Apa tujuan dari pemanfaatan limbah ikan dan daging bagi lingkungan

PEMANFAATAN LIMBAH PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN

MAKALAH SEMINAR

OLEH

SYAMSIR

NIM : 632411050

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

JURUSAN TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

2016


BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Ikan merupakan bahan pangan yang mudah rusak (perishable food) karenanya begitu ikan tertangkap, maka proses penanganan dalam bentuk pengawetan harus segera dilakukan. Selama pengolahan ikan, masih banyak bagian-bagian dari ikan, baik kepala, ekor maupun bagian-bagian yang tidak termanfaatkan akan dibuang. Tidak mengherankan kalau sisa ikan dalam bentuk buangan dan bentuk-bentuk lainnya berjumlah cukup banyak, apalagi kalau ditambah dengan jenis-jenis ikan lainnya yang tertangkap tetapi tidak mempunyai nilai ekonomi dan hanya menjadi tumpukan limbah (Resmawati, 2012). Dengan berkembangnya agroindustri hasil perikanan selain membawa dampak positif  yaitu sebagai penghasil devisa, memberikan nilai tambah dan penyerapan tenaga  kerja, juga telah memberikan dampak negatif yaitu berupa buangan limbah. Limbah hasil dari kegiatan tersebut dapat berupa limbah padat dan limbah cair (Ibrahim, 2005).

Meningkatnya produksi ikan akan diiringi pula peningkatan limbah ikan baik berupa kulit dan sisik ikan. Limbah dari sektor perikanan selain dihasilkan oleh TPI juga dihasilkan oleh industri-indusrti kecil yang bergerak dibidang pengasapan ikan, presto ikan, terasi dan ikan asin. Saat ini belum ada upaya untuk mengolah lebih lanjut limbah kelautan dan perikanan yang berupa kulit dan sisik ikan  (Hartati, 2010).

Dari data yang dapat dikumpulkan Ditjen Perikanan (2007) masih terdapat antara 25 - 30% hasil tangkapan ikan laut yang akhirnya harus menjadi ikan sisa atau ikan buangan yang disebabkan karena berbagai hal, diantaranya keterbatasan pengetahuan dan sarana para nelayan didalam cara pengolahan ikan. Misalnya, hasil tangkapan masih terbatas sebagai produk untuk dipasarkan langsung (ikan segar), atau diolah menjadi ikan asin, pindang, terasi serta hasil-hasil olahannya. Tertangkapnya jenis-jenis ikan lain yang kurang berharga ataupun sama sekali belum mempunyai nilai dipasaran, yang akibatnya ikan tersebut harus dibuang kembali

Berdasakan latar belakang penyusun membuat kajian pustaka tentang pemnfaaatan limbah  pengolahan hasil perikanan.

1.2 Tujuan

Untuk mengetahuai pemanfaatan limbah pengolahan hasil perikanan.

1.3  Manfaat


Adapun manfaat dari penyusunan makalah ini yaitu:

  1.      Menambah ilmu  pengetahuan tentang pemanfaatan limbah hasil perikanan bagi penulis sendiri dan pada

 2.      Memberi informasi pengetahuan kepada masyarakat tentang pemanfaatan limbah hasil perikanan .


BAB II

LIMBAH PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN

2.1 Pengertian Limbah Hasil Perikanan

Limbah hasil perikanan adalah buangan yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungannya karena tidak mempunyai nilai ekonomis, yang ketika mencapai jumlah atau kosentrasi tertentu, dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan (Gintings, 1992). Sedangkan menurut Setiyawan (2010) limbah merupakan hasil sisa produk utama dari suatu proses yang berasal dari bahan dasar atau bahan bantu proses tersebut. Lebih lanjut Setiyawan (2010) menyatakan limbah juga dapat diartikan sebagai buangan yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis. 

            Limbah yang dihasilkan dari kegiatan perikanan masih cukup tinggi, yaitu sekitar 20 – 30% dari produksi ikan yang telah mencapai 6.5 juta ton pertahun. Hal ini berarti sekitar 2 juta ton terbuang sebagai limbah. Limbah yang dihasilkan dari kegiatan perikanan adalah berupa : 1) ikan rucah yang bernilai ekonomis rendah sehingga belum banyak dimanfaatkan sebagai pangan; 2) bagian daging ikan yang tidak dimanfaatkan dari rumah makan, rumah tangga, industri pengalengan, atau industri pemfiletan; 3) ikan yang tidak terserap oleh pasar, terutama pada musim produksi ikan melimpah; dan 4) kesalahan penaganan dan pengolahan (Ditjen Perikanan, 2007).

2..2 Limbah Industri Perikanan

Limbah pada dasarnya adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu sumber aktivitas manusia maupun proses alam dan belum mempunyai nilai ekonomis,  bahkan dapat mempunyai nilai ekonomi negatif karena penanganan untuk membuang atau membersihkan memerlukan biaya yang cukup besar disamping dapat mencemari lingkungan. Menurut Laksmi dan Rahayu (1993) penanganan limbah yang kurang  baik merupakan masalah di dalam usaha industri termasuk industri perikanan yang menghasilkan limbah pada usaha penangkapan, penanganan, pengangkutan, distribusi, dan pemasaran. Limbah sebagai buangan industri perikanan dikelompokkan menjadi tiga macam berasarkan wujudnya yaitu limbah cair, limbah padat, dan limbah gas. Limbah cair adalah bahan-bahan pencemar berbentuk cair. Air limbah adalah air yang membawa sampah (limbah)dari rumah tinggal, bisnis, dan industri yaitu campuran air dan padatan terlarut atau tersuspensi dapat juga merupakan air buangan dari hasil proses yang dibuang ke dalam lingkungan. Limbah cair yang dihasikan oleh industri pengolahan ikan mempunyai pH mendekati 7 (netral), yang disebabkan oleh adanya dekomposisi bahan-bahan yang mengandung protein dan banyaknya senyawa-senyawa amonia.

Kandungan limbah cair industri perikanan tergantung pada derajat kontaminasi dan juga mutu air yang digunakan untuk proses (Gonzales dalam Heriyanto, 2006). Bau yang timbul dari limbah cair perikanan disebabkan oleh dekomposisi bahan- bahan organik yang menghasilkan senyawa amina mudah menguap, diamina dan amoniak. Limbah cair industri perikanan memiliki kandungan nutrien, minyak, dan lemak yang tinggi sehingga menyebabkan tingginya nilai COD (Chemical Oxygen Demand), terutama berasal dari  proses penyiangan usus dan isi perut serta proses pemasakan (Mendezet a1, 1992 dalam Sari, 2005).

2.3 Jenis-jenis Limbah Hasil Perikanan

      Usaha perikanan selain menghasilkan nilai ekonomis yang tinggi, tetapi juga ikut berperan dalam menghasilkan limbah. Limbah yang dominan dari usaha perikanan adalah limbah dan cemaran yang berupa limbah cair yang membusuk sehingga  menghasilkan bau amis/busuk yang sangat menganggu estetika lingkungan (Ditjen Perikanan, 2007), sedangkan menurut Dewantoro (2003) limbah yang dihasilkan dari industri pengolahan hasil perikanan umumnya dapat di golongkan menjadi 3 kelompok yaitu:

a.       Limbah padat: limbah padat basah dan limbah padat kering

b.      Limbah cair

c.       Limbah hasil samping

Limbah Padat. Limbah padat  bersifat basah dan dihasilkan oleh usaha perikanan berupa potongan-potongan ikan yang tidak dimanfaatkan. Limbah ini berasal dari proses pembersihan ikan sekaligus mengeluarkan isi perutnya yang berupa jerohan dan gumpalan-gumpalan darah. Selain itu, limbah ini juga berasal dari proses cleaning, yaitu membuang kepala, ekor, kulit, dan bagian tubuh ikan yang lain, seperti sisik dan insang (Setiyawan, 2010).

Karena proses ini melibatkan banyak aktifitas yang lain, maka juga dihasilkan limbah padat yang kering berupa sisa/potongan karton kemasan, plastik, kertas, kaleng, tali pengemas, label kemasan dan potongan sterofoam, dan sebagainya. Kondisi limbah padat kering ini dapat dalam keadaan bersih (belum terkontaminasi oleh bahan lain) maupun sudah dalam keadaan terkontaminasi oleh bahan lain seperti ikan/udang, bahan pencuci produk, darah, dan lendir ikan (Dwicaksono et al. 2013).

Menurut Dewantoro(2003) komposisi limbah padat usaha perikanan terdiri dari: (1) Daging merah sebanyak 25%, (2) Bone (kepala, duri, ekor) sebanyak 55%, (3) Isi perut (jerohan dan darah) sebanyak 15% dan (4) Karton, plastik, dan lain-lain sebanyak 5%.

Limbah berupa daging merah, bone (kepala, duri, ekor), isi perut, dan karton atau plastik tersebut akan menimbulkan masalah yang serius terhadap lingkungan apabila tidak dikelola dengan baik. Permasalahan yang mungkin timbul adalah adanya bau amis dari potongan ikan yang disertai bau busuk karena proses pembusukan sehingga mengundang datangnya berbagai vector penyakit diantaranya lalat dan tikus (Fitria, 2008).

Limbah Cair. Limbah cair dari hasil perikanan dapat berupa sisa cucian ikan/udang, darah dan lendir ikan, yang banyak mengandung minyak ikan sehingga menimbulkan bau amis yang menyengat. Limbah cair ini merupakan limbah yang dominan dari usaha perikanan karena selama proses, membutuhkan air dalam jumlah yang cukup banyak. Limbah cair juga berasal dari sanitasi dan toilet pada lokasi usaha tersebut (Gintings, 1992).

BAB III

PEMANFAATAN LIMBAH PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN

Limbah pengolahan hasil perikanan dapat dimanfaatkan hingga menghasilkan beberapa  produk yang bermanfaat. Contoh produk limbah  perikanan antara lain Tulang ikan, kulit ikan, petis ikan silase ikan dan pupuk organik.

3.1 Tulang Ikan

Limbah padat perikanan merupakan limbah padat yang tidak menimbulkan zat-zat beracun bagi lingkungan, namun merupakan limbah padat yang mudah membusuk, sehingga menyebabkan bau yang sangat menyengat. Limbah padat dapat  berupa kepala, kulit, tulang ikan, potongan daging ikan, sisik, insang atau saluran  pencernaan (Sugiharto, 1987).

Menurut Hadiwiyoto (1993) ikan tersusun atas tulang pokok pada ikan yang terdiri atas tulang punggung yang terdiri atas 56-200 ruas tulang yang saling dihubungkan dengan jaringan pengikat yang lentur (kolagen).

Menurut Trilaksani, dkk (2006) tulang ikan merupakan salah satu bentuk limbah dari industri pengolahan ikan yang memiliki kandungan kalsium terbanyak diantara bagian tubuh ikan, karena unsur utama dari tulang ikan adalah kalsium, fosfor dan karbonat

Kalsium merupakan unsur penting yang sangat dibutuhkan oleh tubuh, karena kalsium berfungsi dalam metabolisme tubuh dan pembentukan tulang dan gigi. Tubuh manusia memiliki tingkat kebutuhan kalsium yang berbeda menurut usia dan jenis kelamin. Anak-anak membutuhkan kalsium 600 mg per hari sedangkan usia dewasa 800 mg hingga 1000 mg per hari (Widyakarya Pangan dan Gizi LIPI 2004). Pemanfaatan limbah tulang ikan sebagai sumber kalsium merupakan alternatif pemanfaatan limbah yang tepat dalam rangka menyediakan sumber pangan kaya kalsium sekaligus mengurangi dampak buruk akibat pencemaran limbah pada industri pengolahan hasil perikanan (Nabil 2005).

Tepung tulang ikan dapat menjadi salah satu sumber kalsium yang harganya relatif murah dan penanganannya yang sederhana dibanding dengan

produk susu bubuk dan turunannya yang harganya relatif mahal sehingga sulit dijangkau oleh sebagian masyarakat (Thalib 2009)

3.1.1 Tepung Tulang Ikan

Kegiatan pengolahan ikan akan menghasilkan limbah sisa atau hasil sampingan. Menurut Fahrul (2005) hasil samping atau limbah merupakan bagian dari tubuh ikan (selain daging) yang tidak terpakai pada pengolahan hasil-hasil perikanan sebab dianggap tidak dapat menghasilkan produk yang memiliki nilai tambah. Hasil samping tersebut salah satunya adalah tulang ikan, tulang ikan tergolong kedalam jenis limbah yang bersifat organik jika tidak termanfaatkan dan

apabila dimanfaatkan lagi akan menghasilkan produk yang bernilai tambah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa umumnya pengolahan tulang ikan dijadikan sebagai bahan baku tepung ikan dan kerupuk yang memiliki nilai ekonomi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan gelatin. Pada ikan tuna yang diolah menjadi produk loin, akan menghasilkan hasil samping berupa tulang sekitar 15%, kepala sekitar 30%, sisa kulit dan sisik sekitar 10% (Wiratmaja, 2006).

Tepung tulang dapat diperoleh melalui tiga proses (Anggorodi 1985), yaitu :

1)      Pengukusan. Tulang dikukus kemudian dikeringkan dan digiling untuk menghasilkan tepung tulang ikan.

2)      Pemasakan dengan uap dibawah tekanan. Tulang dimasak dengan tekanan kemudian diarangkan dalam bejana tertutup sehingga didapat tulang dalam bentuk remah dan dapat digiling menjadi tepung.

3)      Abu tulang yang diperoleh dari pembakaran tulang.

Proses pembuatan tepung tulang dimulai dengan : limbah ikan berupa tulang dicuci dengan air sampai bersih. Kemudian direbus selama 30 menit pada suhu 100°C. Setelah tulang direbus dimasukkan ke dalam autoklaf selama 45-60 menit pada suhu 121°C sampai tulang menjadi lunak. Selanjutnya dilakukan penggilingan I dengan blender, pengovenan selama 17 jam pada suhu 70°C kemudian penggilingan II sampai halus. Dilanjutkan dengan pengayakan sehingga menjadi tepung tulang ikan.

3.1.2 Manfaat Tepung Tulang Ikan

Tulang ikan merupakan salah satu limbah hasil pengolahan perikanan yang dapat dimanfaatkan sebagai tepung untuk bahan pangan. Pemanfaatan tepung tulang ikan dapat dilakukan dalam bentuk pengayaan (enrichment ) sebagai salah satu upaya fortifikasi zat gizi dalam makanan. Tulang ikan banyak mengandung garam mineral dari garam fosfat, seperti kalsium fosfat (Elfauziah, 2003).

Pemanfaatan limbah tulang ikan salah satunya adalah dibuat tepung. Tepung ikan dapat ditambahkan pada produk ekstrusi, roti, biskuit dan kue kering. Pada pembuatan produk ekstrusi, tepung ikan dicampur dengan jagung, beras dan kacang hijau (Fawzya dkk, 1997)

Baskoro (2008) membuat biskuit dengan penambahan tepung tulang nila merah sebesar 0%, 5%, 10%, 15%, dan 20% dari tepung terigu, fortifikasi tepung

tulang nila merah yang terbaik terhadap karakteristik dan kandungan kalsium pada

biskuit adalah fortifikasi tepung tulang nila merah sebesar 10%. Kandungan kalsium pada konsentrasi ini sebesar 666 mg dari takaran saji biskuit 30 g.

Ngudiharjo (2011) membuat mie kering dengan penambahan tepung tulang nila merah sebesar 0%, 5%, 10%, 15%, 20%, dan 25% dari tepung terigu. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa berdasarkan uji hedonik penambahan  tepung tulang nila merah 10% paling disukai panelis.

3.2. Kulit Ikan

Kulit ikan terdiri dari daerah punggung, perut dan ekor sesuai dengan bentuk  badannya. Kulit ikan tersusun dari komponen kimia protein, lemak, air, dan mineral. Kulit ikan merupakan penghalang fisik terhadap perubahan lingkungan serta serangan mikroba dari luar tubuh. Kulit ikan merupakan salah satu bagian pada ikan yang  banyak dimanfaatkan selain dagingnya. Kulit ikan dapat dimanfaatkan sebagai bahan  pangan maupun non pangan. Kulit ikan banyak digunakan sebagai bahan baku dalam  proses pembuatan kerupuk kulit ikan, gelatin, kulit olahan, tepung ikan, serta sumber kolagen untuk kosmetik. Kandungan protein kolagen yang terdapat pada kulit ikan yaitu sebesar 41-84% (Judoamidjojo, 1981).

Kualitas kulit ikan sangat tergantung pada jenis ikan dan cara pengolahannya. Pada umumnya limbah kulit ikan diperoleh dengan mudah dari sisa-sisa pengolahan daging ikan, seperti sisa pembuatan kerupuk ikan, bakso ikan, tepung ikan, abon ikan dan kecap ikan (Indraswari, C,H. 2003). Kulit ikan dari hampir semua jenis ikan dapat dimanfaatkan dalam pembuatan kerupuk kuIit ikan. Namun demikian, kebanyakan limbah kuIit ikan yang diperoleh berasal dari ikan yang dianggap mempunyai nilai ekonomis seperti: ikan tengiri, tuna, kakap, kakap merah, pari (pe), hiu, lele, bandeng, dan belut. (Eddy Pumomo, 2002).

3.2.1 Kerupuk Kulit Ikan

Menurut Indraswari (2003) kerupuk kulit ikan memiliki cita rasa yang sangat lezat, tidak kalah dengan kerupuk kulit sapi yang mengandung nilai gizi tinggi seperti protein, lemak, mineral, kalsium, fosfor, air, dan energi. Kualitas kerupuk ikan ditentukan oleh banyak hal, tidak hanya berkaitan dengan proses pengolahan kulit ikan tersebut menjadi kerupuk kuIit ikan, akan tetapi juga dipengaruhi oleh proses pengolahan ikan hingga menghasilkan limbah yang berupa kulit ikan tersebut. Penanganan yang kurang baik saat proses pengolahan dapat menghasilkan limbah kulit ikan yang kurang baik pula, misalnya berbau tidak sedap (busuk) dan sebagian berasa pahit akibat tercemar cairan empedu. Kondisi ini nantinya akan terbawa hingga menjadi produk kerupuk kulit (rambak).

3.2.2 Pembuatan Kerupuk Kulit Ikan

Menurut Kristianingrum dkk (2006) pembuatan kerupuk kulit ikan memerlukan peralatan yang sederhana dan murah, sehingga usaha ini dapat dilakukan sebagai usaha sampingan untuk home industri atau usaha kecil menengah. Alat-alat tersebut antara lain adalah:

1.      Timbangan

2.      Gelas ukur atau takaran

3.      Gunting atau alat pemotong~ yaitu untuk memotong bagian-bagian tertentu dari kulit ikan

4.      Bak plastik

5.      Baskom plastik

6.      Penghancur atan blender atau lumping alu

7.      Alat penjemur

8.      Kompor

9.      Seperangkat alat penggoreng

10.  Plastik sealer untuk pengemasan

Cara pembuatan kerupuk kulit ikan terdiri dari beberapa tahapan antara lain:

1)      Penyiapan bahan pengeras dan bahan baku

a)      Bahan pengeras pada prinsipnya dibuat dengan melarutkan kapur sirih atau batu gamping atau kapur tohor dalam air secara terus menerus selama 7 hari hingah menjadi bubur kabur yang lembut.

b)      Bahan baku berupa kulit ikan yang masih kotor, yaitu yang masih bercampur dengan beberapa bagian ikan yang lain (sirip. Ekor, isi perut, duri, atau kepala) harus dipisahkan bagian bagian tersebut dan pilih yang mempunayai kualitas baik. Setelah itu bersihakan dengan air hingga benar-benar bersih dan ditiriskan. Bahan baku dari limbah kulit ikan yang sudah diawetkan sementara atau dikeringkan harus direndam beberapa saat hingga menjadi basah kemudian baru dapat diproses.

c)       Dilakukan proses pengerasan dengan larutan kapur sirih selama 1-2 jam agar kerupuk ikan nantinya memiliki tektur yang kaku renyah dan tidak mudah lembek. Untuk 10 liter air perendaman dibutuhkan 10 sedok air kapur sirih.

d)      Setelah proses perendaman kulit ikan dicuci kembali dengan air hingga bau kapur yang menepel pada kulit ikan benar-benar hilang, dan tiriskan.

e)      Setelah ditiriskan kulit ikan yang telah keras tersebut dikeringkan. Kulit ikan telah keringkan ini siap diolah

2)      Tahan pengolahan

a.       Kulit ikan yang telah kering dipotong dengan gunting untuk menyeragamkan bentuk dan ukurannya, sekaligus untuk memisahkan bagian-bagian lain dari ikan yang mungkin masih terikut misalnya sirip, ekor, duri dan lain-lain.

b.      Selajutnya direndam dalam larutan bumbu selama 5- 10 menit kemudian diangkat dan tiriskan.

c.       Kulit ikan yang sudahh dibumbui dijemur hingga benar benar kering. Pada waktu penjemuran sebaiknya di bolak-balik supaya keringnya bena-benar  merata. Setelah kering dapat langsung digoreng atau disimpan dalam kantong plastik.

Menurut Indraswari (2003) beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kualitas kerupuk kulit ikan antara lain:

1. Kenampak

Meliputi kondisi fisik, keseragaman (uniform) bentuk dan ukuran serta pengemasan. Pada umumnya kondisi fisik kerupuk ikan kurang menarik bila masih ditemukan adanya sisik ikan dalam jumlah yang cukup banyak. Hal ini menunjukkan proses pengolahan ikan yang kurang baik dan kurang hygienis. Demikian pula bentuk yang kurang seragam memberikan kesan murah, oleh karena itu harns diupayakan keseragaman bentuk dan ukuran supaya kelihatan menarik. Di samping kerapian pengemasan dan jenis baban pengemas produk kerupuk kulit ikan akan mempengaruhi kenampak dan harga jualnya.

2. Cita rasa

Cita rasa yang khas dan lezat akan muncul apabila pada saat pembuatan kerupuk kulit ikan dilakukan penambahan bumbu yang sesuai serta asam matang yang berfungsi untuk menghilangkan bau amis~ Akan tetapi, rasa pahit yang telah terlanjur ada pada kulit ikan mentah, meskipun dalam jumlah yang relatif sedikit  tetap tidak dapat dihilangkan dan tetap saja mengganggu. Rasa pahit tersebut dapat disebabkan oleh adanya pencemaran empedu atau pencemaran air kapur yang digunakan untuk merendam.

3. Minyak Goreng

Untuk menghindari ketengikan (ransiditas) disarankan untuk menggunakan minyak goreng buatan pabrik yang diproduksi secara modem sehingga lebih awet.

4. Kadar Air

Daya tahan (keawetan) kerupuk kulit ikan baik yang disimpan dalam keadaan mentah maupun matang antara lain dipengaruhi oleh kadar air yang terkandung di dalamnya.. Di samping itu jenis dan cara pengemasan juga berpengaruh terhadap daya simpannya. Hal-hal lain seperti penggunaan garam dan asam serta bumbu bumbu dalam proses pembuatan kerupuk kulit ikan juga dapat membantu meningkatkan daya tahan (daya simpan) kerupuk kulit ikan tersebut.

3.3. Petis Ikan

Petis adalah suatu produk olahan hasil perikanan, yang dibuat dari hasil ekstrak ikan melalui proses perebusan dan selanjutnya dipekatkan atau dikentalkan dengan penambahan bahan pembantu dan bahan penyedap. Petis ikan yang terdapat di Indonesia merupakan hasil penyaringan dari proses perebusan (pemindangan) ikan, atau limbah hasil perebusan (pemindangan) dari ikan yang tidak dipergunakan lagi namun mengandung zat gizi yang cukup tinggi. Sebagai hasil ikutan, petis ikan yang dikumpulkan dari cairan hasil pemindangan diuapkan lebih lanjut dengan perebusan lanjutan, sambil ditambahkan gula sebagai bahan pengawet (Soeseno 1984 dalam Danitasari, 2010).

Petis ikan yang terbuat dari air limbah ikan pindang rasanya lebih tajam dan asin dibandingkan dengan petis udang yang terbuat dari air limbah udang (Anonim 2008a dalam Danitasari, 2010). Adapun kegunaan petis adalah sebagai penyedap atau penambah rasa enak pada masakan atau sambal yang dipersiapkan. Petis ikan yang terdapat di Indonesia terkenal di daerah Jawa Timur, khususnya di Pulau Madura, namun petis ikan tidak begitu terkenal di daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat karena rasanya yang kurang lezat dan bau amis yang menyengat (Wijatmoko 2004 dalam Danitasari, 2010).

3.3.1 Bahan baku petis

Berdasarkan cara pembuatannya, petis dapat digolongkan atas empat kategori mutu, yaitu petis kualitas istimewa, kualitas ekstra, petis nomor satu, dan petis nomor dua. Petis istimewa menggunakan bahan baku udang Werus (Metapenaeus monoceros), sedangkan bahan baku untuk petis kualitas nomor satu dan nomor dua adalah ampas dari petis kualitas ekstra. Petis yang bermutu rendah umumnya dibuat dari bahan baku kepala udang atau udang kecil-kecil (Saputra 2008 dalam Danitasari, 2010).

Bahan baku utama pembuatan petis udang adalah daging atau limbah udang dan gula merah. Bahan mentah petis dapat digunakan ikan utuh, sisa bagian ikan dari pabrik pengolahan ikan atau udang (pembekuan dan pengalengan), maupun sisa air rebusan dari pengolahan ebi atau pengolahan pindang. Bahan baku tambahannya berupa bawang putih, cabai, lada, gula pasir, tepung beras, tepung tapioka, tepung kanji, tepung arang kayu, garam, dan air (Astawan 2004 dalam Danitasari, 2010).

3.3.2 Bahan-bahan tambahan petis

Bahan baku tambahan yang digunakan pada pembuatan petis ikan adalah:

a. Gula (Saccharum oficinarum)

Gula yang digunakan dalam proses pembuatan petis ini adalah gula pasir dan gula merah (gula kelapa). Menurut Sudarmadji (1982) tujuan penambahan gula adalah untuk memperbaiki rasa, bau, memperbaiki tekstur, menambah cita rasa sehingga meningkatkan sifat kunyah bahan makanan dan memberikan warna. Apabila gula yang diberikan dalam bahan makanan dengan konsentrasi yang lebih tinggi dari 40% padatan terlarut, sebagian air yang ada menjadi tidak tersedia untuk pertumbuhan mikroorganisme dan aw pada bahan berkurang (Buckle et al, 2007 dalam Danitasari, 2010).

b. Bawang putih (Allium sativum)

Bawang putih mengandung sulfur, asam amino, zat mineral termasuk germanium, selenium, dan zinc, serta vitamin A, B, dan C. Allicin dipercaya sebagai zat kandungan bawang putih yang paling banyak memberikan manfaat, selain menghasilkan bau yang menyengat. Bawang putih umum digunakan sebagai bahan masakan daripada sebagai sayuran karena rasanya yang sangat kuat

(Saparinto dan Hidayati 2006).

c. Cabai rawit (Capsicum frutescens L.)

Cabai rawit atau cabe rawit (Capsicum frutescens L.), adalah buah dan tumbuhan anggota genus Capsicum. Selain di Indonesia, cabai rawit juga tumbuh dan populer sebagai bumbu masakan di negara-negara Asia Tenggara lainnya. Di Malaysia dan Singapura dinamakan cili padi, di Filipina siling labuyo, dan di Thailand phrik khi nu. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan nama Thai pepper  atau bird's eye chili pepper. Buah cabai rawit berubah warnanya dari hijau menjadi merah saat matang. Meskipun ukurannya lebih kecil daripada varietas cabai lainnya, cabai rawit dianggap cukup pedas karena kepedasannya mencapai 50.000 – 100.000 pada skala Scoville (Saparinto dan Hidayati 2006).

3.3.3 Proses pembuatan petis ikan

Pada prinsipnya pembuatan petis merupakan serangkaian kegiatan yang meliputi penyiapan bahan baku, perebusan, dan pengentalan. Selengkapnya proses pembuatan petis adalah sebagai berikut (Anonim 2002 dalam Danitasari, 2010) :

a)      Mula-mula kepala udang harus dicuci bersih karena merupakan sumber bakteri dan terdapatnya sistem pencernaan di kepala.

b)      Setelah kepala udang dicuci, diberi air dengan perbandingan tertentu. Kemudian dimasak atau direbus, biasanya selama 3 sampai 6 jam. Selanjutnya dilakukan pemerasan dan ampasnya dibuang. Perebusan ini dilakukan untuk mengambil sari dari kepala udang tersebut. Pembuatan petis juga dapat dilakukan dari ekstrak ikan atau udang hasil samping pembuatan pindang atau ebi (udang kering).

c)      Sari udang atau ikan tersebut dimasukkan ke dalam belanga kemudian dimasak, sambil diaduk-aduk sampai agak kental. Setelah itu dilakukan penambahan garam dan gula sedikit demi sedikit ataupun penambahan bumbu-bumbu seperti bawang putih, cabai rawit, dan merica.

d)     Selain itu, di beberapa daerah juga ada yang menambahkan tepung tapioka dan tepung arang kayu atau arang jerami dalam pembuatan petis atau dengan menambahkan tepung terigu.

e)      Perebusan dilakukan sampai adonan mengental, yang ditandai dengan pengadukan yang terasa berat atau apabila dijatuhkan dari sendok pengaduk, cairan tidak meluncur tetapi menetes (tetes demi tetes).

f)       Petis yang merupakan produk saus kental yang elastis, sangat cocok dikemas dengan botol atau stoples yang bermulut lebar. Sebelum digunakan, botol-botol pengemas tersebut harus disterilisasi terlebih dahulu. Petis juga dapat dikemas dalam botol plastik.

3.3.4 Komposisi zat gizi petis

Limbah yang berasal dari air perebusan ikan Tongkol yang umumnya dibuang setelah ikan pindang matang digunakan sebagai bahan baku petis. Cairan tersebut berasa asin dan mengandung sejumlah zat gizi dan komponen cita rasa yang terlarut selama perebusan ikan, seperti protein, asam amino, vitamin, dan mineral. Cita rasa gurih pada petis berasal dari dua komponen utama, yaitu peptida dan asam amino yang terdapat pada ekstrak ikan atau udang serta dari komponen bumbu yang digunakan. Asam amino glutamat pada ekstrak ikan merupakan asam amino yang paling dominan menentukan rasa gurih. Sifat asam glutamat yang ada pada esktrak ikan, udang, atau daging sama dengan asam glutamat yang terdapat pada monosodium glutamat (MSG) yang berbentuk bubuk

penyedap rasa (Astawan 2004 dalam Danitasari, 2010).

Petis yang diolah dari cairan hasil proses pemindangan kaya akan zat gizi dan nitrogen terlarut, hal ini dapat dilihat pada komposisi kimia (protein, lemak, karbohidrat, dan air) petis udang dan petis ikan pada Tabel 1

Tabel 1. Komposisi kimia petis udang dan petis ikan

Komposisi

Petis Ikan

Petis Udang

Protein (%)

Lemak (%)

Karbohidrat (%)

Air (%)

20,00

0,20

24,00

56,00

15,00

0,10

40,00

39,00

Sumber : Anonim 1989 dalam Danitasari, 2010).

Komposisi gizi pada petis yang ada di pasaran sangat bervariasi sekali, tergantung pada bahan baku yang digunakan dan cara pembuatannya. Penambahan gula dan tepung dalam proses pembuatannya menyebabkan cukup tingginya kadar karbohidrat pada petis, yaitu sekitar 20-40 g per 100 g. Kandungan mineral yang cukup tinggi pada petis adalah kalsium, fosfor, dan zat

besi, masing-masing sebanyak 37, 36, dan 3 mg per 100 gram. Walaupun kandungan protein petis cukup tinggi (15-20 g/100 g), petis tidak dapat dijadikan

sebagai sumber protein karena pemakaiannya dilakukan dalam jumlah sangat sedikit. Petis hanya dikonsumsi sebatas sebagai pembangkit cita rasa (Anonim 2002 dalam Danitasari, 2010).

Limbah perikanan yang dihasilkan dari kepala, ekor, dan jenis ikan yang tidak dimanfaatkan lagi ternyata masih mengandung unsur mikro yang terdiri dari  protein dan lemak, yang dapat terurai menghasilkan nitrat dan amonia yang cukup tinggi, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pupuk organik cair (Setiyawan, 2010).

3.4 Silase Ikan

Ikan rucah (trash fish) merupakan surplus ikan hasil tangkapan atau sisa hasil pengolahan ikan, ikan rucah juga sering di definisikan sebagai ikan yang tidak layak dikonsumsi oleh manusia karena penanganan yang kurang tepat atau tidak diolah sehingga tidak hieginis (Moeljanto, 1994 dalam Handajani 2014)

Pada umumnya ikan rucah tidak dapat dimanfaatkan atau diolah sebagai produk untuk dikonsumsi manusia namun biasanya dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan ternak atau ikan, berupa tepung ikan. Biaya pakan yang dihabiskan selama proses budidaya adalah 60% dari biaya keseluruhandan komponenen utama dalam pakan ikan ialah tepung ikan atau protein hewani (Wibowo, 2006 dalam  Handajani 2014))

Selain diolah menjadi tepung ikan, ikan rucah dapat diolah menjadi silase ikan. Produk silase ikan merupakan suatu produk cair yang dibuat dari ikan-ikan utuh atau sisa sisa industri pengolahan ikan yang dicairkan menyerupai bubur oleh enzim-enzim yang terdapat pada ikan-ikan itu sendiri melalui proses fermentasi dengan bantuan asam atau mikroba yang sengaja ditambahkan (Suharto, 1997 dalam  Handajani 2014)

Pembuatan secara kimiawi menggunakan penambahan asam kuat yaitu asam mineral (asam anorganik) sedangkan pembuatan secara biologi yaitu memanfaatkan mikroba tertentu (bakteri asam laktat) dengan menambahkan bahan sumber karbohidrat seperti dedak, polard, ataupun molase. Silase yang dibuat menggunakan asam mineral bersifat sangat korosif sehingga perlu dinetralkan terlebih dahulu sebelum digunakan (Akhirani, 2011 dalam  Handajani 2014).

3.4.1 Pembuatan silase ikan rucah

Dalam pembuatan silase ikan biasanya memanfaatkan ikan rucah dan limbah  pengolahan ( Deputi, 2002). Bahan baku silase ikan utuh, potongan kepala, sisa filet maupun isi perut ikan baik yang segar maupun yang kurang segar. Dihentikan reaksi pembusukan begitu proses pembuatan silase dimulai karena  menurunnya pH sampai 4 akan membunuh bakteri pembusuk yang hanya dapat bertahan minimal pada pH 5,5 (Jatmiko, 2002).

Pada dasarnya prinsip  pembuatan silase “ensilase”  yaitu prinsip pengawetan dengan menambahkan asam, sehingga akan terjadi penurunan pH dan menyebabkan silase bebas dari bakteri (Kompiang dan Ilyas 1983 dalam  Adityana, 2007).

Metode ensilase melimbatkan potongan limbah ikan segar untuk memperluas area pemukaan bahan sehingga mempermudah kerja enzim untuk menghasilkan protein cair dan minyak. Dalam kendisi cair, silase dapat dikonsentrasikan untuk melepas kelebiahan air dari berat silase ikan (girindra, 1993 dalam mukodiningsih, 2003).

Silase ikan dapat dibuat dengan menambahkan asam kedalam bahan baku asam yang digunakan dapat berupa asam anorganik (asam klorida, asam nitrat, dan asam sulfat) atau asam organik (asam formiat, asam asetat  dan asam propionat) (Jatmiko, 2002).

Akan tetapi yang bisa digunakan asam organik terutama asam formiat karena dapat bereaksi pada pH yang agak tinggi sehingga dapat menahan kerja bakteri. Selain itu silase yang dihasilkan tidak perlu di netralkan sebelum ditambahkan ke makanan (Tatterson and Windsor, 2001 dalam Adityana. 2007).

Pembuatan silase ikan diawali dengan pencacahan/pelumatan bahan baku hingga menjadi bagian-bagian kecil. Lumatan tersebut disaring dengan saringan berukuran 10 mm kemudian kemudian ditambah asam formiat. Hal yang paling paling penting adalah dalam pengadukan bahan sebab dengan pencampuran (Tetterson and windsor. 2001 dalam Adityana. 2007)

Silase ikan pada umumnya disimpan pada suhu kamar sehingga enzim pencernaan dapat bekerja mencairkan jaringan ikan. Penyimpanan yang terbaik dipertahankan pada pH 3-4 dimana pH ini optimum untuk mengaktifkan enzim proteolitik seperti cathepsin (Rustad 2001). Enzim tersebut akan memcahkan protein menjadi peptida rantai pendek, asam amino bebas, beberapa amonia dan gugus amida. Prosesnya dikenal sebagai autolisis (Kjos, 2001 dalam Adityana. 2007)

Kecepatan pencairan tergantung pada bahan baku kesegaran dan temperatur dari proses. Ikan segar lebih mudah mencair dibandingkan dengan ikan yang akan membusuk/tidak segar dan pada kondisi yang hangat proses pembuatanya lebih cepat (Tatterson and Windsor, 2001 dalam  Adityana)

3.4.2 Mutu silase ikan Rucah

Menurut Irani (1992) untuk mendapat silase yang baik harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1.      Memiliki pH dibawah 5.

2.      Kandungan amonia rendah.

Menurut Afrianto dan Liviawaty (1989) silase yang bermutu baik mempunyai kandungan amonia sekitar 2% dari jumlah total protein yang dikandungnya

3.      Tidak terdapat bakteri patogen seperti salmonella sp atau staphylococcus sp.

4.      Jumlah spora anaerob ada E. Coli rendah.

5.      Tetap stabil untuk waktu lebih dari 6 bulan dalam keadan basah dan lebih dari 1 tahun adalam keadaan kering.

Menurut Afrianto dan liviawaty (1989) komposisi kimia silase yang berasal dari ikan utuh mengandung 70-75% air, 18-20 protein, 4-6% abu, 1-2% lemak, 1-3% Ca, dan 0,3-0,9 fosfor

3.4.3. Keuntungan dan Kelemahan Selase Ikan Rucah

Pemanfaatan ikan rucah menjadi silase merupakan suatu langka yang menguntungkan karena tidak memerlukan peralatan dan proses yang rumit serta tidak menimbulkan pencemaran lingkungan karena tidak ada bagian ikan yang terbuang. Akan tetapi pembuatan silase mempunyai masalah dalam hal penyimpana silase yang berbentuk cairan membutuhkan ruang penyimpanan yang besar (Afrianto dan liviawaty, 1989).

2.5 Pupuk  Organik  Cair Limbah Hasil Perikanan

Pupuk  organik  cair merupakan salah satu jenis pupuk organik yang biasanya terbuat dari limbah hasil perikanan. Pupuk ini dibuat dengan cara menghancurkan limbah perikanan dan sisa – sisa olahan ikan, kemudian diproses lebih lanjut dalam bentuk cair dengan kandungan nitrogen 5 – 9%, fosfor 2 – 4%, dan kalium 2 – 7%  (Sujatmaka, 1989).

Pupuk organik cair dari bahan baku ikan dilaporkan  (Gundoyo, 2003) dapat menurunkan serangan patogen Macrophomina phaseolina, Rhizoctonia solani dan Fusarium spp, pada tanaman kacang panjang. Sedangkan menurut (Lingga P, 2005), pupuk organik cair dari bahan baku ikan dapat menginduksi Actynomicetes spp dan Rhizobacteria spp yang berperan dalam menghasilkan hormon, yang tumbuh disekitar perakaran tanaman.

3.5.1 Bahan Baku Pupuk Organik Cair

          Bahan baku pembuatan pupuk organik dapat berasal dari limbah ikan atau ikan-ikan yang tidak punya nilai ekonomis. Limbah cair pembuatan tepung ikan merupakan salah satu contoh limbah pengolahan ikan. Pupuk dari limbah pengolahan ikan ini disukai pengusaha bunga dan tanaman hias lainnya karena pupuk ini menyebabkan daun tanaman menjadi lebih mengkilap dan segar, tanaman berbunga lebih banyak dan bunga bertahan lebih lama (Hadisuwito, 2012).

Limbah ikan yang digunakan sebagai pupuk pertanian terdapat dalam dua bentuk utama, yaitu dalam bentuk cairan dan kompos ikan. Dalam bentuk kompos maka limbah ikan dicampur dengan limbah dapur dan limbah tanaman, dan dibiarakan terurai. Pupuk cair dibuat dengan cara mencampur limbah ikan dengan asam organik dan dibiarkan pada suhu kamar sampai terurai dengan baik (Gundoyo, 2003)

3.5.2 Proses Pembuatan Pupuk Organik Cair

Proses produksi pupuk organik cair sangat dipengaruhi kandungan lemak bahan baku ikan. Dengan kandungan lemak yang tinggi, kemungkinan besar bahwa prosesnya akan lambat atau tidak sempurna. Berbeda dengan kandungan lemak yang sedikit, maka hasil pupuknya akan termasuk yang terbaik. Berdasarkan kandungan lemak bahan baku, maka proses pembuatan pupuk organik cair berjalan dalam dua tahap, yaitu proses fisik melalui penggilingan bahan-bahan yang dipergunakan, dan proses biologis yaitu lanjutan proses yang dikenal dengan fermentasi non-alkoholik atau proses ensiling (Basmal, 2008).

Pupuk dari limbah cair di buat dengan menambahkan bantuan posfat alam untuk meningkatkan kandungan unsur phospat (P), dan kelarutan bantuan fosfat ditingkatkan dengan menambahkan mikroba pelarut posfat, dilanjutkan dengan inkubasi selama dua hari lagi. Kandungan hara pupuk organik cair tergantung pada jenis dan ukuran ikan, sehingga kandungan unsur hara limbah ikan bervariasi dari 1500-2000 ppm (N), 300 ppm (P), dan 3000-4000ppm (K), serta pH sekitar 6,5 (Lingga P, 2005). Berikut ini beberapa proses pembutan pupuk organik cair:

Menurut (Hadisuwito, 2012), proses pembuatan pupuk organik cair dari limbah hasil penyiangan ikan, yang pertama dilakukan yaitu mengumpulkan limbah hasil penyiagan ikan, selanjutnya menyiapkan ragi tempe/bioaktivator yang berfungsi sebagai pengurai. Proses selanjutnya yaitu memasukan kedua bahan tersebut kedalam gentong yang tertutup (hampa udara) dan setiap hari gentong dibuka untuk diaduk selama lima menit. Selang satu minggu limbah tersebut akan membentuk endapan berupa cairan dan padatan, kemudian pisahkan endapan yang berupa cairan yang digunakan sebabagai pupuk organic cair (Hadisuwito, 2012) Lebih lanjut dapat dilihat pada gambar 1. Proses pembuatan pupuk cair dari limbah penyiangan ikan

Limbah hasil penyiangan  ikan

 

Pencampuran bahan sejenis ragi yang umumnya disebut biovaktor yang fungsingya sebagai pengurai.

Pemasukan kedalam gentong yang tertutup

Setiap hari gentong tersebut di buka selama 5 menit untuk diaduk

Selang 1 minggu, limbah tersebut akan membentuk endapan. Ada cairan dan endapan (padatan)

 
 

Gambar 1. Proses pembuatan pupuk cair dari limbah hasil penyiangan ikan.

Menurut (Gundoyo, 2010) proses pembuatan pupuk organik cair dari limbah hasil perikanan yaitu terlebih dahulu menyiapkan bahan berupa cincangan ikan yang sudah terbuang, tong plastik atau tong bekas wadah cat tembok ukuran 25 kilogram (kg), lengkap dengan tutupnya. Siapkan juga kantong plastik ukuran 60 cm x 90 cm dan beri beberapa lubang sebesar 1 cm, lubang ini berfungsi untuk memperlancar sirkulasi air dalam tong, selanjutnya 1/4 kg gula merah yang sudah dilarutkan, 1/2 liter bahan EM4 untuk mempermudah proses pelarutan, 1/2 liter air bekas cucian beras, dan 10 liter air tanah. Untuk hasil maksimal jangan gunakan air hujan atau air PAM. Proses selanjutnya yaitu pencampuran, Campur air bekas cucian beras, EM4, dan air gula ke dalam tong plastik. Sementara itu cincangan ikan dimasukkan ke dalam kantong plastik yang sudah dilubangi. Setelah itu, masukkan kantong plastik ini ke dalam tong plastik dan tambahkan air tanah, kemudian ikat kantong plastik berisi cincangan ikan itu dan tutup pula tong plastik itu dengan rapat selama tiga minggu. Setelah tiga minggu, limbah ikan dalam tong itu tidak berbau dan kelihatan menyusut. Angkat limbah itu hingga air tiris. Limbah ikan dari dalam plastik menjadi pupuk padat, sedangkan air dalam tong menjadi pupuk cair

3.5.3 Manfaat  Pupuk Organik Cair dari Limbah Hasil Perikanan

Pupuk organik cair berbahan baku ikan kaya akan unsur makro dan mikro. Pupuk tersebut dilaporkan nyata meningkatkan pertumbuhan beberapa jenis sayuran dengan tingkat penambahan hasil mencapai 60% dari perlakuan kontrol (Fauziah, 2012). Selain sebagai sumber hara, pupuk berbahan baku ikan dilaporkan nyata menurunkan serangan patogen Macrophomina phaseolina, Rhizoctonia solani and Fusarium spp, pada tanaman kacang panjang (Gundoyo, 2003), serta dapat menginduksi Actynomicetes spp. dan Rhizobacteria spp yang berperan dalam menghasilkan hormon tumbuh disekitar perakaran tanaman (Lingga P, 2005). Namun demikian, pupuk ikan yang telah dikembangkan saat ini umumnya berasal dari ikan berkualitas baik sehingga bersaing dengan kebutuhan pangan masyarakat. Disisi yang lain, limbah ikan tersedia dalam jumlah yang cukup besar dan belum termanfaatkan. Limbah tersebut umumnya terkumpul di tempat-tempat penampungan ikan serta pasar-pasar tradisional. Komposisi limbah tersebut umumnya berupa ikan yang telah rusak, isi perut, sirip, kepala, dan sisik. Apabila dimanfaatkan, maka limbah ikan tersebut berpotensi untuk dijadikan pupuk organik cair dari ikan yang berkualitas baik setara dengan pupuk organik yang telah ada dipasaran (Hadisuwito, 2012). 

Salah satu hara yang dibutuhkan tanaman dalam jumlah banyak adalah kalsium(Ca). hara ini dapat di peroleh dari limbah ikan. Menurut Parmata, (2004), bahwa unsur hara  Ca dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman  dalam beberpa hal, diantaranya: (1). Mengatur pengisapan air dalam tanah, (2). Mengatifkan pembentukan bulu-bulu akar dan biji, dan  (3). Menguatkan batang. Kekurangan kalsium (Ca) dapat menyebabkan pertumbuhan dan ranting terhambat dan batang tanaman tidak kokoh, ujung akar dan akar rambut mati, pucuk dan kuncup bunga berjatuhan. Selain itu pupuk organik cair ini memiliki bau yang busuk, akan tetapi bau busuk tersebut dapat diatasi antara lain dengan menurunkan pH limbah cair, memberi aerasi, menambahkan bahan penyerap bau, menggunakan mikroba yang mempercepat proses dekomposisi dan merombak senyawa yang menimbulkan bau. Proses menghilangkan bau busuk dari limbah cair pengolahan tepung ikan untuk dijadikan bahan baku pupuk cair dilakukan dengan menurunkan pH limbah ikan dari 8,0 menjadi 6,0 dengan penambahan HCl, menambahkan molases, dan menginokulasi limbah ikan dengan kultur bakteri asam laktat. Kultur ini diinkubasi pada shaker dengan memberikan aerasi secara terputus selang dua jam dengan dikocok pada 120 ppm. Dengan cara ini bau busuk limbah ikan hilang dalam waktu inkubasi lima hari, (Hadisuwito, 2012).

Menurut (Basmal, 2008), keunggulan lain yang dimiliki pada pupuk organik cair yaitu:

1.   Pupuk yang dihasilkan merupakan pupuk organik yang unsur haranya lebih  lengkap dibandingkan dengan pupuk anorganik,

2.   Membuat daun tanaman hias menjadi lebih mengkilap, bunga lebih banyak dan bertahan lebih lama,

3.   Bahan baku melimpah dan murah, karena memanfaatkan limbah pengolahan ikan,

4.   Harga jual kompetitif jika dibandingkan dengan produk impor yang sangat mahal.

5.   .Konsep back to nature melalui pertanian organik

BAB III

 PENUTUP

3.1 Simpulan

Berdasarkan  pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1.    Limbah yang dihasilkan dari pengolahan hasil perikanan umumnya dapat di golongkan menjadi 3 kelompok yaitu: Limbah padat  bersifat basah dan dihasilkan oleh usaha perikanan berupa potongan-potongan ikan yang tidak dimanfaatkan. Limbah cair dari hasil perikanan dapat berupa sisa cucian ikan/udang, darah dan lendir ikan, yang banyak mengandung minyak ikan sehingga menimbulkan bau amis yang menyengat. Limbah hasil samping merupakan sisa produksi yang masih dapat dipergunakan untuk keperluan produksi yang lain diantaranya adalah potongan daging dalam merapaikan fillet (biasa disebut dengan kegiatan trimming), potongan tubuh yang telah diambil dagingnya untuk fillet, atau daging merah (read meat) dari seleksi daging ikan tuna yang akan dikalengkan.

2.    Jenis limbah hasil perikanan seperti tulang ikan dapat di manfaatkan sebagai tepung ikan, kemudian tepung tulang dapat di jadikan pakan ternak, Atau penambahan dalam pembuatan roti dan sejenisnya. Limbah kulit ikan dapat di manfaatkan  sebagai produk bernilai ekonomis seperti kerupuk dan gelatin, sedangkan ikan yang tidak bernilai ekonomis dijadikan silase ikan dapat juga di manfaatkan sebagai pakan ternak, selain itu juga rebusan ikan dapat di jadikan petis ikan bahkan limbah cair hasil perikanan bisa dijadikan pupuk organik.

DAFTAR PUSTAKA

Adityana, D. 2007. Pemanfaatan Berbagai Jenis Silase Ikan Rucah Pada Produksi Biomassa (Artemia Franciscana).skripsi. Jurusan Biologi. Fakultas Matematika dan Pengetahuan Alam. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Afrianto, E. Dan Liviawaty, E. 1989. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

Basmal, J. 2008. Prospek pemanfaatan rumput laut sebagai bahan pupuk organik cair. Squalen Buletin Pascapanen & Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. No 12.Vol V.

Bustami, I. 2005. kaji ulang sistem pengolahan limbah cair industri hasil perikanan secara biologis dengan lumpur aktif  IPB (Bogor Agricultural University)

Danitasari, S.  2010. Karakterisasi petis ikan dari limbah cair Hasil perebusan ikan tongkol (euthynnus affinis). [skripsi]. Bogor : Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Dewantoro, R.A. 2003. Proses pengolahan limbah cair pada usaha pembekuan ikan di PT. ILUFA-Pasuruan Jawa Timur. Karya Ilmiah Praktek Akhir, Akademi Perikanan Sidoarjo, DKP.

Dwicaksono B; Ramadhany M; Suharto B; dan Susanaawari L. 2013. Pengaruh penambahan effective microorganisms pada limbah cair industri perikanan terhadap kualitas pupuk cair organikJurnal Sumberdaya Alam & Lingkungan, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya

Ditjen Perikanan Budidaya (Tekno Ikan). 2007. “Pemanfaatan Limbah Ikan Sebagai           Bahan Baku Pupuk Organik”, DKP.

Elifauziah, R. 2003.  Pemisahan kalsium dari tulang kepala ikan patin (pangasius sp.) [skripsi]. Fakultas perikanan dan ilmu kelautan,IPB.

Fawzya, Y.N., Rufina, M. Sugiyono dan Irianto, H.E. 1997. Quality ofextruded food products made from corn, rice and fish flour mixture.didalam APFIC Summary report of papers presented at the tenth session of the Working Party 19 on Fish Technology and Marketing, Colombo, Sri Lanka 4-7 June 1996. FAO Fisheries Report No.563.Rome, FAO p 265-269

Fitria. 2008. Pembuatan Pupuk Organik Cair dari Limbah Cair Industri Perikanan Menggunakan Asam Asetat dan EM4 (Effective Microorganisme 4). [Tugas Akhir]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Ginting, P. 1992. Mencegah dan mengendalikan pencemaran industry. Edesi 1. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Gundoyo, W. 2010. Pembuatan Pupuk Cair Organik dari Limbah Ikan. Tugas Akhir. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. pdf.  Diakses  pada tanggal 30 April 2014.

Hadisuwito. 2012. Membuat Pupuk Organik Cair. Agromedia Pustaka:            Jakarta.

Hadiwiyoto, S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan, Fakultas Teknologi Pertanian UGM. Liberty. Yogyakarta.

Handajani, H. 2014. Peningkatan kualitas silase limbah ikan secara biologisDengan memanfaatkan bakteri asam laktat. Jurnal Gamma, Issn 0216-9037. Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian Peternakan. Universitas Muhammadiyah Malang.

Hartati, I. 2010. Kajian Produksi Kolagen Dari Limbah Sisik Ikan Secara Ekstraksi Enzimatis,  Universitas Wahid Hasyim Semarang

Heriyanto. 2006. Pengaruh rasio COD/TKN pada proses denitrifikasi limbah cair industri  perikanan dengan lumpur aktif. [skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Indraswari, C.H. 2003. Rambak Kulit lkan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Jatmiko, B M. M. 2002 “Teknologi Dan Aplikasi Tepung Silase Ikan (TST)” Makalah Falsafat Sains (PPs 702). Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Laksmi, J. dan Rahayu,W., 1993. Penanganan Limbah Industri Pangan. Kanisius. Jakarta.

Nabil, M. 2005. Pemanfaatan Limbah Tulang Ikan Tuna (Thunnus sp.) sebagai Sumber Kalsium dengan Metode Hidrolisis Protein. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, IPB.

Mukodiningsih, B. Sulistiyanto, V. D Yuniarto. 2003. Kajian Pengaruh Suhu Pengeringan Terhadap Kadar Protein, Kalsium Dan Fosfor Tepung Silase Ikan. http:/www.balitbangjateng.go.id/cari l php?kunci=15.

Resmawati, M. B., Masithah, E. D., Sulmartiwi, L. 2012. Pengaruh Pemberian Pupuk Cair Ikan Lemuru (Sardinella sp.) terhadap Kepadatan Populasi Spirulina platensis. Journal of Marine and Coastal Science, 1(1), 22 –33, 2012.Fakultas Perikanan dan Kelautan, Universitas Airlangga: Surabaya.

Sari, N. 2005. Pengaruh Rasio COD/NO3 pada Parameter Biokinetika Denitrifikasi Pengolahan Limbah Cair Perikanan dengan Lumpur Aktif [skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Thalib, A. 2009. Pemanfaatan Tepung Tulang Ikan Madidihang (Thunnus albacores) sebagai Sumber Kalsium dan Fosfor untuk Meningkatkan ilai Gizi Makron Kenari. Skripsi. Sekolah Pascasarjana, IPB. Bogor.

Trilaksani, W., E. Salamah dan M. Nabil.2006. Pemanfaatan Limbah Tulang Ikan Tuna ( Thunnus Sp.) Sebagai Sumber Kalsium Dengan MetodeHidrolisis Protein. Buletin Teknologi Hasil Perikanan Vol IX Nomor 2. Departemen Teknologi Hasil Perairan, FPIK, IPB. Bogor.

Widyakarya Pangan Gizi LIPI. 2004. Meningkatkan Produktivitas dan Daya Saing Bangsa. Dalam: Pangan dan Gizi Masa Depan. Serpong, 17-19 Februari 1998. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta

Wiratmaja, H. 2006. Perbaikan Nilai Tambah Limbah Tulang Ikan Tuna (Thunnus Sp) Menjadi Gelatin Serta Analisis Sifat Fisika, Kimia (skrisip). Institut Pertanian Bogor


Page 2