Apa tujuan diterapkannya reduksi dalam kajian fenomenologi agama

141

ISLAMICA, Vol. 2, No. 2, Maret 2008

PENDEKATAN FENOMENOLOGI DALAM STUDI AGAMA

KONSEP, KRITIK DAN APLIKASI

Rusli*

Abstract: Phenomenological approach to the study of religion has played such a significant

role in unraveling mysteries of religious experiences. By bracketing-out (epoché), a

researcher must suspend all of his/her judgments concerning the phenomenon under

investigation in order that he/she may gain the real knowledge of the religious phenomena

and experience as well as the essence of a religion. However, this approach has been

subjugated to many critiques which show that it is vulnerable on the following areas: the

continued philosophical viability of the phenomenology of religion, the surreptitious

theological assumptions or motives behind this approach, and the public role of scholar

in social community under study.

Keywords: phenomenology, epoché, religion, theological motives

Pendahuluan

Fenomenologi, sebagai perspektif teoritis atau pandangan filosofis yang berada di balik

sebuah metodologi, dimasukkan oleh Michael Crotty1 ke dalam epistemologi konstruksionisme

(interpretivisme) yang muncul dalam kontradistingsi dengan positivisme dalam upaya-upaya

untuk memahami dan menjelaskan realitas manusia dan sosial. Seperti penjelasan Thomas

Schwandt, yang dikutip Crotty,2 “interpretivisme dianggap bereaksi kepada usaha untuk

mengembangkan sebuah ilmu alam dari yang sosial. Kertas peraknya pada umumnya adalah

metodologi empirisis logis dan upaya untuk menerapkan kerangka itu kepada penyelidikan

manusia”. Pendekatan positivis mengikuti metode-metode ilmu alam dan, melalui observasi

terpisah dan diduga bebas nilai, mencoba mengidentifikasi ciri-ciri universal dari kemanusiaan,

masyarakat, dan sejarah yang menawarkan penjelasan dan karenanya, kontrol dan kemampuan

dapat diprediksi. Pendekatan interpretivis, sebaliknya, mencari interpretasi-interpretasi yang

dikeluarkan secara kultural dan disituasikan secara historis tentang dunia kehidupan sosial.

Fenomenologi berasal dari bahasa Yunani, “phainein,” yang berarti “memperlihatkan,

yang dari kata ini muncul kata phainemenon yang berarti “sesuatu yang muncul.”3 Atau

sederhananya, fenomenologi dianggap sebagai “kembali kepada benda itu sendiri” (back to

the things themselves). Istilah ini diduga pertama kali diperkenalkan oleh seorang filosof Jerman,

Edmund Husserl. Namun, menurut Kockelmas, istilah fenomenologi digunakan pertama kali

pada tahun 1765 dalam filsafat dan kadang-kadang disebut pula dalam tulisan-tulisannya Kant,

* Dosen STAIN Datokarama Palu, Sulawesi Tengah.

1 Charles J. Adams, “Foreword dalam Richard C Martin (ed), Approaches to Islam in Religious Studies (USA: The

Arizona Board of Regents, 1985), vii – x.

2 Ibid., 3.

3 Charles J. Adams, “Islamic Religious Tradition,” dalam The Study of the Middle East: Research and Scholarship

in the Humanities and the Social Sciences, ed. Leonard Binder (New York: John Wiley & Sons, 1976), 32 – 33.

142

ISLAMICA, Vol. 2, No. 2, Maret 2008

namun hanya melalui Hegel makna teknis yang didefinisikan dengan baik tersebut dibangun.4

Bagi Hegel, fenomenologi berkaitan dengan pengetahuan sebagaimana ia tampak kepada

kesadaran, sebuah ilmu yang menggambarkan apa yang dipikirkan, dirasa dan diketahui oleh

seseorang dalam kesadaran dan pengalamannya saat itu. Proses tersebut mengantarkan pada

perkembangan kesadaran fenomenal melalui sains dan filsafat “menuju pengetahuan yang

absolut tentang Yang Absolut”.5 Filsafat Hegel memberikan dasar bagi studi agama nantinya.

Dalam bukunya, The Phenomenology of Spirit (1806), Hegel mengembangkan tesis bahwa

esensi (Wesen) dipahami melalui penyelidikan terhadap tampilan-tampilan dan perwujudan-

perwujudan. Maksud Hegel adalah ingin memperlihatkan bagaimana ini mengantarkan kepada

suatu pemahaman bahwa semua fenomena, dalam keberagamannya, berakar pada esensi atau

kesatuan yang mendasar (Geist atau Spirit). Permainan tentang hubungan antara esensi dan

manifestasi ini memberikan dasar bagi pemahaman tentang bagaimana agama, dalam

keberagamannya, dapat dipahami sebagai entitas yang berbeda. Ia juga, berdasarkan pada realitas

transenden, yang tidak terpisah dari namun dapat dilihat dalam dunia, memberikan kepercayaan

kepada pentingnya agama sebagai sebuah obyek studi karena kontribusi yang bisa diberikan

kepada pengetahuan “saintifik”.6

Sedangkan, menurut formulasi Husserl, fenomenologi merupakan sebuah studi tentang

struktur kesadaran yang memungkinkan kesadaran-kesadaran tersebut menunjuk kepada obyek-

obyek dil uar dirinya. Studi ini membutuhkan refleksi tentang isi pikiran dengan

mengenyampingkan segalanya. Husserl menyebut tipe refleksi ini reduksi fenomenologis.”

Karena pikiran bisa diarahkan kepada obyek-obyek yang non-eksis dan riil, maka Husserl mencatat

bahwa refleksi fenomenologis tidak mengganggap bahwa sesuatu itu ada, namun lebih tepatnya

sama dengan “pengurungan sebuah keberadaan,” yaitu mengenyampingkan pertanyaan tentang

keberadaan yang riil dari obyek yang dipikirkan.

Husserl memunculkan beberapa poin penting. Namun, yang nantinya menjadi titik tolak

metodologis yang bernilai bagi fenomenologi agama adalah: epocdan eidetic vision. Epoché

merujuk kepada makna menunda semua penilaian”, atau ia sama dengan makna

“pengurungan” (bracketing). Ini berarti ketiadaan praduga-praduga yang akan mempengaruhi

pemahaman yang diambil dari sesuatu. Dengan kata lain, membawa konsep-konsep dan

konstruk-konstruk pandangan seseorang kepada penyelidikannya dilihat sebagai sebuah

pengaruh yang merusak terhadap hasil-hasilnya. Eidetic vision berhubungan dengan

kemampuan untuk melihat apa yang sebenarnya ada di sana. Ia mengharuskan tindakan epoché,

memperkenalkan kapasitas untuk melihat secara obyektif esensi sebuah fenomena, namun juga

mengarahkan isu tentang subyektifitas persepsi dan refleksi. Ia juga menganggap benar kapasitas

untuk memperoleh pemahaman intuitif tentang suatu fenomena yang bisa dibela sebagai

4 Manifestasi agama menurut W.C. Smith dapat dikelompokkan menjadi ajaran, simbol, praktek, dan lembaga.

WC. Smith, “Comparative Religion, Whither and Why”, dalam Mircea Eliade and Joseph M. Kitagawa (Ed), The

History of Religions (Chicago and London: University of Chicago Press, 1973), 35.

5 Charles J. Adams, “Islamic Religious Tradition”, dalam Leonard Binder (Ed)., The Study of the Middle East, 33

6 Dua orang lainnya adalah Cornelis P. Tiele dan Pierre D. Chantapie De la Saussare yang dianggap sebagai three

founders of the study of religion. Lihat Jacques Waardenburg (ed), Classical Approaches to the Studies of Religions,

Vol. I (Paris: Mouton – The Haque, 1973), 13 -17.

Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Agama

143

ISLAMICA, Vol. 2, No. 2, Maret 2008

pengetahuan yang obyektif”.7

Untuk lebih jelas dan singkatnya, akan diringkas beberapa karakteristik fenomenologi

filosofis yang memiliki relevansi dengan fenomenologi agama.8

Watak deskriptif. Fenomenologi berupaya untuk menggambarkan watak fenomena, cara

tentang tampilan mewujudkan dirinya, dan struktur-struktur esensial pada dasar pengalaman

manusia.

Antireduksionisme. Pembebasan dari prakonsepsi-prakonsepsi tidak kritis yang menghalangi

mereka dari menyadari kekhususan dan perbedaan fenomena, lalu memberikan ruang untuk

memperluas dan memperdalam pengalaman dan menyediakan deskripsi-deskripsi yang lebih

akurat tentang pengalaman ini.

Intensionalitas. Cara menggambarkan bagaimana kesadaran membentuk fenomena. Untuk

menggambarkan, mengidentifikasi, dan menafsirkan makna sebuah fenomena, seorang

fenomenolog perlu memperhatikan struktur-struktur intensional dari datanya, dan struktur-

struktur intensional dari kesadaran dengan rujukan dan maknanya yang diinginkan.

Pengurungan (epoché). Diartikan sebagai penundaan penilaian. Hanya dengan mengurung

keyakinan-keyakinan dan penilaian-penilaian yang didasari pada pandangan alami yang tidak

teruji, seorang fenomenolog dapat mengetahui fenomena pengalaman dan memperoleh

wawasan tentang struktur-struktur dasarnya.

Eidetic vision. Adalah pemahaman kognitif (intuisi) tentang esensi, seringkali dideskripsikan

juga sebagai eidetic reduction, yang mengandung pengertian “esensi-esensi universal”. Esensi-

esensi ini mengekspresikan “esensi” (whatness) dari sesuatu, ciri-ciri yang penting dan tidak

berubah dari suatu fenomena yang memungkinkan kita mengenali fenomena sebagai

fenomena jenis tertentu.

Fenomenologi Agama

Asal mula kajian ilmiah tentang agama umumnya dapat dilacak pada akhir abad 19 dan

awal ke-20, khususnya karena pengaruh Renaisans, dalam disiplin-disiplin keilmuan yang

berbeda seperti linguistik, kajian-kajian tekstual, bidang-bidang studi yang sedang muncul seperti

antroplogi, sosiologi, arkeologi, dan dalam bidang kelimuan yang dikenal sebagai

Religionswissenchaft (sains agama). Tujuan utama dari keilmuan tersebut pada masa-masa awal

adalah untuk memberikan deskripsi yang obyektif, khususnya untuk komunitas akademis Barat,

tentang berbagai aspek kehidupan beragama di seluruh dunia, biasanya untuk membuat

perbandingan-perbandingan yang akan mendemostrasikan superiotas budaya dan agama Barat

ketimbang agama dan budaya dari belahan dunia yang lainnya.

Para ilmuan agama modern saat itu bersikukuh untuk membebaskan pendekatan dan

disiplin mereka dari penyelidikan-penyelidikan pramodern yang penuh dengan asumsi-asumsi

dan penilaian-penilaian subyektif dan normatif, ketergantungan pada supranatural dan otoritas

eksternal lainnya, serta kehilangan perhatian terhadap standar-standar pengetahuan obyektif

7 Jacques Waardenburg (ed), Classical Approaches to the Studies of Religions, 93.

8 Joachim Wach, The Comparative Study of Religion (New York and Columbia Univerity, 1966), 9.

Rusli

144

ISLAMICA, Vol. 2, No. 2, Maret 2008

yang akurat.9

Namun, kajian agama awal mereka dibentuk oleh asumsi-asumsi, praduga-praduga, dan

penilaian-penilaian apologetis, religius, politis dan ekonomi. Kajian komparatif terhadap agama

lebih memaparkan superioritas agama dan budayanya sendiri, dan jarang melihat dan

mengkajinya dari perspektif orang lain. Misalnya, kajian awal tentang agama-agama “animistik”,

yang dilakukan oleh “antropolog belakang meja”, seperti E. B. Taylor, mencoba menentukan

perkembangan evolusioner mereka dengan satu pandangan untuk memaparkan watak “primitif”

dari ritus-ritus dan keyakinan-keyakinan mereka.

Selain itu, pendekatan dan metode penelitian agama yang digunakan mengadopsi

pandangan positivistik tentang “fakta-fakta” empiris dan pengetahuan obyektif” yang bisa

diamati. Para ilmuan agama mengadopsi gagasan evolusi-nya Darwin dan menerapkannya pada

bahasa, agama, budaya, dan isu-isu lainnya. Secara tipikal, mereka mengorganisir data agama

dalam suatu kerangka yang telah ditentukan sebelumnya, unilinear, yang dimulai dari tingkatan

agama-agama primitif yang terendah, tidak berkembang dan berevolusi pada puncak

monoteisme Barat khususnya Kristenitas. Dalam kerangka ilmiah, manusia berevolusi melampaui

semua agama hingga tahap perkembangan yang lebih tinggi yang ilmiah dan rasional.

Pendekatannya bersifat sangat normatif, dengan menerapkan standar-standar mereka untuk

membuat penilaian-penilaian ilmiah. Contoh, manusia berulang kali mengklaim bahwa mereka

mempunyai “pengalaman-pengalaman tentang Tuhan”. Para psikolog agama berupaya

menganalisa dan menjelaskan pengalaman-pengalaman tersebut dan fenomena-fenomena

religius dengan penjelasan psikologis. Para sosiolog agama menjelaskannya dalam terma-terma

kebutuhan, fungsi dan struktur sosial. Para filosof mengajukan pertanyaan-pertanyaan filosofis

normatif.

Fenomenologi agama muncul berupaya untuk menjauhi pendekatan-pendekatan sempit,

etnosentris dan normatif ini. Ia berupaya mendeskripsikan pengalaman-pengalaman agama

seakurat mungkin. Dalam penggambaran, analisa dan interpretasi makna, ia berupaya untuk

menunda penilaian tentang apa yang riil atau tidak riil dalam pengalaman orang lain. Ia berupaya

menggambarkan, memahami dan berlaku adil kepada fenomena agama seperti yang muncul

dalam pengalaman keberagamaan orang lain.

Pengertian Fenomenologi Agama

Fenomenologi agama muncul sebagai salah satu disiplin keilmuan dan pendekatan modern

terhadap agama. Terkadang para ilmuan agama mengidentifikasi fenomenologi agama dalam

wilayah umum Religionswissenchaft (sains agama). Dalam hal ini, ada empat pengertian yang

diberikan untuk mendefinisikan “fenomenologi agama”, seperti yang dikemukakan oleh Douglas

Allen.10

9 W.C. Smith, Perkembangan dan Orientasi Ilmu Perbandingan Agama”, dalam Ahmad Norma Permata, Metodologi

Studi Agama, 77.

10 Istilah Religionswissenschaft pertama kali digunakan pada tahun 1867 oleh Max Muller, dia menggunakan istilah

ini dalam rangka mengidentifikasikan bahwa disiplin ini lepas dari filsafat agama dan teologi. Joseph M. Kitagawa,

“Sejarah Agama-agama di Amerika, dalam Ahmad Norma Permata, Metodologi Studi Agama, 126 - 127.

Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Agama

145

ISLAMICA, Vol. 2, No. 2, Maret 2008

Pertama, fenomenologi agama diartikan sebagai ebuah investigasi terhadap fenomena

atau obyek-obyek, fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa agama yang bisa diamati. Kedua,

fenomenologi diartiksan sebagai sebuah studi komparatif dan klasifikasi tipe-tipe fenomena agama

yang berbeda. Pengertian ini berkembang di kalangan ilmuan Belanda, dari P. D. Chantepie de

la Saussaye hingga sejarawan agama Skandinavia Geo Widengren dan Ake Hultkrantz). Ketiga,

fenomenologi agama diartikan sebagai cabang, disiplin atau metode khusus dalam kajian-kajian

agama. Pengertian ini diajukan oleh W. Brede Kristensen, Gerardus van der Leeuw, Joachim

Wach, C. Jouco Bleeker, Mircea Eliade, Jacques Waardenburg. Keempat, ada ilmuan yang

fenomenologi agamanya dipengaruhi oleh fenomenologi filsafat. Beberapa ilmuan, seperti Max

Scheler dan Paul Ricoer, mengidentifikasi banyak karyanya dengan fenomenologi filsafat. Yang

lainnya, seperti Rudolf Otto, Gerardus van der Leeuw dan Mircea Eliade, menggunakan metode

filsafat dan dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi. Ada juga pendekatan-pendekatan teologis

berpengaruh yang menggunakan fenomenologi agama sebagai satu tingkatan dalam formulasi

teologi, seperti Friedrich Schleirmacher, Paul Tillich dan Jean-Luc Marion.

Pengertian-pengertian di atas pada dasarnya masih bersifat umum, karena tidak

memasukkan unsur-unsur khas pendekatan fenomenologi dalam kajian itu. Definisi yang paling

tepat untuk menggambarkan fenomenologi agama, menurut penulis, adalah pengertian yang

diberikan oleh James L. Cox. Dengan menggunakan konsep-konsep Husserl, Cox mendefinisikan

fenomenologi agama dengan pengertian sebagai berikut:

A method adapting the procedures of epoché (suspension of previous judgments) and

eidetic intuition (seeing into the meaning of religion) to the study of the varied of symbollic

expressions of that which people appropriately respond to as being unrestricted value for them.

[Sebuah metode yang menyesuaikan prosedur-prosedur epoché (penundaan penilaian-

penilaian sebelumnya) dan intuisi eidetis (melihat ke dalam makna agama) dengan kajian

terhadap beragam ekspresi simbolik yang direspons oleh orang-orang sebagai nilai yang tidak

terbatas buat mereka].11

Dari pengertian ini, ada dua unsur pokok yang melekat dalam pendekatan fenomenologi,

yaitu epoché, yang berarti “pengurungan semua anggapan dan penilaian sebelumnya”, dan

eidetic intuition yang mengandung arti “melihat ke dalam jantung makna agama”. Dengan kedua

cara ini, fenomena agama dan pengalaman keberagamaannya dapat diketahui struktur-struktur

mendasarnya.

Kritik terhadap Fenomenologi Agama

Dalam bahasan ini, perdebatan atau kritik diringkas dari Bab 7 buku James L. Cox.12

Perdebatan ini akan dibagi ke dalam tiga tema, yaitu (1) keberlangsungan fenomenologi sebagai

tradisi filosofis; (2) motif teologis; (3) dan keterlibatan ilmuan agama secara sosial dalam

masyarakat.

11 Fazlur Rahman, Approaches to Islam in Religious Studies, Review Essay”, dalam Richard Martin (ed.), Approaches

to Islam in Religious Studies, 190.

12 M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2006), 33.

Rusli

146

ISLAMICA, Vol. 2, No. 2, Maret 2008

1. Kritik Gavin Flood tentang Keberlangsungan Fenomenologi Sebagai Sebuah Tradisi Filosofis

Yang pertama adalah kritik yang dilakukan Gavin Flood tentang keberlangsungan

fenomenologi sebagai tradisi filosofis yang menjadi dasar pengembangan riset agama. Menurut

Flood,13 metode yang diperkenalkan para fenomenolog, yang mencoba membatasi pengaruh

bias-bias yang mungkin merusak, yang digambarkan oleh Kristensen dan Parrinder sebagai

aplikasi teori-teori evolusioner kepada agama dan budaya, serta oleh Eliade dan Smart sebagai

kecenderungan-kecenderungan reduksionistis dalam ilmu-ilmu sosial, didasari pada teori

filosofis yang memasukkan bias yang lebih dalam, namun lebih sederhana, ke dalam cara

suatu pengetahuan diperoleh dan diatur. Dengan mengasumsikan pengalaman universal

manusia pada jantung semua agama yang dipahami secara kognitif (intuisi) oleh “subyek

yang terpisah”, para fenomenolog mengabaikan, atau setidaknya memperkecil, pentingnya

konteks-konteks kultural, historis dan sosial. Di samping itu, “keistimewaan epistemik” yang

diberikan kepada periset tetap tersembunyi, karena ia menyembunyikan relasi kekuasaan

antara periset dengan komunitas yang diteliti. Dengan melakukan pengurungan fenomenologis

untuk menghilangkan semua tipe prasangka, ilmuan agama secara paradoksal tetap

mengontrol pengetahuan dan dengan demikian membuat aturan-aturan untuk menafsirkan

fenomena keagamaan. Ini membuat fenomenologi, setidaknya, rentan terhadap tuduhan

bahwa ia sebenarnya menyebarkan satu metode untuk mempertahankan kekuasaan terhadap

obyek kajian akademis, meskipun ada kesepakatan maya di kalangan fenomenolog bahwa

pengalaman keagamaan personal mereka memberikan akses istimewa ke dalam pikiran

seorang praktisi keagamaan. Klaim terakhir terhadap pandangan keagamaan ini, yang tidak

terdapat pada ilmuan lainnya, sangat kuat menyiratkan “agenda teologisdi balik fenomenologi

agama, dan kemudian menyebabkan ketegangan antara teologi dan kajian akademis tentang

agama-agama.

2. Kritik Donald Wiebe terhadap Motif Teologis van der Leeuw, Elliade dan Smart

Wiebe menuduh ketiga tokoh ini telah melakukan teologisasi terhadap kajian akademis

tentang agama-agama. Van der Leeuw, misalnya, bersikukuh bahwa setiap ilmuan mesti

berangkat dari sebuah orientasi kultural terhadap kehidupan, yang sangat serupa dengan

posisi keyakinan pribadi, dan menegaskan bahwa karena ilmuan disituasikan dalam sebuah

konteks khusus, maka aktivitas ilmiahnya tidak dapat dipisahkan dari “pencarian religio-

kultural” ilmuan itu sendiri. Menurut Wiebe, van der Leeuw dalam hal ini bersifat kekanak-

kanakan dan menyesatkan, karena pandangan tersebut mencegah bias-bias peneliti dari

keadaan dikenali dan diklarifikasi secara kritis-ilmiah. Argumen ini menghancurkan tujuan

akademis yang didukungnya tepatnya karena ia “mengabaikan perbedaan-perbedaan kritis

antara agama dan kajian ilmiah-akademis tentang agama”. Ini berarti bahwa van der Leuuw,

yang mencoba memindahkan tradisi Belanda yang telah dimulai oleh Chantepie de la

Saussaye dan C. P. Tiele melampaui teologi, sebenarnya malah melakukan kebalikannya

dengan mengarahkannya kembali kepada teologi. Kata Wiebe, “Dengan van der Leeuw …

13 Joseph M. Kitagawa,”Sejarah Agama-agama di Amerika”, dalam Ahmad Norma Permata, (ed) Metodologi Studi

Agama, 128 -129.

Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Agama

147

ISLAMICA, Vol. 2, No. 2, Maret 2008

kajian agama tidak hanya tidak bergerak melampaui tahapan yang telah dicapai disiplin

keilmuan itu di Belanda, namun lebih tepatnya kembali kepada pendekatan teologis awal—

sebuah pendekatan yang sama saja dengan subversi terhadap kajian ilmiah agama.”14

Singkatnya, kritik terhadap fenomenologi agamanya van der Leeuw, seperti dijelaskan

Allen,15 didasari pada asumsi bahwa pendekatan fenomenologisnya didasari pada sejumlah

penilaian dan asumsi teologis dan metafisis; seringkali bersifat subyektif dan begitu spekulatif;

mengabaikan konteks kultural dan historis dari fenomena agama dan kurang bernilai bagi

riset yang berbasis empiris.

Terhadap Elliade, Wiebe menyerang metode hermeneutikanya yang disebutnya sebagai

“sebuah upaya untuk memulihkan kembali nilai-nilai dan makna-makna transenden yang

telah ditinggalkan yang pernah diberikan kepada para penganutnya oleh tradisi-tradisi itu.”

Pandangan ini didukung oleh penegasan Eliade bahwa bentuk-bentuk agama kuno dan

primitif adalah paradigmatik bagi kehidupan agama secara umum karena mereka mengungkap

“situasi-situasi eksistensial fundamental yang secara langsung relevan dengan manusia

modern.” Wiebe melihat minat Elliade dalam tradisi-tradisi kuno dan primitif tidak berangkat

dari satu pendekatan ilmiah terhadap kajian agama, karena ini “akan mengharuskan distorsi

reduksionistik terhadap kebenaran agama dan karenanya, distorsi kebenaran tentang agama.

Wiebe beranggapan bahwa posisi anti-reduksionistik-nya Elliade menyembunyikan “agenda

teologis yang terselubung”. Untuk mendukung hal itu, ia mengutip pandangan Elliade bahwa

dengan menafsirkan agama secara “religius”, ilmuan memberikan kontribusi kepada

“penyelamatan“manusia modern”. “Pengetahuan tentang agama” dengan demikian menjadi

“pengetahuan religius”, yang dalam pandangan Wiebe mengkonfirmasi metode hermeneutik

Elliade “tidak bisa dibedakan dari religio-teologis.”16

Baik van der Leeuw maupun Elliade menegaskan bahwa seorang yang religius mengakui

adanya kekuatan transenden atau realitas yang supranatural sebagai sumber pengalaman

keagamaan manusia. Mereka menegaskan bahwa ini benar buat orang beriman, bahkan

mereka melampaui pernyataan ini dengan menegaskan bahwa yang transenden membentuk

satu realitas ontologis, yang dalam sebagian hal ilmuan mesti mengalaminya secara personal

jika pemahaman yang murni tentang agama ingin dicapai atau dikomunikasikan. Dengan

begitu, van der Leeuw dan Elliade rentan pada tuduhan bahwa fenomenologi mereka serupa

dengan teologi agama.17

Begitu pula, gagasan-gagasan Ninian Smart, menurut Wiebe, ketika dianalisis secara

hati-hati, memunculkan pula asumsi-asumsi teologis yang sama di balik fenomenologi agama.

Ini tampak jelas pada penolakannya untuk mengikuti posisi “ateisme metodologis”nya Peter

Berger karena alasan bahwa itu mungkin bisa menyakiti komunitas beriman. Smart juga

bersikukuh pada pandangan bahwa “mempelajari agama” dan “merasakan kekuatan yang

14 Andrew Rippin, “Literary Analysis of Quran, Tafsir and Sira: the Methodologies of John Wansbrough, dalam

Richard Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, 158.

15 Chares J. Adams, “Foreword”, dalam Richard C. Martin, Approaches to Islam in Religious Studies, vii - x.

16 Richard C. Martin (ed), Approaches to Islam in Religious Studies, 235.

17 Carl W. Ernst, The Study of Religion and the Study of Islam, Paper given at Workshop on “Integrating Islamic

Studies in Liberal Art Curricula” University of Washington, Seattle WA, March 6-8, 1998.

Rusli

148

ISLAMICA, Vol. 2, No. 2, Maret 2008

hidup dari agama” tidak hanya bisa berjalan bersama, tetapi “mesti berjalan bersama jika

kajian tentang agama diharapkan bisa masuk ke dalam era baru yang menjanjikan.” Malah

kebalikannya, petuah Smart ini “lebih mungkin memasuki kajian religio-teologis tentang agama

yang darinya kajian ilmiah tentang agama pertama kali muncul.” Wiebe menyelidiki apa

yang ia anggap deskripsi ambigu Smart karena memasukkan pertanyaan tentang kebenaran

agama, yang melampaui kepentingan-kepentingan ilmiah, meskipun Smart mengatakan

bahwa kajian agama sangat berbeda dari teologi. Dengan mengangkat isu tentang kebenaran

agama, Smart sebenarnya membangun kembali ikatan-ikatan awal antara kajian akademis

tentang agama dan kesalehan. Kembalinya Smart kepada perspektif teologis, menurut Wiebe,

ditegaskan oleh caranya menghadapi epoché (pengurungan). Apa yang disebut Smart dengan

“pengurungan ekspresi” sebaliknya memberikan ruang bagi ilmuan untuk memasukkan ke

dalam penilaian-penilaian yang ditunda itu perasaan-perasaan yang diekspresikan oleh para

penganut agama, tanpa mendukung atau mengabsahkan perasaan-perasaan itu. Pada titik

inilah, kata Wiebe, ambiguitas posisi Smart muncul. Jika ilmuan agama bertujuan tidak hanya

memperoleh pengetahuan tentang agama-agama, namun juga mengungkapkan keyakinannya

tentang nilai-nilai dan sentimen-sentimen keagamaan, maka sesuatu yang lebih dari

pengetahuan agama akan terkandung, jika bukan teologi, setidaknya metafisika.18

3. Peran Publik Ilmuan Agama

McCutcheon berpandangan ada dua masalah yang dilakukan oleh ilmuan agama.

Pertama, mereka bersikukuh pada otonomi disiplin keilmuan mereka, dan ini mempengaruhi

tindakan pemisahan kajian-kajian agama secara kelembagaan dari disiplin-disiplin ilmu lainnya

di universitas. Dengan menentukan fokus agama sebagai yang tidak bisa diketahui, non-

historis, suci-transenden, Eliade dan para fenomenolog lain telah melepaskan hak-haknya

untuk membuat komentar-komentar tentang isu-isu sosial dan politik. Ini muncul tidak hanya

dari teologisasi studi agama, namun dari asumsi yang dinyatakan secara jelas oleh Eliade,

bahwa apa yang religius itu baik, sehat, positif dan menyelamatkan. Ilmuan yang beranggapan

seperti itu berarti telah kehilangan kapasitas kritis untuk mengomentari realitas sosial dari

agama sebagai faktor yang berkontribusi pada berbagai macam tindakan manusia, baik positif

maupun negatif, termasuk hubungan antara agama dan kekerasan. Kedua, deskripsi data

agama dan tawaran interpretasi hanya dalam cara-cara yang bisa diafirmasi oleh orang beriman

saja. McCutcheon menyamakan metode ini dengan “otobiografi refleksif” yang mereduksi

peran ilmuan hanya sebagai reporter yang mengulang klaim-klaim insider yang kurang

penting.19

Teori bahwa jantung agama adalah “keimanan personal”, “supranatural”, “suci” atau

“transenden” membawa kepada tafsiran agama yang sangat individualistis yang, menurut

McCutcheon, terletak pada akar pembedaan problematis antara agama dan dunia (sekular).

Dikotomi agama-sekular ini didasari pada asumsi bahwa agama milik ruang privat. Agama,

menurut McCutcheon, dijelaskan sebagai variabel bebas yang menempati ruang bersih bagi

18 A. Qodri Azizi, Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman di Perguruan Tinggi (Jakarta: Dippertais, 2005),

19 Mircea Eliade dan Joseph M. Kitagawa (ed), The History of Religions (Chicago and London: University of

Chicago Press, 1973), 19.

Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Agama

149

ISLAMICA, Vol. 2, No. 2, Maret 2008

pandangan moral yang pribadi dan murni, yang menentang dan menyelamatkan dunia publik

politik dan ekonomi yang berantakan.

Tantangan ilmuan agama sekarang ini apakah mereka akan menerima peran publik

atau tidak? Peran publik di sini bukanlah keterlibatan praktis dengan isu-isu sosial dan politik,

namun sebagai seorang kritik yang membuka tabir “mekanisme kekuasaan dan kontrol”. Ini

diterapkan pertama kali pada cara di mana agama-agama dipelajari, dan merujuk kepada

pengujian-diri yang kritis terhadap metode dan teori dan studi agama. Di ruang publik, ilmuan

mempertanyakan bukti-bukti diri”, mengangkat “kebebasan intelektual” dan, dengan

bekerjasama dalam cara lintas-disiplin dengan ilmuan-ilmuan lain yang menggunakan metode

yang diambil dari bidang studi mereka, mengidentifikasi strategi-strategi ideologis yang

menghomogenisasi dan yang begitu penting bagi pembentukan dan pengaturan komunitas

manusia. McCutcheon menyebut peran ini dengan “kritik budaya” (cultural criticism).20

Sedangkan di sisi lain, David Chidester, yang tidak mengkonfrontasi secara langsung

masalah ilmuan agama yang terlibat secara sosial, memaparkan bahwa konteks-konteks sosial,

historis dan politik dalam kajian agama mempengaruhi tafsiran ilmiah dan menetapkan

kategori-kategori yang melaluinya tafsiran-tafsiran tersebut disaring. Ia menggarisbawahi fakta

bahwa kajian agama kelihatan sangat berbeda ketika dilihat dari perspektif kelompok

terpinggirkan ketimbang dari dalam struktur kekuasaan akademis yang berlaku di universitas-

universitas Barat.

Ia memperlihatkan bahwa temuan-temuan dari “ahli agama perbandingan” menjadi

alat yang berpengaruh bagi kolonialisme untuk memapankan dan melakukan “kontrol lokal”

dengan membentuk wacana tentang orang lain yang memperkuat kebijakan kolonial. Sikap-

sikap terhadap penduduk asli berubah, dari tidak memiliki agama, menganut agama kuno,

hingga kepada agama yang tidak bisa disamakan dengan agama Barat. Dalam masing-masing

kasus, interpretasi-interpretasi ini adalah untuk melayani kepentingan kolonial.

Untuk itu, menurut Chidester, kita tidak bisa memahami penciptaan kategori “agama”

di luar konteks kolonial di mana relasi kekuasaan dipasang dan diperkuat oleh konstruksi

ideologis tentang “the other”. Berdasarkan alur penalaran ini, agama sebagai temuan Kristen-

Barat seharusnya dipahami bukan sebagai kesalahan fenomenologis dalam formasi kategori,

namun sebagai hasil dari kategori-kategori kekuasaan yang nyata-historis dan terinspirasikan

secara kolonial: tinggi dan rendah, beradab dan primitif, pusat dan pinggiran.

Respons James L. Cox terhadap Perdebatan

Menurut Cox, debat tentang kesinambungan filosofis dari fenomenologi agama seharusnya

diletakkan dalam istilah subyek-obyek, atau apakah mereka harus dipahami secara naratif atau

dialogis. Dalam hal ini, kontribusi Flood berasal dari penekanan pada pemasukan perspektif

komunitas beriman ke dalam tafsiran yang diberikan ilmuan tentang komunitas beriman itu.

Flood berupaya melampaui ini dengan menegaskan bahwa empati sebenarnya mengabadikan

20 Joachim Wach, The Comparative Study of Religions, 14. dan Mircea Eliade dan Joseph M. Kitagawa (ed), The

History of Religions, 21.

Rusli

150

ISLAMICA, Vol. 2, No. 2, Maret 2008

perbedaan antara subyek dan obyek. Dalam pandangan Cox, selama aturan-aturan yang

digunakan oleh riset akademis diterapkan, hal terbaik yang bisa dicapai oleh ilmuan adalah

sejenis empati radikal, yang berakar pada refleksi-diri, namun yang mengakui pembedaan

fundamental antara “diri” (peneliti) dan “yang lain(obyek penelitian). Fakta ini tidak menghalangi

dialog karena ilmuan mesti berjalan menurut komitmen yang jelas terhadap rasionalitas ilmiah,

yang berjalan berdampingan dengan komitmen keagamaan dari komunitas yang diteliti oleh

ilmuan.

Cox mengikuti pemakaian epoché yang diterapkan secara longgar, dengan mengadopsi

posisi refleksi-diri, dan komitmen pada pelibatan komunitas dalam setiap tafsiran yang diberikan,

sehingga fenomena dapat dimungkinkan untuk berbicara buat dirinya. Dengan cara ini, tugas

interpretasi berasal dari kombinasi antara refleksi-diri yang ilmiah dan empati.21

Berkenaan dengan debat yang kedua, Cox mengatakan bahwa studi agama mencakup

teologi sebagai bagian dari wilayah kajiannya. Teolog, setidaknya dalam satu definisi, merupakan

praktisi. Mereka mempelajari, menganalisa, menafsirkan, secara umum dalam satu tradisi, makna

dari apa yang dipertahankan tradisi. Ilmuan agama menganggap teologi sebagai cara-cara di

mana sebagian komunitas merefleksikan realitas alternatifnya. Dengan kata lain, teologi, seperti

ritual, moralitas, mitos, kitab suci, komunitas, hukum dan seni, membentuk bagian dari data

yang dijadikan sandaran bagi aktivitas kajian agama. Ini bukanlah menegaskan satu posisi

superioritas, namun hanya menentukan peran-peran yang cukup berbeda bagi kajian agama

dan teologi.22

Untuk alasan inilah, Cox menentang upaya-upaya untuk mendorong kajian agama masuk

ke dalam teologi secara definisi atau menempatkannya dalam kajian budaya. Cox tetap tidak

yakin dengan argumen-argumen yang diberikan Wiebe dan Fitzgerald dan menangkal bahwa

apa yang kita lakukan dalam kajian fenomenologis tentang agama, sebagai analisis dan interpretasi

terhadap komunitas yang melembagakan perilaku di seputar realitas alternatif yang dipercaya,

berkaitan erat dengan apa yang dilakukan dalam ilmu-ilmu sosial, dan tidak sama dengan ilmu

sosial lainnya. Kajian agama, dalam pandangannya, hidup bersandingan dengan teologi di

departemen universitas sebagai sebuah peristiwa sejarah, dan bukan, seperti yang dikatakan

anti-agama gelombang baru, sebagai bagian dari komitmen ideologis yang mendalam kepada

satu rujukan transenden. Berdasarkan alur pemikiran ini, adalah mungkin setia terhadap posisi

fenomenologi klasik bahwa kajian agama bisa non-teologis dan non-reduktif kepada ilmu sosial

apa pun.23

Berkenaan dengan isu keterlibatan ilmuan agama terhadap masalah sosial, Cox setuju

dengan McCutcheon bahwa seorang ilmuan agama perlu memainkan peran publik, dalam arti

“sebagai kritik, bukan pengurus”. Sebagai seorang yang mempunyai kemampuan dan

keterampilan untuk menganalisa konteks-konteks agama, ilmuan mesti memikul tanggung jawab

untuk menerapkan ini kepada isu-isu penting yang mempengaruhi masyarakat. Ini berarti bahwa

peran ilmuan sebagai kritik publik tidak pernah terjadi dalam satu cara yang terlepas dari konteks

21 M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif, vii viii.

22 Ibid., 238.

23 Ibid.

Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Agama

151

ISLAMICA, Vol. 2, No. 2, Maret 2008

sosial. Di sini peran ilmuan selain mendeskripsikan proses-proses sosial yang berasal dari

lembaga-lembaga kekuasaan, baik agama maupun sekuler, dan mengidentifikasi pengaruh-

pengaruh apa yang diberikan proses-proses ini kepada agama dan pengalaman spiritual dalam

konteks kontemporer, juga menghapus praktik-praktik berbahaya di dalam komunitas itu. Dengan

cara ini, ilmuan mungkin mengungkap struktur-struktur kekuasaan yang menghancurkan agama

melalui proses radikalisasi individual, dan pada saat yang sama mungkin menemukan jenis

otoritas yang berbeda berdasarkan pada kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi yang

kuat. Dengan menafsirkan agama sebagai transmisi otoritatif terhadap tradisi dalam konteks-

konteks sosial, ilmuan agama diberikan metode analisis yang penting yang melaluinya mereka

bisa menawarkan satu komentar publik tercerahkan dan memberikan kritik sosial yang tajam.24

Aplikasi Pendekatan Fenomenologi dalam Penelitian Agama

Bagaimana mengaplikasikan pendekatan fenomenologis dalam penelitian agama? Untuk

menjawab ini, penulis akan memaparkan beberapa prosedur penelitian fenomenologis yang

disusun oleh Cresswell:25

Peneliti perlu memahami perspektif filosofis di balik pendekatan itu, khususnya konsep tentang

mempelajari bagaimana orang mengalami fenomena. Konsep epocadalah penting, di mana

peneliti mengurung gagasan-gagasan yang telah terbentuk sebelumnya tentang suatu fenomena

untuk memahaminya melalui suara-suara informan.

Peneliti menulis pertanyaan-pertanyaan penelitian yang mengeksplorasi makna dari suatu

pengalaman bagi individu dan meminta individu untuk menggambarkan pengalaman hidup

mereka sehari-hari.

Peneliti kemudian mengumpulkan data dari individu yang mengalami fenomena yang sedang

diteliti. Khususnya, informasi ini dikumpulkan melalui wawancara yang panjang (ditambah

dengan refleksi-diri dan deskripsi-deskripsi yang dikembangkan sebelumnya dari karya-karya

artistik) dengan informan yang terdiri dari 5 hingga 25 orang.

Langkah-langkah analisis data fenomenologis pada umumnya sama dengan semua

fenomenolog psikologis yang mendiskusikan metode-metode. Semua fenomenolog psikologis

menggunakan sejumlah rangkaian langkah yang sama. Rancangan prosedur dibagi ke dalam

pernyataan-pernyataan atau horisonalisasi. Kemudian unit-unit ditransformasikan ke dalam

cluster of meanings (kumpulan makna) yang diekspresikan dalam konsep-konsep psikologis

atau fenomenologis. Terakhir, transformasi-transformasi ini diikat bersama-sama untuk membuat

deskripsi umum tentang pengalaman, deskripsi tekstural tentang apa yang dialami dan deskripsi

struktural tentang bagaimana ia dialami. Sebagian fenomenolog membuat variasi dari

pendekatan ini dengan memasukkan makna pengalaman personal, dengan menggunakan

analisis subyek-tunggal sebelum analisis antar-subyek, dan dengan menganalisa peran konteks

dalam prosesnya.

24 Ibid., 240-241.

25 John W. Cresswell, Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Traditions (London: Sage

Publications, 1998), 54-55.

Rusli

152

ISLAMICA, Vol. 2, No. 2, Maret 2008

Laporan fenomenologis diakhiri dengan pemahaman yang lebih baik dari pembaca tentang

struktur (esensi) yang esensial, tidak berubah dari pengalaman, sembari mengakui bahwa

makna tunggal yang utuh dari pengalaman itu eksis. Misalnya, ini berarti bahwa semua

pengalaman mempunyai struktur “mendasar” (kesedihan itu sama entah yang dicintai itu

seekor anjing peliharaan, burung beo, atau seorang anak kecil). Seorang pembaca laporan

tersebut akan datang dengan perasaan “Saya memahami lebih baik tentang seperti apa bagi

seorang untuk mengalami itu.”

Penutup

Sebagai penutup, penulis mengutip pandangan Cox dalam tulisannya Religion Without

God: Methodological Agnoticism and the Future of Religious Studies,26 bahwa agama mesti

dipelajari sebagai sebuah ekspresi sosial dan kultural dengan konteks-konteks historis, geografis,

politik dan ekonomi. Dimensi-dimensi Smart dapat digunakan, namun tanpa membawa gagasan

esensialisnya tentang agama sebagai sesuatu yang difokuskan secara transendental. Kita bisa

juga mendukung pendekatan polimetodis dengan menggunakan semua ilmu pengetahuan

manusia untuk memahami bagaimana tradisi-tradisi ditransmisikan secara otoritatif dalam

berbagai macam masyarakat dan bagaimana ini diperkuat dalam mitos, ritual, doktrin, pranata

hukum, ekspresi artistik, dan testimoni kaum beriman, termasuk keadaan seperti kemasukan

ruh dan ke luar dari pengalaman fisik.

Agama sebagai mata rantai tradisi otoritatif menyiratkan bahwa agama-agama perlu

dipahami sebagai agama, bukan karena mereka percaya atau tidak percaya kepada Tuhan,

spirit atau sebagian bentuk transenden, namun karena kepercayaan mereka mentransmisikan

dan memperkuat otoritas tradisi. Agama sebagai transmisi tradisi otoritatif memberikan kepada

kita satu jalan untuk mempelajari agama tanpa memasukkan agenda teologis, sembari

memberikan ruang untuk berbagai perspektif yang utuh, termasuk kritik-kritik posmodern atau

poskolonial.

Selain itu, pendekatan-pendekatan baru dalam kajian agama mesti memisahkan agama

dan the sacred, Tuhan, kekuatan-kekuatan yang transenden, besar atau kuat. Ini akan

membebaskan agama dari teologi dan memungkinkan pemisahan yang jelas antara analisis-

analisis akademis dan konfessional. Ini juga mendefinisikan secara tajam agama dalam istilah-

istilah sosial dan institusional.

26 James L. Cox, “Religion without God: Methodological Agnoticism and the Future of Religious Studies”, The

Hibbert Lecture, Herriot-Watt University, 13 April 2003.

Pendekatan Fenomenologi dalam Studi Agama

153

ISLAMICA, Vol. 2, No. 2, Maret 2008

Daftar Rujukan

Allen, Douglas. “Phenomenology of Religion” dalam The Routledge Companion to the Study

of Religion. London and New York: Routledge, 2005.

Cox, James L.. A Guide to the Phenomenology of Religion: Key Figures, Formative Influences

and Subsequent Debates. New York: T & T Clark International, 2006.

————. Expressing the Sacred: An Introduction to the Phenomenology of Religion. Harare:

University of Zimbabwe, 1992.

————. “Religion without God: Methodological Agnoticism and the Future of Religious

Studies”, The Hibbert Lecture, Herriot-Watt University, 13 April 2003.

Cresswell, John W. Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Traditions.

London: Sage Publications, 1998.

Crotty, Michael. Foundations of Social Research: Meaning and Perspective in the Research

Process. Australia: Allen & Unwin, 1998.

Erricker, Clive. “Phenomenological Approaches” dalam Peter Connolly (ed), Approaches to the

Study of Religion. New York: Cassel, 1999.

Moustakas, Clark. Phenomenological Research Methods. London: Sage Publication, 1994.

Wallis, W. Allen (eds). International Encylopedia of Social Sciences, Vol. 11 dan 12. New York:

Macmillan, 1972

Rusli