Apa yang dilakukan oleh Jepang terhadap Indonesia setelah menyerah kepada Sekutu

Menyerahnya Jepang pada bulan Agustus 1945 menandai kemudian Perang Lingkungan kehidupan II. Angkatan Laut Kekaisaran Jepang secara efektif sudah tidak telah tersedia sejak Agustus 1945, sementara invasi Sekutu ke Jepang hanya tinggal waktu. Walaupun hasrat untuk melawan sampai titik kemudian diberitahukan secara buka, pemimpin Jepang dari Dewan Penasihat Militer Jepang secara pribadi memohon Uni Soviet untuk memerankan sebagai mediator dalam kontrak damai dengan syarat-syarat yang menguntungkan Jepang. Sementara itu, Uni Soviet juga bersiap-siap untuk menyerang Jepang dalam usaha memenuhi akad kepada Amerika Serikat dan Inggris di Konferensi Yalta.

Pada 6 Agustus dan 9 Agustus, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Pada 9 Agustus, Uni Soviet melancarkan penyerbuan mendadak ke koloni Jepang di Manchuria (Manchukuo) yang melanggar Pakta Netralitas Soviet–Jepang. Kaisar Hirohito campur tangan setelah terjadi dua peristiwa mengejutkan tersebut, dan memerintahkan Dewan Penasihat Militer untuk menerima syarat-syarat yang ditawarkan Sekutu dalam Deklarasi Potsdam. Setelah berlangsung perundingan di balik layar selama beberapa hari, dan kudeta yang gagal, Kaisar Hirohito menyampaikan pidato radio di depan rakyat pada 15 Agustus 1945. Dalam pidato radio yang disebut Gyokuon-hōsō (Siaran Suara Kaisar), Hirohito membacakan Perintah Kekaisaran tentang kapitulasi, sekaligus mengumumkan kepada rakyat bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu.

Pendudukan Jepang oleh Komandan Tertinggi Sekutu dimulai pada 28 Agustus. Upacara kapitulasi dipersiapkan pada 2 September 1945 di atas kapal tempur Amerika Serikat Missouri. Dokumen Kapitulasi Jepang yang ditandatangani hari itu oleh pejabat pemerintah Jepang secara resmi mengakhiri Perang Lingkungan kehidupan II. Warga sipil dan bagian militer di negara-negara Sekutu merayakan Hari Kemenangan atas Jepang (V-J Day). Walaupun demikian, sebagian pos komando terpencil dan personel militer dari kesatuan di pelosok-pelosok Asia menolak untuk menyerah selama berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun setelah Jepang menyerah. Sejak kapitulasi Jepang, sejarawan terus berbantah tentang etika penggunaan bom atom. Perang selang Jepang dan Sekutu secara resmi akhir-akhirnya ketika Kontrak San Francisco mulai berlangsung pada tanggal 28 April 1952. Empat tahun kemudian Jepang dan Uni Soviet menandatangani Deklarasi Bersama Soviet–Jepang 1956 yang secara resmi mengakhiri perang selang kedua negara tersebut.

Kekalahan Jepang

Apa yang dilakukan oleh Jepang terhadap Indonesia setelah menyerah kepada Sekutu

Pendaratan Sekutu di Ajang Perang Operasi Samudra Pasifik, Agustus 1942 sampai Agustus 1945.

Pada tahun 1945, Jepang telah nyaris dua tahun beruntun mengalami kekalahan berkepanjangan di Pasifik Barat Daya, kampanye militer Mariana, dan kampanye militer Filipina. Pada Juli 1944 setelah Saipan jatuh, Jenderal Hideki Tōjō diangkatkan sebagai perdana menteri oleh Jenderal Kuniaki Koiso yang menyatakan Filipina sebagai tempat pertempuran berikutnya yang menentukan.[1] Setelah Filipina jatuh, giliran Koiso yang ditukar oleh Laksamana Kantarō Suzuki. Pada paruh pertama tahun 1945, Sekutu sukses merebut Iwo Jima dan Okinawa. Setelah direbut Sekutu, Okinawa diproduksi menjadi kawasan singgahan untuk menyerbu ke pulau-pulau utama di Jepang.[2] Setelah kekalahan Jerman, Uni Soviet diam-diam mulai mengerahkan kembali pasukan tempur Eropa-nya ke Timur Jauh, di samping sekitar empat puluh divisi yang telah diletakkan di sana sejak tahun 1941, sebagai penyeimbang kekuataan jutaan Tentara Kwantung.[3]

Operasi kapal-kapal selam Sekutu dan penyebaran ranjau di lepas pantai Jepang telah menghancurkan sebagian mulia armada dagang Jepang. Sebagai negara dengan sedikit sumber daya lingkungan kehidupan, Jepang bergantung kepada bahan mentah yang diimpor dari daratan Asia dan dari wilayah pendudukan Jepang di Hindia Belanda, terutama minyak bumi.[4] Penghancuran armada dagang Jepang, ditambah dengan pengeboman strategis kawasan industri di Jepang telah meruntuhkan ekonomi perang Jepang. Produksi batu bara, besi, besi baja, karet, dan pasokan bahan mentah lainnya hanya tersedia dalam banyak kecil dibandingkan pasokan sebelum perang.[5][6]

Apa yang dilakukan oleh Jepang terhadap Indonesia setelah menyerah kepada Sekutu

Kapal tempur Jepang Haruna karam di tempat bersandarnya di pangkalan angkatan laut Kure pada peristiwa Pengeboman Kure 24 Juli 1945.

Sebagai dampak kerugian yang dialami, daya Angkatan Laut Kekaisaran Jepang secara efektif sudah habis. Setelah serangkaian pengeboman Sekutu di galangan kapal Jepang di Kure, Prefektur Hiroshima, kapal-kapal perang Jepang yang tersisa hanyalah enam kapal induk, empat kapal penjelajah, dan satu kapal tempur. Namun, semua kapal tersebut tidak memiliki bahan bakar yang cukup. Walaupun sedang telah tersedia 19 kapal perusak dan 38 kapal selam yang sedang operasional, pengoperasian mereka menjadi terbatas dampak kekurangan bahan bakar.[7][8]

Persiapan pertahanan

Menghadapi probabilitas penyerbuan Sekutu ke pulau-pulau utama Jepang, dimulai dari Kyushu, Jurnal Perang Markas Mulia Kekaisaran menyimpulkan,

Kami tidak dapat lagi memimpin perang dengan telah tersedia sedikit pun hasrat untuk menang. Satu-satunya jalan yang tersisa yaitu mengorbankan nyawa seratus juta rakyat Jepang sebagai bom hidup agar musuh kehilangan semangat bertempur.[9]

Sebagai usaha darurat yang terakhir untuk menghentikan gerak maju Sekutu, Komando Tertinggi Kekaisaran Jepang merencanakan pertahanan Kyushu secara habis-habisan. Usaha yang dinamakan dengan sandi Operasi Ketsu-Go [10] ini dimaksudkan sebagai perubahan strategi yang radikal. Pautan dari sistem pertahanan berlapis seperti yang dipakai sewaktu menginvasi Peleliu, Iwo Jima, dan Okinawa, kali ini semuanya dipertaruhkan di pantai. Sebelum pasukan dan perlengkapan didaratkan transpor amfibi di pantai, mereka hendak diserang oleh 3.000 pesawat kamikaze.[8]

Bila strategi ini tidak mengusir Sekutu, Jepang hendak mengerahkan 3.500 pesawat kamikaze tambahan berikut 5.000 kapal bunuh diri Shin'yō ditemani kapal-kapal perusak dan kapal-kapal selam yang sedang tersisa--hingga kapal terakhir yang operasional--untuk menghancurkan Sekutu. Bila Sekutu menang dalam pertempuran di pantai dan sukses mendarat di Kyushu, hanya hendak tersisa 3.000 pesawat untuk mempertahankan pulau-pulau Jepang yang lain. Walaupun demikian, Kyushu hendak dipertahankan "hingga titik darah penghabisan".[8] Strategi membikin pertahanan terakhir di Kyushu didasarkan pada asumsi bahwa Uni Soviet hendak tetap mempertahankan netralitas.[11]

Serangkaian gua digali tidak jauh Nagano di Honshu. Gua-gua yang disebut Markas Mulia Kekaisaran Bawah Tanah Matsushiro tersebut hendak diproduksi menjadi Markas Angkatan Darat pada saat terjadinya invasi Sekutu serta rumah perlindungan untuk Kaisar Jepang dan keluarganya.[12]

Dewan Penasihat Militer

Pengambilan keputusan perang Jepang berpusat di Dewan Penasihat Militer yang beranggotakan enam pejabat tinggi: perdana menteri, menteri luar negeri, menteri angkatan darat, menteri angkatan laut, kepala staf umum angkatan darat, dan kepala staf umum angkatan laut.[13] Saat kabinet pemerintah Suzuki terbentu pada April 1945, keanggotaan dewan terdiri dari:

Apa yang dilakukan oleh Jepang terhadap Indonesia setelah menyerah kepada Sekutu

Kabinet Suzuki, Juni 1945

  • Perdana Menteri Laksamana Kantarō Suzuki
  • Menteri Luar Negeri Shigenori Tōgō
  • Menteri Angkatan Darat Jenderal Korechika Anami
  • Menteri Angkatan Laut Laksamana Mitsumasa Yonai
  • Kepala Staf Umum Angkatan Darat Jenderal Yoshijirō Umezu
  • Kepala Staf Umum Angkatan Laut Laksamana Koshirō Oikawa (kemudian ditukar oleh Laksamana Soemu Toyoda)

Secara hukum, Angkatan Darat dan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang memiliki hak untuk mencalonkan (atau menolak pencalonan) masing-masing menteri. Sebagai akhirnya, Jepang dapat menghindari pembentukan pemerintahan yang tidak diingini, atau terjadinya pengunduran diri yang dapat menjatuhkan pemerintah yang sedang berlangsung.[14][15]

Kaisar Hirohito dan Penjaga Cap Pribadi Kaisar Kōichi Kido juga hadir di beberapa pertemuan, setelah dimohon Kaisar.[16] Seperti yang dilaporkan Iris Chang, "Jepang sengaja menghancurkan, menyembunyikan, atau memalsukan sebagian dari dokumen rahasia perang mereka"[17][18]

Perbedaan pendapat di kalangan pemimpin Jepang

Kabinet Suzuki, dalam berbagai bidang, lebih menentukan meneruskan perang. Untuk Jepang, kapitulasi nyaris tidak terpikirkan. Dalam 2000 tahun sejarahnya, Jepang tidak pernah diinvasi bangsa asing atau kalah dalam perang.[19] Hanya Menteri Angkatan Laut Mitsumasa Yonai yang dikenal memiliki hasrat untuk mengakhiri perang.[20] Menurut sejarawan Richard B. Frank:

Walaupun Suzuki pastinya melihat perdamaian sebagai tujuan jangka panjang, beliau tidak memiliki rencana untuk mewujudkannya dalam jangka waktu tidak jauh atau dengan syarat-syarat yang dapat diterima Sekutu. Komentarnya dalam konferensi negarawan senior tidak memberikan tanda-tanda dirinya menginginkan akhir-akhirnyanya perang lebih awal ... . ; Pilihan Suzuki untuk pos-pos kabinet yang paling penting, dengan pengecualian satu orang, bukanlah juga tokoh pendukung perdamaian.[21]

Seusai perang, Perdana Menteri Suzuki dan pejabat lain dari pemerintahannya mengaku mereka secara rahasia merundingkan perdamaian, tapi secara buka tidak dapat mengumumkannya. Mereka mengutip pemikiran Jepang tentang haragei (seni mengadakan komunikasi dengan sikap dan daya kepribadian dan bukan melewati kata-kata) untuk membenarkan ketidakselarasan selang sikap yang dibuat di muka umum dan perkara di balik layar. Namun, sebagian sejarawan menolak interpretasi ini. Robert J. C. Butow menulis:

Berlandaskan gagasan yang sangat ambigu, pembelaan soal haragei menimbulkan kecurigaan bahwa dalam masalah politik dan diplomasi, secara sadar menggantungkan diri pada seni menggertak mungkin dapat dianggap sebagai pengelabuan disengaja yang dianggarkan didasarkan hasrat mengadu domba untuk keuntungan sendiri. Walaupun keputusan ini tidak sesuai dengan kepribadian Laksamana Suzuki yang banyak dipuji, pada kenyataannya dari saat beliau diangkatkan sebagai perdana menteri sampai hari beliau mengundurkan diri, tidak telah tersedia seorang pun yang dapat memastikan apa yang berikutnya hendak diceritakan atau dilakukan Suzuki.[22]

Pemimpin Jepang selalu menginginkan penyelesaian perang dengan negosiasi. Perencanaan praperang mereka mengharapkan perluasan wilayah secara cepat, konsolidasi, konflik yang tidak terhindarkan dengan Amerika Serikat, dan penyelesaian perang yang memungkinkan Jepang mempertahankan paling tidak beberapa wilayah baru yang telah mereka duduki.[23] Pada tahun 1945, pemimpin-pemimpin Jepang sepakat bahwa perang tidak berlangsung dengan lancar, tetapi mereka tidak sepakat mengenai cara-cara terbaik dalam bernegosiasi untuk mengakhiri perang. Kalangan pemimpin Jepang terbelah menjadi dua kubu. Faksi "damai" menginginkan inisiatif diplomatik dengan membujuk pemimpin Uni Soviet Joseph Stalin agar berperan sebagai mediator penyelesaian perang selang Jepang dan Amerika Serikat beserta sekutunya. Sebaliknya, faksi garis keras lebih menentukan bertempur dalam satu pertempuran terakhir yang "menentukan" sampai jatuh korban begitu banyak di pihak Sekutu yang mengakibatkan mereka mau menawarkan syarat-syarat yang lebih lunak.[24] Kedua kubu terbentuk berlandaskan pengalaman Jepang dalam Perang Rusia-Jepang empat puluh tahun sebelumnya. Dalam perang tersebut terjadi serangkaian pertempuran yang memakan kerugian mulia yang tidak menentukan pemenang, tetapi diakhiri oleh Pertempuran Tsushima yang dimenangkan Jepang.[25]

Apa yang dilakukan oleh Jepang terhadap Indonesia setelah menyerah kepada Sekutu

Laksamana Kantarō Suzuki menjabat Perdana Menteri Jepang dalam bulan-bulan sebelum perang akhir-akhirnya.

Pada kemudian Januari 1945, beberapa pejabat Jepang yang tidak jauh dengan Kaisar mempertimbangkan syarat-syarat kapitulasi yang hendak melindungi kedudukan Kaisar Jepang. Proposal-proposal yang dikirim melewati aliran Amerika Serikat dan Inggris tersebut disusun oleh Jenderal Douglas MacArthur menjadi dokumen 40 halaman, dan kemudian, pada 2 Februari, dua hari sebelum Konferensi Yalta, diberikan kepada Presiden Franklin D. Roosevelt. Menurut laporan, dokumen tersebut dihalau oleh Roosevelt tanpa pertimbangan apa pun. Semua proposal mencakup syarat bahwa kedudukan kaisar tetap dipertahankan, walaupun mungkin sebagai penguasa boneka. Namun pada saat itu, kebijakan Sekutu hanyalah menerima penyerahan tanpa syarat.[26] Selain itu, proposal-proposal ini dihalau keras oleh pejabat pemerintahan Jepang yang berpengaruh, dan oleh karena itu tidak dapat diceritakan mewakili hasrat Jepang yang sebenarnya untuk menyerah pada waktu itu.[27]

Pada Februari 1945, Pangeran Fumimaro Konoe memberi Kaisar Hirohito sebuah memorandum yang menganalisis situasi dan menyampaikan kepada Hirohito bahwa bila perang diteruskan, kekaisaran hendak menghadapi revolusi internal yang lebih berbahaya daripada kalah dalam perang.[28] Menurut buku harian Pengurus Rumah Tangga Kaisar Hisanori Fujita, Kaisar yang menunggu pertempuran menentukan (tennōzan) menjawab bahwa sedang terlalu dini menawarkan perdamaian, "Kecuali kita membikin satu lagi kemenangan militer."[29] Sedang pada bulan Februari tahun yang sama, divisi kontrak Jepang menulis tentang kebijakan Sekutu terhadap Jepang mengenai "penyerahan tanpa syarat, pendudukan, perlucutan senjata, penghapuskan militerisme, reformasi demokrasi, hukuman untuk penjahat perang, dan status kaisar."[30] Pelucutan senjata oleh Sekutu, penjatuhan hukuman untuk penjahat perang Jepang, dan khususnya pendudukan dan penghapusan kedudukan kaisar tidak diterima oleh pimpinan Jepang.[31][32]

Pada 5 April, Uni Soviet mengumumkan tidak hendak memperbarui Pakta Netralitas Soviet-Jepang[33] yang ditandatangani tahun 1941 setelah terjadinya Peristiwa Nomonhan.[34] Pada Konferensi Yalta Februari 1945, negara-negara Barat yang tergabung dalam Sekutu telah menyepakati konsesi yang substansial dengan Soviet untuk mengamankan akad dari Soviet untuk menyatakan perang terhadap Jepang tidak lebih dari tiga bulan setelah Jerman menyerah. Walaupun secara hukum Pakta Netralitas tetap berlangsung sampai setahun setelah Uni Soviet membatalkannya (hingga 5 April 1946), pembatalan sepihak ini secara jelas tetapi terselubung menunjukkan niat perang Uni Soviet.[35] Menteri Luar Negeri Rusia Vyacheslav Molotov, di Moskow, dan Yakov Malik, duta mulia Soviet di Tokyo, sungguh-sungguh mencoba meyakinkan Jepang bahwa "masa berlangsung Pakta tersebut belum berakhir".[36]

Apa yang dilakukan oleh Jepang terhadap Indonesia setelah menyerah kepada Sekutu

Menteri Luar Negeri Shigenori Tōgō

Pada serangkaian rapat tingkat tinggi pada bulan Mei 1965, keenam bagian Dewan Penasihat Militer dengan serius membahas cara mengakhiri perang. Namun tidak seorang pun dari mereka setuju dengan syarat-syarat yang diajukan Sekutu. Mengingat siapa pun yang secara buka mendukung kapitulasi Jepang terancam bahaya pembunuhan oleh perwira angkatan darat yang sangat setia, rapat-rapat tersebut tertutup untuk siapa pun kecuali keenam bagian Dewan Penasihat Militer, Kaisar, dan penjaga cap pribadi kaisar. Tidak telah tersedia perwira eselon dua atau eselon tiga yang diizinkan hadir.[37] Pada rapat-rapat tersebut, hanya Menteri Luar Negeri Tōgō yang menyadari probabilitas sekutu negara-negara Barat sudah membikin konsesi dengan Soviet untuk mengajak mereka bertempur melawan Jepang.[38] Sebagai hasil rapat-rapat tersebut, Tōgō diberi wewenang untuk mendekati Uni Soviet, memohon mereka untuk tetap mempertahankan netralitas, atau lebih fantastis lagi, mau membentuk aliansi.[39]

Sejalan dengan tradisi pemerintahan baru mengumumkan tujuan-tujuan mereka, setelah rapat bulan Mei selesai, staf Angkatan Darat mengeluarkan dokumen berjudul "Kebijakan Fundamental untuk Disertai Selanjutnya dalam Melaksanakan Perang" yang menyatakan rakyat Jepang hendak berjuang sampai punah daripada menyerah. Kebijakan ini diadopsi oleh Dewan Penasihat Militer pada 6 Juni (Tōgō menentangnya, sementara kelima bagian lain mendukung).[40] Dokumen-dokumen yang diajukan Suzuki pada pertemuan yang sama menyarankan bahwa dalam usaha awal diplomatik dengan Uni Soviet, Jepang mengambil pendekatan sebagai berikut:

Rusia harus diberi kenal dengan jelas bahwa kemenangannya atas Jerman yaitu berkat Jepang, karena kita tetap netral, dan Soviet hendak diuntungkan bila membantu Jepang mempertahankan posisinya di lingkungan kehidupan internasional, karena musuh mereka di masa depan yaitu Amerika Serikat.[41]

Pada 9 Juni, orang keyakinan kaisar Kōichi Kido menulis "Rancangan Rencana Pengendalian Situasi Krisis" yang memperingatkan bahwa pada kemudian tahun kemampuan Jepang untuk memainkan perang modern hendak habis dan pemerintah hendak tidak mampu mengemudikan kerusuhan sipil. ".... Kita tidak kenal pasti apakah kita hendak bernasib sama seperti Jerman dan terjatuh dalam keadaan yang sulit sampai kita tidak dapat mencapai tujuan tertinggi menjaga Rumah Tangga Kekaisaran dan mempertahankan tata negara nasional."[42] Kido mengusulkan Kaisar sendiri ikut ambil bagian, dengan menawarkan untuk mengakhiri perang dengan "syarat-syarat yang sangat murah hati". Kido mengusulkan Jepang melepaskan wilayah yang dijajah Eropa, asalkan mereka diberi kemerdekaan, dan negara kita dilucuti, serta untuk sementara harus "puas dengan pertahanan minimum". Berbekal penugasan Kaisar, Kido mendekati beberapa bagian Dewan Penasihat Militer. Tōgō sangat mendukung. Suzuki dan Menteri Angkatan Laut Laksamana Mitsumasa Yonai keduanya sangat bersiap-siap mendukung; masing-masing meminta keterangan dalam hati, apa yang dipikirkan satu sama lain. Menteri Angkatan Darat Jenderal Korechika Anami bersikap ambivalen, bersikeras diplomasi harus menunggu "hingga Amerika Serikat menderita kerugian besar" dalam Operasi Ketsu-Go.[43]

Pada bulan Juni 1845, Kaisar sudah kehilangan keyakinan terhadap kesempatan mencapai kemenangan militer. Jepang sudah kalah dalam Pertempuran Okinawa. Kaisar juga sudah mendapat kabar tentang kelemahan angkatan darat di Cina, begitu pula soal angkatan laut dan angkatan darat yang mempertahankan pulau-pulau utama Jepang. Kaisar menerima laporan dari Pangeran Higashikuni; darinya Kaisar mengambil kesimpulan bahwa "bukan saja pertahanan lepas pantai, divisi yang tersedia untuk diterjunkan di pertempuran yang menentukan juga tidak memiliki banyak senjata yang memadai."[44] Menurut Kaisar:

Kita sudah diberi kenal besi asal bom yang dijatuhkan musuh sudah digunakan untuk membikin sekop. Hal ini berfaedah kita tidak ada dalam posisi melanjutkan perang.[44]

Pada 22 Juni, kaisar memanggil keenam bagian Dewan Penasihat Militer untuk rapat. Tidak seperti kebanyakan, Kaisar buka pembicaraan: "Kita menginginkan rencana konkrit untuk mengakhiri perang, tanpa dirintangi kebijakan yang telah tersedia, hendak dipelajari dengan cepat dan usaha-usaha dilakukan untuk mengimplementasikannya."[45] Pertemuan menyetujui untuk mengundang pertolongan Soviet dalam mengakhiri perang. Negara-negara netral lain seperti Swiss, Swedia, dan Vatikan dikenal berniat memainkan peranan dalam membuat perdamaian, tapi mereka terlalu kecil sampai mereka tidak dapat memainkan lebih dari sekadar menyampaikan syarat-syarat kapitulasi Sekutu serta penerimaan atau penolakan dari Jepang. Uni Soviet diharapkan dapat dibujuk untuk berperan sebagai perwakilan Jepang dalam bernegosiasi dengan Sekutu Barat.[46]

Usaha berurusan dengan Uni Soviet

Apa yang dilakukan oleh Jepang terhadap Indonesia setelah menyerah kepada Sekutu

Naotake Satō

Pada 30 Juni, Tōgō memerintahkan Duta Mulia Jepang untuk Moskwa Naotake Satō untuk berupaya membuat "hubungan persahabatan yang erat dan tidak berkesudahan." Satō bermaksud membicarakan status Manchuria dan "masalah apa saja yang hendak diangkatkan Rusia."[47] Satō akhir-akhirnya berjumpa dengan Menteri Luar Negeri Soviet Vyacheslav Molotov pada 11 Juli, namun pertemuan tidak menghasilkan apa-apa. Pada 12 Juli, Tōgō memerintahkan Satō untuk menyampaikan kepada Soviet bahwa,

Yang Mulia Kaisar mempertimbangkan fakta bahwa perang yang sekarang dari hari ke hari membawa kemalangan dan pengorbanan untuk rakyat dari semua pihak-pihak yang bertempur, hasrat dari dalam hati agar dapat segera dihentikan. Namun selama Inggris dan Amerika Serikat bersikeras soal penyerahan tanpa syarat, Kekaisaran Jepang tidak punya pilihan lain kecuali bertempur dengan segenap tenaga untuk kehormatan dan keberlangsungan tanah air.[48]

Kaisar mengusulkan untuk mengirim Pangeran Konoe sebagai Utusan Luar Biasa, walaupun beliau tidak dapat tiba di Moskwa sebelum dimulainya Konferensi Potsdam.

Satō memberi kenal Tōgō bahwa dalam kenyataan, Jepang hanya dapat mengharapkan "penyerahan tanpa syarat atau syarat-syarat yang nyaris setara ke situ". Lebih jauh lagi Satō mengatakan bahwa pesan-pesan Tōgō "tidak jelas soal pandangan pemerintah dan militer dalam hal penghentian perang," serta mempertanyakan apakah inisiatif Tōgō didukung oleh unsur-unsur kunci dalam bangun kekuasaan Jepang.[49]

Pada 17 Juli, Tōgō menjawab,

Walaupun para penguasa, dan juga pemerintah yakin bahwa daya perang kita sedang dapat menimbulkan pukulan berfaedah terhadap musuh, kami tidak dapat merasakan kedamaian hati yang betul-betul pasti. ... .. Namun, mohon betul-betul diingat, bahwa kita tidak memohon mediasi Rusia untuk hal-hal seperti penyerahan tanpa syarat.[50]

Dalam jawabannya, Satō memperjelas,

Sudah benda/barang tentu dalam pesan diri sendiri sebelumnya menyebut penyerahan tanpa syarat atau syarat-syarat yang nyaris setara, diri sendiri membikin pengecualian soal mempertahankan [Rumah Tangga Kekaisaran].[51]

Pada 21 Juli, berucap atas nama kabinet, Tōgō mengulangi,

Mengenai soal penyerahan tanpa syarat kami tidak dapat menyetujuinya berlandaskan keadaan bagaimana pun. ... .. Dalam usaha menghindari keadaan seperti itu kita sedang mencari damai, ... .. melewati afal yang berguna patut Rusia. ... .. Ditinjau dari sudut pandang dalam negeri dan luar negeri, membikin pernyataan segera tentang syarat-syarat tertentu yaitu merugikan dan tidak mungkin.[52]

Berbakat kriptografi Amerika Serikat yang bergabung dalam Proyek Magic telah memecahkan sebagian mulia sandi Jepang, termasuk kode Purple yang dipakai oleh kantor-kantor perwakilan Jepang untuk menyandikan koresponden diplomatik. Sebagai akhirnya, pesan selang Tokyo dan kedutaan-kedutaan Jepang bocor ke pemimpin Sekutu nyaris sama cepatnya dengan penerima di alamat tujuan.[53]

Maksud-maksud Soviet

Urusan keamanan mendominasi keputusan Soviet soal Timur Jauh.[54] Di selang hasrat yang paling utama yaitu memperoleh akses tidak terbatas ke Samudra Pasifik. Kawasan lepas pantai Soviet di Pasifik yang lepas es sepanjang tahun, khususnya Vladivostok, dapat diblokade melewati udara dan laut dari Sakhalin dan Kepulauan Kuril. Bila keduanya didapatkan berfaedah Rusia memperoleh akses lepas ke Selat Soya yang memang menjadi sasaran utama.[55][56] Sasaran kedua yaitu kontrak kontrak Jalur Kereta Api Timur Jauh Cina, Jalur Kereta Api Manchuria Selatan, Dairen, dan Lushun.[57]

Untuk mencapai tujuannya, Stalin and Molotov dengan semangat bernegosiasi dengan Jepang, memberikan Jepang hasrat palsu hendak perdamaian dengan Uni Soviet sebagai mediator.[58] Pada saat yang bersamaan, dalam transaksi Soviet dengan Amerika Serikat dan Inggris, Soviet bersikeras untuk secara sempit menaati Deklarasi Kairo, ditegaskan kembali di Konferensi Yalta bahwa Sekutu tidak hendak menerima perdamaian bersyarat atau perdamaian sendiri-sendiri dengan Jepang. Kepada semua negara-negara Sekutu, Jepang harus menyerah tanpa syarat. Untuk memperpanjang perang, Uni Soviet menentang semua upaya yang dilakukan untuk memperlunak syarat-syarat kapitulasi.[58] Bila perang tidak segera selesai, Uni Soviet sedang punya cukup waktu untuk memindahkan pasukan-pasukan mereka ke ajang perang Pasifik, untuk selanjutnya merebut Sakhalin, Kepulauan Kuril, dan probabilitas Hokkaido[59] (invasi dimulai dengan pendaratan di Rumoi, Hokkaido).[60]

Proyek Manhattan

Pada 1939, Albert Einstein dan Leó Szilárd menulis sepucuk surat kepada Presiden Roosevelt yang mendesaknya untuk mendanai penelitian dan pengembangan bom atom. Roosevelt setuju dan akhirnya yaitu proyek riset sangat rahasia yang disebut Proyek Manhattan. Proyek ini dipimpin Jenderal Leslie Groves dengan J. Robert Oppenheimer sebagai direktur pengarah bidang ilmiah. Bom atom pertama dengan sukses diledakkan dalam percobaan Trinity 16 Juli 1945.

Sementara proyek nyaris akhir-akhirnya, pemimpin perang Amerika mulai mempertimbangkan untuk menggunakan bom atom terhadap Jepang. Groves membentuk komite pencari sasaran yang berjumpa pada bulan April dan Mei 1945. Komite ini menyusun daftar sasaran bom atom. Mereka menentukan 18 kota-kota di Jepang. Masuk dalam daftar di urutan paling atas yaitu Kyoto, Hiroshima,[61] Yokohama, Kokura, dan Niigata.[62][63] Pada akhir-akhirnya Kyoto dihapus dari daftar atas desakan Menteri Perang Henry L. Stimson yang pernah mengunjungi Kyoto sewaktu bulan madu, dan mengetahui kota ini sangat penting dalam bidang kebiasaan istiadat dan sejarah.[64]

Pada bulan Mei, Harry S. Truman diangkatkan sebagai Presiden Amerika Serikat yang baru setelah Franklin Roosevelt wafat pada 16 April 1945. Truman menyetujui pembentukan komite Interim, sebuah kumpulan penasihat yang melapor mengenai bom atom.[63] Komite Interim terdiri dari George L. Harrison, Vannevar Bush, James Bryant Conant, Karl Taylor Compton, William L. Clayton, dan Ralph Austin Bard, serta dibantu dewan penasihat yang terdiri dari ilmuwan Oppenheimer, Enrico Fermi, Ernest Lawrence, dan Arthur Compton. Dalam laporan tanggal 1 Juni 1945, komite berkesimpulan bom atom harus digunakan secepat mungkin terhadap instalasi-instalasi perang berikut rumah-rumah pekerja di sekelilingnya, dan tidak perlu memberi peringatan atau peragaan sebelumnya.[65]

Mandat yang diberikan kepada komite tidak termasuk penggunaan bom atom, walaupun penggunaannya sudah dianggarkan bila sudah selesai.[66] Komite mengkaji kembali penggunaan bom atom setelah telah tersedia protes dalam susunan Laporan Franck dari ilmuwan Proyek Manhattan. Pada rapat 21 Juni, komite menegaskan kembali bahwa tidak telah tersedia alternatif lain selain menggunakan bom atom.[67]

Acara-acara di Potsdam

Pemimpin daya utama Sekutu berjumpa dalam Konferensi Potsdam 16 Juli-2 Agustus 1945. Uni Soviet, Kerajaan Bersatu, dan Amerika Serikat, masing-masing diwakili oleh Stalin, Winston Churchill (kemudian Clement Attlee), dan Truman.

Negosiasi

Perang melawan Jepang yaitu salah satu dari berbagai isu yang diceritakan di Potsdam. Truman mendapat berita tentang suksesnya percobaan Trinity pada awal konferensi, dan menyampaikan informasi tersebut ke delegasi Inggris. Kesuksesan percobaan bom atom menyebabkan delegasi Amerika Serikat mempertimbangkan kembali mengenai perlunya partisipasi Soviet (seperti dijanjikan di Yalta).[68] Prioritas teratas Sekutu yaitu mempersingkat perang dan mengurangi korban di pihak Amerika Serikat. Kedua hal tersebut mungkin dapat dibantu dengan telah tersedianya campur tangan Uni Soviet, namun probabilitas harus dibayar dengan membolehkan Soviet mencaplok wilayah-wilayah di luar wilayah yang dijanjikan untuk mereka di Yalta, dan mungkin Jepang hendak terbagi dua seperti Jerman.[69]

Dalam kesepakatan dengan Stalin, Truman memutuskan untuk memberikan pemimpin Soviet kabar tentang keberadaan senjata baru yang kuat tanpa memberitahukan rinciannya. Namun, Sekutu lainnya tidak menyadari bahwa intelijen Soviet telah menyusup dalam Proyek Manhattan pada tahap awal, sehingga ketika Stalin mengetahui keberadaan bom atom, beliau tidak terkesan dengan potensinya.[70]

Deklarasi Potsdam

Pemimpin negara-negara utama Sekutu memutuskan untuk mengeluarkan pernyataan yang disebut Deklarasi Potsdam yang menetapkan "penyerahan tanpa syarat" dan memperjelas guna kapitulasi Jepang untuk kedudukan kaisar dan untuk Hirohito secara pribadi. Pemerintah Amerika Serikat dan Inggris saling bertentangan mengenai butir terakhir. Amerika Serikat berhasrat menghapus posisi kaisar dan probabilitas mengadilinya sebagai penjahat perang. Sebaliknya, Inggris berhasrat mempertahankan posisi kaisar, mungkin dengan Hirohito yang tetap bertahta. Pernyataan-pernyataan dalam rancangan Deklarasi Potsdam mengalami berbagai revisi sebelum versi yang diterima kedua belah pihak selesai.[71]

Pada 26 Juli 1945, Amerika Serikat, Inggris, dan Cina merilis Deklarasi Potsdam yang telah tersedia isinya syarat-syarat kapitulasi Jepang dengan peringatan, "Kami tidak hendak menyimpang dari ketentuan-ketentuan ini. Tidak telah tersedia alternatif. Kami tidak membolehkan telah tersedianya penundaan." Untuk Jepang, deklarasi menetapkan syarat-syarat sebagai berikut:

  • Penghapusan "selama-lamanya dari kekuasaan dan pengaruh tokoh-tokoh yang telah menipu dan menyesatkan rakyat Jepang ke arah dimulainya penaklukan dunia"
  • Pendudukan "titik-titik dalam wilayah Jepang yang hendak ditentukan oleh Sekutu"
  • "Kedaulatan Jepang hendak dibatasi pada pulau-pulau Honshu, Hokkaido, Kyushu, dan Shikoku, serta pulau-pulau kecil seperti yang kami tetapkan." Seperti telah diumumkan dalam Deklarasi Kairo 1943, wilayah-wilayah Jepang hendak disita sampai wilayah sebelum perang, termasuk Korea dan Taiwan, begitu pula wilayah-wilayah jajahannya baru-baru ini.
  • "Daya militer Jepang harus sepenuhnya dilucuti"
  • "Keadilan yang keras harus dijatuhkan kepada semua penjahat perang, termasuk semua yang telah memainkan kekejaman terhadap orang kita yang ditawan".

Di lain pihak, deklarasi menegaskan bahwa:

  • "Kami tidak bermaksud memperbudak Jepang sebagai suatu ras atau menghancurkannya sebagai suatu bangsa, ... .. Pemerintah Jepang harus menghapus semua penghalang untuk kebangkitan dan makin menguatnya kecenderungan demokrasi di selang rakyat Jepang. Kebebasan berucap, beragama, dan berpikir, begitu pula peghormatan untuk hak asasi manusia yang fundamental harus ditegakkan."
  • "Jepang harus dibolehkan memiliki industri-industri yang hendak menunjang ekonomi dan memungkinkan untuk membayar tuntutan pampasan yang serupa dan tidak sewenang-wenang, ... .. Partisipasi Jepang dalam hubungan dagang internasional harus dibolehkan."
  • "Kesatuan pendudukan Sekutu hendak ditarik dari Jepang segera setelah tujuan-tujuan tersebut dicapai dan telah berdirinya sebuah pemerintahan yang bertanggung jawab dan hadir tujuan damai sesuai dengan hasrat rakyat Jepang yang diungkapkan secara lepas."

Satu-satunya pasal yang menyebut tentang "penyerahan tanpa syarat" dicantumkan pada kemudian deklarasi:

  • "Kami mengimbau pemerintah Jepang untuk menyatakan sekarang juga kapitulasi tanpa syarat dari semua angkatan bersenjata Jepang, dan untuk menunjukkan jaminan yang cukup dan layak atas maksud patut mereka terhadap hal tersebut. Pilihan lain untuk Jepang yaitu "penghancuran sepenuhnya dan segera."

Tidak dituturkan tentang Kaisar Hirohito apakah termasuk ke dalam salah satu dari tokoh yang "menyesatkan rakyat Jepang", atau juga seorang penjahat perang, bahkan sebaliknya bagian dari "pemerintah yang bertanggung jawab dan berkeinginan damai". Pasal "penghancuran sepenuhnya dan segera" probabilitas yaitu peringatan terselubung soal kepemilikan bom atom oleh Amerika Serikat (yang telah dicobakan dengan sukses pada ahad konferensi).[72]

Reaksi Jepang

Pada 27 Juli, pemerintah Jepang menimbang-nimbang cara menanggapi Deklarasi Potsdam. Empat tokoh militer dari Dewan Penasihat Militer bermaksud menolaknya, tapi Tōgō membujuk kabinet untuk tidak memainkannya sampai beliau mendapat reaksi dari Uni Soviet. Dalam sebuah telegram, Duta Mulia Jepang untuk Swiss Shunichi Kase berpendapat bahwa penyerahan tanpa syarat hanya berlangsung untuk militer dan bukan untuk pemerintah atau rakyat, dan beliau minta agar dipahami bahwa pemilihan bahasa yang hati-hati dalam Deklarasi Potsdam sepertinya "telah mengalami pemikiran yang mendalam" dari pihak pemerintah-pemerintah yang menandatanganinya--"mereka rupa-rupanya telah bersusah payah berupaya menyelamatkan muka kita pada berbagai pasal-pasal."[73] Pada hari berikutnya, surat-surat kabar Jepang melaporkan bahwa Jepang telah menolak inti Deklarasi Potsdam yang sebelumnya telah disiarkan dan dijatuhkan sebagai selebaran udara di atas Jepang. Dalam usaha mengatasi persepsi publik, Perdana Menteri Suzuki berjumpa dengan pers, dan memberi pernyataan,

Diri sendiri menganggap Proklamasi Bersama sebagai pengulangan kembali Deklarasi di Konferensi Kairo. Mengenai hal tersebut, Pemerintah tidak menganggapnya memiliki nilai penting sama sekali. Salah satu hal yang dapat dilakukan yaitu mengabaikannya (mokusatsu). Kami tidak hendak memainkan apa-apa kecuali menanggungnya sampai kemudian untuk mendatangkan kemudian perang yang sukses.[74]

Guna kata mokusatsu yaitu mengabaikan atau tidak menanggapi.[74] Walaupun demikian, pernyataan Suzuki, terutama kalimat terakhir hanya menyisakan sedikit ruang untuk interpretasi yang salah. Pers Jepang dan pers luar negeri memberikan definisinya sebagai penolakan, dan tidak telah tersedia pernyataan lebih lanjut yang disampaikan ke muka umum atau aliran diplomatik untuk mengubah kesalahpahaman ini.

Pada 30 Juli, Duta Mulia Satō menulis bahwa Stalin probabilitas sedang berucap dengan Sekutu Barat mengenai transaksinya dengan Jepang. Menurut Satō, "Tidak telah tersedia alternatif selain penyerahan tanpa syarat dengan segera bila kita berhasrat mencegah partisipasi Rusia dalam perang."[75] Pada 2 Agustus, Tōgō menulis kepada Satō, "Sulit untuk Anda untuk mewujudkan hal itu ... .. terbatas waktu kita untuk berlangsung ke persiapan mengakhiri perang sebelum musuh mendarat di pulau-pulau utama Jepang, di lain pihak sulit untuk memutuskan syarat-syarat damai yang nyata di tanah air secara sekaligus."[76]

Hiroshima, Manchuria, dan Nagasaki

Hiroshima: 6 Agustus


Page 2

Menyerahnya Jepang pada bulan Agustus 1945 menandai kemudian Perang Lingkungan kehidupan II. Angkatan Laut Kekaisaran Jepang secara efektif sudah tidak telah tersedia sejak Agustus 1945, sementara invasi Sekutu ke Jepang hanya tinggal waktu. Walaupun hasrat untuk melawan sampai titik kemudian diberitahukan secara buka, pemimpin Jepang dari Dewan Penasihat Militer Jepang secara pribadi memohon Uni Soviet untuk memerankan sebagai mediator dalam kontrak damai dengan syarat-syarat yang menguntungkan Jepang. Sementara itu, Uni Soviet juga bersiap-siap untuk menyerang Jepang dalam usaha memenuhi akad kepada Amerika Serikat dan Inggris di Konferensi Yalta.

Pada 6 Agustus dan 9 Agustus, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Pada 9 Agustus, Uni Soviet melancarkan penyerbuan mendadak ke koloni Jepang di Manchuria (Manchukuo) yang melanggar Pakta Netralitas Soviet–Jepang. Kaisar Hirohito campur tangan setelah terjadi dua peristiwa mengejutkan tersebut, dan memerintahkan Dewan Penasihat Militer untuk menerima syarat-syarat yang ditawarkan Sekutu dalam Deklarasi Potsdam. Setelah berlangsung perundingan di balik layar selama beberapa hari, dan kudeta yang gagal, Kaisar Hirohito menyampaikan pidato radio di depan rakyat pada 15 Agustus 1945. Dalam pidato radio yang disebut Gyokuon-hōsō (Siaran Suara Kaisar), Hirohito membacakan Perintah Kekaisaran tentang kapitulasi, sekaligus mengumumkan kepada rakyat bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu.

Pendudukan Jepang oleh Komandan Tertinggi Sekutu dimulai pada 28 Agustus. Upacara kapitulasi dipersiapkan pada 2 September 1945 di atas kapal tempur Amerika Serikat Missouri. Dokumen Kapitulasi Jepang yang ditandatangani hari itu oleh pejabat pemerintah Jepang secara resmi mengakhiri Perang Lingkungan kehidupan II. Warga sipil dan bagian militer di negara-negara Sekutu merayakan Hari Kemenangan atas Jepang (V-J Day). Walaupun demikian, sebagian pos komando terpencil dan personel militer dari kesatuan di pelosok-pelosok Asia menolak untuk menyerah selama berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun setelah Jepang menyerah. Sejak kapitulasi Jepang, sejarawan terus berbantah tentang etika penggunaan bom atom. Perang selang Jepang dan Sekutu secara resmi akhir-akhirnya ketika Kontrak San Francisco mulai berlangsung pada tanggal 28 April 1952. Empat tahun kemudian Jepang dan Uni Soviet menandatangani Deklarasi Bersama Soviet–Jepang 1956 yang secara resmi mengakhiri perang selang kedua negara tersebut.

Kekalahan Jepang

Apa yang dilakukan oleh Jepang terhadap Indonesia setelah menyerah kepada Sekutu

Pendaratan Sekutu di Ajang Perang Operasi Samudra Pasifik, Agustus 1942 sampai Agustus 1945.

Pada tahun 1945, Jepang telah nyaris dua tahun beruntun mengalami kekalahan berkepanjangan di Pasifik Barat Daya, kampanye militer Mariana, dan kampanye militer Filipina. Pada Juli 1944 setelah Saipan jatuh, Jenderal Hideki Tōjō diangkatkan sebagai perdana menteri oleh Jenderal Kuniaki Koiso yang menyatakan Filipina sebagai tempat pertempuran berikutnya yang menentukan.[1] Setelah Filipina jatuh, giliran Koiso yang ditukar oleh Laksamana Kantarō Suzuki. Pada paruh pertama tahun 1945, Sekutu sukses merebut Iwo Jima dan Okinawa. Setelah direbut Sekutu, Okinawa diproduksi menjadi kawasan singgahan untuk menyerbu ke pulau-pulau utama di Jepang.[2] Setelah kekalahan Jerman, Uni Soviet diam-diam mulai mengerahkan kembali pasukan tempur Eropa-nya ke Timur Jauh, di samping sekitar empat puluh divisi yang telah diletakkan di sana sejak tahun 1941, sebagai penyeimbang kekuataan jutaan Tentara Kwantung.[3]

Operasi kapal-kapal selam Sekutu dan penyebaran ranjau di lepas pantai Jepang telah menghancurkan sebagian mulia armada dagang Jepang. Sebagai negara dengan sedikit sumber daya lingkungan kehidupan, Jepang bergantung kepada bahan mentah yang diimpor dari daratan Asia dan dari wilayah pendudukan Jepang di Hindia Belanda, terutama minyak bumi.[4] Penghancuran armada dagang Jepang, ditambah dengan pengeboman strategis kawasan industri di Jepang telah meruntuhkan ekonomi perang Jepang. Produksi batu bara, besi, besi baja, karet, dan pasokan bahan mentah lainnya hanya tersedia dalam banyak kecil dibandingkan pasokan sebelum perang.[5][6]

Apa yang dilakukan oleh Jepang terhadap Indonesia setelah menyerah kepada Sekutu

Kapal tempur Jepang Haruna karam di tempat bersandarnya di pangkalan angkatan laut Kure pada peristiwa Pengeboman Kure 24 Juli 1945.

Sebagai dampak kerugian yang dialami, daya Angkatan Laut Kekaisaran Jepang secara efektif sudah habis. Setelah serangkaian pengeboman Sekutu di galangan kapal Jepang di Kure, Prefektur Hiroshima, kapal-kapal perang Jepang yang tersisa hanyalah enam kapal induk, empat kapal penjelajah, dan satu kapal tempur. Namun, semua kapal tersebut tidak memiliki bahan bakar yang cukup. Walaupun sedang telah tersedia 19 kapal perusak dan 38 kapal selam yang sedang operasional, pengoperasian mereka menjadi terbatas dampak kekurangan bahan bakar.[7][8]

Persiapan pertahanan

Menghadapi probabilitas penyerbuan Sekutu ke pulau-pulau utama Jepang, dimulai dari Kyushu, Jurnal Perang Markas Mulia Kekaisaran menyimpulkan,

Kami tidak dapat lagi memimpin perang dengan telah tersedia sedikit pun hasrat untuk menang. Satu-satunya jalan yang tersisa yaitu mengorbankan nyawa seratus juta rakyat Jepang sebagai bom hidup agar musuh kehilangan semangat bertempur.[9]

Sebagai usaha darurat yang terakhir untuk menghentikan gerak maju Sekutu, Komando Tertinggi Kekaisaran Jepang merencanakan pertahanan Kyushu secara habis-habisan. Usaha yang dinamakan dengan sandi Operasi Ketsu-Go [10] ini dimaksudkan sebagai perubahan strategi yang radikal. Pautan dari sistem pertahanan berlapis seperti yang dipakai sewaktu menginvasi Peleliu, Iwo Jima, dan Okinawa, kali ini semuanya dipertaruhkan di pantai. Sebelum pasukan dan perlengkapan didaratkan transpor amfibi di pantai, mereka hendak diserang oleh 3.000 pesawat kamikaze.[8]

Bila strategi ini tidak mengusir Sekutu, Jepang hendak mengerahkan 3.500 pesawat kamikaze tambahan berikut 5.000 kapal bunuh diri Shin'yō ditemani kapal-kapal perusak dan kapal-kapal selam yang sedang tersisa--hingga kapal terakhir yang operasional--untuk menghancurkan Sekutu. Bila Sekutu menang dalam pertempuran di pantai dan sukses mendarat di Kyushu, hanya hendak tersisa 3.000 pesawat untuk mempertahankan pulau-pulau Jepang yang lain. Walaupun demikian, Kyushu hendak dipertahankan "hingga titik darah penghabisan".[8] Strategi membikin pertahanan terakhir di Kyushu didasarkan pada asumsi bahwa Uni Soviet hendak tetap mempertahankan netralitas.[11]

Serangkaian gua digali tidak jauh Nagano di Honshu. Gua-gua yang disebut Markas Mulia Kekaisaran Bawah Tanah Matsushiro tersebut hendak diproduksi menjadi Markas Angkatan Darat pada saat terjadinya invasi Sekutu serta rumah perlindungan untuk Kaisar Jepang dan keluarganya.[12]

Dewan Penasihat Militer

Pengambilan keputusan perang Jepang berpusat di Dewan Penasihat Militer yang beranggotakan enam pejabat tinggi: perdana menteri, menteri luar negeri, menteri angkatan darat, menteri angkatan laut, kepala staf umum angkatan darat, dan kepala staf umum angkatan laut.[13] Saat kabinet pemerintah Suzuki terbentu pada April 1945, keanggotaan dewan terdiri dari:

Apa yang dilakukan oleh Jepang terhadap Indonesia setelah menyerah kepada Sekutu

Kabinet Suzuki, Juni 1945

  • Perdana Menteri Laksamana Kantarō Suzuki
  • Menteri Luar Negeri Shigenori Tōgō
  • Menteri Angkatan Darat Jenderal Korechika Anami
  • Menteri Angkatan Laut Laksamana Mitsumasa Yonai
  • Kepala Staf Umum Angkatan Darat Jenderal Yoshijirō Umezu
  • Kepala Staf Umum Angkatan Laut Laksamana Koshirō Oikawa (kemudian ditukar oleh Laksamana Soemu Toyoda)

Secara hukum, Angkatan Darat dan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang memiliki hak untuk mencalonkan (atau menolak pencalonan) masing-masing menteri. Sebagai akhirnya, Jepang dapat menghindari pembentukan pemerintahan yang tidak diingini, atau terjadinya pengunduran diri yang dapat menjatuhkan pemerintah yang sedang berlangsung.[14][15]

Kaisar Hirohito dan Penjaga Cap Pribadi Kaisar Kōichi Kido juga hadir di beberapa pertemuan, setelah diminta Kaisar.[16] Seperti yang dilaporkan Iris Chang, "Jepang sengaja menghancurkan, menyembunyikan, atau memalsukan sebagian dari dokumen rahasia perang mereka"[17][18]

Perbedaan pendapat di kalangan pemimpin Jepang

Kabinet Suzuki, dalam berbagai bidang, lebih menentukan meneruskan perang. Untuk Jepang, kapitulasi nyaris tidak terpikirkan. Dalam 2000 tahun sejarahnya, Jepang tidak pernah diinvasi bangsa asing atau kalah dalam perang.[19] Hanya Menteri Angkatan Laut Mitsumasa Yonai yang dikenal memiliki hasrat untuk mengakhiri perang.[20] Menurut sejarawan Richard B. Frank:

Walaupun Suzuki pastinya melihat perdamaian sebagai tujuan jangka panjang, beliau tidak memiliki rencana untuk mewujudkannya dalam jangka waktu tidak jauh atau dengan syarat-syarat yang dapat diterima Sekutu. Komentarnya dalam konferensi negarawan senior tidak memberikan tanda-tanda dirinya menginginkan akhir-akhirnyanya perang lebih awal ... . ; Pilihan Suzuki untuk pos-pos kabinet yang paling penting, dengan pengecualian satu orang, bukanlah juga tokoh pendukung perdamaian.[21]

Seusai perang, Perdana Menteri Suzuki dan pejabat lain dari pemerintahannya mengaku mereka secara rahasia merundingkan perdamaian, tapi secara buka tidak dapat mengumumkannya. Mereka mengutip pemikiran Jepang tentang haragei (seni mengadakan komunikasi dengan sikap dan daya kepribadian dan bukan melewati kata-kata) untuk membenarkan ketidakselarasan selang sikap yang dibuat di muka umum dan perkara di balik layar. Namun, sebagian sejarawan menolak interpretasi ini. Robert J. C. Butow menulis:

Berlandaskan gagasan yang sangat ambigu, pembelaan soal haragei menimbulkan kecurigaan bahwa dalam masalah politik dan diplomasi, secara sadar menggantungkan diri pada seni menggertak mungkin dapat dianggap sebagai pengelabuan disengaja yang dianggarkan didasarkan hasrat mengadu domba untuk keuntungan sendiri. Walaupun keputusan ini tidak sesuai dengan kepribadian Laksamana Suzuki yang banyak dipuji, pada kenyataannya dari saat beliau diangkatkan sebagai perdana menteri sampai hari beliau mengundurkan diri, tidak telah tersedia seorang pun yang dapat memastikan apa yang berikutnya hendak diceritakan atau dilakukan Suzuki.[22]

Pemimpin Jepang selalu menginginkan penyelesaian perang dengan negosiasi. Perencanaan praperang mereka mengharapkan perluasan wilayah secara cepat, konsolidasi, konflik yang tidak terhindarkan dengan Amerika Serikat, dan penyelesaian perang yang memungkinkan Jepang mempertahankan paling tidak beberapa wilayah baru yang telah mereka duduki.[23] Pada tahun 1945, pemimpin-pemimpin Jepang sepakat bahwa perang tidak berlangsung dengan lancar, tetapi mereka tidak sepakat mengenai cara-cara terbaik dalam bernegosiasi untuk mengakhiri perang. Kalangan pemimpin Jepang terbelah menjadi dua kubu. Faksi "damai" menginginkan inisiatif diplomatik dengan membujuk pemimpin Uni Soviet Joseph Stalin agar berperan sebagai mediator penyelesaian perang selang Jepang dan Amerika Serikat beserta sekutunya. Sebaliknya, faksi garis keras lebih menentukan bertempur dalam satu pertempuran terakhir yang "menentukan" sampai jatuh korban begitu banyak di pihak Sekutu yang mengakibatkan mereka mau menawarkan syarat-syarat yang lebih lunak.[24] Kedua kubu terbentuk berlandaskan pengalaman Jepang dalam Perang Rusia-Jepang empat puluh tahun sebelumnya. Dalam perang tersebut terjadi serangkaian pertempuran yang memakan kerugian mulia yang tidak menentukan pemenang, tetapi diakhiri oleh Pertempuran Tsushima yang dimenangkan Jepang.[25]

Apa yang dilakukan oleh Jepang terhadap Indonesia setelah menyerah kepada Sekutu

Laksamana Kantarō Suzuki menjabat Perdana Menteri Jepang dalam bulan-bulan sebelum perang akhir-akhirnya.

Pada kemudian Januari 1945, beberapa pejabat Jepang yang tidak jauh dengan Kaisar mempertimbangkan syarat-syarat kapitulasi yang hendak melindungi kedudukan Kaisar Jepang. Proposal-proposal yang dikirim melewati aliran Amerika Serikat dan Inggris tersebut disusun oleh Jenderal Douglas MacArthur menjadi dokumen 40 halaman, dan kemudian, pada 2 Februari, dua hari sebelum Konferensi Yalta, diberikan kepada Presiden Franklin D. Roosevelt. Menurut laporan, dokumen tersebut dihalau oleh Roosevelt tanpa pertimbangan apa pun. Semua proposal mencakup syarat bahwa kedudukan kaisar tetap dipertahankan, walaupun mungkin sebagai penguasa boneka. Namun pada saat itu, kebijakan Sekutu hanyalah menerima penyerahan tanpa syarat.[26] Selain itu, proposal-proposal ini dihalau keras oleh pejabat pemerintahan Jepang yang berpengaruh, dan oleh karena itu tidak dapat diceritakan mewakili hasrat Jepang yang sebenarnya untuk menyerah pada waktu itu.[27]

Pada Februari 1945, Pangeran Fumimaro Konoe memberi Kaisar Hirohito sebuah memorandum yang menganalisis situasi dan menyampaikan kepada Hirohito bahwa bila perang diteruskan, kekaisaran hendak menghadapi revolusi internal yang lebih berbahaya daripada kalah dalam perang.[28] Menurut buku harian Pengurus Rumah Tangga Kaisar Hisanori Fujita, Kaisar yang menunggu pertempuran menentukan (tennōzan) menjawab bahwa sedang terlalu dini menawarkan perdamaian, "Kecuali kita membikin satu lagi kemenangan militer."[29] Sedang pada bulan Februari tahun yang sama, divisi kontrak Jepang menulis tentang kebijakan Sekutu terhadap Jepang mengenai "penyerahan tanpa syarat, pendudukan, perlucutan senjata, penghapuskan militerisme, reformasi demokrasi, hukuman untuk penjahat perang, dan status kaisar."[30] Pelucutan senjata oleh Sekutu, penjatuhan hukuman untuk penjahat perang Jepang, dan khususnya pendudukan dan penghapusan kedudukan kaisar tidak diterima oleh pimpinan Jepang.[31][32]

Pada 5 April, Uni Soviet mengumumkan tidak hendak memperbarui Pakta Netralitas Soviet-Jepang[33] yang ditandatangani tahun 1941 setelah terjadinya Peristiwa Nomonhan.[34] Pada Konferensi Yalta Februari 1945, negara-negara Barat yang tergabung dalam Sekutu telah menyepakati konsesi yang substansial dengan Soviet untuk mengamankan akad dari Soviet untuk menyatakan perang terhadap Jepang tidak lebih dari tiga bulan setelah Jerman menyerah. Walaupun secara hukum Pakta Netralitas tetap berlangsung sampai setahun setelah Uni Soviet membatalkannya (hingga 5 April 1946), pembatalan sepihak ini secara jelas tetapi terselubung menunjukkan niat perang Uni Soviet.[35] Menteri Luar Negeri Rusia Vyacheslav Molotov, di Moskow, dan Yakov Malik, duta mulia Soviet di Tokyo, sungguh-sungguh mencoba meyakinkan Jepang bahwa "masa berlangsung Pakta tersebut belum berakhir".[36]

Apa yang dilakukan oleh Jepang terhadap Indonesia setelah menyerah kepada Sekutu

Menteri Luar Negeri Shigenori Tōgō

Pada serangkaian rapat tingkat tinggi pada bulan Mei 1965, keenam bagian Dewan Penasihat Militer dengan serius membahas cara mengakhiri perang. Namun tidak seorang pun dari mereka setuju dengan syarat-syarat yang diajukan Sekutu. Mengingat siapa pun yang secara buka mendukung kapitulasi Jepang terancam bahaya pembunuhan oleh perwira angkatan darat yang sangat setia, rapat-rapat tersebut tertutup untuk siapa pun kecuali keenam bagian Dewan Penasihat Militer, Kaisar, dan penjaga cap pribadi kaisar. Tidak telah tersedia perwira eselon dua atau eselon tiga yang diizinkan hadir.[37] Pada rapat-rapat tersebut, hanya Menteri Luar Negeri Tōgō yang menyadari probabilitas sekutu negara-negara Barat sudah membikin konsesi dengan Soviet untuk mengajak mereka bertempur melawan Jepang.[38] Sebagai hasil rapat-rapat tersebut, Tōgō diberi wewenang untuk mendekati Uni Soviet, memohon mereka untuk tetap mempertahankan netralitas, atau lebih fantastis lagi, mau membentuk aliansi.[39]

Sejalan dengan tradisi pemerintahan baru mengumumkan tujuan-tujuan mereka, setelah rapat bulan Mei selesai, staf Angkatan Darat mengeluarkan dokumen berjudul "Kebijakan Fundamental untuk Disertai Selanjutnya dalam Melaksanakan Perang" yang menyatakan rakyat Jepang hendak berjuang sampai punah daripada menyerah. Kebijakan ini diadopsi oleh Dewan Penasihat Militer pada 6 Juni (Tōgō menentangnya, sementara kelima bagian lain mendukung).[40] Dokumen-dokumen yang diajukan Suzuki pada pertemuan yang sama menyarankan bahwa dalam usaha awal diplomatik dengan Uni Soviet, Jepang mengambil pendekatan sebagai berikut:

Rusia harus diberi kenal dengan jelas bahwa kemenangannya atas Jerman yaitu berkat Jepang, karena kita tetap netral, dan Soviet hendak diuntungkan bila membantu Jepang mempertahankan posisinya di lingkungan kehidupan internasional, karena musuh mereka di masa depan yaitu Amerika Serikat.[41]

Pada 9 Juni, orang keyakinan kaisar Kōichi Kido menulis "Rancangan Rencana Pengendalian Situasi Krisis" yang memperingatkan bahwa pada kemudian tahun kemampuan Jepang untuk memainkan perang modern hendak habis dan pemerintah hendak tidak mampu mengemudikan kerusuhan sipil. ".... Kita tidak kenal pasti apakah kita hendak bernasib sama seperti Jerman dan terjatuh dalam keadaan yang sulit sampai kita tidak dapat mencapai tujuan tertinggi menjaga Rumah Tangga Kekaisaran dan mempertahankan tata negara nasional."[42] Kido mengusulkan Kaisar sendiri ikut ambil bagian, dengan menawarkan untuk mengakhiri perang dengan "syarat-syarat yang sangat murah hati". Kido mengusulkan Jepang melepaskan wilayah yang dijajah Eropa, asalkan mereka diberi kemerdekaan, dan negara kita dilucuti, serta untuk sementara harus "puas dengan pertahanan minimum". Berbekal penugasan Kaisar, Kido mendekati beberapa bagian Dewan Penasihat Militer. Tōgō sangat mendukung. Suzuki dan Menteri Angkatan Laut Laksamana Mitsumasa Yonai keduanya sangat bersiap-siap mendukung; masing-masing meminta keterangan dalam hati, apa yang dipikirkan satu sama lain. Menteri Angkatan Darat Jenderal Korechika Anami bersikap ambivalen, bersikeras diplomasi harus menunggu "hingga Amerika Serikat menderita kerugian besar" dalam Operasi Ketsu-Go.[43]

Pada bulan Juni 1845, Kaisar sudah kehilangan keyakinan terhadap kesempatan mencapai kemenangan militer. Jepang sudah kalah dalam Pertempuran Okinawa. Kaisar juga sudah mendapat kabar tentang kelemahan angkatan darat di Cina, begitu pula soal angkatan laut dan angkatan darat yang mempertahankan pulau-pulau utama Jepang. Kaisar menerima laporan dari Pangeran Higashikuni; darinya Kaisar mengambil kesimpulan bahwa "bukan saja pertahanan lepas pantai, divisi yang tersedia untuk diterjunkan di pertempuran yang menentukan juga tidak memiliki banyak senjata yang memadai."[44] Menurut Kaisar:

Kita sudah diberi kenal besi asal bom yang dijatuhkan musuh sudah digunakan untuk membikin sekop. Hal ini berfaedah kita tidak ada dalam posisi melanjutkan perang.[44]

Pada 22 Juni, kaisar memanggil keenam bagian Dewan Penasihat Militer untuk rapat. Tidak seperti kebanyakan, Kaisar buka pembicaraan: "Kita menginginkan rencana konkrit untuk mengakhiri perang, tanpa dirintangi kebijakan yang telah tersedia, hendak dipelajari dengan cepat dan usaha-usaha dilakukan untuk mengimplementasikannya."[45] Pertemuan menyetujui untuk mengundang pertolongan Soviet dalam mengakhiri perang. Negara-negara netral lain seperti Swiss, Swedia, dan Vatikan dikenal berniat memainkan peranan dalam membuat perdamaian, tapi mereka terlalu kecil sampai mereka tidak dapat memainkan lebih dari sekadar menyampaikan syarat-syarat kapitulasi Sekutu serta penerimaan atau penolakan dari Jepang. Uni Soviet diharapkan dapat dibujuk untuk berperan sebagai perwakilan Jepang dalam bernegosiasi dengan Sekutu Barat.[46]

Usaha berurusan dengan Uni Soviet

Apa yang dilakukan oleh Jepang terhadap Indonesia setelah menyerah kepada Sekutu

Naotake Satō

Pada 30 Juni, Tōgō memerintahkan Duta Mulia Jepang untuk Moskwa Naotake Satō untuk berupaya membuat "hubungan persahabatan yang erat dan tidak berkesudahan." Satō bermaksud membicarakan status Manchuria dan "masalah apa saja yang hendak diangkatkan Rusia."[47] Satō akhir-akhirnya berjumpa dengan Menteri Luar Negeri Soviet Vyacheslav Molotov pada 11 Juli, namun pertemuan tidak menghasilkan apa-apa. Pada 12 Juli, Tōgō memerintahkan Satō untuk menyampaikan kepada Soviet bahwa,

Yang Mulia Kaisar mempertimbangkan fakta bahwa perang yang sekarang dari hari ke hari membawa kemalangan dan pengorbanan untuk rakyat dari semua pihak-pihak yang bertempur, hasrat dari dalam hati agar dapat segera dihentikan. Namun selama Inggris dan Amerika Serikat bersikeras soal penyerahan tanpa syarat, Kekaisaran Jepang tidak punya pilihan lain kecuali bertempur dengan segenap tenaga untuk kehormatan dan keberlangsungan tanah air.[48]

Kaisar mengusulkan untuk mengirim Pangeran Konoe sebagai Utusan Luar Biasa, walaupun beliau tidak dapat tiba di Moskwa sebelum dimulainya Konferensi Potsdam.

Satō memberi kenal Tōgō bahwa dalam kenyataan, Jepang hanya dapat mengharapkan "penyerahan tanpa syarat atau syarat-syarat yang nyaris setara ke situ". Lebih jauh lagi Satō mengatakan bahwa pesan-pesan Tōgō "tidak jelas soal pandangan pemerintah dan militer dalam hal penghentian perang," serta mempertanyakan apakah inisiatif Tōgō didukung oleh unsur-unsur kunci dalam bangun kekuasaan Jepang.[49]

Pada 17 Juli, Tōgō menjawab,

Walaupun para penguasa, dan juga pemerintah yakin bahwa daya perang kita sedang dapat menimbulkan pukulan berfaedah terhadap musuh, kami tidak dapat merasakan kedamaian hati yang betul-betul pasti. ... .. Namun, mohon betul-betul diingat, bahwa kita tidak memohon mediasi Rusia untuk hal-hal seperti penyerahan tanpa syarat.[50]

Dalam jawabannya, Satō memperjelas,

Sudah benda/barang tentu dalam pesan diri sendiri sebelumnya menyebut penyerahan tanpa syarat atau syarat-syarat yang nyaris setara, diri sendiri membikin pengecualian soal mempertahankan [Rumah Tangga Kekaisaran].[51]

Pada 21 Juli, berucap atas nama kabinet, Tōgō mengulangi,

Mengenai soal penyerahan tanpa syarat kami tidak dapat menyetujuinya berlandaskan keadaan bagaimana pun. ... .. Dalam usaha menghindari keadaan seperti itu kita sedang mencari damai, ... .. melewati afal yang berguna patut Rusia. ... .. Ditinjau dari sudut pandang dalam negeri dan luar negeri, membikin pernyataan segera tentang syarat-syarat tertentu yaitu merugikan dan tidak mungkin.[52]

Berbakat kriptografi Amerika Serikat yang bergabung dalam Proyek Magic telah memecahkan sebagian mulia sandi Jepang, termasuk kode Purple yang dipakai oleh kantor-kantor perwakilan Jepang untuk menyandikan koresponden diplomatik. Sebagai akhirnya, pesan selang Tokyo dan kedutaan-kedutaan Jepang bocor ke pemimpin Sekutu nyaris sama cepatnya dengan penerima di alamat tujuan.[53]

Maksud-maksud Soviet

Urusan keamanan mendominasi keputusan Soviet soal Timur Jauh.[54] Di selang hasrat yang paling utama yaitu memperoleh akses tidak terbatas ke Samudra Pasifik. Kawasan lepas pantai Soviet di Pasifik yang lepas es sepanjang tahun, khususnya Vladivostok, dapat diblokade melewati udara dan laut dari Sakhalin dan Kepulauan Kuril. Bila keduanya didapatkan berfaedah Rusia memperoleh akses lepas ke Selat Soya yang memang menjadi sasaran utama.[55][56] Sasaran kedua yaitu kontrak kontrak Jalur Kereta Api Timur Jauh Cina, Jalur Kereta Api Manchuria Selatan, Dairen, dan Lushun.[57]

Untuk mencapai tujuannya, Stalin and Molotov dengan semangat bernegosiasi dengan Jepang, memberikan Jepang hasrat palsu hendak perdamaian dengan Uni Soviet sebagai mediator.[58] Pada saat yang bersamaan, dalam transaksi Soviet dengan Amerika Serikat dan Inggris, Soviet bersikeras untuk secara sempit menaati Deklarasi Kairo, ditegaskan kembali di Konferensi Yalta bahwa Sekutu tidak hendak menerima perdamaian bersyarat atau perdamaian sendiri-sendiri dengan Jepang. Kepada semua negara-negara Sekutu, Jepang harus menyerah tanpa syarat. Untuk memperpanjang perang, Uni Soviet menentang semua upaya yang dilakukan untuk memperlunak syarat-syarat kapitulasi.[58] Bila perang tidak segera selesai, Uni Soviet sedang punya cukup waktu untuk memindahkan pasukan-pasukan mereka ke ajang perang Pasifik, untuk selanjutnya merebut Sakhalin, Kepulauan Kuril, dan probabilitas Hokkaido[59] (invasi dimulai dengan pendaratan di Rumoi, Hokkaido).[60]

Proyek Manhattan

Pada 1939, Albert Einstein dan Leó Szilárd menulis sepucuk surat kepada Presiden Roosevelt yang mendesaknya untuk mendanai penelitian dan pengembangan bom atom. Roosevelt setuju dan akhirnya yaitu proyek riset sangat rahasia yang disebut Proyek Manhattan. Proyek ini dipimpin Jenderal Leslie Groves dengan J. Robert Oppenheimer sebagai direktur pengarah bidang ilmiah. Bom atom pertama dengan sukses diledakkan dalam percobaan Trinity 16 Juli 1945.

Sementara proyek nyaris akhir-akhirnya, pemimpin perang Amerika mulai mempertimbangkan untuk menggunakan bom atom terhadap Jepang. Groves membentuk komite pencari sasaran yang berjumpa pada bulan April dan Mei 1945. Komite ini menyusun daftar sasaran bom atom. Mereka menentukan 18 kota-kota di Jepang. Masuk dalam daftar di urutan paling atas yaitu Kyoto, Hiroshima,[61] Yokohama, Kokura, dan Niigata.[62][63] Pada akhir-akhirnya Kyoto dihapus dari daftar atas desakan Menteri Perang Henry L. Stimson yang pernah mengunjungi Kyoto sewaktu bulan madu, dan mengetahui kota ini sangat penting dalam bidang kebiasaan istiadat dan sejarah.[64]

Pada bulan Mei, Harry S. Truman diangkatkan sebagai Presiden Amerika Serikat yang baru setelah Franklin Roosevelt wafat pada 16 April 1945. Truman menyetujui pembentukan komite Interim, sebuah kumpulan penasihat yang melapor mengenai bom atom.[63] Komite Interim terdiri dari George L. Harrison, Vannevar Bush, James Bryant Conant, Karl Taylor Compton, William L. Clayton, dan Ralph Austin Bard, serta dibantu dewan penasihat yang terdiri dari ilmuwan Oppenheimer, Enrico Fermi, Ernest Lawrence, dan Arthur Compton. Dalam laporan tanggal 1 Juni 1945, komite berkesimpulan bom atom harus digunakan secepat mungkin terhadap instalasi-instalasi perang berikut rumah-rumah pekerja di sekelilingnya, dan tidak perlu memberi peringatan atau peragaan sebelumnya.[65]

Mandat yang diberikan kepada komite tidak termasuk penggunaan bom atom, walaupun penggunaannya sudah dianggarkan bila sudah selesai.[66] Komite mengkaji kembali penggunaan bom atom setelah telah tersedia protes dalam susunan Laporan Franck dari ilmuwan Proyek Manhattan. Pada rapat 21 Juni, komite menegaskan kembali bahwa tidak telah tersedia alternatif lain selain menggunakan bom atom.[67]

Acara-acara di Potsdam

Pemimpin daya utama Sekutu berjumpa dalam Konferensi Potsdam 16 Juli-2 Agustus 1945. Uni Soviet, Kerajaan Bersatu, dan Amerika Serikat, masing-masing diwakili oleh Stalin, Winston Churchill (kemudian Clement Attlee), dan Truman.

Negosiasi

Perang melawan Jepang yaitu salah satu dari berbagai isu yang diceritakan di Potsdam. Truman mendapat berita tentang suksesnya percobaan Trinity pada awal konferensi, dan menyampaikan informasi tersebut ke delegasi Inggris. Kesuksesan percobaan bom atom menyebabkan delegasi Amerika Serikat mempertimbangkan kembali mengenai perlunya partisipasi Soviet (seperti dijanjikan di Yalta).[68] Prioritas teratas Sekutu yaitu mempersingkat perang dan mengurangi korban di pihak Amerika Serikat. Kedua hal tersebut mungkin dapat dibantu dengan telah tersedianya campur tangan Uni Soviet, namun probabilitas harus dibayar dengan membolehkan Soviet mencaplok wilayah-wilayah di luar wilayah yang dijanjikan untuk mereka di Yalta, dan mungkin Jepang hendak terbagi dua seperti Jerman.[69]

Dalam kesepakatan dengan Stalin, Truman memutuskan untuk memberikan pemimpin Soviet kabar tentang keberadaan senjata baru yang kuat tanpa memberitahukan rinciannya. Namun, Sekutu lainnya tidak menyadari bahwa intelijen Soviet telah menyusup dalam Proyek Manhattan pada tahap awal, sehingga ketika Stalin mengetahui keberadaan bom atom, beliau tidak terkesan dengan potensinya.[70]

Deklarasi Potsdam

Pemimpin negara-negara utama Sekutu memutuskan untuk mengeluarkan pernyataan yang disebut Deklarasi Potsdam yang menetapkan "penyerahan tanpa syarat" dan memperjelas guna kapitulasi Jepang untuk kedudukan kaisar dan untuk Hirohito secara pribadi. Pemerintah Amerika Serikat dan Inggris saling bertentangan mengenai butir terakhir. Amerika Serikat berhasrat menghapus posisi kaisar dan probabilitas mengadilinya sebagai penjahat perang. Sebaliknya, Inggris berhasrat mempertahankan posisi kaisar, mungkin dengan Hirohito yang tetap bertahta. Pernyataan-pernyataan dalam rancangan Deklarasi Potsdam mengalami berbagai revisi sebelum versi yang diterima kedua belah pihak selesai.[71]

Pada 26 Juli 1945, Amerika Serikat, Inggris, dan Cina merilis Deklarasi Potsdam yang telah tersedia isinya syarat-syarat kapitulasi Jepang dengan peringatan, "Kami tidak hendak menyimpang dari ketentuan-ketentuan ini. Tidak telah tersedia alternatif. Kami tidak membolehkan telah tersedianya penundaan." Untuk Jepang, deklarasi menetapkan syarat-syarat sebagai berikut:

  • Penghapusan "selama-lamanya dari kekuasaan dan pengaruh tokoh-tokoh yang telah menipu dan menyesatkan rakyat Jepang ke arah dimulainya penaklukan dunia"
  • Pendudukan "titik-titik dalam wilayah Jepang yang hendak ditentukan oleh Sekutu"
  • "Kedaulatan Jepang hendak dibatasi pada pulau-pulau Honshu, Hokkaido, Kyushu, dan Shikoku, serta pulau-pulau kecil seperti yang kami tetapkan." Seperti telah diumumkan dalam Deklarasi Kairo 1943, wilayah-wilayah Jepang hendak disita sampai wilayah sebelum perang, termasuk Korea dan Taiwan, begitu pula wilayah-wilayah jajahannya baru-baru ini.
  • "Daya militer Jepang harus sepenuhnya dilucuti"
  • "Keadilan yang keras harus dijatuhkan kepada semua penjahat perang, termasuk semua yang telah memainkan kekejaman terhadap orang kita yang ditawan".

Di lain pihak, deklarasi menegaskan bahwa:

  • "Kami tidak bermaksud memperbudak Jepang sebagai suatu ras atau menghancurkannya sebagai suatu bangsa, ... .. Pemerintah Jepang harus menghapus semua penghalang untuk kebangkitan dan makin menguatnya kecenderungan demokrasi di selang rakyat Jepang. Kebebasan berucap, beragama, dan berpikir, begitu pula peghormatan untuk hak asasi manusia yang fundamental harus ditegakkan."
  • "Jepang harus dibolehkan memiliki industri-industri yang hendak menunjang ekonomi dan memungkinkan untuk membayar tuntutan pampasan yang serupa dan tidak sewenang-wenang, ... .. Partisipasi Jepang dalam hubungan dagang internasional harus dibolehkan."
  • "Kesatuan pendudukan Sekutu hendak ditarik dari Jepang segera setelah tujuan-tujuan tersebut dicapai dan telah berdirinya sebuah pemerintahan yang bertanggung jawab dan bertujuan damai sesuai dengan hasrat rakyat Jepang yang diungkapkan secara lepas."

Satu-satunya pasal yang menyebut tentang "penyerahan tanpa syarat" dicantumkan pada kemudian deklarasi:

  • "Kami mengimbau pemerintah Jepang untuk menyatakan sekarang juga kapitulasi tanpa syarat dari semua angkatan bersenjata Jepang, dan untuk menunjukkan jaminan yang cukup dan layak atas maksud patut mereka terhadap hal tersebut. Pilihan lain untuk Jepang yaitu "penghancuran sepenuhnya dan segera."

Tidak dituturkan tentang Kaisar Hirohito apakah termasuk ke dalam salah satu dari tokoh yang "menyesatkan rakyat Jepang", atau juga seorang penjahat perang, bahkan sebaliknya bagian dari "pemerintah yang bertanggung jawab dan berkeinginan damai". Pasal "penghancuran sepenuhnya dan segera" probabilitas yaitu peringatan terselubung soal kepemilikan bom atom oleh Amerika Serikat (yang telah dicobakan dengan sukses pada ahad konferensi).[72]

Reaksi Jepang

Pada 27 Juli, pemerintah Jepang menimbang-nimbang cara menanggapi Deklarasi Potsdam. Empat tokoh militer dari Dewan Penasihat Militer bermaksud menolaknya, tapi Tōgō membujuk kabinet untuk tidak memainkannya sampai beliau mendapat reaksi dari Uni Soviet. Dalam sebuah telegram, Duta Mulia Jepang untuk Swiss Shunichi Kase berpendapat bahwa penyerahan tanpa syarat hanya berlangsung untuk militer dan bukan untuk pemerintah atau rakyat, dan beliau minta agar dimengerti bahwa pemilihan bahasa yang hati-hati dalam Deklarasi Potsdam sepertinya "telah mengalami pemikiran yang mendalam" dari pihak pemerintah-pemerintah yang menandatanganinya--"mereka rupa-rupanya telah bersusah payah berupaya menyelamatkan muka kita pada berbagai pasal-pasal."[73] Pada hari berikutnya, surat-surat kabar Jepang melaporkan bahwa Jepang telah menolak inti Deklarasi Potsdam yang sebelumnya telah disiarkan dan dijatuhkan sebagai selebaran udara di atas Jepang. Dalam usaha mengatasi persepsi publik, Perdana Menteri Suzuki berjumpa dengan pers, dan memberi pernyataan,

Diri sendiri menganggap Proklamasi Bersama sebagai pengulangan kembali Deklarasi di Konferensi Kairo. Mengenai hal tersebut, Pemerintah tidak menganggapnya memiliki nilai penting sama sekali. Salah satu hal yang dapat dilakukan yaitu mengabaikannya (mokusatsu). Kami tidak hendak memainkan apa-apa kecuali menanggungnya sampai kemudian untuk mendatangkan kemudian perang yang sukses.[74]

Guna kata mokusatsu yaitu mengabaikan atau tidak menanggapi.[74] Walaupun demikian, pernyataan Suzuki, terutama kalimat terakhir hanya menyisakan sedikit ruang untuk interpretasi yang salah. Pers Jepang dan pers luar negeri memberikan definisinya sebagai penolakan, dan tidak telah tersedia pernyataan lebih lanjut yang disampaikan ke muka umum atau aliran diplomatik untuk mengubah kesalahpahaman ini.

Pada 30 Juli, Duta Mulia Satō menulis bahwa Stalin probabilitas sedang berucap dengan Sekutu Barat mengenai transaksinya dengan Jepang. Menurut Satō, "Tidak telah tersedia alternatif selain penyerahan tanpa syarat dengan segera bila kita berhasrat mencegah partisipasi Rusia dalam perang."[75] Pada 2 Agustus, Tōgō menulis kepada Satō, "Sulit untuk Anda untuk mewujudkan hal itu ... .. terbatas waktu kita untuk berlangsung ke persiapan mengakhiri perang sebelum musuh mendarat di pulau-pulau utama Jepang, di lain pihak sulit untuk memutuskan syarat-syarat damai yang nyata di tanah air secara sekaligus."[76]

Hiroshima, Manchuria, dan Nagasaki

Hiroshima: 6 Agustus


Page 3

Menyerahnya Jepang pada bulan Agustus 1945 menandai kemudian Perang Lingkungan kehidupan II. Angkatan Laut Kekaisaran Jepang secara efektif sudah tidak telah tersedia sejak Agustus 1945, sementara invasi Sekutu ke Jepang hanya tinggal waktu. Walaupun hasrat untuk melawan sampai titik kemudian diberitahukan secara buka, pemimpin Jepang dari Dewan Penasihat Militer Jepang secara pribadi memohon Uni Soviet untuk memerankan sebagai mediator dalam kontrak damai dengan syarat-syarat yang menguntungkan Jepang. Sementara itu, Uni Soviet juga bersiap-siap untuk menyerang Jepang dalam usaha memenuhi akad kepada Amerika Serikat dan Inggris di Konferensi Yalta.

Pada 6 Agustus dan 9 Agustus, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Pada 9 Agustus, Uni Soviet melancarkan penyerbuan mendadak ke koloni Jepang di Manchuria (Manchukuo) yang melanggar Pakta Netralitas Soviet–Jepang. Kaisar Hirohito campur tangan setelah terjadi dua peristiwa mengejutkan tersebut, dan memerintahkan Dewan Penasihat Militer untuk menerima syarat-syarat yang ditawarkan Sekutu dalam Deklarasi Potsdam. Setelah berlangsung perundingan di balik layar selama beberapa hari, dan kudeta yang gagal, Kaisar Hirohito menyampaikan pidato radio di depan rakyat pada 15 Agustus 1945. Dalam pidato radio yang disebut Gyokuon-hōsō (Siaran Suara Kaisar), Hirohito membacakan Perintah Kekaisaran tentang kapitulasi, sekaligus mengumumkan kepada rakyat bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu.

Pendudukan Jepang oleh Komandan Tertinggi Sekutu dimulai pada 28 Agustus. Upacara kapitulasi dipersiapkan pada 2 September 1945 di atas kapal tempur Amerika Serikat Missouri. Dokumen Kapitulasi Jepang yang ditandatangani hari itu oleh pejabat pemerintah Jepang secara resmi mengakhiri Perang Lingkungan kehidupan II. Warga sipil dan bagian militer di negara-negara Sekutu merayakan Hari Kemenangan atas Jepang (V-J Day). Walaupun demikian, sebagian pos komando terpencil dan personel militer dari kesatuan di pelosok-pelosok Asia menolak untuk menyerah selama berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun setelah Jepang menyerah. Sejak kapitulasi Jepang, sejarawan terus berbantah tentang etika penggunaan bom atom. Perang selang Jepang dan Sekutu secara resmi akhir-akhirnya ketika Kontrak San Francisco mulai berlangsung pada tanggal 28 April 1952. Empat tahun kemudian Jepang dan Uni Soviet menandatangani Deklarasi Bersama Soviet–Jepang 1956 yang secara resmi mengakhiri perang selang kedua negara tersebut.

Kekalahan Jepang

Apa yang dilakukan oleh Jepang terhadap Indonesia setelah menyerah kepada Sekutu

Pendaratan Sekutu di Ajang Perang Operasi Samudra Pasifik, Agustus 1942 sampai Agustus 1945.

Pada tahun 1945, Jepang telah nyaris dua tahun beruntun mengalami kekalahan berkepanjangan di Pasifik Barat Daya, kampanye militer Mariana, dan kampanye militer Filipina. Pada Juli 1944 setelah Saipan jatuh, Jenderal Hideki Tōjō diangkatkan sebagai perdana menteri oleh Jenderal Kuniaki Koiso yang menyatakan Filipina sebagai tempat pertempuran berikutnya yang menentukan.[1] Setelah Filipina jatuh, giliran Koiso yang ditukar oleh Laksamana Kantarō Suzuki. Pada paruh pertama tahun 1945, Sekutu sukses merebut Iwo Jima dan Okinawa. Setelah direbut Sekutu, Okinawa diproduksi menjadi kawasan singgahan untuk menyerbu ke pulau-pulau utama di Jepang.[2] Setelah kekalahan Jerman, Uni Soviet diam-diam mulai mengerahkan kembali pasukan tempur Eropa-nya ke Timur Jauh, di samping sekitar empat puluh divisi yang telah diletakkan di sana sejak tahun 1941, sebagai penyeimbang kekuataan jutaan Tentara Kwantung.[3]

Operasi kapal-kapal selam Sekutu dan penyebaran ranjau di lepas pantai Jepang telah menghancurkan sebagian mulia armada dagang Jepang. Sebagai negara dengan sedikit sumber daya lingkungan kehidupan, Jepang bergantung kepada bahan mentah yang diimpor dari daratan Asia dan dari wilayah pendudukan Jepang di Hindia Belanda, terutama minyak bumi.[4] Penghancuran armada dagang Jepang, ditambah dengan pengeboman strategis kawasan industri di Jepang telah meruntuhkan ekonomi perang Jepang. Produksi batu bara, besi, besi baja, karet, dan pasokan bahan mentah lainnya hanya tersedia dalam banyak kecil dibandingkan pasokan sebelum perang.[5][6]

Apa yang dilakukan oleh Jepang terhadap Indonesia setelah menyerah kepada Sekutu

Kapal tempur Jepang Haruna karam di tempat bersandarnya di pangkalan angkatan laut Kure pada peristiwa Pengeboman Kure 24 Juli 1945.

Sebagai dampak kerugian yang dialami, daya Angkatan Laut Kekaisaran Jepang secara efektif sudah habis. Setelah serangkaian pengeboman Sekutu di galangan kapal Jepang di Kure, Prefektur Hiroshima, kapal-kapal perang Jepang yang tersisa hanyalah enam kapal induk, empat kapal penjelajah, dan satu kapal tempur. Namun, semua kapal tersebut tidak memiliki bahan bakar yang cukup. Walaupun sedang telah tersedia 19 kapal perusak dan 38 kapal selam yang sedang operasional, pengoperasian mereka menjadi terbatas dampak kekurangan bahan bakar.[7][8]

Persiapan pertahanan

Menghadapi probabilitas penyerbuan Sekutu ke pulau-pulau utama Jepang, dimulai dari Kyushu, Jurnal Perang Markas Mulia Kekaisaran menyimpulkan,

Kami tidak dapat lagi memimpin perang dengan telah tersedia sedikit pun hasrat untuk menang. Satu-satunya jalan yang tersisa yaitu mengorbankan nyawa seratus juta rakyat Jepang sebagai bom hidup agar musuh kehilangan semangat bertempur.[9]

Sebagai usaha darurat yang terakhir untuk menghentikan gerak maju Sekutu, Komando Tertinggi Kekaisaran Jepang merencanakan pertahanan Kyushu secara habis-habisan. Usaha yang dinamakan dengan sandi Operasi Ketsu-Go [10] ini dimaksudkan sebagai perubahan strategi yang radikal. Pautan dari sistem pertahanan berlapis seperti yang dipakai sewaktu menginvasi Peleliu, Iwo Jima, dan Okinawa, kali ini semuanya dipertaruhkan di pantai. Sebelum pasukan dan perlengkapan didaratkan transpor amfibi di pantai, mereka hendak diserang oleh 3.000 pesawat kamikaze.[8]

Bila strategi ini tidak mengusir Sekutu, Jepang hendak mengerahkan 3.500 pesawat kamikaze tambahan berikut 5.000 kapal bunuh diri Shin'yō ditemani kapal-kapal perusak dan kapal-kapal selam yang sedang tersisa--hingga kapal terakhir yang operasional--untuk menghancurkan Sekutu. Bila Sekutu menang dalam pertempuran di pantai dan sukses mendarat di Kyushu, hanya hendak tersisa 3.000 pesawat untuk mempertahankan pulau-pulau Jepang yang lain. Walaupun demikian, Kyushu hendak dipertahankan "hingga titik darah penghabisan".[8] Strategi membikin pertahanan terakhir di Kyushu didasarkan pada asumsi bahwa Uni Soviet hendak tetap mempertahankan netralitas.[11]

Serangkaian gua digali tidak jauh Nagano di Honshu. Gua-gua yang disebut Markas Mulia Kekaisaran Bawah Tanah Matsushiro tersebut hendak diproduksi menjadi Markas Angkatan Darat pada saat terjadinya invasi Sekutu serta rumah perlindungan untuk Kaisar Jepang dan keluarganya.[12]

Dewan Penasihat Militer

Pengambilan keputusan perang Jepang berpusat di Dewan Penasihat Militer yang beranggotakan enam pejabat tinggi: perdana menteri, menteri luar negeri, menteri angkatan darat, menteri angkatan laut, kepala staf umum angkatan darat, dan kepala staf umum angkatan laut.[13] Saat kabinet pemerintah Suzuki terbentu pada April 1945, keanggotaan dewan terdiri dari:

Apa yang dilakukan oleh Jepang terhadap Indonesia setelah menyerah kepada Sekutu

Kabinet Suzuki, Juni 1945

  • Perdana Menteri Laksamana Kantarō Suzuki
  • Menteri Luar Negeri Shigenori Tōgō
  • Menteri Angkatan Darat Jenderal Korechika Anami
  • Menteri Angkatan Laut Laksamana Mitsumasa Yonai
  • Kepala Staf Umum Angkatan Darat Jenderal Yoshijirō Umezu
  • Kepala Staf Umum Angkatan Laut Laksamana Koshirō Oikawa (kemudian ditukar oleh Laksamana Soemu Toyoda)

Secara hukum, Angkatan Darat dan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang memiliki hak untuk mencalonkan (atau menolak pencalonan) masing-masing menteri. Sebagai akhirnya, Jepang dapat menghindari pembentukan pemerintahan yang tidak diingini, atau terjadinya pengunduran diri yang dapat menjatuhkan pemerintah yang sedang berlangsung.[14][15]

Kaisar Hirohito dan Penjaga Cap Pribadi Kaisar Kōichi Kido juga hadir di beberapa pertemuan, setelah dimohon Kaisar.[16] Seperti yang dilaporkan Iris Chang, "Jepang sengaja menghancurkan, menyembunyikan, atau memalsukan sebagian dari dokumen rahasia perang mereka"[17][18]

Perbedaan pendapat di kalangan pemimpin Jepang

Kabinet Suzuki, dalam berbagai bidang, lebih menentukan meneruskan perang. Untuk Jepang, kapitulasi nyaris tidak terpikirkan. Dalam 2000 tahun sejarahnya, Jepang tidak pernah diinvasi bangsa asing atau kalah dalam perang.[19] Hanya Menteri Angkatan Laut Mitsumasa Yonai yang dikenal memiliki hasrat untuk mengakhiri perang.[20] Menurut sejarawan Richard B. Frank:

Walaupun Suzuki pastinya melihat perdamaian sebagai tujuan jangka panjang, beliau tidak memiliki rencana untuk mewujudkannya dalam jangka waktu tidak jauh atau dengan syarat-syarat yang dapat diterima Sekutu. Komentarnya dalam konferensi negarawan senior tidak memberikan tanda-tanda dirinya menginginkan akhir-akhirnyanya perang lebih awal ... . ; Pilihan Suzuki untuk pos-pos kabinet yang paling penting, dengan pengecualian satu orang, bukanlah juga tokoh pendukung perdamaian.[21]

Seusai perang, Perdana Menteri Suzuki dan pejabat lain dari pemerintahannya mengaku mereka secara rahasia merundingkan perdamaian, tapi secara buka tidak dapat mengumumkannya. Mereka mengutip pemikiran Jepang tentang haragei (seni mengadakan komunikasi dengan sikap dan daya kepribadian dan bukan melewati kata-kata) untuk membenarkan ketidakselarasan selang sikap yang dibuat di muka umum dan perkara di balik layar. Namun, sebagian sejarawan menolak interpretasi ini. Robert J. C. Butow menulis:

Berlandaskan gagasan yang sangat ambigu, pembelaan soal haragei menimbulkan kecurigaan bahwa dalam masalah politik dan diplomasi, secara sadar menggantungkan diri pada seni menggertak mungkin dapat dianggap sebagai pengelabuan disengaja yang dianggarkan didasarkan hasrat mengadu domba untuk keuntungan sendiri. Walaupun keputusan ini tidak sesuai dengan kepribadian Laksamana Suzuki yang banyak dipuji, pada kenyataannya dari saat beliau diangkatkan sebagai perdana menteri sampai hari beliau mengundurkan diri, tidak telah tersedia seorang pun yang dapat memastikan apa yang berikutnya hendak diceritakan atau dilakukan Suzuki.[22]

Pemimpin Jepang selalu menginginkan penyelesaian perang dengan negosiasi. Perencanaan praperang mereka mengharapkan perluasan wilayah secara cepat, konsolidasi, konflik yang tidak terhindarkan dengan Amerika Serikat, dan penyelesaian perang yang memungkinkan Jepang mempertahankan paling tidak beberapa wilayah baru yang telah mereka duduki.[23] Pada tahun 1945, pemimpin-pemimpin Jepang sepakat bahwa perang tidak berlangsung dengan lancar, tetapi mereka tidak sepakat mengenai cara-cara terbaik dalam bernegosiasi untuk mengakhiri perang. Kalangan pemimpin Jepang terbelah menjadi dua kubu. Faksi "damai" menginginkan inisiatif diplomatik dengan membujuk pemimpin Uni Soviet Joseph Stalin agar berperan sebagai mediator penyelesaian perang selang Jepang dan Amerika Serikat beserta sekutunya. Sebaliknya, faksi garis keras lebih menentukan bertempur dalam satu pertempuran terakhir yang "menentukan" sampai jatuh korban begitu banyak di pihak Sekutu yang mengakibatkan mereka mau menawarkan syarat-syarat yang lebih lunak.[24] Kedua kubu terbentuk berlandaskan pengalaman Jepang dalam Perang Rusia-Jepang empat puluh tahun sebelumnya. Dalam perang tersebut terjadi serangkaian pertempuran yang memakan kerugian mulia yang tidak menentukan pemenang, tetapi diakhiri oleh Pertempuran Tsushima yang dimenangkan Jepang.[25]

Apa yang dilakukan oleh Jepang terhadap Indonesia setelah menyerah kepada Sekutu

Laksamana Kantarō Suzuki menjabat Perdana Menteri Jepang dalam bulan-bulan sebelum perang akhir-akhirnya.

Pada kemudian Januari 1945, beberapa pejabat Jepang yang tidak jauh dengan Kaisar mempertimbangkan syarat-syarat kapitulasi yang hendak melindungi kedudukan Kaisar Jepang. Proposal-proposal yang dikirim melewati aliran Amerika Serikat dan Inggris tersebut disusun oleh Jenderal Douglas MacArthur menjadi dokumen 40 halaman, dan kemudian, pada 2 Februari, dua hari sebelum Konferensi Yalta, diberikan kepada Presiden Franklin D. Roosevelt. Menurut laporan, dokumen tersebut dihalau oleh Roosevelt tanpa pertimbangan apa pun. Semua proposal mencakup syarat bahwa kedudukan kaisar tetap dipertahankan, walaupun mungkin sebagai penguasa boneka. Namun pada saat itu, kebijakan Sekutu hanyalah menerima penyerahan tanpa syarat.[26] Selain itu, proposal-proposal ini dihalau keras oleh pejabat pemerintahan Jepang yang berpengaruh, dan oleh karena itu tidak dapat diceritakan mewakili hasrat Jepang yang sebenarnya untuk menyerah pada waktu itu.[27]

Pada Februari 1945, Pangeran Fumimaro Konoe memberi Kaisar Hirohito sebuah memorandum yang menganalisis situasi dan menyampaikan kepada Hirohito bahwa bila perang diteruskan, kekaisaran hendak menghadapi revolusi internal yang lebih berbahaya daripada kalah dalam perang.[28] Menurut buku harian Pengurus Rumah Tangga Kaisar Hisanori Fujita, Kaisar yang menunggu pertempuran menentukan (tennōzan) menjawab bahwa sedang terlalu dini menawarkan perdamaian, "Kecuali kita membikin satu lagi kemenangan militer."[29] Sedang pada bulan Februari tahun yang sama, divisi kontrak Jepang menulis tentang kebijakan Sekutu terhadap Jepang mengenai "penyerahan tanpa syarat, pendudukan, perlucutan senjata, penghapuskan militerisme, reformasi demokrasi, hukuman untuk penjahat perang, dan status kaisar."[30] Pelucutan senjata oleh Sekutu, penjatuhan hukuman untuk penjahat perang Jepang, dan khususnya pendudukan dan penghapusan kedudukan kaisar tidak diterima oleh pimpinan Jepang.[31][32]

Pada 5 April, Uni Soviet mengumumkan tidak hendak memperbarui Pakta Netralitas Soviet-Jepang[33] yang ditandatangani tahun 1941 setelah terjadinya Peristiwa Nomonhan.[34] Pada Konferensi Yalta Februari 1945, negara-negara Barat yang tergabung dalam Sekutu telah menyepakati konsesi yang substansial dengan Soviet untuk mengamankan akad dari Soviet untuk menyatakan perang terhadap Jepang tidak lebih dari tiga bulan setelah Jerman menyerah. Walaupun secara hukum Pakta Netralitas tetap berlangsung sampai setahun setelah Uni Soviet membatalkannya (hingga 5 April 1946), pembatalan sepihak ini secara jelas tetapi terselubung menunjukkan niat perang Uni Soviet.[35] Menteri Luar Negeri Rusia Vyacheslav Molotov, di Moskow, dan Yakov Malik, duta mulia Soviet di Tokyo, sungguh-sungguh mencoba meyakinkan Jepang bahwa "masa berlangsung Pakta tersebut belum berakhir".[36]

Apa yang dilakukan oleh Jepang terhadap Indonesia setelah menyerah kepada Sekutu

Menteri Luar Negeri Shigenori Tōgō

Pada serangkaian rapat tingkat tinggi pada bulan Mei 1965, keenam bagian Dewan Penasihat Militer dengan serius membahas cara mengakhiri perang. Namun tidak seorang pun dari mereka setuju dengan syarat-syarat yang diajukan Sekutu. Mengingat siapa pun yang secara buka mendukung kapitulasi Jepang terancam bahaya pembunuhan oleh perwira angkatan darat yang sangat setia, rapat-rapat tersebut tertutup untuk siapa pun kecuali keenam bagian Dewan Penasihat Militer, Kaisar, dan penjaga cap pribadi kaisar. Tidak telah tersedia perwira eselon dua atau eselon tiga yang diizinkan hadir.[37] Pada rapat-rapat tersebut, hanya Menteri Luar Negeri Tōgō yang menyadari probabilitas sekutu negara-negara Barat sudah membikin konsesi dengan Soviet untuk mengajak mereka bertempur melawan Jepang.[38] Sebagai hasil rapat-rapat tersebut, Tōgō diberi wewenang untuk mendekati Uni Soviet, memohon mereka untuk tetap mempertahankan netralitas, atau lebih fantastis lagi, mau membentuk aliansi.[39]

Sejalan dengan tradisi pemerintahan baru mengumumkan tujuan-tujuan mereka, setelah rapat bulan Mei selesai, staf Angkatan Darat mengeluarkan dokumen berjudul "Kebijakan Fundamental untuk Disertai Selanjutnya dalam Melaksanakan Perang" yang menyatakan rakyat Jepang hendak berjuang sampai punah daripada menyerah. Kebijakan ini diadopsi oleh Dewan Penasihat Militer pada 6 Juni (Tōgō menentangnya, sementara kelima bagian lain mendukung).[40] Dokumen-dokumen yang diajukan Suzuki pada pertemuan yang sama menyarankan bahwa dalam usaha awal diplomatik dengan Uni Soviet, Jepang mengambil pendekatan sebagai berikut:

Rusia harus diberi kenal dengan jelas bahwa kemenangannya atas Jerman yaitu berkat Jepang, karena kita tetap netral, dan Soviet hendak diuntungkan bila membantu Jepang mempertahankan posisinya di lingkungan kehidupan internasional, karena musuh mereka di masa depan yaitu Amerika Serikat.[41]

Pada 9 Juni, orang keyakinan kaisar Kōichi Kido menulis "Rancangan Rencana Pengendalian Situasi Krisis" yang memperingatkan bahwa pada kemudian tahun kemampuan Jepang untuk memainkan perang modern hendak habis dan pemerintah hendak tidak mampu mengemudikan kerusuhan sipil. ".... Kita tidak kenal pasti apakah kita hendak bernasib sama seperti Jerman dan terjatuh dalam keadaan yang sulit sampai kita tidak dapat mencapai tujuan tertinggi menjaga Rumah Tangga Kekaisaran dan mempertahankan tata negara nasional."[42] Kido mengusulkan Kaisar sendiri ikut ambil bagian, dengan menawarkan untuk mengakhiri perang dengan "syarat-syarat yang sangat murah hati". Kido mengusulkan Jepang melepaskan wilayah yang dijajah Eropa, asalkan mereka diberi kemerdekaan, dan negara kita dilucuti, serta untuk sementara harus "puas dengan pertahanan minimum". Berbekal penugasan Kaisar, Kido mendekati beberapa bagian Dewan Penasihat Militer. Tōgō sangat mendukung. Suzuki dan Menteri Angkatan Laut Laksamana Mitsumasa Yonai keduanya sangat bersiap-siap mendukung; masing-masing meminta keterangan dalam hati, apa yang dipikirkan satu sama lain. Menteri Angkatan Darat Jenderal Korechika Anami bersikap ambivalen, bersikeras diplomasi harus menunggu "hingga Amerika Serikat menderita kerugian besar" dalam Operasi Ketsu-Go.[43]

Pada bulan Juni 1845, Kaisar sudah kehilangan keyakinan terhadap kesempatan mencapai kemenangan militer. Jepang sudah kalah dalam Pertempuran Okinawa. Kaisar juga sudah mendapat kabar tentang kelemahan angkatan darat di Cina, begitu pula soal angkatan laut dan angkatan darat yang mempertahankan pulau-pulau utama Jepang. Kaisar menerima laporan dari Pangeran Higashikuni; darinya Kaisar mengambil kesimpulan bahwa "bukan saja pertahanan lepas pantai, divisi yang tersedia untuk diterjunkan di pertempuran yang menentukan juga tidak memiliki banyak senjata yang memadai."[44] Menurut Kaisar:

Kita sudah diberi kenal besi asal bom yang dijatuhkan musuh sudah digunakan untuk membikin sekop. Hal ini berfaedah kita tidak ada dalam posisi melanjutkan perang.[44]

Pada 22 Juni, kaisar memanggil keenam bagian Dewan Penasihat Militer untuk rapat. Tidak seperti kebanyakan, Kaisar buka pembicaraan: "Kita menginginkan rencana konkrit untuk mengakhiri perang, tanpa dirintangi kebijakan yang telah tersedia, hendak dipelajari dengan cepat dan usaha-usaha dilakukan untuk mengimplementasikannya."[45] Pertemuan menyetujui untuk mengundang pertolongan Soviet dalam mengakhiri perang. Negara-negara netral lain seperti Swiss, Swedia, dan Vatikan dikenal berniat memainkan peranan dalam membuat perdamaian, tapi mereka terlalu kecil sampai mereka tidak dapat memainkan lebih dari sekadar menyampaikan syarat-syarat kapitulasi Sekutu serta penerimaan atau penolakan dari Jepang. Uni Soviet diharapkan dapat dibujuk untuk berperan sebagai perwakilan Jepang dalam bernegosiasi dengan Sekutu Barat.[46]

Usaha berurusan dengan Uni Soviet

Apa yang dilakukan oleh Jepang terhadap Indonesia setelah menyerah kepada Sekutu

Naotake Satō

Pada 30 Juni, Tōgō memerintahkan Duta Mulia Jepang untuk Moskwa Naotake Satō untuk berupaya membuat "hubungan persahabatan yang erat dan tidak berkesudahan." Satō bermaksud membicarakan status Manchuria dan "masalah apa saja yang hendak diangkatkan Rusia."[47] Satō akhir-akhirnya berjumpa dengan Menteri Luar Negeri Soviet Vyacheslav Molotov pada 11 Juli, namun pertemuan tidak menghasilkan apa-apa. Pada 12 Juli, Tōgō memerintahkan Satō untuk menyampaikan kepada Soviet bahwa,

Yang Mulia Kaisar mempertimbangkan fakta bahwa perang yang sekarang dari hari ke hari membawa kemalangan dan pengorbanan untuk rakyat dari semua pihak-pihak yang bertempur, hasrat dari dalam hati agar dapat segera dihentikan. Namun selama Inggris dan Amerika Serikat bersikeras soal penyerahan tanpa syarat, Kekaisaran Jepang tidak punya pilihan lain kecuali bertempur dengan segenap tenaga untuk kehormatan dan keberlangsungan tanah air.[48]

Kaisar mengusulkan untuk mengirim Pangeran Konoe sebagai Utusan Luar Biasa, walaupun beliau tidak dapat tiba di Moskwa sebelum dimulainya Konferensi Potsdam.

Satō memberi kenal Tōgō bahwa dalam kenyataan, Jepang hanya dapat mengharapkan "penyerahan tanpa syarat atau syarat-syarat yang nyaris setara ke situ". Lebih jauh lagi Satō mengatakan bahwa pesan-pesan Tōgō "tidak jelas soal pandangan pemerintah dan militer dalam hal penghentian perang," serta mempertanyakan apakah inisiatif Tōgō didukung oleh unsur-unsur kunci dalam bangun kekuasaan Jepang.[49]

Pada 17 Juli, Tōgō menjawab,

Walaupun para penguasa, dan juga pemerintah yakin bahwa daya perang kita sedang dapat menimbulkan pukulan berfaedah terhadap musuh, kami tidak dapat merasakan kedamaian hati yang betul-betul pasti. ... .. Namun, mohon betul-betul diingat, bahwa kita tidak memohon mediasi Rusia untuk hal-hal seperti penyerahan tanpa syarat.[50]

Dalam jawabannya, Satō memperjelas,

Sudah benda/barang tentu dalam pesan diri sendiri sebelumnya menyebut penyerahan tanpa syarat atau syarat-syarat yang nyaris setara, diri sendiri membikin pengecualian soal mempertahankan [Rumah Tangga Kekaisaran].[51]

Pada 21 Juli, berucap atas nama kabinet, Tōgō mengulangi,

Mengenai soal penyerahan tanpa syarat kami tidak dapat menyetujuinya berlandaskan keadaan bagaimana pun. ... .. Dalam usaha menghindari keadaan seperti itu kita sedang mencari damai, ... .. melewati afal yang berguna patut Rusia. ... .. Ditinjau dari sudut pandang dalam negeri dan luar negeri, membikin pernyataan segera tentang syarat-syarat tertentu yaitu merugikan dan tidak mungkin.[52]

Berbakat kriptografi Amerika Serikat yang bergabung dalam Proyek Magic telah memecahkan sebagian mulia sandi Jepang, termasuk kode Purple yang dipakai oleh kantor-kantor perwakilan Jepang untuk menyandikan koresponden diplomatik. Sebagai akhirnya, pesan selang Tokyo dan kedutaan-kedutaan Jepang bocor ke pemimpin Sekutu nyaris sama cepatnya dengan penerima di alamat tujuan.[53]

Maksud-maksud Soviet

Urusan keamanan mendominasi keputusan Soviet soal Timur Jauh.[54] Di selang hasrat yang paling utama yaitu memperoleh akses tidak terbatas ke Samudra Pasifik. Kawasan lepas pantai Soviet di Pasifik yang lepas es sepanjang tahun, khususnya Vladivostok, dapat diblokade melewati udara dan laut dari Sakhalin dan Kepulauan Kuril. Bila keduanya didapatkan berfaedah Rusia memperoleh akses lepas ke Selat Soya yang memang menjadi sasaran utama.[55][56] Sasaran kedua yaitu kontrak kontrak Jalur Kereta Api Timur Jauh Cina, Jalur Kereta Api Manchuria Selatan, Dairen, dan Lushun.[57]

Untuk mencapai tujuannya, Stalin and Molotov dengan semangat bernegosiasi dengan Jepang, memberikan Jepang hasrat palsu hendak perdamaian dengan Uni Soviet sebagai mediator.[58] Pada saat yang bersamaan, dalam transaksi Soviet dengan Amerika Serikat dan Inggris, Soviet bersikeras untuk secara sempit menaati Deklarasi Kairo, ditegaskan kembali di Konferensi Yalta bahwa Sekutu tidak hendak menerima perdamaian bersyarat atau perdamaian sendiri-sendiri dengan Jepang. Kepada semua negara-negara Sekutu, Jepang harus menyerah tanpa syarat. Untuk memperpanjang perang, Uni Soviet menentang semua upaya yang dilakukan untuk memperlunak syarat-syarat kapitulasi.[58] Bila perang tidak segera selesai, Uni Soviet sedang punya cukup waktu untuk memindahkan pasukan-pasukan mereka ke ajang perang Pasifik, untuk selanjutnya merebut Sakhalin, Kepulauan Kuril, dan probabilitas Hokkaido[59] (invasi dimulai dengan pendaratan di Rumoi, Hokkaido).[60]

Proyek Manhattan

Pada 1939, Albert Einstein dan Leó Szilárd menulis sepucuk surat kepada Presiden Roosevelt yang mendesaknya untuk mendanai penelitian dan pengembangan bom atom. Roosevelt setuju dan akhirnya yaitu proyek riset sangat rahasia yang disebut Proyek Manhattan. Proyek ini dipimpin Jenderal Leslie Groves dengan J. Robert Oppenheimer sebagai direktur pengarah bidang ilmiah. Bom atom pertama dengan sukses diledakkan dalam percobaan Trinity 16 Juli 1945.

Sementara proyek nyaris akhir-akhirnya, pemimpin perang Amerika mulai mempertimbangkan untuk menggunakan bom atom terhadap Jepang. Groves membentuk komite pencari sasaran yang berjumpa pada bulan April dan Mei 1945. Komite ini menyusun daftar sasaran bom atom. Mereka menentukan 18 kota-kota di Jepang. Masuk dalam daftar di urutan paling atas yaitu Kyoto, Hiroshima,[61] Yokohama, Kokura, dan Niigata.[62][63] Pada akhir-akhirnya Kyoto dihapus dari daftar atas desakan Menteri Perang Henry L. Stimson yang pernah mengunjungi Kyoto sewaktu bulan madu, dan mengetahui kota ini sangat penting dalam bidang kebiasaan istiadat dan sejarah.[64]

Pada bulan Mei, Harry S. Truman diangkatkan sebagai Presiden Amerika Serikat yang baru setelah Franklin Roosevelt wafat pada 16 April 1945. Truman menyetujui pembentukan komite Interim, sebuah kumpulan penasihat yang melapor mengenai bom atom.[63] Komite Interim terdiri dari George L. Harrison, Vannevar Bush, James Bryant Conant, Karl Taylor Compton, William L. Clayton, dan Ralph Austin Bard, serta dibantu dewan penasihat yang terdiri dari ilmuwan Oppenheimer, Enrico Fermi, Ernest Lawrence, dan Arthur Compton. Dalam laporan tanggal 1 Juni 1945, komite berkesimpulan bom atom harus digunakan secepat mungkin terhadap instalasi-instalasi perang berikut rumah-rumah pekerja di sekelilingnya, dan tidak perlu memberi peringatan atau peragaan sebelumnya.[65]

Mandat yang diberikan kepada komite tidak termasuk penggunaan bom atom, walaupun penggunaannya sudah dianggarkan bila sudah selesai.[66] Komite mengkaji kembali penggunaan bom atom setelah telah tersedia protes dalam susunan Laporan Franck dari ilmuwan Proyek Manhattan. Pada rapat 21 Juni, komite menegaskan kembali bahwa tidak telah tersedia alternatif lain selain menggunakan bom atom.[67]

Acara-acara di Potsdam

Pemimpin daya utama Sekutu berjumpa dalam Konferensi Potsdam 16 Juli-2 Agustus 1945. Uni Soviet, Kerajaan Bersatu, dan Amerika Serikat, masing-masing diwakili oleh Stalin, Winston Churchill (kemudian Clement Attlee), dan Truman.

Negosiasi

Perang melawan Jepang yaitu salah satu dari berbagai isu yang diceritakan di Potsdam. Truman mendapat berita tentang suksesnya percobaan Trinity pada awal konferensi, dan menyampaikan informasi tersebut ke delegasi Inggris. Kesuksesan percobaan bom atom menyebabkan delegasi Amerika Serikat mempertimbangkan kembali mengenai perlunya partisipasi Soviet (seperti dijanjikan di Yalta).[68] Prioritas teratas Sekutu yaitu mempersingkat perang dan mengurangi korban di pihak Amerika Serikat. Kedua hal tersebut mungkin dapat dibantu dengan telah tersedianya campur tangan Uni Soviet, namun probabilitas harus dibayar dengan membolehkan Soviet mencaplok wilayah-wilayah di luar wilayah yang dijanjikan untuk mereka di Yalta, dan mungkin Jepang hendak terbagi dua seperti Jerman.[69]

Dalam kesepakatan dengan Stalin, Truman memutuskan untuk memberikan pemimpin Soviet kabar tentang keberadaan senjata baru yang kuat tanpa memberitahukan rinciannya. Namun, Sekutu lainnya tidak menyadari bahwa intelijen Soviet telah menyusup dalam Proyek Manhattan pada tahap awal, sehingga ketika Stalin mengetahui keberadaan bom atom, beliau tidak terkesan dengan potensinya.[70]

Deklarasi Potsdam

Pemimpin negara-negara utama Sekutu memutuskan untuk mengeluarkan pernyataan yang disebut Deklarasi Potsdam yang menetapkan "penyerahan tanpa syarat" dan memperjelas guna kapitulasi Jepang untuk kedudukan kaisar dan untuk Hirohito secara pribadi. Pemerintah Amerika Serikat dan Inggris saling bertentangan mengenai butir terakhir. Amerika Serikat berhasrat menghapus posisi kaisar dan probabilitas mengadilinya sebagai penjahat perang. Sebaliknya, Inggris berhasrat mempertahankan posisi kaisar, mungkin dengan Hirohito yang tetap bertahta. Pernyataan-pernyataan dalam rancangan Deklarasi Potsdam mengalami berbagai revisi sebelum versi yang diterima kedua belah pihak selesai.[71]

Pada 26 Juli 1945, Amerika Serikat, Inggris, dan Cina merilis Deklarasi Potsdam yang telah tersedia isinya syarat-syarat kapitulasi Jepang dengan peringatan, "Kami tidak hendak menyimpang dari ketentuan-ketentuan ini. Tidak telah tersedia alternatif. Kami tidak membolehkan telah tersedianya penundaan." Untuk Jepang, deklarasi menetapkan syarat-syarat sebagai berikut:

  • Penghapusan "selama-lamanya dari kekuasaan dan pengaruh tokoh-tokoh yang telah menipu dan menyesatkan rakyat Jepang ke arah dimulainya penaklukan dunia"
  • Pendudukan "titik-titik dalam wilayah Jepang yang hendak ditentukan oleh Sekutu"
  • "Kedaulatan Jepang hendak dibatasi pada pulau-pulau Honshu, Hokkaido, Kyushu, dan Shikoku, serta pulau-pulau kecil seperti yang kami tetapkan." Seperti telah diumumkan dalam Deklarasi Kairo 1943, wilayah-wilayah Jepang hendak disita sampai wilayah sebelum perang, termasuk Korea dan Taiwan, begitu pula wilayah-wilayah jajahannya baru-baru ini.
  • "Daya militer Jepang harus sepenuhnya dilucuti"
  • "Keadilan yang keras harus dijatuhkan kepada semua penjahat perang, termasuk semua yang telah memainkan kekejaman terhadap orang kita yang ditawan".

Di lain pihak, deklarasi menegaskan bahwa:

  • "Kami tidak bermaksud memperbudak Jepang sebagai suatu ras atau menghancurkannya sebagai suatu bangsa, ... .. Pemerintah Jepang harus menghapus semua penghalang untuk kebangkitan dan makin menguatnya kecenderungan demokrasi di selang rakyat Jepang. Kebebasan berucap, beragama, dan berpikir, begitu pula peghormatan untuk hak asasi manusia yang fundamental harus ditegakkan."
  • "Jepang harus dibolehkan memiliki industri-industri yang hendak menunjang ekonomi dan memungkinkan untuk membayar tuntutan pampasan yang serupa dan tidak sewenang-wenang, ... .. Partisipasi Jepang dalam hubungan dagang internasional harus dibolehkan."
  • "Kesatuan pendudukan Sekutu hendak ditarik dari Jepang segera setelah tujuan-tujuan tersebut dicapai dan telah berdirinya sebuah pemerintahan yang bertanggung jawab dan hadir tujuan damai sesuai dengan hasrat rakyat Jepang yang diungkapkan secara lepas."

Satu-satunya pasal yang menyebut tentang "penyerahan tanpa syarat" dicantumkan pada kemudian deklarasi:

  • "Kami mengimbau pemerintah Jepang untuk menyatakan sekarang juga kapitulasi tanpa syarat dari semua angkatan bersenjata Jepang, dan untuk menunjukkan jaminan yang cukup dan layak atas maksud patut mereka terhadap hal tersebut. Pilihan lain untuk Jepang yaitu "penghancuran sepenuhnya dan segera."

Tidak dituturkan tentang Kaisar Hirohito apakah termasuk ke dalam salah satu dari tokoh yang "menyesatkan rakyat Jepang", atau juga seorang penjahat perang, bahkan sebaliknya bagian dari "pemerintah yang bertanggung jawab dan berkeinginan damai". Pasal "penghancuran sepenuhnya dan segera" probabilitas yaitu peringatan terselubung soal kepemilikan bom atom oleh Amerika Serikat (yang telah dicobakan dengan sukses pada ahad konferensi).[72]

Reaksi Jepang

Pada 27 Juli, pemerintah Jepang menimbang-nimbang cara menanggapi Deklarasi Potsdam. Empat tokoh militer dari Dewan Penasihat Militer bermaksud menolaknya, tapi Tōgō membujuk kabinet untuk tidak memainkannya sampai beliau mendapat reaksi dari Uni Soviet. Dalam sebuah telegram, Duta Mulia Jepang untuk Swiss Shunichi Kase berpendapat bahwa penyerahan tanpa syarat hanya berlangsung untuk militer dan bukan untuk pemerintah atau rakyat, dan beliau minta agar dipahami bahwa pemilihan bahasa yang hati-hati dalam Deklarasi Potsdam sepertinya "telah mengalami pemikiran yang mendalam" dari pihak pemerintah-pemerintah yang menandatanganinya--"mereka rupa-rupanya telah bersusah payah berupaya menyelamatkan muka kita pada berbagai pasal-pasal."[73] Pada hari berikutnya, surat-surat kabar Jepang melaporkan bahwa Jepang telah menolak inti Deklarasi Potsdam yang sebelumnya telah disiarkan dan dijatuhkan sebagai selebaran udara di atas Jepang. Dalam usaha mengatasi persepsi publik, Perdana Menteri Suzuki berjumpa dengan pers, dan memberi pernyataan,

Diri sendiri menganggap Proklamasi Bersama sebagai pengulangan kembali Deklarasi di Konferensi Kairo. Mengenai hal tersebut, Pemerintah tidak menganggapnya memiliki nilai penting sama sekali. Salah satu hal yang dapat dilakukan yaitu mengabaikannya (mokusatsu). Kami tidak hendak memainkan apa-apa kecuali menanggungnya sampai kemudian untuk mendatangkan kemudian perang yang sukses.[74]

Guna kata mokusatsu yaitu mengabaikan atau tidak menanggapi.[74] Walaupun demikian, pernyataan Suzuki, terutama kalimat terakhir hanya menyisakan sedikit ruang untuk interpretasi yang salah. Pers Jepang dan pers luar negeri memberikan definisinya sebagai penolakan, dan tidak telah tersedia pernyataan lebih lanjut yang disampaikan ke muka umum atau aliran diplomatik untuk mengubah kesalahpahaman ini.

Pada 30 Juli, Duta Mulia Satō menulis bahwa Stalin probabilitas sedang berucap dengan Sekutu Barat mengenai transaksinya dengan Jepang. Menurut Satō, "Tidak telah tersedia alternatif selain penyerahan tanpa syarat dengan segera bila kita berhasrat mencegah partisipasi Rusia dalam perang."[75] Pada 2 Agustus, Tōgō menulis kepada Satō, "Sulit untuk Anda untuk mewujudkan hal itu ... .. terbatas waktu kita untuk berlangsung ke persiapan mengakhiri perang sebelum musuh mendarat di pulau-pulau utama Jepang, di lain pihak sulit untuk memutuskan syarat-syarat damai yang nyata di tanah air secara sekaligus."[76]

Hiroshima, Manchuria, dan Nagasaki

Hiroshima: 6 Agustus


Page 4

Menyerahnya Jepang pada bulan Agustus 1945 menandai kemudian Perang Lingkungan kehidupan II. Angkatan Laut Kekaisaran Jepang secara efektif sudah tidak telah tersedia sejak Agustus 1945, sementara invasi Sekutu ke Jepang hanya tinggal waktu. Walaupun hasrat untuk melawan sampai titik kemudian diberitahukan secara buka, pemimpin Jepang dari Dewan Penasihat Militer Jepang secara pribadi memohon Uni Soviet untuk memerankan sebagai mediator dalam kontrak damai dengan syarat-syarat yang menguntungkan Jepang. Sementara itu, Uni Soviet juga bersiap-siap untuk menyerang Jepang dalam usaha memenuhi akad kepada Amerika Serikat dan Inggris di Konferensi Yalta.

Pada 6 Agustus dan 9 Agustus, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Pada 9 Agustus, Uni Soviet melancarkan penyerbuan mendadak ke koloni Jepang di Manchuria (Manchukuo) yang melanggar Pakta Netralitas Soviet–Jepang. Kaisar Hirohito campur tangan setelah terjadi dua peristiwa mengejutkan tersebut, dan memerintahkan Dewan Penasihat Militer untuk menerima syarat-syarat yang ditawarkan Sekutu dalam Deklarasi Potsdam. Setelah berlangsung perundingan di balik layar selama beberapa hari, dan kudeta yang gagal, Kaisar Hirohito menyampaikan pidato radio di depan rakyat pada 15 Agustus 1945. Dalam pidato radio yang disebut Gyokuon-hōsō (Siaran Suara Kaisar), Hirohito membacakan Perintah Kekaisaran tentang kapitulasi, sekaligus mengumumkan kepada rakyat bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu.

Pendudukan Jepang oleh Komandan Tertinggi Sekutu dimulai pada 28 Agustus. Upacara kapitulasi dipersiapkan pada 2 September 1945 di atas kapal tempur Amerika Serikat Missouri. Dokumen Kapitulasi Jepang yang ditandatangani hari itu oleh pejabat pemerintah Jepang secara resmi mengakhiri Perang Lingkungan kehidupan II. Warga sipil dan bagian militer di negara-negara Sekutu merayakan Hari Kemenangan atas Jepang (V-J Day). Walaupun demikian, sebagian pos komando terpencil dan personel militer dari kesatuan di pelosok-pelosok Asia menolak untuk menyerah selama berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun setelah Jepang menyerah. Sejak kapitulasi Jepang, sejarawan terus berbantah tentang etika penggunaan bom atom. Perang selang Jepang dan Sekutu secara resmi akhir-akhirnya ketika Kontrak San Francisco mulai berlangsung pada tanggal 28 April 1952. Empat tahun kemudian Jepang dan Uni Soviet menandatangani Deklarasi Bersama Soviet–Jepang 1956 yang secara resmi mengakhiri perang selang kedua negara tersebut.

Kekalahan Jepang

Apa yang dilakukan oleh Jepang terhadap Indonesia setelah menyerah kepada Sekutu

Pendaratan Sekutu di Ajang Perang Operasi Samudra Pasifik, Agustus 1942 sampai Agustus 1945.

Pada tahun 1945, Jepang telah nyaris dua tahun beruntun mengalami kekalahan berkepanjangan di Pasifik Barat Daya, kampanye militer Mariana, dan kampanye militer Filipina. Pada Juli 1944 setelah Saipan jatuh, Jenderal Hideki Tōjō diangkatkan sebagai perdana menteri oleh Jenderal Kuniaki Koiso yang menyatakan Filipina sebagai tempat pertempuran berikutnya yang menentukan.[1] Setelah Filipina jatuh, giliran Koiso yang ditukar oleh Laksamana Kantarō Suzuki. Pada paruh pertama tahun 1945, Sekutu sukses merebut Iwo Jima dan Okinawa. Setelah direbut Sekutu, Okinawa diproduksi menjadi kawasan singgahan untuk menyerbu ke pulau-pulau utama di Jepang.[2] Setelah kekalahan Jerman, Uni Soviet diam-diam mulai mengerahkan kembali pasukan tempur Eropa-nya ke Timur Jauh, di samping sekitar empat puluh divisi yang telah diletakkan di sana sejak tahun 1941, sebagai penyeimbang kekuataan jutaan Tentara Kwantung.[3]

Operasi kapal-kapal selam Sekutu dan penyebaran ranjau di lepas pantai Jepang telah menghancurkan sebagian mulia armada dagang Jepang. Sebagai negara dengan sedikit sumber daya lingkungan kehidupan, Jepang bergantung kepada bahan mentah yang diimpor dari daratan Asia dan dari wilayah pendudukan Jepang di Hindia Belanda, terutama minyak bumi.[4] Penghancuran armada dagang Jepang, ditambah dengan pengeboman strategis kawasan industri di Jepang telah meruntuhkan ekonomi perang Jepang. Produksi batu bara, besi, besi baja, karet, dan pasokan bahan mentah lainnya hanya tersedia dalam banyak kecil dibandingkan pasokan sebelum perang.[5][6]

Apa yang dilakukan oleh Jepang terhadap Indonesia setelah menyerah kepada Sekutu

Kapal tempur Jepang Haruna karam di tempat bersandarnya di pangkalan angkatan laut Kure pada peristiwa Pengeboman Kure 24 Juli 1945.

Sebagai dampak kerugian yang dialami, daya Angkatan Laut Kekaisaran Jepang secara efektif sudah habis. Setelah serangkaian pengeboman Sekutu di galangan kapal Jepang di Kure, Prefektur Hiroshima, kapal-kapal perang Jepang yang tersisa hanyalah enam kapal induk, empat kapal penjelajah, dan satu kapal tempur. Namun, semua kapal tersebut tidak memiliki bahan bakar yang cukup. Walaupun sedang telah tersedia 19 kapal perusak dan 38 kapal selam yang sedang operasional, pengoperasian mereka menjadi terbatas dampak kekurangan bahan bakar.[7][8]

Persiapan pertahanan

Menghadapi probabilitas penyerbuan Sekutu ke pulau-pulau utama Jepang, dimulai dari Kyushu, Jurnal Perang Markas Mulia Kekaisaran menyimpulkan,

Kami tidak dapat lagi memimpin perang dengan telah tersedia sedikit pun hasrat untuk menang. Satu-satunya jalan yang tersisa yaitu mengorbankan nyawa seratus juta rakyat Jepang sebagai bom hidup agar musuh kehilangan semangat bertempur.[9]

Sebagai usaha darurat yang terakhir untuk menghentikan gerak maju Sekutu, Komando Tertinggi Kekaisaran Jepang merencanakan pertahanan Kyushu secara habis-habisan. Usaha yang dinamakan dengan sandi Operasi Ketsu-Go [10] ini dimaksudkan sebagai perubahan strategi yang radikal. Pautan dari sistem pertahanan berlapis seperti yang dipakai sewaktu menginvasi Peleliu, Iwo Jima, dan Okinawa, kali ini semuanya dipertaruhkan di pantai. Sebelum pasukan dan perlengkapan didaratkan transpor amfibi di pantai, mereka hendak diserang oleh 3.000 pesawat kamikaze.[8]

Bila strategi ini tidak mengusir Sekutu, Jepang hendak mengerahkan 3.500 pesawat kamikaze tambahan berikut 5.000 kapal bunuh diri Shin'yō ditemani kapal-kapal perusak dan kapal-kapal selam yang sedang tersisa--hingga kapal terakhir yang operasional--untuk menghancurkan Sekutu. Bila Sekutu menang dalam pertempuran di pantai dan sukses mendarat di Kyushu, hanya hendak tersisa 3.000 pesawat untuk mempertahankan pulau-pulau Jepang yang lain. Walaupun demikian, Kyushu hendak dipertahankan "hingga titik darah penghabisan".[8] Strategi membikin pertahanan terakhir di Kyushu didasarkan pada asumsi bahwa Uni Soviet hendak tetap mempertahankan netralitas.[11]

Serangkaian gua digali tidak jauh Nagano di Honshu. Gua-gua yang disebut Markas Mulia Kekaisaran Bawah Tanah Matsushiro tersebut hendak diproduksi menjadi Markas Angkatan Darat pada saat terjadinya invasi Sekutu serta rumah perlindungan untuk Kaisar Jepang dan keluarganya.[12]

Dewan Penasihat Militer

Pengambilan keputusan perang Jepang berpusat di Dewan Penasihat Militer yang beranggotakan enam pejabat tinggi: perdana menteri, menteri luar negeri, menteri angkatan darat, menteri angkatan laut, kepala staf umum angkatan darat, dan kepala staf umum angkatan laut.[13] Saat kabinet pemerintah Suzuki terbentu pada April 1945, keanggotaan dewan terdiri dari:

Apa yang dilakukan oleh Jepang terhadap Indonesia setelah menyerah kepada Sekutu

Kabinet Suzuki, Juni 1945

  • Perdana Menteri Laksamana Kantarō Suzuki
  • Menteri Luar Negeri Shigenori Tōgō
  • Menteri Angkatan Darat Jenderal Korechika Anami
  • Menteri Angkatan Laut Laksamana Mitsumasa Yonai
  • Kepala Staf Umum Angkatan Darat Jenderal Yoshijirō Umezu
  • Kepala Staf Umum Angkatan Laut Laksamana Koshirō Oikawa (kemudian ditukar oleh Laksamana Soemu Toyoda)

Secara hukum, Angkatan Darat dan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang memiliki hak untuk mencalonkan (atau menolak pencalonan) masing-masing menteri. Sebagai akhirnya, Jepang dapat menghindari pembentukan pemerintahan yang tidak diingini, atau terjadinya pengunduran diri yang dapat menjatuhkan pemerintah yang sedang berlangsung.[14][15]

Kaisar Hirohito dan Penjaga Cap Pribadi Kaisar Kōichi Kido juga hadir di beberapa pertemuan, setelah dimohon Kaisar.[16] Seperti yang dilaporkan Iris Chang, "Jepang sengaja menghancurkan, menyembunyikan, atau memalsukan sebagian dari dokumen rahasia perang mereka"[17][18]

Perbedaan pendapat di kalangan pemimpin Jepang

Kabinet Suzuki, dalam berbagai bidang, lebih menentukan meneruskan perang. Untuk Jepang, kapitulasi nyaris tidak terpikirkan. Dalam 2000 tahun sejarahnya, Jepang tidak pernah diinvasi bangsa asing atau kalah dalam perang.[19] Hanya Menteri Angkatan Laut Mitsumasa Yonai yang dikenal memiliki hasrat untuk mengakhiri perang.[20] Menurut sejarawan Richard B. Frank:

Walaupun Suzuki pastinya melihat perdamaian sebagai tujuan jangka panjang, beliau tidak memiliki rencana untuk mewujudkannya dalam jangka waktu tidak jauh atau dengan syarat-syarat yang dapat diterima Sekutu. Komentarnya dalam konferensi negarawan senior tidak memberikan tanda-tanda dirinya menginginkan akhir-akhirnyanya perang lebih awal ... . ; Pilihan Suzuki untuk pos-pos kabinet yang paling penting, dengan pengecualian satu orang, bukanlah juga tokoh pendukung perdamaian.[21]

Seusai perang, Perdana Menteri Suzuki dan pejabat lain dari pemerintahannya mengaku mereka secara rahasia merundingkan perdamaian, tapi secara buka tidak dapat mengumumkannya. Mereka mengutip pemikiran Jepang tentang haragei (seni mengadakan komunikasi dengan sikap dan daya kepribadian dan bukan melewati kata-kata) untuk membenarkan ketidakselarasan selang sikap yang dibuat di muka umum dan perkara di balik layar. Namun, sebagian sejarawan menolak interpretasi ini. Robert J. C. Butow menulis:

Berlandaskan gagasan yang sangat ambigu, pembelaan soal haragei menimbulkan kecurigaan bahwa dalam masalah politik dan diplomasi, secara sadar menggantungkan diri pada seni menggertak mungkin dapat dianggap sebagai pengelabuan disengaja yang dianggarkan didasarkan hasrat mengadu domba untuk keuntungan sendiri. Walaupun keputusan ini tidak sesuai dengan kepribadian Laksamana Suzuki yang banyak dipuji, pada kenyataannya dari saat beliau diangkatkan sebagai perdana menteri sampai hari beliau mengundurkan diri, tidak telah tersedia seorang pun yang dapat memastikan apa yang berikutnya hendak diceritakan atau dilakukan Suzuki.[22]

Pemimpin Jepang selalu menginginkan penyelesaian perang dengan negosiasi. Perencanaan praperang mereka mengharapkan perluasan wilayah secara cepat, konsolidasi, konflik yang tidak terhindarkan dengan Amerika Serikat, dan penyelesaian perang yang memungkinkan Jepang mempertahankan paling tidak beberapa wilayah baru yang telah mereka duduki.[23] Pada tahun 1945, pemimpin-pemimpin Jepang sepakat bahwa perang tidak berlangsung dengan lancar, tetapi mereka tidak sepakat mengenai cara-cara terbaik dalam bernegosiasi untuk mengakhiri perang. Kalangan pemimpin Jepang terbelah menjadi dua kubu. Faksi "damai" menginginkan inisiatif diplomatik dengan membujuk pemimpin Uni Soviet Joseph Stalin agar berperan sebagai mediator penyelesaian perang selang Jepang dan Amerika Serikat beserta sekutunya. Sebaliknya, faksi garis keras lebih menentukan bertempur dalam satu pertempuran terakhir yang "menentukan" sampai jatuh korban begitu banyak di pihak Sekutu yang mengakibatkan mereka mau menawarkan syarat-syarat yang lebih lunak.[24] Kedua kubu terbentuk berlandaskan pengalaman Jepang dalam Perang Rusia-Jepang empat puluh tahun sebelumnya. Dalam perang tersebut terjadi serangkaian pertempuran yang memakan kerugian mulia yang tidak menentukan pemenang, tetapi diakhiri oleh Pertempuran Tsushima yang dimenangkan Jepang.[25]

Apa yang dilakukan oleh Jepang terhadap Indonesia setelah menyerah kepada Sekutu

Laksamana Kantarō Suzuki menjabat Perdana Menteri Jepang dalam bulan-bulan sebelum perang akhir-akhirnya.

Pada kemudian Januari 1945, beberapa pejabat Jepang yang tidak jauh dengan Kaisar mempertimbangkan syarat-syarat kapitulasi yang hendak melindungi kedudukan Kaisar Jepang. Proposal-proposal yang dikirim melewati aliran Amerika Serikat dan Inggris tersebut disusun oleh Jenderal Douglas MacArthur menjadi dokumen 40 halaman, dan kemudian, pada 2 Februari, dua hari sebelum Konferensi Yalta, diberikan kepada Presiden Franklin D. Roosevelt. Menurut laporan, dokumen tersebut dihalau oleh Roosevelt tanpa pertimbangan apa pun. Semua proposal mencakup syarat bahwa kedudukan kaisar tetap dipertahankan, walaupun mungkin sebagai penguasa boneka. Namun pada saat itu, kebijakan Sekutu hanyalah menerima penyerahan tanpa syarat.[26] Selain itu, proposal-proposal ini dihalau keras oleh pejabat pemerintahan Jepang yang berpengaruh, dan oleh karena itu tidak dapat diceritakan mewakili hasrat Jepang yang sebenarnya untuk menyerah pada waktu itu.[27]

Pada Februari 1945, Pangeran Fumimaro Konoe memberi Kaisar Hirohito sebuah memorandum yang menganalisis situasi dan menyampaikan kepada Hirohito bahwa bila perang diteruskan, kekaisaran hendak menghadapi revolusi internal yang lebih berbahaya daripada kalah dalam perang.[28] Menurut buku harian Pengurus Rumah Tangga Kaisar Hisanori Fujita, Kaisar yang menunggu pertempuran menentukan (tennōzan) menjawab bahwa sedang terlalu dini menawarkan perdamaian, "Kecuali kita membikin satu lagi kemenangan militer."[29] Sedang pada bulan Februari tahun yang sama, divisi kontrak Jepang menulis tentang kebijakan Sekutu terhadap Jepang mengenai "penyerahan tanpa syarat, pendudukan, perlucutan senjata, penghapuskan militerisme, reformasi demokrasi, hukuman untuk penjahat perang, dan status kaisar."[30] Pelucutan senjata oleh Sekutu, penjatuhan hukuman untuk penjahat perang Jepang, dan khususnya pendudukan dan penghapusan kedudukan kaisar tidak diterima oleh pimpinan Jepang.[31][32]

Pada 5 April, Uni Soviet mengumumkan tidak hendak memperbarui Pakta Netralitas Soviet-Jepang[33] yang ditandatangani tahun 1941 setelah terjadinya Peristiwa Nomonhan.[34] Pada Konferensi Yalta Februari 1945, negara-negara Barat yang tergabung dalam Sekutu telah menyepakati konsesi yang substansial dengan Soviet untuk mengamankan akad dari Soviet untuk menyatakan perang terhadap Jepang tidak lebih dari tiga bulan setelah Jerman menyerah. Walaupun secara hukum Pakta Netralitas tetap berlangsung sampai setahun setelah Uni Soviet membatalkannya (hingga 5 April 1946), pembatalan sepihak ini secara jelas tetapi terselubung menunjukkan niat perang Uni Soviet.[35] Menteri Luar Negeri Rusia Vyacheslav Molotov, di Moskow, dan Yakov Malik, duta mulia Soviet di Tokyo, sungguh-sungguh mencoba meyakinkan Jepang bahwa "masa berlangsung Pakta tersebut belum berakhir".[36]

Apa yang dilakukan oleh Jepang terhadap Indonesia setelah menyerah kepada Sekutu

Menteri Luar Negeri Shigenori Tōgō

Pada serangkaian rapat tingkat tinggi pada bulan Mei 1965, keenam bagian Dewan Penasihat Militer dengan serius membahas cara mengakhiri perang. Namun tidak seorang pun dari mereka setuju dengan syarat-syarat yang diajukan Sekutu. Mengingat siapa pun yang secara buka mendukung kapitulasi Jepang terancam bahaya pembunuhan oleh perwira angkatan darat yang sangat setia, rapat-rapat tersebut tertutup untuk siapa pun kecuali keenam bagian Dewan Penasihat Militer, Kaisar, dan penjaga cap pribadi kaisar. Tidak telah tersedia perwira eselon dua atau eselon tiga yang diizinkan hadir.[37] Pada rapat-rapat tersebut, hanya Menteri Luar Negeri Tōgō yang menyadari probabilitas sekutu negara-negara Barat sudah membikin konsesi dengan Soviet untuk mengajak mereka bertempur melawan Jepang.[38] Sebagai hasil rapat-rapat tersebut, Tōgō diberi wewenang untuk mendekati Uni Soviet, memohon mereka untuk tetap mempertahankan netralitas, atau lebih fantastis lagi, mau membentuk aliansi.[39]

Sejalan dengan tradisi pemerintahan baru mengumumkan tujuan-tujuan mereka, setelah rapat bulan Mei selesai, staf Angkatan Darat mengeluarkan dokumen berjudul "Kebijakan Fundamental untuk Disertai Selanjutnya dalam Melaksanakan Perang" yang menyatakan rakyat Jepang hendak berjuang sampai punah daripada menyerah. Kebijakan ini diadopsi oleh Dewan Penasihat Militer pada 6 Juni (Tōgō menentangnya, sementara kelima bagian lain mendukung).[40] Dokumen-dokumen yang diajukan Suzuki pada pertemuan yang sama menyarankan bahwa dalam usaha awal diplomatik dengan Uni Soviet, Jepang mengambil pendekatan sebagai berikut:

Rusia harus diberi kenal dengan jelas bahwa kemenangannya atas Jerman yaitu berkat Jepang, karena kita tetap netral, dan Soviet hendak diuntungkan bila membantu Jepang mempertahankan posisinya di lingkungan kehidupan internasional, karena musuh mereka di masa depan yaitu Amerika Serikat.[41]

Pada 9 Juni, orang keyakinan kaisar Kōichi Kido menulis "Rancangan Rencana Pengendalian Situasi Krisis" yang memperingatkan bahwa pada kemudian tahun kemampuan Jepang untuk memainkan perang modern hendak habis dan pemerintah hendak tidak mampu mengemudikan kerusuhan sipil. ".... Kita tidak kenal pasti apakah kita hendak bernasib sama seperti Jerman dan terjatuh dalam keadaan yang sulit sampai kita tidak dapat mencapai tujuan tertinggi menjaga Rumah Tangga Kekaisaran dan mempertahankan tata negara nasional."[42] Kido mengusulkan Kaisar sendiri ikut ambil bagian, dengan menawarkan untuk mengakhiri perang dengan "syarat-syarat yang sangat murah hati". Kido mengusulkan Jepang melepaskan wilayah yang dijajah Eropa, asalkan mereka diberi kemerdekaan, dan negara kita dilucuti, serta untuk sementara harus "puas dengan pertahanan minimum". Berbekal penugasan Kaisar, Kido mendekati beberapa bagian Dewan Penasihat Militer. Tōgō sangat mendukung. Suzuki dan Menteri Angkatan Laut Laksamana Mitsumasa Yonai keduanya sangat bersiap-siap mendukung; masing-masing meminta keterangan dalam hati, apa yang dipikirkan satu sama lain. Menteri Angkatan Darat Jenderal Korechika Anami bersikap ambivalen, bersikeras diplomasi harus menunggu "hingga Amerika Serikat menderita kerugian besar" dalam Operasi Ketsu-Go.[43]

Pada bulan Juni 1845, Kaisar sudah kehilangan keyakinan terhadap kesempatan mencapai kemenangan militer. Jepang sudah kalah dalam Pertempuran Okinawa. Kaisar juga sudah mendapat kabar tentang kelemahan angkatan darat di Cina, begitu pula soal angkatan laut dan angkatan darat yang mempertahankan pulau-pulau utama Jepang. Kaisar menerima laporan dari Pangeran Higashikuni; darinya Kaisar mengambil kesimpulan bahwa "bukan saja pertahanan lepas pantai, divisi yang tersedia untuk diterjunkan di pertempuran yang menentukan juga tidak memiliki banyak senjata yang memadai."[44] Menurut Kaisar:

Kita sudah diberi kenal besi asal bom yang dijatuhkan musuh sudah digunakan untuk membikin sekop. Hal ini berfaedah kita tidak ada dalam posisi melanjutkan perang.[44]

Pada 22 Juni, kaisar memanggil keenam bagian Dewan Penasihat Militer untuk rapat. Tidak seperti kebanyakan, Kaisar buka pembicaraan: "Kita menginginkan rencana konkrit untuk mengakhiri perang, tanpa dirintangi kebijakan yang telah tersedia, hendak dipelajari dengan cepat dan usaha-usaha dilakukan untuk mengimplementasikannya."[45] Pertemuan menyetujui untuk mengundang pertolongan Soviet dalam mengakhiri perang. Negara-negara netral lain seperti Swiss, Swedia, dan Vatikan dikenal berniat memainkan peranan dalam membuat perdamaian, tapi mereka terlalu kecil sampai mereka tidak dapat memainkan lebih dari sekadar menyampaikan syarat-syarat kapitulasi Sekutu serta penerimaan atau penolakan dari Jepang. Uni Soviet diharapkan dapat dibujuk untuk berperan sebagai perwakilan Jepang dalam bernegosiasi dengan Sekutu Barat.[46]

Usaha berurusan dengan Uni Soviet

Apa yang dilakukan oleh Jepang terhadap Indonesia setelah menyerah kepada Sekutu

Naotake Satō

Pada 30 Juni, Tōgō memerintahkan Duta Mulia Jepang untuk Moskwa Naotake Satō untuk berupaya membuat "hubungan persahabatan yang erat dan tidak berkesudahan." Satō bermaksud membicarakan status Manchuria dan "masalah apa saja yang hendak diangkatkan Rusia."[47] Satō akhir-akhirnya berjumpa dengan Menteri Luar Negeri Soviet Vyacheslav Molotov pada 11 Juli, namun pertemuan tidak menghasilkan apa-apa. Pada 12 Juli, Tōgō memerintahkan Satō untuk menyampaikan kepada Soviet bahwa,

Yang Mulia Kaisar mempertimbangkan fakta bahwa perang yang sekarang dari hari ke hari membawa kemalangan dan pengorbanan untuk rakyat dari semua pihak-pihak yang bertempur, hasrat dari dalam hati agar dapat segera dihentikan. Namun selama Inggris dan Amerika Serikat bersikeras soal penyerahan tanpa syarat, Kekaisaran Jepang tidak punya pilihan lain kecuali bertempur dengan segenap tenaga untuk kehormatan dan keberlangsungan tanah air.[48]

Kaisar mengusulkan untuk mengirim Pangeran Konoe sebagai Utusan Luar Biasa, walaupun beliau tidak dapat tiba di Moskwa sebelum dimulainya Konferensi Potsdam.

Satō memberi kenal Tōgō bahwa dalam kenyataan, Jepang hanya dapat mengharapkan "penyerahan tanpa syarat atau syarat-syarat yang nyaris setara ke situ". Lebih jauh lagi Satō mengatakan bahwa pesan-pesan Tōgō "tidak jelas soal pandangan pemerintah dan militer dalam hal penghentian perang," serta mempertanyakan apakah inisiatif Tōgō didukung oleh unsur-unsur kunci dalam bangun kekuasaan Jepang.[49]

Pada 17 Juli, Tōgō menjawab,

Walaupun para penguasa, dan juga pemerintah yakin bahwa daya perang kita sedang dapat menimbulkan pukulan berfaedah terhadap musuh, kami tidak dapat merasakan kedamaian hati yang betul-betul pasti. ... .. Namun, mohon betul-betul diingat, bahwa kita tidak memohon mediasi Rusia untuk hal-hal seperti penyerahan tanpa syarat.[50]

Dalam jawabannya, Satō memperjelas,

Sudah benda/barang tentu dalam pesan diri sendiri sebelumnya menyebut penyerahan tanpa syarat atau syarat-syarat yang nyaris setara, diri sendiri membikin pengecualian soal mempertahankan [Rumah Tangga Kekaisaran].[51]

Pada 21 Juli, berucap atas nama kabinet, Tōgō mengulangi,

Mengenai soal penyerahan tanpa syarat kami tidak dapat menyetujuinya berlandaskan keadaan bagaimana pun. ... .. Dalam usaha menghindari keadaan seperti itu kita sedang mencari damai, ... .. melewati afal yang berguna patut Rusia. ... .. Ditinjau dari sudut pandang dalam negeri dan luar negeri, membikin pernyataan segera tentang syarat-syarat tertentu yaitu merugikan dan tidak mungkin.[52]

Berbakat kriptografi Amerika Serikat yang bergabung dalam Proyek Magic telah memecahkan sebagian mulia sandi Jepang, termasuk kode Purple yang dipakai oleh kantor-kantor perwakilan Jepang untuk menyandikan koresponden diplomatik. Sebagai akhirnya, pesan selang Tokyo dan kedutaan-kedutaan Jepang bocor ke pemimpin Sekutu nyaris sama cepatnya dengan penerima di alamat tujuan.[53]

Maksud-maksud Soviet

Urusan keamanan mendominasi keputusan Soviet soal Timur Jauh.[54] Di selang hasrat yang paling utama yaitu memperoleh akses tidak terbatas ke Samudra Pasifik. Kawasan lepas pantai Soviet di Pasifik yang lepas es sepanjang tahun, khususnya Vladivostok, dapat diblokade melewati udara dan laut dari Sakhalin dan Kepulauan Kuril. Bila keduanya didapatkan berfaedah Rusia memperoleh akses lepas ke Selat Soya yang memang menjadi sasaran utama.[55][56] Sasaran kedua yaitu kontrak kontrak Jalur Kereta Api Timur Jauh Cina, Jalur Kereta Api Manchuria Selatan, Dairen, dan Lushun.[57]

Untuk mencapai tujuannya, Stalin and Molotov dengan semangat bernegosiasi dengan Jepang, memberikan Jepang hasrat palsu hendak perdamaian dengan Uni Soviet sebagai mediator.[58] Pada saat yang bersamaan, dalam transaksi Soviet dengan Amerika Serikat dan Inggris, Soviet bersikeras untuk secara sempit menaati Deklarasi Kairo, ditegaskan kembali di Konferensi Yalta bahwa Sekutu tidak hendak menerima perdamaian bersyarat atau perdamaian sendiri-sendiri dengan Jepang. Kepada semua negara-negara Sekutu, Jepang harus menyerah tanpa syarat. Untuk memperpanjang perang, Uni Soviet menentang semua upaya yang dilakukan untuk memperlunak syarat-syarat kapitulasi.[58] Bila perang tidak segera selesai, Uni Soviet sedang punya cukup waktu untuk memindahkan pasukan-pasukan mereka ke ajang perang Pasifik, untuk selanjutnya merebut Sakhalin, Kepulauan Kuril, dan probabilitas Hokkaido[59] (invasi dimulai dengan pendaratan di Rumoi, Hokkaido).[60]

Proyek Manhattan

Pada 1939, Albert Einstein dan Leó Szilárd menulis sepucuk surat kepada Presiden Roosevelt yang mendesaknya untuk mendanai penelitian dan pengembangan bom atom. Roosevelt setuju dan akhirnya yaitu proyek riset sangat rahasia yang disebut Proyek Manhattan. Proyek ini dipimpin Jenderal Leslie Groves dengan J. Robert Oppenheimer sebagai direktur pengarah bidang ilmiah. Bom atom pertama dengan sukses diledakkan dalam percobaan Trinity 16 Juli 1945.

Sementara proyek nyaris akhir-akhirnya, pemimpin perang Amerika mulai mempertimbangkan untuk menggunakan bom atom terhadap Jepang. Groves membentuk komite pencari sasaran yang berjumpa pada bulan April dan Mei 1945. Komite ini menyusun daftar sasaran bom atom. Mereka menentukan 18 kota-kota di Jepang. Masuk dalam daftar di urutan paling atas yaitu Kyoto, Hiroshima,[61] Yokohama, Kokura, dan Niigata.[62][63] Pada akhir-akhirnya Kyoto dihapus dari daftar atas desakan Menteri Perang Henry L. Stimson yang pernah mengunjungi Kyoto sewaktu bulan madu, dan mengetahui kota ini sangat penting dalam bidang kebiasaan istiadat dan sejarah.[64]

Pada bulan Mei, Harry S. Truman diangkatkan sebagai Presiden Amerika Serikat yang baru setelah Franklin Roosevelt wafat pada 16 April 1945. Truman menyetujui pembentukan komite Interim, sebuah kumpulan penasihat yang melapor mengenai bom atom.[63] Komite Interim terdiri dari George L. Harrison, Vannevar Bush, James Bryant Conant, Karl Taylor Compton, William L. Clayton, dan Ralph Austin Bard, serta dibantu dewan penasihat yang terdiri dari ilmuwan Oppenheimer, Enrico Fermi, Ernest Lawrence, dan Arthur Compton. Dalam laporan tanggal 1 Juni 1945, komite berkesimpulan bom atom harus digunakan secepat mungkin terhadap instalasi-instalasi perang berikut rumah-rumah pekerja di sekelilingnya, dan tidak perlu memberi peringatan atau peragaan sebelumnya.[65]

Mandat yang diberikan kepada komite tidak termasuk penggunaan bom atom, walaupun penggunaannya sudah dianggarkan bila sudah selesai.[66] Komite mengkaji kembali penggunaan bom atom setelah telah tersedia protes dalam susunan Laporan Franck dari ilmuwan Proyek Manhattan. Pada rapat 21 Juni, komite menegaskan kembali bahwa tidak telah tersedia alternatif lain selain menggunakan bom atom.[67]

Acara-acara di Potsdam

Pemimpin daya utama Sekutu berjumpa dalam Konferensi Potsdam 16 Juli-2 Agustus 1945. Uni Soviet, Kerajaan Bersatu, dan Amerika Serikat, masing-masing diwakili oleh Stalin, Winston Churchill (kemudian Clement Attlee), dan Truman.

Negosiasi

Perang melawan Jepang yaitu salah satu dari berbagai isu yang diceritakan di Potsdam. Truman mendapat berita tentang suksesnya percobaan Trinity pada awal konferensi, dan menyampaikan informasi tersebut ke delegasi Inggris. Kesuksesan percobaan bom atom menyebabkan delegasi Amerika Serikat mempertimbangkan kembali mengenai perlunya partisipasi Soviet (seperti dijanjikan di Yalta).[68] Prioritas teratas Sekutu yaitu mempersingkat perang dan mengurangi korban di pihak Amerika Serikat. Kedua hal tersebut mungkin dapat dibantu dengan telah tersedianya campur tangan Uni Soviet, namun probabilitas harus dibayar dengan membolehkan Soviet mencaplok wilayah-wilayah di luar wilayah yang dijanjikan untuk mereka di Yalta, dan mungkin Jepang hendak terbagi dua seperti Jerman.[69]

Dalam kesepakatan dengan Stalin, Truman memutuskan untuk memberikan pemimpin Soviet kabar tentang keberadaan senjata baru yang kuat tanpa memberitahukan rinciannya. Namun, Sekutu lainnya tidak menyadari bahwa intelijen Soviet telah menyusup dalam Proyek Manhattan pada tahap awal, sehingga ketika Stalin mengetahui keberadaan bom atom, beliau tidak terkesan dengan potensinya.[70]

Deklarasi Potsdam

Pemimpin negara-negara utama Sekutu memutuskan untuk mengeluarkan pernyataan yang disebut Deklarasi Potsdam yang menetapkan "penyerahan tanpa syarat" dan memperjelas guna kapitulasi Jepang untuk kedudukan kaisar dan untuk Hirohito secara pribadi. Pemerintah Amerika Serikat dan Inggris saling bertentangan mengenai butir terakhir. Amerika Serikat berhasrat menghapus posisi kaisar dan probabilitas mengadilinya sebagai penjahat perang. Sebaliknya, Inggris berhasrat mempertahankan posisi kaisar, mungkin dengan Hirohito yang tetap bertahta. Pernyataan-pernyataan dalam rancangan Deklarasi Potsdam mengalami berbagai revisi sebelum versi yang diterima kedua belah pihak selesai.[71]

Pada 26 Juli 1945, Amerika Serikat, Inggris, dan Cina merilis Deklarasi Potsdam yang telah tersedia isinya syarat-syarat kapitulasi Jepang dengan peringatan, "Kami tidak hendak menyimpang dari ketentuan-ketentuan ini. Tidak telah tersedia alternatif. Kami tidak membolehkan telah tersedianya penundaan." Untuk Jepang, deklarasi menetapkan syarat-syarat sebagai berikut:

  • Penghapusan "selama-lamanya dari kekuasaan dan pengaruh tokoh-tokoh yang telah menipu dan menyesatkan rakyat Jepang ke arah dimulainya penaklukan dunia"
  • Pendudukan "titik-titik dalam wilayah Jepang yang hendak ditentukan oleh Sekutu"
  • "Kedaulatan Jepang hendak dibatasi pada pulau-pulau Honshu, Hokkaido, Kyushu, dan Shikoku, serta pulau-pulau kecil seperti yang kami tetapkan." Seperti telah diumumkan dalam Deklarasi Kairo 1943, wilayah-wilayah Jepang hendak disita sampai wilayah sebelum perang, termasuk Korea dan Taiwan, begitu pula wilayah-wilayah jajahannya baru-baru ini.
  • "Daya militer Jepang harus sepenuhnya dilucuti"
  • "Keadilan yang keras harus dijatuhkan kepada semua penjahat perang, termasuk semua yang telah memainkan kekejaman terhadap orang kita yang ditawan".

Di lain pihak, deklarasi menegaskan bahwa:

  • "Kami tidak bermaksud memperbudak Jepang sebagai suatu ras atau menghancurkannya sebagai suatu bangsa, ... .. Pemerintah Jepang harus menghapus semua penghalang untuk kebangkitan dan makin menguatnya kecenderungan demokrasi di selang rakyat Jepang. Kebebasan berucap, beragama, dan berpikir, begitu pula peghormatan untuk hak asasi manusia yang fundamental harus ditegakkan."
  • "Jepang harus dibolehkan memiliki industri-industri yang hendak menunjang ekonomi dan memungkinkan untuk membayar tuntutan pampasan yang serupa dan tidak sewenang-wenang, ... .. Partisipasi Jepang dalam hubungan dagang internasional harus dibolehkan."
  • "Kesatuan pendudukan Sekutu hendak ditarik dari Jepang segera setelah tujuan-tujuan tersebut dicapai dan telah berdirinya sebuah pemerintahan yang bertanggung jawab dan hadir tujuan damai sesuai dengan hasrat rakyat Jepang yang diungkapkan secara lepas."

Satu-satunya pasal yang menyebut tentang "penyerahan tanpa syarat" dicantumkan pada kemudian deklarasi:

  • "Kami mengimbau pemerintah Jepang untuk menyatakan sekarang juga kapitulasi tanpa syarat dari semua angkatan bersenjata Jepang, dan untuk menunjukkan jaminan yang cukup dan layak atas maksud patut mereka terhadap hal tersebut. Pilihan lain untuk Jepang yaitu "penghancuran sepenuhnya dan segera."

Tidak dituturkan tentang Kaisar Hirohito apakah termasuk ke dalam salah satu dari tokoh yang "menyesatkan rakyat Jepang", atau juga seorang penjahat perang, bahkan sebaliknya bagian dari "pemerintah yang bertanggung jawab dan berkeinginan damai". Pasal "penghancuran sepenuhnya dan segera" probabilitas yaitu peringatan terselubung soal kepemilikan bom atom oleh Amerika Serikat (yang telah dicobakan dengan sukses pada ahad konferensi).[72]

Reaksi Jepang

Pada 27 Juli, pemerintah Jepang menimbang-nimbang cara menanggapi Deklarasi Potsdam. Empat tokoh militer dari Dewan Penasihat Militer bermaksud menolaknya, tapi Tōgō membujuk kabinet untuk tidak memainkannya sampai beliau mendapat reaksi dari Uni Soviet. Dalam sebuah telegram, Duta Mulia Jepang untuk Swiss Shunichi Kase berpendapat bahwa penyerahan tanpa syarat hanya berlangsung untuk militer dan bukan untuk pemerintah atau rakyat, dan beliau minta agar dipahami bahwa pemilihan bahasa yang hati-hati dalam Deklarasi Potsdam sepertinya "telah mengalami pemikiran yang mendalam" dari pihak pemerintah-pemerintah yang menandatanganinya--"mereka rupa-rupanya telah bersusah payah berupaya menyelamatkan muka kita pada berbagai pasal-pasal."[73] Pada hari berikutnya, surat-surat kabar Jepang melaporkan bahwa Jepang telah menolak inti Deklarasi Potsdam yang sebelumnya telah disiarkan dan dijatuhkan sebagai selebaran udara di atas Jepang. Dalam usaha mengatasi persepsi publik, Perdana Menteri Suzuki berjumpa dengan pers, dan memberi pernyataan,

Diri sendiri menganggap Proklamasi Bersama sebagai pengulangan kembali Deklarasi di Konferensi Kairo. Mengenai hal tersebut, Pemerintah tidak menganggapnya memiliki nilai penting sama sekali. Salah satu hal yang dapat dilakukan yaitu mengabaikannya (mokusatsu). Kami tidak hendak memainkan apa-apa kecuali menanggungnya sampai kemudian untuk mendatangkan kemudian perang yang sukses.[74]

Guna kata mokusatsu yaitu mengabaikan atau tidak menanggapi.[74] Walaupun demikian, pernyataan Suzuki, terutama kalimat terakhir hanya menyisakan sedikit ruang untuk interpretasi yang salah. Pers Jepang dan pers luar negeri memberikan definisinya sebagai penolakan, dan tidak telah tersedia pernyataan lebih lanjut yang disampaikan ke muka umum atau aliran diplomatik untuk mengubah kesalahpahaman ini.

Pada 30 Juli, Duta Mulia Satō menulis bahwa Stalin probabilitas sedang berucap dengan Sekutu Barat mengenai transaksinya dengan Jepang. Menurut Satō, "Tidak telah tersedia alternatif selain penyerahan tanpa syarat dengan segera bila kita berhasrat mencegah partisipasi Rusia dalam perang."[75] Pada 2 Agustus, Tōgō menulis kepada Satō, "Sulit untuk Anda untuk mewujudkan hal itu ... .. terbatas waktu kita untuk berlangsung ke persiapan mengakhiri perang sebelum musuh mendarat di pulau-pulau utama Jepang, di lain pihak sulit untuk memutuskan syarat-syarat damai yang nyata di tanah air secara sekaligus."[76]

Hiroshima, Manchuria, dan Nagasaki

Hiroshima: 6 Agustus


Page 5

Menyerahnya Jepang pada bulan Agustus 1945 menandai kemudian Perang Lingkungan kehidupan II. Angkatan Laut Kekaisaran Jepang secara efektif sudah tidak telah tersedia sejak Agustus 1945, sementara invasi Sekutu ke Jepang hanya tinggal waktu. Walaupun hasrat untuk melawan sampai titik kemudian diberitahukan secara buka, pemimpin Jepang dari Dewan Penasihat Militer Jepang secara pribadi memohon Uni Soviet untuk memerankan sebagai mediator dalam kontrak damai dengan syarat-syarat yang menguntungkan Jepang. Sementara itu, Uni Soviet juga bersiap-siap untuk menyerang Jepang dalam usaha memenuhi akad kepada Amerika Serikat dan Inggris di Konferensi Yalta.

Pada 6 Agustus dan 9 Agustus, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Pada 9 Agustus, Uni Soviet melancarkan penyerbuan mendadak ke koloni Jepang di Manchuria (Manchukuo) yang melanggar Pakta Netralitas Soviet–Jepang. Kaisar Hirohito campur tangan setelah terjadi dua peristiwa mengejutkan tersebut, dan memerintahkan Dewan Penasihat Militer untuk menerima syarat-syarat yang ditawarkan Sekutu dalam Deklarasi Potsdam. Setelah berlangsung perundingan di balik layar selama beberapa hari, dan kudeta yang gagal, Kaisar Hirohito menyampaikan pidato radio di depan rakyat pada 15 Agustus 1945. Dalam pidato radio yang disebut Gyokuon-hōsō (Siaran Suara Kaisar), Hirohito membacakan Perintah Kekaisaran tentang kapitulasi, sekaligus mengumumkan kepada rakyat bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu.

Pendudukan Jepang oleh Komandan Tertinggi Sekutu dimulai pada 28 Agustus. Upacara kapitulasi dipersiapkan pada 2 September 1945 di atas kapal tempur Amerika Serikat Missouri. Dokumen Kapitulasi Jepang yang ditandatangani hari itu oleh pejabat pemerintah Jepang secara resmi mengakhiri Perang Lingkungan kehidupan II. Warga sipil dan bagian militer di negara-negara Sekutu merayakan Hari Kemenangan atas Jepang (V-J Day). Walaupun demikian, sebagian pos komando terpencil dan personel militer dari kesatuan di pelosok-pelosok Asia menolak untuk menyerah selama berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun setelah Jepang menyerah. Sejak kapitulasi Jepang, sejarawan terus berbantah tentang etika penggunaan bom atom. Perang selang Jepang dan Sekutu secara resmi akhir-akhirnya ketika Kontrak San Francisco mulai berlangsung pada tanggal 28 April 1952. Empat tahun kemudian Jepang dan Uni Soviet menandatangani Deklarasi Bersama Soviet–Jepang 1956 yang secara resmi mengakhiri perang selang kedua negara tersebut.

Kekalahan Jepang

Apa yang dilakukan oleh Jepang terhadap Indonesia setelah menyerah kepada Sekutu

Pendaratan Sekutu di Ajang Perang Operasi Samudra Pasifik, Agustus 1942 sampai Agustus 1945.

Pada tahun 1945, Jepang telah nyaris dua tahun beruntun mengalami kekalahan berkepanjangan di Pasifik Barat Daya, kampanye militer Mariana, dan kampanye militer Filipina. Pada Juli 1944 setelah Saipan jatuh, Jenderal Hideki Tōjō diangkatkan sebagai perdana menteri oleh Jenderal Kuniaki Koiso yang menyatakan Filipina sebagai tempat pertempuran berikutnya yang menentukan.[1] Setelah Filipina jatuh, giliran Koiso yang ditukar oleh Laksamana Kantarō Suzuki. Pada paruh pertama tahun 1945, Sekutu sukses merebut Iwo Jima dan Okinawa. Setelah direbut Sekutu, Okinawa diproduksi menjadi kawasan singgahan untuk menyerbu ke pulau-pulau utama di Jepang.[2] Setelah kekalahan Jerman, Uni Soviet diam-diam mulai mengerahkan kembali pasukan tempur Eropa-nya ke Timur Jauh, di samping sekitar empat puluh divisi yang telah diletakkan di sana sejak tahun 1941, sebagai penyeimbang kekuataan jutaan Tentara Kwantung.[3]

Operasi kapal-kapal selam Sekutu dan penyebaran ranjau di lepas pantai Jepang telah menghancurkan sebagian mulia armada dagang Jepang. Sebagai negara dengan sedikit sumber daya lingkungan kehidupan, Jepang bergantung kepada bahan mentah yang diimpor dari daratan Asia dan dari wilayah pendudukan Jepang di Hindia Belanda, terutama minyak bumi.[4] Penghancuran armada dagang Jepang, ditambah dengan pengeboman strategis kawasan industri di Jepang telah meruntuhkan ekonomi perang Jepang. Produksi batu bara, besi, besi baja, karet, dan pasokan bahan mentah lainnya hanya tersedia dalam banyak kecil dibandingkan pasokan sebelum perang.[5][6]

Apa yang dilakukan oleh Jepang terhadap Indonesia setelah menyerah kepada Sekutu

Kapal tempur Jepang Haruna karam di tempat bersandarnya di pangkalan angkatan laut Kure pada peristiwa Pengeboman Kure 24 Juli 1945.

Sebagai dampak kerugian yang dialami, daya Angkatan Laut Kekaisaran Jepang secara efektif sudah habis. Setelah serangkaian pengeboman Sekutu di galangan kapal Jepang di Kure, Prefektur Hiroshima, kapal-kapal perang Jepang yang tersisa hanyalah enam kapal induk, empat kapal penjelajah, dan satu kapal tempur. Namun, semua kapal tersebut tidak memiliki bahan bakar yang cukup. Walaupun sedang telah tersedia 19 kapal perusak dan 38 kapal selam yang sedang operasional, pengoperasian mereka menjadi terbatas dampak kekurangan bahan bakar.[7][8]

Persiapan pertahanan

Menghadapi probabilitas penyerbuan Sekutu ke pulau-pulau utama Jepang, dimulai dari Kyushu, Jurnal Perang Markas Mulia Kekaisaran menyimpulkan,

Kami tidak dapat lagi memimpin perang dengan telah tersedia sedikit pun hasrat untuk menang. Satu-satunya jalan yang tersisa yaitu mengorbankan nyawa seratus juta rakyat Jepang sebagai bom hidup agar musuh kehilangan semangat bertempur.[9]

Sebagai usaha darurat yang terakhir untuk menghentikan gerak maju Sekutu, Komando Tertinggi Kekaisaran Jepang merencanakan pertahanan Kyushu secara habis-habisan. Usaha yang dinamakan dengan sandi Operasi Ketsu-Go [10] ini dimaksudkan sebagai perubahan strategi yang radikal. Pautan dari sistem pertahanan berlapis seperti yang dipakai sewaktu menginvasi Peleliu, Iwo Jima, dan Okinawa, kali ini semuanya dipertaruhkan di pantai. Sebelum pasukan dan perlengkapan didaratkan transpor amfibi di pantai, mereka hendak diserang oleh 3.000 pesawat kamikaze.[8]

Bila strategi ini tidak mengusir Sekutu, Jepang hendak mengerahkan 3.500 pesawat kamikaze tambahan berikut 5.000 kapal bunuh diri Shin'yō ditemani kapal-kapal perusak dan kapal-kapal selam yang sedang tersisa--hingga kapal terakhir yang operasional--untuk menghancurkan Sekutu. Bila Sekutu menang dalam pertempuran di pantai dan sukses mendarat di Kyushu, hanya hendak tersisa 3.000 pesawat untuk mempertahankan pulau-pulau Jepang yang lain. Walaupun demikian, Kyushu hendak dipertahankan "hingga titik darah penghabisan".[8] Strategi membikin pertahanan terakhir di Kyushu didasarkan pada asumsi bahwa Uni Soviet hendak tetap mempertahankan netralitas.[11]

Serangkaian gua digali tidak jauh Nagano di Honshu. Gua-gua yang disebut Markas Mulia Kekaisaran Bawah Tanah Matsushiro tersebut hendak diproduksi menjadi Markas Angkatan Darat pada saat terjadinya invasi Sekutu serta rumah perlindungan untuk Kaisar Jepang dan keluarganya.[12]

Dewan Penasihat Militer

Pengambilan keputusan perang Jepang berpusat di Dewan Penasihat Militer yang beranggotakan enam pejabat tinggi: perdana menteri, menteri luar negeri, menteri angkatan darat, menteri angkatan laut, kepala staf umum angkatan darat, dan kepala staf umum angkatan laut.[13] Saat kabinet pemerintah Suzuki terbentu pada April 1945, keanggotaan dewan terdiri dari:

Apa yang dilakukan oleh Jepang terhadap Indonesia setelah menyerah kepada Sekutu

Kabinet Suzuki, Juni 1945

  • Perdana Menteri Laksamana Kantarō Suzuki
  • Menteri Luar Negeri Shigenori Tōgō
  • Menteri Angkatan Darat Jenderal Korechika Anami
  • Menteri Angkatan Laut Laksamana Mitsumasa Yonai
  • Kepala Staf Umum Angkatan Darat Jenderal Yoshijirō Umezu
  • Kepala Staf Umum Angkatan Laut Laksamana Koshirō Oikawa (kemudian ditukar oleh Laksamana Soemu Toyoda)

Secara hukum, Angkatan Darat dan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang memiliki hak untuk mencalonkan (atau menolak pencalonan) masing-masing menteri. Sebagai akhirnya, Jepang dapat menghindari pembentukan pemerintahan yang tidak diingini, atau terjadinya pengunduran diri yang dapat menjatuhkan pemerintah yang sedang berlangsung.[14][15]

Kaisar Hirohito dan Penjaga Cap Pribadi Kaisar Kōichi Kido juga hadir di beberapa pertemuan, setelah diminta Kaisar.[16] Seperti yang dilaporkan Iris Chang, "Jepang sengaja menghancurkan, menyembunyikan, atau memalsukan sebagian dari dokumen rahasia perang mereka"[17][18]

Perbedaan pendapat di kalangan pemimpin Jepang

Kabinet Suzuki, dalam berbagai bidang, lebih menentukan meneruskan perang. Untuk Jepang, kapitulasi nyaris tidak terpikirkan. Dalam 2000 tahun sejarahnya, Jepang tidak pernah diinvasi bangsa asing atau kalah dalam perang.[19] Hanya Menteri Angkatan Laut Mitsumasa Yonai yang dikenal memiliki hasrat untuk mengakhiri perang.[20] Menurut sejarawan Richard B. Frank:

Walaupun Suzuki pastinya melihat perdamaian sebagai tujuan jangka panjang, beliau tidak memiliki rencana untuk mewujudkannya dalam jangka waktu tidak jauh atau dengan syarat-syarat yang dapat diterima Sekutu. Komentarnya dalam konferensi negarawan senior tidak memberikan tanda-tanda dirinya menginginkan akhir-akhirnyanya perang lebih awal ... . ; Pilihan Suzuki untuk pos-pos kabinet yang paling penting, dengan pengecualian satu orang, bukanlah juga tokoh pendukung perdamaian.[21]

Seusai perang, Perdana Menteri Suzuki dan pejabat lain dari pemerintahannya mengaku mereka secara rahasia merundingkan perdamaian, tapi secara buka tidak dapat mengumumkannya. Mereka mengutip pemikiran Jepang tentang haragei (seni mengadakan komunikasi dengan sikap dan daya kepribadian dan bukan melewati kata-kata) untuk membenarkan ketidakselarasan selang sikap yang dibuat di muka umum dan perkara di balik layar. Namun, sebagian sejarawan menolak interpretasi ini. Robert J. C. Butow menulis:

Berlandaskan gagasan yang sangat ambigu, pembelaan soal haragei menimbulkan kecurigaan bahwa dalam masalah politik dan diplomasi, secara sadar menggantungkan diri pada seni menggertak mungkin dapat dianggap sebagai pengelabuan disengaja yang dianggarkan didasarkan hasrat mengadu domba untuk keuntungan sendiri. Walaupun keputusan ini tidak sesuai dengan kepribadian Laksamana Suzuki yang banyak dipuji, pada kenyataannya dari saat beliau diangkatkan sebagai perdana menteri sampai hari beliau mengundurkan diri, tidak telah tersedia seorang pun yang dapat memastikan apa yang berikutnya hendak diceritakan atau dilakukan Suzuki.[22]

Pemimpin Jepang selalu menginginkan penyelesaian perang dengan negosiasi. Perencanaan praperang mereka mengharapkan perluasan wilayah secara cepat, konsolidasi, konflik yang tidak terhindarkan dengan Amerika Serikat, dan penyelesaian perang yang memungkinkan Jepang mempertahankan paling tidak beberapa wilayah baru yang telah mereka duduki.[23] Pada tahun 1945, pemimpin-pemimpin Jepang sepakat bahwa perang tidak berlangsung dengan lancar, tetapi mereka tidak sepakat mengenai cara-cara terbaik dalam bernegosiasi untuk mengakhiri perang. Kalangan pemimpin Jepang terbelah menjadi dua kubu. Faksi "damai" menginginkan inisiatif diplomatik dengan membujuk pemimpin Uni Soviet Joseph Stalin agar berperan sebagai mediator penyelesaian perang selang Jepang dan Amerika Serikat beserta sekutunya. Sebaliknya, faksi garis keras lebih menentukan bertempur dalam satu pertempuran terakhir yang "menentukan" sampai jatuh korban begitu banyak di pihak Sekutu yang mengakibatkan mereka mau menawarkan syarat-syarat yang lebih lunak.[24] Kedua kubu terbentuk berlandaskan pengalaman Jepang dalam Perang Rusia-Jepang empat puluh tahun sebelumnya. Dalam perang tersebut terjadi serangkaian pertempuran yang memakan kerugian mulia yang tidak menentukan pemenang, tetapi diakhiri oleh Pertempuran Tsushima yang dimenangkan Jepang.[25]

Apa yang dilakukan oleh Jepang terhadap Indonesia setelah menyerah kepada Sekutu

Laksamana Kantarō Suzuki menjabat Perdana Menteri Jepang dalam bulan-bulan sebelum perang akhir-akhirnya.

Pada kemudian Januari 1945, beberapa pejabat Jepang yang tidak jauh dengan Kaisar mempertimbangkan syarat-syarat kapitulasi yang hendak melindungi kedudukan Kaisar Jepang. Proposal-proposal yang dikirim melewati aliran Amerika Serikat dan Inggris tersebut disusun oleh Jenderal Douglas MacArthur menjadi dokumen 40 halaman, dan kemudian, pada 2 Februari, dua hari sebelum Konferensi Yalta, diberikan kepada Presiden Franklin D. Roosevelt. Menurut laporan, dokumen tersebut dihalau oleh Roosevelt tanpa pertimbangan apa pun. Semua proposal mencakup syarat bahwa kedudukan kaisar tetap dipertahankan, walaupun mungkin sebagai penguasa boneka. Namun pada saat itu, kebijakan Sekutu hanyalah menerima penyerahan tanpa syarat.[26] Selain itu, proposal-proposal ini dihalau keras oleh pejabat pemerintahan Jepang yang berpengaruh, dan oleh karena itu tidak dapat diceritakan mewakili hasrat Jepang yang sebenarnya untuk menyerah pada waktu itu.[27]

Pada Februari 1945, Pangeran Fumimaro Konoe memberi Kaisar Hirohito sebuah memorandum yang menganalisis situasi dan menyampaikan kepada Hirohito bahwa bila perang diteruskan, kekaisaran hendak menghadapi revolusi internal yang lebih berbahaya daripada kalah dalam perang.[28] Menurut buku harian Pengurus Rumah Tangga Kaisar Hisanori Fujita, Kaisar yang menunggu pertempuran menentukan (tennōzan) menjawab bahwa sedang terlalu dini menawarkan perdamaian, "Kecuali kita membikin satu lagi kemenangan militer."[29] Sedang pada bulan Februari tahun yang sama, divisi kontrak Jepang menulis tentang kebijakan Sekutu terhadap Jepang mengenai "penyerahan tanpa syarat, pendudukan, perlucutan senjata, penghapuskan militerisme, reformasi demokrasi, hukuman untuk penjahat perang, dan status kaisar."[30] Pelucutan senjata oleh Sekutu, penjatuhan hukuman untuk penjahat perang Jepang, dan khususnya pendudukan dan penghapusan kedudukan kaisar tidak diterima oleh pimpinan Jepang.[31][32]

Pada 5 April, Uni Soviet mengumumkan tidak hendak memperbarui Pakta Netralitas Soviet-Jepang[33] yang ditandatangani tahun 1941 setelah terjadinya Peristiwa Nomonhan.[34] Pada Konferensi Yalta Februari 1945, negara-negara Barat yang tergabung dalam Sekutu telah menyepakati konsesi yang substansial dengan Soviet untuk mengamankan akad dari Soviet untuk menyatakan perang terhadap Jepang tidak lebih dari tiga bulan setelah Jerman menyerah. Walaupun secara hukum Pakta Netralitas tetap berlangsung sampai setahun setelah Uni Soviet membatalkannya (hingga 5 April 1946), pembatalan sepihak ini secara jelas tetapi terselubung menunjukkan niat perang Uni Soviet.[35] Menteri Luar Negeri Rusia Vyacheslav Molotov, di Moskow, dan Yakov Malik, duta mulia Soviet di Tokyo, sungguh-sungguh mencoba meyakinkan Jepang bahwa "masa berlangsung Pakta tersebut belum berakhir".[36]

Apa yang dilakukan oleh Jepang terhadap Indonesia setelah menyerah kepada Sekutu

Menteri Luar Negeri Shigenori Tōgō

Pada serangkaian rapat tingkat tinggi pada bulan Mei 1965, keenam bagian Dewan Penasihat Militer dengan serius membahas cara mengakhiri perang. Namun tidak seorang pun dari mereka setuju dengan syarat-syarat yang diajukan Sekutu. Mengingat siapa pun yang secara buka mendukung kapitulasi Jepang terancam bahaya pembunuhan oleh perwira angkatan darat yang sangat setia, rapat-rapat tersebut tertutup untuk siapa pun kecuali keenam bagian Dewan Penasihat Militer, Kaisar, dan penjaga cap pribadi kaisar. Tidak telah tersedia perwira eselon dua atau eselon tiga yang diizinkan hadir.[37] Pada rapat-rapat tersebut, hanya Menteri Luar Negeri Tōgō yang menyadari probabilitas sekutu negara-negara Barat sudah membikin konsesi dengan Soviet untuk mengajak mereka bertempur melawan Jepang.[38] Sebagai hasil rapat-rapat tersebut, Tōgō diberi wewenang untuk mendekati Uni Soviet, memohon mereka untuk tetap mempertahankan netralitas, atau lebih fantastis lagi, mau membentuk aliansi.[39]

Sejalan dengan tradisi pemerintahan baru mengumumkan tujuan-tujuan mereka, setelah rapat bulan Mei selesai, staf Angkatan Darat mengeluarkan dokumen berjudul "Kebijakan Fundamental untuk Disertai Selanjutnya dalam Melaksanakan Perang" yang menyatakan rakyat Jepang hendak berjuang sampai punah daripada menyerah. Kebijakan ini diadopsi oleh Dewan Penasihat Militer pada 6 Juni (Tōgō menentangnya, sementara kelima bagian lain mendukung).[40] Dokumen-dokumen yang diajukan Suzuki pada pertemuan yang sama menyarankan bahwa dalam usaha awal diplomatik dengan Uni Soviet, Jepang mengambil pendekatan sebagai berikut:

Rusia harus diberi kenal dengan jelas bahwa kemenangannya atas Jerman yaitu berkat Jepang, karena kita tetap netral, dan Soviet hendak diuntungkan bila membantu Jepang mempertahankan posisinya di lingkungan kehidupan internasional, karena musuh mereka di masa depan yaitu Amerika Serikat.[41]

Pada 9 Juni, orang keyakinan kaisar Kōichi Kido menulis "Rancangan Rencana Pengendalian Situasi Krisis" yang memperingatkan bahwa pada kemudian tahun kemampuan Jepang untuk memainkan perang modern hendak habis dan pemerintah hendak tidak mampu mengemudikan kerusuhan sipil. ".... Kita tidak kenal pasti apakah kita hendak bernasib sama seperti Jerman dan terjatuh dalam keadaan yang sulit sampai kita tidak dapat mencapai tujuan tertinggi menjaga Rumah Tangga Kekaisaran dan mempertahankan tata negara nasional."[42] Kido mengusulkan Kaisar sendiri ikut ambil bagian, dengan menawarkan untuk mengakhiri perang dengan "syarat-syarat yang sangat murah hati". Kido mengusulkan Jepang melepaskan wilayah yang dijajah Eropa, asalkan mereka diberi kemerdekaan, dan negara kita dilucuti, serta untuk sementara harus "puas dengan pertahanan minimum". Berbekal penugasan Kaisar, Kido mendekati beberapa bagian Dewan Penasihat Militer. Tōgō sangat mendukung. Suzuki dan Menteri Angkatan Laut Laksamana Mitsumasa Yonai keduanya sangat bersiap-siap mendukung; masing-masing meminta keterangan dalam hati, apa yang dipikirkan satu sama lain. Menteri Angkatan Darat Jenderal Korechika Anami bersikap ambivalen, bersikeras diplomasi harus menunggu "hingga Amerika Serikat menderita kerugian besar" dalam Operasi Ketsu-Go.[43]

Pada bulan Juni 1845, Kaisar sudah kehilangan keyakinan terhadap kesempatan mencapai kemenangan militer. Jepang sudah kalah dalam Pertempuran Okinawa. Kaisar juga sudah mendapat kabar tentang kelemahan angkatan darat di Cina, begitu pula soal angkatan laut dan angkatan darat yang mempertahankan pulau-pulau utama Jepang. Kaisar menerima laporan dari Pangeran Higashikuni; darinya Kaisar mengambil kesimpulan bahwa "bukan saja pertahanan lepas pantai, divisi yang tersedia untuk diterjunkan di pertempuran yang menentukan juga tidak memiliki banyak senjata yang memadai."[44] Menurut Kaisar:

Kita sudah diberi kenal besi asal bom yang dijatuhkan musuh sudah digunakan untuk membikin sekop. Hal ini berfaedah kita tidak ada dalam posisi melanjutkan perang.[44]

Pada 22 Juni, kaisar memanggil keenam bagian Dewan Penasihat Militer untuk rapat. Tidak seperti kebanyakan, Kaisar buka pembicaraan: "Kita menginginkan rencana konkrit untuk mengakhiri perang, tanpa dirintangi kebijakan yang telah tersedia, hendak dipelajari dengan cepat dan usaha-usaha dilakukan untuk mengimplementasikannya."[45] Pertemuan menyetujui untuk mengundang pertolongan Soviet dalam mengakhiri perang. Negara-negara netral lain seperti Swiss, Swedia, dan Vatikan dikenal berniat memainkan peranan dalam membuat perdamaian, tapi mereka terlalu kecil sampai mereka tidak dapat memainkan lebih dari sekadar menyampaikan syarat-syarat kapitulasi Sekutu serta penerimaan atau penolakan dari Jepang. Uni Soviet diharapkan dapat dibujuk untuk berperan sebagai perwakilan Jepang dalam bernegosiasi dengan Sekutu Barat.[46]

Usaha berurusan dengan Uni Soviet

Apa yang dilakukan oleh Jepang terhadap Indonesia setelah menyerah kepada Sekutu

Naotake Satō

Pada 30 Juni, Tōgō memerintahkan Duta Mulia Jepang untuk Moskwa Naotake Satō untuk berupaya membuat "hubungan persahabatan yang erat dan tidak berkesudahan." Satō bermaksud membicarakan status Manchuria dan "masalah apa saja yang hendak diangkatkan Rusia."[47] Satō akhir-akhirnya berjumpa dengan Menteri Luar Negeri Soviet Vyacheslav Molotov pada 11 Juli, namun pertemuan tidak menghasilkan apa-apa. Pada 12 Juli, Tōgō memerintahkan Satō untuk menyampaikan kepada Soviet bahwa,

Yang Mulia Kaisar mempertimbangkan fakta bahwa perang yang sekarang dari hari ke hari membawa kemalangan dan pengorbanan untuk rakyat dari semua pihak-pihak yang bertempur, hasrat dari dalam hati agar dapat segera dihentikan. Namun selama Inggris dan Amerika Serikat bersikeras soal penyerahan tanpa syarat, Kekaisaran Jepang tidak punya pilihan lain kecuali bertempur dengan segenap tenaga untuk kehormatan dan keberlangsungan tanah air.[48]

Kaisar mengusulkan untuk mengirim Pangeran Konoe sebagai Utusan Luar Biasa, walaupun beliau tidak dapat tiba di Moskwa sebelum dimulainya Konferensi Potsdam.

Satō memberi kenal Tōgō bahwa dalam kenyataan, Jepang hanya dapat mengharapkan "penyerahan tanpa syarat atau syarat-syarat yang nyaris setara ke situ". Lebih jauh lagi Satō mengatakan bahwa pesan-pesan Tōgō "tidak jelas soal pandangan pemerintah dan militer dalam hal penghentian perang," serta mempertanyakan apakah inisiatif Tōgō didukung oleh unsur-unsur kunci dalam bangun kekuasaan Jepang.[49]

Pada 17 Juli, Tōgō menjawab,

Walaupun para penguasa, dan juga pemerintah yakin bahwa daya perang kita sedang dapat menimbulkan pukulan berfaedah terhadap musuh, kami tidak dapat merasakan kedamaian hati yang betul-betul pasti. ... .. Namun, mohon betul-betul diingat, bahwa kita tidak memohon mediasi Rusia untuk hal-hal seperti penyerahan tanpa syarat.[50]

Dalam jawabannya, Satō memperjelas,

Sudah benda/barang tentu dalam pesan diri sendiri sebelumnya menyebut penyerahan tanpa syarat atau syarat-syarat yang nyaris setara, diri sendiri membikin pengecualian soal mempertahankan [Rumah Tangga Kekaisaran].[51]

Pada 21 Juli, berucap atas nama kabinet, Tōgō mengulangi,

Mengenai soal penyerahan tanpa syarat kami tidak dapat menyetujuinya berlandaskan keadaan bagaimana pun. ... .. Dalam usaha menghindari keadaan seperti itu kita sedang mencari damai, ... .. melewati afal yang berguna patut Rusia. ... .. Ditinjau dari sudut pandang dalam negeri dan luar negeri, membikin pernyataan segera tentang syarat-syarat tertentu yaitu merugikan dan tidak mungkin.[52]

Berbakat kriptografi Amerika Serikat yang bergabung dalam Proyek Magic telah memecahkan sebagian mulia sandi Jepang, termasuk kode Purple yang dipakai oleh kantor-kantor perwakilan Jepang untuk menyandikan koresponden diplomatik. Sebagai akhirnya, pesan selang Tokyo dan kedutaan-kedutaan Jepang bocor ke pemimpin Sekutu nyaris sama cepatnya dengan penerima di alamat tujuan.[53]

Maksud-maksud Soviet

Urusan keamanan mendominasi keputusan Soviet soal Timur Jauh.[54] Di selang hasrat yang paling utama yaitu memperoleh akses tidak terbatas ke Samudra Pasifik. Kawasan lepas pantai Soviet di Pasifik yang lepas es sepanjang tahun, khususnya Vladivostok, dapat diblokade melewati udara dan laut dari Sakhalin dan Kepulauan Kuril. Bila keduanya didapatkan berfaedah Rusia memperoleh akses lepas ke Selat Soya yang memang menjadi sasaran utama.[55][56] Sasaran kedua yaitu kontrak kontrak Jalur Kereta Api Timur Jauh Cina, Jalur Kereta Api Manchuria Selatan, Dairen, dan Lushun.[57]

Untuk mencapai tujuannya, Stalin and Molotov dengan semangat bernegosiasi dengan Jepang, memberikan Jepang hasrat palsu hendak perdamaian dengan Uni Soviet sebagai mediator.[58] Pada saat yang bersamaan, dalam transaksi Soviet dengan Amerika Serikat dan Inggris, Soviet bersikeras untuk secara sempit menaati Deklarasi Kairo, ditegaskan kembali di Konferensi Yalta bahwa Sekutu tidak hendak menerima perdamaian bersyarat atau perdamaian sendiri-sendiri dengan Jepang. Kepada semua negara-negara Sekutu, Jepang harus menyerah tanpa syarat. Untuk memperpanjang perang, Uni Soviet menentang semua upaya yang dilakukan untuk memperlunak syarat-syarat kapitulasi.[58] Bila perang tidak segera selesai, Uni Soviet sedang punya cukup waktu untuk memindahkan pasukan-pasukan mereka ke ajang perang Pasifik, untuk selanjutnya merebut Sakhalin, Kepulauan Kuril, dan probabilitas Hokkaido[59] (invasi dimulai dengan pendaratan di Rumoi, Hokkaido).[60]

Proyek Manhattan

Pada 1939, Albert Einstein dan Leó Szilárd menulis sepucuk surat kepada Presiden Roosevelt yang mendesaknya untuk mendanai penelitian dan pengembangan bom atom. Roosevelt setuju dan akhirnya yaitu proyek riset sangat rahasia yang disebut Proyek Manhattan. Proyek ini dipimpin Jenderal Leslie Groves dengan J. Robert Oppenheimer sebagai direktur pengarah bidang ilmiah. Bom atom pertama dengan sukses diledakkan dalam percobaan Trinity 16 Juli 1945.

Sementara proyek nyaris akhir-akhirnya, pemimpin perang Amerika mulai mempertimbangkan untuk menggunakan bom atom terhadap Jepang. Groves membentuk komite pencari sasaran yang berjumpa pada bulan April dan Mei 1945. Komite ini menyusun daftar sasaran bom atom. Mereka menentukan 18 kota-kota di Jepang. Masuk dalam daftar di urutan paling atas yaitu Kyoto, Hiroshima,[61] Yokohama, Kokura, dan Niigata.[62][63] Pada akhir-akhirnya Kyoto dihapus dari daftar atas desakan Menteri Perang Henry L. Stimson yang pernah mengunjungi Kyoto sewaktu bulan madu, dan mengetahui kota ini sangat penting dalam bidang kebiasaan istiadat dan sejarah.[64]

Pada bulan Mei, Harry S. Truman diangkatkan sebagai Presiden Amerika Serikat yang baru setelah Franklin Roosevelt wafat pada 16 April 1945. Truman menyetujui pembentukan komite Interim, sebuah kumpulan penasihat yang melapor mengenai bom atom.[63] Komite Interim terdiri dari George L. Harrison, Vannevar Bush, James Bryant Conant, Karl Taylor Compton, William L. Clayton, dan Ralph Austin Bard, serta dibantu dewan penasihat yang terdiri dari ilmuwan Oppenheimer, Enrico Fermi, Ernest Lawrence, dan Arthur Compton. Dalam laporan tanggal 1 Juni 1945, komite berkesimpulan bom atom harus digunakan secepat mungkin terhadap instalasi-instalasi perang berikut rumah-rumah pekerja di sekelilingnya, dan tidak perlu memberi peringatan atau peragaan sebelumnya.[65]

Mandat yang diberikan kepada komite tidak termasuk penggunaan bom atom, walaupun penggunaannya sudah dianggarkan bila sudah selesai.[66] Komite mengkaji kembali penggunaan bom atom setelah telah tersedia protes dalam susunan Laporan Franck dari ilmuwan Proyek Manhattan. Pada rapat 21 Juni, komite menegaskan kembali bahwa tidak telah tersedia alternatif lain selain menggunakan bom atom.[67]

Acara-acara di Potsdam

Pemimpin daya utama Sekutu berjumpa dalam Konferensi Potsdam 16 Juli-2 Agustus 1945. Uni Soviet, Kerajaan Bersatu, dan Amerika Serikat, masing-masing diwakili oleh Stalin, Winston Churchill (kemudian Clement Attlee), dan Truman.

Negosiasi

Perang melawan Jepang yaitu salah satu dari berbagai isu yang diceritakan di Potsdam. Truman mendapat berita tentang suksesnya percobaan Trinity pada awal konferensi, dan menyampaikan informasi tersebut ke delegasi Inggris. Kesuksesan percobaan bom atom menyebabkan delegasi Amerika Serikat mempertimbangkan kembali mengenai perlunya partisipasi Soviet (seperti dijanjikan di Yalta).[68] Prioritas teratas Sekutu yaitu mempersingkat perang dan mengurangi korban di pihak Amerika Serikat. Kedua hal tersebut mungkin dapat dibantu dengan telah tersedianya campur tangan Uni Soviet, namun probabilitas harus dibayar dengan membolehkan Soviet mencaplok wilayah-wilayah di luar wilayah yang dijanjikan untuk mereka di Yalta, dan mungkin Jepang hendak terbagi dua seperti Jerman.[69]

Dalam kesepakatan dengan Stalin, Truman memutuskan untuk memberikan pemimpin Soviet kabar tentang keberadaan senjata baru yang kuat tanpa memberitahukan rinciannya. Namun, Sekutu lainnya tidak menyadari bahwa intelijen Soviet telah menyusup dalam Proyek Manhattan pada tahap awal, sehingga ketika Stalin mengetahui keberadaan bom atom, beliau tidak terkesan dengan potensinya.[70]

Deklarasi Potsdam

Pemimpin negara-negara utama Sekutu memutuskan untuk mengeluarkan pernyataan yang disebut Deklarasi Potsdam yang menetapkan "penyerahan tanpa syarat" dan memperjelas guna kapitulasi Jepang untuk kedudukan kaisar dan untuk Hirohito secara pribadi. Pemerintah Amerika Serikat dan Inggris saling bertentangan mengenai butir terakhir. Amerika Serikat berhasrat menghapus posisi kaisar dan probabilitas mengadilinya sebagai penjahat perang. Sebaliknya, Inggris berhasrat mempertahankan posisi kaisar, mungkin dengan Hirohito yang tetap bertahta. Pernyataan-pernyataan dalam rancangan Deklarasi Potsdam mengalami berbagai revisi sebelum versi yang diterima kedua belah pihak selesai.[71]

Pada 26 Juli 1945, Amerika Serikat, Inggris, dan Cina merilis Deklarasi Potsdam yang telah tersedia isinya syarat-syarat kapitulasi Jepang dengan peringatan, "Kami tidak hendak menyimpang dari ketentuan-ketentuan ini. Tidak telah tersedia alternatif. Kami tidak membolehkan telah tersedianya penundaan." Untuk Jepang, deklarasi menetapkan syarat-syarat sebagai berikut:

  • Penghapusan "selama-lamanya dari kekuasaan dan pengaruh tokoh-tokoh yang telah menipu dan menyesatkan rakyat Jepang ke arah dimulainya penaklukan dunia"
  • Pendudukan "titik-titik dalam wilayah Jepang yang hendak ditentukan oleh Sekutu"
  • "Kedaulatan Jepang hendak dibatasi pada pulau-pulau Honshu, Hokkaido, Kyushu, dan Shikoku, serta pulau-pulau kecil seperti yang kami tetapkan." Seperti telah diumumkan dalam Deklarasi Kairo 1943, wilayah-wilayah Jepang hendak disita sampai wilayah sebelum perang, termasuk Korea dan Taiwan, begitu pula wilayah-wilayah jajahannya baru-baru ini.
  • "Daya militer Jepang harus sepenuhnya dilucuti"
  • "Keadilan yang keras harus dijatuhkan kepada semua penjahat perang, termasuk semua yang telah memainkan kekejaman terhadap orang kita yang ditawan".

Di lain pihak, deklarasi menegaskan bahwa:

  • "Kami tidak bermaksud memperbudak Jepang sebagai suatu ras atau menghancurkannya sebagai suatu bangsa, ... .. Pemerintah Jepang harus menghapus semua penghalang untuk kebangkitan dan makin menguatnya kecenderungan demokrasi di selang rakyat Jepang. Kebebasan berucap, beragama, dan berpikir, begitu pula peghormatan untuk hak asasi manusia yang fundamental harus ditegakkan."
  • "Jepang harus dibolehkan memiliki industri-industri yang hendak menunjang ekonomi dan memungkinkan untuk membayar tuntutan pampasan yang serupa dan tidak sewenang-wenang, ... .. Partisipasi Jepang dalam hubungan dagang internasional harus dibolehkan."
  • "Kesatuan pendudukan Sekutu hendak ditarik dari Jepang segera setelah tujuan-tujuan tersebut dicapai dan telah berdirinya sebuah pemerintahan yang bertanggung jawab dan bertujuan damai sesuai dengan hasrat rakyat Jepang yang diungkapkan secara lepas."

Satu-satunya pasal yang menyebut tentang "penyerahan tanpa syarat" dicantumkan pada kemudian deklarasi:

  • "Kami mengimbau pemerintah Jepang untuk menyatakan sekarang juga kapitulasi tanpa syarat dari semua angkatan bersenjata Jepang, dan untuk menunjukkan jaminan yang cukup dan layak atas maksud patut mereka terhadap hal tersebut. Pilihan lain untuk Jepang yaitu "penghancuran sepenuhnya dan segera."

Tidak dituturkan tentang Kaisar Hirohito apakah termasuk ke dalam salah satu dari tokoh yang "menyesatkan rakyat Jepang", atau juga seorang penjahat perang, bahkan sebaliknya bagian dari "pemerintah yang bertanggung jawab dan berkeinginan damai". Pasal "penghancuran sepenuhnya dan segera" probabilitas yaitu peringatan terselubung soal kepemilikan bom atom oleh Amerika Serikat (yang telah dicobakan dengan sukses pada ahad konferensi).[72]

Reaksi Jepang

Pada 27 Juli, pemerintah Jepang menimbang-nimbang cara menanggapi Deklarasi Potsdam. Empat tokoh militer dari Dewan Penasihat Militer bermaksud menolaknya, tapi Tōgō membujuk kabinet untuk tidak memainkannya sampai beliau mendapat reaksi dari Uni Soviet. Dalam sebuah telegram, Duta Mulia Jepang untuk Swiss Shunichi Kase berpendapat bahwa penyerahan tanpa syarat hanya berlangsung untuk militer dan bukan untuk pemerintah atau rakyat, dan beliau minta agar dimengerti bahwa pemilihan bahasa yang hati-hati dalam Deklarasi Potsdam sepertinya "telah mengalami pemikiran yang mendalam" dari pihak pemerintah-pemerintah yang menandatanganinya--"mereka rupa-rupanya telah bersusah payah berupaya menyelamatkan muka kita pada berbagai pasal-pasal."[73] Pada hari berikutnya, surat-surat kabar Jepang melaporkan bahwa Jepang telah menolak inti Deklarasi Potsdam yang sebelumnya telah disiarkan dan dijatuhkan sebagai selebaran udara di atas Jepang. Dalam usaha mengatasi persepsi publik, Perdana Menteri Suzuki berjumpa dengan pers, dan memberi pernyataan,

Diri sendiri menganggap Proklamasi Bersama sebagai pengulangan kembali Deklarasi di Konferensi Kairo. Mengenai hal tersebut, Pemerintah tidak menganggapnya memiliki nilai penting sama sekali. Salah satu hal yang dapat dilakukan yaitu mengabaikannya (mokusatsu). Kami tidak hendak memainkan apa-apa kecuali menanggungnya sampai kemudian untuk mendatangkan kemudian perang yang sukses.[74]

Guna kata mokusatsu yaitu mengabaikan atau tidak menanggapi.[74] Walaupun demikian, pernyataan Suzuki, terutama kalimat terakhir hanya menyisakan sedikit ruang untuk interpretasi yang salah. Pers Jepang dan pers luar negeri memberikan definisinya sebagai penolakan, dan tidak telah tersedia pernyataan lebih lanjut yang disampaikan ke muka umum atau aliran diplomatik untuk mengubah kesalahpahaman ini.

Pada 30 Juli, Duta Mulia Satō menulis bahwa Stalin probabilitas sedang berucap dengan Sekutu Barat mengenai transaksinya dengan Jepang. Menurut Satō, "Tidak telah tersedia alternatif selain penyerahan tanpa syarat dengan segera bila kita berhasrat mencegah partisipasi Rusia dalam perang."[75] Pada 2 Agustus, Tōgō menulis kepada Satō, "Sulit untuk Anda untuk mewujudkan hal itu ... .. terbatas waktu kita untuk berlangsung ke persiapan mengakhiri perang sebelum musuh mendarat di pulau-pulau utama Jepang, di lain pihak sulit untuk memutuskan syarat-syarat damai yang nyata di tanah air secara sekaligus."[76]

Hiroshima, Manchuria, dan Nagasaki

Hiroshima: 6 Agustus