Apa yang perlu dilakukan agar negara itu menjadi kuat

Di dalam kegiatan belajar terdahulu Anda telah mempelajari bahwa globalisasi itu tidak bisa dihindarkan. Globalisasi itu sudah melanda Indonesia dan merobek-robek kehidupan manusia. Ia datang membawa muatan-muatan positif dan negatif, yang untuk sementara orang mengkhawatirkan akan menghilangkan nasionalisme atau negara bangsa (nation state). Memang ada yang menarik untuk dikaji dalam proses globalisasi ini, seperti yang disebut oleh J. Naisbitt sebagai Paradoks1). (John Naisbitt, Global Paradoks. Antara lain ia mengamati The more universal we become, the more tribal we act, which in the Global Paradoks also means more and smaller parts (hal. 50). Selanjutnya, ia mengatakan The development of power is shifting from state to the individual. From vertical to the horizontal. From hierarchy to networking. Hal. 51. Charles Handy dalam bukunya Era Paradoks melihat kehidupan dunia modern dalam serba paradokssal (hal. 12). Gejala-gejala paradoks itu misalnya dapat kita lihat dalam proses globalisasi yang berefek pada diferensiasi pada satu pihak terdapat suatu budaya munculnya subbudaya etnis, tetapi pada pihak lain atau bersamaan waktunya muncullah gejala homogenisasi bentuk budaya terutama yang disebabkan oleh komunikasi antarmanusia yang semakin intens. Negara-negara yang terdiri dari berbagai jenis etnis yang dahulunya secara kuat diikat oleh negara, kini seakan-akan ikatan itu mulai melemah dengan munculnya budaya etnis. Masalah ini bagi bangsa Indonesia memang sudah disadari sejak semula oleh pendiri republik ini (founding fathers). Semboyan Bhinneka Tunggal Ika berarti pengakuan terhadap nilai-nilai subbudaya etnis dari bangsa Indonesia yang bhinneka, namun keseluruhannya diikat oleh suatu cita-cita yaitu bangsa Indonesia yang berupaya menciptakan budaya nasional Indonesia sebagai puncak budaya etnis. Intensifnya media masa mempromosikan daerah-daerah yang dahulunya terpencil, tetapi sangat eksotis membuat daya tarik bagi turisme internasional. Lihat saja CNN setiap malam menayangkan berbagai jenis atraksi dari berbagai jenis budaya di seantero dunia. Proses ini telah menyebabkan perubahan dari negara bangsa yang homogen ke arah suatu multikulturalisme.

Kemajuan pesat teknologi dalam wujud Triple “T” Revolution, telekomunikasi atau informasi, transportasi dan Trade (perdagangan bebas) membuat hubungan umat manusia antarnegara menjadi sangat intens seakan-akan menggilas negara bangsa dan membangun citra global. Kemajuan pesat teknologi ini membawa muatan isu global seperti demokratisasi, hak asasi manusia dan kelestarian lingkungan hidup. Sebagai bangsa Indonesia, dengan berpijak pada budaya Pancasila, kita harus siap menghadapi kekuatan global tersebut, agar tetap eksis sebagai suatu bangsa dalam pergaulan dunia.

Untuk menghadapi globalisasi tersebut kita harus tahu kekuatan dan kelemahan yang kita miliki dalam segenap aspek kehidupan bangsa (astagatra) sebagai berikut.

Potensi wilayah darat, laut, udara dan iklim tropis sebagai ruang hidup sangat baik dan strategis, namun di sisi lain terdapat kelemahan dalam pendayagunaan wilayah darat, laut, dirgantara, dan pengaturan tata ruangnya.

Potensi sumber kekayaan alam (SKA) di daratan, lautan, dan dirgantara, baik yang bersifat hayati maupun nonhayati, serta yang dapat diperbarui maupun yang tidak dapat diperbarui sangat besar. Hal ini merupakan modal dan kekuatan dalam pembangunan. Namun, kelemahannya belum sepenuhnya potensi sumber kekayaan alam tersebut dimanfaatkan secara optimal. Kalaupun ada yang telah dimanfaatkan masih ada di antaranya dalam pemanfaatannya kurang memperhatikan kelestarian dan distribusi hasilnya. Hal ini tidak sejalan dengan konsep pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di sisi lain juga sumber kekayaan alam yang ada tidak seluruhnya dapat dijaga keamanannya dengan baik atau dengan kata lain rawan pencurian.

Jumlah penduduk Indonesia termasuk nomor 4 di dunia. Pertumbuhannya dapat ditekan akibat makin meningkatnya tingkat pengetahuan masyarakat melalui program KB (Pertumbuhan 1,9%). Begitu juga tingkat kesehatan harapan hidup, dan kualitas fisik semakin meningkat. Kelemahannya, sebagian penduduk Indonesia antarwilayah atau daerah atau antarpulau tidak proporsional, pertumbuhan belum mencapai zero growth dan kualitas nonfisik yang masih rendah.

Dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat kita berpegang pada ideologi Pancasila. Pancasila telah diterima sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Pembudayaan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari (nilai praktis) telah dan sedang digalakkan. Kelemahannya, pengamalan atau pembudayaan Pancasila tersebut belum sepenuhnya terwujud. Ini adalah tantangan bagi seluruh bangsa Indonesia dan jika ideologi Pancasila tersebut tidak dapat memberikan harapan hidup lebih baik bukan tidak mungkin akan ditinggalkan oleh masyarakat.

Dalam pelaksanaan politik sudah diciptakan kerangka landasan sistem Politik Demokrasi Pancasila dan sudah tertata terutama struktur politik dan mekanismenya.

Kendatipun demikian, hal ini perlu dikaji dan disempurnakan sesuai dengan aspirasi dan perkembangan masyarakat demikian juga pelaksanaan-nya terus memerlukan penyempurnaan sesuai dengan tuntutan kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Kelemahannya, budaya politik masih perlu perbaikan dan peningkatan. Suprastruktur masih sangat dominan apabila dibandingkan dengan infrastruktur dan substruktur. Begitu juga komunikasi politik dan partisipasi politik perlu mendapat perhatian untuk diperbaiki.

Kekuatan perekonomian Indonesia terletak pada struktur perekonomian yang makin seimbang antara sektor pertanian dengan sektor industri dan jasa. Pertumbuhan perekonomian cukup tinggi (rata-rata ± 7%). Kelemahannya, perindustrian Indonesia belum begitu kokoh karena masih tergantung pada impor bahan baku atau komponen. Impor bahan baku atau komponen serta impor bahan-bahan lainnya sampai kepada barang konsumsi membuat cadangan devisa yang semakin merosot. Belum lagi ditambah utang luar negeri, untuk membiayai pembangunan, harus dicicil dengan devisa yang kita miliki. Sementara itu, dalam proses pembangunan terjadi ekonomi biaya tinggi (high cost economy) yang membuat inefisien biaya pembangunan. Kesenjangan ekonomi juga cenderung semakin tinggi dapat memacu dan memicu destabilisasi ekonomi dan politik yang berpengaruh terhadap kelangsungan pembangunan tersebut. Perpajakan juga masih lemah dan perlu mendapat perhatian dalam upaya meningkatkan biaya pembangunan yang sedang dijalankan saat ini.

Kekuatan bangsa Indonesia terletak pada kebhinnekaannya, bagaikan kumpulan bunga berwarna-warni dalam sebuah taman. Tetapi apabila kebhinnekaan atau kemajemukan tersebut tidak dapat dibina dengan baik bukan tidak mungkin dapat menjadi bibit perpecahan.

Dalam kegiatan belajar terdahulu kemajemukan Indonesia disebut juga rawan perpecahan. Sementara sebagai hasil pembangunan yang kita lakukan selama PJPT I di era orde baru ini dapat meningkatkan kesejahteraan dan kecerdasan rakyat serta meningkatkan harkat martabat dan jati diri sebagai bangsa Indonesia yang tidak lepas dari akar kebudayaannya. Namun demikian, masih banyak kelemahan yang perlu diperbaiki di antaranya, berkembangnya primordialisme, kolusi, korupsi, dan nepotisme yang membudaya dan disiplin nasional yang semakin merosot. Kehidupan masyarakat agak cenderung ke arah individualistis dan materialistis dan makin berkurangnya keteladanan para pemimpin.

Dalam bidang pertahanan dan keamanan sudah ditata sistem. Pertahanan dan keamanan rakyat semesta, doktrin Hankamrata serta diundangkannya UU No. 20 Tahun 1982 tentang Pertahanan dan Keamanan Negara. Di sisi lain bangsa Indonesia mewarisi tradisi sebagai bangsa pejuang yang merebut kemerdekaan dari penjajah merupakan sumber kekuatan. Kelemahannya sishankamrata tersebut belum sepenuhnya terwujud. Kesadaran bela negara belum memasyarakat. Sementara itu tingkat keamanan masyarakat masih terganggu dengan makin meningkatnya kriminalitas.

Berpijak pada kekuatan dan kelemahan yang kita miliki menghadapi era globalisasi. Faktor yang berpengaruh sangat dominan adalah perekonomian, khususnya perdagangan (trade) untuk memperoleh keuntungan bagi kesejahteraan rakyat masing-masing negara. Semua kegiatan atau upaya selalu dikaitkan dengan kepentingan ekonomi atau perdagangan. Kondisi sekarang negara-negara maju menguasai sebagian besar modal, teknologi atau skill. Kondisi ini sangat menguntungkan negara-negara maju dalam liberalisasi perdagangan dibandingkan dengan negara-negara berkembang. Hal ini merupakan tantangan bagi bangsa Indonesia untuk mensejajarkan diri dengan bangsa atau negara maju tersebut, melalui peningkatan tannas Indonesia. Kunci dalam peningkatan tannas Indonesia itu adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia menuju ke penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dilandasi oleh iman dan taqwa.

  1. TANNAS YANG DIHARAPKAN DI ERA GLOBALISASI

Sebagaimana Anda telah pelajari pada bagian terdahulu bahwa Tannas Indonesia harus mampu memberikan jaminan, terhadap:

  1. identitas dan integritas Nasional;
  2. eksistensi bangsa Indonesia dan negara kesatuan Republik Indonesia;
  3. tercapainya tujuan dan cita-cita Nasional.

Untuk semua itu, bangsa Indonesia melakukan pembangunan nasional (Bangnas). Dalam pembangunan nasional tersebut diupayakan dengan pendekatan tannas yang dilandasi oleh Wasantara. Oleh karena itu pula, Wasantara sebagai wawasan dalam pembangunan nasional.   

Penerapan pendekatan tannas dalam pembangunan nasional sejalan dengan kelemahan dan kekuatan yang kita miliki seperti diutarakan maka diperlukan pengaturan dalam segenap aspek kehidupan bangsa (Astagrata).

Aspek Trigatra

Dalam pengaturan aspek Trigatra yang perlu mendapat perhatian ialah:

  1. Pengaturan tata ruang wilayah nasional yang serasi antara kepentingan kesejahteraan dan kepentingan keamanan. Keserasian ini sangat penting karena kita tidak mau membayar risiko yang sangat besar apabila terjadi keadaan darurat perang atau bencana. Sumber-sumber perekonomian dan permukiman harus dilindungi. Oleh karena itu, dalam perencanaan pembangunan harus mempertimbangkan kepentingan keamanan tersebut dalam arti luas, selain mempertimbangkan aspek kesejahteraan untuk masyarakat luas.
  2. Pengelolaan sumber kekayaan alam dengan memperhatikan asas manfaat, daya saing dan lestari      serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Asas manfaat berkaitan dengan upaya pengelolaan sumber kekayaan alam itu, digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Mempunyai daya saing berkaitan dengan “mutu” yang tinggi standar sesuai dengan kebutuhan pasar dan pelayanan yang menyenangkan. Tanpa mutu yang tinggi dan pelayanan yang prima produk kita tidak bisa bersaing di pasar internasional di era kesejagatan ini. Selain itu pengelolaan sumber kekayaan alam kita hendaknya tidak melihat keuntungan semu jangka pendek, tetapi juga melihat keuntungan jangka panjang dengan memperhatikan kelestarian dalam pengelolaannya. Begitu pula hasil pembangunan hendaknya mencerminkan pemerataan (keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia).

Penduduk Indonesia dewasa ini termasuk 4 terbesar di dunia. Jumlah yang terus berkembang ini karena pertumbuhan yang masih tinggi untuk itu perlu dikendalikan pertumbuhannya melalui program KB (Keluarga Berencana). Program KB ini tidak hanya ditujukan kepada pengendalian tersebut tetapi lebih luas dari itu, yaitu peningkatan kesejahteraan dan mutu kehidupan. Berbarengan dengan itu perlu diupayakan peningkatan kualitasnya melalui program pendidikan dan keterampilan dalam arti luas untuk memulihkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang menguasai ilmu pengetahuan, teknologi dan dilandasi iman dan takwa. Di sisi lain sebaran yang tidak proporsional di 17.508 buah pulau perlu diupayakan agar menjadi sebaran yang proporsional, melalui program pengembangan atau pembangunan wilayah luar Pulau Jawa. Pada tahap awal transmigrasi boleh jadi menjadi alternatif, tetapi pada tahap berikutnya perlu dipikirkan relokasi industri-industri di Pulau Jawa ke luar Pulau Jawa serta pengembangan potensi-potensi perekonomian di wilayah luar Pulau Jawa tersebut.

Aspek Pancagatra

  1. Pemahaman penghayatan dan pengamalan Pancasila (ideologi)

Pancasila sebagai satu-satunya ideologi dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat harus dibudayakan dalam kehidupan sehari-hari. Upaya ke arah itu telah dilakukan melalui penataran P4, Pembentukan BP7 di tingkat Pusat dan Daerah. Penataran dan pengajaran Pancasila di masyarakat dan sekolah-sekolah masih dianggap kurang efektif karena cenderung berorientasi kepada keterampilan kognitif dan formalitas. Dalam pelaksanaan P4 ini keteladanan dan panutan masih dibutuhkan bagi masyarakat. Agaknya terlalu sulit mencari panutan dalam pelaksanaan P4. Ini sebuah tantangan yang harus dihadapi dan hambatan yang harus disingkirkan dalam upaya pelaksanaan P4 dalam kehidupan kita berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Dalam konteks ini suatu hal yang perlu dan harus Anda ingat bahwa P4 adalah norma yang mengandung nilai-nilai luhur dalam kehidupan kita berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat, tanpa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari oleh para penganutnya (warga negara Indonesia) dia akan kehilangan makna sebagai norma. Dan kalaupun ada kelemahan, kekurangan dalam pengamalannya, itu adalah kesalahan oknum, bukan kesalahan P4-nya. Oleh karena itu, kita harus bersikap rasional. Jangan sampai kita mau membunuh seekor tikus di lumbung padi, lalu lumbung padinya dibakar atau dihancurkan.

  1. Penghayatan budaya Pancasila

Budaya politik (political culture) merupakan landasan dilaksanakan sistem politik. Oleh karena sistem pemerintahan Indonesia, strukturnya terdapat dalam UUD 1945 yang berlandaskan Pancasila maka yang menjadi, political culture Indonesia adalah Pancasila.Masalahnya, sejauh mana pemerintah dan rakyat Indonesia, baik yang berada di suprastruktur, infrastruktur maupun substruktur menghayati dan mengamalkan budaya politik Pancasila dalam praktik kehidupan politik sehari-hari. Peningkatan dan pengamalan budaya politik Pancasila ini sangat mutlak untuk memantapkan stabilitas politik di negeri tercinta ini.

Hubungan dua arah antarlembaga negara, antarpemerintah dan rakyat perlu ditingkatkan. Suasana harmonis, terpadu dan bersinergi perlu diciptakan sehingga setiap keputusan politik yang diambil sesuai dengan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat berlandaskan hukum-hukum yang berlaku. Jika keputusan yang diambil sesuai dengan aspirasi yang berkembang dalam masyarakat maka itulah pencerminan dari demokrasi. Salah satu karakter negara demokrasi adalah adanya UU atau hukum yang ditegakkan (Rule of law) yang mengendalikan sistem politik, agar politik atau kekuasaan tidak disalahgunakan (lihat penjelasan UUD 1945). Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechstaat) tidak berdasar kekuasaan belaka (machhstaat). Rule of law berasaskan supremacy of law, persamaan di muka hukum atau equality before the law (lihat Pasal 27 ayat (1) UUD 1945). Hak Asasi manusia (Human right) dan social equality atau kedudukan yang sama sebagai anggota masyarakat.

Dalam supremacy of law, hukum atau UU menjadi yang tertinggi, dengan demikian kekuasaan tunduk pada hukum atau undang-undang. Apabila hukum tunduk kepada kekuasaan maka kekuasaan dapat membatalkan hukum atau mengubah hukum, dan hukum dijadikan alat untuk membenarkan kekuasaan. Dengan demikian, segala tindakan penguasa walaupun melanggar hak asasi manusia dapat dibenarkan oleh hukum atau undang-undang. Dalam negara hukum kedudukan warga negara adalah sama di muka hukum. Apabila tidak ada persamaan di muka hukum maka orang yang mempunyai kekuatan atau kekuasaan akan mempunyai kekebalan hukum sehingga dapat merusak atau menindas orang yang lemah.

Dalam hak asasi manusia (human right) mempunyai pokok yaitu hak kemerdekaan pribadi, hak kemerdekaan berdiskusi dan hak berapat. Hak kemerdekaan pribadi adalah hak-hak untuk melakukan apa yang dianggap baik oleh dirinya tanpa merugikan orang lain dan menimbulkan gangguan terhadap masyarakat sekelilingnya. Hak kemerdekaan berdiskusi adalah hak untuk melahirkan pendapat dan mengkritik, tetapi harus bersedia mendengar atau memperhatikan pendapat dan kritik orang lain. Bagi bangsa Indonesia penyampaian pendapat atau kritik tersebut harus sesuai dengan aturan atau moral etika budaya politik Pancasila. Hak untuk berrapat, hak ini ada yang membatasinya, yaitu apabila rapat itu menyebabkan kekacauan sehingga perdamaian menjadi rusak maka rapat itu merupakan tindakan melawan atau melanggar hukum (unlaw full). Jadi, dalam human right itu ada batasnya, yaitu hak-hak orang lain. Pelanggaran terhadap hak-hak orang lain merupakan pelanggaran terhadap hak-hak dirinya karena hak kemerdekaan dirinya dengan hak kemerdekaan orang lain adalah sama.

Dalam asas social equality di mana kedudukan setiap anggota masyarakat adalah sama. Apabila masih ada perbedaan kedudukan sosial, yang disebabkan oleh jenis pekerjaan, jenis kelamin, warna kulit atau ras maka rule of law akan mengalami hambatan karena yang membentuk masyarakat itu adalah orang-orang yang mempunyai asal yang sama (warga negara) dan wujud yang sama pula. Jika rule of law dengan asas-asasnya dapat kita lakukan dengan baik diiringi dengan makin meningkatnya “kecerdasan” rakyat, pemerintahan yang bersih dan berwibawa maka “partisipasi” politik rakyat akan meningkat.

  1. Mewujudkan perekonomian yang efisien, pemerataan dan pertumbuhan yang tinggi

Pembangunan nasional yang sedang kita lakukan adalah perekonomiannya atau beratnya pada bidang ekonomi karena bidang ekonomi ini sebagai pemicu dan pemacu kemajuan bidang-bidang lainnya. Kendatipun struktur perekonomian Indonesia makin seimbang antara sektor pertanian dengan sektor industri dan jasa, namun oleh sementara pengamat melihatnya belum efisien. Adanya kebocoran, korupsi, kolusi, nepotisme, pungutan liar dan lain-lain yang sejenis dianggap menodai perekonomian Indonesia. Praktik monopoli, oligopoli dan sejenis lainnya, etatisme dan persaingan bebas (free fith libralisme) harus dihilangkan dalam sistem perekonomian Indonesia sesuai dengan yang diamanatkan dalam UUD 1945.

Pada pelita-pelita yang lalu pertumbuhan yang kita prioritaskan sementara pemerataan dikebelakangkan. Saat ini sudah waktunya kita meletakkan pemerataan menjadi prioritas, tanpa mengenyampingkan pertumbuhan. Dengan kata lain, dengan pemerataan kita akan mencapai pertumbuhan. Konsep ini mengarah kepada empowerment (pemberdayaan masyarakat), dan bukan konglomerasi pada sekelompok kecil anggota masyarakat. Selama ini paradigma yang dominan dalam pembangunan adalah paradigma yang meletakkan peranan negara atau pemerintah pada posisi sentral dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan. Paradigma ini telah banyak mendapat kecaman dari para ahli dan pengamat pembangunan karena sangat tidak mempercayai kemampuan rakyat dalam pembangunan diri dan masyarakat mereka sendiri. Selain itu, paradigma itu menghambat tumbuhnya kearifan lokal sebagai unsur sentral dalam perencanaan pembangunan masyarakat yang berkesinambungan. Perlunya kearifan lokal dalam perencanaan pembangunan mulai dirasakan ketika orang melihat semakin banyaknya proyek dan program pembangunan yang tidak dimanfaatkan oleh masyarakat karena tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat setempat. Negara dan aparatnya dahulu dianggap dapat menjadi “pendorong” pembangunan. Sebagai alternatif diajukan paradigma baru yang dikenal dengan paradigma empowerment atau pemberdayaan masyarakat. Paradigma ini dilandasi oleh pemikiran bahwa pembangunan akan berjalan dengan sendirinya apabila masyarakat mengelola sumber daya alam yang mereka miliki dan menggunakan untuk pembangunan masyarakat. Hal ini dianggap lebih mampu mencapai tujuan pembangunan yaitu menghilangkan kemiskinan. Menurut para ahli, kegagalan pembangunan di negara-negara sedang berkembang disebabkan oleh model pembangunan yang diterapkan tidak memberikan kesempatan kepada rakyat miskin untuk ikut dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut pemilihan, perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan.

Paradigma pemberdayaan ingin mengubah kondisi ini dengan cara memberi kesempatan pada kelompok orang miskin untuk merencanakan dan kemudian melaksanakan program pembangunan yang juga mereka pilih sendiri, serta diberi kesempatan untuk mengelola dana pembangunan baik yang berasal dari pemerintah maupun dari pihak lain.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apa perbedaan antara model pembangunan yang “partisipatif dengan model pemberdayaan rakyat atau empowerment”. Perbedaannya terletak dalam hal model empowerment rakyat miskin, tidak hanya aktif berpartisipasi dalam proses pemilihan program, perencanaan dan pelaksanaannya, tetapi mereka juga menguasai dana pelaksanaan program itu. Sementara dalam model partisipasi keterlibatan rakyat dalam proses pembangunan hanya sebatas pada pemilihan, perencanaan dan pelaksanaan, sedang pemerintah tetap menguasai dana guna mendukung pelaksanaan program itu.

Model empowerment menciptakan pula suatu metodologi pengumpulan data yang akan digunakan untuk merencanakan program pembangunan yaitu metodologi Participation Action Research (PAR). Model ini sama dengan model community managed development maka PAR pun mengikutkan rakyat, khususnya rakyat miskin dalam mengumpulkan data, menjelaskan hal-hal yang mereka anggap menjadi penyebab keterbelakangan masyarakat dan bagaimana cara menyelesaikan masalah itu. Dengan kata lain, PAR masyarakat adalah rekanan dari peneliti bukan sebagai objek. Model empowerment dapat dijumpai dalam dua versi yang berbeda dan perbedaan ini akan mempengaruhi strategi yang akan dipakai dalam pelaksanaan pembangunan. Kedua versi empowerment tersebut adalah versi dari Paulo Freire dan versi yang berasal dari Schumacher. Persamaan antara kedua versi itu terletak pada penekanan pentingnya setiap agen pembangunan masyarakat mereka sendiri. Adapun yang membedakan kedua versi tersebut terletak pada analisis dan metodologi yang digunakan oleh masing-masing versi.

Versi Paul Freire berinti pada suatu metodologi yang dia sebut sebagai metodologi conscientization, yakni suatu proses belajar untuk melihat kontradiksi sosial, ekonomi, dan politik yang ada dalam suatu masyarakat dan menyusun cara untuk menghilangkan kondisi opresif dalam masyarakat. Bagi Paul Freire empowerment bukanlah sekadar hanya memberi kesempatan rakyat menggunakan sumber daya alam dan dana pembangunan saja tetapi lebih dari itu empowerment merupakan upaya untuk mendorong masyarakat dalam mencari cara menciptakan kebebasan dari struktur-struktur yang opresif. Dengan kata lain, empowerment berarti partisipasi masyarakat dalam politik, sedangkan versi Schumacher tentang empowerment kurang berbau politik, beliau lebih menekankan pada hal-hal yang dikatakan beliau sebagai berikut. Pembangunan ekonomi akan berhasil jika dilaksanakan secara meluas, gerakan pembangunan yang merakyat dengan menitikberatkan kepada pengendalian, pemanfaatan secara optimal, terencana dan bersemangat, dengan menempatkan tenaga kerja yang berpotensi dengan tepat. Pemerintah tidak pernah dididik jadi enterpreuner, inovator, tetapi jadi regulator. Schumacher percaya bahwa manusia itu mampu untuk membangun diri mereka sendiri tanpa mengharuskan terlebih dahulu menghilangkan ketimpangan struktural yang ada dalam masyarakat. Schumacher menyatakan bahwa strategi yang paling tepat untuk menolong si miskin adalah memberi kail pada ikan dengan demikian mereka mandiri.

Seperti sudah disebut dua versi empowerment itu akan menentukan pendekatan yang digunakan oleh masing-masing pendukung dan tingkat keberhasilannya. Empowerment versi Paul Freire telah dapat diduga akan sulit berhasil apabila empowerment itu dihadapkan pada interest-interest yang kuat dan dominan dalam suatu masyarakat. Para elite lokal pasti akan menentang empowerment versi Freire karena keradikalannya. Namun, empowerment versi Schumacher yang memfokuskan pada pembentukan kelompok mandiri juga tidak akan banyak mempunyai arti tanpa ada dukungan politik. Contohnya, dalam upaya membantu orang miskin dengan memberi kail, namun apabila kaum miskin itu tidak diberi hak untuk mengail di sungai maka pastilah mereka tidak akan dapat hidup dengan lebih baik. Andaikan juga diberikan hak untuk mengail, tetapi ikan-ikan yang dikail sudah habis dijaring oleh nelayan besar, tentu tidak ada artinya. Dengan kata lain, versi empowerment apapun yang akan kita pilih dibutuhkan “dosis” politik untuk menjadi obat yang ampuh bagi penyakit kemiskinan. Empowerment sebagai suatu strategi pembangunan memiliki unsur transformatif. Apabila unsur ini tidak dapat dikembangkan maka empowerment tidak akan mampu menjadikan dirinya sebagai strategi yang ampuh dan hanya tinggal menjadi slogan dalam upaya memberantas kemiskinan. Kita tidak akan mampu memberdayakan petani Indonesia apabila mereka tidak diizinkan mendirikan suatu organisasi baru yang benar-benar dibentuk oleh petani dan untuk petani. Dengan kata lain, model empowerment itu sangat berkait dengan upaya kita membentuk suatu civil society (masyarakat madani).

Kendatipun kita harus berupaya keras untuk memberdayakan rakyat dalam proses pembangunan, namun upaya tersebut harus dilaksanakan secara rasional dalam arti kita perlu memahami kendala-kendala yang ada dalam diri kelompok rakyat itu sendiri. Amatlah besar risiko kegagalan apabila kita demi memberdayakan rakyat menyerahkan sejumlah dana yang cukup besar kepada kelompok masyarakat yang belum pernah memiliki pengalaman mengelola uang sebesar itu ataupun pengalaman lain yang akan dapat membantu memperkokoh keberdayaan kelompok itu. Para pengamat pembangunan di Amerika Latin merasa sangat khawatir atas keputusan organisasi bantuan pembangunan Amerika untuk menyerahkan dana bantuan langsung pada organisasi “akar rumput” yang kebanyakan belum mempunyai pengalaman dalam pengelolaan dana. Hal yang dikhawatirkan adalah kegagalan organisasi itu melaksanakan tugasnya akan menciptakan amunisi bagi mereka-mereka yang pro pendekatan pembangunan yang topdown untuk menembak jatuh model pemberdayaan itu (bottom up).

Satu masalah penting dalam proses pembangunan di negara yang sedang berkembang adalah adanya asas “the government can do not wrong”. Asas ini menyebabkan sulitnya tumbuh sikap akomodatif dan bertanggung jawab di kalangan aparat negara. Karena pemerintah tidak dapat bersalah, aparatnya pun tidak dapat disalahkan. Pemerintah Indonesia telah mendirikan Pengadilan Tata Usaha Negara untuk menggantikan asas the government can do not wrong termasuk aparatnya menjadi asas the government can do wrong.

Memberdayakan rakyat adalah suatu konsep politis yang berarti menata kembali hubungan antara negara dan rakyat dan antara kaya dan miskin, dan bukan hanya sekadar memberi kail pada rakyat. Meskipun diberi kail rakyat tidak akan dapat banyak berbuat apabila ikan-ikan di sungai telah habis ditangkap nelayan besar. Dengan kata lain, pemberdayaan rakyat tidak akan berhasil apabila tidak didukung suatu sistem politik dan ekonomi yang demokratis. Empowerment tidak akan muncul kalau masih ada floating mass, birokrasi yang suka material dan lain sebagainya. Dengan kata lain, reformasi ekonomi dengan model pemberdayaan ini harus disertai dengan reformasi di bidang politik.

Harus disadari bahwa empowerment ini mengarah pada transformasi hubungan antara kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi dan politik dalam negara ini. Pemahaman seperti ini merupakan syarat pertama untuk menjamin keberhasilan model itu. Ini berarti kita harus berani meninjau kembali berbagai undang-undang, peraturan pemerintah dan lain-lain yang diperkirakan dapat menghambat pelaksanaan model ini. (baca paket 5 UU politik). Model empowerment tidak akan banyak membantu memperkuat posisi kelompok orang miskin kalau kita tidak menghapus pendekatan “massa mengambang” dalam membangun kehidupan berpolitik rakyat pedesaan. Demikian pula model empowerment tidak akan berjalan apabila tidak didukung suatu sistem peradilan yang mandiri. Model empowerment hanya dapat berjalan dengan baik apabila digerakkan oleh kelas intelektual desa. Pemerintah telah memiliki kelas intelektual desa yaitu para Kader Pembangunan Desa (KPD) meskipun jumlahnya masih kecil dan kemampuan perencanaan pembangunan mereka masih sangat minim pula. Kita perlu meningkatkan mutu dan fungsi KPD di desa.

Salah satu masalah dalam pembangunan pedesaan di negara kita adalah bagaimana desa mampu mengakumulasi modal yang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan desa secara mandiri. Sebaiknya LKMD diberikan status hukum sehingga LKMD dapat menjadi penghasil dana bagi pembangunan desa. Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) yang berbadan hukum dapat ikut mengerjakan pekerjaan pembangunan di daerah pedesaan sebagai kontraktor. Dana Pembangunan Pedesaan dengan demikian dapat terus terakumulasi di daerah pedesaan. Terakumulasinya modal di pedesaan juga akan menunjang keberhasilan model empowerment itu. Peningkatan kapasitas aparat pemerintah daerah, khususnya dalam hal kemampuan mereka dalam mendengar aspirasi dan melayani masyarakat. Birokrasi negara harus memiliki sikap mental baru yakni sikap memfasilitasi masyarakat dan bertanggung jawab pada masyarakat terhadap segala kebijaksanaannya. Pemerintah sebenarnya telah menyiapkan sebuah institusi yang dapat mengubah mentalitas aparat negara yang menghambat proses pemberdayaan masyarakat yakni lembaga PTUN (Pengadilan Tinggi Usaha Negara). Lembaga PTUN juga akan menghilangkan sikap atau mentalis government can do not wrong yang selama ini menjadi dasar interaksi antara pemerintah dan masyarakat. Itulah salah satu pendekatan dalam mewujudkan perekonomian yang efisien, pemerataan, dan pertumbuhan yang tinggi. Untuk Anda ketahui pula bahwa di era kesejagatan ini tidak ada suatu Negara pun yang tidak terkait perekonomiannya dengan negara lain. Karena keterkaitan itu melalui perdagangan maka gangguan perekonomian di satu negara akan berpengaruh terhadap negara mitranya dalam perdagangan. Oleh karena itulah, perlu dilakukan kerja sama antara negara yang saling membantu dan saling menguntungkan satu sama lain. Jatuhnya nilai rupiah terhadap Dolar atau Yen akan mempengaruhi daya beli kita terhadap produk-produk luar (import). Oleh karena itu, tidak usah heran negara-negara yang mempunyai hubungan dagang dengan Indonesia (negara mitra) mengulurkan tangannya untuk turut menstabilkan perekonomian Indonesia, agar terjadi kesinambungan kerja sama yang saling menguntungkan tersebut.

  1. Memantapkan identitas nasional Bhinneka Tunggal Ika

Identitas nasional bangsa Indonesia ialah Pancasila. Pancasila menjadi pedoman hidup kita dalam praktik kehidupan berbangsa bernegara dan bermasyarakat harus betul-betul diterapkan. la tidak hanya sekadar dihafal atau menjadi keterampilan kognitif, tetapi hendaknya menjadi perilaku (nilai praktis) setiap bangsa Indonesia, lembaga pemerintah dan lembaga negara. Inilah yang harus dimantapkan agar benar-benar menjadi jati diri bangsa Indonesia. Di sisi lain bangsa kita adalah bangsa yang majemuk. Perlu disadari dalam kemajemukan itu terdapat kerawanan yaitu gampang dipecah belah. Sejarah perpecahan bangsa Indonesia telah cukup menjadi pelajaran. Jangan sampai kita kehilangan tongkat dua kali kata orang bijak. Oleh karena itu, perlu diciptakan iklim yang kondusif untuk hidup bersama dalam suasana kebhinnekaan tersebut. Hilangkan premordialisme. Kondisi-kondisi yang mengarah kepada pertentangan SARA (Suku Agama Ras dan antara golongan/aliran) harus dihilangkan. Selain itu, menegakkan hukum (rule of law) dengan asas-asasnya mutlak diterapkan.

Di era kesejagatan ini pula, kita perlu memacu peningkatan kualitas sumber daya manusia. Dengan kondisi sekarang, kita sulit untuk hidup di dunia yang penuh persaingan ini. Kita tidak bisa mengandalkan keunggulan komparatif yang kita miliki, tetapi harus mengandalkan keunggulan kompetitif. Dengan kualitas sumber daya manusia yang unggul tersebut dapat diciptakan berbagai lapangan kerja dan tidak kalah bersaing dengan bangsa lain, minimal di kandang sendiri. Untuk itu, kita perlu investasi yang besar dalam dunia pendidikan dalam arti yang luas. Bangsa yang maju pada umumnya adalah bangsa yang kualitas sumber daya manusianya tinggi yang menguasai iptek, disiplin dan mempunyai etos kerja. Kita harus mengarah ke situ jika mau mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa yang telah maju.

  1. Memantapkan kesadaran bela negara

Bela negara merupakan kewajiban hak dan kehormatan bagi setiap warga negara. Bela negara dalam pengertian yang luas tidak hanya menyangkut masalah kemiliteran atau Hankam, tetapi pada seluruh aspek kehidupan bangsa dan negara (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan Hankam). Dalam konteks Hankam telah diciptakan Sistem Pertahanan Rakyat Semesta yang perlu terus diwujudkan. Kondisi negara saat ini dan lingkungan strategi tidak menekankan kepada pembangunan Hankam, tetapi kepada pembangunan bidang ekonomi. Peningkatan alokasi anggaran pada bidang kesejahteraan akan mengurangi alokasi anggaran pada bidang keamanan. Anda dapat melihatnya pada kurva Jahkam pada Modul 3. Namun yang sangat perlu Anda ingat di sini adalah masalah keamanan tidak hanya datang dari luar (invasi negara lain), tetapi dapat pula timbul dari dalam negeri, yang dipicu oleh masalah-masalah ideologi, politik, ekonomi dan sosial budaya (SARA). Untuk itu, sangat penting dijaga dan dimantapkan stabilitas keamanan dan aspek kehidupan lainnya. Stabilitas ini merupakan syarat mutlak dalam pembangunan. Tidak ada investor yang mau menanamkan modalnya jika stabilitas di negara ini terguncang. Begitu pula tidak ada ketenangan bagi rakyat untuk turut berpartisipasi dalam pembangunan nasional. Perut Anda boleh kenyang, tetapi tetap dihantui oleh ketakutan, tidak akan membuat nyaman hidup Anda. Bukankah begitu?

Selain diperlukan stabilitas keamanan dalam pembangunan nasional maka yang lebih esensial harus dipadukan atau dimantapkan ialah kesamaan pola pikir, pola sikap dan pola tindak kita untuk mencapai karsa dalam cita-cita nasional, tujuan nasional, tujuan Pembangunan Nasional, sasaran pembangunan nasional, dan kepentingan Nasional. Begitu pula di dalam gerak pembangunan nasional yang intensif kita lakukan sekarang adalah masalah keterpaduan yang masih perlu mendapat perhatian, baik itu antara pemerintah masyarakat, antar pusat daerah, antar sektor-sektor pembangunan maupun di dalam sektor pembangunan. Hal ini harus diupayakan oleh para elit kepemimpinan nasional pada suprastruktur dan infrastruktur baik di tingkat pusat maupun daerah.

Dengan konsep keterpaduan ini (pendekatan tannas), kita praktikkan dalam sikap gerak pembangunan nasional, bukan hanya efisiensi yang dapat kita peroleh, tetapi juga hasil pembangunan nasional tersebut akan lebih bermanfaat atau lebih meningkatkan taraf kehidupan masyarakat (kesejahteraan dan keamanan), sehingga mempunyai dampak yang luas dalam meningkatkan tannas dalam segala aspek kehidupan bangsa Indonesia (ideologi politik, ekonomi sosial budaya dan hankam). Maka dengan memperhatikan konsepsi tannas dan hakikat nilai-nilai pembangunan nasional yang dijabarkan dalam sasaran-sasaran pembangunan nasional yang ingin kita capai, sangat mungkin kita melaksanakan pembangunan dengan pendekatan tannas. Ini berarti tannas tidak hanya sebagai “kondisi”, tetapi juga sebagai “metode” untuk menjelaskan dan meramalkan masalah-masalah pembangunan. Setiap masalah yang ada dalam pembangunan nasional mengakibatkan kondisi tertentu dalam tannas. Dengan tannas yang terus meningkat di segala aspek kehidupan bangsa, bangsa Indonesia akan tetap “Survive”, betapa pun besarnya badai kehidupan yang datang menghantamnya di era kesejagatan ini. Badai tersebut pasti akan dapat kita atasi dan pasti berlalu. Untuk dapat mengoperasionalkan pendekatan tannas kita perlu mengetahui pendekatan kesisteman karena tannas merupakan suatu sistem. Kriteria suatu sistem dipenuhi oleh tannas, yakni adanya komponen-komponen yang saling berinteraksi satu sama lain (Astagrata) untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan yakni peningkatan kesejahteraan dan keamanan.

Secara garis besar pendekatan tannas dalam pembangunan nasional dapat dimodelkan sebagai berikut.

Apa yang perlu dilakukan agar negara itu menjadi kuat

Gambar 4.5.

Model Pendekatan Tannas dalam Pembangunan Nasional

Dalam model tersebut kedelapan aspek kehidupan (astagrata) ditempatkan atau dianggap sebagai komponen proses yang akan memproses baik langsung maupun tidak langsung input mentah (masalah masyarakat) menjadi output berupa kondisi tannas sesaat itu kesejahteraan dan keamanan. Selanjutnya, dengan menggunakan pendekatan multidisiplin dan interdisiplin dari kedelapan gatra/aspek tadi, kondisi tannas sesaat dapat diukur. Dengan mengetahui tingkat tannas sesaat maka kita dapat memilih kebijaksanaan dan strategi untuk mencapai tujuan nasional yang diinginkan. Pembangunan menggunakan pendekatan tannas dan keterpaduan dalam pola pikir, sikap dan tindakan sesuai dengan konsepsi tannas tersebut maka dengan sendirinya akan meningkatkan tannas bangsa Indonesia di era percaturan global dewasa ini.

Apa yang perlu dilakukan agar negara itu menjadi kuat

Gambar 4.6.

Gambar Skematis Pembangunan dengan Pendekatan Tannas

menghadapi Tantangan Globalisasi

Tingkat tannas yang kita ciptakan tersebut melalui pembangunan nasional dengan pendekatan tadi mengarah kepada kebangkitan bangsa Indonesia untuk menyejajarkan dirinya dengan bangsa-bangsa yang telah maju (national rivival), tannas yang tangguh (national resiliencies) dan kelangsungan hidup bangsa dan negara atau kejayaan bangsa dan negara (national survival) yang bebas dari berbagai bentuk penjajahan.