Apa yang menyebabkan pemerintah melakukan perubahan tarif pajak?

Perubahan itu memang mesti dilakukan terus menerus. Sebagai organisasi yang dinamis Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menempuh jalan itu, karena menyadari bahwa ketika tidak ada perubahan—dengan menjalankan pola pikir dan cara-cara lama—niscaya zamanlah yang akan menggilas DJP.

Kesadaran yang tampak ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani memukul gong untuk memula sebuah perubahan di November 2016: Reformasi Perpajakan. Tak perlu bahasa dialektika atau pun trialektika semacamnya, karena bahasa bisa diperdebatkan. Mengutip Rhenald Kasali, “Kata-kata bisa diselubungkan dan janji-janji mudah diucapkan.” Tetapi ujungnya perubahan itu mesti dijalankan. Dengan nyali dan aksi bersama tentunya.

Pertanyaan besarnya adalah mengapa DJP harus berubah? Perenungan dan evaluasi terhadap masa lalu menjadikan permasalahan-permasalahan itu tampak bagaikan gajah di pelupuk mata yang memang benar-benar terlihat. Ada enam alasan yang mendasarinya:

Pertama, mutu layanan yang diberikan DJP kepada wajib pajak belumlah optimal. Banyak wajib pajak yang komplain terkait layanan DJP seperti sulitnya melakukan pendaftaran wajib pajak dan pelaporan secara daring, pelayanan yang tidak menjangkau secara luas terutama kepada wajib pajak yang jauh dari kantor pelayanan pajak, dan regulasi yang malah mempersulit wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Kedua, lemahnya pengawasan dan penegakan hukum perpajakan. Ini terefleksikan dari basis data perpajakan yang kurang akurat, ketiadaan prioritas pengawasan dan penegakan hukum, proses bisnis penegakan hukum yang tidak menjamin good governance, dan kurangnya pengendalian interaksi antara petugas pajak dan wajib pajak.

Ketiga, kurangnya kerja sama dengan para pihak yang bermuara pada basis data dan penegakan hukum yang lemah serta kebijakan perpajakan yang mengganggu investasi. Padahal kerja sama dengan pihak internal maupun eksternal Kementerian Keuangan telah terfasilitasi dengan undang-undang perpajakan yang ada.

Keempat, kurangnya kesempatan bagi wajib pajak untuk memperoleh keadilan perpajakan. Hal ini terpancar dari kurangnya kualitas produk hukum perpajakan berupa surat ketetapan pajak, masih banyaknya permohonan keberatan, dan permohonan restitusi yang tidak sederhana.

Kelima, lemahnya institusi perpajakan. Ini tergambar dari sumber daya manusia yang terbatas dibandingkan dengan jumlah wajib pajak yang ditangani, kurangnya motivasi pegawai dikarenakan pola mutasi, promosi, dan remunerasi yang belum tertata dengan baik, serta tak berdayanya sistem pengendalian internal.

Keenam, lemahnya regulasi perpajakan. Masih banyak aturan perpajakan yang multitafsir, kurang berdayanya aturan perpajakan yang ada, undang-undang perpajakan yang tidak mengantisipasi perkembangan ekonomi yang bergerak cepat dengan tantangan yang semakin kompleks menjadikan DJP seringkali kehilangan kesempatan untuk mendapatkan potensi pajaknya.

Alasan-alasan di atas itulah yang mendasari wajibnya reformasi pajak. Semuanya tergambar dengan jelas. Sekarang pilihan ada di tangan: mau atau tidak untuk berubah ke arah yang lebih baik. Sebagai manusia ada dua modal untuk melakukan perubahan itu yakni nalar dan belajar. Nalar yang sehat dan belajar tiada henti. Walaupun perubahan itu menimbulkan “rasa takut” dan “rasa sakit”, dengan dua modal itu diyakini sekali perubahan dapat menjadikan DJP sebagai institusi perpajakan yang kuat, kredibel, dan akuntabel. Semoga. (Rz/*)

Indonesia - Negara Indonesia merupakan salah satu negara yang menerapkan pemungutan pajak sebagai pemasukan utama pertumbuhan ekonomi negara. Dalam perjalanannya, pajak sendiri memiliki beberapa fungsi utama, yaitu fungsi anggaran, fungsi mengatur, fungsi stabilitas, dan fungsi redistribusi pendapatan.

Fungsi Anggaran:

Dalam fungsi ini, penerimaan pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran atau belanja negara.

Fungsi Mengatur:

Dalam fungsi ini, pajak bisa digunakan sebagai sarana atau alat untuk pencapaian tujuan dengan aturan-aturan yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk mengatur pertumbuhan ekonomi yang tertuang dalam kebijakan-kebijakan pajak.

Fungsi Stabilitas:

Dengan adanya pungutan pajak yang diberlakukan, pemerintah memiliki dana untuk dapat menjalankan kebijakan yang berkaitan dengan fungsi stabilitas ini sehingga inflasi dapat dikendalikan dengan baik. Menjaga stabilitas ekonomi negara ini dapat dilakukan dengan cara mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak, serta penggunaan pajak yang efektif dan efisien.

Fungsi Redistribusi Pendapatan:

Dalam fungsi ini, hasil dari pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara akan digunakan untuk membiayai kepentingan-kepentingan umum yang berkaitan dengan kemakmuran rakyat.

Namun, dalam dunia perpajakan juga dikenal dengan istilah reformasi pajak. Reformasi pajak secara umum merupakan perubahan atas kebijakan yang berkaitan dengan pajak suatu negara. Dalam reformasi, pajak dapat mengalami penurunan maupun kenaikan tarif sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan dalam suatu negara.

Belakangan ini, dunia juga dihebohkan dengan adanya ‘perang tarif pajak’. Perang tarif pajak merujuk pada perubahan tarif pajak yang diturunkan oleh suatu negara dengan tujuan untuk menarik investor masuk ke dalam negara tersebut untuk dapat berinvestasi. Dengan adanya investasi, maka akan mempercepat laju pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Penurunan tarif pajak yang diberlakukan oleh suatu negara dengan tujuan untuk menarik investor ini yang kemudian membuat negara-negara lain yang mengenakan pungutan pajak dengan tarif tinggi sedikit terancam karena memiliki ketakutan bahwa investor yang menanamkan modal di negaranya akan berpindah alih pada negara yang menerapkan penurunan tarif atau negara dengan tarif pajak yang lebih rendah. Hal ini lah yang menimbulkan suatu peperangan antar tarif pajak di masing-masing negara.

Penurunan tarif pajak meskipun berisiko untuk mengurangi pemasukan suatu negara, namun disisi lain diharapkan dapat memberikan keuntungan lain di bidang ekonomi dengan mengharapkan investor-investor masuk ke negara tersebut. Namun, penurunan tarif ini membukakan mata dan pikiran kita bahwa fungsi pajak itu bukan hanya sekedar fungsi anggaran saja, tetapi juga terdapat fungsi pajak yang lainnya. Apabila menggunakan fungsi anggaran sebagai tolok ukur untuk menurunkan tarif pajak, maka dengan penurunan tarif tersebut dapat menrunkan sumber penerimaan atau pendapatan suatu negara, sehingga fungsi anggaran ini tidak tercapai. Namun, apabila dikaitkan dengan fungsi stabilisasi yang merupakan fungsi lain dari pajak, maka diharapkan dengan fungsi ini dapat menstabilkan perekonomian suatu negara dengan mengharapkan investor masuk ke dalam negara tersebut.

Dengan adanya perang tarif ini, pastinya akan memunculkan tanggapan-tanggapan yang beragam dari negara lain, bahwa cepat atau lambat negara-negara yang tersakiti atau terancam dengan adanya perang tarif ini mau tidak mau harus merespon untuk memangkas tarif pajak di negaranya juga agar negara mereka tidak kehilangan investor dan dapat meningkatkan daya saingnya.

Namun, tidak semudah itu untuk ikut menurunkan tarif dalam kaitannya perang tarif pajak ini. Terdapat konsekuensi atau efek dari tarif yang diturunkan tersebut, beberapa konsekuensi terburuk yang dapat terjadi dengan adanya perang tarif pajak ini adalah kerusakan pada ekonomi, inflasi yang lebih tinggi, serta ketidakpastian geopolitik yang lebih besar secara global.

Reformasi perpajakan, baik itu kenaikan maupun penurunan tarif pajak pasti akan selalu ada dan pasti akan dilkukan oleh masing-masing negara karena mengingat tentang perubahan, khususnya dalam perpajakan akan selalu tetap terjadi. Namun, untuk melakukan sebuah reformasi juga harus dibutuhkan pertimbangan yang matang oleh Pemerintah dengan mengingat selalu akan dampak baik dan buruknya bagi perekonomian negara.



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah batal menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) Badan tahun depan sebesar 20% sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. Dus, tarif pajak korporasi pada 2022 tetap sebesar 22%. Kebijakan tersebut tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Beleid sapu jagad perpajakan tersebut tengah dibahas dalam Rapat Paripurna  Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan atas RUU HPP, Kamis (7/10). Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengatakan alasan pemerintah tidak menurunkan tarif PPh Badan karena sejalan dengan tren perpajakan global yang mulai menaikkan penerimaan dari PPh seiring dengan pemulihan ekonomi pasca pandemi. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2022, pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan tahun depan sebesar Rp 1.510 triliun. Angkat tersebut naik 4,5% dari target tahun ini sebesar Rp 1.444,54 triliun. Baca Juga: Rapat paripurna DPR, batal kenakan PPN sembako, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan Namun demikian, Yasonna menekankan dengan besaran tarif PPh Badan yang berlaku tetap dapat menjaga iklim investasi. Oleh karena itu, tarif PPh Badan tetap akan sebesar 22% untuk tahun pajak 2022 dan seterusnya. Menurut Yanonna, tarif PPh Badan di Indonesia tersebut lebih rendah dibandingkan dengan tarif PPh Badan rata-rata negara ASEAN sebesar 22,17%, negara-negara OECD 22,81%, negara-negara Amerika sebesar 27,16%, dan negara-negara G-20 sebesar 24,17%. Di samping itu, untuk tetap mengoptimalkan PPh Badan, RUU HPP juga memberikan payung hukum untuk penerapan pencegahan penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba (GloBE) bagi perusahaan multinasional. Yasonna menyebut hal tersebut sebagai implementasi kesepakatan perpajakan internasional dalam rangka mencegah dan mengatasi Base Erosion and Profit Shifting (BEPS). Sementara itu, pemerintah juga menyepakati usulan DPR untuk tidak mencantumkan ketentuan mengenai Pajak Minimum Alternatif atau Alternative Minimum Tax (AMT) dan General Anti Avoidance Rule (GAAR) dalam RUU ini. Baca Juga: Jelang pengesahan RUU HPP, ini kata Menko Airlangga dan Sri Mulyani “Agar kondisi kegiatan usaha dan iklim investasi tetap kondusif. Pemerintah tetap akan melakukan langkah-langkah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melalui kerjasama internasional untuk melindungi basis pajak dan kepentingan penerimaan negara dari praktik-praktik penghindaran pajak,” kata Yasonna saat Rapat Paripurna, Kamis (7/10). Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji menilai keputusan pemerintah dan DPR RI untuk membatalkan penurunan tatif PPh Badan cukup mengejutkan. Sebab, sebelumnya tidak dimasukkan dalam rancangan awal RUU tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang (UU) Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) serta berbeda dengan agenda penurunan tarif sebagaimana diatur melalui UU 2/2020. Walau demikian, Bawono mengatakan adanya skenario tersebut justru memiliki relevansi dengan perkembangan terkini. Pertama, ini selaras dengan tren reformasi pajak di berbagai negara. Trennya ialah pemerintah lebih banyak memberikan dukungan fiskal khususnya di saat pandemi bagi korporasi serta mendesain skema insentif pajak untuk ancang-ancang meningkatkan daya saing pasca pandemi. “Namun umumnya tidak melalui skema penurunan tarif PPh badan. Dalam konteks Indonesia, berbagai relaksasi dan insentif sebenarnya juga sudah tersedia, mulai dari insentif pajak dunia usaha dalam program PEN, dorongan bagi sektor properti dan otomotif, hingga adanya skema supertax deduction, tax holiday, dan sebagainya,” ucap Bawono kepada Kontan.co.id, Rabu (6/10). Kedua, sebagai antisipasi adanya rencana global minimum tax yang rencananya akan disepakati secara global pada Oktober ini. Ini sebagaimana rencana OECD dengan dukungan G20 yang membuat proposal tarif pajak efektif secara minimum yang akan berlaku secara global. “Hal ini juga akan membuat besaran tarif PPh badan tidak terlalu relevan dalam perebutan investasi secara internasional,” ucap Bawono.

Selanjutnya: Ada rencana tax amnesty jilid II, rasio pajak diprediksi akan meningkat

  Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News Editor: Tendi Mahadi

  • penerimaan pajak
  • Pph Badan
  • RUU HPP

Apa yang menyebabkan pemerintah melakukan perubahan tarif pajak?