Apa yang dimaksud wadiah yad amanah dan wadi ah yad dhamanah?

31 Maret 2016

Apa yang dimaksud wadiah yad amanah dan wadi ah yad dhamanah?

Jikalau kamu pergi ke sebuah Bank Syariah dan hendak membuka rekening khususnya rekening tabungan, umumnya kamu dikasih 2 pilihan akad yaitu akad mudharabah dan akad wadiah. 

Nah, masih bingung dengan kedua akad tersebut? Pada artikel kali ini akan dibahas salah satu akad yaitu akad wadiah.

Apa itu akad Wadiah?

Secara bahasa al-wadau berarti meninggalkan, sedangkan al-wadiah adalah suatu barang tertentu yang ditinggalkan oleh pemilik kepada selain pemiliknya.  Beberapa ulama berbeda pendapat dalam memberikan nama terhadap akad ini, ada yang berpendapat bahwa akad yang berlaku disebut dengan akad ‘ida bukanlah wadah dikarenakan wadiah adalah barangnya namun ada juga yang berpendapat bahwa akad ini bisa disebut akad ‘ida’ ataupun akad wadiah.

Akad wadiah secara istilah, menurut  Hanafiah adalah melimpahkan kepada orang lain untuk menjaga harta seseorang dengan cara jelas/terang (explisit) atau tersirat (implisit). Contoh apabila secara jelas/terang, misal: datang seorang laki-laki berkata pada temannya: “aku titipkan ini padamu” dan orang tersebut menerimanya maka ini disebut secara terang. Namun, ketika ada seorang laki-laki datang dan dia menyerahkan kepada orang lain didepannya dan pihak lain menerimanya kemudian langsung pergi maka ini yang disebut menggunakan isyarat/tersirat.

Adapun menurut Syafi’iyah dan Malikiyah, akad wadi’ah didefinisikan sebagai sebuah akad memberikan orang lain sebuah perwakilan (agensi) untuk menjaga barang atau kepemilikan yang sah. Misalnya: menitipkan barang berupa anggur (penitipan sebelum orang memeluk agama islam), kulit yang bisa disamak. Disisi lain, penitipan tidak boleh berupa barang yang tidak menjadi kepemilikan  penuh, contoh Barang yang dilarang penggunaannya dan properti yang hilang.

Terms yang perlu kamu ketahui yang berkaitan dengan akad wadi’ah adalah sebagai berikut:

  • Muwadi’ : yang menitipkan barang/penitip
  • Muwada’ : Yang dititipi barang/penerima titipan disebut
  • Wadi’ atau wadi’ah : Objek/Barang yang dititipi

Landasan Hukum Wadiah

Dalil yang menghadirkan akad ini adalah dari QS. Al-Baqarah: 283 yang artinya, “Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya.” 

Kemudian terdapat pula pada QS. An-Nisa: 58 yang artinya,

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil”

Juga diperkuat oleh hadist Nabi SAW, “Tunaikanlah amanah kepada orang yang mengamanahkan kepadamu, dan janganlah kamu mengkhianati orang yang mengkhianatimu.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Al Irwaa’ 5/381).

Dikarenakan praktiknya akad wadiah dalam perbankan syariah merupakan salah satu bentuk tabungan. Maka rujukan atas fatwa yang terkait dengan wadiah adalah Fatwa DSN MUI No: 02/DSN-MUI/IV/2000 tentang tabungan.

Rukun Akad Wadiah

Setiap kegiatan baik dalam rangka ibadah maupun muamalah pasti memiliki rukun yang menyertainya. Lalu, apa saja rukun dari wadiah?

Ulama Hanafiyah hanya memberikan satu rukun pada akad wadiah yaitu adanya ijab dan qabul (shighat), seperti sebuah kalimat, “aku titipkan padamu, barang ini tolong dijaga, aku letakkan ini untuk titipan kepadamu dll”.

Lalu, barang atau harta seperti apa yang bisa dititipkan? Barang atau harta yang dapat dititipkan adalah barang yang dapat disimpan. Barang yang tidak dapat disimpan seperti burung yang terbang di udara atau benda yang jatuh di dalam air tentunya tidak dapat dititipkan. Selain itu kehalalan benda perlu menjadi pertimbangan. Artinya, barang atau harta yang sifatnya haram tidak dapat dititipkan. Dalam mazhab Syafi’iyah dan Hanabilah memiliki tambahan syarat yaitu barang yang dititipkan adalah barang yang memiliki nilai atau qimah sehingga dapat dipandang sebagai maal. Contohnya anjing yang dapat dimanfaatkan sebagai penjaga rumah. Apabila benda tersebut tidak memiliki nilai seperti anjing yang tidak dapat dimanfaatkan maka barang yang dititipkan menjadi tidak sah.

Sedangkan jumhur Ulama menetapkan 4 rukun atas akad titipan yaitu

  1. Orang yang mentipkan barang,
  2. Orang yang dititipi barang,
  3. Barang yang dititipkan (wadi’ah),
  4. Sighah titipan (ijab-qabul)

Adapun dalam praktik shighah wadiah (ijab-qabul) bisa berupa terucapkan (lafadh) atau hanya dengan pesetujuan melalui gerakan dan tindakan seperti jual-beli muathah’ yang hanya perlu menggunakan isyarat karena pada dasarnya isyarat tersebut sudah menjadi urf dalam transaksi tersebut.

Apa Saja Syarat Ajad Wadiah

Syarat Akad Wadiah

Ulama Hanafiyah mensyarat kedua  belah pihak harus berakal, tidak boleh anak kecil yang belum berakal, orang gila, orang mabuk, hilang akal dll. Akan tetapi tidak disyaratkan harus baligh secara umur. Anak kecil diperbolehkan untuk melakukan akad titipan dengan adanya akal pada dirinya sebagaimana diperbolehkannya anak kecil melakukan akad perdagangan jual beli. Meskipun dalam hal ini jual beli yang diperbolehkan adalah jual beli yang tidak menuntut adanya syarat dan ketentuan yang sulit untuk dipahami oleh anak kecil.

Adapun jumhur ulama’ mensyaratkan kepada kedua belah pihak (penitip dan yang dititipi) sebagaimana dalam agensi (wakalah) yaitu baligh, berakal dan mumayiz.

Terkait dengan barang yang dititipkan harus berupa properti atau barang yang mampu untuk diberikan secara fisik. Barang titipan tidak bisa berupa hewan yang kabur, ikan di laut, burung di udara atau barang lain yang tidak mampu dijangkau atau dipindahtangankan.

Status dan Tatacara Penjagaan Barang dalam Akad Wadiah

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa penjagaan barang dapat dilakukan oleh orang dalam tanggunganya semisa istri, anak, pembantu ataupun orang yang diberi upah untuk menjaga barang tersebut. Akan tetapi tidak diperbolehkan kepada keluarga atau tanggungungan yang baru seperti istri yang belum lama dinikahi, pembantu atau pegawai yang baru saja menjadi karyawan.

Adapun ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa penjagaan barang harus dilakukan sendiri oleh orang yang dititipi, dia tidak diperkenankan untuk meninggalkan barang kepada siapapun biarpun kepada istri dan anak, terkecuali atas ijin dari penitip. Hal ini didasari bahwa amanat yang diberikan atau kepercayaan yang diberikan oleh penitip hanya diberikan kepada seseorang saja yang mana dia tidak bisa memberikan kepercayaan tersebut kepada orang lain. Maka ketika orang yang dititipi melanggar amanat, maka dia harus menjamin barang titipannya. Alasan yang valid diperkenankan seperti sakit atau dalam bepergian.

Semua Ulama Madzhab setuju bahwa sebuah ibadah sunnah bagi yang dititipi, dan mendapatkan pahala atasnya, sesunggguhnya barang titipan adalah amanah bukanlah tanggungan atau jaminan. Sesugguhnya jaminan tidak diwajibkan atas orang yang dititipi kecuali ada unsur kesengajaan dan kecerobohan. Berlandaskan hadith Nabi: “Orang yang dititipi yang tidak melampaui batas maka tidaklah baginya jaminan” Hadist lain menyebutkan, “Tidaklah ada jaminan kepada orang yang diberi amanah”. Hal ini dalam pandangan Hanafi: menyertakan penjaminan dalam akad amanah (kepercayaan) adalah batil.

Ketika si pemilik meminta barang titipannya dan ternyata hilang, maka hal tersebut menjadi kewajiban pihak yang dititipi untuk menjaminnya.

Teputusnya Akad Wadiah

Ternyata dalam akad juga bisa terputus loh. Apa saja yang dapat menyebabkan akad wadiah terputus?

Setidaknya ada lima kondisi yang dapat menyebabkan akad wadiah menjadi terputus:

  1. Pengembalian barang oleh orang yang dititipi kepada penitip baik diminta atapun tidak.
  2. Meninggalnya orang yang dititipi ataupun penitip
  3. Salah satu dalam keadaan koma berkepanjangan, atau menjadi gila atapun stress dalam beberapa waktu dan hal ini merusak akad titipan tersebut.
  4. Ketika terjadi “hajr” atau legal restriction yang terjadi pada penitip seperti hilang kompetensi, dan pada pihak orang yang dititipi bangkrut atau pailit, maka akad titipan terputus
  5. Ketika pihak yang dititipi mentransfer kepemilikan barang titipan kepada pihak lain, seperti dijual, ataupun diberikan sebagai hadiah.

Praktik Wadiah Pada Bank Syariah

Setelah memahami tentang wadiah  dan rukunnya, lalu bagaimana praktiknya pada Bank Syariah sebagaimana telah disinggung sebelumnya.

Nah, pada bank syariah akad wadiah memang ditujukan untuk mereka yang uangnya hanya dititipkan dan bank tidak berhak untuk memberikan bagi hasil yang mana biasa diberikan pada akad mudharabah. 

Akad wadiah dibagi pada 2 jenis yaitu wadiah amanah dan wadiah dhamanah. Pada wadiah amanah,  Bank tidak boleh memutarkan uangnya sedangkan pada wadiah dhamanah, bank diperbolehkan untuk memutarkan uangnya tetapi dengan syarat bank harus menjamin bahwa uang tersebut dapat dikembalikan. Produk yang menggunakan akad wadiah dhamanah adalah produk rekening giro.

Apa yang dimaksud wadiah yad amanah dan wadi ah yad dhamanah?
Skema Akad Wadiah Amanah

Dari skema tersebut, akad wadiah amanah tergambar pada proses yang lebih sederhana. Yaitu pihak penitip akan memberikan barang untuk dititipkan. Namun, sebagai jasa atas penyimpanan maka penitip memberikan bayaran. Ini biasanya terjadi di Bank Syariah pada produk save deposit box

Apa yang dimaksud wadiah yad amanah dan wadi ah yad dhamanah?
Skema Akad Wadiah Dhamanah

Kalau dari uang yang diputarkan pada akad wadiah dhamanah dan bank mendapatkan keuntungan apakah keuntungan itu harus dibagikan? Nah, sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya kalau pada akad wadiah, bank tidak memiliki hak untuk memberikan bonus. Tetapi, umumnya Bank memberikan keuntungan tersebut sebagai hadiah/bonus untuk nasabah secara sukarela dan dalam islam hal tersebut diperbolehkan. Bila dilihat dari skema di atas maka barang/aset yang ditipkan diputar oleh bank pada suatu usaha yang kemudian dari usaha tersebut menghasilkan keuntungan yang diperuntukan khusus untuk bank. Keputusan bank untuk memberikan bonus atau tidak maka itu tergantung dari kebijakan bank itu sendiri.

Akad Wadiah pada Era Kontemporer

Pada era kontemporer saat ini, akad wadiah tidak hanya diterapkan pada produk bank yang sifatnya tabungan tetapi juga terhadap produk yang lain yang memudahkan seseorang untuk bertransaksi. Apakah produk tersebut?

Produk tersebut adalah e-money. Secara sederhana, e-money adalah sistem uang elektronik yang mengkonversi uang kertas yang dimiliki masuk ke dalam sistem e-money yang berbentuk kartu. Siapa yang tidak tahu tentang kartu multifungsi ini?

Kartu yang sudah lazim di kebanyakan orang terutama bagi mereka yang tidak terbiasa membawa uang tunai terlalu banyak. Mereka akan mengkonversi uang mereka ke dalam kartu  e-money. Terlebih buat mereka yang berkendara menggunakan transportasi umum seperti kereta yang tentunya akan lebih efisien ketika menggunakan e-money. Namun, apakah kartu e-money itu diperbolehkan?

Terlepas dari pro-kontra yang ada terkait penggunaan kartu e-money, Ustadz Oni Sahroni dalam bukunya Fikih Muamalah Kontemporer: Membahas Ekonomi Kekinian menjelaskan bahwa kartu e-money secara syariah diperbolehkan. Hal ini juga mengacu pada fatwa DSN No:116/DSN-MUI/IX/2017 tentang uang elektronik syariah karena dilihat dari maslahat yang hadir dengan adanya kartu e-money.

Salah satu akad yang digunakan pada akad e-money adalah akad wadiah. Akad ini terjadi antara penerbit e-money dengan pengguna kartu e-money. Adapun akad yang terjadi antara penerbit e-money dengan merchant adalah ijarah, ju’alah dan wakalah bil ujrah.

Dalam hal ini maka dapat diambil kesimpulan bahwa akad wadiah pada era kontemporer saat ini digunakan juga untuk produk keuangan yaitu kartu e-money. Sehingga kamu tidak perlu khawatir untuk menggunakan kartu e-money untuk bertransaksi apapun.

Itulah akad wadiah dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Semoga dengan pengetahuan ini dapat lebih memantapkan kamu untuk menggunakan produk-produk ekonomi dan keuangan syariah.

Tags:

Startup, Impian