Apa yg dimaksud dengan dimensi spiritual?

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sertifikat HAKI Tesis. Septi Gumiandari (2021) Dimensi Spiritual Menurut Viktor Frankl & Imam Al-Ghazali (Sebuah Telaah Komparatif). 000241450.

Apa yg dimaksud dengan dimensi spiritual?

Apa yg dimaksud dengan dimensi spiritual?

Preview

Text
HaKI_2021_Tesis.pdf

Download (3MB) | Preview

Abstract

Tesis ini berkenaan dengan studi komparatif antara pemikiran Viktor E. Frankl dan al-Ghazali mengenai Dimensi spiritual manusia. Gagasan pemikiran Frankl yang terakumulasi dalam Logoterapi, memandang adanya dimensi ruhani (spiritual) disamping dimensi raga (somatis) dan kejiwaan (psikis) manusia. Dimensi ruhani ini merupakan sumber aspirasi manusia untuk tampil secara bermakna, yang tidak dipersamakan dengan dimensi psikis. Sesuai dengan dengan ‘arti Logos’ yang dalam bahasa Yunani berarti meaning dan spirituality. Pemikiran Frankl ini secara eksistensial memiliki kesamaan dengan Pemikiran Imam al-Ghazali, yang sama-sama memandang manusia dengan pandangan optimistik dan positif, manusia yang dilengkapi dengan sejumlah potensi yang memungkinkannya menjadi manusia ideal, bahkan menjadi khalifah di bumi. Namun secara substansial, keduanya memiliki perbedaaan, misalnya term spiritual dalam perspektif Frankl, bukanlah ruh yang dimaksud dalam artian al-Ghazali, ruh yang yang suci dan sangat luhur. Begitu pula mengenai hakikat manusia, al-Ghazali melebihi pandangan Frankl. Al-Ghazali memandang manusia tidak hanya baik, namun fitrah kemanusian adalah suci dan beriman. Pandangan ini pada gilirannya menunjukan perbedaan-perbedaan lain; potensialitas manusia, implikasi teurapetik dan orientasi filsafat Frankl yang antroposentris. Sedang al-Ghazali yang menganut paham theosentris, memandang potensi yang dimiliki manusia adalah kepanjangan tangan Tuhan. Untuk itu, al-Ghazali lebih mengorientasikan implikasi teurapetiknya baik bagi kesehatan mental juga pada pencapaian puncak ekstase spiritual ke atas (Tuhan)

Actions (login required)

Apa yg dimaksud dengan dimensi spiritual?
View Item

Prof DR KH Nasaruddin Umar

JAKARTA – Siapapun yang ingin meraih hikmah kedalaman makna haji harus memahami dimensi spiritual haji itu. Dalam perspektif tarekat, haji dimaknai bukan hanya dari aspek fikih dan aspek legalitas haji dan umrah, tetapi agak lebih dalam berusaha menjiwai makna spiritual dari setiap syarat dan rukun haji.

Pandangan tareka selalu berhati-hati di dalam men­jalankan setiap ketentuan dan sayarat serta rukun haji dan umrah karena diyakini urgensi ibadah ini bukan pada aspek ritual-simboliknya, tetapi lebih kepada makna spiritual yang tersembunyi di balik ketentuan itu.

Pengamalan haji dan umrah dalam perspektif ini bukan hanya pengamalan fisik, tetapi lebih dalam lagi sebagai pengamalan batin. Seorang calon haji tidak cukup hanya mengejar kesempurnaan syarat dan rukun, tetapi ke dalam makna dan hakekat rukun dan syarat itu yang perlu dite­kankan. Apa artinya rukun dan syarat selesai jika tidak memberikan bekas dan efek secara batin. Penghayatan dan pendalaman makna spiritual menjadi ciri khas dari perspektif ini.

Kelompok ini mulai menganalisis asal-usul dan hakekat pelaksanaan haji dan umrah dengan melangkah surut ke masa lampau. Mereka menganalisis apa sesungguhnya makna dan hakekat disyari’atkannya haji dan umrah.

Seperti kita tahu, haji dan umrah ini bukan hanya ditemukan dalam syari’at Nabi Muhammad, tetapi juga di dalam syari’an nabi-nabi sebelumnya, seperti Nabi Ibrahim dan nabi-nabi sebelumnya. Bahkan sejak Nabi Adam dan Hawa sejak awal memperkenalkan ibadah ini, sebagaimana dijelaskan dalam ayat:

Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia.

Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji ada­lah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah; Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (Q.S. Ali ‘Imran/3:96-97).

Dari ayat ini difahami bahwa ibadah ritual paling awal dan konsisten umat manusia ialah ibadah haji ini. Karena itu, kalangan ahli tarekat memaknai ibadah haji dan umrah ini lebih dalam dari sekedar penjelasan yang diperoleh saat mengikuti manasik haji.

Mereka memahami penekanan haji bukan dari aspek maqbul (diterima atau ditolaknya haji karena terkait dengan keabsahan amalan rukun dan syarat), tetapi lebih menekankan aspek mabrur (terkait dengan dampak positif secara permanen yang diraih seorang hujjaj pasca pelaksanaan hajinya).

Jika dalam perspektif fikih dan syari’ah terlalu menekankan aspek kedisi­plinan secara fisik mengamalkan seluruh ketentuan haji, maka dalam perspektif tasawuf termasuk juga mendisiplinkan rohani dan spiritual menghayati dan menikmati ajaran dan amalan haji.

Dalam perspektif tarekat, ibadah haji dirasakan betul bukan sekedar perjalanan fisik biasa, tetapi lebih merupa­kan perjalanan spiritual (spiritual journey) menuju Allah Swt.

Jamaah haji Indonesia sesungguhnya sebagian sudah berada di dalam lingkup perspektif ini. Lihat saja pada proses pelepasan jamaah haji, penuh dengan kesan per­jalanan spiritual; sebuah perjalanan yang sangat berbeda dengan perjalanan pesiar ke luar negeri dengan tujuan wisata biasa.

Sebagian calon jamaah haji kita sesungguh­nya mengikhlaskan dirinya jika dalam perjalanan hajinya dijemput oleh Allah Swt, karena mereka yakin akan gugur sebagai syuhada yang dijemput syurga. (zm)

Penulis adalah Guru Besar Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta. Artikelnya dimuat Tangsel Pos, Jumat 8 Juli 2022. https://tangselpos.id/detail/1092/perspektif-tarekat

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

1. Konsep spiritualitas 1.1. Pengertian Spiritualitas Kata spiritualitas berasal dari bahasa Latin Spiritus, yang berarti bernafas atau angin. Jiwa memberikan kehidupan bagi seseorang. Ini berarti segala sesuatu yang menjadi pusat semua aspek dari kehidupan seseorang McEwan, 2005; Potter dan Perry, 2010. Menurut Florence Nightingale, spiritual adalah suatu dorongan yang menyediakan energi yang dibutuhkan untuk mempromosikan lingkungan rumah sakit yang sehat dan melayani kebutuhan spiritual sama pentingnya dengan melayani kebutuhan fisik Delgado, 2005; Kelly, 2004; Potter dan Perry, 2010. Saat ini, spiritualitas sering didefinisikan sebagai kesadaran dalam diri seseorang dan rasa terhubung dengan sesuatu yang lebih tinggi, alami, atau kepada beberapa tujuan yang lebih besar dari diri sendiri Mauk dan Schmidt, 2004; Potter dan Perry, 2010.

1.2. Dimensi Spiritual

Spiritualitas mencakup seluruh aspek peribadi manusia dan merupakan sarana menjalani hidup. Dalam perspektif perawatan kesehatan holistik, jiwa, tubuh dan rohspirit saling berhubungan dan berinteraksi dengan cara sangat dinamis di dalam seluruh “pribadi manusia”. Maka sangatlah sulit dan terkesan dibuat-buat apabila kita mencoba memisahkan ketiga dimensi ini. Akan tetapi, sangat bergunalah bagi penyedia perawatan kesehatan untuk membedakan ketiganya agar mereka dapat menilai dan memperlakukan pasien dengan tepat. Salah satu cara membedakan ketiga dimensi itu adalah sebagai berikut Mansen, 1993; Taylor, 2002; dalam Young dan Koopsen, 2005: 1. Dimensi psikologis jiwa mencakup kesadaran diri self consciousness dan identitas diri self identity. inilah aspek kepribadian yang berhubungan dengan masalah interaksi Universitas Sumatera Utara antarmanusia dan berkaitan dengan emosi seperti rasa duka cita, rasa kehilangan, dan rasa bersalah dan dialami jauh di lubuk jiwa. 2. Dimensi fisik tubuh merupakan kesadaran akan alam world conscious. Aspek inilah yang memungkinkan seseorang merasa, melihat, mendengar, membau, meraba, dan disentuh orang lain. 3. Dimensi rohani spirit dideskripsikan sebagai daya yang menyatukan dalam diri manusia, mengintegrasikan, dan mengatasi dimensi lainnya. Dimensi ini juga diberikan sebagai kesadaran akan Tuhan God-consciousness atau berkaitan dengan kedewataan atau nilai- nilai mutlak. Dimensi ini menyangkut makna hidup, pemahaman manusia akan iman, dan hubungan intim pribadi manusia dengan Tuhan. Salah satu masalah dari saling bertukaran antara spiritualitas dengan religi adalah di mana perawat mungkin menyatukan dimensi spiritual dengan dimensi psikososial. Hal ini dapat mengakibatkan pihak perawat tidak mampu mengenali harapan, kebutuhan, atau masalah spiritual yang disamarkan oleh emosi Stoll, 1979; dalam Perry dan Potter, 2005. Seorang perawat mungkin mendiagnosa kebutuhan klien sebagai kebutuhan psikososial, ketika seharusnya kebutuhan tersebut berhubungan dengan kesehatan atau fungsi spiritual. Menyamakan spiritualitas dengan religi akan menghilangkan persfektif holistik klien dengan membatasi pandangan perawat tentang aspek dinamis kehidupan. Juga ketika dimensi spiritualitas dikurangi untuk mencakup hanya religi, intervensi keperawatan dapat distandardisasi dan tidak akan mengetengahkan kebutuhan aktual klien Mensen, 1993. Sosiologis Fisiologis Psikologi Spiritua Universitas Sumatera Utara Skema 1. Dimensi spritual: pendekatan terintegrasi. Farran et al. 1989 dalam Perry dan Potter 2005 lebih jauh mendefinisikan model penyatuan spiritualitas mereka dengan meringkaskan berbagai pandangan teoretis tentang spiritulitas. Skema 2. Dimensi Spiritual: pendekatan penyataan Selain itu, model penyatuan mencakup aspek perkembangan spiritualitas. Pertumbuhan spiritualitas terjadi hampir pada seluruh rentang kehidupan Farran et al. 1989; dalam Perry dan Potter, 2005.

1.3. Karakteristik Spiritualitas