasan tertinggi dan langsung dilakukan oleh pemerintah atas tanah-tanah dengan menarik pendapatan atas tanah-tanah dengan menarik pendapatan dan sewanya tanpa perantara bupati-bupati, yang dikerjakan selanjutnya bagi mereka adalah terbatas pada pekerjaan-pekerjaan umum.
  3. Menyewakan tanah-tanah yang diawasi pemerintah secara langsung dalam persil-persil besar atau kecil, menurut keadaan setempat, berdasarkan kontrak-kontrak untuk waktu yang terbatas.

Untuk menentukan besarnya pajak, tanah dibagi menjadi tiga kelas, yaitu: Kelas I, yaitu tanah yang subur, dikenakan pajak setengah dari hasil bruto. Kelas II, yaitu tanah setengah subur, dikenakan pajak sepertiga darihasil bruto.

Kelas III, yaitu tanah tandus, dikenakan pajak dua per lima dari hasil bruto.

2.3  Dampak Sewa Tanah

Adanya sewa tanah yang dibuat oleh Raffles  tersebut memiliki dampak positif dan negatif.

a]      Dampak positif, antara lain:

  1. Memperkenalkan sewa tanah dengan titik berat pada pajak dan ekonomi uang atau moneter;
  2. Menunjukkan pemerintahan yang sentralistis;
  3. Menunjukkan gaya yang memadukan otoriter versus demokrasi;
  4. Dihapuskannya kerja rodi dan upeti;
  5. Kopi merupakan sumber pendapatan pemerintah yang terjamin.

b]     Dampak negatif, sebagai berikut:

  1. Menumbuh kembangkan kebencian rakyat pemilik tanah;
  2. Timbulnya kerugian yang cukup besar bagi pribumi;
  3. Menumpahnya kekecewaan para Sultan, Bupati, dan bangsawan akibat pengambilan pajak secara langsung pada distrik-distrik dan desa-desa serta kepala-kepala rakyat;
  4. Petani tidak boleh menjual, membeli maupun menggadaikan tanah.

2.4  Faktor Penyebab Kegagalan Sistem Sewa Tanah

Pelaksanaan sistem sewa tanah yang dilakukan Gubernur Jendral Thomas Stamford Raffles pada sistem pertanahan di Indonesia menemui beberapa kegagalan. Sistem sewa tanah yang diberlakukan ternyata memiliki kecenderungan tidak cocok bagi pertanahan milik penduduk pribumi di Indonesia. Sistem sewa tanah tersebut tidak berjalan lama, hal itu di sebabkan beberapa faktor dan mendorong sistem tersebut untuk tumbang kemudian gagal dalam peranannya mengembangkan kejayaan kolonisasi Inggris di Indonesia.

Beberapa faktor kegagalan sistem sewa tanah antara lain ialah:

1.      Keuangan negara yang terbatas, memberikan dampak pada minimnya pengembangan pertanian.

2.      Pegawai-pegawai negara yang cakap jumlahnya cukup sedikit, selain karena hanya diduduki oleh para kalangan pemerinah Inggris sendiri, pegawai yang jumlahnya sedikit tersebut kurang berpengalaman dalam mengelola sistem sewa tanah tersebut.

3.      Masyarakat Indonesia pada masa itu belum mengenal perdagangan eksport seperti India yang pernah mengalami sistem sewa tanah dari penjajahan Inggris. Dimana pada abad ke-9, masyarakat Jawa masih mengenal sistem pertanian sederhana, dan hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Sehingga penerapan sistem sewa tanah sulit diberlakukan karena motivasi masyarakat untuk meningkatkan produksifitas pertaniannya dalam penjualan ke pasar bebas belum disadari betul.

4.      Masyarakat Indonesia terutama di desa masih terikat dengan feodalisme dan belum mengenal ekonomi uang, sehingga motivasi masyarakat untuk memperoleh keuntungan dari produksifitas hasil pertanian belum disadari betul.

5.      Pajak tanah yang terlalu tinggi, sehingga banyak tanah yang terlantar tidak di garap, dan dapat menurunkan produksifitas hasil pertanian.

6.      Adanya pegawai yang bertindak sewenang-wenang dan korup.

Singkatnya masa jabatan Raffles yang hanya bertahan lima tahun, sehingga ia belum sempat memperbaiki kelemahan dan penyimpangan dalam sistem sewa tanah.



BAB 3. PENUTUP

3.1.  Kesimpulan

Selama pemerintahannya [1811-1816], Raffles banyak melakukan pembaharuan yang bersifat liberal di Indonesia. Pada masa Raffles masyarakat diberi kebebasan bekerja, bertanam, dan penggunaan hasil usahanya sendiri. Pada masa Raffles para petani diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman apa yang akan ditanam. Dalam pemerintahannya, Raffles menghendaki adanya sistem sewa tanah atau dikenal juga dengan sistem pajak bumi dengan istilah landrente.

Pelaksanaan sistem sewa tanah yang diperkenalkan oleh Gubernur Jenderal Stamford Raffles mengandung tujuan yaitu diantaranya bagi para petani dapat menanam dan menjual hasil panennya secara bebas untuk memotivasi mereka agar bekerja lebih giat sehingga kesejahteraannya mejadi lebih baik, daya beli masyarakat semakin meningkat sehingga dapat membeli barang-barang industri Inggris, pemerintah kolonial mempunyai pemasukan negara secara tetap, memberikan kepastian hukum atas tanah yang dimiliki petani, secara bertahap untuk mengubah sistem ekonomi barang menjadi ekonomi uang.

Akan tetapi pelaksanaan sistem sewa tanah yang dilakukan Gubernur Jendral Thomas Stamford Raffles pada sistem pertanahan di Indonesia menemui beberapa kegagalan. Sistem sewa tanah yang diberlakukan ternyata memiliki kecenderungan tidak cocok bagi pertanahan milik penduduk pribumi di Indonesia.

3.2 Saran

Sistem sewa tanah, baik pada masa pemerintah Daendels maupun Raffles memberikan kita pengetahuan tentang keadaan sosial ekonomi masyarakat Indonesia pada saat itu. Dalam memajukan suatu negara kita harus saling bekerja sama, bahu membahu untuk Indonesia yang lebih baik. Harapan kami sebagai penulis, setiap orang harus mempunyai cita-cita dalam meningkatkan kualitas hidupnya, terutama generasi muda yaitu dengan peningkatan kegiatan belajarnya agar menjadi generasi penerus Indonesia yang lebih baik, dan tidak mudah dijajah dengan bangsa lain.



DAFTAR PUSTAKA

            Marwati, D. P. & Notosusanto, Nogroho. 2013. Sejarah Nasional Indonesia IV. Cetakan V. Jakarta: Balai Pustaka.

                Sumber artikel : //pendidikan4sejarah.blogspot.com. Diunduh pada 20 April 2016.

Page 2

Video yang berhubungan