Apa yang terjadi pada gajah yang ditunggangi Raja Abrahah saat mendekati kota Mekah

Penduduk Makkah, melalui pemimpin mereka, Abdul Muthalib mendapat kabar bahwa kota tempat berdirinya Ka’bah tersebut hendak diserang oleh Abrahah dan pasukan bergajahnya. Pasukan yang akan menyerbu Kota Makkah saat itu dikenal sangat kuat. Kedatangan mereka tidak lain untuk menghancurkan Ka’bah Baitullah yang senantiasa dimuliakan oleh penduduk Makkah.


Pasukan biadab itu berasal dari Negeri Yaman yang berada dalam kekuasaan Abessinia (sekarang Ethiopia). Mereka dipimpin oleh seorang panglima besar bernama Abrahah. Abrahah dan para pemimpin Abessinia merasa iri dan dengki terhadap penduduk Makkah dengan Ka’bahnya karena senantiasa dikunjungi oleh para pelancong dari segala penjuru Arabia, baik untuk berhaji maupun hanya sekedar berziarah.


Perasaan dengki inilah yang melatarbelakangi maksud dari tindakan terkutuk tersebut. Abrahah dan para pemimpin Abessinia menginginkan agar tempat ziarah itu berada di Yaman, bukan di Makkah. Akhirnya mereka membangun gereja megah di Sana'a yang diberi nama al-Qalis dengan harapan dapat menjadi tempat ibadah haji terbesar di seluruh Arab, menyaingi Makkah.


Martin Lings dalam Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik (2015) menuliskan, hal ini mengundang kemarahan suku yang tersebar di Hijaz dan Najd. Seseorang dari suku Kinanah, yang punya hubungan nasab dengan Quraisy, meruntuhkan gereja itu. Abrahah geram dan bersumpah meratakan Ka'bah.


Muhammad Husain Haekal dalam Sejarah Hidup Muhammad (1980) menyebutkan, Abrahah yang sudah menghiasi rumah sucinya sedemikian rupa, berhadapan dengan kenyataan: orang-orang Arab hanya berniat ziarah ke Mekkah. Mereka menganggap ziarah tidak akan sah jika tidak ke Ka'bah. Abrahah kemudian mengambil keputusan menyerang Mekkah. Dia sendiri tampil paling depan di atas seekor gajah besar.


Tetapi, usaha mereka tidak membuahkan hasil karena ‘magnet’ Ka’bah masih ampuh untuk menarik para pelancong mengunjunginya. Maka api kedengkian pun kian menyulut ubun-ubun mereka, tak terbendungkan lagi. Dengan dipimpin langsung oleh Abrahah, pasukan besar dari Yaman dengan sebagian besar mengendari gajah berbaris untuk menyerbu Kota Makkah sekaligus menghancurkan Ka’bah.


Ketika Abrahah dan pasukannya tiba di daerah Mughammas, dekat Kota Makkah, mereka pun singgah sejenak untuk beristirahat. Abrahah mengirimkan seorang utusan kepada Abdul Muthalib pemimpin kota suci yang amat dicintai penduduknya itu, untuk memberitahukan bahwa mereka akan menghancurkan Ka’bah. Mengetahui hal itu, Abdul Muthalib dan rakyatnya tidak bisa berbuat banyak karena pasukan Abrahah sangat kuat.


Dengan perasaan sedih bercampur takut, satu persatu penduduk Makkah meninggalkan tanah kelahirannya menuju bukit-bukit yang mengelilingi kota tua itu untuk bersembunyi. Abdul Muthalib sendiri, sebelum pergi, ia menyempatkan untuk ‘pamit’ terlebih dahulu ke Baitullah.


Di sana Abdul Muthalib berdoa seraya menyerahkan pemeliharaan Baitullah sepenuhnya kepada pemiliknya sendiri yaitu Tuhan Yang Mahaperkasa. Doanya itu diuntainya dalam sebuah syair dengan sangat memelas, 


“Wahai Tuhanku, Tidak ada yang kuharapkan selain dari-Mu. Wahai Tuhanku, Selamatkan rumah-Mu dari serangan mereka. Sesungguhnya mereka yang akan merusak bait-Mu, Adalah musuh-Mu.”


Doa Abdul Muthalib yang tulus dan amat bersungguh-sungguh itu kiranya dikabulkan oleh Allah swt. Sebelum tentara Abrahah menjamah Ka’bah, mereka telah disambut oleh gerombolan burung Ababil yang melemparkan bebatuan sampai mereka binasa bagaikan dedaunan yang dimakan ulat. Peristiwa ini diabadikan oleh Al-Qur’an Surat Al-Fil ayat 1-5.


Di tengah peristiwa penyerangan yang dilakukan oleh pasukan gajah tersebut, lahir seorang anak laki-laki dari pasangan Abdullah bin Abdul Muthalib dan Aminah binti Wahab. Setelah lahir di tahun gajah itu, Abdul Muthalib yang mendengar kabar ini demikian gembira, mengangkatnya, dan membawanya ke Ka'bah. Ia memberi nama Muhammad untuk sang cucu, bukan nama umum di kalangan Arab saat itu.


Namun, Abdul Muthalib, yang menjadi saksi bagaimana Tuhan melindungi Ka'bah dari serangan pasukan Abrahah punya alasan kuat. Abdul Muthalib menginginkan cucunya kelak menjadi orang yang terpuji, bagi Tuhan di langit dan bagi makhluk-Nya di bumi.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon

tirto.id - Hampir setiap negara kini mengandalkan tank dan panser untuk memenangkan peperangan di wilayah darat. Sebelum teknologi tersebut ditemukan, manusia memanfaatkan gajah-gajah.

Salah satu peristiwa yang jamak dikenal, khususnya di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, ialah hari lahir Nabi Muhammad. Laki-laki yang dijuluki Al-Amin (dapat dipercaya) itu lahir di Mekkah, pada 571 M—sekitar 1446 tahun yang lalu.

Dalam khazanah tarikh (sejarah) Islam, tahun itu disebut "Tahun Gajah". Sebutan ini bukan tanpa alasan. Kala itu, raja vassal Ethiopia di Yaman, Abrahah, menyerang Mekkah dengan pasukan gajah. Peristiwa tersebut diabadikan dalam Al-Quran surah Al-Fil.



Disebutkan ketika pasukan gajah Abrahah memasuki Mekkah, mereka dihujani batu yang dilempar burung ababil. Pasukan Abrahah luluh lantak. Ia kalah, Mekkah pun selamat.

"Tidak pernah ada batu yang jatuh pada tentara kecuali membubarkan dagingnya dan membuatnya hancur ... Abraha Al-Ashram melarikan diri sementara dagingnya hancur berkeping-keping dan meninggal dalam perjalanan kembali ke Yaman," ujar ahli tafsir Al-Quran, Ibn Katsir.

Baca juga: Kala Majid Majidi, Sineas Iran, Menafsirkan Nabi Muhammad

Serangan pasukan gajah ke Mekkah bukan yang pertama. Dalam War Elephants: From Ancient India to Vietnam karya David Ison mencatat gajah telah dimanfaatkan manusia sejak 4000 tahun lalu di India.

Pada mulanya gajah digunakan dalam pertanian. Dengan kekuatannya, gajah mampu mengangkut pepohonan yang berat. Gajah juga dimanfaatkan untuk membersihkan wilayah yang bakal digunakan sebagai lokasi peternakan dan konstruksi bangunan. “Karena mereka menunjukkan sifatnya yang mampu dilatih sebagaimana kekuatannya, hanya tinggal menunggu waktu sebelum hewan besar itu diikutsertakan dalam militer. Menurut beberapa sumber Sanskrit, transisi ini terjadi sekitar 1100 SM,” ujar Ison.

Gajah dan Aleksander Agung

Ada dua spesies gajah di dunia, yakni gajah Asia/India (Elephas maximus) dan gajah Afrika (Loxodonta africanus). Salah satu raja yang tercatat pandai memanfaatkan sekaligus andal melawan gajah dalam peperangan adalah Aleksander Agung dari Makedonia. Setelah menaklukkan Mesir, Aleksander mengarahkan pasukannya ke timur guna meyerang jantung pertahanan Persia. Pada Oktober 331 SM, di sebuah daerah bernama Gaugamela, pasukan Aleksander dihadang pasukan Raja Persia Darius III. Pertempuran sengit pun terjadi. Darius III membawa 200.000 tentara serta 15 gajah perang. Mulanya tidak ada pemenang. Baik pasukan Aleksander maupun Darius III sama-sama kehilangan banyak pasukan. Kekalahan Persia terjadi setelah Darius III melarikan diri dan dibunuh pasukannya sendiri.Aleksander menemukan tubuh Darius III dan menyelenggarakan pemakaman kehormatan bagi Raja Persia itu. Setelah menyingkirkan Bessus—yang mengklaim sebagai Raja Persia pengganti Darius III—Aleksander memproklamasikan diri sebagai Raja Persia.

Baca juga: Yazdegerd III, Penjaga Terakhir Persia Sebelum Era Islam

Setelah itu, Aleksander bergerak menuju tanah Hindustan. Dalam pasukannya kini ada 15 gajah perang hasil rampasan dari Darius III. Di sebuah sungai bernama Hydaspes, pada 326 SM, Aleksander berhadapan dengan Raja Porus dari Paurava. Soal pengalaman berperang, tentara Raja Porus kalah jam terbang dibanding tentara yang dibawa Aleksander. Namun Raja Porus punya senjata rahasia, yakni 130 gajah perang. Meskipun Aleksander mampu mengalahkan Porus serta merampas 80 gajah perang miliknya, peristiwa ini adalah perang yang paling membuat Aleksander kewalahan.

War Elephant yang disusun Konstantin Nossov dan Peter Denis menyebutkan sejumlah peran yang dimainkan gajah dalam suatu peperangan. Yang pertama, gajah berperan untuk menakut-nakuti pasukan lawan. Tidak hanya manusianya, bahkan kuda pun takut dengan penampakan dan bau gajah.

Yang kedua, gajah berfungsi untuk menghancurkan formasi perang lawan. “Dalam beberapa kasus, sejumlah pasukan kavaleri yang tidak terlatih melarikan diri saat berhadapan dengan gajah perang,” sebut War Elephant.

Dengan kekuatannya, gajah pun mampu menyebabkan kerusakan parah pada musuh. Legiun Romawi yang dikenal dengan keberaniannya, menurut Nossov dan Denis, butuh beberapa tahun untuk dapat mengatasi trauma akibat dibantai gajah perang Raja Chartagonia di pertempuran yang terjadi pada 255 SM.

Apa yang terjadi pada gajah yang ditunggangi Raja Abrahah saat mendekati kota Mekah


Gajah Sebagai Angkatan Perang di India dan Asia Tenggara

Bagi Aleksander, gajah-gajah Raja Porus adalah senjata rahasia. Tapi bagi orang-orang India, perang menggunakan gajah bukan rahasia lagi. Dalam Elephantology in Sanskrit, Jacob V. Cheeran menjelaskan adanya konsep Chathuranga Sena yang berarti empat angkatan perang: kavaleri, infantri, kereta roda, dan gajah.

Cheeran juga mengungkap setidaknya ada tujuh kitab dalam bahasa Sanskerta yang memuat ragam bahasan mengenai gajah. Ada kitab Hasthi Ayurveda yang mengandung 12.000 tentang fisiologi dan penyakit pada gajah. Keseluruhan isi kitab ini termaktub dalam 12 bab yang dibukukan dalam kitab Mathangaleela.

Sementara itu, kitab Manasollasa membahas pentas pertarungan gajah. Pentas ini menjadi hiburan utama para raja. Sedangkan empat kitab lainnya antara lain Brihat Samhita, Gaja Sastra (sains hayati gajah), Arthasasthra (politik pragmatis ala India), dan Yasatilaka.

Gajah juga lazim digunakan untuk duel dan perang di Asia Tenggara. Lantaran memperebutkan takhta, dua anak tertua Raja Intharaja dari Siam (1409-1424) memilih duel satu sama lain dengan menunggangi gajah. Kemudian pada 1177, pertempuran Khmer melawan Champa melibatkan gajah perang di kedua kubu.

Baca juga: Ketika Serambi Mekkah Diperintah Para Sultanah

An Indonesian Frontier: Acehnese and Other Histories of Sumatra yang disusun Anthony Reid membeberkan gajah perang yang dimiliki Sultan Iskandar Muda (1604-1637) dari Aceh. Kisah ini diambil dari Hikayat Aceh.

“Semua gajah-gajah yang sangat kuat dan sangat gagah jumlahnya tidak terhitung. Dan kota itu tidak berdinding seperti kebiasaan kota lain yang membentengi karena jumlah gajah perang yang ada di kota itu.”

Pada Perang Dunia II, Jepang menggunakan gajah untuk mengangkut logistik agar mudah masuk ke hutan lebat. Saat Perang Vietnam meletus, pasukan Viet Cong juga menggunakan gajah untuk mengangkut logistik ke Vietnam bagian selatan.